Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
KELOMPOK III
NUR HAERIA
(15.01.364)
SYATRIANI HASAN
(15.01.253)
INDAH KADULLAH
(15.01.251)
(15.01.274)
ANDI WORENES
(15.01.355)
ACHMAD ZUFADLI
ASISTEN
(15.01.236)
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut
sangat luas. 75% wilayah Indonesia merupakan laut sehingga memiliki potensi
sumber daya alam hayati laut yang melimpah (Rosmiati dan Suryati, 2001) .
Indonesia memegang peranan penting bagi dunia karena memiliki keragaman
hayati laut tertinggi di dunia yang merupakan sumber daya organik. Sumber
daya alam hayati laut sampai saat ini masih belum banyak diketahui dan
dimanfaatkan secara optimal (Suryati dan Ahmad, 1996).
Salah satu sumber daya alam hayati laut adalah spons. Di dalam laut
Indonesia terdapat 60.000 km persegi areal terumbu karang (spons) yang
mencakup 15 % terumbu karang dunia (Kompas, 5 April 2004). Sumber daya
organic merupakan gudang senyawa kimia yang sangat potensial sebagai
sumber senyawa baru yang unik yang tidak dapat ditemukan di laboratorium
dan mungkin sangat berguna dalam keperluan pengobatan, pertanian, dan
industri. Indonesia memiliki sumberdaya organic yang melimpah, merupakan
kekayaan yang sebagian besar belum diteliti kandungan kimianya. Oleh
karenanya Indonesia adalah suatu negara yang sangat prospektif untuk
mengembangkan kimia organik bahan alam khususnya bahan alam laut
(Achmad, 2004).
Salah satu jenis organisme yang berpotensi cukup besar dan berpeluang
mengandung senyawa aktif adalah spons. Spons merupakan biota laut yang
multiseluler primitive (metazoan) tanpa jaringan nyata, yang merupakan
sumber metabolit sekunder terkaya (Eru, 2005 & Romimohtarto, 2001), hidup
di kedalaman sampai dengan 50 meter di bawah permukan laut. Di dunia
diduga terdapat sekitar 10.000 spesies spons dan diperkirakan sekitar 200
spesies hidup di ekosistem terumbu karang Asia Tenggara (Dahuri, 2003).
sekitar 45 % senyawa bioaktif laut ditemukan pada spons laut (Anonim,
2006). Spons laut merupakan salah satu sumber senyawa-senyawa baru yang
mempunyai keunikan struktur dan toksisitas yang tinggi. Penelitian yang telah
ada terhadap spons telah menghasilkan senyawa-senyawa baru dengan struktur
unik dan memiliki aktifitas farmakologis sebagai antiviral, antileukemia,
antiparasit, antitumor, antiinflamasi, dan insektisidal (Risal, 2004).
Berbagai komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam spons
sehingga dapat bermafaat sebagai obat tradisional perlu untuk terus dikaji dan
di teliti.Untuk alasan tersebut, maka dianggap perlu pengetahuan yang cukup
yang berhubungan dengan pengkajian komponen komponen kimia tersebut.
Dalam hal ini spons yang akan di uji kandungan kimianya adalah spons putih.
Pengujian dapat dilakukan diantaranya dengan uji pemurnian senyawa kimia
Tahapan ini merupakan tahap yang dilakukan untuk mengidentifikasi
kandungan kimia yang terkandung dalam bahan obat. Pada tahap ini dapat
diketahui golongan senyawa kimia apa saja yang terkandung dalam bahan yang
diteliti.
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana metode isolasi senyawa kimia dari dari spons putih?
I.3 Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukan praktikum ini adalah untuk mengetahui komponen
kimia yang terkandung dalam spons putih.
I.4 Manfaat Praktikum
Memberikan informasi tentang senyawa kimia dari spons putih
sebagai sumber bahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gambar dan Nama Spons Putih
II.1.1 Klasifikasi Tanaman
Kingdom
: Animalia
Kelas
: Anthozoa
Ordo
: Sclerectinia
Famili
: Pocillopora
Genus
: Pocilloporidae
Spesies
Metode Ekstraksi
Adapun metode ekstraksi antara lain:
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana yaitu
dengan cara merendam sampel dalam pelarut yang sesuai selama 3x5
hari
Prinsip maserasi yaitu pelarut akan menembus kea lam rongga sel
yang mengandung zat aktif, sehingga akan larut karena adanya
2. Cara panas
a. Refluks
b. Soxhletasi
Soxhletasi adalah metode penyarian secara berulang
ulang senyawa bahan alam dengan menggunakan alat soxhlet.
(Depkes, 2000).
Td OC
Tetapan
Viskositas
Pengembang
n-heksana
Heptana
Sikloheksana
Karbon tetraklorida
Benzene
Kloroform
Etel (dietil eter)
Etil asetat
Piridina
Aseton
Etanol
Metanol
Air
(Stahl, 2000)
760 torr
68,7
98,4
81,4
76,8
80,1
61,3
34,6
17,1
115,1
56,5
78,5
64,6
100,0
dielektrik
1,890
1,924
2,023
2,238
2,284
4,806
4,94+
0,02+
22,3+
20,7+
24,30+
33,62
80,37
Cp pada 20OC
0,326
0,409
1,02
0,969
0,652
0,580
0,233
0,455
0,974
0,316+
1,2
0,597
1,005
Kromatografi adsorpsi
Kromatografi partisi
Kromatografi penukar ion
Kromatografi afinitas
Kromatografi kolom
Kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography, TLC)
Kromatografi kertas
Kromatografi gas-cair (gas-liquid chromatography, GLC)
Kromatografi cair kinerja tinggi (high performance
liquid
chromatography, HPLC)
a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode
yang paling banyak digunakan
dengan ketebalan tertentu tergantung pada jumlah bahan yang akan dimuat
ke dalam lempeng. Pelapisan ke dalam lempeng analisis biasanya memilki
ketebalan 0,2 mm, lempeng preparative dapat memilki ketebalan hingga 12 cm (Heinrich dkk, 2005).
Fase gerak dikenal sebagai pelarut pengembangan akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara
menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan
secara menurun (descending). Fase diam yang digunakan
pada
terhadap ujung depan fase gerak atau eluen, dan nilai ini terkait dengan
koefisien distribusi komponen.
jarak yang ditempuh fase gerak
terlalu
lebar,
dapat
dilakukan
pemekatan
dengan
cara
pemisahan
dapat
ditingkatkan
dengan
cara
adalah
menggunakan
metode
DPPH
(1,1-difenil-2-
Cara Sumuran
Seperti cara kirby baue, setelah dioleskan bakteri pada
media agar dibuat semuran dengan garis tengah tertentu dan
kedalam semurandiberi larutan antibakteri dan diinkubasi pada
DAFTAR PUSTAKA
De la Rosa, L., Emilio A., dan Gustavo, A. 2010. Fruit and Vegetable
Phytochemicals: Chemistry, Nutritional Value and Stability. WileyBlackwell Publishing : New York.
Dewick, P. M., 2009. Medicinal Natural Products: A Biosynthetic Approach.
Wiley-VCH Verlag GmbH & Co: Weinheim.
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah chamber, corong pisah, Erlenmeyer,
gelas ukur, lampu UV 254 nm dan 366 nm, oven, pipa kapiler, ,seperangkat
alat maserasi, rotavapor, timbangan analitik.
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah air suling, lempeng KLT , etanol,
spons putih, ekstrak etanol spons, Eter, FeCl 3, HCL 2 N, H2SO4, kloroform,
Pereaksi Bouchardat, Pereaksi Mayer, Serbuk Asam Borat, Serbuk Asam
Oksalat, Serbuk Magnesium, Serbuk Seng.
III.2 Penyiapan Sampel
III.2.1 Pengambilan Sampel
Sampel terumbu karang (Stylophora pistillata) diperoleh di pesisir laut
Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
III.2.2 Pengolahan Sampel
Sampel terumbu karang (Stylophora pistillata) yang telah dikumpulkan
dibersihkan dari kotoran, lalu dicuci dengan air hingga bersih. Setelah itu sampel
dipotong, kemudian diangin-anginkan dan siap diekstraksi.
III.2.3 Ekstraksi sampel
Sampel terumbu karang (Stylophora pistillata)
diekstraksi
disimpan ditempat yang tidak terkena sinar matahari langsung sambil sering
diaduk. Setelah 3 hari, hasilnya disaring kemudian ampasnya di maserasi kembali
dengan menggunakan pelarut yang baru sampai diperoleh sari terakhir. Ekstrak
etanol yang diperoleh kemudian diuapkan penyarinya dengan menggunakan
Rotary Evaporator (Rotavapor) hingga diperoleh ekstrak etanol kental.
Penetasan telur udang (Artemia salina Leach) dengan cara 1 g telur udang
direndam dalam air laut sebanayak 2 L pada pH 7-8 dan diberi penerangan dengan
lampu pijar serta diaerasi selama 48 jam. Larva yang berumur 2 hari (48 jam)
digunakan sebagai hewan uji aktivitas ketoksikan.
III.4.2 Pembuatan Larutan Kontrol dan Ekstrak Uji
Larutan ekstrak dibuat dengan melarutkan ekstrak sebanyak 50 mg dalam
5 mL air laut hingga diperoleh konsentrasi 10000 ppm. Untuk ekstrak yang
kurang larut dalam air laut, dapat dilarutkan dengan DMSO atau pelarut yang
cocok, pelarutnya diuapkan kemudian dicukupkan volumenya dengan air laut.
Kemudian dari larutan stok dibuat variasi konsentrasi 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm,
100 ppm dan 1000 ppm. Kontrol yang digunakan yaitu air laut atau pelarut yang
digunakan pada pengenceran ekstrak.
III.4.3 Pengujian Toksisitas
Pengujian dilakukan dengan cara dimasukkan 10 ekor larva udang yang
berumur 48 jam yang diambil secara acak kedalam masing masing vial yang
berisi ekstrak sampel atau kontrol. Ke dalam tiap vial ditambahkan 1 tetes
suspensi ragi sebagai sumber makanan. Selanjutnya disimpan ditempat yang
cukup mendapatkan cahaya lampu dan dihitung jumlah larva yang mati setiap 12
jam selama 1 hari.
Persen kematian (mortalitas) dihitung dengan cara :
%Mortalitas=
jumlah larvamati
jumlah larva awal
x 100 %
III.5 Fraksinasi
Ekstrak kental dilarutkan dengan aquades kemudian difraksinasi dalam corong pisah.
Fraksinasi dilakukan dengan dua pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Pertama
difraksi dengan pelarut n heksan yang bersifat non polar kemudian dikocok dan dibiarkan
hingga terbentuk dua lapisan yang terdiri dari lapisan air dan n heksan. Diambil lapisan n
heksan dan diuapkan hingga kental. Kemudian lapisan air difraksinasi kembali dengan pelarut
etil asetat yang bersifat polar, lalu dikocok dan dikocok dan didiamkan hingga terbentuk
lapisan air dan lapisan etil asetat. Diambil lapisan etil asetat dan diuapkan hingga terbentuk
ekstrak kental.
III.6 Kromatografi Kolom
Dilakukan orientasi eluen untuk menentukan eluen yang cocok dan dapat
mengelusi noda yang baik pada lempeng. Setelah dilakukan orientasi dengan
beberapa perbandingan eluen, didapatkan bahwa perbandingan eluen yang dapat
mengelusi noda dengan baik adalah eluen n-heksan : etil asetat sebanyak 6:4.
Kromatografi kolom dilakukan dengan cara fraksi etil asetat ditambahkan
silika kemudian digunakan eluen n-heksan : etil asetat (6:4) sebagai fase gerak.
Hasil dari kromatografi kolom berupa fraksi dengan berbagai warna mulai dari
berwarna bening hingga pekat, yang akan dikelompokkan menurut yang sama
terlihat secara visual warnanya.
III.7 Identifikasi dengan Kromatografi Lapis Tipis
Sampel hasil kromatografi kolom ditotolkan pada lempeng KLT secara
garis lurus kemudian lempeng KLT dimasukkan ke dalam chamber yang telah
dijenuhkan dengan eluen n-heksan : etil asetat (6:4). Diamati hingga fase gerak
mencapai batas atas lempeng. Selanjutnya lempeng KLT diamati dibawah sinar
UV dengan panjang gelombang 254 dan 366 nm untuk melihat penampakan
bercak noda, setelah itu untuk memperjelas penampakan noda, kemudian dapat di
semprot dengan menggunakan reagen asam sulfat yang merupakan reagen umum
untuk senyawa terpenoid kemudian diamati kembali dibawah sinar UV dengan
panjang gelombang 254 dan 366 nm.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Hasil Ekstraksi
Rendemen =
x 100%
11,3 gram
500 gram
Rendemen =
x 100% = 2,26%
Log Konsentrasi
% Mortalitas
Probit
100
8,09
10
100
8,09
100
100
8,09
1000
100
8,09
(ppm)
1
9
8
f(x) = - 0x + 8.09
R = 0
7
6
5
Probit 4
3
Linear ()
Linear ()
1
0
0
0.5
1.5
2.5
3.5
Log Konsentrasi
11,3 gram
Bobot Ekstrak
Fraksi Hasil
Bobot Fraksi
yang Dipartisi
Partisi
(g)
5 gram
Etil asetat
n-heksan
air
1,02
0,56
4,73
Fraksi
1
(g)
16
34
57,46
42,21
15
Rf =
3,3
3,5
= 0,94
BAB V
PEMBAHASAN
BSLT
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah salah satu metode uji toksisitas
yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang bersifat toksik
dari bahan alam. Metode ini dapat digunakan sebagai bioassay-guided fractination
dari bahan alam, karena mudah, cepat, murah dan cukup reproducible.
Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut
dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu
rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan
menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva
Artemia salina Leach. Suatu esktrak dikatakan toksik berdasarkan metode BSLT
jika harga LC< 1000 g/ml.
LC50 adalah konsentrasi dari suatu senyawa kimia di udara atau dalam air
yang dapat menyebabkan 50% kematian pada suatu populasi hewan uji atau
makhluk tertentu. Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk pengujian
ketoksikan dengan perlakuan terhadap hewan uji secara
berkelompok yaitu pada saat hewan uji dipaparkan suatu bahan
kimia melalui udara maka hewan uji tersebut akan menghirupnya
atau percobaan toksisitas dengan media air. Nilai LC 50 dapat
digunakan untuk menentukan tingkat efek toksik suatu senyawa
sehingga dapat juga untuk memprediksi potensinya sebagai
antikanker.
Dalam praktikum ini dilakukan variasi konsentrasi yang
berbeda masing-masing yaitu konsentrasi 1, 10, 100, dan 1000
g/ml untuk membandingkan toksisitas dan efek toksik yang
ditimbulkan masing-masing konsentrasi tersebut. Setelah itu,
untuk melihat pada konsentrasi berapakah larva udang
mengalami LC50. Dan air laut sebagai kontrol dimaksudkan untuk
melihat respon kematian dari sampel. Spons putih digunakan
untuk mengetahui apakah sampel tersebut memiliki khasiat
sebagai obat antikanker, dan alasan digunakannya larva udang
dalam
percobaan
ini
adalah
karena
larva
udang
merupakan general biossay sehingga semua zat dapat
menembus masuk menembus dinding sel larva tersebut.
Pengujian
terhadap
ekstrak
etanol
spons
putih
a.
2.
3.
KLTP
Pada praktikum ini dilakukan percobaan Kromatografi lapis tipis preparatif
(KLTP). Dimana pada KLT preparative pada dasarnya sama dengan kromatografi
lapis tipis biasa, namun perbedaan yang nyata ialah pada KLT preparative
menggunakan lempeng kaca yang besar (ukuran 10 x 20 cm) dengan ketebalan
0,5 dan sampel ditotolkan berupa garis lurus pada salah satu sisi lempeng. Dan
pada bagian langkah akhir silica akan dikeruk yang mana disebut sebagai
isolate.
KLTP memiliki keuntungan yaitu sebagai salah satu metode pemisahan
yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan dasar.
Sedangkan kerugian KLTP yaitu pengambilan senyawa dari plat yang dilanjutkan
dengan pengekstraksian penjerap memerlukan waktu lama dan jika senyawa
beracun harus dikeruk dari plat akan meningmbulkan banyak masalah terus.
Cara kerja dari metode ini diambil fraksi aktif dari hasil KK dan kemudian
ditotolkan berbentuk pita garis penotolan yang telah dibuat sebelumnya.
Lempeng yang digunakan berukuran 10 x 20 cm. setelah sampel ditotolkan,
kemudian dikembangkan dengan eluen loroform : aseton1 :9 didalam chamber
KLTP. Setelah pengelusian, lempeng-lempeng dan diaamati di bawah lampu UV.
Kemudian pita-pita tersebut dideteksi dan diberi bawah lampu UV. Kemudian
pita-pita tersebut dideteksi dan diberi tanda kemudian dikeruk yang selanjutnya
disebut sebagai isolate. Senyawa dideteksi adalah flavonoid yang ditandai
dengan noda yang berpendar di bawah UV 366 nm.
pita yang akan dikeruk pada lempeng adalah pita yangmemiliki warna
yang lebih kuning berlatar ungu yang dapat disebut sebagai fraksi aktif,.
Pada praktikum yang dilakukan di dapatkan nilai Rf pada fraksi 1
yaitu 0,94118 cm dan nilai Rf untuk fraksi 2 yaitu 0,76471 cm.
DUA DIMENSI
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan
resolusi
sampel
ketika
komponen-komponen
solute
mempunyai
identifikasi
bercak
yang
dilakukan
pada
pegujian
BAB VI
KESIMPULAN
BSLT
Kolom
KLTP
Dari Praktikum yang dilakukan diperoleh 1 pita yang aktif sebagai anti kanker
LAMPIRAN
Dua Dimensi
KLTP