You are on page 1of 24

Leukemia Granulositik Kronik

Krissi
Gideon tomasoa
Yunita Verayanti Siokh (102012056)

Kelompok : B3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat, 11470

Page | 1

Daftar Isi

Cover ............................................................................................................. 1
Daftar isi........................................................................................................ 2
Kata Pengantar............................................................................................... 3
Pendahuluan...................................................................................................4
Isi....................................................................................................................5
Penutup........................................................................................................ 23
Daftar Pustaka.............................................................................................. 24

Page | 2

Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Kami juga berterima kasih kepada
dosen tutor PBL, Problem Based Learning kelompok kami atas bimbingannya. Terima kasih
juga untuk semua anggota kelompok B-3 yang telah berpatisipasi dalam membuat makalah
ini. Makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menerima kritik dan saran guna
memperbaiki makalah kami yang selanjutnya. Kami harap makalah ini dapat dimengerti dan
dipahami oleh setiap pembacanya.

Page | 3

Pendahuluan
Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder
(MPD) yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi,
sehingga pada apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri
granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai
granulosit.1 LGK terutama dijumpai pada orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan
insiden puncak pada dekade keempat dan kelima kehidupan.2,3 LGK merupakan 15% dari
semua jenis leukemia.3
LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu
dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi
antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR
pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph
menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang mengkode suatu protein gabungan yang
memiliki aktivitas tirosin kinase berlebih.4 Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat
dengan pemeriksaan kariotip sel tumor, tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph
tidak tampak dengan mikroskop, namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat
tampak dengan teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH) atau
polymerase chain reaction (PCR).
LGK dengan Ph-negatif BCR-ABL1 memiliki klinis sama seperti LGK Ph-positif.
Oleh karena kromosom Ph merupakan kelainan yang didapat pada sel punca hematopoietic,
kelainan dapat terlihat pada kedua jalur baik myeloid (granulositik, eritroid, dan
megakariositik) dan limfoid (sel B dan T). Pada LGK, jumlah leukosit dapat meningkat
demikian rupa (biasanya berjumlah 50.000-250.000/mm3), sehingga darah tampak berwarna
keabu-abuan.

Page | 4

Isi
Skenario
Tn. B 60 tahun datang ke poloklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama lemas sejak
2 bulan SMRS. Pasien juga mengeluh sering demam dan keringat dingin terutama saat malam
hari. Tidak ada keluhan batuk atau nyeri berkemih. Selain itu pasien merasa cepat kenyang
dan begah. Pasien mengatakan hanya mengkomsumsi makanan alami tanpa adanya pengawet
dan tidak adanya riwayat paparan radioaktif. Dikeluarga pasien tak ada yang sakit seperti itu.

Anamnesis
Berikut hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien pada skenario ini :
1. Identitas pasien, Pria usia 60 tahun.
2. Keluhan utama: lemas sejak 2 bulan, sering demam, keringat malam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Sifat demam
Batuk
Hal yang memperberat gejala
Penyakit yang sedang diderita saat ini
Riwayat keluhan sama berulang
Keluhan lain (anoreksia, penurunan BB, dll)
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit infeksi sebelum keluhan timbul
Riwayat penyakit kronis
Riwayat pengobatan
5. Riwayat keluarga dan sosial
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
Pekerjaan pasien
Gaya hidup pasien (merokok, alcohol, pola makan, aktivitas)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda
vital yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu. Pada pemeriksaan
fisik secara umum, dapat dilihat keadaan pasien yang tampak lemah dan pucat, serta
ditemukan conjungtiva anemis yang menunjukkan adanya anemia.
Pemeriksaan fisik pada abdomen, khususnya pemeriksaan pembesaran hati dan
Schuffner untuk memeriksa adanya splenomegali, sangat penting dilakukan oleh karena biasa
ditemukan hepatosplenomegali pada LGK. Hepatosplenomegali disebabkan oleh adanya
Page | 5

hematopoiesis ekstramedular yang sering dipersulit oleh infark local, terutama pada limpa. 2
Splenomegali ringan hingga berat paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik,
sedangkan hepatomegali hanya sesekali ditemui.5
Splenomegali yang menetap, meskipun telah diterapi, merupakan suatu tanda
akselerasi penyakit.5 Limfadenopati dan myeloid sarcoma tidak biasa dijumpai, kecuali pada
akhir perjalanan penyakit.5 Bila ditemui adanya limfadenopati dan myeloid sarcoma, maka
prognosisnya adalah dubia ad malam.

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun. 1 Jumlah leukosit
biasanya >50.000/mm3.3,4 Persentasi eosinofil atau basofil meningkat. Trombosit biasanya
meningkat antara 500.000-600.000/mm3, tetapi dapat juga normal atau trombositopeni. Nilai
hematokrit antara 25-35%.4
Apus darah tepi
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Leukosit dalam jumlah besar tampak dalam berbagai
stadium pematangan, baik immature maupun mature, umumnya persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat dengan jumlah mielosit lebih banyak daripada metamielosit. 1,4,5
Eosinofil dan/atau basofil meningkat pada stadium lanjut, menyebabkan pruritus, diare, dan
flushing.1,5 Aktivitas leukocyte alkaline phosphatase (LAP) hampir selalu rendah bahkan
mungkin turun sampai 0.4,5
Pada fase akselerasi, terjadi peningkatan derajat anemia yang ditandai dengan
penurunan kadar Hb oleh karena adanya pendarahan atau efek terapi, sel blast dalam darah
dan sumsum tulang antara 10 dan 20%, basofil darah dan sumsum tulang 20%, atau
trombosit <100.000/mm3.5
Fase krisis blast ditentukan sebagai leukemia akut dengan kadar blast dalam darah
atau sumsum tulang 20% . Mungkin ditemukan neutrofil hiposegmented (Pelger-Huet
anomaly). Sel blast bisa diklasifikasikan sebagai myeloid, cytochemical, dan immunologic
features.5

Page | 6

Tabel 1. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Darah Tepi

Fase LGK

Morfologi Sel

Fase awal

Leukosit <50.000/L, terdapat bentuk yang belum matang tersendiri

Fase kronik

Basofil mungkin +
Leukosit 50.000-500.000
Granulopoiesis +, blas - , bagiannya tergantung dari jumlah sel keseluruhan. Sebagian besar <5%
Basofil +, bentuk kerdil

Fase akselerasi

Trombosit sering >400.000


Leukosit hingga 250.000
Bentuk yang belum matang ++ (promielosit 20-30%), blas hingga 10%
Basofil ++

Fase akhir (krisis blas)

Trombosit normal
Sebagian besar >50%, prefinal hampir 100%
Blas 25% TdT atau PAS positif
Merupakan elemen sisa dari fase kronik dengan atipik yang beranekaragam
Trombositopeni +

Apus sumsum tulang


Selularitas sumsum tulang meningkat akibat proliferasi dari sel-sel leukemia,
sehingga rasio myeloid : eritrosit meningkat.1,5 Berbeda dengan sumsum tulang normal, yang
biasanya 50% selular dan 50% lemak, sumsum tulang CML biasanya 100% selular dengan
dominasi precursor granulositik yang berada dalam proses maturasi. Meningkatnya jumlah
megakariosit, sering disertai oleh bentuk-bentuk displatik, juga sering dijumpai, sementara
progenitor eritroid biasanya berjumlah normal atau berkurang. Temuan khas adalah adanya
histiosit dengan sitoplasma keriput hijau-biru tersebar.2 Persentasi sel blast sumsum tulang
umumnya normal atau sedikit meningkat.5 Megakariosit juga tampak lebih banyak.1 Pada
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis, meskipun hal
ini jarang terlihat.
Tabel 2. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Sumsum Tulang

Fase LGK

Morfologi Sel

Fase awal

Sangat kaya sel


Granulopoesis bergeser ke kiri secukupnya
Indeks GE (perbandingan kuantitatif antara granulopoesis dan eritopoesis) 5-6
Basofil dan eosinofil meningkat

Fase kronik

Megakariosit dan mikrokariosit +


Sangat kaya sel, tidak ada sel lemak
Granulopoesis jelas bergeser ke kiri
Indeks GE >10

Page | 7

Basofil dan eosinofil ++


Blas
Fase akselerasi

Mikrokariosit +
Seperti fase kronik, namun terdapat pergeseran ke kiri yang meningkat
Peningkatan promielosit berlebihan

Fase akhir (krisis blas)

Blas 10%
Blas sumsum sangat banyak, 25% dari fase akselerasi bereaksi positif dengan PAS
Basofil muda +
Eritrosit
Trombopoesis direduksi

Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen In Situ
Hybridization) yang lebih akurat.1 Pada LGK, ditemukan kromosom Philadelphia yang
merupakan translokasi t(9; 22) (q34; q11).2
Laboratorium lain
Kadar asam urat dalam serum dan urin umumnya meningkat oleh karena pemecahan
purin berlebih. Selain itu, mungkin dijumpai batu urat di dalam ginjal atau gout. LDH (Laktat
Dehidrogenase) meningkat, menunjukkan adanya peningkatan kerusakan protein. Kadar
vitamin B12 dalam serum dan protein pengikat vitamin B12 biasanya meningkat.
Granulositosis berlebih menyebabkan peningkatan transkobalamin dalam darah, yaitu suatu
protein pengikat vitamin B12. Peningkatan transkobalamin ini bertujuan untuk dapat mengikat
vitamin B12 lebih banyak untuk meningkatkan eritropoesis. Namun, oleh karena
granulopoesis lebih besar daripada eritropoesis, maka eritropoesis terhambat, sehingga terjadi
anemia.1,5

Diagnosis Banding
Myelofibrosis
Gambaran utama dari mielofibrosis primer adalah fibrosis reaktif yang berkembang
progresif dan merata di sumsum tulang sejalan dengan terjadinya hematopoesis di limpa dan
hati (dikenal dengan metaplasia mieloid). Secara klinis, keadaan ini menyebabkan anemia
Page | 8

dan splenomegali masif. Pada beberapa pasien terjadi osteosklerosis. Mielofibrosis


merupakan suatu penyakit sel punca klonal. Fibrosis yang terjadi di sumsum tulang
merupakan efek sekunder terhadap hiperplasia pada megakariosit abnormal. Suatu pemikiran
bahwa fibroblast dirangsang oleh faktor pertumbuhan trombosit dan sitokin lain yang
dikeluarkan oleh megakariosit dan trombosit.6
Mutasi JAK2 terjadi pada sekitar 50% pasien, yang sekitar 15%-nya mengalami
mutasi TET-2 dan beberapa pasien membawa mutasi gen

MPL (reseptor untuk

trombopoietin). Kelainan sitogenik yang tidak khas dapat ditemukan pada sekitar separuh
pasien. Gambaran klinis penyakit ini adalah awal penyakit yang tidak diketahui pada orang
lanjut usia biasanya dikenali dengan gejala anemia. Gejala diakibatkan splenomegali masif
sering terjadi (mis. Ketidaknyamanan abdomen, nyeri atau gangguan pencernaan);
splenomegali merupakan temuan klinis utama. Gejala hipermetabolik seperti penurunan berat
badan, anoreksia, demam dan keringat malam sering terjadi. Masalah perdarahan, nyeri
tulang atau gout terjadi pada sebagian kecil pasien. Myelofibrosis dan LMK bertanggung
jawab pada hampir semua kasus dengan pembesaran limpa masif (>20 cm).6
Temuan laboratorium biasanya terjadi anemia tetapi kadar hemoglobin normal atau
meningkat bila ditemukan pada beberapa pasien. Jumlah leukosit dan trombosit sering
meningkat pada saat diperiksa. Pada perkembangan penyakit selanjutnya, terjadi leukopenia
dan trombositopenia. Terdapat gambaran leukoeritroblastik pada sediaan apus darah tepi.
Gambaran khas eritrosit adalah poikilositosis tear drop. Sumsum tulang biasanya sulit
diambil dengan aspirasi. Biopsi trefin memperlihatkan sumsum fibrotik hiperseluler.
Peningkatan megakariosit sering terjadi. pada 10% kasus terdapat peningkatan pembentukan
tulang dengan peningkatan densitas tulang pada sinar-X. JAK2 kinase mengalami mutasi
pada sekitar 50% kasus. Kadar serum urat dan LDH yang tinggi menggambarkan perputaran
sel hematopoietik yang meningkat tapi tidak efektif secara luas. Perubahan menjadi leukimia
mieloid akut dapat terjadi pada 10-20% pasien.6
Pengobatan biasanya adalah pengobatan paliatif dan bertujuan mengurangi efek
anemia dan splenomegali. Transfusi darah dan terapi asam folat teratur diberikan bagi pasien
dengan anemia berat. Hidroksiurea dapat membatu mengurangi splenomegali dan gejala
hipermetabolik. Danazol, suatu turunan androgen, dapat memperbaiki anemia pada sekitar
30% pasien. Eritropoietin dapat juga dicoba, namun dapat menyebabkan pembesaran limpa.

Page | 9

Splenoktomi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan gejala splenomegali beratketidaknyamanan saat bergerak, trombositopenia, hipertensi portal, ketergantungan transfusi
yang berlebih atau gejala hipermetabolisme. Penyinaran radiasi terhadap limpa merupakan
suatu alternatif namun biasanya membaik hanya selama 3-6 bulan. Allopurinol diberikan
pada semua pasien untuk mencegah gout dan nefropati urat pada hiperurikemia. Transplantasi
sel punca alogenik dapat mengobati pasien muda.6
Leukimia Mielomonositik Kronik (CMML)
CMML ditandai dengan monositosis persisten lebih dari 1,0 monosit 10 9/L, tidak
adanya fusi gen BCR/ABL1, kurang dari 20% sel blast dan promonosit dalam darah perifer
dan sumsum tulang, dan displasia dalam satu atau lebih sel mieloid. Penderita biasanya
memiliki jumlah leukosit yang meningkat dengan monositosis absolut. Disgranulopoiesis
jelas, namun prekursor neutrofil kurang dari 10% dari total leukosit. Splenomegali mungkin
ada karena infiltrasi sel-sel leukemia. Meskipun kelainan sitogenetik ditemukan di hingga
pada 40% pasien, tidak ada satu pun yang spesifik untuk CMML. Prognosis bervariasi
tergantung pada jumlah sel blast dan promonocit. Jika terdapat kurang dari 5% sel blast dan
promonosit dalam darah perifer dan kurang dari 10% di sumsum tulang, penyakit ini
diklasifikasikan sebagai CMML-1 dan prognosis lebih baik daripada dalam kasus-kasus di
mana ada 5% sampai 19% sel blast dan promonosit dalam darah perifer atau 10% sampai
19% di sumsum tulang (diklasifikasikan sebagai CMML-2).6
Leukemia myelomonocytic juvenile dan

leukemia kronis myelomonocytic pada

dewasa diklasifikasikan oleh WHO sebagai penyakit myelodysplastic / myeloproliferative


karena gejala klinis yang tumpang tindih, laboratorium, atau temuan morfologinysa.
Leukemia myelomonocytic pada remaja ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan
disertai dengan ekspansi dalam jumlah monosit dan granulosit, termasuk granulosit matang,
dan manifestasi dari diseritropoiesis.6
Darah perifer orang dewasa dengan leukemia myelomonositik kronis mungkin
memiliki karakteristik yang mirip dengan yang terlihat dalam anemia refrakter, seperti
makrosit oval dan reticulositopenia. Konsentrasi WBC perifer dapat mencapai 100 x 109/L.
Menurut kriteria WHO, monositosis absolut (lebih dari 1 x 109 monosit/L) harus ada untuk
membuat diagnosis. Gambaran klinis termasuk splenomegali, gejala anemia, demam,
perdarahan, dan infeksi.6

Page | 10

Reaksi Leukemoid
Reaksi leukemoid merupakan sindrom klinis yang menyerupai leukemia di mana
jumlah sel darah putih meningkat lebih dari 25.000/mcL dalam menanggapi alergen, penyakit
inflamasi, infeksi, racun/toxin, perdarahan, luka bakar, atau stres fisik yang berat. Reaksi
leukemoid biasanya melibatkan granulosit dan dibedakan dari leukemia myelogenous kronis
dengan penggunaan leukosit alkali fosfatase dan pewarnaan pada neutrofil.6
Reaksi leukemoid merujuk pada jumlah leukosit di atas 50 x 109/L dengan neutrofilia
dan ditandai dengan pergeseran kiri. Reaksi leukemoid dapat sulit dibedakan dengan
leukemia myelogenous kronis. Ini beberapa keadaan yang membedakan keduanya; dalam
LMK ada peningkatan dalam semua seri granulosit termasuk eosinofil dan basofil dan
bentuknya yang belum matang. Morfologi dispoietic seperti granulasi campuran atau pseudo
Pelger - Huet. Keterlibatan trombosit termasuk bentuk raksasa, bentuk hipogranular. Nilai
leukosit alkali fosfatase menurun tajam.6
Pada reaksi leukemoid ada peningkatan neutrofil dan bentuk yang belum matang;
monosit mungkin meningkat tetapi eosinofil dan basofil yang sering tidak ditemukan. Tidak
ada morfologi dispoietik; namun morfologi reaktif biasanya ada. Tidak ada morfologi
trombosit normal, nilai leukosit alkali fosfatase meningkat tajam.6

Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja kasus tersebut adalah leukemia granulosit kronis (LGK) tahap akhir
fase kronis; berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya conjungtiva anemis, sclera non
ikterik, dan splenomegali (Schuffner 3). Pada pemeriksaan laboratorium didapat data Hb: 9,
Ht: 35%, Leukosit: 100.000/mL, trombosit: 25.000/mL. Pada apus darah didapat retikulosit
4%, eritrosit mikrositik hipokrom, sel blast 10%, hitung jenis 1 / 1 / 0 / 73 / 22 / 1 / 2,
metamielosit 10.
Diagnosis LGK ditegakkan oleh adanya anemia, splenomegali (biasanya massif),
leukositosis berat (terutama mielosit, metamielosit, dan neutrofil), dan yang terpenting adalah
identifikasi ekspansi klonal stem cell hematopoietik yang memproses translokasi resiprokal
antara kromosom 9 dan 22.

Etiologi

Page | 11

Tidak ada korelasi yang jelas antara pajanan obat sitotoksik dengan LGK dan tidak
ditemukan bukti yang cukup kuat yang menjelaskan infeksi virus sebagai etiologi LGK. Pada
era pra-imatinib, rokok mempercepat progresi krisis blas. Korban bom atom Hiroshima dan
Nagasaki yang selamat mengalami peningkatan insiden LGK dengan massa sel LGK
10.000/L dalam 6,3 tahun. Diperkirakan hanya radiasi dosis besar yang bisa menginduksi
LGK.5

Patofisiologi
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel
induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini selain proliferasinya berlebih juga
dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal karena gen BCR-ABL juga antiapoptosis. Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang
akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.1
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih
belum diketahui secara pasti. Diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli
berpendapat akibat mutasi spontan. Diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan
pembentukan gen hibrid BCR-ABL BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABLBCR pada kromosom 9.1

Gambar 2. Translokasi Kromosom 9 Gen ABL dengan Kromosom 22 Gen BCR1

Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis
suatu protein yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peranan gen resiprokal ABLBCR tidak diketahui.1
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat
terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya.
Page | 12

Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11,
akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, sehingga protein yang dihasilkan juga berbeda
berat molekulnya.1
Tiga variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor, minor, dan mikro ternyata
berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen
BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan
dengan monositosis yang prominen, sedangkan patahan di -bcr berhubungan dengan
neutrofilia dan/atau trombositosis.1
Gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas
tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini memiliki kemampuan untuk oto-fosforilasi yang
akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1
(SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel
terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis.1
Selanjutnya, fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam
sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi sinyal yang yang bersifat onkogenik, seperti
tampak pada gambar 4 di bawah ini. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi
dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan
juga proses apoptosis.1
Pada LGK, berbagai turunan myeloid, sel limfoid B dan mungkin sel limfoid T
mengekspresikan protein fusi BCR-ABL yang menunjukkan bahwa sasaran transformasi
adalah sel tunas pluripoten. Oleh sebab yang belum diketahui, efek BCR-ABL kinase yang
terus menerus aktif pada awal LGK, terutama tampak pada progenitor granulositik dan
dengan derajat yang lebih ringan, pada progenitor megakariositik.2
LGK secara alami berkembang lambat, bahkan tanpa pengobatan sekalipun, pasien
dapat diharapkan bertahan hidup 3 tahun. Setelah suatu periode yang bervariasi (sekitar 3
tahun), sekitar 50% pasien masuk ke fase akselerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan
anemia dan trombositopeni, serta kadang-kadang eosinofilia darah tepi yang mencolok.
Kelainan sitogenik klonal lain, misalnya trisomi 8, isokromosom 17q, atau duplikasi Ph juga
dapat ditemukan. Dalam 6-12 bulan, fase percepatan berakhir dengan gambaran mirip dengan
leukemia akut (krisis blas). Di lain pihak, pada 50% sisanya krisis blas timbul secara
mendadak tanpa diselingi oleh fase percepatan. Pada 70% krisis blas, blas memperlihatkan
Page | 13

gambaran morfologi dan sitokimia mieloblas, sementara pada kebanyakan dari sisanya, blas
mengandung enzim TdT dan mengekspresikan penanda-penanda turunan B dini seperti CD
10 dan CD19. Meskipun jarang, blas dapat mirip dengan sel T prekursor.

Epidemiologi
Kejadian LGK mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak
setelah leukemia limfositik kronik (LLK). Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,
walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang,
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian
juga di Rusia setelah reactor Chernobil meledak.1
Insiden LGK adalah 1,5 per 100.000 orang per tahun dan insiden pada pria lebih
tinggi daripada wanita. Insiden LGK meningkat lambat sesuai pertambahan usia sampai
pertengahan usia 40 tahun akan meningkat cepat. Insiden LGK pada wanita agak menurun
(1,8%) antara tahun 1994 dan 2006 dibandingkan tahun 1975-1994.5

Manifestasi Klinis
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase
akselerasi, dan fase krisis blas. Umumnya, saat diagnosis pertama kali ditegakkan, pasien
masih dalam fase kronis, bahkan seringkali diagnose LGK ditemukan secara kebetulan,
misalnya saat persiapan pra-operasi ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh perut terasa penuh atau cepat kenyang oleh
karena adanya splenomegali yang mendesak gaster. Kadang timbul nyeri mendadak seperti
diremas di perut kanan atas bila telah terjadi infark limpa. Keluhan lain sering tidak spesifik,
seperti cepat lelah, lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, dan keringat malam. Penurunan
berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan
gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Hiperurikemia yang hebat
dapat mencetuskan nyeri yang hebat. Memar, epistaksis, dan pendarahan dari berbagai tempat
bisa terjadi oleh karena fungsi trombosit yang abnormal.
Tabel 6. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi1

Keluhan
Splenomegali
Lemah

Frekuensi (%)
95
80

Page | 14

Penurunan BB
Hepatomegali
Keringat malam
Cepat kenyang
Perdarahan/purpura
Nyeri perut (infark limpa)
Demam

60
50
45
40
35
30
10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami
akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan
hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi antara lain: leukositosis
yang sulit dikontrol dengan obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%,
promielosit >30%, dan trombosit <100.000. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa
yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah
berat, timbul ptekie atau ekimosis bila disertai demam, biasanya ada infeksi. Diagnosis LGK
pada fase akselerasi menurut WHO, antara lain:

Blas 10-19% dari WBC pada darah tepi dan/atau dari sumsum tulang berinti

Basofil darah tepi atau sumsum tulang >20%

Trombositopenia persisten (<100.000) yang tidak dihubungkan dengan terapi,


atau trombositosis (>100.000) yang tidak responsif terhadap terapi

Peningkatan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Perubahan sitogenik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Fase krisis blas merupakan suatu perburukan dari tahap akselerasi mieloproliferatif.
Terjadi pada 80% pasien LGK. Fase ini ditandai dengan jumlah sel blas yang semakin
meningkat, adanya perdarahan, sepsis, dan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala klinik
pada fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per
mm3 maka penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini
dibedakan dengan leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya
Ph-2 kromosom. Adapun kriteria tahap blas, antara lain:

Demam 5 hari tanpa adanya penyebab yang jelas

Darah tepi: mieloblas dan promielosit >30%

Hb <10,5 gr%, leukosit >30.000/mm3, trombosit <100.000/mm3

Page | 15

Sumsum tulang: mieloblas dan promielosit 30. Pada 20% kasus, sel blas
adalah limfoblas

Diagnosis klinis LGK fase krisis blas menurut WHO, antara lain:

Blas >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti

Proliferasi blas ekstramedular

Focus besar atau cluster sel blas dalam biopsy sumsum tulang

Penatalaksanaan
Secara umum tujuan terapi penderita LGK pada fase kronik adalah menghilangkan
gejala klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu
hilangnya Ph+ klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan
konvensional. Walaupun demikian, dengan teknik transplantasi sumsum tulang, kesembuhan
tersebut memungkinkan, tujuan terapi LGK pada fase akselerasi dan blas adalah
mengembalikan ke fase kronik.
Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun
kebanyakan kasus jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat
tunggal tersebut akan terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi
menjadi normal tetapi hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph+ di sumsum tulang tetap
terjadi. Untuk menurunkan kadar asam urat serum, allopurinol dapat diberikan. Transfusi
trombosit dan eritrosit perlu dilakukan bila terdapat anemia dan trombositopenia yang berat.
Hydroxyurea
Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada LGK. Hidroksiurea
lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif masih
berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti
busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru.
Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Bila
leukosit >300.000, dosis boleh ditingkatkan sampai maksimal 2,5g/hari. Penggunaan
dihentikan sementara bila leukosit <8.000 atau trombosit <100.000. Interaksi obat dapat
terjadi

bila

digunakan

bersamaan

dengan

5-Fluorourasil

(5-FU),

menyebabkan

neurotoksisitas. Selama menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan terhadap Hb,
leukosit, trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar.
Page | 16

Busulfan
Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari peroral, dapat
ditingkatkan hingga 12mg/hari. Pemakaian dihentikan bila leukosit antara 10.000 20.000,
dan dimulai kembali setelah leukosit >50.000. bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya
pemberian busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.
Obat ini tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat dengan asetaminofen,
siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan
menurunkan efeknya. Efek samping busulfan adalah fibrosis paru dan supresi sumsum tulang
yang berkepanjangan.
Imatinib mesylate
Merupakan antibody monoclonal yang dibuat sebagai inhibitor spesifik dari protein
gabungan BCR-ABL1 untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dengan cara bersaing pada
ikatan ATP. Imatinib merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan LGK fase kronis.
Dosis 400mg/hari diberikan setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila
tidak mencapai respon hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon
yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yaitu Hb menjadi rendah dan/atau
leukosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan
apabila terjadi neutropeni berat (<500/mm3) atau trombositopeni berat (<50.000/mm3) atau
peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat
diberikan langsung 800mg/hari (400mg b.i.d). Imatinib tidak dapat diberikan pada wanita
hamil. Efek samping berupa reaksi hipersensitivitas dapat timbul, walaupun sangat jarang.
Interaksi obat dengan ketokonazol, simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek
imatinib mesilat.
Imatinib sangat efektif dalam menurunkan jumlah sel tumor di sumsum tulang dan
harus dipantau dengan pemeriksaan kariotip sumsum tulang bersama dengan pemeriksaan
PCR terhadap adanya transkripsi BCR-ABL di sumsum tulang atau darah tepi. Penilaian
terhadap respon diawali dengan penilaian sumsum tulang secara teratur 3 6 bulan untuk
menilai sitogenik metaphase. Respon sitogenik sempurna atau CCyR (complete cytogenetic
response) ditentukan berdasarkan tidak terdapatnya metaphase Ph-positif di sumsum tulang,
dan apabila CCyR tercapai, maka pemantauan dilanjutkan dengan perhitungan BCR-ABL

Page | 17

dalam darah pada rentang waktu tertentu. Respons optimal LGK terhadap imatinib adalah
sebagai berikut:3

Respon hematologi komplit (hitung darah tepi normal) dan setidaknya terdapat respon
sitogenetik minimal (cytogenetic response/CyR) (Ph+ <95%) dalam 3 bulan

Setidaknya terdapat parsial CyR (Ph+ <35%) dalam 6 bulan

Komplit CyR dalam 12 bulan

Respons molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3log pada transkripsi BCRABL dalam 18 bulan (misalnya mencapai 0,1% atau lebih sedikit dari kadar sebelum
pengobatan)

Definisi gagal respons, antara lain:

Respon hematologi tidak komplit dalam 3 bulan

Tidak terdapat CyR (Ph+ >95%) dalam 6 bulan

Kurang dari parsial CyR (Ph+ >35%) dalam 12 bulan

Kurang dari CyR lengkap dalam 18 bulan

Kehilangan respon komplit yang sebelumnya pernah dicapai baik hematologi atau
sitogenetik.

Kondisi selain kondisi tersebut, didefinisikan sebagai respon suboptimal.


Pasien dengan respon optimal tetap melanjutkan imatinib, sedangkan pasien yang
gagal akan diobati dengan generasi kedua penghambat tirosin kinase atau transplantasi
sumsum tulang. Pasien dengan respon suboptimal dapat diobati dengan meningkatkan dosis
imatinib mencapai 600 atau 800mg/hari, perubahan dalam terapi penghambat tirosin kinase,
atau transplantasi sel punca alogenik lebih awal.
Mekanisme resistensi penyakit terhadap pengobatan imatinib adalah terjadi mutasi
dalam protein gabungan BCR-ABL. Mutasi ini dapat dideteksi dengan mengurutkan gen
BCR-ABL dan pemeriksaan ini dilakukan pada banyak rumah sakit terhadap pasien yang
gagal berespon baik terhadap imatinib. Pola mutasi dapat digunakan untuk menentukan arah
pengobatan untuk memilih terapi lini kedua.
Jika transkripsi BCR-ABL pasien menjadi negatif, maka imatinib tidak dilanjutkan,
beberapa pasien tetap menjadi negatif. Untuk pasien yang menjadi positif kembali, lanjutan
imatinib biasanya akan menjadikan remisi negatif lebih lanjut. Imatinib dan beberapa obat
Page | 18

sejenis dalam perkembangannya sangat mungkin untuk dapat menyembuhkan beberapa


pasien LGK, tetapi dalam hal ini akan memerlukan pemantauan klinis lebih lama dari pada
waktu seharusnya.
Dasatinib dan Nilotinib
Dasatinib merupakan penghambat multikinase luas yang efektif pada kasus yang
BCR-ABL telah mengalami mutasi yang menyebabkan resisten terhadap imatinib. Obat ini
secara luas digunakan pada kasus tersebut meskipun retensi cairan dapat menjadi efek
samping yang bermasalah. Nilotinib memiliki mekanisme kerja mirip dengan imatinib,
namun memiliki afinitas tinggi terhadap BCR-ABL kinase dan dapat efektif untuk kasus
dengan mutasi resisten imatinib. Baik nilotinib maupun dasatinib sekarang telah diuji banding
dengan imatinib sebagai lini pertama pengobatan LGK dan hasilnya, ternyata obat ini lebih
unggul.
Interferon -2a atau Interferon
Berbeda dengan imatinib, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis
walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai
tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. berdasarkan data penelitian di
Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia
sediaan pegilasi interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap
hari.
Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian
interferon untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flue-like syndrome.
Komplikasi lebih serius adalah anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien dapat
mencapai remisi jangka panjang dengan tidak adanya kromosom Ph pada pemeriksaan
sitogenetik meskipun gabungan BCR-ABL masih dapat terdeteksi dengan PCR. Interferon
menyebabkan perpanjangan fase kronik dengan peningkatan angka harapan hidup.
Interaksi obat dengan teofilin, simetidin, vinblastin, dan zidovudin dapat
meningkatkan efek toksik interferon. Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan
faal hepar dan renal yang berat, serta pada pasien epilepsi.
Cangkok sumsum tulang

Page | 19

Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa transplantasi


sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok
sumsum tulang alogenik. Indikasi cangkok tulang, antara lain:1
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun
2. Ada donor yang cocok, yaitu donor dengan HLA yang cocok dan tidak berelasi
dengan penerima
3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal
Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCRABL negatif. Kekambuhan LGK setelah transplantasi merupakan masalah serius, namun
infus leukosit memiliki efektivitas tinggi pada LGK, khususnya bila kekambuhan didiagnosis
dini dengan pemeriksaan transkripsi BCR-ABL.3

Komplikasi
Transformasi akut (20% atau lebih blas di sumsum tulang) dapat terjadi cepat dalam
beberapa hari atau minggu. Pada umumnya, pasien mempunyai fase akselerasi bersama
dengan anemia, trombositopenia, dan peningkatan basofil, eosinofil, atau sel blas di darah
tepi dan sumsum tulang. Limpa dapat membesar meskipun hitung darah tepi terkontrol dan
sumsum tulang dapat menjadi fibrosis. Pasien dapat berada dalam fase ini selama beberapa
bulan, fase penyakit yang lebih mudah dikontrol daripada saat fase kronik. Pada kedua fase,
akselerasi maupun akut, abnormalitas kromosom baru sering muncul. Pada sekitar seperlima
kasus, transformasi akut menjadi limfoblastik.
Pada sebagian besar kasus, transformasi yang terjadi adalah menjadi leukemia
myeloid akut (LMA) atau tipe campuran. Tipe tersebut lebih sulit untuk diobati dan
ketahanan hidup jarang melebihi beberapa bulan. Imatinib sangat berguna dalam transformasi
blastik, tetapi resistensi terhadap pengobatan biasa terjadi dalam beberapa minggu.
Masalah metabolik dapat terjadi akibat cepatnya sitolisis yang akan mengakibatkan
terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan asam-basa dan bisa berakhir pada renal failure.
Peningkatan ekstrim dari leukosit dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada
beberapa organ, khususnya otak, paru, retina, dan penis. Perbandingan leukosit dan eritrosit
yang tidak seimbang menyebabkan peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi

Page | 20

leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan dengan leukosit
lain.
Pada suatu fase LGK di mana terjadi trombositosis, risiko terjadinya clotting yang
berlebihan (excess clotting) menjadi meningkat. Trombositopoesis yang tidak terkendali akan
menghasilkan trombosit dalam jumlah besar yang berpotensi membentuk bekuan dalam
jumlah besar pula. Bekuan yang terbentuk dapat menjadi thrombus yang menyumbat
pembuluh darah, terutama kapiler, sehingga besar kemungkinan untuk terjadi infark jaringan.
Aktivitas hematopoesis extramedular yang berlebihan menyebabkan akumulasi
produk sel darah dalam jumlah yang sangat besar pada limpa dan hati, sehingga timbul
splenohepatomegali. Jika limpa dan hati sudah tidak lagi memiliki kapasitas untuk
menampung produk hematopoesis, dapat terjadi ruptur hepar atau ruptur limpa.Pasien LGK
rentan terkena berbagai macam infeksi karena leukosit yang diproduksi adalah sel abnormal,
tidak menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Selain itu, pengobatan LGK juga dapat
menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun tidak efektif.
Leukemia meningeal pada LGK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang
dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan
hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralisis saraf pusat dan oedem
papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukanna sel blas pada cairan serebrospinal.
Gagal sumsum tulang atau bone marrow failure dapat terjadi khususnya oleh karena
penurunan produksi sel darah merah dan trombosit, yaitu berupa:

Lemah, sesak nafas, takikardi karena hipoksia yang disebabkan oleh anemia
berat. Anemia berat dapat berakhir pada heart failure oleh karena takikardi
yang persisten.

Perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.

LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan


produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Saat ini, dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan
hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
Page | 21

kombinasi hidrourea dan interferon, median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun.
Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih
berlangsung.1
Faktor faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain:1

Pasien: lanjut usia, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan BB, demam, dan keringat malam.

Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,


eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.

Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi,


memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

Hasil klinis pasien LGK bervariasi. Pada era pra-imatinib, kematian diperkirakan pada
10% pasien dalam 2 tahun dan sekitar 20% dalam lebih dari 2 tahun, serta median
kelangsungan hidup 4 tahun. Oleh karena itu, dikembangkan beberapa model prognostik.
yang mengidentifikasi kelompok risiko yang berbeda pada LGK. Prognostik yang paling
banyak digunakan adalah sistem staging yang berasal dari analisa multivariasi faktor
prognostik.5

Pencegahan
Tidak ada pencegahan spesifik pada LGK mengingat leukemia merupakan salah satu
penyakit yang disebabkan oleh mutasi genetik atau suatu proses degenerasi. Upaya yang
dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya mutasi genetik lebih dini. Menerapkan gaya
hidup sehat dan proteksi diri terhadap bahan-bahan karsinogenik merupakan cara terbaik.

Penutup
Kesimpulan
Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang bersifat
kronik dengan peningkatan sebagian besar myeloid sel di sumsum tulang oleh karena
terjadinya resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan cirri khas
adanya kromosom Philadelphia. Perjalanan penyakit LGK dibagi dalam 3 fase yang
Page | 22

digunakan dalam penentuan terapi, yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kromosom Ph pada pemeriksaan
kromosom. Pada fase akselerasi, bisa ditemukan adanya abnormalitas kromosom lain selain
Ph.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. ed 4. Jakarta: FKUI; 2006.
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC;
2007.
3. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. ed 6. Jakarta: EGC; 2013.
4. Kiswari R. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014.
Page | 23

5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine volume 1. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.
6. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. ed 11.
Jakarta: EGC; 2004.
7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: FK Ukrida; 2009.

Page | 24

You might also like