Professional Documents
Culture Documents
Disusun
Oleh:
Michelle H - 07120110086
Pembimbing:
dr. Alexander, spAn
Daftar isi
BAB I
LAPORAN KASUS
1. Identitas pasien
Nama
: Nn. RA
Umur
: 17 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
Agama
: Islam
: Adenotonsilitis kronik
Jenis pembedahan
: Adenotonsilitis kronik
Jenis anestesi
: General Anestesi
Tanggal masuk
: 26 Juni 2016
Tanggal Operasi
: 27 Juni 2016
No.Rekam Medis
: RSUS 00-70-09-**
2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 28 Juni 2016 di bangsal
RSU Siloam
2.1 Keluhan utama : Nyeri menelan sejak 1 bulan SMRS
2.2 Riwayat penyakit sekarang :
Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluh sering nyeri menelan yang hilang timbul.
Nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh
perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh
sering demam dan batuk. Ibu pasien mengatakan pasien mengorok saat tidur. Pasien
tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada kurang pendengaran dan tidak ada
sakit kepala.
2.3 Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sudah berobat ke poli THT 1 bulan yang lalu dan telah direncanakan untuk
dilakukan operasi pengangkatan tonsil. Namun operasi batal karena asma pasien
kambuh pada hari operasi. Terakhir asma pasien kambuh adalah 1 minggu SMRS.
Pasien menyatakan bahwa asma nya biasa kambuh jika kelelahan, terpapar debu, atau
pada udara dingin.
2.3 Riwayat penyakit keluarga :
Di keluarga tidak ada penyakit yang serupa
2.4 RIwayat operasi dan pengobatan :
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit ataupun menjalani operasi. Pasien
mengaku menggunakan inhaler saat asma nya kambuh.
2.5 Riwayat alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan.
3. Pemeriksaan fisik
Dilakukan tanggal 27 Juni 2016 di bangsal RSU Siloam
GCS
: E4V5M6 = 15
: 82 x/menit
Suhu
: 36,8C
Pernafasan
: 18 x/menit
Kulit
b.
Kepala
c.
Mata
d.
Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi
tiroid.
Teraba
pembesaran
limfonodi
submandibula.
e.
Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi :
Tampak
dextra
iii. Batas bawah kiri
: ICS V garis
midclavikula sinistra
iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna
dextra
d)
2) Paru
a) Inspeksi :
dan
dinamis
serta
tidak
ditemukan
kiri
dan
tidak
terdapat
ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada
kedua pulmo. Tidak terdengar suara
f.
wheezing
Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi :
Perut datar, simetris, tidak terdapat
b) Auskultasi :
c) Perkusi
:
d) Palpasi
k.
Supel,
tidak
terdapat
nyeri
tekan.
Bibir
Mulut
Geligi
Ginggiva
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine
Ukuran
Warna
Permukaan
Kripte
Detritus
Peri Tonsil
Fossa Tonsillaris
Result
Biochemistry
Full BloodUreum
Count
Reference Range
14.0
<71
Creatinine
Hemoglobin
13.00
GFR
0.55
11.70-15.50
154.8
Hematocrit
37.20
Electrolyte
Erythrocyte
4.30
Na
35.00-47.00
3.80-5.20
138
137-145
K cell
White blood
6.36
Cl
Differential Count
3.9
3.60-11.00
104
3.6-5.0
Basophil
0-1
0.5-1.1
> 60
mL/mnt/1.73 m2
4.2
98-107
Foto thorax PA
Eosinophil
1-3
Band Neutrophil
2-6
Kedua
Segment Neutrophil 43
50-70
sinus
costophrenicus,
diafragma
normal
Lymphocyte
41
25-40
Monocyte
2-8
Aorta: Baik
Platelet count
217.00
150.00-440.00
Hilus,
ESR
0-20
PT
10.20
9.4 11.3
APTT
37.90
31.00-47.00
peura,
mediastinum
baik
Pulmo: Corakan
bronkovaskular
paru normal, tak
5. Resume
Pasien seorang perempuan berumur 17 tahun datang ke poli THT RSU Siloam dengan
keluhan nyeri menelan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri menelan hilang timbul dan
dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak
di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh nyeri menelan
disertai dengan sering demam dan batuk. Ibu pasien mengatakan pasien mengorok
saat tidur. Pasien sudah berobat ke poli THT 1 bulan yang lalu dan telah direncanakan
untuk dilakukan operasi pengangkatan tonsil. Namun operasi batal karena asma
pasien kambuh pada hari operasi. Terakhir asma pasien kambuh adalah 1 minggu
SMRS. Pasien menyatakan bahwa asma nya biasa kambuh jika kelelahan, terpapar
debu, atau pada udara dingin. Pasien mengaku menggunakan inhaler saat asma nya
kambuh.
6. Diagnosis
Adenotonsilitis kronik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pendahuluan
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel, hal ini
menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus. Perubahan jaringan pada asma
tanpa komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri spasme otot polos, edema paruparu, infiltrasi sel-sel radang dan hipersekresi mukus yang kental. Mobilisasi sekret
pada lumen dihambat oleh penyempitan dari saluran napas dan pengelupasan sel-sel
epitel bersilia, yang dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus.1
Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing,
dan sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara lain:
substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia. Stimulasi
psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID( seperti
aspirin, ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh karena virus.2
Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma ekstrinsik
(asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik).
Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik
dipicu oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi,
iritasi saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.
Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan
prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang. Meskipun
angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai dampak yang
cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan sehingga mengganggu
aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.11
Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang
mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan
pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang resiko
yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan pasien yang
normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif yang memadai untuk
mencegah komplikasi tersebut.
2. Sistem respirasi
Respirasi adalah pertukaran gas antara mahluk hidup dengan lingkungan
sekitarnya. Pada serangga oxigen dibawa langsung ke sel-sel melalui suatu sistem
percabangan trachea yang cukup efisien.padakatak respirasi terjadi 50% melalui kulit,
dan sisanya melalui sistem sirkulasi pulmonal. Pertukaran gas pada manusia melalui
sistem sirkulasi pulmonal yang kompleks, dimana oksigen didistribusikan dan CO2
dikeluarkan dari seluruh sel-sel tubuh.
Respirasi pada manusia dibagi menjadi respirasi eksternal dan respirasi
internal. Respirasi eksternal adalah pertukaran gas antara darah dan udara di
lingkungan sekitar, terbagi dalam empat proses :
1.
Ventilasi : Pergerakan massa udara dari luar ke dalam alveoli dan distribusinya
di dalam alveoli.
2.
Mixing
3.
Diffusi
4.
Respirasi internal adalah pertukaran gas antara darah dan jaringan, terdiri dari empat
proses :
1.
2.
Distribusi kapiler
3.
4.
Pada diskusi ini akan dibahas mengenai respirasi eksterna. Pada dasarnya, ventilasi
bervariasi berdasarkan metabolisme individu dan reaksi kimia di darah. Ventilasi yang
efisien tergantung pada :
1.
Struktur normal
2.
3.
4.
Integrasi neuromuskuler
A.
Sistem pulmonal memiliki dua bagian secara anatomis dengan fungsi berbeda, yaitu :
1.
Saluran nafas mulai dari hidung dan mulut, pharink, larynx, trachea, bronkus,
hingga bronchiolus.
2.
Total kapasitas udara paru-paru mendekati 5000ml (5L), atau kurang lebih 70
ml/KgBB. Dengan menggunakan alat perekam volume sederhana dan spirometer,
dapat ditentukan pembagian dari udara paru-paru.
1.
Volume paru-paru
A.
Volume tidal
Adalah jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan pada kondisi biasa, pada dewasa
mendekati 500ml saat istirahat. Volume tidal dapat menggunakan + 6,0-7,5 ml/KgBB.
Pada neonatal aterm digunakan 6,0 ml/KgBB, setelah usia sebulan digunakan 7,0
ml/KgBB, dan pada dewasa digunakan 7,5 ml/KgBB.
1.
Adalah maksimal volume udara yang masih dapat di hirup setelah inspirasi normal,
jumlahnya mendekati 40-50% dari kapasitas total paru-paru, atau sekitar 2000-3000
ml pada dewasa dengan BB 70 Kg. Pada dewasa muda sekitar 3000-3500 ml, pada
>50 tahun 2500 ml.
2. Volume cadangan ekspirasi
Adalah maksimal volume udara yang masih dapat dikeluarkan setelah ekspirasi
normal. Volumenya mendekati 20% dari kapasitas total paru-paru, atau mendekati
1000-1200 ml.
3. Volume residual
Adalah volume udara yang masih tetap berada di paru-paru walaupun telah ekspirasi
maksimal. Jumlahnya sekitar 20% dari kapasitas total paru-paru, atau 1200 ml.
besarnya volume bervariasi seiring dengan usia, pada 20-30 tahun sekitar 1300 ml,
pada 30-40 tahun sekitar 1500 ml, pada 40-60 tahun sekitar 2000 ml, pada usia lebih
tua dapat mencapai 2400 ml. Hal ini tidak dapat diukur dengan spirogram, namun
dapat ditentukan secara tidak langsung. Terdapat 2 metode : sirkuit terbuka dan sirkuit
tertutup. Pada sirkuit terbuka, semua nitrogen dalam paru ( + 80% volume) di
keluarkan dengan cara inspirasi oksigen dan ekspirasi ke dalam spirometer. Volume
gas ekspirasi diukur dan kadar nitrogen diukur.
Pada sirkuit tertutup, digunakan helium yang telah diketahui volume dan
konsentrasinya ( 10% ), di inspirasi dari reservoar. Perubahan persentase dalam
reservoar digunakan untuk menghitung kapasitas paru.
1.
Kapasitas paru-paru
Kapasitas inspiratoar
Adalah volume maksimal udara yang dapat di inspirasi setelah ekspirasi normal,
merupakan kombinasi volume tidal dan volume cadangan inspirasi.
2. Kapasitas vital (VC)
Adalah total volume udara yang dapat diinspirasi setelah ekspirasi maksimal,
merupakan kombinasi dari volume cadangan inspirasi, volume tidal, dan volume
cadangan ekspirasi.
3. Kapasitas residual fungsional (FRC)
Adalah volume udara yang masih terdapat di dalam paru-paru setelah ekspirasi
normal, merupakan kombinasi dari volume residual dan volume cadangan ekspirasi.
Volumenya mendekati 2500 ml. FRC menurun pada posisi supine bila dibandingkan
pada posisi duduk, karena perubahan posisi diaphragma. FRC juga biasanya menurun
pada narkose umum hingga 0,5 ml.
2.
Definisi asma
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi,
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik
terhadap berbagai rangsangan.8
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan
kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal
ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak, sesak
napas, dan tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabangcabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat
bronkospasme. 15
3.
Patofisiologi asma
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas
dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis.
Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun
spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi
yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan
degranulasi, bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya :
bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG),
PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik. 2 Sedikitnya
ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam
produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2,
IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam
asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16.
bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell
mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan
MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting
cell yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam
sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan pada
epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel
limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivitas sel
epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik
berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh
sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell
(APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT nave-Th0 menuju
Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster
kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 8
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan
bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor,
saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak
kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat
hambatan partial pada reseptor adrenergik pada penderita asma yang khas ini.
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus
yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis
adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik.
Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran
napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan
hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada
diding saluran respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah
akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris
seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia.
Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal
bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh
peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang
terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih
rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih
besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer.
Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi
pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru
rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini
sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan
gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan
RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi
menurut
berat-ringannya
asma
yang
sangat
penting
dalam
penatalaksanaannya. Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma
saat serangan (akut).
5.
Pembagian asma
Intermitten
2.
Persisten ringan
3.
Persisten sedang
4.
Persisten berat
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa
A. Evaluasi Preoperatif
% FEV/FVC
Normal
80-100
Asma Ringan
75-79
Asma Sedang
50-74
Asma Berat
35-49
Status Asmatikus
6. Pemeriksaan Analisa gas darah
<35
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk
dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang
berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang
batuknya sangat lemah.3
B. Pengelolaan Preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi
yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan
napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah
empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator
yang
berisi
-adenergik
agonis,
dosis
terapi
teopilin
dan
kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu
dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.5
1. Manajemen Asma
Preparat yang digunakan untuk asma sebagai berikut :
1. Sympathomimetik atau agonis agen, menyebabkan brokodilator melalui
Cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaxasi otot polos
bronkus.
Obat-obat
ini
juga
menghambat
antihistamin
dan
juga
neurotransmiter kolinergik.
2. Selektif -adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini
merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs
atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Salmeterol(serevent)
puff
dengan
MDI
setiap
12
jam
dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi bloker hendaknya bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti
atenolol atsumetropolol atau esmolol.3
3. Campuran
dan
adrenergik
termasuk
epinefrine
(Adrenalin),
Teofilin
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Teofilin, sebagai bronkodilator, memiliki 2 mekanisme aksi utama di
paru yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulan yang terdapat pada
jalan nafas (suppression of airway stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum
diketahui secara pasti. Diduga efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya
penghambatan 2 isoenzim yaitu phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan
efek selain bronkodilasi berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin
juga dapat meningkatkan kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca
melalui Adenosin-mediated Chanels
2)
Aminofilin
Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan bronkitis
kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari
Teofilin dan etilendiamin. Teofilin sebagai z.a untuk antiasma. Etilendiamin
digunakan agar terbentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Bentuk
pemberian adalah injeksi iv yang digunakan dalam wadah dosis tunggal ampul. Tidak
perlu ditambahkan pengawet karena sediaan dalam wadah dosis tunggal. Sterilisasi
akhir dengan autoklaf karena za tetap stabil pada pemanasan tinggi. Pemberian
aminofilin dengan cara :
a)
awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
b) Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
separuhnya.
c)
Pengunaan aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia < 12 tahun. Obatobat yang dapat meningkatkan kadar Teofilin: Propanolol, Allopurinol (>600mg/day),
Erythromycin, Cimetidin, Troleandomycin, Ciprofloxacin (golongan Quinolon yang
lain), kontrasepsi oral, Beta-Blocker, Calcium Channel Blocker, Kortikosteroid,
Disulfiram,
Efedrin,
Vaksin
Influenza,
Interferon,
Makrolida,
Mexiletine,
2)
3)
4)
5)
Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping oleh
karena
itu
dianjurkan
pemberian
melalui
inhalasi
(misalnya
budesonide,
beclometason) digunakan dengan dosis maximal 2000 mcg, sangat efektif dalam
mengendalikan
gejala
asma
dan
mengendalikan
ekserbasi .4Bila
pemberian
kortikosteroid secara inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma maka dianjurkan
pemberian parenteral. Koortikosteroid yang biasa digunakan parenteral adalah 1-2
mg/kgBB Hydrocortyson atau100mg IV per 8 jam dan methylprednisolon 40-80 mg
IV per 4-6 jam atau 0,8 mg/kgBB.3
Sodium Cromolyn dan sodium nedokromil adalah preparat inhalasi yang
digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi
membrane mast sel dan anti inflamasi.
Mucolytics
1)
2)
3)
melalui nebulizer
Recombinant deoxyribonukleaese(Dnase atau pulmozyme) 10 sampai 40 mg
perhari dengan inhaler. Digunakan pada pasien dengan fibrosis cystic untuk
4)
2. Premedikasi7
1.
2.
3.
4.
tanpa
hambatan
dengan
blokade
H2
dapat
menimbulkan
bronkokonstriksi.2
5.
pembedahan
selesai,
pasien
yang
mendapatkan
terapi
lama
6.
Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10
6.
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus
atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar,
mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan
kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk
mengendalian nyeri postoperatif.
A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi
atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat
memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas
bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi
tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi
adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan
perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor
penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien
tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak
terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin,
meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan
dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan
dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi
yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi dan
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan berpengaruh
pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi
otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan
gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan
desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi
harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas.
Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta
sifatnya tidak iritasi di jalan napas.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi
kadang-kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat
stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat menghambat
ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya
karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif. Ketamin dan propofol
dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme
utama penekanan neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway.
Dari hasil suatu penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi
bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol. 16 Propofol dengan
dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding
dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat
dan akhit cepat pula.16Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesik
penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari
gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika
tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari
kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena
anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat
menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta
adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit
napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan
pembacaan massa spectrometer).2 Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose
inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma
sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg)
atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan
aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan
0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan
ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal,
kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan
waktu ekshalasi yang panjang.9
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat
mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada
beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat
menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa
bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh
karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan
konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal
ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan
partial oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas
otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu
terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis
sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas
normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain
bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt
dapat menekan reflek jalan napas.2
7.
Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi
sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui
nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid
Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13
1.
2.
Kocok inhaler
3.
4.
5.
Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam
3-5 detik
6.
Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai
paru-paru
7.
8.
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan naps selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok
neuromuskular
nondepolarising
dengan
antikolinesterase
tidak
menimbulkan
paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure
(CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.
Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika
8.
9.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal.
2.
3.
Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan
sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala -gejala asma sudah minimal.
4.
5.
6.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.
3.
4.
Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39.
5.
6.
7.
8.
9.
16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000
; 161:1720-45.