You are on page 1of 32

LAPORAN KASUS

Disusun

Oleh:
Michelle H - 07120110086

Pembimbing:
dr. Alexander, spAn

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Daftar isi

BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien
Nama

: Nn. RA

Umur

: 17 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jln Solo, Tangerang

Agama

: Islam

Diagnosis pre operasi

: Adenotonsilitis kronik

Jenis pembedahan

: Adenotonsilitis kronik

Jenis anestesi

: General Anestesi

Tanggal masuk

: 26 Juni 2016

Tanggal Operasi

: 27 Juni 2016

No.Rekam Medis

: RSUS 00-70-09-**

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 28 Juni 2016 di bangsal
RSU Siloam
2.1 Keluhan utama : Nyeri menelan sejak 1 bulan SMRS
2.2 Riwayat penyakit sekarang :
Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluh sering nyeri menelan yang hilang timbul.
Nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh
perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh
sering demam dan batuk. Ibu pasien mengatakan pasien mengorok saat tidur. Pasien
tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada kurang pendengaran dan tidak ada
sakit kepala.
2.3 Riwayat penyakit dahulu :

Pasien sudah berobat ke poli THT 1 bulan yang lalu dan telah direncanakan untuk
dilakukan operasi pengangkatan tonsil. Namun operasi batal karena asma pasien
kambuh pada hari operasi. Terakhir asma pasien kambuh adalah 1 minggu SMRS.
Pasien menyatakan bahwa asma nya biasa kambuh jika kelelahan, terpapar debu, atau
pada udara dingin.
2.3 Riwayat penyakit keluarga :
Di keluarga tidak ada penyakit yang serupa
2.4 RIwayat operasi dan pengobatan :
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit ataupun menjalani operasi. Pasien
mengaku menggunakan inhaler saat asma nya kambuh.
2.5 Riwayat alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan.
3. Pemeriksaan fisik
Dilakukan tanggal 27 Juni 2016 di bangsal RSU Siloam
GCS

: E4V5M6 = 15

3.1 Tanda vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg


Nadi

: 82 x/menit

Suhu

: 36,8C

Pernafasan

: 18 x/menit

3.2 Status generalis


a.

Kulit

: Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,


turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik
dan teraba hangat.

b.

Kepala

: Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,


distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

c.

Mata

: Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d.

Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi

: Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran


kelenjar

tiroid.

Teraba

pembesaran

limfonodi

submandibula.
e.

Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi :

Tampak

ictus cordis 2cm dibawah

papila mamae sinistra


b) Palpasi
: Ictus cordis teraba kuat
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri
: ICS II garis
parasternal sinsitra
ii. Batas atas kanan

: ICS II garis parasternal

dextra
iii. Batas bawah kiri

: ICS V garis

midclavikula sinistra
iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna
dextra
d)

Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan


murmur.

2) Paru
a) Inspeksi :

Dinding dada simetris pada saat statis

dan

dinamis

serta

tidak

ditemukan

retraksi dan ketertinggalan gerak.


b) Palpasi: Simetris, vokal fremitus kanan sama
dengan

kiri

dan

tidak

terdapat

ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada
kedua pulmo. Tidak terdengar suara
f.

wheezing
Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi :
Perut datar, simetris, tidak terdapat
b) Auskultasi :
c) Perkusi
:

jejas dan massa


Terdengar suara bising usus
Timpani

d) Palpasi
k.

Supel,

tidak

terdapat

nyeri

tekan.

Hepar dan lien tidak teraba.


Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan
sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat

3.3 Status lokalis


Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir
Mulut
Geligi
Ginggiva
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine
Ukuran
Warna
Permukaan
Kripte
Detritus
Peri Tonsil
Fossa Tonsillaris

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Warna kuning gading, caries (-), gangren(-)
Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal
Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-)
Ulkus (-), hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)
Kanan
Kiri
T3
T3
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)
Tidak rata
Tidak rata
Melebar
Melebar
(+)
(+)
Abses (-)
Abses (-)
hiperemi (+)
hiperemi (+)

dan Arkus Faringeus


4. Pemeriksaan penunjang
4.1 Laboratorium (27/06/2016)

Result
Biochemistry
Full BloodUreum
Count

Reference Range
14.0

<71

Creatinine
Hemoglobin
13.00
GFR

0.55
11.70-15.50
154.8

Hematocrit
37.20
Electrolyte
Erythrocyte
4.30
Na

35.00-47.00
3.80-5.20
138

137-145

K cell
White blood
6.36
Cl
Differential Count

3.9
3.60-11.00
104

3.6-5.0

Basophil

0-1

0.5-1.1
> 60
mL/mnt/1.73 m2

4.2

98-107

Foto thorax PA
Eosinophil

1-3

Band Neutrophil

2-6

Kedua

Segment Neutrophil 43

50-70

sinus

costophrenicus,
diafragma
normal

Lymphocyte

41

25-40

Cor: CTR <50%

Monocyte

2-8

Aorta: Baik

Platelet count

217.00

150.00-440.00

Hilus,

ESR

0-20

PT

10.20

9.4 11.3

APTT

37.90

31.00-47.00

peura,

mediastinum
baik
Pulmo: Corakan
bronkovaskular
paru normal, tak

tampak infiltrat kedua parenkim baru

Tulang-tulang, jaringan lunak baik

Kesan: Cor dan Pulmo tak tampak kelainan

5. Resume
Pasien seorang perempuan berumur 17 tahun datang ke poli THT RSU Siloam dengan
keluhan nyeri menelan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri menelan hilang timbul dan
dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak
di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh nyeri menelan
disertai dengan sering demam dan batuk. Ibu pasien mengatakan pasien mengorok
saat tidur. Pasien sudah berobat ke poli THT 1 bulan yang lalu dan telah direncanakan
untuk dilakukan operasi pengangkatan tonsil. Namun operasi batal karena asma
pasien kambuh pada hari operasi. Terakhir asma pasien kambuh adalah 1 minggu
SMRS. Pasien menyatakan bahwa asma nya biasa kambuh jika kelelahan, terpapar
debu, atau pada udara dingin. Pasien mengaku menggunakan inhaler saat asma nya
kambuh.
6. Diagnosis
Adenotonsilitis kronik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pendahuluan
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel, hal ini
menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus. Perubahan jaringan pada asma
tanpa komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri spasme otot polos, edema paruparu, infiltrasi sel-sel radang dan hipersekresi mukus yang kental. Mobilisasi sekret
pada lumen dihambat oleh penyempitan dari saluran napas dan pengelupasan sel-sel
epitel bersilia, yang dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus.1
Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing,
dan sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara lain:
substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia. Stimulasi
psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID( seperti
aspirin, ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh karena virus.2
Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma ekstrinsik
(asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik).
Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik
dipicu oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi,
iritasi saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.
Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan
prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang. Meskipun
angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai dampak yang
cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan sehingga mengganggu
aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.11
Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang
mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan
pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang resiko
yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan pasien yang
normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif yang memadai untuk
mencegah komplikasi tersebut.

2. Sistem respirasi
Respirasi adalah pertukaran gas antara mahluk hidup dengan lingkungan
sekitarnya. Pada serangga oxigen dibawa langsung ke sel-sel melalui suatu sistem
percabangan trachea yang cukup efisien.padakatak respirasi terjadi 50% melalui kulit,
dan sisanya melalui sistem sirkulasi pulmonal. Pertukaran gas pada manusia melalui
sistem sirkulasi pulmonal yang kompleks, dimana oksigen didistribusikan dan CO2
dikeluarkan dari seluruh sel-sel tubuh.
Respirasi pada manusia dibagi menjadi respirasi eksternal dan respirasi
internal. Respirasi eksternal adalah pertukaran gas antara darah dan udara di
lingkungan sekitar, terbagi dalam empat proses :
1.

Ventilasi : Pergerakan massa udara dari luar ke dalam alveoli dan distribusinya
di dalam alveoli.

2.

Mixing

: Distribusi intrapulmonal molekul gas (alveolar)

3.

Diffusi

: Proses masuknya gas melewati membran alveoli-kapiler.

4.

Perfusi alveolar-sirkulasi kapiler : pengambilan gas oleh aliran darah pulmonal

Respirasi internal adalah pertukaran gas antara darah dan jaringan, terdiri dari empat
proses :
1.

Sirkulasi arteri dalam menghantarkan darah yang mengandung oksigen.

2.

Distribusi kapiler

3.

Difusi : Proses masuknya gas ke dalam ruang interstitial dan melewati


melewati membran sel.

4.

Metabolisme seluler melibatkan enzim respirasi.

Pada diskusi ini akan dibahas mengenai respirasi eksterna. Pada dasarnya, ventilasi
bervariasi berdasarkan metabolisme individu dan reaksi kimia di darah. Ventilasi yang
efisien tergantung pada :
1.

Struktur normal

2.

Koordinasi kerja otot

3.

Perbedaan tekanan gas

4.

Integrasi neuromuskuler

A.

Anatomi Sistem Respirasi

Sistem pulmonal memiliki dua bagian secara anatomis dengan fungsi berbeda, yaitu :

1.

Saluran nafas mulai dari hidung dan mulut, pharink, larynx, trachea, bronkus,
hingga bronchiolus.

2.

Pars respiratoar, terdiri dari bronchiolus respiratorik, duktus alveolaris, saccus


alveolaris, dan alveoli.

Mesoderm dari cabang bronchiolus berkembang membentuk pars respiratorik dari


paru. Luas permukaan alveoli keseluruhan mendekati 55 m2 pada dewasa, 25 kali
lebih besar dari luas permukaan kulit. Alveoli memiliki jaringan dan percabangan
kapiler yang padat, hingga saturasi oksigen 100% dapat tercapai di sini. Anatomi
pulmonal di sisni sangat penting bagi anestesiolog, seperti jarak dari bibir ke larynk
12 cm, puncak kartilago thyroid ke dasar cricoid 4-5 cm, larynk ke carina 12-13 cm,
diameter trachea dewasa rata-rata 2,5 cm.
B.

Pembagian Udara Paru-paru

Total kapasitas udara paru-paru mendekati 5000ml (5L), atau kurang lebih 70
ml/KgBB. Dengan menggunakan alat perekam volume sederhana dan spirometer,
dapat ditentukan pembagian dari udara paru-paru.
1.

Volume paru-paru
A.

Volume tidal

Adalah jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan pada kondisi biasa, pada dewasa
mendekati 500ml saat istirahat. Volume tidal dapat menggunakan + 6,0-7,5 ml/KgBB.
Pada neonatal aterm digunakan 6,0 ml/KgBB, setelah usia sebulan digunakan 7,0
ml/KgBB, dan pada dewasa digunakan 7,5 ml/KgBB.
1.

Volume cadangan inspirasi

Adalah maksimal volume udara yang masih dapat di hirup setelah inspirasi normal,
jumlahnya mendekati 40-50% dari kapasitas total paru-paru, atau sekitar 2000-3000
ml pada dewasa dengan BB 70 Kg. Pada dewasa muda sekitar 3000-3500 ml, pada
>50 tahun 2500 ml.
2. Volume cadangan ekspirasi
Adalah maksimal volume udara yang masih dapat dikeluarkan setelah ekspirasi
normal. Volumenya mendekati 20% dari kapasitas total paru-paru, atau mendekati
1000-1200 ml.
3. Volume residual
Adalah volume udara yang masih tetap berada di paru-paru walaupun telah ekspirasi
maksimal. Jumlahnya sekitar 20% dari kapasitas total paru-paru, atau 1200 ml.

besarnya volume bervariasi seiring dengan usia, pada 20-30 tahun sekitar 1300 ml,
pada 30-40 tahun sekitar 1500 ml, pada 40-60 tahun sekitar 2000 ml, pada usia lebih
tua dapat mencapai 2400 ml. Hal ini tidak dapat diukur dengan spirogram, namun
dapat ditentukan secara tidak langsung. Terdapat 2 metode : sirkuit terbuka dan sirkuit
tertutup. Pada sirkuit terbuka, semua nitrogen dalam paru ( + 80% volume) di
keluarkan dengan cara inspirasi oksigen dan ekspirasi ke dalam spirometer. Volume
gas ekspirasi diukur dan kadar nitrogen diukur.
Pada sirkuit tertutup, digunakan helium yang telah diketahui volume dan
konsentrasinya ( 10% ), di inspirasi dari reservoar. Perubahan persentase dalam
reservoar digunakan untuk menghitung kapasitas paru.
1.

Kapasitas paru-paru

Merupakan kombinasi dari beberapa jenis volume paru-paru, terdapat 4 macam


kapasitas paru, yaitu :
1.

Kapasitas inspiratoar

Adalah volume maksimal udara yang dapat di inspirasi setelah ekspirasi normal,
merupakan kombinasi volume tidal dan volume cadangan inspirasi.
2. Kapasitas vital (VC)
Adalah total volume udara yang dapat diinspirasi setelah ekspirasi maksimal,
merupakan kombinasi dari volume cadangan inspirasi, volume tidal, dan volume
cadangan ekspirasi.
3. Kapasitas residual fungsional (FRC)
Adalah volume udara yang masih terdapat di dalam paru-paru setelah ekspirasi
normal, merupakan kombinasi dari volume residual dan volume cadangan ekspirasi.
Volumenya mendekati 2500 ml. FRC menurun pada posisi supine bila dibandingkan
pada posisi duduk, karena perubahan posisi diaphragma. FRC juga biasanya menurun
pada narkose umum hingga 0,5 ml.
2.

Definisi asma
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai

gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi,

yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik
terhadap berbagai rangsangan.8
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan
kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal
ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak, sesak
napas, dan tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabangcabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat
bronkospasme. 15
3.

Patofisiologi asma
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas

dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis.
Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun
spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi
yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan
degranulasi, bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya :
bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG),
PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik. 2 Sedikitnya
ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam
produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2,
IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam
asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16.

Sitokin yang dihasilkan oleh Th2

bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell
mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan
MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting
cell yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam
sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan pada
epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel

limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivitas sel
epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik
berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh
sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell
(APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT nave-Th0 menuju
Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster
kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 8
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan
bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor,
saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak
kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat
hambatan partial pada reseptor adrenergik pada penderita asma yang khas ini.
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus
yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis
adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik.
Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran
napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan
hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada
diding saluran respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah
akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris
seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia.
Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal
bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh
peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang
terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih
rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih
besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer.
Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi

pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru
rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini
sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan
gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan
RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi

menurut

berat-ringannya

asma

yang

sangat

penting

dalam

penatalaksanaannya. Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma
saat serangan (akut).
5.

Pembagian asma

Berdasarkan sifat serangan, asma dibagi menjadi dua yaitu:


A. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:
1.

Intermitten

2.

Persisten ringan

3.

Persisten sedang

4.

Persisten berat

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di


Indonesia, 2004
B. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan
asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan
berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek
akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan
ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang
mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapatmenyebabkan kematian.8
5.

Penanganan anastesi preoperatif

A. Evaluasi Preoperatif

Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat


penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik
intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa
gas darah, foto rontgen thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obatobatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat,
minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. 4 Bila baru-baru
ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi
elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.3
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi. 4 Tandatanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak
mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan
napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk
membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain
didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral
churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya
dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi
asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang
didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung
mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.5

5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)


Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran
aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk lakilaki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak
ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari
500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita)
menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca
bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai
PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini
penting dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan
fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma
kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran
napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit
paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru
postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan
(Bronkodilator).2
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
Keadaan Klinik

% FEV/FVC

Normal

80-100

Asma Ringan

75-79

Asma Sedang

50-74

Asma Berat

35-49

Status Asmatikus
6. Pemeriksaan Analisa gas darah

<35

Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan


serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paruparu.4

7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk
dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang
berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang
batuknya sangat lemah.3
B. Pengelolaan Preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi
yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan
napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah
empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator

yang

berisi

-adenergik

agonis,

dosis

terapi

teopilin

dan

kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu
dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.5
1. Manajemen Asma
Preparat yang digunakan untuk asma sebagai berikut :
1. Sympathomimetik atau agonis agen, menyebabkan brokodilator melalui
Cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaxasi otot polos
bronkus.

Obat-obat

ini

juga

menghambat

antihistamin

dan

juga

neurotransmiter kolinergik.
2. Selektif -adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini
merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs
atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Salmeterol(serevent)

puff

dengan

MDI

setiap

12

jam

dan

metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi bloker hendaknya bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti
atenolol atsumetropolol atau esmolol.3

3. Campuran

dan

adrenergik

termasuk

epinefrine

(Adrenalin),

isoproterenol (Isuprel) dan isoetharin (Brokosol). Efek samping takikardi dan


arithmogenik membahayakan pada penderita penyakit jantung.
4. Terbutaline sulfate pemberiannya 0,25 mg SC, dapat diulangi 15 menit, tetapi
tidak lebih dari 0,5 mg dalam 4 jam.
5. Santin (teofilin)
Nama obat :
1)

Teofilin
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara

kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Teofilin, sebagai bronkodilator, memiliki 2 mekanisme aksi utama di
paru yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulan yang terdapat pada
jalan nafas (suppression of airway stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum
diketahui secara pasti. Diduga efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya
penghambatan 2 isoenzim yaitu phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Sedangkan
efek selain bronkodilasi berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain. Teofilin
juga dapat meningkatkan kontraksi otot diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca
melalui Adenosin-mediated Chanels
2)

Aminofilin
Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan bronkitis

kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari
Teofilin dan etilendiamin. Teofilin sebagai z.a untuk antiasma. Etilendiamin
digunakan agar terbentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Bentuk
pemberian adalah injeksi iv yang digunakan dalam wadah dosis tunggal ampul. Tidak
perlu ditambahkan pengawet karena sediaan dalam wadah dosis tunggal. Sterilisasi
akhir dengan autoklaf karena za tetap stabil pada pemanasan tinggi. Pemberian
aminofilin dengan cara :
a)

Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis

awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
b) Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
separuhnya.
c)

Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml

d) Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

Pengunaan aminofilin tidak dianjurkan pada anak berusia < 12 tahun. Obatobat yang dapat meningkatkan kadar Teofilin: Propanolol, Allopurinol (>600mg/day),
Erythromycin, Cimetidin, Troleandomycin, Ciprofloxacin (golongan Quinolon yang
lain), kontrasepsi oral, Beta-Blocker, Calcium Channel Blocker, Kortikosteroid,
Disulfiram,

Efedrin,

Vaksin

Influenza,

Interferon,

Makrolida,

Mexiletine,

Thiabendazole, Hormon Thyroid, Carbamazepine, Isoniazid, Loop diuretics. Obat lain


yang dapat menghambat Cytochrome P450 1A2, seperti: Amiodaron, Fluxosamine,
Ketoconazole, Antibiotik Quinolon). Obat-obat yang dapat menurunkan kadar
Teofilin: Phenytoin, obat-obat yang dapat menginduksi CYP 1A2 (seperti:
Aminoglutethimide, Phenobarbital, Carbamazepine, Rifampin), Ritonavir, IV
Isoproterenol, Barbiturate, Hydantoin, Ketoconazole, Sulfinpyrazone, Isoniazid, Loop
Diuretic, Sympathomimetics.
Kortikosteroid sering digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap terapi
Dan antagonis 2 adrenergi. Terutama bentuk parental yang digunakan untuk terapi
serangan asma berat. Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan oedem mukosa,
stabilisasi membran mast sel. Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui
mekanisme antara lain12:
1)

Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi

2)
3)
4)
5)

leukotrien dan prostaglandin.


Mengurangi kebocoran mikrovaskuler
Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi
Menhambat produksi cytokins
Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus.

Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping oleh
karena

itu

dianjurkan

pemberian

melalui

inhalasi

(misalnya

budesonide,

beclometason) digunakan dengan dosis maximal 2000 mcg, sangat efektif dalam
mengendalikan

gejala

asma

dan

mengendalikan

ekserbasi .4Bila

pemberian

kortikosteroid secara inhalasi belum bisa mengontrol serangan asma maka dianjurkan
pemberian parenteral. Koortikosteroid yang biasa digunakan parenteral adalah 1-2
mg/kgBB Hydrocortyson atau100mg IV per 8 jam dan methylprednisolon 40-80 mg
IV per 4-6 jam atau 0,8 mg/kgBB.3
Sodium Cromolyn dan sodium nedokromil adalah preparat inhalasi yang
digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi
membrane mast sel dan anti inflamasi.
Mucolytics

1)

Acetylcysteine melalui inhalasi(Nebulizer) dapat menurunkan viscositas

2)

mukur dengan memecah disulfida bonds yang terdapt di mucoproteins.


Hypertonik saline dapat digunakan untuk menurunkan viscositas mukus

3)

melalui nebulizer
Recombinant deoxyribonukleaese(Dnase atau pulmozyme) 10 sampai 40 mg
perhari dengan inhaler. Digunakan pada pasien dengan fibrosis cystic untuk

4)

menurunkan viscositas sekret bronkus.


Antileukotrien obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang
mensintesa leukotrien atau mempengaruhiikatan pada reseptor. Termasuk
antagonis reseptor leukotrien antara lain zafirlukast, pranlukast dan
montelukast, zafirlukast dapat digunakan sebagai kortikosteroid inhalasi
termasuk inhibitor 5-lipooxygenase adalah zilueton obat-obat antileukotrin
biasa digunakan untuk terapi asma kronik

2. Premedikasi7
1.

Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien


dengan asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting
diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.

2.

Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih


yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14

3.

Anticholinergik pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau


penggunaan ketamin sebagai agen induksi Antikolinergik tidak efektif untuk
mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.2

4.

H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara


teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 sera normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang

tanpa

hambatan

dengan

blokade

H2

dapat

menimbulkan

bronkokonstriksi.2
5.

Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau


kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg)
1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai
proses

pembedahan

selesai,

pasien

yang

mendapatkan

terapi

lama

glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi


adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama 13 hari post operasi.2,9

6.

Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10

6.

Penanganan asma intraoperatif


Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah

pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus
atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar,
mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan
kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk
mengendalian nyeri postoperatif.
A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi
atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat
memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas
bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi
tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi
adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan
perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor
penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien
tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak
terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin,

meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan
dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan
dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi
yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi dan
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan berpengaruh
pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi
otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan
gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan
desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi
harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas.
Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta
sifatnya tidak iritasi di jalan napas.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi
kadang-kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat
stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat menghambat
ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya
karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif. Ketamin dan propofol
dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme
utama penekanan neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway.
Dari hasil suatu penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi
bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol. 16 Propofol dengan
dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding
dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat
dan akhit cepat pula.16Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesik

untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan pelan-pelan,


ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan
tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue seperti
atropin ataupun gycopyrrolate.17 Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi
dengan pemberian tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3
MAC agen volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal
1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika
dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau
glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.
3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH
endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan
napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan
penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg
untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan
muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan
histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien
asma.
C.

Terapi Bronkospasme Intraoperatif


Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya

penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari
gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika
tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari
kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena
anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat
menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta
adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit
napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan
pembacaan massa spectrometer).2 Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose
inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma
sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg)

atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan
aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan
0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan
ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal,
kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan
waktu ekshalasi yang panjang.9
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat
mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada
beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat
menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa
bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh
karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan
konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal
ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan
partial oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas
otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu
terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis
sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas
normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain
bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt
dapat menekan reflek jalan napas.2
7.

Penanganan post operatif

Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi
sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui
nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid
Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13
1.

Buka penutup dan pegang inheler tegak

2.

Kocok inhaler

3.

Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc

4.

Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut

5.

Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam
3-5 detik

6.

Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai
paru-paru

7.

Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator


bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu
untuk memberikan dosis yang benar

8.

Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan naps selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok
neuromuskular

nondepolarising

dengan

antikolinesterase

tidak

menimbulkan

brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang


teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif,
dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif
adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi
pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara
fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC
(Functional Residual Capacity). Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume
semenit atau VE atau oleh peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca
bedah disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit
neuromuskuler, atau myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis
servikalis, cedera pada neervus phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru,
penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh
atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi
tidak adekuat,intubasi endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas
otot, efusi pleura, cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke
posisi terlentang merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi
dini akan menurunkan angka kejadian komplikasi ini.

Latihan napas dalam dan

incentive spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan

paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure
(CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.
Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1.

Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support

2.

FEV atau PEV < 50%

3.

PCO2 > 50 mmHg

4.

PO2 < 50 mmHg

5.

Pasien nampak bingung dan lemah

6.

Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis

7.

Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika

8.

Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery

9.

Pasien yang menjalani major surgery

BAB III
PEMBAHASAN

BAB IV
KESIMPULAN

1.

Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat
pernapasan yang lebih normal.

2.

Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien


dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi,pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.

3.

Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan
sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi
dimana gejala -gejala asma sudah minimal.

4.

Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada


saat manipulasi jalan napas.

5.

Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk


menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang
terjadinya bronkospasme atau serangan asma.

6.

Rencana tindakan atau obat-obat untuk mengatasi serangan asma atau


bronkospasme harus disiapkan agar jika terjadi serangan bronkospasme kondisi
reversibel dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

1.

William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit hal : 149-161

2.

Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.

3.

Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan


Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.

4.

Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39.

5.

Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency


Situation,
Mc. Graw Hill, page : 315-318

6.

Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in


Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253418.

7.

Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration


with
Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts
General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41

8.

Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

9.

Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology,


Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-35

10. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit


dalam Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.
11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru
Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.
12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan
Ilmiah Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.
13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit
hal: 171-186.
14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002
Review Course Lectures, USA.
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.

16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000
; 161:1720-45.

You might also like