Professional Documents
Culture Documents
Diajukan Oleh:
Syarip Padilah
20110310178
HALAMAN PENGESAHAN
RFLEKSI KASUS
Disusun oleh:
Syarip Padilah
20110310178
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
1. Pengalaman
Seorang pasien, Ny. S, usia 54 tahun datang ke Poliklinik Bedah RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta dengan keluhan benjolan pada payudara kiri. Dokter
spesialis bedah mengusulkan untuk dilakukan pemeriksan histopatologi dan dari hasil
pemereiksaan histopatologi diketahui bahwa benjolan tersebut mengarah keganasan.
Oleh dokter bedah, pasien didiagnosis menderita Invasive Ductal Carcinoma grade II
dan direncanakan untuk operasi keesokan harinya. Dokter bedah konsultasi kepada
dokter anestesi untuk pembiusan tindakan bedah. Dokter spesialis anestesi menyetujui
pasien dilakukan operasi dengan teknik general anestesi Pada saat reanamnesis
sewaktu visite pre operasi diketahui pasien memiliki riwayat hipertensi sejak satu
tahun yang lalu dan pasien meminum obat rutin amlopidin 10 mg, sedangkan riwayat
diabetes melitus, asma dan alergi tidak ditemukan pada pasien. Pada pemeriksaan
fisik, penilaian airway menunjukkan jalan napas clear, mallampati I, tidak ada
sumbatan dan TMD 6,5 cm, breathing diperoleh pernapasan spontan, gerakan dada
simetris, tipe pernafasan normal, respirasi rate 20 kali per menit dan vesikuler pada
kedua lapang paru, circulation diperoleh tekanan darah 174/106 mmHg dan nadi 84
kali per menit serta diperoleh status kesadaran pasien Compos Mentis dengan
Glasgow Coma Scale E4M6V5. Pupil Isokor, kaku kuduk (-), kelainan nervus
kranialis (-). Pasien memiliki Berat badan 67 kg dan tinggi badan 165 cm.
2. Laboraturium
Hb
: 14,2 g/dl
Hmt
: 40 %
PPT
: 13,1 detik
APTT
: 36,3 detik
HbsAg : (-)
Diagnosis : Status pasien ASA II dengan Hipertensi pro Mastectomy
Terapi : Amlodipin 5 mg sublingual pada pukul 06.00 dan rencana General Anestesia
TINDAKAN ANESTESI
1. Jenis Anestesi
Anestesi Umum (GA) dengan teknik balanced anesthesia, respirasi terkontrol
dengan LMA No. 3
Preoksigenasi
Diberi oksigen dengan kombinasi isoflurance sampai nafas pasien stabil
Induksi anestesi
Pada pasien ini diberikan propofol 100 mg i.v. Kemudian pasien diberi O 2 dan
Isoflurance selama 5 menit, setelah terjadi relaksasi lalu dilakukan intubasi
melalui mulut dengan LMA No. 3. Balon LMA dikembangkan sampai tidak ada
kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Kemudian
dilakukan pemeriksaan untuk meyakinkan 02 masuk ke paru-paru secara clear,
inspeksi dilakukan untuk memastikan apakah dinding dada bergerak simetris
pada setiap inspirasi buatan, selanjutnya di fiksasi.
Maintenance
Untuk mempertahankan stadium anestesi digunakan kombinasi Isoflurance, O2
dan N2O. Selama tindakan anestesi dan operasi berlangsung, tekanan darah dan
nadi dipantau dan dikontrol setiap 5 menit.. Pasien juga diberikan infus RL
sebagai cairan rumatan.
4. Obat-obatan tambahan
Pada pasien ini diberikan ondansetron 4 mg i.v, ketorolac 30 mg.
Selama
jalannya
operasi
tidak
terdapat
perubahan
tanda-tanda
14.25
SpO2
98
Heart
Blood
Rate
Pressure
101
125/81
mmHg
Obat, dll
Infus
Pethidin 50mg, RL
Propofol
100
mg,
500 cc
Keteranan
Pramedikasi,
dilanjutkan
induksi, Pre-
02,
oksigenasi
Sevoflurance
untuk
memulai
pemasangan
LMA
14.35
98
88
112/72
mmHg
02,
Isoflurance,
N2O
14.45
14.55
99
100
81
78
124/67
02, Isoflurance,
mmHg
N2O
115/65
02, Isoflurance,
Diberikan
mmHg
N2O,
Obat
Ketorolac
Tambahan
30mg,
Ondancentron
4mg
15.05
15.15
15.25
15.35
99
100
100
98
85
71
69
80
132/82
02, Isoflurance,
mmHg
N2O
110/78
02, Isoflurance, RL
mmHg
N2O
103/62
02, Isoflurance,
mmHg
N2O
114/71
02, Isoflurance,
mmHg
N2O
500 cc
15.45
15.55
100
99
73
84
119/64
02, Isoflurance,
mmHg
N2O
107/83
02, Isoflurance,
Ekstubasi,
mmHg
N2O
Operasi
Selesai
: Cukup
: 130/80 mmHg
: 72 x/menit
: 20 x/menit
: 36,8 C
Pusing (-), mual (-), muntah (-), sesak nafas (-), perdarahan (-), makan dan minum
(+), nyeri dada (-), pegal-pegal (-), nyeri pada daerah operasi (+), nyeri
tenggorokan (-), suara serak (-)
8. Terapi yang diberikan
Post Operasi
-
Awasi KU
Ekstensikan kepala
Oksigenasi sampai pasien sadar penuh
Infus RL 20 TPM
Sadar penuh, diet bebas
< 80
< 85
85-89
90-99
90-94
100-109
110
< 90
<90
PATOGENESIS HIPERTENSI
Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung (CO) dan tekanan
pembuluh darah sistemik (SVR), dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan
menggunakan hukum Law, yaitu :
PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Corwin,
2001).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Corwin,2001)
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah
sebagai
respon
rangsang
emosi,
kelenjar
adrenal
juga
terangsang
Untuk mengencerkannya,
volume
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume
darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua
adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
ANASTESIA PADA PASIEN HIPERTENSI
Sebuah pertanyaan sering muncul dalam praktek anastesi adalah derajat
hipertensi pra operasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk
operassi elektif. Kecuali untuk pasien secara optimal dikontrol, kebanyakan pasien
hipertensi masuk ke ruang operasi dengan beberapa derajat hipertensi. Meskipun pada
saat preoperatif pasien memiliki hipertensi sedang (tekanan diastolik90-110 mmHg)
namun hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang tidak diobati atau tidak
terkontrol lebih cenderung untuk mengalami episode iskemia intraoperatif infark,
aritmia, atau hipertensi dan hipotensi. Penyesuaian intrabedah selama anastesi serta
penggunaan obat vasoaktif diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi
postoperasi yang disebabkan preopertif tidak memadai untuk mengontrol hipotensi
(Morgan, 2002)
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi essensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari yaitu :
1. Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi
2. Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
3. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
4. Penetuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data diatas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fiik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah
status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
kemungkinan
terjadinya
penyakit
arteri
koroner
dan
hipertrofi
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
2.
3.
4.
otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan
yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
penyebab
yang
lain
harus
dipertimbangkan
seperti
2.
5-10 menit.
Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
3.
4.
5.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas bagi
agen hipertensi.Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah yang
tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien
normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah induksi
anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi.Pemberian ketamin
merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena dapat memicu terjadinya
hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian dosis kecil bersama
dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau propofol (Morgan, 2002)
B. Rumatan
Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau dengan
oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan otot), atau
sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer, penambahan
agen volatile atau vasodilator intravena umumnya memungkinkan kontrol lebih
memuaskan tekanan darah intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan miokard yang relatif
cepat dan reversibel yang diberikan oleh agen volatile dapat berpengaruhterhadap
tekanan darah arteri. Oleh sebab itu, beberapa dokter percaya bahwa pemberian opioid
dan sufentanil dapat menekansaraf otonom serta mengontrol tekanan darah (Morgan,
2002).
C. Pelumpuh otot
Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh otot
dapat digunakan secara rutin.Pankuronium memiliki efek memblokade syaraf vagal
dan melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk keadaan pasien hipertensi
yang tidak terkontrol.Ketika pankuronium diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi
sedikit akan terjadi peningkatan detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi
pankuronium berguna utnuk mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang
disebabkan oleh manipulasi opioid atau bedah. Pemberian obat hipotensi seperti
tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan
pilihan untuk pasien hipertensi (Morgan,2002)
D. Vasopressors
Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk kedua ranjaucatechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis simpatik eksogen
diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati hipotensi berlebihan,
dosis kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-50 g) mungkin lebih baik
untuk agen langsung.Namun demikian, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila
tekanan
darah
terutama
jika
dicurigai
iskemia
miokard
dan