You are on page 1of 9

REFLEKSI KASUS

MANAJEMEN ANASTESI DAN PERSIAPAN PREOPERATIF


PADA PASIEN HIPERTENSI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Anestesiologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Dokter Pembimbing :
Dr. Joko Murdiyanto, Sp. An
Disusun Oleh :
Putri Annisa
20154012016
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Umur

: 61 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Gampingan 804 Rt 47/10

Bangsal

: Marwah

Tanggal MRS

: 2 April 2016

1. KASUS
Pasien perempuan usia 61 tahun datang ke poli bedah RS PKU Muhammadiyah
dengan keluhan muncul benjolan di punggung. Benjolan muncul sejak 2 tahun yang lalu,
makin lama benjolannya membesar. Pasien mengatakan benjolan tidak nyeri dan tidak
menganggu aktivitas pasien sehari-hari. Dokter bedah mendiagnosa soft tissue tumor
punggung dan pasien diminta untuk mondok utk persiapan operasi yang direncanakan pada
tanggal 4 April 2016.
RPD

: Hipertensi (+), diabetes mellitus (-), asma (-), alergi (-), jantung (-)

RPK

: Pasien tidak mengetahui riwayat keluarganya

Riwayat operasi: pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya

2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4 V5 M6

Airway

: Tidak ada tanda-tanda hambatan pada jalan napas.

Breathing

: RR 22x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Circulation

: Nadi: 96x/menit. Perfusi baik (tangan hangat)

Tekanan darah

: poli 163/88 mmHg, pre-operasi 159/76 mmHg

Suhu

: 36,2o C

Kepala

: Ca (-/-), SI (-/-), bibir mukosa basah

Leher

: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.

Thorax

a. Pulmo

: Inspeksi: retraksi (-), pergerakan dinding dada simetris


Palpasi: VF normal
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

b. COR

: Inspeksi: Ictus Cordis (-)


Palpasi & Perkusi dbn,
Auskultasi: S1-S2 reguler.

c. Punggung: terdapat benjolan dengan panjang 5cm


Abdomen

: Supel (+), bising usus (-), Nyeri tekan (-).

Ekstremitas

: Akral hangat, edema (-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
A. Darah Rutin
Hemoglobin

: 14,4 (12-15)

Leukosit

: 6,4 (4-10)

Hematokrit

: 43 (35-45)

Trombosit

: 377 (150-450)

B. Faktor Pembekuan
PPT

: 13,6 (11-15)

APTT : 32,0 (22-35)


C. Kimia Darah

Hbsag

: (-)

GDS

: 129 (70-140)

4. LAPORAN ANESTESI PASIEN


a. Diagnosa prabedah

: Soft Tissue Tumor Punggung

b. Diagnosa pascabedah

: Soft Tissue Tumor Punggung

c. Diagnosa anestesi

: ASA II

d. Jenis pembedahan

: Wide Eksisi

e. Jenis anestesi

: General Anestesi (LMA)

Premedikasi: Clopedine 50mg


Sedasi: Sedacum 2,5mg
Induksi: Propofol 100 mg
Maintenance: O2 2L/menit, N20 2L/menit, Sevofluran 2%
Obat2an: Ketorolac 30 mg, ondansentron 4 mg
Respirasi: Spontan
Cairan : RL
Tekanan darah dan nadi selama operasi:
Jam
8.00
8.05
8.10
8.15
8.20
8.25
8.30

Tekanan darah (mmHg)


183/110
129/87
111/67
126/83
129/89
116/80
114/77

Nadi (kali/menit)
140
117
106
106
102
98
94

Tekanan darah dan nadi selama di RR:


Jam
Tekanan darah (mmHg) Nadi (kali/menit)
8.30
115/92
92
8.35
111/70
103

Obat anestesi masuk

Operasi selesai, masuk RR

8.40
8.45
8.50
8.55
9.00

118/80
123/88
132/80
135/82
142/93

101
101
106
101
105

5. MASALAH YANG DIKAJI


Bagaimana manajemen anestesi dan persiapan preoperatif pada pasien hipertensi?

6. PEMBAHASAN
A. Hipertensi
Berdasarkan klasifikasi JNC VII, hipertensi dapat dikategorikan menjadi prehipertensi,
hipertensi derajat 1, dan derajat 2.
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi (JNC VII)
Klasifikasi

Tekanan

darah

(mmHg)
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2

sistolik Tekanan darah diastolik


(mmHg)

<120
120-139
140-159
160

Dan <80
Atat 80-90
Atau 90-99
Atau 100

Berdasarkan etiologinya, hipertensi diklasifikasikan menjadi;


a. Hipertensi primer/esensial: tidak diketahui penyebabnya
b. Hipertensi sekunder: akibat suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti
stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, hiperaldostreronisme, dan
sebagainya.
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial. Patogenesisnya disebabkan oleh
beberapa mekanisme yakni:
-

Mekanisme neural: stres, aktivasi simpatis, variasi diurnal

Mekanisme renal: asupan natrium tinggi dengan retensi cairan

Mekanisme vaskular: disfungsi endotel, radikal bebas, dan remodelling pembuluh


darah

Mekanisme hormonal: sistem renin, angiostensin, dan aldosteron.

Faktor lainnya seperti genetik, prilaku, dan gaya hidup juga berpengaruh dalam
hipertensi.
Tatalaksana hipertensi dimulai dengan modifikasi gaya hidup dilanjutkan dengan
terapi antihipertensi. Namun, terapi antihipertensi dapat langsung diberikan pada
penderita hipertensi derajat 1 dengan penyakit penyerta dan hipertensi derajat 2.
Menurut JNC 8, tatalaksana hipertensi sebagai berikut:

B. Manajemen Pre-operatif Penderita Hipertensi

Penilaian preoperatif penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur


pembedahan harus mencangkup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:
-

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk


prosedur pembedhan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data di atas didapatkan dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan


penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.
Penilaian status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif
hipovolemia (berkaitan dnegan penggunaan diuretika dan vasodiator). Di samping itu,
penggunaan diuretika yang rutin sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesia yang
dapat menyebabkan peningkatan resiko terjaidnya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG
dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan peningkatan
resiko iskemia miokardial akibat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Untuk evaluasi ginjal, urinalisi serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk
memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemuakan adanya
gagal ginjal kronis, maka adamya hiperkaleia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya
retinopati hipertensi perlu dicatat.
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan tekanan darah berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudag tidak dapat ditolernsi untuk dilakukan penundaan anestesi
dan operasi. Namun banyak literatur mengatakan bahwa tekanan darah diastolok 110 atau
115 adalah cut off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi
kecuali operasi emergensi. Tekanan darah diastolik dijadikan tolak ukur karena tekanan
darah sistolik akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini
merupakan perubahan fisiologis. Menurur The American Heart Association/ American
College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa tekanan darah sistolik
180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, kecuali operasi bersifat urgensi. Pasien preopratif yang sudah dikontrol
tekanan darahnya dengan baik akan mempunya hemodinamik yang lebih stabil daripada
yang tidak dikontrol.

Premedikasi
Salah satu kegunaan premedikasi ditujukan untuk menurunkan kecemasan preoperatif
penderita hipertensi. Umumnya digunakan ansiolitik golongan benzodiazepin atau
midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai
jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel.

Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering terjadi hipertensi. Hipotensi terjadi diakibatkan vasodilatasi perifer
terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehinga preloding cairan penting
untuk tercapainnya normovolemia sebelum induksi. Di samping itu hipotensi juga sering
terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek obat anestesi dan obat antihipertensi seperti
ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi terjadi akibat stimulus nyeri
karena laringoskopi dan intubasi trakea yang bisa menyebabkan takikardi dan
menyebabkan iskemia miokard. Kejadian hipertensi akibat tindakan intubasi ini mencapai
25%. Oleh karenanya ada beberapa teknik yang dapat dilakukan sebelum mengintubasi
agar hipertensi tidak terjadi, antara lain:
-

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10
menit

Berikan

opioid

(fentanyl

2,5-5

mikrogram/kgBB,

alfentanil

15-25

mikrogram/kgBB, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgBB, atau ramifentanil 0,5-1


mikrogra/BB)
-

Berikan lidokain 1,5 mg/kgBB intravena atau intratrakea

Menggunakan beta adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgBB,


propanolol 1-3 mg tay labetatol 5-20 mg).
Pemilihan obat induksi yang aman untuk penderita hipertensi bevariasi antara

lain, propofol, barbituratem benzodiazepine, dan etomidat. Pemilihan untuk pelumpuh


otot umumnya lebih baik vekuronium dibanding atrakurium atau pankuronium. Untuk
volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.

7. DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN).
Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed. Philadhelpia:
Elsevier; 2007.p.124-6.
2. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management; Available
at:http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.pdf. Accesed 20
April 2016
3. Pramono, A. 2016. Anestesi, Buku Kuliah. Jakarta: EGC
4. Tanto, Chris., Hustrini, NM. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat,

Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius

You might also like