You are on page 1of 6

Eri

Endang Widyorini -- Psikolog


Seorang anak, Fathur namanya, memiliki perkembangan yang sangat lamban. Dalam
usia dua tahun ia belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan kata yang
sederhana dan mudah seperti "mama" atau "papa". Ia juga begitu sedikit
menunjukkan kemampuannya berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan ia
seperti tak menghiraukan sama sekali lingkungannya. Kecuali ekspresi untuk
menunjukkan keinginannya, tak ada bentuk komunikasi apa pun yang ia tunjukkan
kepada siapa pun di sekitar dia. Sepanjang hari, ia hanya berlarian ke sana ke mari di
ruang tamu dan sekitar rumahnya. Padahal, anak-anak seangkatannya sudah ngoceh
dan mengekspresikan kelucuan kanak-kanaknya.
Melihat kejanggalan dalam perkembangan itu, orangtua Fathur yang berdomisili di
Jakarta pergi ke seorang dokter dan mendapat jawaban bahwa Fathur menunjukkan
indikasi autisme. Atas saran sang dokter, mereka memasukkan Fathur ke Pusat Terapi
Autis. Selang tujuh bulan Fathur mengalami cukup banyak perkembangan. Ia mulai
bisa sedikit berkomunikasi dan berbaur dengan lingkungannya.
Belum merasa puas dengan perkembangan yang didapat, orangtua Fathur membawa
sang anak kepada seorang psikolog di Semarang dimana ia mendapat kejutan bahwa
anak kesayangannya memiliki kemampuan yang luar biasa. Setelah diperiksa secara
intensif selama dua hari dengan metode tertentu, diketahuilah bahwa Fathur memiliki
IQ melebihi 145! Ia juga memiliki kreativitas dan motivasi (task commitment) yang
sungguh- sungguh luar biasa. Konsentrasinya sangat hebat. Bahkan jiwa
kepemimpinannya sudah mulai nampak. Rupanya Fathur adalah seorang anak yang
"gifted". Ia berkemampuan belajar sangat tinggi namun, sekaligus memiliki
ketidakmampuan untuk belajar (learning disabled).
Lho? Tentu tidak mudah membayangkan keadaan itu. Bagaimana mungkin seorang
anak yang berkemampuan belajar tinggi namun sekaligus memiliki ketidakmampuan
dalam belajar?
Kategori Gifted-Learning Disabled Pada mulanya diyakini bahwa anak gifted adalah
mereka yang mempunyai skor IQ yang tinggi dan mempunyai prestasi sekolah baik.
Namun belakangan permasalahan tersebut menjadi lebih kompleks dengan adanya
pertanyaan mengenai anak berkemampuan tinggi yang juga mempunyai kesulitan
dalam belajar (Brody & Mills, 1997).
Memang tidak mudah untuk menjelaskan ciri-ciri tipikal anak-anak gifted-learning
disabled (G/LD) karena terdapat banyak tipe pada berkemampuan (giftedness) dan
banyak pula kemungkinan berketidakmampuan (learning diabilities). Problem terbesar
dalam mengidentifikasi hal tersebut adalah, seringkali antara ketidakmampuan
(disabilities) dan berkemampuan (giftedness) saling menutupi.
Secara umum, seorang anak berkemampuan yang sekaligus memiliki ketidakmampuan
belajar (gifted/learning disabled atau G/LD) ditandai dengan kelebihan pada beberapa
hal dan ketidakmampuan pada hal yang lain. Mereka secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori.

Pertama, anak-anak berbakat yang memiliki beberapa kesulitan dalam belajar di


sekolah dan sering dikatakan sebagai anak yang underachiever. Kelompok ini mudah
teridentifikasi sebagai anak gifted atau berbakat karena memiliki prestasi tinggi atau
punya skor IQ yang tinggi, yang dalam perkembangan selanjutnya terjadi kesenjangan
yang besar antara harapan dengan prestasi yang ia capai. Anak pada kelompok ini
mungkin akan mengejutkan dengan kemampuan verbal yang sangat bagus, sementara
ia mengalami kesulitan besar pada kemampuannya menulis dan dikte. Kadang kala
mereka amat pelupa, ceroboh, dan disorganized, sehingga pada tingkat lanjutan
pertama, di mana tuntutan semakin tinggi maka makin sulitlah mereka untuk
berprestasi. Mereka dapat mengatasi kesulitan dengan usaha keras, namun
kenyataannya banyak dari mereka tidak tahu cara untuk mengatasinya, karena
dikategorikan sebagai anak berkemampuan tinggi.
Kelompok kedua, adalah anak-anak yang diketahui berkesulitan belajar, dan tidak
pernah teridentifikasi sebagai anak gifted. Ketidaktepatan pengukuran dan atau
tertekannya skor IQ sering menyebabkan dugaan yang keliru (underestimation) pada
kemampuan intelektualnya. Jika bakat yang luar biasa tidak diketahui, maka
kelebihan-kelebihannya tidak pernah menjadi fokus dalam pendidikannya, sehingga
tidak pernah teraktualisasikan.
Kelompok ketiga, adalah anak yang tidak teridentifikasi sebagai anak berbakat
maupun sebagai anak berkesulitan belajar. Mereka lebih nampak sebagai anak yang
berprestasi rata-rata. Kemampuan inteligensi yang tinggi seringkali membantu
kesulitan atau kelemahannya, sehingga anak ini tidak teridentifikasi sebagai anak
bergangguan. Di sini superioritas kemampuannya menutupi kelemahannya.
Sebaliknya, kelemahannya menutupi kelebihannya. Bakat atau talenta yang dimiliki
kemungkinan dapat berkembang bila terstimulasi oleh situasi kelas yang diajar oleh
guru yang menggunakan metode belajar yang kreatif.
Kelompok terakhir ini mungkin kelompok terbesar. Mereka berprestasi pada level yang
tidak menguntungkan, jauh di bawah potensi yang dimilikinya (Baum, 1990; Broudy &
Mills, 1997).
Karakteristik Anak G/LD
Anak dengan keistimewaan ganda ini adalah suatu tipikal pelajar yang seringkali
dikarakteristikkan sebagai anak yang cerdas, tapi mempunyai problem sekolah.
Keadaan ini diikuti oleh perasaan frustrasi, agresif, ceroboh dan sering tidak mampu
menyelesaikan tugas. Mereka juga sering membuat suasana kelas menjadi terganggu.
Sebagian mereka bahkan mirip dengan anak LD yakni memory dan kemampuan
perseptual terbatas serta sering gagal menyelesaikan tugas.
Sementara di bidang yang lain, mereka mampu menampilkan diri sebagai anak
berkemampuan tinggi. Misalnya, mereka mungkin sangat pandai dalam berpikir
abstrak (Baum, 1984), dapat mengkonseptualisasikan sesuatu dengan cepat, mampu
melakukan generalisasi dengan mudah, dan menyukai tantangan untuk memecahkan
suatu problems (Barton & Stanes, 1989). Biasanya hobi atau kesukaan mereka adalah
hal-hal yang membutuhkan motivasi, tantangan dan perlu pemikiran yang kreatif. Di
lingkungan sekolah mereka mengamati banyak hal, sementara prestasi sekolahnya

buruk.
Silverman, direktur pusat studi anak berbakat di Denver, mengatakan bahwa anakanak dengan keistimewaan ganda ini mempunyai karakter yang unik, mereka
seringkali disebut visual-spatial learners dan memiliki long-term memory yang sangat
bagus, yang membutuhkan metode diagnosis dan pengajaran yang berbeda. Mereka
juga anak yang sangat sensitif dengan sikap guru.
Anak G/LD memandang dirinya sebagai anak yang tidak mampu di bidang akademik,
sehingga meningkatkan motivasi untuk menolak tugas-tugas sekolah. Anak dengan
keistimewaan ganda ini sering merasa malu dan memandang bahwa dirinya tidak
mampu bersekolah. Inilah yang mematahkan semangat mereka. Tidak jarang dari
mereka meneruskan perasaan tentang kegagalan ini di sekolah, sementara di rumah ia
mampu belajar dan berkarya. Mereka sering memiliki konsep diri yang negatif dan
membuat dirinya merasa bahwa sesungguhnya tidak sama dengan teman sebayanya.
Kesalahan Diagnosa
Kesalahan diagnosa bagi anak gifted sangat mungkin terjadi. Mereka seringkali tidak
didiagnosa oleh guru, dokter atau psikolog sebagai anak berbakat tinggi, mereka justru
banyak didiagnosa sebagai anak autis ringan, Attention Deficit Hiperactive Disorder /
Attention Deficit Disorder (ADHD/ADD), disleksia, disphasi/aphasia, retardasi mental
atau gangguan perkembangan lainnya. Mengapa demikian? Hal ini karena individu
gifted seringkali mempunyai karakteristik yang berpotensi untuk berperilaku negatif,
terutama bagi anak gifted yang kemampuan kreativitasnya sangat tinggi.
Hal itu terutama disebabkan antara lain karena mereka:
overaktif secara fisik atau mental;
ceroboh (sloppiness) dan disorganized dengan hal-hal yang dianggapnya tidak
penting;
pelupa, mind wanders, suka daydreaming;
kurang tertarik pada hal-hal yang kecil;
penuntut;
temperamental, moody;
tidak komunikatif, emotional withdrwan; sinis, suka beragumentasi;
suka menanyakan aturan, otoritas, moral yang umum;
stubborn, uncooperative, menentang dominasi.
Dalam keseharian, menurut pengamatan Silverman, karakteristik anak G/LD yang
mempunyai potensi negatif antara lain:
short term memory-nya sangat buruk,
berusaha dengan kata-kata bersimbol,
menolak tugas-tugas menulis
punya kesulitan tinggi dalam spelling,
daya usaha rendah,
punya kesulitan dalam menghafal dan mencatat dikelas,
sering kurang berkonsentrasi di kelas,
lemah dalam auditory memory,
lemah dalam tata bahasa, punctuation (tanda-tanda baca), kapitalisasi,
kemungkinan besar tidak bisa belajar sesuatu kecuali yang sangat diminatinya;
sangat buruk dalam pekerjaan dengan waktu terbatas,

disorganized,
sangat pandai menolak alasan,
hiperaktif, diselingi dengan periode konsentrasi yang sangat intens
kadang-kadang seperti terlapisi kaca,
tidak bisa mengingat tiga langkah instruksi.
Karena kecenderungan memiliki perilaku seperti itu maka dengan menggunakan
kriteria diagnosa DSM IV, mereka masuk kategori anak-anak dengan gangguan
tertentu. Hingga tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan obat-obatan yang dapat
mengurangi kemampuan intelektualnya. Belum lagi adanya perlakukan (hukuman)
dari guru-guru atau orangtua yang merasa terganggu dengan perilaku anaknya.
Karenanya anak-anak berbakat tinggi (highly gifted), terutama bagi mereka yang
kreativitasnya sangat tinggi seringkali mempunyai self- esteem dan self-concept rendah.
Maka tidak sedikit dari mereka yang mengalami kegagalan di sekolah.
Sulit Diidentifikasi
Melakukan identifikasi anak-anak dengan keistimewaan ganda ini memang tidak
mudah, karena orangtua maupun guru seringkali lebih memfokuskan pada kelemahan
si anak, dan sangat sedikit perhatian pada kelebihannya. Sejumlah peneliti yang
tertarik dalam anak G/LD memfokuskan pada pola skor Wechsler Intelligence Scale for
Children- Revised (WISC-R) untuk mengidentifikasi. Namun data dari penelitian ini
menunjukkan hasil pola yang tidak konsisten. Schiff dkk (1981) melaporkan bahwa
catatan tentang kesenjangan skor Verbal-Performance (V-P) dengan skor verbal lebih
tinggi, sementara Waldron (1990) menemukan bahwa kesenjangan yang signifikan
antara skor Verbal dan Performance bukan merupakan indikasi yang baik pada anak
dengan kesulitan belajar. Schiff dkk. menyimpulkan dalam laporan penelitiannya
bahwa kelompok anak yang punya IQ superior/LD menampakkan kemampuan verbal
di atas rata-rata dan mempunyai sejumlah kemampuan dan bakat yang kreatif, tetapi
ada indikasi kelemahan pada aktivitas koordinasi motorik, perkembangan emosi dan
kelemahan pada area tertentu dalam berpikir. Menurut Waldron, anak-anak ini
cenderung tergantung pada kemampuan visual untuk mengingat kata dan analisa.
Mereka juga mempunyai kelemahan dalam beberapa hal auditory, seperti
membedakan suara dan short-term memory.
Sedangkan Vaidya (1993) menggunakan cara lain lagi untuk mengidentifikasi. Ia
melakukan beberapa tes tipe portofolio, tes kreativitas, informasi tentang IQ serta tes
prestasi belajar. Pengukuran IQ digunakan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan anak dalam berpikir, sementara test prestasi belajar dilakukan untuk
mengetahui keberbakatan si anak dalam subjek tertentu. Lalu portofolio digunakan
untuk mengetahui proses berpikir dan keunikan ide-ide. Dan tes kreativitas digunakan
untuk mengukur kemampuan berpikir divergen.
Sementara psikolog yang lain, menyarankan menggunakan Scales for Rating the
Behavioral Characteristics of Superior Students (SRBCSS), untuk mengetahui skala
tentang learning, motivasi, kreativitas, kepemimpinan, musik, drama, dan komunikasi.
Yang menarik, dalam pengamatan itu ditemui bahwa anak-anak tersebut seringkali
mempunyai minat yang tinggi terhadap satu atau berbagai hal di rumah. Mereka dapat
membuat bangunan yang sangat fantastik dengan balok-balok. Kemampuan kreatif,

kekuatan intelektual yang mereka salurkan pada hobinya itu merupakan indikator
keberbakatan mereka (Renzulli, 1979). Dan karena anak-anak itu sangat cerdas dan
sensitif, mereka menyadari betul kesulitannya dalam belajar. Selanjutnya, mereka
cenderung menggeneralisasikan perasaan tentang kegagalan belajar itu pada semua
rasa ketidakmampuan dan terhadap segala hal.
Pendidikan yang Tepat
Dalam merencanakan pendidikan bagi anak G/LD adalah penting memperhatikan
perkembangan dari kemampuan yang menonjol, minat, dan kapasitas intelektual
mereka. Dan persoalan kesulitan belajar mereka yang cenderung menjadi permanen,
juga seyogyanya menjadi pertimbangan penting untuk mengarahkan dan mendorong
mereka untuk menggunakan strategi kompensasi. Jadi kita hendaklah mencari cara
untuk mengurangi kesulitan yang mereka alami dengan mengembangkan kemampuan
yang mereka miliki.
Program yang disediakan untuk mereka haruslah difokuskan pada hal-hal yang
menjadi kelemahan mereka. Mereka harus dibimbing untuk memahami kelemahan
dan kelebihannya lalu diarahkan untuk menyadari cara yang tepat untuk mengurangi
kesulitannya dalam belajar, dan sebaliknya memupuk keberbakatanya. Para guru dan
orangtua harus membantu anak- anak ini untuk membentuk konsep diri yang realistis
dan sehat, di mana mereka dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya. Mereka harus disadarkan bahwa mereka dapat mengembangkan cara
alternatif dalam berpikir dan berkomunikasi, karena mereka dapat belajar sesuai
dengan kelebihan yang dimilikinya.
Anak dengan keistimewaan ganda ini membutuhkan kurikulum yang tepat yang
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka akan pendidikan khusus bagi kedua
keistimewaan tersebut. Kebutuhan ini berhubungan dengan keberbakatannya dan
kelemahan atau kesulitannya yang spesifik (Whitemore, 1981). Dan jangan sampai
perlakuan-perlakuan yang diberikan justru menghambat perkembangan dan
pengekspresian keberbakatannya.
Bagaimana Orangtua Seharusnya?
Seperti yang telah diketahui bahwa orangtua adalah orang terdekat yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan anaknya. Marker dan Udall (1997) memberikan
beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membantu anaknya yang
G/LD, antara lain :
Orangtua harus menjadi pendorong atau pendukung yang efektif bagi anaknya.
Langkah pertama untuk menjadi pendorong yang efektif adalah belajar sebanyak
mungkin tentang G/LD.
Carilah orangtua yang juga memiliki anak G/LD agar bisa berbagi pengalaman, dari
sini mungkin akan di dapatkan cara-cara atau tips dalam menangani anak.
Kunjungilah lembaga terdekat yang memiliki program pendidikan khusus untuk
anak gifted dengan learned disabled dan mintalah bantuan. Jika pertimbangkan
kemungkinan pendirian program khusus untuk anak-anak ini. Meski bukan hal yang
mudah, hal ini bisa dilakukan.

Carilah terapis yang cocok dengan anak.


Orangtua sebaiknya terlibat proaktif selama proses terapi.
Di rumah, langkah pertama meningkatkan pemahaman akan kebutuhan (needs)
anak, kemudian akan lebih mudah untuk menerima beberapa hal yang kontradiksi
pada anak. Orangtua kadang menemukan ia merasa frustasi atau marah terhadap
dirinya sendiri karena ada hal-hal yang kontradiksi dalam dirinya.
Terimalah anak, kenali kelebihan dan kelemahannya.
Sediakan lingkungan yang stimulatif (suasana hangat, penuh kasih sayang, lakukan
komunikasi/diskusi dengan topik yang menarik bagi anak dan sediakan permainan
edukatif).
Libatkan anak dalam berdiskusi mengenai pemilihan program pendidikan khusus
baginya.
Penutup
Anak-anak berkemampuan tinggi, tetapi mengalami hambatan dalam belajar
meskipun jumlah mereka tidak banyak, namun perlu dicermati. Karena sesungguhnya
mereka adalah aset yang berharga. Kendala yang nampak untuk membantu mereka
adalah kesulitan dalam mengidentifikasi mereka. Seringkali potensi tinggi mereka
tertutupi oleh kekurangannya. Bahkan ada sebagian dari mereka tidak pernah dikenal
sebagai anak berbakat atau gifted, tetapi lebih dikenal sebagai anak bermasalah.
Adalah menjadi bahan pertimbangan bagi dokter, pedagog, psikolog, guru, dan
orangtuanya untuk mengenalnya lebih dalam, anak-anak bergangguan perlu
pengamatan yang cermat sebelum diagnosis diberikan. Karena diagnosis yang tidak
tepat akan berdampak dilakukan terapi yang kurang tepat pula, yang dapat
mengakibatkan gangguan perkembangan anak semakin kuat.
Permasalahan lain adalah penanganannya atau intervensi, sebenarnya penanganan
yang tepat bila telah mendapat diagnosa yang tepat pula. Penanganan anak-anak G/LD
yang paling tepat adalah melihat sisi-sisi yang menjadi strengths-nya dan
mempertimbangkan sisi weaknessnya, sehingga dapat ditentukan tehnik strategi atau
program yang tepat untuk anak tersebut, sehingga ini lebih individual.

You might also like