You are on page 1of 13

CIDERA KEPALA BERAT

A. DEFINISI CIDERA KEPALA


Cidera kepala adalah adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan atau perlambatan ( accelerasidecelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan faktor dan penurunankecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Musliha, 2010).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006) cidera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Cidera kepala

adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak,
durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tertutup
maupun trauma tembus.
Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat.
Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar
penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi
abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat.
Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera
berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti
perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
B. KLASIFIKASI TINGKAT KESADARAN
Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara teratur karena perubahan pada
tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain.
1. Kompos metis (GCS 14-15)Suatu keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal
2. Somnolen (GCS 13-11)Suatu keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh
bila dirangsang. Somnolen disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai
dengan mudahnya klien dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan
menangkis rangsang nyeri.
3. Sopor atau Stupor (GCS 8-10)
Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan
rangsang nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah
tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
4. Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)

Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil
dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap
rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban primitif. Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
5. Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri
yang bagaimanapun kuatnya.
C. TANDA DAN GEJALA CIDERA KEPALA BERAT
1. Gejala
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau normal
perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian, inkontenensia
kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah, dan mengalami
perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope,
tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan, sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru karena kecelakaan
konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
2. Tanda
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu :
a. Perubahan kesadaran
b. Depresi
c. Latergi
d. Muntah (mungkin proyektif)
e. Ataksia atau cara berjalan tidak tetap
f. Gangguan menelan
g. Perubahan kesadaran sampai koma
h. Cidera orthopedic
i. Kehilangan tonus otot
j. Perubahan status mental
k. Cemas
l. Perubahan pupil
m. Mudah tersinggung
n. Kehilangan penginderaan
o. Delirium (suatu kondisi dimana kesadaran menjadi kabur dan disertai ilusi atau
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.
z.
aa.
ab.
ac.
ad.
ae.

halusinasi)
Kejang
Kehilangan sensasi sebagian tubuh
Agitasi
Wajah menyeringai
Bingung
Respon menarik pada rangsang
Perubahan pola nafas
Nyeri yang hebat
Nafas bunyi rochi
Gelisah
Fraktur atau dislokasi
Gangguan rentang gerak
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Afasia motoris atau sensoris
Bicara tanpa arti disartria anomia

D. ETIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT


Menurut Musliha, 2010 mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala adalah
karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :

1. Cedera kepala primer


Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
1. Gegar kepala ringan
1. Memar otak
2. Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
1. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
1. Hipotensi sistemik
2. Hipoksia
3. Hiperkapnea
4. Udema otak
5. Komplikasi pernapasan
6. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

E. PATOFISIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT


Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

PATHWAY

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.
2. Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.
4.

Laboratorium
Kimia darah : mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.

5. Cerebral Angiography :
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
6. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
7. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
8. BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
9. PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
10. CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
11. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
G. KOMPLIKASI CIDERA KEPALA BERAT
1. Kebocoran cairan cerebrospinal, dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan
dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat
mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat
(biasanya pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau
rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan indikasi
untuk operasi reparatif.
2. Fistel Karotis-Kavernosusu, ditandai oleh trias gejala : eksolftalmos, kemosisi dan bruit
orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi diperlukan untuk

konformasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang
paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
3. Diabetes Incipidus, dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
Vasopresin arginin (pitressin) 5 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4
6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 4 mg setiap 12 jam,
diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume
diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada berat
ringannya hipernatremia.
4. Kejang Pascatrauma, dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk
kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan
pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi
pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %;
resiko mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.
5. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.
6. Meningitis Ventrikulitis
7. Infeksi saluran kemih
8. Perdarahan gastrointestinal
9. Sepsis asam negatif
10. Kebocoran CSS
H. PERDARAHAN YANG SERING DITEMUKAN PADA PASIEN CIDERA
KEPALA
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya
pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater,
pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat
terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus
temporalis dan parietalis.
Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil
ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi,
Peningkatan suhu
2. Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2
hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral,
dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah

dan

permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk
I. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif :
a. Bedrest total
b. Pemberian obat-obatan
c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
d. Tindakan terhadap peningkatan TIK :
1) Pemantauan TIK dengan ketat
2) Oksigenasi adekuat
3) Pemberian manitol
4) Penggunaan steroid
5) Peningkatan kepala tempat tidur.
6) Bedah neuro
e. Tindakan pendukung
1) Dukung ventilasi
2) Pencegahan kejang
3) Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4) Terapi anti konvulsan
5) Klorpromazin : menenangkan pasien
6) Selang nasogastrik
f. Prioritas Perawatan :
1) Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2) Mencegah komplikasi
3) Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4) Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5) Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan,
dan rehabilitasi.
g. Tujuan :
1) Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2) Komplikasi tidak terjadi
3) Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain\
4) Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5) Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga
sebagai sumber informasi.
J. PENGKAJIAN
1. Survei primer dan sekunder :
ATLS menyediakan kerangka kerja untuk survei trauma primer dan sekunder dan
pengkajian dari cedera kepala. Survei primer dan sekunder dilakukan sesuai dengan

ATLS standars. Tindakan pencegahan berikut perlu dipertimbangkan pada penderita


cedera kepala ketika melakukan survei primer.
a. Pengelolaan jalan nafas pasien (Airway Maintenance)
Semua pasien cedera kepala yang tidak sadar diintubasi untuk mencegah aspirasi.
catatan, intubasi trakea mungkin kontraindikasi dalam kasus trauma midface dan
kadang-kadang dengan patah tulang tengkorak basal
b. Teknik intubasi mencerminkan pertimbangan potensi fraktur serviks atau cedera
sumsum tulang belakang dan harus dilakukan hanya oleh petugas terlatih.
c. Suction hidung dan mulut; darah, lendir, dan drainase untuk memastikan patensi
jalan napas, penyedotan tidak dilakukan jika dicurigsi ada patah tulang tengkorak
basal.
d. Suction jalan nafas dibatasi sampai 15 detik atau kurang tiap tindakan.
e. Aspirasi berhubungan dengan trauma sangat umum. Aspirasi mungkin ada bahkan
dengan x-ray dada awal negatif.
2. Pernafasan (Breathing)
Pada saat jalan nafas dibuka, pernapasan dikaji dan hal-hal yang diperlukan untuk
mendukung respirasi dan oksigenasi yang memadai. Terapi oksigen diberikan dan
pasang ventilator jika diperlukan.
3. Sirkulasi (Circulation)
Pantau nadi, kapilari refill, kontinyu elektrokardiografi (EKG), dan nilai tekanan
arteri. Hipotensi berbahaya bagi otak dan harus diobati secara agresif atau cepat.
Penyebab potensi juga harus segera ditentukan, seperti okultisme pendarahan. Jika
terdapat hipertensi, itu biasanya terkait dengan cedera kepala dan dikelola dengan
peningkatan protokol ICP. Setelah pasien stabil, survei sekunder harus segera
dilakukan.
4. Pengkajian pasien dengan cedera kepala.
Berikut ini adalah elemen kunci keberhasilan untuk pengkajian pasien dengan
cedera kepala :
a. Riwayat dan keadaan cedera
b. Pengkajian awal (airway dengan kontrol tulang dan tulang belakang, pernapasan
dan sirkulasi. Pengkajian tanda vital (hipotensi, sering berkaitan dengan cedera
sistem lainnya atau komplikasi), pola seperti respon chusing yang dikaitkan
c.

dengan peningkatan tekanan intra kranial


AVPU (tingkat kesadaran, A: Alert, V: Vocal stimuli, P: Painful stimuli, U:

Unresponsive
d. Pemeriksaan minineurological : GCS, ukuran pupil dan respon, dan fungsi
motorik (lateralisasi menunjukkan lesi fokal)
5. Pengkajian 6B pada pasien Cedera Kepala:
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan


pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,


pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan


sebagian lapang pandang, foto fobia.

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus


menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada
spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan gangguan Neurologis ( cedera kepala ).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan Gangguan integritas kulit, penurunan Hemoglobin

3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus berlebihan.


4. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan Embolisme
5. Hambatan mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
C. TUJUAN
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai
sumber informasi.
D. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan gangguan Neurologis ( cedera kepala ).
Tujuan:

mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi:

bebas sianosis, GDA dalam batas normal

INTERVENSI
1. Pantau frekuensi,

irama,

kedalaman pernapasan. Catat


ketidakteraturan pernapasan.
2. Pantau dan catat kompetensi
reflek gangguan/menelan dan

RASIONAL
1. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pulmonal

atau

menandakan

lokasi/luasnya

keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea


dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. Kemampuan memobilisasi atau membersihkan

kemampuan

pasien

untuk

sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas.

melindungi

jalan

napas

Kehilangan

refleks

menelan

atau

batuk

sendiri. Pasang jalan napas

menandakan perlunaya jalan napas buatan atau

sesuai indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur

intubasi.
3. Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru

sesuai aturannya (ekstensi)

dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh


yang menyumbat jalan napas.

4. Anjurkan

pasien

untuk

melakukan napas dalam yang


efektif bila pasien sadar.
5. Lakukan suction dan Catat
karakter,

warna

kekeruhan dari sekret.

dan

4. Mencegah/menurunkan atelektasis.
5. Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma
atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan
pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan
dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang

menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya


akan berpengaruh cukup besar pada perfusi
6. Auskultasi

suara

perhatikan

jaringan.
6. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru

napas,

seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan

daerah

hipoventilasi

dan

napas yang membahayakan oksigenasi cerebral

adanya

dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.

suara tambahan yang tidak


normal

misal:

ronkhi,

wheezing, krekel.
7. Pantau analisa gas darah,

7. Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan

tekanan oksimetri
8. Lakukan ronsen

asam basa dan kebutuhan akan terapi.


8. Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda

thoraks

ulang.
9. Berikan oksigen.

komplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau


bronkopneumoni.
9. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.
10. Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan

10. Lakukan fisioterapi dada jika

ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi

ada indikasi.

untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas


dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru
lainnya.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan Gangguan integritas kulit, penurunan Hemoglobin


Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi ( Kolor, dolor, rubor, tumor,
fungsio lasea ).
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
INTERVENSI
RASIONAL
1. Berikan perawatan aseptik dan
1. Cara
antiseptik, pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
2. Observasi

menghindari

terjadinya infeksi nosokomial.


2. Deteksi

dini

perkembangan

infeksi

memungkinkan untuk melakukan tindakan

mengalami kerusakan, daerah yang

dengan segera dan pencegahan terhadap

alat

kulit

untuk

yang

terpasang

daerah

pertama

invasi,

catat

karakteristik dari drainase dan


adanya inflamasi.

komplikasi selanjutnya.
3. Dapat mengetahui perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap

3. Kaji tanda-tanda infeksi ( Kolor,

dolor, rubor, tumor, fungsio lasea ).

komplikasi selanjutnya.
4. Dapat mengindikasikan

4. Pantau suhu tubuh secara teratur,

sepsis

catat adanya demam, menggigil,

yang

perkembangan

selanjutnya

memerlukan

evaluasi atau tindakan dengan segera.


5. Terapi antibiotik diperlukan untuk

diaforesis dan perubahan fungsi


mental (penurunan kesadaran).
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi

mencegah/

meminimalisir

terjadinya

infeksi yang lebih parah.

3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan Embolisme


Tujuan:

Mempertahankan

tingkat

kesadaran

biasa/perbaikan,

kognisi,

dan

motorik/sensorik.
Kriteria hasil:

Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

INTERVENSI
RASIONAL
1. Tentukan faktor-faktor yg
1. Penurunan tanda/gejala neurologis atau
menyebabkan
koma/penurunan

kegagalan dalam pemulihannya setelah


perfusi

jaringan otak dan potensial

serangan awal, menunjukkan perlunya


pasien dirawat di perawatan intensif.

peningkatan TIK.

2. Pantau
neurologis
dan

/catat
secara

bandingkan

status
teratur
dengan

nilai standar GCS.

3. Evaluasi

keadaan

dan

kanan,

tingkat

potensial

kesadaran

peningkatan

TIK

dan
dan

bermanfaat dalam menentukan lokasi,


perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.

pupil,

ukuran, kesamaan antara


kiri

2. Mengkaji

reaksi

terhadap cahaya.

3. Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial


okulomotor

(III)

berguna

untuk

menentukan apakah batang otak masih


baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh
keseimbangan antara persarafan simpatis
dan

parasimpatis.

cahaya

Respon

mencerminkan

terhadap

fungsi

yang

terkombinasi dari saraf kranial optikus


(II) dan okulomotor (III).
4. Peningkatan TD sistemik yang diikuti
oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
4. Pantau tanda-tanda vital:
TD, nadi, frekuensi nafas,

penurunan
Hipovolemia/hipertensi

kesadaran.
dapat

fungsi

suhu,SPO2.

mengakibatkan

kerusakan/iskhemia

cerebral. Demam dapat mencerminkan


kerusakan

pada

hipotalamus.

Peningkatan kebutuhan metabolisme dan


konsumsi oksigen terjadi (terutama saat
demam dan menggigil) yang selanjutnya
menyebabkan peningkatan TIK.
5. Bermanfaat sebagai indikator dari cairan
total tubuh yang terintegrasi dengan
5. Pantau intake dan out put,

perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral

turgor kulit dan membran

dapat mengakibatkan diabetes insipidus.

mukosa.

Gangguan ini dapat mengarahkan pada


masalah

hipotermia

atau

pelebaran

pembuluh darah yang akhirnya akan


berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.
6. Memberikan

efek

ketenangan,

menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan


meningkatkan
6. Turunkan

stimulasi

eksternal

dan

berikan

kenyamanan,

seperti

lingkungan yang tenang.


7. Bantu
pasien
untuk
menghindari

/membatasi

batuk, muntah, mengejan.


8. Tinggikan kepala pasien 1545

derajad

indikasi/yang

sesuai
dapat

ditoleransi.
9. Batasi pemberian

istirahat

untuk

mempertahankan atau menurunkan TIK.


7. Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan
intrathorak dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TIK.
8. Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala
kongesti

sehingga
dan

akan

oedema

mengurangi
atau

resiko

terjadinya peningkatan TIK.


9. Pembatasan cairan diperlukan untuk
menurunkan

edema

serebral,

meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler


cairan

sesuai indikasi.

TD dan TIK.
10. Menurunkan hipoksemia, yang mana
dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume

10. Berikan oksigen tambahan


sesuai indikasi.

darah

serebral

yang

meningkatkan TIK.
11. Diuretik digunakan pada fase akut untuk
menurunkan

air

dari

sel

otak,

menurunkan edema otak dan TIK,.


11. Berikan

obat

sesuai

indikasi,

misal:

diuretik,

steroid,
analgetik,
antipiretik.

antikonvulsan,
sedatif,

Steroid menurunkan inflamasi, yang


selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan untuk mengatasi dan
mencegah terjadinya aktifitas kejang.
Analgesik untuk menghilangkan nyeri .
Sedatif digunakan untuk mengendalikan

kegelisahan,

agitasi.

Antipiretik

menurunkan atau mengendalikan demam


yang

mempunyai

pengaruh

meningkatkan metabolisme serebral atau


peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

DAFTAR PUSTAKA

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Jogjakarta : Nuha Medika


Hudak, C.M dan Gallo, B.M. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Volume
II. Jakarta: EGC
IOWA Outcomes Project, 2000, Nursing Outcomes Clasification (NOC). Secound
Edition. Mosby Year Book, USA
IOWA Interventions Project. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). MOsby
Year. USA
Long, C.B. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Bandung: Yayasan IAPK
Padjajaran
NANDA.2015. Nursing Diagnosis : Deffinitions and Classification. Mosby Year Book.
USA
Price, S.A dan Wilson, M.L. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-proses Penyakit.
Jakarta EGC
Saani, Syaiful. 2007. Cedera Kepala Pediatrik Berat Pertimbangan Khusus. Diambil
pada: www.medilinux.glogspot.com
Smeltzer, Bare, 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Volume 3.
Jakarta: EGC

You might also like