You are on page 1of 21

ASURANSI DILIHAT

DARI PERSPEKTIF
HUKUM
ISLAM (SYARIAH)

26

RabuOKT 2011

POSTED BY BUDI SETYAWAN IN KEPERDATAAN


TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR

ASURANSI DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (SYARIAH)


Oleh: Budi Setyawan, SH
A. PENDAHULUAN
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, negara-negara di dunia saling
berlomba untuk meningkatkan perekonomiannya. Perdagangan bebas menjadi
isu yang dominan dalam persaingan untuk memperebutkan pasar. Hampir
semua negara di dunia tidak bisa menghindari upaya liberalisasi di bidang
ekonomi. Dampak nyata dari liberalisasi ekonomi adalah imbasnya terhadap
masyarakat. Masyarakat ikut memikul segala risiko beserta konsekuensi dari
pesatnya arus persaingan ekonomi. Tata pergaulan masyarakat khususnya
masyarakat modern seperti sekarang ini, membutuhkan suatu institusi atau
lembaga yang bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarakat baik risiko
individu maupun risiko kelompok.
Masyarakat sampai sekarang ini mempunyai kandungan risiko relatif
lebih tinggi dibanding dengan waktu lampau karena kemajuan teknologi di
segala bidang. Kemajuan teknologi yang sedemikian rupa mempengaruhi
kehidupan manusia, dan dapat menimbulkan risiko yang lebih luas. Dengan
demikian lembaga yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko
pihak lain adalah lembaga asuransi. Perusahaan asuransi mempunyai jangkauan

yang sangat luas karena perusahaan asuransi tersebut mempunyai jangkauan


yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan
sosial. Di samping itu, perusahaan asuransi juga menjangkau kepentingankepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas (Sri Rejeki H., 1997:
18 ).
Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia merupakan
kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kegiatan perasuransian baru mulai pada
tahun 1976 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan pada waktu
itu. Dan pada saat ini perkembangan asuransi di Indonesia belum sepesat
seperti negara-negara maju bahkan apabila 16 dibandingkan dengan negaranegara berkembang sekalipun (Kasmir, 2002: 277).
Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko
mempunyai kegunaan yang positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun
bagi pembangunan negara. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum
Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Tahun 1979, Emmy
Pangaribuan Simanjuntak menyatakan bahwa mereka yang menutup perjanjian
asuransi akan merasa tentram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan
tertimpa suatu kerugian. Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui
perjanjian asuransi akan dapat meningkatkan usahanya dan berani menggalang
tujuan yang lebih besar. Demikian pula premi-premi yang terkumpul dalam
suatu perusahaan asuransi dapat diusahakan dan digunakan sebagai dana untuk
usaha pembangunan. Hasilnya akan dapat dinikmati masyarakat.
Usaha pemerintah untuk mengembangkan bidang usaha asuransi ini
juga tampak, misalnya dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang
perizinan usaha perusahaan asuransi jiwa, tata cara perizinan usaha dan
pemenuhan deposito perusahaan-perusahaan asuransi kerugian, pengawasan
atas usaha perasuransian dan sebagainya. Berdasarkan keadaan perekonomian
Indonesia pada saat ini yaitudalam bidang asuransi, umat Islam tertarik dengan
institusi perekonomian yang membawa mereka maju di dunia modern ini,

asalkan selaras dengan semangat agama dan prinsip Hukum Islam. Tetapi
persoalan yang hangat
dibicarakan di dunia Islam dewasa ini mengenai halal atau haramnya asuransi
itu sendiri.
Di tengah-tengah perkembangan asuransi di Indonesia, masih tersisa
adanya kesan negatif bahwa asuransi konvensional itu hanya mau
menerima premi tapi ketika terjadi musibah, perusahaan asuransi tidak mau
membayar klaim. Walau memang sebenarnya alasan tersebut masuk akal, tidak
mudah untuk membayar klaim, karena asuransi adalah pengelola dana milik
bersama dan tidak sembarang memberikan uang kepada seorang nasabah yang
mengajukan klaim tanpa terlebih dahulu menyelidikinya.
Beberapa alasan yang menjadikan perusahaan asuransi konvensional
dinilai memiliki sejumlah kelemahan, diantaranya adalah
(http://eramuslim.com/bedaasuransi/newbhn/fatwa.htm)[1]:
1.

Seseorang yang ikut asuransi harus mendaftarkan diri menjadi anggota


dan diwajibkan untuk membayar premi secara rutin;

2.

Asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual beli) pada kenyataannya


lebih cenderung sebagai usaha bisnis berskala besar sementara sisi bantuan
sosial hanya menjadi lips service (penghias) sementara hakikatnya tidak
lain merupakan pemerasan dan kerja rentenir;

3.

Akad asuransi konvensional adalah akad gharar (ketidakjelasan) karena


masing-masing dari kedua belah pihak (penanggung dan tertanggung) pada
waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan
jumlah yang ia ambil. Akad asuransi ini juga disebut akad idzan
(penundukan) pihak yang kuat adalah perusahaan asuransi karena dialah
yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki oleh tertanggung;

4.

Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis apabila tidak bisa


melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau dikurangi. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari
premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis
dengan praktek riba.

B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1.

Bagaimanakan pengertian dan prinsip-prinsip asuransi (umum) dan


asuransi syariah?

2.

Bagaimanakan perbandingan asuransi syariah dengan asuransi (umum)


konvensional?

C. PEMBAHASAN
C.1 Pengertian Asuransi Umum dan Asuransi Syariah
Banyak definisi yang telah diberikan kepada istilah asuransi, dimana secara
sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal
ini bisa dimaklumi, karena mereka dalam mendefinisikannya disesuaikan dengan
sudut pandang yang mereka gunakan dalam memandang asuransi, dimana
sesuai dengan uraian diatas bahwa asuransi dapat dipandang dari beberapa
sudut.
Definsi-definisi tersebut antara lain :
1.

Definisi asuransi menurut Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum


Dagang (KUHD) Republik Indonesia : Asuransi atau pertanggungan
adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan
diri pada tertanggungdengan menerima suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tak tertentu Berdasarkan definisi tersebut, maka dalam
asuransi terkandung 4 unsur, yaitu :
A.

Pihak tertanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang


premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur.

B.

Pihak penanggung (insure) yang berjanji akan membayar


sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau

secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur


tak tertentu.
C.

Suatu peristiwa (accident) yang tak terntentu (tidak diketahui


sebelumnya).

D.

Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian


karena peristiwa yang tak tertentu.

E.

Definisi asuransi menurut Prof. Mehr dan Cammack : Asuransi


merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara
pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk
membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian
yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung.

F.

Definisi asuransi menurut Prof. Mark R. Green: Asuransi adalah


suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan
mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup
besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat
diramalkan dalam batas-batas tertentu.

G.

Definisi asuransi menurut C.Arthur William Jr dan Richard M.


Heins,yang mendefinisikan asuransi berdasarkan dua sudut pandang,
yaitu:

i.

Asuransi adalah suatu pengaman terhadap kerugian


finansial yang dilakukan oleh seorang penanggung.

ii.

.Asuransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau


lebih orang atau badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi
kerugian finansial.

iii.

Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992

Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian


adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke
tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Badan yang menyalurkan risiko disebut tertanggung, dan badan yang
menerima risiko disebut penanggung. Perjanjian antara kedua badan ini

disebut kebijakan: ini adalah sebuahkontrak legal yang menjelaskan setiap


istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar oleh tetanggung kepada
penanggung untuk risiko yang ditanggung disebut premi. Ini biasanya
ditentukan oleh penanggung untuk dana yang bisa diklaim di masa depan,
biaya administratif, dan keuntungan.
Contohnya, seorang pasangan membeli rumah seharga Rp. 100 juta.
Mengetahui bahwa kehilangan rumah mereka akan membawa mereka kepada
kehancuran finansial, mereka mengambil perlindungan asuransi dalam bentuk
kebijakan kepemilikan rumah. Kebijakan tersebut akan membayar penggantian
atau perbaikan rumah mereka bila terjadi bencana. Perusahaan asuransi
mengenai mereka premi sebesar Rp1 juta per tahun. Risiko kehilangan rumah
telah disalurkan dari pemilik rumah ke perusahaan asuransi.[2]
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas kiranya mengenai definisi
asuransi yang dapat mencakup semua sudut pandang : Asuransi adalah suatu
alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada perekonomian, dengan cara
manggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang sama atau hampir
sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya dapat
diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara
proposional oleh semua pihak dalam gabungan itu.
Pengertian Asuransi bila di tinjau dari segi hukum adalah: Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dimana pihak
tertanggung mengikat diri kepada penanggung, dengan menerima premi-premi
Asuransi untuk memberi penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan di derita tertanggung karena
suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberi pembayaran atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang di pertanggungkan.

PRINSIP PRINSIP POKOK ASURANSI


Ada beberapa prinsip-prinsip pokok Asuransi yang sangat penting
yang harus di penuhi baik oleh tertanggung maupun penanggung agar

kontrak/perjanjian Asuransi berlaku (tidak batal). Adapun prinsip2 pokok


Asuransi tersebut sbb:
1.

Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith)

2.

Prinsip kepentingan yang dapat di Asuransikan (Insurable Interest)

3.

Prinsip Ganti Rugi (Indemnity)

4.

Prinsip Subrogasi (Subrogation)

5.

Prinsip Kontribusi (Contribution)

6.

Prinsip Sebab Akibat (Proximate Cause)

FUNGSI ASURANSI :
1.

Transfer Resiko
Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan

dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke


perusahaan asuransi
1.

Kumpulan Dana
Premi yang diterima kemudian dihimpun oleh perusahaan asuransi sebagai

dana untuk membayar resiko yang terjadi

Ditinjau dari beberapa sudut, maka asuransi mempunyai tujuan dan teknik
pemecahan yang bermacam-macam, antara lain:
1.

Dari segi Ekonomi, maka :

Tujuannya: Mengurangi ketidak pastian dari hasil usaha yang dilakukan oleh
seseorang atau perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mencapai
tujuan.
Tekniknya: Dengan cara mengalihkan risiko pada pihak lain dan pihak lain
mengkombinasikan sejumlah risiko yang cukup besar, sehingga dapat
diperkirakan dengan lebih tepat besarnya kemungkinan terjadinya kerugian.
1.

Dari segi Hukum, maka :

Tujuannya: Memindahkan risiko yang dihadapi oleh suatu obyek atau suatu
kegiatan bisnis kepada pihak lain.

Tekniknya: Melalui pembayaran premi oleh tertanggung kepada penanggung


dalam kontrak ganti rugi (polis asuransi), maka risiko beralih kepada
penanggung.
1.

Dari segi Tata Niaga, maka :

Tujuannya Membagi risiko yang dihadapi kepada semua peserta program


asuransi.
Tekniknya Memindahkan risiko dari individu / perusahaan ke lembaga keuangan
yang bergerak dalam pengelolaan risiko (perusahaan asuransi), yang akan
membagi risiko kepada seluruh peserta asuransi yang ditanganinya.

1.

Dari segi Kemasyarakatan, maka :

Tujuannya Menanggung kerugian secara bersama-sama antar semua peserta


program asuransi.
Tekniknya Semua anggota kelompok (kelompok anggota) program asuransi
memberikan kontribusinya (berupa premi )untuk menyantuni kerugian yang
diderita oleh seorang / beberapa orang anggotanya.
1.

Dari segi Matematis, maka :

Tujuannya Meramalkan besarnya kemungkinan terjadinya risiko dan hasil


ramalan itu dipakai dasar untuk membagi risiko kepada semua peserta
(sekelompok peserta) program asuransi.
Tekniknya Menghitung besarnya kemungkinan berdasarkan teori kemungkinan
(Probability Theory), yang dilakukan oleh aktuaris maupun oleh underwriter.
Pengertian Asuransi Syari`ah dan Prinsip-prinsipnya
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh
Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1)

Pendapat pertama : Mengharamkan

Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti
Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muthi (mufti Mesir).
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:

Asuransi sama dengan judi

Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.

Asuransi mengandung unsur riba/renten.

Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila

tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah
dibayar atau di kurangi.

Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.

Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.

Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan

mendahului takdir Allah.


2)

Pendapat Kedua : Membolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh

Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada
fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum
Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab alMuamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:

Tidak ada nash (al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi.

Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.

Saling menguntungkan kedua belah pihak.

Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang

terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan


pembangunan.

Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil).

Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Taawuniyah).

Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

3)

Pendapat Ketiga : Asuransi sosial boleh dan komersial haram Pendapat

ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum
Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan
kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama
pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial
(boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena
tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Asuransi
Syariah a. Prinsip Asuransi Syariah Suatu asuransi diperbolehkan secara syari,
jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam.
Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:

Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong

menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi


semata. Allah SWT berfirman, Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan
dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan
permusuhan.

Asuransi syariat tidak bersifat muawadhoh, tetapi tabarru atau

mudhorobah.

Sumbangan (tabarru) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu

haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan


menurut syariat.

Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah

ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip


ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang
guna membantu orang yang sangat memerlukan.

Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan

tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah.
Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin
yang diberikan oleh jamaah.

Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut

aturan syari.

Pengertian Asuransi Syariah dan Beberapa Prinsipnya


Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta`min, penanggung
disebut mu`ammin, sedangkan tertanggung disebut mu`amman
lahu atau musta`min. At-Ta`min diambil dari kata amana memiliki arti memberi
perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut sebagaimana
firman Allah:

Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan (QS. Quraisy,106:4).
Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan seperti:
( al-amanatu minal khaufi ) : aman dari rasa takut
( al-amanatu dhiddal khiyanah ) : amanah lawan dari khianat
( al-imanu dhiddal kufur ) : iman lawan dari kufur
( ithoul amanah/al-amana ) : memberi rasa aman
Dari arti terakhir diatas, dianggap paling tepat untuk mendefinisikan
istilah At-Ta`min, yaitu: Men-ta`min-kan sesuatu, artinya adalah: seseorang
membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya
mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk
mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang
mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau
mobilnya.
Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dalam asuransi syariah adalah sama
dengan tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar yaitu al

kifayah (kecukupan) dan al amnu(keamanan). Sebagaimana firman Allah


swt: Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan, sehingga
sebagian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk
keamanan, mereka menyebutnya dengan al amnu al qidza`I (aman komsumsi).
Dari prinsip tersebut Islam mengarahkan kepada ummatnya untuk mencari rasa
aman baik untuk dirinya sendiri dimasa mendatang atau untuk keluarganya
sebagaimana nasehat Rasul kepada Sa`ad bin Abi Waqash agar mensedekahkan
sepertiga hartanya saja selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka
tidak menjadi beban masyarakat.
Al-Fanjari mengartikan tadhamun, takaful, at-ta`min atau asuransi syariah
dengan pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Ia juga
membagi ta`min ke dalam tiga bagian, yaitu ta`min at-taawuniy, ta`min al
tijari, dan ta`min al hukumiy.
Menurut Mushtafa Ahmad Zarqa, makna asuransi secara istilah adalah kejadian.
Adapun metodologi dan gambarannya dapat berbeda-beda, namun pada
intinya,asuransi adalah cara atau metoda untuk memelihara manusia dalam
menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam
hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktifitas ekonominya.
Husain Hamid Hisan, mengatakan Asuransi adalah sikap ta`awun yang telah
diatur dengan sistem yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia,
semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa, jika sebagian mereka
mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam
menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang
diberikan oleh masing masing peserta. Dengan pemberian (derma) tersebut
mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh perserta yang
tertimpa musibah. Dengan demikian asuransi adalah ta`awun yang terpuji, yaitu
saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Dengan ta`awun mereka
saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya
(malapetaka) yang mengancam mereka.
Dalam bukunya `Aqdu at-Ta`min wa Mauqifu asy-Syari`ah al Islamiayah Minhu,
az Zarqa juga mengatakan, sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama
hukum (syariah) adalah sebuah sistem ta`awun dan tadhamun yang bertujuan
untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini
dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan pengganti

kepada orang yang tertimpa musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan
premi-premi mereka. Mereka (para ulama ahli syariah) mengatakan bahwa
dalam penetapan semua hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan
ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup berdasarkan atas asas
saling menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Dengan demikian maka asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat
sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan
teorinya, sangat relevan dengan tujuan-tujuan umum syariah dan diserukan oleh
dalil-dalil juz`inya. Dikatakan demikian karena asuransi dalam arti tersebut
adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur
dengan sistem yang sangat rapih, antara sejumlah besar manusia, tujuannya
adalah menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang
terkadang menimpa sebagian mereka, dan jalan yang mereka tempuh adalah
dengan memberikan sedikit pemberian (derma) dari masing-masing individu.
Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan, tanpa ada perbedaan pendapat. Tetapi
perbedaan pendapat timbul dalam sebagian sarana-sarana kerja yang berusaha
merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut, yaitu akad-akad
asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perseroanperseroan asuransi.
Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum
asuransi syariah, memberi defenisi tentang asuransi sebagai berikut: Asuransi
syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan
tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
asset dan atau tabarru` yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan
syariah.
Dari definisi diatas nampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi
dan tolong menolong yang disebut dengan ta`awun, yaitu prinsip hidup saling
melindungi dan tolong menolong atas dasar ukhuwah islamiyah antara sesama
anggota peserta Asuransi Syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko).[3]
Oleh sebab itu, premi pada Asuransi Syariah adalah sejumlah dana yang
dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas Dana Tabungan dan Tabarru`. Dana
Tabungan adalah dana titipan dari peserta Asuransi Syariah (life insurance) dan

akan mendapat alokasi bagi hasil (al mudharabah) dari pendapatan investasi
bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil
akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan
mengajukan klaim, baik berupa klaim nilai tunai maupun klaim manfaat
asuransi. Sedangkan Tabarru` adalah derma atau dana kebajikan yang diberikan
dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan
untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life maupun general insurance).
[4]
Asuransi syariah memiliki prinsip yang berbeda dengan lembaga konvensional.
Prinsip prinsip tersebut adalah :
1.

Saling membantu dan bekerjasama

2.

Saling melindungi dari berbagai macam kesusahan dan kesulitan seperti


membiarkan uang menggangur dan tidak berputar dalam transaksi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum.

3.

Saling bertanggung jawab

4.

Menghindari unsur gharar ( unsur ketidakpastian tentang sumber dana


yang digunakan untuk menutupi klaim dan hak pemegang
polis), maysir ( unsur judi yang digambarkan dengan kemungkinan adanya
pihak yang dirugikan diatas keuntungan pihak lain), riba (sistem bunga ).[5]

Islam menekankan aspek keadilan, suka sama suka dan kebersamaan


menghadapi resiko dalam setiap usaha dan investasi yang dirintis. Aspek inilah
yang menjadi tawaran konsep untuk menggantikan gharar, maysir dan riba yang
selama ini terjadi di lembaga konvensional. Asuransi syariah berbeda dengan
asuransi konvensional tidak hanya pada tataran kemasan, tetapi lebih mendalam
lagi, yaitu dalam tataran konsep dan prinsip operasional. Ada juga yang
berpendaat lain yaitu 9 prinsip yang menjadi karakteristik operasional asuransi
syariah:[6]
1.

Asuransi syariah menerapkan konsep saling menanggung dan tanggung


jawab bersama. Takaful artinya saling menjamin di antara anggota
kelompok.

2.

Akad asuransi syariah bukan merupakan kontrak jual-beli di mana satu


pihak menawarkan dan pihak lain bersedia membeli layanan dengan harga
tertentu.

3.

Akad asuransi syariah merupakan kesepakatan sekelompok orang untuk


menjamin atau melindungi diri mereka terhadap kemalangan atau
kesusahan, yang disepakati jenisnya, melalui pengumpulan dana bersama.

4.

Dalam hal salah satu anggota menderita kerugian karena kemalangan


atau bencana, anggota tersebut akan menerima sejumlah uang dari dana
bersama sesuai ketentuan kesepakatan. Kerugian tersebut bukanlah
pemindahan tanggung jawab ke pihak lain atau pihak perantara,
sebagaimana dipraktekkan dalam asuransi konvensional.

5.

Dalam akad asuransi syariah, para peserta adalah tertanggung sekaligus


penanggung. Setiap peserta harus membayar sejumlah kontribusi ke dalam
dana bersama yang disebut dana takaful. Besarnya kontribusi harus sesuai
dengan tingkat risiko, yang dapat dihitung menggunakan prinsip-prinsip
ilmiah dan modern di bidang aktuaria.

6.

Untuk menghilangkan unsur berjudi, setiap peserta harus bersedia


menyisihkan dana sumbangan (tabarru) sesuai dengan biaya risiko. Dengan
demikian, santunan yang diberikan kepada para peserta yang mengalami
kemalangan/musibah berasal dari dana sumbangan.

7.

Para peserta asuransi syariah berhak mendapatkan surplus dana (setelah


pembayaran klaim, reasuransi, cadangan teknis dan biaya), sesuai sistem
pembagian yang disepakati. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan dana, para
peserta juga secara kolektif bertanggung jawab menutupnya sesuai proporsi
masing-masing.

8.

Peran perusahaan asuransi dalam asuransi syariah adalah sebagai


pengelola dana takaful bagi peserta yang ditunjuk melalui kontrak perwakilan
(wakalah). Sebagai pengelola dana, perusahaan asuransi mendapatkan
imbalan dalam bentuk fee, yaitu: management fee, performance fee (laba
investasi + surplus underwriting).

9.

Dalam hal terjadi defisit, demi praktisnya, perusahaan asuransi syariah


berkewajiban meminjamkan modalnya untuk menutup kekurangan, tanpa
bunga. Pinjaman tersebut akan ditutup oleh surplus di masa mendatang.
Besarnya modal yang dimiliki perusahaan asuransi menentukan kapasitas
underwriting dari dana takaful.

C.2 Perbandingan Asuransi Syariah dengan Asuransi Umum


(Konvensional).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
1.

Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Jika


diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi
konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:

Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.

Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota


Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus).
1.

Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.


Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan
asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam
beberapa hal. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan
asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam
mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa
sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal
itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong).

Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli
antara nasabah dengan perusahaan). Dana yang terkumpul dari nasabah
perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan
sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional,
investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik
nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan
perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening
tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan

tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam


asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik
perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik
dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik
perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
asuransi konvensional tidak memenuhi standar syari yang bisa dijadikan objek
muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh
karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang
menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta
menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah
yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah
yang telah kami paparkan di muka.[7]
D. KESIMPULAN
1.

Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha


perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

2.

Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman


umum asuransi syariah, memberi defenisi tentang asuransi sebagai berikut:
Asuransi syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah.

3.

Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

A.

Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Jika


diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi
konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:

Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.

Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota


Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus).
1.

Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.


Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan
asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam
beberapa hal. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan
asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam
mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa
sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal
itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong).

Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli
antara nasabah dengan perusahaan). Dana yang terkumpul dari nasabah
perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan
sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional,
investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik
nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan
perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening
tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan
tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam
asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik
perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik
dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil.

Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik


perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
asuransi konvensional tidak memenuhi standar syari yang bisa dijadikan objek
muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh
karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang
menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta
menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah
yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah
yang telah kami paparkan di mukaBahwa asuransi konvensional tidak memenuhi
standar syari yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum
muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat
yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin
menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang
menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas
dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam
seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Surat Al Maidah ayat 2



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah,
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG
-

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian

BUKU
-

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General)

Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2004.


INTERNET
-

http://eramuslim.com/bedaasuransi/newbhn/fatwa.htm diakses pada 09

Juli 2011.
-

http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi di akses pada 10 Juli 2011.

http://syakirsula.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=157:-pengertian-asuransi-syariah-attamin&catid=32:asuransi-syariah&Itemid=76, diakses pada 11 Juli 2011.


-

http://4iral0tus.blogspot.com/2011/06/takaful-indonesia-asuransi-

syariah.html di akses pada 8 Juli 2011 .


-

http://ikimase.wordpress.com/2009/06/12/prinsip-prinsip-asuransi-

syariah/ diakses pada 12 Juli 2011.


-

http://solusiasuransi.com/9-prinsip-operasional-asuransi-syariah/diakses

pada 12 Juli 2011

You might also like