You are on page 1of 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF

PADA NY. P P1001 POST SC HARI KE-1


DI RUANG NIFAS RSIA MELINDA

Disusun oleh :
ELFIAN MEGA PRATIWI
NIM. 1302460041

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI D-IV KEBIDANAN KEDIRI
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai sejak setelah plasenta keluar dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali ke keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kirakira 6 minggu. (Sulistyawati, Ari. 2009: 01)
Seksio sesarea adalah lahirnya janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan
dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencangkup pengeluaran janin dari rongga abdomen
pada kasus rupture uteri atau pada kasus kehamilan abdomen. (Rasjidi, Imam. 2009: 02)
Penegakan keputusan persalinan harus dilakukan secara SC atas beberapa indikasi, baik
indikasi dari ibu seperti CPD, plasenta previa, rupture uteri membakat. Indikasi dari janin seperti
janin besar, kelainan letak, gawat janin (Saifuddin, Abdul Bari. 2009: 536-537). Indikasi relatif
seperti riwayat SC sebelumnya, presentasi bokong, distosia bahu, fetal distress, PEB. (Rasjidi, Imam.
2009: 88)
Komplikasi yang utama dari persalinan dengan SC adalah kerusakan organ-organ seperti
vesika urinaria dan uterus, komplikasi anastesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli (Rasjidi,
Imam. 2009: 89) kompilasi tersebut tidak hanya muncul saat dilakukannya operasi, tetapi juga sering
muncul pada masa post SC. Untuk itu, perawatan dan observasi khusus bagi ibu post SC sangat
penting untuk mendeteksi secara dini komplikasi yang dapat terjadi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah praktik klinik kebidanan diharapkan mahasiswa mampu melakukan perawatan dan
asuhan kebidanan secara komprehensif kepada ibu post partum dengan SC melalui pendekatan
manajemen kebidanan.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian pada kasus ibu post partum dengan SC.
b. Dapat melakukan observasi melekat pada kasus ibu post SC.
c. Dapat menyusun rencana asuhan secara menyeluruh pada ibu post SC.
d. Dapat melaksanakan tindakan secara menyeluruh sesuai dengan diagnosa dan masalah
pada ibu post SC.
e. Dapat menentukan evaluasi dari diagnosa dan masalah yang telah ditentukan sebelumnya.
1.3 Manfaat
a. Bagi penulis: penulis dapat menambah pengetahuan tentang dan keterampilan dalam melakukan
perawatan dan asuhan kebidanan pada kasus ibu post SC.
b. Bagi pelayanan kesehatan: dapat memberikan pelayanan dan penanganan yang tepat pada ibu post
SC.
1.4 Metode Pengumpulan Data

Manajemen kebidanan komprehensif ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara: tanya jawab secara langsung (anamnesa) kepada pasien dan suami
b. Observasi: melakukan pemeriksaan, baik dengan inspeksi, palpasi, perkusi maupun auskultasi.
c. Studi dokumentasi: dengan melihat riwayat ibu di rekam medik.
d. Studi kepustakaan: menggunakan buku untuk sumber teori dan browsing internet.
e. Pemeriksaan: pemeriksaan umum (tanda-tanda vital), pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus,
serta pemeriksaan penunjang.
1.5 Sistematika Penulisan

Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
1.4 Metode Pengumpulan Data
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori
A. Konsep Dasar Nifas
I. Definisi
II. Klasifikasi
III. Perubahan Fisiologi Masa Nifas
IV. Perubahan Psikologi Masa Nifas
B. Konsep Teori Seksio Sesarea
I. Definisi
II. Indikasi
III. Kontraindikasi
IV. Jenis-Jenis Teknik SC
V. Komplikasi
VI. Penatalaksaan
C. Konsep Teori Makrosomia
I. Definisi
II. Dasar diagnosismakrosomia
III. Prognosis makrosomia
IV. Seksio sesarea elektif
V. Pencegahan distosia bahu
VI. Penatalaksanaan distosia bahu
2.2 Konsep Manajemen Asuhan Kebidanan
BAB III TINJAUAN KASUS

Pengkajian
A. Data Subjektif
B. Data Objektif
II. Interpretasi Data Dasar
III. Intervensi
IV. Implementasi
V. Evaluasi
BAB IV PEMBAHASAN
Berisi analisis tentang kesenjangan antara teori dan praktik
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
I.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Postpartum


A. Definisi Postpartum

Masa nifas adalah masa yang dimulai setelah lahirnya plasenta sampai 6 minggu
pascapersalinan. Masa nifas adalah masa dimana terjadinya pemulihan alat-alat reproduksi
yang berperan dalam kehamilan dan persalinan seperti keadaan sebelum hamil.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 1)

Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan
42 hari setelah itu.
(Prawirohardjo, Sarwono. 2010: 356)

Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6 minggu.
(Prawirohardjo, Sarwono. 2009: 122)

Kala puerperium/ nifas yang berlangsung selama 6 minggu merupakan waktu yang
diperlukan untuk memulihkan alat kandungan dalam keadaan yang normal. Terdapat dua
kejadian penting yang berperan dalam pemulihan organ kandungan pada masa
pascapartum yakni involusi uterus dan proses laktasi.
(Manuaba, Ida Bagus Gde Fajar. 2010: 200)

B. Tahapan Masa Nifas

Puerperium Dini
Yakni masa kepulihan dimana ibu dibolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan.

Puerperium Intermediate
Yakni masa dimana organ-organ reproduksi yang berperan dalam kehamilan dan
persalinan kembali pulih dalam waktu kurang lebih 6 minggu.

Remote Puerperium
Waktu yang dibutuhkan untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan sempurna.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 3)

C. Perubahan Fisiologis Masa Nifas


1. Perubahan Sistem Reproduksi

Involusi Uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum hamil
dikarenakan lapisan luar desidua yang mengelilingi plasenta akan menjadi nekrotik/ mati.

(Sulistyawati, Ari. 2009: 73)


Involusi Uteri

TFU

Berat Uterus

Diameter Uterus

Bayi lahir

Setinggi pusat

1000 gram

Plasenta lahir

2 jari dibawah pusat

750 gram

12,5 cm

7 hari (minggu 1)

Pertengahan pusat dan

500 gram

7,5 cm

350 gram

3-4 cm
1-2 cm

simpisis
14 hari (minggu 2)

Tidak teraba diatas


simphisis

6 minggu

Bertambah kecil

50-60 gram

8 minggu

Sebesar normal

30 gram
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 95 dan Nanny, Vivian. 2012: 57)

Pengeluaran Lokhea
Lokhea adalah ekskresi cairan rahim yang keluar selama masa nifas yang mengandung
darah atau sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus. Lokhea berbau amis/
anyir dengan volume yang berbeda-beda pada setiap wanita. Lokhea yang berbau tidak
sedap menandakan adanya infeksi.
(Sulistyawati, Ari. 2009: 73)
Pengeluaran lokhea terbagi menjadi:

Lokhea Rubra
Lokhea ini berwarna merah kehitaman yang keluar pada hari ke 1-3
pascapersalinan. Terdiri dari sel desidua, verniks kaseosa, rambut lanugo, sisa
mekoneum, dan sisa darah.

Lokhea Sanguinolenta
Lokhea ini berwarna merah kecoklatan dan berlendir yang keluar pada hari 3-7
pascapersalinan.

Lokhea Serosa
Lokhea ini berwarna kuning kecokelatan yang keluar pada hari ke 7-14
pascapersalinan. Terdiri dari serum, leukosit, dan robekan laserasi plasenta.

Lokhea Alba
Lokhea ini berwarna putih yang keluar pada 2-6 minggu pascapersalinan. Terdiri
dari leukosit, selaput lender serviks, dan serabut jaringan yang mati.

(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 98)


Bila pengeluaran lokhea tidak lancer, maka disebut lochiastasis. Jika lokhea tetap
berwarna merah setelah 2 minggu ada kemungkinan tertinggalnya sisa plasenta atau
involusi kurang sempurna. Umumnya jumlah pengeluaran lokhea lebih sedikit bila wanita
postpartum berada dalam posisi berbaring daripada berdiri dikarenakan pembuangan
bersatu di vagina bagian atas saat wanita berbaring dan kemudian akan mengalir keluar
saat berdiri.
(Nanny, Vivian. 2012: 59)

Perubahan Serviks
Serviks menjadi lembek segera setelah persalinan dikarenakan korpus uteri yang
berkontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga perbatasan antara korpus dan
serviks uteri berbentuk cincin.
Serviks berwarna merah kehitaman karena penuh dengan pembuluh darah. Oleh karena
hiperpalpasi dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun ostium
eksternum tidak dapat kembali lagi pada keadaan sebelum hamil.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 98)
Muara serviks yang berdilatasi sampai 10 cm sewaktu persalinan akan menutup kembali
pada minggu ke-6 postpartum.
(Sulistyawati, Ari. 2009: 73)

2. Perubahan Sistem Pencernaan

Nafsu makan
Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal.
Meskipun kadar progesterone menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga
mengalami penurunan selama satu atau dua hari.

Motilitas
Penurunan tonus dan motilitas otot traktus digestivus menetap dalam waktu yang singkat
setelah bayi lahir. Kelebihan analgesic dan anastesi dapat memperlambat pengembalian
tonus dan motilitas ke keadaan normal.

Pengosongan usus
Ibu sering mengalami konstipasi pascapersalinan. Hal ini dikarenakan tonus otot usus
mengalami penurunan selama proses persalinan dan awal masa pascapersalinan maupun

adanya laserasi jalan lahir. System pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu
untuk kembali normal.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 99-100)
3. Perubahan Sistem Perkemihan

Hemostasis internal
Beberapa hal yang berhubungan dengan cairan tubuh antara lain adalah edema dan
dehidrasi. Edema terjadi karena adanya penimbunan cairan dalam jaringan akibat
gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh, sedangkan dehidrasi terjadi karena volume
cairan tubuh yang keluar berlebihan tidak diganti.

Keseimbangan asam basa tubuh


Batas normal pH cairan tubuh adalah 7,35-7,40. Lebih dari itu disebut alkalosis dan jika
kurang dari itu disebut asidosis.

Pengeluaran sisa metabolisme


Kehilangan cairan melalui keringat dan peningkatan jumlah urin pada masa postpartum
menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg. Bila pascapersalinan ibu tidak dapat
berkemih dalam waktu 4 jam, dapat segera dipasang dower kateter selama 24 jam.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 101-102)

4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Dinding perut dan peritoneum


Dinding perut akan longgar pascapersalinan dan pulih kembali dalam 6 minggu.

Kulit abdomen
Otot-otot dari dinding abdomen dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu
pascapersalinan dengan latihan postnatal.

Striae
Tingkat diastasis muskulus rektus abdominis pada ibu postpartum dapat dikaji melalui
keadaan umum, aktivitas, paritas dan jarak kehamilan, sehingga dapat membantu
menentukan lama pengembalian tonus otot menjadi normal.

Perubahan ligament
Setelah janin lahir, ligament-ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang meregang saat
kehamilan dan persalinan berangsur menciut kembali seperti keadaan sebelum hamil.

Simpisis pubis

Dapat terjadi pemisahan simpisis pubis pada ibu postpartum yang menyebabkan
morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simpisis pubis adalah: nyeri tekan, atau nyeri
saat bergerak. Gejala ini dapat menghilang setelah beberapa minggu atau beberapa bulan
pascapersalinan, namun ada juga yang menetap.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 103-105)
5. Perubahan Sistem Endokrin

Hormone plasenta
Hormone plasenta (HCG) menurun setelah plasenta terlahir, sehingga menyebabkan kadar
gula darah menurun pada ibu postpartum.

Hormone pituitary
Hormone pituitary terdiri dari hormone prolaktin, FSH, dan LH. Hormon prolaktin
meningkat dengan cepat pada ibu pascapersalinan dan akan menurun dalam 2 minggu
pada ibu yang tidak segera menyusui bayinya. Hormone prolaktin berfungsi sebagai
perangsang produksi susu dan pembesaran payudara.

Hipotalamik pituitary ovarium


Hormone ini akan mempengaruhi lamanya mendapat menstruasi pada ibu yang menyusui
maupun tidak menyusui. Kebanyakan pada wanita menyusui akan mendapatkan
menstruasi pada 12 minggu pascapersalinan.

Hormone oksitosin
Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin, sehingga dapat
membantu involusi uteri.

Hormone estrogen dan progesterone


Tingginya kadar hormone esterogen pascapersalinan dapat menyebabkan peningkatan
ADH yang dapat meningkatkan volume darah, sedangkan hormone progesterone
mempengaruhi otot halus yang mengurangi rangsangan dan peningkatan pembuluh darah
sehingga mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dasar panggul, dinding vena,
perineum, vulva, serta vagina.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 109-111)

6. Perubahan Tanda-tanda Vital

Suhu badan
Suhu tubuh ibu pascapersalinan dapat naik 0,5C dari keadaan normal dikarenakan
kelelahan saat persalinan dan dehidrasi. Kurang lebih pada hari ke-4 postpartum, suhu

badan akan naik lagi akibat produksi ASI. Apabila kenaikan suhu tubuh ibu diatas 38C,
waspada infeksi postpartum.

Nadi
Bradikardi dapat terjadi pada masa postpartum. Jika melebihi 100x/menit, waspada infeksi
postpartum.

Tekanan darah
Normalnya, tekanan darah pada ibu postpartum tidak berubah. Tekanan darah yang rendah
biasanya diakibatkan oleh terjadinya perdarahan postpartum dan tekanan darah yang
tinggi biasanya merupakan tanda preeclampsia postpartum.

Pernafasan
Pernafasan pada ibu postpartum biasanya lambat atau normal dikarenakan ibu dalam masa
pemulihan. Bila pernafasan pada masa postpartum menjadi lebih cepat, kemungkinan
syok.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 111-112)

7. Perubahan Sistem Kardiovaskuler


Pada pascapersalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba sehingga volume darah ibu relative
akan bertambah. Hal ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan timbulnya
hemokonsentrasi sehingga volume darah kembali seperti semula. Umumnya hal ini akan
terjadi pada hari ketiga sama kelima postpartum.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 113)
8. Perubahan Sistem Hematologi
Pada awal postpartum, jumlah hemoglobin, hematokrit dan eritrosit sangat bervariasi yang
disebabkan oleh volume darah, volume plasenta, dan tingkat volume darah yang bergantung
pada status gizi ibu. Jumlah kehilangan darah pada minggu pertama postpartum berkisar 500800 ml dan selama sisa masa nifas berkisar 500 ml.
(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 114)
D. Perubahan Psikologis Masa Nifas
Menurut Teori Reva Rubin, fase-fase yang akan dialami oleh ibu pada masa nifas antara lain:
1. Fase Taking-In

Disebut juga fase dependen yaitu periode ketergantungan.

Terjadi pada hari 1-2 pascapersalinan.

Fokus ibu terhadap dirinya sendiri.

Ketidaknyamanan yang sering dirasakan adalah mules, nyeri luka jahitan, kurang tidur,
dan kelelahan.

Perlu diperhatikan untuk istirahat cukup, komunikasi yang baik, dan asupan nutrisi pada
fase ini.

Gangguan psikologis yang dapat dialami ibu adalah kekecewaan pada bayinya,
ketidaknyamanan fisik, rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.

2. Fase Taking Hold

Disebut juga fase dependen-independen.

Terjadi pada hari 3-10 pascapersalinan.

Ibu khawatir tidak bisa bertanggungjawab terhadap bayinya.

Ibu lebih sensitive sehingga lebih mudah tersinggung.

Perlunya dukungan moral dari orang-orang di sekitar.

3. Fase Letting Go

Disebut juga fase interdependen.

Berlangsung pada hari ke-10 pascapersalinan.

Ibu sudah dapat menyesuaikan diri dengan bayinya, merasa percaya diri akan peran
barunya, lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan bayinya.

Kebutuhan istirahat maish diperlukan untuk menjaga kondisi fisik ibu.


(Nugroho, Taufan.,dkk. 2014: 116-117)

2.2

Konsep Sectio Caesaria


A. Definisi Sectio Caesaria

Seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat badan diatas 500 g,
melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (intact).
(Prawirohardjo, Sarwono. 2009: 536)

Seksio sesarea didefinisikan sebagai pelahiran janin melalui insisi di dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).
(Gant, Norman F. 2010: 466)

Seksio sesarea adalah pelahiran janin melalui insisi yang dibuat pada dinding abdomen dan
uterus. Tindakan ini dipertimbangkan sebagai pembedahan abdomen mayor.
(Reeder, Martin, dkk. 2011: 461)

Seksio sesarea merupakan suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin diatas 500 gram.
(Prawirohardjo, Sarwono. 2011: 133)

B. Indikasi
Indikasi pada ibu:

Disproporsi kepala panggul/ CPD/ FPD

Disfungsi uterus

Distosia jaringan lunak

Plasenta previa
(Prawirohardjo, Sarwono. 2009: 536-537)

Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya stimulasi

Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi

Stenosis serviks atau vagina

Rupture uteri membakat


(Rasjidi, Iman. 2009: 88)

Indikasi pada anak:

Janin besar

Gawat janin

Letak lintang

(Prawirohardjo, Sarwono. 2009: 536-537)

Kelainan letak

Prolapsus plasenta

Perkembangan bayi yang terhambat

Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklampsia


(Rasjidi, Iman. 2009: 88)

C. Kontra Indikasi
Kontraindikasi dari seksio sesarea adalah:

Janin mati

Syok

Anemia berat

Kelainan congenital berat


(Prawirohardjo, Sarwono. 2011: 133)

Infeksi piogenik pada dinding abdomen

Minimnya fasilitas operasi seksio sesarea


(Rasjidi, Iman. 2009: 89)

D. Komplikasi

Tanda-tanda infeksi seperti: demam, disuria, nyeri pinggang)

Hemoragi

Thrombosis (nyeri dada atau tungkai hebat, pembengkakan tungkai)

Jahitan luka yang terbuka


(Reeder, Martin, dkk. 2011: 476)

E. Manajemen Peripartum pada Sectio Caesarea


a. Perawatan sebelum dan selama operasi

Pasien yang akan menjalani bedah seksio sesarea biasanya masuk rumah sakit
sehari sebelum pembedahan dan dievaluasi oleh ahli obstetric dan anastesi.

Pasien melakukan pemeriksaan hematokrit ulangan.

Diberikan suatu sedative, misalnya sekobarbital 100 mg pada malam hari sebelum
operasi.

Secara umum tidak ada pemberian sedative, narkotik, atau penenang lain sampai
janin lahir.

Asupan oral dihentikan (puasa) paling tidak 8 jam sebelum operasi.

Antacid diberikan sesaat sebelum induksi anastesi umum akan memperkecil risiko
kerusakan paru akibat asam lambung seandainya terjadi aspirasi.

Cairan yang diberikan secara intravena terdiri dari larutan Ringer Laktat atau
sejenis dekstrosa 5% dalam air. Biasanya diberikan 1-2 L cairan elektrolit
seimbang selama dan segera setelah operasi.

Sewaktu bahu janin dikeluarkan, ditambahkan oksitosin 20 unit/liter ke dalam


infuse dan dialirkan dengan kecepatan 10 ml/menit dengan kecepatan tinggi
sampai uterus berkontraksi kuat.
(Gant, Norman F. 2010: 469)

b. Perawatan pascaoperasi

Ruang Pemulihan

Selagi berada di ruang pemulihan, pantau tekanan darah dan aliran urin secara
ketat untuk memastikan perfusi ke organ vital berlangsung baik.

Pemberian analgesia bisa berupa:


o Meperidin 75 mg atau morfin 10 mg secara IM setiap 3 jam untuk
menghilangkan rasa tidak nyaman.
(Gant, Norman F. 2010: 469)
o Meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg secara IV yang efektif
untuk membuat pasien lebih toleran terhadap nyeri.
(Rasjidi, Iman. 2009: 89)

Pemberian cairan intravena di ruang pemulihan sama seperti pemberian cairan


sebelum dan selama proses operasi berlangsung.

Ruang Perawatan

Tanda-tanda Vital

Setelah pulih dari anestesi, observasi harus dilanjutkan tiap setengah jam
selama 2 jam pertama dan tiap sam selama minimal 4 jam setelah hasilnya
stabil.
(Rasjidi, Iman. 2009: 89)

Periksa tekanan darah, nadi, jumlah urin, suhu tubuh, jumlah perdarahan,
dan TFU paling tidak setiap jam selama 4 jam.

(Gant, Norman F. 2010: 469)

Analgesic
Secara umum, pemberian analgesic di ruang perawatan sama seperti
pemberian analgesic di ruang pemulihan. Namun pada pasien yang
menggunakan opioid harus diobservasi rutin tiap jam untuk memantau
respirasi, sedasi dan skor nyeri selama pemberian dan sekurangnya 2 jam
setelah pengobatan dihentikan. Pemberian opioid diberikan hingga nyeri
berkurang.
(Rasjidi, Iman. 2009: 151)

Terapi Cairan dan Makanan

Tidak diperlukan pemberian cairan intravena dalam jumlah besar selama


dan setelah pembedahan untuk menggantikan cairan esktrasel yang
mengalami sekuestrasi.
(Gant, Norman F. 2010: 469)

Berikan 3 L cairan untuk 24 jam pertama setelah tindakan.

Bila urin < 30 ml/jam, nilai kembali apakah ada pengeluaran darah yang
tidak diketahui atau efek antidiuretik dari infuse oksitosin.
(Rasjidi, Iman. 2009: 152)

Pengawasan Fungsi Vesika Urinaria dan Usus

Kateter dapat dilepas 12 jam post SC.

Makanan padat bisa diberikan 8 jam bila tidak ada komplikasi.


(Rasjidi, Iman. 2009: 153)

Bising usus biasanya tidak terdengar pada hari pertama pembedahan.

Pada hari kedua dan ketiga pascaoperasi dapat timbul nyeri gas akibat
gerakan usus yang tidak terkoordinasi.

Ambulasi

Sehari setelah pembedahan, pasien harus turun sebentar dari tempat tidur
dengan bantuan paling tidak dua kali.

Ambulasi dini mengurangi thrombosis vena dan emboli paru.

Perawatan Luka

Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (klip) diangkat pada hari
ke-4 setelah pembedahan. Pada hari ke-3 pascapersalinan, mandi dengan
pancuran tidak membahayakan luka insisi.
(Gant, Norman F. 2010: 469-470)

Jaringan subkutan yang tebal 3 cm adalah factor risiko infeksi. Jadi


lakukan pemantauan tanda-tanda infeksi.

Beritahukan untuk membersihkan luka dan menjaganya agar tetap kering.

Gunakan pakaian longgar, nyaman, berbahan katun.


(Rasjidi, Iman. 2009: 154)

Pemeriksaan Laboratorium

Hematokrit diukur secara rutin setiap pagi setelah pembedahan.


Pemeriksaan dilakukan lebih dini jika terjadi perdarahan berlebihan,
oliguria, atau tanda-tanda hipovolemia. Jika hematokrit rendah tetap stabil,
ibu diperbolehkan pulang.
(Gant, Norman F. 2010: 470)

Perawatan Payudara dan Menyusui

Menyusui dapat dimulai sehari setelah pembedahan.

Gunakan bebat penopang payudara yang tidak menekan jika ibu memilih
tidak menyusui.

Pencegahan Infeksi Pascaoperasi

Pemberian antibiotic dosis tunggal dapat menurunkan angka infeksi.


(Rasjidi, Iman. 2009: 154)

Pemulangan dari Rumah Sakit

Perawatan di rumah sakit setelah kelahiran per seksio sesarea biasanya


membutuhkan waktu selama 2-5 hari namun seringkali hanya berlangsung
48-72 jam.
(Reeder, Martin, dkk. 2011: 476)

Ibu dapat dengan aman dipulangkan pada hari keempat atau kelima
pascapersalinan kecuali jika terjadi penyulit masa nifas.
(Gant, Norman F. 2010: 470)

Pasien sebaiknya diinstruksikan untuk melakukan aktivitas yang terbatas


saat nyeri abdomen mulai berkurang. Mengangkat beban berat harus
dihindari selama 2-3 minggu.
Beritahu pasien bahwa koitus dapat dilakukan kembali ketika lokia telah
berhenti keluar dan ketidaknyamanan berlebihan sudah tidak dirasakan
pada bagian abdomen atau perineum.
(Reeder, Martin, dkk. 2011: 476)

Lakukan evaluasi dan kunjungan ulang 3 minggu pascapersalinan.


(Gant, Norman F. 2010: 470)
BAB IV
PEMBAHASAN

Pembahasan pada kasus Ny. P dengan diagnose P1001 post SC hari ke-1. Untuk menegakkan
diagnose/analisa data perlu ditegakkan dengan menggunakan data subjektif dan objektif. Dari data
pengkajian didapatkan bahwa ibu berusia 28 tahun, pendidikan terakhir SMA, pada riwayat kehamilan,
persalinan dan nifas lalu bahwa ini merupakan kehamilan yang pertama. Sehingga pada penatalaksanaan
perlu diberikan KIE tentang gizi pada masa nifas, ASI eksklusif dan cara menyusui yang benar,
perawatan bayi sehari-hari serta tanda bahaya pada masa nifas. Pada data subjektif tentang gizi yang
dikonsumsi, ibu mengatakan biasa makan 3 kali dalam sehari dan tidak tarak makan, hal ini sesuai
dengan teori yaitu ibu nifas membutuhkan cukup protein untuk menyembuhkan luka pasca persalinan
dan memperbanyak volume ASI untuk menyusui bayinya (Sulistiyawati, Ari. 2009 : 121)
Tindakan SC dilakukan

pada tanggal 2 Agustus 2016 pukul 08.30 WIB, kemudian pasien

dipindahkan ke ruang VK pada pukul 10.00 WIB kondisi pasien keadaan umum lemah, kesadaran
composmentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 82 x/menit, suhu 36,9 0C, pernafasan 24 x/menit. Di
ruang VK dilakukan observasi selama 2 jam setiap 15 menit post SC yang meliputi observasi TTV, UC,
TFU, pendarahan. Setelah itu akan dilanjutkan observasi setiap jam selama 4 jam. Di ruang HCU
dilakukan tindakan pemberian terapi obat pada pasien ketorolax 3x1, infus RL dengan drip syntocyn 2
ampul 32 TPM. Setelah persalinan SC dilakukan IMD pada pukul 11.30 WIB.
Pada data subjektif pada pola eliminasi ibu masih terpasang dower cateter dan terdapat up 200
warna jernih, pada pola BAB didapatkan data bahwa ibu belum bisa BAB setelah operasi, maka petugas
menganjurkan ibu untuk mobilisasi dini dan makan makanan yang berserat dan tinggi protein.
Pada data objektif, pada pemeriksaan umum didapatkan hasil TTV ibu dalam batas normal : TD =
110/70 mmHg, hal ini sesuai dengan teori bahwa normalnya tekanan darah pada ibu post partum tidak
berubah, S = 36,8oC pasca bersalin dapat naik 0,5oC dari normalnya.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Seksio sesarea adalah lahirnya janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding
uterus (histerektomi). Penatalaksanaan yag dapat dilakukan pada pasien post Sc adalah jika pasien sudah
sadar penuh maka pasien ditempatkan di ruang pemulihan, di ruang pemulihan psaien diobservasi secara
melekat selama 2 jam, setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan setiap jam pada 4 jam berikutnya. Yang
harus diobservasi meliputi TTV, kontraksi uterus, TFU, perdarahan pervaginam, jumlah urin, luka bekas
operasi ada tanda-tanda infeksi atau tidak. Pasien post SC selama di ruang pemulihan dianjurkan untuk
tirah baring dibarengi mobilisasi sedini mungkin, seperti menggerakkan tangan dan kaki.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat mengerti risiko yang mungkin dialami bagi ibu bersalin dengan SC,
sehingga kejadian infeksi post SC dapat dihindari.
5.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai tenaga kesehatan, diharapkan dapat memberikan pelayanan yang tepat dan bermutu pada
ibu post partum dengan SC.

You might also like