Professional Documents
Culture Documents
Agar dapat melihat, mata harus menangkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai
gambar/bayangan optis di suatu lapisan sel peka sinar, retina, seperti kamera nondigital
menangkap bayangan pada film. Seperti film yang dapat diproses menjadi salinan visual dari
bayangan asli, citra tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian tahap pemrosesan visual
yang semakin rumit hingga akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari
bayangan asli.1 Salah satu penyakit yang ada pada mata adalah glaukoma yang dapat disebabkan
dari penyakit mata lain atau disebutkan dengan glaukoma sekunder.
Dalam referat ini, akan dijelaskan mengenai glaukoma sekunder dalam hal definisi
glaukoma, klasifikasi glaukoma, glaukoma sudut terbuka primer, glaukoma sudut tertutup akut,
fisiologi humor aqueous, glaukoma pigmentasi, glaukoma pseudoeksfoliasi, glaukoma akibat
kelainan lensa, glaukoma akibat kelainan traktus uvealis, sindrom iridokornea endotel, glaukoma
akibat trauma, glaukoma akibat setelah tindakan bedah okular, glaukoma neovaskular, glaukoma
akibat peningkatan tekanan episklera, glaukoma akibat steroid, pengobatan glaukoma secara
umum, dan prognosis glaukoma. Diharapkan dengan referat ini, penulis dan pembaca dapat
mengerti mengenai glaukoma sekunder dan apabila kasus ini ditemukan langsung,
penatalaksanaan dapat langsung ditegakkan.
Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh pencekungan
(cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang, biasanya disertai peningkatan
tekanan intraocular. Mekanisme peningkatan tekanan intraocular pada glaukoma adalah
gangguan aliran keluar aqueous humor akibat kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan
(glaukoma sudut terbuka) atau gangguan akses aqueous humor ke sistem drainase (glaukoma
sudut tertutup).2
Klasifikasi Glaukoma
Klasifikasi glaukoma berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut:2
A. Glaukoma primer
1. Glaukoma sudut terbuka
a.Glaukoma sudut terbuka primer (glaukoma sudut-terbuka kronik,
glaukoma simpleks kronik)
b.
Subakut
c.Kronik
d.
Iris plateau
B. Glaukoma kongenital
1. Glaukoma kongenital primer
2. Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan mata lain
a.Sindrom-sindrom pembelahan bilik mata depan
I.
II.
III.
b.
Sindrom Axenfeld
Sindrom Reiger
Sindrom Peter
Aniridia
Sindrom marfan
2
c.Neurofibromatosis 1
d.
Sindrom Lowe
e.Rubela kongenital
C. Glaukoma sekunder
1. Glaukoma pigmentasi
2. Sindrom eksfoliasi
3. Akibat kelainan lensa (fakogenik)
a.Dislokasi
b.
Intumesensi
c.Fakolitik
4. Akibat kelainan traktus uvea
a.Uveitis
b.
c.Tumor
d.
5. Sindrom iridokorneoendotelial
6. Trauma
a.Hifema
b.
Kontusio/resesi sudut
c.Tumor intraokular
9. Peningkatan tekanan vena episklera
3
a.Fistula karotis-kavernosa
b.
Sindrom Sturge-Weber
pertama
ditemukan
kehilangan
lapangan
pandang
glaukomatosa, risiko
perkembangan lebih lanjut akan jauh lebih besar. Karena merupakan satu-satunya faktor risiko
yang dapat ditangani, tekanan intraocular tetap menjadi fokus terapi. Terdapat bukti kuat bahwa
pengendalian tekanan intraocular memperlambat kerusakan diskus optikus dan kehilangan
lapangan pandang. Pada setiap penurunan tekanan intraocular sebesar 1 mmHg, terdapat
penurunan risiko progresivitas glaukoma sebesar kira-kira 10%,2
Apabila terdapat kelainan diskus optikus atau penurunan lapangan pandang yang luas,
dianjurkan untuk menurunkan tekanan intraocular sesegera mungkin, sebaiknya hingga kurang
dari 15 mmHg. Pada pasien yang baru dicurigai mengalami kelainan diskus optikus atau
lapangan pandang, mungkin dibutuhkan terapi yang tidak terlalu agresif. Pada semua kasus,
4
harus dipertimbangkan antara kenyamanan terapi dan komplikasi yang mungkin timbul. Banyak
pasien glaukoma berusia lanjut serta lemah dan kemungkinan tidak dapat menoleransi terapi
yang agresif. Dalam upaya memperoleh perspektif mengenai perlu tidaknya terapi, mungkin
diperlukan suatu periode pengamatan tanpa terapi untuk menentukan kecepatan perburukan
kelainan diskus optikus dan lapangan pandang. Tidaklah dibenarkan bagi pasien berusia lanjut
untuk menerima berbagai terapi agresif sementara kemungkinan timbulnya penurunan lapangan
pandang yang bermakna selama sisa hidup mereka kecil.2
bronkodilator inhalasi, dekongestan hidung, atau tokolitik). Serangan dapat juga terjadi oada
dilatasi pupil sewaktu oftalmoskopi, tetapi jarang. Apabila perlu dilakukan dilatasi pupil pada
pasien dengan bilik mata depan yang dangkal (mudah dideteksi dengan penyinaran senter secara
oblik), sebaiknya diberikan midriatik kerja-singkat, hindari menimbulkan konstriksi pupil
dengan pilocarpine, dan minta pasien untuk segera mencari pertolongan bila terdapat nyeri atau
kemerahan di mata atau penglihatan yang semakin kabur.2
Glaukoma sudut tertutup akut ditandai oleh munculnya kekaburan penglihatan mendadak
yang disertai nyeri hebat, halo, serta mual dan muntah. Pasien terkadang dikira menderita
penyakit gastrointestinal akut. Temuan-temuan lainnya adalah peningkatan tekanan intraocular
yang mencolok, bilik mata depan dangkal, kornea berkabut, pupil berdilatasi sedang yang
terfiksasi, dan injeksi siliar. Mata sebelahnya harus dilakukan pemeriksaan gonioskopi untuk
memastikan adanya predisposisi anatomi terhadap glaukoma sudut tertutup primer.2
Fisiologi Humor Aqueous
Tekanan intraocular ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor aqueous dan tahanan
terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor aqueous adalah suatu cairan jernih yang mengisi
bilik mata depan dan belakang. Volumenya adalah sekitar 250 L dan ikecepatan
pembentukkannya, yang memiliki variasi diurnal, adalah 2,5 L/menit. Tekanan osmotiknya
sedikit lebih tinggi dibandingkan plasma, kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi
askorbat, piruvat, dan laktat yang lebih tinggi; protein, urea, dan glukosa yang lebih rendah.2
Humor aqueous diproduksi oleh corpus ciliare. Ultrafiltrat plasma yang dihasilkan di
stroma processus ciliares dimodifikasi oleh fungsi sawar dan prosessis sekretorius epitel siliaris.
Setelah masuk ke bilik mata depan lalu anyaman trabekular di sudur bilik mata depan. Selama
itu, terjadi pertukaran diferensial komponen-komponen aqueous dengan darah di iris.2
Peradangan atau trauma intraocular menyebabkan peningkatan kadar protein. Hal ini
disebut plasmoid aqueous dan sangat mirip serum darah.2
Anyaman trabekular terdiri atas berkas-berkas jaringan kolagen dan elastik yang
dibungkus oleh sel-sel trabekular, membentuk suatu saringan dengan ukuran pori-pori yang
semakin mengecil sewaktu mendekati kanal Schlemm. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya
ke dalam anyaman trabekular memperbesar ukuran pori-pori di anyaman tersebut sehingga
kecepatan drainase humor aqueous juga meningkat. Aliran aqueous humor ke dalam kanal
6
terjadi pada pria myopia berusia 25 dan 40 tahun yang memiliki bilik mata depan yang dalam
dengan sudut bilik mata depan yang lebar.2
Glaukoma pigmentasi merupakan tipe glaukoma sudut terbuka sekunder dimana
mekanismenya masih belum diketahui. Diduga kemungkinan pigmen terlepas dikarenakan oleh
robekan mekanik dari lapisan posterior pigmen iris dengan fibril zonula.4
Kelainan pigmentasi dapat terjadi tanpa disertai glaukoma, tetapi orang-orang ini harus
dianggap sebagai tersangka glaukoma. Hingga 10% dari mereka akan mengalami glaukoma
dalam 5 tahun dan 15% dalam 15 tahun (glaukoma pigmentasi). Pernah dilaporkan beberapa
pedigree glaukoma pigmentasi herediter autosomal dominan, dan suatu gen untuk sindrom
dispersi pigmen dipetakan pada kromosom 7.2
Terapi miotik maupun iridotomi perifer dengan laser telah menunjukkan mampu
membalikkan konfigurasi iris yang abnormal, tetapi masih belum jelas apakah keduanya
memberikan keuntungan jangka panjang bagi perkembangan dan perburukan glaukoma. (Karena
pasien biasanya penderita myopia berusia muda, terapi miotik kurang dapat ditoleransi, kecuali
jika diberikan dalam bentuk pilokarpin sekali sehari, lebih disukai pada malam hari).2
Gambar 3. Deposisi pigmen pada endotel kornea, disebut dengan Krukenbergs spindle.5
Glaukoma Psudoeksfoliasi
Pada sindrom eksfoliasi terlihat endapan-endapan bahan berserat warna putih di
permukaan anterior lensa (berbeda dengan eksfoliasi kapsul lensa sejati akibat terpajan radiasi
inframerah, yakni katarak glassblower), di processus ciliares, zonula, permukaan posterior iris,
melayang bebas di bilik depan, dan di anyaman trabekular (bersama dengan peningkatan
pigmentasi). Sumber material eksfoliasi ini masih belum diketahui. Kondisi ini diasosiasikan
dengan glaukoma sudut terbuka sekunder. Mekanisme meningkatnya tekanan intraocular juga
masih belum jelas. Secara histologis, endapan-endapan tersebut juga dapat dideteksi di
8
konjungtiva, yang mengisyaratkan bahwa kelainan sebenarnya terjadi lebih luas. Penyakit ini
biasaya dijumpai pada orang berusia lebih dari 65 tahun dan secara khusus, dilaporkan sering
terjadi pada bangsa Skandinavia walaupun tidak menutup kemungkinan adanya bias. Risiko
kumulatif berkembangnya glaukoma adalah 5% dalam 5 tahun dan 15% dalam 10 tahun.
Terapinya sama dengan terapi glaukoma sudut terbuka. Insidens timbulnya komplikasi saat
bedah katarak lebih tinggi pada mata dengan sindrom pseudoeksfoliasi. 2,4
Glaukoma Fakolitik
Sebagian katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran kapsul lensa anterior, dan
memungkinkan protein-protein lensa, dan menimbulkan peningkatan tekanan intraokular akut.
Tipe ini merupakan tipe glaukoma sudut terbuka sekunder. Ciri dari kondisi ini
dikarakteristikkan dengan peningkatan tekanan intraocular saat memiliki katarak hipermatur dan
kamera okuli anterior menjadi dalam dan humor aqueous mungkin mengandung partikel protein
putih. Visus akan berkurang dalam kondisi ini, kadang-kadang menuju ke level persepsi cahaya
yang tidak akurat. Ekstraksi lensa merupakan terapi definitif, dilakukan segera setelah tekanan
intraocular terkontrol secara medis dan terapi steroid topikal telah mengurangi peradangan
intraokular.2,4,5
yang cenderung berkaitan dengan glaukoma sekunder adalah siklitis heterokromik Fuchs, uveitis
anterior akut terkait HLA-B27, dan uveitis akibat herpes zoster dan herpes simpleks.2
Terapi utama ditujukan untuk mengontrol uveitis disertai pemberian terapi glaukoma
sesuai keperluan; miotik dihindari karena dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya sinekia
posterior. Latanoprost mungkin juga harus dihentikan karena dilaporkan menimbulkan
eksaserbasi dan reaktivasi uveitis. Terapi jangka panjang, diantaranya tindakan bedah, sering
diperlukan karena kerusakan anyaman trabekular bersifat ireversibel.2
Penutupan sudut akut akibat seklusi pupil dapat dipulihkan dengan midriasis intensif,
tetapi sering memerlukan iridotomi perifer dengan laser atau iridektomi bedah. Setiap uveitis
dengan kecenderungan pembentukan sinekia posterior harus diterapi dengan midriatik selama
uveitisnya aktif untuk mengurangi risiko seklusi pupil.2
Tumor
posterior, dan (8) obstruksi dari trabekular meshwork oleh makrofak yang mengandung melanin
dilepas oleh tumor yang nekrosis. Biasanya diperlukan enukleasi.2,5
Pembengkakan Corpus Ciliare
Rotasi corpus ciliare ke depan, menyebabkan pergeseran diafragma iris-lensa ke anterior
dan glaukoma sudut tertutup sekunder; rotasi ini juga dapat terjadi akibat bedah vitreoretina atau
krioterapi retina, pada uveitis posterior, dan pada terapi topiramate.2
Sindrom Iridokornea Endotel (ICE)
Kelainan idiopatik pada dewasa muda yang jarang ini biasanya unilateral dan
bermanifestasi sebagai dekompensasi kornea, glaukoma, dan kelainan iris (corectopia dan
polycoria). Sindrom iridokornea endotel memiliki tiga gejala klinik yaitu atrofi iris progresif,
sindrom chandlers (perubahan iris dan edema kornea), dan sindrom cogan-reese (nodul atau lesi
pigmen difus iris yang dapat atau tidak dapat diasosiasikan dengan perubahan kornea). Gejala
umum pada sindrom ICE yang berproliferasi menuju ke bentuk membrane endotel pada kamera
okuli anterior. Glaukoma disebabkan oleh sinekia sudut tertutup sekunder hasil dari kontraksi
membrane endotel. Pengobatan biasanya membingungkan karena dengan obat-obatan biasanya
tidak efektif, operasi trabekulektomi biasanya gagal, dan artificial filteration shunt mungkin
mengontrol tekanan intraocular.2,4
Glaukoma Akibat Trauma
Cedera kontusio bola mata dapat disertai dengan peningkatan dini tekanan intraocular
akibat perdarahan ke dalam bilik mata depan (hifema). Darah bebas menyumbat anyaman
trabekular, yang juga mengalami edema akibat cedera. Terapi awal dilakukan dengan obatobatan, tetapi mungkin diperlukan tindakan bedah bila tekanannya tetap tinggi, yang
kemungkinan besar terjadi bila ada episode perdarahan kedua.2
Cedera kontusio berefek lambat pada tekanan intraocular; efek ini timbul akibat
kerusakan langsung pada sudut. Selang waktu antara cedera dan timbulnya glaukoma mungkin
menyamarkan hubungan tersebut. Secara klinis, bilik mata depan tampak lebih dalam daripada
mata yang satunya, dan gonioskopi memperlihatkan resesi sudut. Terapi medis biasanya efektif,
tetapi mungkin diperlukan tindakan bedah.2
12
Laserasi atau robek akibat kontusio pada segmen anterior sering disertai dengan
hilangnya bilik mata depan. Apabila bilik mata tidak segera dibentuk kembali setelah cedera
baik secara spontan, dengan inkarserasi iris ke dalam luka, atau secara bedah akan terbentuk
sinekia anterior perifer dan menyebabkan penutupan sudut yang ireversibel.2
Glaukoma Setelah Tindakan Bedah Okular
Glaukoma Sumbatan Siliaris (Glaukoma Maligna)
Tindakan bedah pada mata yang menimbulkan peningkatan tekanan intraocular yang
bermakna dan sudut sempit atau tertutup dapat menyebabkan glaukoma sumbatan siliaris. Segera
setelah pembedahan, tekanan intraocular meningkat hebat dan lensa terdorong ke depan akibat
penimbunan aqueous di dalam dan di belakang korpus vitreum. Pasien awalnya merasakan
penglihatan jauh yang kabur, tetapi penglihatan dekatnya membaik. Ini diikuti dengan nyeri dan
peradangan.2
Terapi terdiri atas sikloplegik, midriatik, penekan aqueous humor, dan obat-obat
hiperosmotik. Obat hiperosmotik digunakan untuk menciutkan korpus vitreum dan membiarkan
lensa bergeser ke belakang.2
Mungkin diperlukan sklerotomi posterior, vitrektomi, dan bahkan ekstraksi lensa.2
Sinekia Anterior Perifer
Seperti halnya trauma pada segmen anterior, tindakan bedah yang menyebabkan
mendatarnya bilik depan mata depan akan menimbulkan pembentukan sinekia anterior perifer.
Diperlukan pembentukan kembali bilik mata depan melalui tindakan bedah dengan segera
apabula hal tersebut tidak terjadi secara spontan.2
Glaukoma Neovaskular
Neovaskularisasi iris (rubeosis iridis) dan sudut bilik mata depan paling sering
disebabkan oleh iskemia retina yang luas seperti yang terjadi pada retinopati diabetic stadium
lanjut dan oklusi vena centralis retinae iskemik. Glaukoma mula-mula timbul akibat sumbatan
sudut oleh membrane fibrovaskular, tetapi kontraksi membrane selanjutnya menyebabkan
penutupan sudut.2
Terdapat beberapa stadium pada glaukoma neovaskular. Stadiumnya adalah:(A) Stadium
preglaukoma dengan pembuluh darah baru muncul di sisi pinggir pupil dan sudut. (B) Stadium
13
glaukoma sudut terbuka dengan pembuluh darah baru menyebar dan jaringan fibrovaskular
menutupi sudut. (C) Neovaskularisasi berat dan sinekia anterior perifer yang ekstensif. (D)
Stadium regresi dengan sudut tertutup dan pembuluh darah yang tidak terlihat.5
merupakan responder menengah, dan 60% bukan merupakan responder. Mekanisme terjadinnya
masih belum diketahui, namun terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Teori
glikosaminoglikans
(GAG),
kortikosteroid
menghambat
pelepasan
hidrolasi
(dengan
Mengecilkan pupil pasca bedah lensa biasanya dipakai asetilkolin.; (5) Pasca bedah asetilkolin
atau pilokarpin dipakai sesudah memasang lensa intraocular.6
Pilokarpin (0,5-6%) memberikan efek 4-6 jam, harga tidak mahal dan tidak banyak
memberikan efek samping. Bekerja dengan meningkatkan fasilitas pengeluaran cairan mata
dengan membuka sudut bilik mata dengan miosis. Gejala samping yang dapat ditimbulkan oleh
pilokarpin adalah sakit pada alis mata, akibat spasme otot siliar, dan penglihatan malam
berkurang terutama pada pasien dengan katarak Polaris posterior akibat pupil kecil.6
Karbakol (0,75-3%) sukar diserap melalui kornea dibanding pilokarpin dan hanya dipakai
bila pilokarpin tidak efektif. Miotika lain yang daapat dipakai adalah obat-obat penghambat
kolinesterase sehingga keaktifan asetilkolin bertambah. Obat anti-kolinesterase ini dapat
memberikan efek samping sakit akibat spasme akomodasi, sakit kepala, miopia, katarak, ablasi
retina, dan kista iris. Sistemik dapat memberikan keluhan sakit kepala, berkeringat, enek,
muntah, diare, dan ares jantung.6
Beta blocker, obat yang bekerja menghambat rangsangan simpatis dan mengakibatkan
penurunan tekanan bola mata. Obat ini tidak mempengaruhi pupil sehingga tidak mengakibatkan
gangguan akomodasi pada orang muda.6
Pada terapi sistemik, asetazolamida, obat yang menghambat enzim karbonik anhidrase
yang akan mengakibatkan diuresis dan menurunkan sekresi cairan mata sebanyak 60%,
menurunkan tekanan bola mata. Pada permulaan pemberian akan terjadi hipokalemia sementara.
Dapat memberikan efek samping hilangnya kalium tubuh, parestesi, anoreksia, diarea,
hipokalemia, batu ginjal dan miopia sementara.6
Obat antiglaukoma lain adalah adrenalin, sinonim dengan adrenaline, adrine, adrenamine,
adnephrine, chalafrin, epirenan, epinephrine, hemisin, hemostatin, paranephrine, suprarenine,
suprarenaline, supracapsiline, supranepharane. Adrenaline klorida dipakai dalam larutan 1:10000
untuk pembedahan mata, hidung, dan uretra. Adrenalin merupakan astrigen, hemostatik, dan
tonik jantung yang kuat.6
Antidrenergik atau simpatolitik. Zat atau sifat serupa adrenalin dalam saraf zat ini
diaktifkan atau disalurkan dengan epinefrin. Adrenergik adalah istilah yang dipakai pada saraf
yang melepaskan simpatin pada sinaps saat rangsang melaluinya. Zat ini ditemukan pada saraf
simpatis. Obat yang menghambat sistem saraf simpatis yang menghambat transmisi epinefrin
saraf, yang dipakai untuk antiglaukoma, dan kadang-kadang mengakibatkan vasokonstriksi.6
16
Adrenergik stimulasi atau simpatomimetik, obat yang bekerja sebagai sistem saraf
simpatis, yang dipergunakan untuk glaukoma yang bekerja membuka sudut bilik mata yang akan
menambah pengaliran keluar cairan mata dan menghambat produksi cairan mata pada badan
siliar. Obat ini mengakibatkan dilatasi pupil tanpa menghambat akomodasi. Obat ini
mengakibatkan mata menjadi putih akibat konstriksi pembuluh, darah konjungtiva yang
melebar.6
Gliserin, bekerja menurunkan tekanan bola mata, gliserin tidak boleh diberikan lebih dari
1 kali dalam 8 jam. Manitol, bekerja denan mengakibatkan cairan ekstraseluler hiperosmotik
sehingga terjadi dehidrasi sel dan diuresis. Obat hiperosmotik bekerja mengatur tekanan bola
mata dengan mengatur tekanan osmotic cairan mata.6
Prognosis Glaukoma
Penutup
Glaukoma merupakan penyakit mata yang menyerang saraf optic dengan banyak sekali
penyebab. Penyebab tersebut telah diklasifikasikan menjadi beberapa bagian besar yaitu primer,
kongenital, sekunder, dan absolut. Pada glaukoma, penting untuk diketahui mengenai glaukoma
primer yaitu yang sudut terbuka dan sudut tertutup. Dengan mengetahui hal tersebut, maka
menjadi dasar untuk tipe-tipe glaukoma lainnya. Glaukoma sekunder itu sendiri memiliki
berbagai
jenis
etiologi
yang
terklasifikasi
yaitu
glaukoma
pigmentasi,
glaukoma
pseudoeksfoliasi, glaukoma akibat kelainan lensa, glaukoma akibat kelainan traktus uvealis,
sindrom iridokornea endotel, glaukoma akibat trauma, glaukoma akibat setelah tindakan bedah
okular, glaukoma neovaskular, glaukoma akibat peningkatan tekanan episklera, glaukoma akibat
steroid. Dengan mengetahui etiologi-etiologi dari masing-masing tipe glaukoma sekunder
tersebut, maka penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan sehingga penurunan fungsi
penglihatan dapat diminimalisir progresivitasnya.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011. h.211.
2. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta:
EGC; 2010. h. 212-28
3. James B, Chew C, Bron A. Lecture note on ophthalmology. 9 th edition. Victoria:
Blackwell Publishing; 2003.
4. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th edition. New Delhi: New Age
International; 2007.
5. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. Becker-Shaffers diagnosis and therapy of the
glaucomas. 8th edition. London: Mosby Elsevier; 2009.
6. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
18