Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guinensis) merupakan salah satu tanaman komoditas
yang mengalami perluasan lahan paling pesat di dunia. Indonesia merupakan salah
satu negara yang menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman komoditas utamanya
saat ini. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia Sebagian besar menggunakan
hutan hujan tropis dan telah menutupi lebih dari 13 juta ha daratan. (Sunarko,
2007).
Kalimantan Tengah merupakan urutan ke empat luas perkebuan kelapa
sawit dengan luas 1,5 juta ha setelah Riau, Sumatera Utara, dan Jambi (Sunarko,
2007). Salah satu wilayah Kalimantan Tengah yang memiliki titik perkebunan
kelapa sawit paling banyak yaitu berada di Kecamatan Mantangai Kabupaten
Kapuas salah satunya berada di Desa Babugus yang dikelola oleh perusahaan PT.
Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) dengan luas 10.000 ha (komunikasi pribadi,
Riswandi, 2014). Menurut (Jumar, 2000) konversi hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit biasanya menghasilkan kawasan yang mempunyai areal hutan yang
kecil dan terfragmentasi bagi sebagaian hewan terutama anggota serangga seperti
kupu-kupu.
Kupu-kupu pada umumnya dapat dijumpai hampir di semua habitat mulai
dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi dengan ketinggian 1500-1800
meter di permukaan laut, karena kupu-kupu merupakan serangga yang bersifat
kosmopolitan. Keberadaan kupu-kupu tidak terlepas dari daya dukung habitatnya
yang memiliki penutupan vegetasi perdu dan pohon yang berakar kuat, serta
adanya sungai-sungai yang mengalir. Habitat yang berbeda merupakan salah satu
faktor penyebab perbedaan kupu-kupu yang hidup di dalamnya. Kelangsungan
hidup kupu-kupu dalam suatu habitat sangat bergatung pada keberadaan tanaman
inang baik yang berfungsi sebagai sumber makanan untuk fase dewasa maupun
fase larvanya.
Menurut Suprapto, 2007 (Utami, 2012) keberadaan kupu-kupu dapat
digunakan sebagai indikator kualitas lingkungan yang baik, karena kupu-kupu
merupakan hewan yang sangat cepat reaksinya terhadap lingkungan, adanya
sedikit perubahan dalam suatu lingkungan akan berakibat menurunnya populasi
kupu-kupu. Kupu-kupu juga merupakan pollinator yang ideal dalam membantu
penyerbukan tanaman. Secara ekologis turut berperan dalam mempertahankan
keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Menurut
Syaputra, et al., 2009 (Rahayu, 2012) nilai estetika dari warna dan corak kupukupu bisa menjadi obyek wisata yang menarik serta dapat digunakan sebagai
sarana pendidikan (Dendang, 2009).
Kupu-kupu, sama seperti serangga lain yang tergolong holometabola sejati
yaitu mempunyai metamorfosis lengkap dan sempurna dengan siklus hidup
melalui stadium telur, larva, pupa, dan imago. Kupu-kupu termasuk dalam ordo
Lepidoptera dan sub ordo Rhopalocera, dimana ordo Lepidoptera merupakan ordo
terbesar dalam kelas serangga (Borror et al., 1992). Keragaman kupu-kupu di
Indonesia sangat banyak, dari 17.000 spesies yang ada di dunia, sekitar 18.000
spesies kupu-kupu terdapat di Indonesia (Peggie, 2008 dalam Rahayu et al., 2013)
2)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5
sawit 10.000 ha. Kecamatan Mantangai berada pada wilayah dengan ketinggian
100-500 meter diatas permukaan laut (BPS Kabupaten Kapuas, 2014)..
2.2 Kelapa Sawit
2.2.1 Habitat Kelapa Sawit
Habitat asli tanaman kelapa sawit adalah daerah semak. Kesuburan tanah
bukan merupakan syarat mutlak bagi perkebunan kelap sawit. Tanaman kelapa
sawit dapat tumbuh diberbagai jenis tanah yaitu daerah yang tidak tergenang air
saat musim hujan dan tidak kekeringan saat musim kemarau dan membutuhkan
iklim dengan curah hujan stabil rata-rata 2000-2500 mm/tahun. Kelapa sawit
dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis, pada ketinggian 500-1000 m diatas
permukaan laut dengan kelembaban 80-90% (Sastrawahyono, 2003). Kelapa sawit
termasuk kedalam famili Aracaceae, genus Eleaeis, dan merupakan speseis
Elaeis Guineensis Jacq. Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian yaitu
bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit meliputi
akar, batang dan daun. Bagian generatif tanaman kelapa sawit meliputi bunga dan
buah (Sunarko, 2007).
Kelapa sawit diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda
pada tahun 1848, pada saat itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa
dari Muritis dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa
sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911.
Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang
Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. budi daya yang
dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa
sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai
berkembang (Sastrawahyono, 2003).
Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera
(Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai
mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara
eropa, kemudian pada tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar
850 ton. Tahun 1997, luas areal lahan kelapa sawit mencapai 2,9 juta ha dengan
laju perluasan areal 5-7% per tahun dan produksi minyak mentah sebesar 5,2 juta
ton yang menyumbang 1,39% GDP seluruh sektor (Sastrawahyono, 2003). Tahun
2007 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 6,6 juta ha
(Anonimus, 2007).
2.3 Kupu-Kupu
2.3.1 Morfologi Kupu-Kupu
Tubuh kupu-kupu sama juga seperti tubuh serangga yang lain, terdiri dari
tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut (Morgan, 2007 dalam Utami, 2012).
Menurut Sastrodiharjo, 1989 (Lutfiana, 2013) kepala kupu-kupu berbentuk bulat
kecil, terdapat sepasang antena, mata majemuk, dan alat penghisap nektar
(haustellate) dalam bentuk probosis yang dapat digulung pada saat tidak
digunakan.
Sepasang antena pada serangga merupakan organ penerima rangsang
seperti bau, rasa, raba dan panas. Antena serangga terdiri dari 3 ruas. Ruas dasar
disebut scope, ruas kedua disebut pedisel dan ruas ketiga disebut flagellum
(Jumar, 2000). Menurut Noerdjito dan Aswari, 2003 (Lutfiana, 2013) pada
beberapa famili kupu-kupu memiliki antena bagian ujung membesar (clubbed),
berbentuk gada. Menurut (Jumar, 2000) antena bentuk gada dibedakan menjadi
empat macam yaitu clavate, capitate, lamellate, dan flabelate. Antena bentuk
clavate dan capitate terdapat pada kupukupu, sedangkan antena bentuk lamellate
dan flabellate terdapat pada kumbang. Antena kupu-kupu dapat dilihat pada
gambar 2.2.
capitate)
Sumber: Jumar, 2000.
Kupu-kupu
di
antara
pepohonan
(Suhara, 2009). Kupu-kupu mempunyai dua mata majemuk yang besar dengan
6000 omatidium dan dua mata mata tunggal atau oceli (Purnomo & Haryadi, 2007
dalam Rahayu, 2012). Mata majemuk atau mata facet terdiri atas sejumlah (bisa
sampai beberapa ribu) satuan-satuan individual yang dinamakan omatidia (Jumar,
2000). Mata majemuk berfungsi untuk melihat karena terdapat omatidia yang
merupakan lensa-lensa dan berfungsi untuk membentuk bayangan, sedangkan
mata tunggal tidak berfungsi membentuk bayangan tetapi untuk mengetahui
10
perubahan intensitas cahaya (Purnomo & Haryadi, 2007 dalam Rahayu, 2012).
Mata Kupu-kupu dapat dilihat pada gambar 2.3.
Menurut (Jumar, 2000) Probosis terbentuk dari sepasang galea (bagian dari
maksila). Saluran makanan terletak diantara galea, sedangkan saluran ludah
khusus tidak ada. Labrum tereduksi menjadi sklerit kecil melintang pada bagian
tepi bawah frons. Mandibel dan hipofaring tidak ada. Palpus maksila biasanya
tereduksi atau tidak ada, tetapi palpus labium biasanya berkembang sempurna.
Pada tipe alat mulut ini tidak terdapat alat untuk menusuk, sehingga untuk
mengambil makanan berupa cairan dilakukan dengan cara menghisapnya melalui
probosis. Pada saat digunakan, probosis terjulur dan memanjang akibat adanya
tekanan darah dan dapat tergulung kembali akibat elastisitasnya. Probosis kupukupu dapat dilihat pada gambar 2.3.
Tungkai atau kaki kupu-kupu terdiri atas koksa, trokhanter, femur, tibia
dan tarsus. Tarsus biasanya 5 ruas yang dilengkapi dengan sepasang cakar (Lilies,
1991 dalam Yustitia, 2012). Jumlah dari ruas-ruas tarsus ini sangat bervariasi
tergantung jenis kelaminnya. Kaki depan kupu-kupu biasanya sangat sensitif,
sangat berguna dalam mengenali adanya nektar, bunga, atau pasangannya. Kaki
11
2011).
12
segmen toraks belakang (metatoraks) (Hadi et al., 2009 dalam Rahayu, 2012).
Menurut Suhara (2009) pasangan kaki depan menempel pada protoraks, sedang
kaki tengah dan pasangan sayap depan melekat pada mesotoraks. Metatoraks
tempat melekatnya pasangan kaki belakang dan pasangan sayap belakang. Ruas
toraks kedua dan ketiga (meso dan metatoraks) merupakan pendukung kuat dari
kedua pasangan sayap kupu-kupu. Disamping adanya kaki dan sayap, di kedua
belah sisi toraks dilengkapi dengan 2 pasang lubang spirakel, yang berfungsi
sebagai lubang pernafasan.
Abdomen terdiri dari 7 segmen, segmen terakhir merupakan organ
reproduksi. Segmen ujung merupakan alat kelamin kupu-kupu, pada alat kelamin
jantan terdapat aedeagus (alat penyalur spermatozoa) dan sepasang alat pembantu
berbentuk penjepit (klasper), sedangkan pada betina segmen tersebut berubah
menjadi spermateka (bagian yang menerima dan mennyimpan spermatozoa) dan
ovipositor atau alat untuk meletakkan telur (Sastrodiharjo, 1989 dalam Lutfiana,
2013). Di dalam abdomen ini terdapat alat pencernaan, jantung, organ ekskresi
dan organ reproduksi, serta sistem otot yang kompleks (Suhara, 2009). Morfologi
kupu-kupu dapat dilihat pada Gambar 2.5.
13
Gambar
2.5 Morfologi
Kupu-
kupu
Sumber: Jumar, 2000.
14
15
bercabang empat; dan tidak ada perpanjangan seperti ekor pada sayap-sayap
belakang. Famili Papilionidae dan venasi sayap dapat dilihat pada Gambar
2.6 dan Gambar 2.7.
16
17
18
19
Libytheana bachmanii adalah umum dan sangat luas tersebar. Libytheidae ini
adalah kupu-kupu cokelat kemerah-merahan dengan bintik-bintik putih pada
bagian ujung sayap-sayap depan dengan tepi bagian luar sayap-sayap depan
agak berlekuk sangat dalam. Famili Papilionidae dan venasi sayap dapat
dilihat pada Gambar 2.12 dan Gambar 2.13.
20
5) Famili Nymphalidae
Kupu-kupu berkaki sikat: adalah satu kelompok yang cukup besar dan
mencakup banyak kupu-kupu yang umum. Nama umum dari famili ini
merujuk pada fakta bahwa tungkai-tungkai depan sangat menyusut dan hanya
tungkai-tungkai tengah dan belakang dipakai untuk berjalan. Famili
Papilionidae dan venasi sayap dapat dilihat pada Gambar 2.14 dan Gambar
2.15.
21
6) Famili Satyridae
Kupu-kupu satyridae, adalah kupu-kupu nimfa kayu, dan kupu-kupu Arctic:
kupu-kupu ini berukuran kecil sampai sedang, biasanya keabu-abuan atau
coklat, dan biasanya mempunyai bintik-bintik seperti mata pada sayap.
Radius pada sayap-sayap depan lima cabang, dan beberapa rangka sayap pada
sayap-sayap depan (terutama Sc) sedikit menggembung di dasar. Krisialis
biasanya ditautkan oleh kremaster pada daun-daun dan obyek-obyek lain.
Famili Papilionidae dan venasi sayap dapat dilihat pada Gambar 2.16 dan
Gambar 2.17.
22
23
daun pada tanaman inang yang cocok untuk makanan larvanya., agar terhindar
dari terik matahari dan musuh-musuh alaminya (Amir dkk, 2003 dalam Maulida,
2011).
26
satu jam, setelah sayap meningkat dan mengeras kupu-kupu akan terbang jauh
untuk mencari makanan dan pasangan (Glassberg, 2001 dalam Utami, 2012).
Proses pertumbuhan kupu-kupu, terjadi proses pergantian kulit yang
dikenal dengan istilah ecdysis dan molthing, sisa kulit yang ditinggalkan disebut
exuviae. Selama pertumbuhan berlangsung akan mengalami beberapa kali
pergantian kulit dan bentuk kupu-kupu antara dua masa pergantian kulit disebut
instar (Jumar, 2000).
Molthing dan metamorfosis kupu-kupu dikontrol oleh beberapa hormon
efektor diantaranya (Achmad, 2002 dalam Maulida, 2011):
1) Juvennil hormon, disekresikan oleh corpora allata. Sel sekretori corpora
allata aktif selama larva molthing. Selama hormon juvennil terbentuk
hidrosi Ecdysone menstimulasi molthing dan menghasilkan larva instar yang
baru. Juvennil hormon juga berfungsi untuk mencegah perubahan induksi
Ecdysone pada ekspresi gen yang penting saat terjadi metamorfosis.
2) Ecdysone, berfungsi untuk menginisiasi, mengkoordinir atau mengatur tiap
tahapan molthing serta regulasi perubahan ekspresi gen yang terjadi selama
metamorfosis melalui proses ecdysis.
3) Prothoracicotropic (PTIH), adalah hormon peptida yang menstimulasi
ecdysone dari kelanjar prothoracic. Proses molthing diinisasi di otak, sel
neurosekretori menghasilkan hormon Prothoracicotropic yang merespon
neural, hormonal, atau sinyal lingkungan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
27
dimana
Keterangan:
ni
= jumah individu tiap jenis kupu-kupu
N
29
Pi=
ni
N
= indeks kemelimpahan
jenis
kupu-kupu
dalam
suatu
4) Indeks Dominasi
Penentuan jenis kupu-kupu yang dominan di dalam kawasan
penelitian, ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks
Dominansi Simpson (Magurran, 1988).
30
D= Pi 2
Pi=
dimana
ni
N
Keterangan:
D
= indeks dominasi Simpson suatu jenis kupu-kupu
ni
= jumlah individu suatu jenis
N
penyebaran
kupu-kupu
kupu-kupu
secara
digunakan
spasial
untuk
dengan
Frekuensi Jenis ( F )=
Frekuensi Relatif ( FR ) =
Frekuensi Jenis
x 100
Frekuensi Seluruh Jenis
kelapa sawit PT. Sakti Mait Jaya Langit. Sketsa kawasan lokasi penelitian
dapat dilihat pada gambar 3.1.
32
DAFTAR PUSTAKA
Aedi, N. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Penulisan Proposal dan Laporan
Penelitian. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Anonimous. 2012. Lokasi Kecamatan
/BPS/MO_99/, (03 Desember 2014).
Mantangai
http://168.143.107.22
33
BPS Kabupaten Kapuas. 2014. Kabupaten Kapuas dalam Angka 2014. Kapuas :
BPS Kabupaten Kapuas.
Dahelmi., Salmah., Novri Sea Mega Sutra. 2012. Spesies Kupu-Kupu
(Rhopalocera) di Tanjung Balai Karimun Kabupaten Karimun Kepulauan
Riau. Jurnal Biologi Vol. 9 No. 1:19-21. Padang: Universitas Andalas.
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Febrita, E., Yustina., Dahmania. 2014. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu di
Kawasan Wisata Hapanasan Rokan Hulu Sebagai Sumber Belajar Pada
Konsep Keanekaragaman Hayati. Jurnal Biogenesis, Vol. 10, Nomor 2
Riau: Universitas Riau Pekanbaru.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.
Lutfiana, N. 2013. Inventarisasi Kupu-Kupu (Lepidoptera) Di Perkebunan Durjo
Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Universitas
Jember.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement.
New Jersey:
Pricenton University Press.
Maulida, N.A. 2011. Media Peletakkan Telur dan Siklus Hidup Graphium
agamemnon L. (Lepidoptera: Papilionidae) pada Tanaman Glodokan di
Kampus I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi.
Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta.
Rahayuningsih, M., R. Oqtariana., B. Priyono M. 2012. Keanekaragaman Jenis
Kupu-Kupu Superfamili Papilionoidae di Dukuh Banyuwindu Desa
Limbangan Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Jurnal Penelitian
MIPA Vol.35 No.1: 11-20. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Rahayu, E.S., Hawa Tuarita. 2013. Struktur Komunitas Kupu-kupu pada Area
Wana Wisata Air Terjun Coban Rais di Batu. Jurnal Penelitian Biologi
Sains Lingkungan dan Pembelajarannya Vol.9 No.1: 9-20. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Rahayu, S.E. 2012. Keanekaragaman Spesies dan Distribusi Kupu-kupu
Lepidoptera; Rhopalochera di Beberapa Tipe Habitat di Hutan Kota
Muhammad Sabki Kota Jambi. Skripsi. Jawa Barat: Universitas Indonesia.
Sastrawahyono, 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta.
34
Schulze, C.H. 2005. Identification guide For butterflies of West Java Families
Papilionidae, Pieridae and Nymphalidae.
Suhara. 2009. Ornitophtera goliath Si Cantik dari Papua. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sunarko, 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengelolaan Kelapa Sawit.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Utami, E.N. 2012. Komunitas Kupu-kupu Ordo Lepidoptera: Papilionidae di
Kampus Universitas Indonesia Depok Jawa Barat. Skripsi. Jawa Barat:
Universitas Indonesia.
White, R.E., Donald J. B. 1970. Insects. Houghton Mifflin Company: New York.
Yustitia, S. 2012. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu di Kebun Botani
UPI Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
35