You are on page 1of 25

Sari Kepustakaan

Divisi Pulmonologi dan alergi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam

DIAGNOSIS ASTHMA COPD OVERLAP SYNDROME (ACOS)


Zulfahmi Zulfa, Alwinsyah Abidin, Ermanta N Keliat
Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU
RSUP. Haji Adam Malik

PENDAHULUAN
Asma dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) merupakan penyakit paru
obstruktif yang paling menonjol dan insidensinya semakin meningkat. 1 Sekitar 1 dari 12
orang di seluruh dunia menderita asma atau COPD, dulunya dianggap sebagai dua entitas
penyakit yang berbeda, namun dua kondisi ini sekarang ini dikenal heterogen dan sering kali
merupakan kondisi yang tumpang tindih.2 Dalam membedakan asma dari COPD dapat
menjadi masalah, khususnya pada perokok dan lansia.3,5

Keduanya dikarakteristik oleh

inflamasi saluran nafas kronik dan obstruksi saluran nafas yang heterogen.4
Onset asma biasanya saat usia muda, pada bukan perokok, yang terkait dengan
obstruksi saluran nafas episodik dan reversible akibat suatu stimulus. Sebaliknya, COPD
dikarakteristik oleh obstruksi saluran nafas terkait dengan tembakau, yang terjadi progresif
dan poorly reversible.1 Meskipun begitu, pasien dengan asma atau COPD dapat memiliki
karakteristik yang sama, misalnya obstruksi saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible
telah diamati pada sebagian penderita asma dan airway hyper-responsiveness/ AHR dapat
terjadi pada pasien dengan COPD. Kondisi yang terjadi bersamaan ini disebut asthmaCOPD overlap syndrome.5
Perkiraan prevalensi populasi ACOS berkisar mulai dari 1.6% hingga 4.5% dari
penelitian di Italia, Korea Selatan, Amerika Latin, dan Amerika Serikat. Prevalensi ACOS
1

pada pasien COPD diperkirakan 12.1% hingga 55.2% dan prevalensi ACOS pada pasien
asma dari 13.3% hingga 61.0%.6 ACOS tampaknya memiliki faktor risiko yang sama dengan
COPD. Faktor risiko tersebut termasuk merokok, semakin tua usia pasien, dan riwayat asma.7
Asthma- COPD overlap menyebabkan gangguan status kesehatan, meningkatnya
eksaserbasi, lama rawat inap dan mortalitas. Terlebih lagi, pada pasien muda (berusia 20- 44
tahun) dengan ACOS, diagnosis ACOS dikaitkan dengan peningkatan lama rawat inap dan
jumlah masuk ke rumah sakit daripada populasi asma berat.8
2.1 Definisi
Menurut Global Initiative For Asthma (GINA, 2014), asma merupakan penyakit
heterogen, biasanya dikarakteristik oleh adanya inflamasi saluran nafas kronik. Ditetapkan
oleh riwayat gejala klinis saluran nafas seperti mengi, sesak nafas, rasa ketat di dada dan
batuk yang bervariasi sepanjang waktu dan intensitas bervariasi, bersamaan dengan
bervariasinya keterbatasan aliran udara ekspirasi.2,3 Asma ini dikenal sebagai penyakit alergi,
biasanya timbul saat masih kanak- kanak dan dikarakteristik oleh obstruksi saluran nafas
reversible.4,9 Penyakit ini mempengaruhi saluran nafas besar dan kecil. Obstruksi saluran
nafas ini terutama terjadi akibat spasme otot polos (gambar 1), meskipun mukus dan infiltrat
inflamasi di saluran nafas juga memberikan kontribusi. Bronchial hyperresponsiveness
(BHR), meningkatnya respon bronkokonstriktor terhadap stimulus yang diinhalasi,
merupakan sifat pokok dan lazim dari asma tetapi tidak cukup spesifik untuk menegakkan
diagnosis yang tepat.2
Sebaliknya, menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD,
2014), COPD merupakan penyakit yang lazim dapat dicegah dan diobati, yang dikarakteristik
oleh keterbatasan aliran udara persisten yang biasanya terjadi progresif dan terkait dengan
meningkatnya respon inflamasi kronik pada saluran nafas dan paru-paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas berhubungan dengan keparahan
secara keseluruhan pada pasien individu.3 COPD khususnya disebabkan oleh merokok,
timbul setelah usia dekade empat dan menunjukkan adanya obstruksi aliran udara yang tidak
komplit, sehingga menyebabkan penurunan progresif fungsi paru dan kematian prematur.2,4,6,9
COPD khususnya mempengaruhi saluran nafas kecil. Pada bronkitis kronik, terdapat infiltrat
inflamasi di saluran nafas, terutama aparatus sekretorik mukus, sedangkan pada emfisema,
terdapat kumpulan sel inflamasi dekat dengan area kerusakan jaringan alveolus (gambar 1).
Bronkitis kronik dan emfisema sering kali terjadi bersamaan, meskipun terdapat pasien
dimana hanya ada satu fenotip yang mendominasi. COPD sering terkait dengan batuk kronik,
dahak, mengi atau kombinasinya. Obstruksi saluran nafas terjadi akibat kontraksi otot polos,
2

mukus jalan nafas, kerusakan jaringan atau kombinasi, dengan hilangnya elastic recoil paruparu yang menyebabkan menutupnya saluran nafas. Bentuk obstruksi jalan nafas ini progresif
pada banyak pasien.2

Gambar 1. Fungsi paru-paru pada COPD dan asma. COPD merupakan penyakit
inflamasi terutama pada saluran nafas kecil dan melibatkan bronkitis kronik dan kerusakan
jaringan (emfisema). Penyakit tersebut mungkin dimulai dengan rendahnya kadar fungsi
paru-paru sedini usia 25 tahun, yang diikuti dengan cepatnya penurunan forced expiratory
volume in 1 second (FEV1) dibandingkan penurunan normal. FEV1 mungkin berkurang
hingga 50% dari nilai yang diprediksi (normal) pada usia 60 tahun dan mungkin serendah
25% dari nilai yang diprediksi. Selama eksaserbasi, FEV1 berkurang; penurunan dan
pemulihan terjadi lebih perlahan- lahan daripada pada asma. Pada asma, obstruksi jalan nafas
terutama terjadi akibat spasme otot polos dan hipersekresi mukus. Eksaserbasi mungkin
menyertai cepatnya penurunan FEV1, dengan cepatnya penurunan dan lebih cepatnya
pemulihan dibandingkan pada COPD. Perkembangan penyakit mungkin terjadi pada
subkelompok penderita asma, yang menyebabkan nilai FEV1 50% dari nilai yang diprediksi
pada usia 60 tahun. FEV1 jarang menurun hingga kadar rendah yang lebih sering terjadi pada
COPD. Atas dasar FEV1 55% dari nilai yang diprediksi pada usia 60 tahun, seseorang tidak
dapat membedakan asma dari COPD.2

Pedoman menurut American Thoracic Society (ATS) pada tahun 1995 menetapkan,
asma, bronkitis kronik, emfisema, COPD, obstruksi aliran udara dan mengidentifikasi 11
sindrom yang berbeda. Terdapat tumpang tindih (overlap) pada 6 dari 11 sindrom ini.9
Pada penelitian baru-baru ini dari Spanyol, Soler- Cataluna et al (2012) menetapkan
fenotip klinis yang dikenal sebagai overlap phenotype COPD- asthma. Dalam menegakkan
3

diagnosis ini, diperlukan dua kriteria mayor dan dua kriteria minor. Kriteria mayor termasuk
pemeriksaan bronkodilator sangat positif (peningkatan FEV115% dan 400mL), eosinofilia
pada sputum dan riwayat asma. Kriteria minor termasuk tingginya total IgE, riwayat atopik
dan pemeriksaan bronkodilator positif (peningkatan FEV1 12% dan 200mL) pada 2 atau
lebih kejadian. Meskipun begitu; kriteria ini tidak spesifik maupun sensitif.9,10 Eosinofilia
pada jalan nafas tidak khusus untuk asma dan ada pada pasien COPD. 9
Zeki et al (2011) menetapkan ACOS sebagai salah satu dari dua fenotip klinis: (I) asma
dengan obstruksi aliran udara yang parsial reversible, dengan atau tanpa emfisema atau
berkurangnya kapasitas difusi karbonmonoksida (DLCO) hingga diprediksi <80%; dan (II)
COPD dengan emfisema yang disertai oleh obstruksi aliran darah reversial atau parsial
reversible, dengan atau tanpa alergi lingkungan atau berkurangnya DLCO.9,11
Louie et al (2013) lebih memilih kriteri mayor untuk ACOS sebagai berikut: diagnosis
dokter adanya asma dan COPD pada pasien yang sama, riwayat atau bukti adanya atopik,
misalnya alergi serbuk bunga, meningkatnya total IgE, usia 40 tahun, merokok > 10 batang
per tahun, FEV1 paskabronkodilator <80% yang diprediksi dan FEV1/FVC <70%. Kriteria
minor adalah adanya peningkatan FEV1 15% atau 12% dan 200mL peningkatan
pengobatan paskabronkodilator dengan albuterol.9,12
Asthma- COPD overlap syndrome (ACOS) dikarakteristik oleh keterbatasan saluran
nafas persisten dengan beberapa gejala klinis yang biasanya dikaitkan dengan asma dan
beberapa gejala klinis biasanya terkait dengan COPD. Karena itu, ACOS ditandai dengan
adanya gejala klinis asma dan COPD.3,8
Inflamasi saluran nafas merupakan komponen sentral dari semua fenotip yang berbeda
dari penyakit saluran nafas obstruktif (asma, COPD, emfisema, dan bronkitis kronik) yang
dapat terjadi pada berbagai kombinasi (gambar 2).2

Gambar 2. Diagram Venn klasik digunakan untuk menggambarkan tumpang tindih dari
patologi dan gejala klinis bronkitis kronik, emfisema, dan asma. Subset yang terdiri dari
COPD diarsir. Bronkitis kronik, emfisema, dan obstruksi saluran nafas merupakan efek
independen dari merokok dan mungkin terjadi pada berbagai kombinasi. Pasien dengan
bronkitis kronik, emsifema, atau keduanya tidak dianggap menderita COPD kecuali kalau
mereka mengalami obstruksi saluran nafas. Pasien asma yang mengalami obstruksi aliran
udara yang seluruhnya reversible tidak menderita COPD, sedangkan yang menderita
obstruksi aliran udara reversible parsial dianggap menderita asthma- COPD overlap
syndrome.4
2.2 Frekuensi
Sekitar 14,2 juta orang dewasa menderita COPD di Amerika Serikat dengan perkiraan
9.8 juta yang menderita COPD tetapi tidak terdiagnosis. Total 25 juta orang Amerika (18 juta
orang dewasa dan 7 juta anak-anak) menderita asma.9 Marco et al (2012) meneliti orang Italia
dan mereka menunjukkan bahwa prevalensi asthma- COPD overlap adalah 1.6%, 2.1% dan
4.5% pada kelompok usia 20-44, 45- 64, 65- 84 tahun. 9,13 Perkiraan prevalensi populasi
ACOS berkisar mulai dari 1.6% hingga 4.5% dari penelitian di Italia, Korea Selatan, Amerika
Latin, dan Amerika Serikat. Prevalensi ACOS pada pasien COPD diperkirakan 12.1% hingga
55.2% dan prevalensi ACOS pada pasien asma dari 13.3% hingga 61.0%.6 Persentase overlap
syndrome meningkat mulai dari usia pertengahan hingga lanjut usia secara progresif, dengan
perkiraan prevalensi <10% pada pasien yang lebih muda dari 50 tahun dan >50% pada pasien
yang berusia 80 tahun atau lebih tua.2,9 Asma dan COPD dijelaskan oleh adanya eksaserbasi,
tetapi overlap syndrome mungkin terkait dengan tiga kali frekuensi dan keparahan
eksaserbasi. Pasien yang mengalami overlap secara bermakna menderita lebih banyak
eksaserbasi, hingga 2 atau 2,5 kali sebanyak yang penderita COPD saja.14 Menezes et al
5

(2014) dalam penelitiannya menunjukan bahwa subjek dengan asthma- COPD overlap
memiliki lebih tinggi risiko eksaserbasi [PR 2.11; 95% confidence interval (CI): 1.08- 4.12],
dibandingkan dengan penderita COPD.15
2.3 Karakteristik klinis atau patofisiologi
Terdapat tiga karakteristik klinis umum pada obstructive pulmonary disease: inflamasi
jalan nafas, obstruksi jalan nafas dan bronchial hyperresponsiveness (BHR).4,9 Meskipun
inflamasi kronik merupakan komponen pusat semua penyakit paru obstruktif, obstruksi
saluran nafas merupakan hasil akhir dan dapat memiliki kedua komponen dinamik
(bronkospastik) dan statik (struktural) yaitu edema pada saluran nafas, mucus plug dan
remodeling saluran nafas (gambar 3).4

Gambar 3. Komponen patofisiologi penyakit saluran nafas obstruktif4

Inflamasi pada saluran nafas


Inflamasi saluran nafas pada asma berbeda daripada COPD. Asma terutama

dikarakteristik oleh inflamasi eosinofilik dan inflamasi yang melibatkan limfosit T


helper tipe 2 (Th2), sedangkan COPD terutama dikarakteristik oleh inflamasi neutrofil
dan inflamasi yang melibatkan limfosit CD8. 2, 4, 9, 16 Perbedaan klinis penting dari asma
dan COPD mudah dikenali dari perbedaan gejala klinis dan usia pasien. Penelitian
bronchial-biopsy, penelitian sputum, dan penelitian nafas yang dibuang telah
membuktikan adanya heterogenisitas banyak pada inflamasi mukosa. Karena jumlah
neutrofil di saluran nafas meningkat seiring dengan usia, pola inflamasi ini mungkin
menyerupai COPD pada orang yang lebih tua dengan asma.2 Meskipun begitu, asma
6

noneosinofilia dan neutrofilia juga telah dilaporkan, yang menunjukkan adanya resistensi
pada steroid.2,9
Baru- baru ini, data menunjukkan bahwa perekrutan eosinofil diatur oleh beberapa
jalur selain dari jalur Th2 klasik- jalur yang melibatkan sel limfoid innate tipe 2,
interleukin- 33, GATA-3, dan reseptor untuk CRTH2. Ini menunjukkan bahwa perubahan
dan penanda inflamasi mungkin lebih bermacam-macam daripada yang dulu dipikirkan
mengenai asma. Tanda inflamasi Th2 juga dapat ditemukan pada COPD. Misalnya,
interleukin-13 (sitokin Th2) lebih diekspresikan pada sel T pada cairan bronchoalveolarlavage pada pasien dengan COPD daripada tanpa COPD.2
Perokok pada penderita asma memiliki peningkatan neutrofil pada jalan nafas,
serupa dengan COPD. Merokok mendukung inflamasi neutrofil yang pada gilirannya
menyebabkan peningkatan resistensi kortikosteroid.4,9 Sebaliknya, inflamasi eosinofilia
telah diamati pada sebagian pasien COPD (pada 15 sampai 40% pasien) dan
dihubungkan dengan lebih besarnya reversibility obstruksi bila diberikan steroid.2,4,9 Pada
penelitian ECLIPSE, 37.4% dari 1483 pasien dengan COPD memiliki eosinofil darah
persisten (kadar eosinofil >2%) selama 3 tahun follow up. Dibandingkan dengan pasien
tanpa eosinofil, yang dengan eosinofil kurang mungkin perokok saat ini, sedikit lebih
tua, lebih mungkin berjenis kelamin laki-laki, dan memiliki lebih sedikit gejala klinis,
kualitas hidup yang lebih baik, fat free mass index lebih tinggi, dan lebih tingginya kadar
FEV1.2 Ketika penderita asma dengan incomplete reversibility diteliti secara acak dan
diteliti, ditemukan adanya peningkatan neutrofil pada jalan nafas mereka dan intensitas
neutrofilia dikaitkan dengan penurunan FEV1.9
Pasien dengan asma atau COPD yang memiliki eosinofil pada sputum memiliki
respon yang lebih baik terhadap inhalasi glukokortikoid daripada yang tidak. Terapi
dengan inhalasi glukokortikoid untuk mengurangi kadar eosinofil pada pasien dengan
COPD telah terbukti mencegah eksaserbasi dan rawat inap, dan glukokortikoid telah
terbukti efektif dalam mengobati eksaserbasi yang disertai oleh eosinofilia.2
Meskipun asma semula digambarkan sebagai penyakit inflamasi yang terutama
melibatkan saluran nafas sentral, bukti patologi dan fisiologi menunjukkan bahwa
inflamasi saluran nafas dan remodeling meluas melebihi saluran nafas sentral hingga
saluran nafas perifer dan bahkan parenkim paru-paru. Saluran nafas perifer, termasuk
jaringan paru-paru, telah diakui sebagai lokasi utama obstruksi saluran nafas pada
penderita asma. Demikian pula, inflamasi saluran nafas terjadi pada semua bagian
traktus respiratorius pada pasien dengan COPD. Penyakit ini terutama mempengaruhi

saluran nafas kecil dan parenkim paru-paru, meskipun saluran nafas besar masih
merupakan sumber utama hipersekresi yang terkait dengan produksi sputum.4,9
Iwamoto et al (2014) meneliti empat biomarker potensial dari COPD: surfactant
protein a (SP-A), soluble receptor untuk advanced glycation end- products (sRAGE),
myeloperoxidase (MPO) dan neutrophil gelatinase- associated lipocalin (NGAL). SP-A
dan sRAGE merupakan penanda

yang berasal dari pneumosit. MPO dan NGAL

merupakan molekul yang berasal dari neutrofil, tetapi NGAL juga dapat diekspresikan
oleh sel epitel pernapasan. Terdapat lima kelompok subjek yang berbeda, yaitu bukan
perokok, perokok, pasien asma, pasien COPD, pasien asthma- COPD overlap. Untuk
mengidentifikasi overlap syndrome, peneliti menemukan bahwa hanya sputum NGAL
secara bermakna meningkat pada kelompok overlap, dibandingkan kelompok COPD
(p=0.00016) dan dapat membedakan pasien dengan overlap dari pasien COPD. Hal ini
menandakan bahwa peningkatan kadar sputum NGAL yang diinduksi seharusnya
menunjukkan diagnosis overlap, yang memberi kesan adanya peningkatan inflamasi
jalan nafas neutrofilik atau cedera epitel jalan nafas pada overlap.18
Obstruksi saluran nafas
Paru-paru manusia terus menerus tumbuh sejak lahir hingga dewasa muda;
pertumbuhan berhenti pada usia dekade ke-3. Pertumbuhan paru-paru menyebabkan
meningkatnya volume paru-paru dan memperbaiki fungsi paru-paru yang diukur lewat
FEV1. Mulai dari dewasa muda, FEV1 normalnya menurun sekitar 25 hingga 50ml per
tahun. Pada pasien dengan penyakit saluran nafas obstruktif, penurunan tersebut dapat
lebih besar- hingga 80ml per tahun pada sebagian pasien dengan asma dan hingga 150
per tahun pada sebagian pasien COPD.2
Obstruksi saluran nafas terjadi akibat bronkospasme, edema dan inflamasi pada
mukosa, hipersekresi mukus dan pembentukan mucus plug, serta perubahan struktur
termasuk hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran nafas. Sebagian komponen
perubahan struktur saluran nafas (secara kolektif disebut sebagai remodeling saluran
nafas) adalah irreversible dan terkait dengan hilangnya fungsi paru-paru progresif yang
tidak dicegah atau sepenuhnya reversible oleh terapi saat ini.4 Obstruksi jalan nafas
irreversible berubah dari waktu ke waktu pada sebagian pasien dengan asma karena
remodeling jalan nafas, sehingga pasien asma ini menyerupai COPD (gambar 1).
Sebaliknya, obstruksi jalan nafas reversible dapat terjadi pada pasien dengan COPD,
menyebabkan pasien COPD ini menyerupai asma. Dalam praktek, jika terdapat tiga atau
lebih gejala asma atau COPD, disarankan diagnosis tersebut; jika terdapat jumlah gejala
asma dan COPD yang serupa, seharusnya dipertimbangkan diagnosis ACOS. Variabel
8

relevan adalah usia saat onset, pola dan waktu timbulnya gejala klinis, riwayat individu
atau keluarga, keterbatasan aliran udara yang bervariasi atau menetapa, fungsi paru-paru
antara gejala klinis, dan hiperinflasi berat.2
Reversibility obstruksi saluran nafas setelah inhalasi obat bronkodilator seperti
albuterol merupakan tanda asma dini dan telah lama dianggap sebagai kriteria untuk
membedakan asma dari COPD. Namun, banyaknya reversibility dapat berkurang atau
bahkan menghilang dengan asma yang sudah berlangsung lama. Telah disebutkan bahwa
fungsi paru-paru dapat kembali normal setelah inhalasi obat bronkodilator atau setelah
penggunaan inhalasi bronkodilator pada bentuk asma yang lebih ringan. Sebaliknya,
terdapat keterbatasan dalam reversibility pada asma yang lebih parah. Karena itu,
kurangnya reversibility sepenuhnya tidak menyingkirkan diagnosis asma.2
Reversibility pada asma mengarah pada berkurangnya obstruksi aliran udara setelah
pemberian bronkodilator dan biasanya diukur dengan membandingkan pre- dan postbronkodilator forced expiratory volume in 1 sec/ FEV1. Rasio FEV1/ forced vital
capacity (FVC) <0.75- 0.80 dan paska bronkodilator FEV1 meningkat hingga >12% dan
0.200 L di atas pengukuran pre- bronkodilator biasanya menandakan sebagai asma. 6
Obstruksi aliran udara pada COPD dinyatakan sebagai pengukuran paska- bronkodilator
(FEV1/ FVC)< 0.70 atau lower limit of normal (LLN).6
Pada penyakit obstruktif pulmonal dan pada overlap syndrome, dapat ditemukan
adanya fenomena remodeling. Remodeling terdiri dari edema mukosa, inflamasi,
hipersekresi mukus, pembentukan mucus plug, hipertrofi dan hyperplasia otot polos jalan
pernapasan. Meningkatnya ketebalan dinding, yang dapat dilihat pada CT resolusi tinggi
pasien dengan overlap, menyebabkan obstruksi jalan nafas pada sebagian besar penyakit
jalan nafas, dan lebih menonjol pada asma, dibandingkan dengan COPD. Selain itu,
meningkatnya fibrosis pada dinding jalan nafas ditemukan pada asma dan COPD.9
Bronchial hyperresponsiveness (BHR)
Airway hyperresponsiveness, yang meningkat seiring dengan meningkatnya usia
dan merokok, ditemukan pada sekitar 10% sampai 20% populasi umum dan sering kali
bersifat asimtomatis. Airway hyperresponsiveness asimtomatik merupakan faktor risiko
terjadinya asma dan COPD dan dikaitkan dengan gejala baru mengi, batuk kronik,
penurunan FEV1.4,17 Lebih parahnya AHR terkait dengan gejala klinis yang lebih parah
dan penurunan FEV1 yang lebih cepat.4
Meningkatnya respons bronkokonstriktor yang menandakan BHR mungkin spesifik
terhadap alergen tetapi juga dapat nonspesifik, seperti respon terhadap cuaca dingin dan
udara kering atau terhadap agen bronkoaktif seperti histamin atau methacholine. BHR

telah lama dianggap sebagai penanda asma dan malahan sangat lazim pada asma dan
faktor risiko berkembangnya penyakit (gambar 4). BHR didorong oleh banyak faktor,
seperti berkurangnya diameter saluran nafas, meningkatnya ketebalan dinding saluran
nafas, meningkatnya massa otot polos dan reaktivitas otot polos, meningkatnya
vaskularitas peri (bronkial), berkurangnya elastic recoil, inflamasi saluran nafas, cedera
epitel, dan meningkatnya aktivitas neurogenik. Pada pasien asma, terdapat bukti bahwa
derajat BHR terkait dengan inflamasi eosinofil dan perubahan fenotip dan fungsional
otot polos saluran pernapasan (khususnya meningkatnya proliferasi), berubahnya respon
glukokortikoid, dan disfungsi saluran nafas kecil.2
BHR juga merupakan faktor risiko untuk timbulnya COPD (gambar 4). Prevalensi
BHR pada pasien COPD telah dilaporkan 60%, dan ini bahkan mungin terjadi pada
pasien dengan penyakit ringan, dimana kadar FEV1 baseline secara minimal
mempengaruhi pengukuran BHR. Selain itu, BHR dikaitkan dengan inflamasi saluran
nafas- yaitu, meningkatnya kadar neutrofil, makrofag, dan limfosit pada spesimen
sputum dan biopsi bronkial dan meningkatnya kadar limfosit CD8 dan eosinofil pada
jaringan paru-paru perifer- pada pasien COPD.2

Gambar 4. Faktor risiko untuk asma dan COPD dan pengaruh lingkungan dan penuaan.
Sejalan dengan waktu dan meningkatnya usia pasien, bahaya lingkungan kumulatif, dan
kekronisan penyakit tersebut, gambaran klinis tampaknya lebih dan lebih serupa, yang
membuatnya kadang- kadang sulit secara jelas membedakan asma dari COPD. Spirometri
(grafik) menunjukkan adanya keterbatasan reversibility obstruksi saluran nafas setelah
10

penggunaan bronkodilator (BD) oleh pasien ACOS. BHR berarti bronchial


hyperresponsiveness, BPD bronchopulmonary dysplasia, GERD gastroesophageal reflux
disease, dan Th2 sel T helper tipe 2.2
Hubungan BHR dengan perubahan fungsi paru-paru dan dengan respon terhadap
inhalasi glukokortikoid berbeda antara COPD dan asma. BHR merupakan penanda untuk
lebih parahnya penyakit baik pada asma dan COPD, tetapi belum ada cukup data
menunjukkan apakah terdapat manfaat jangka panjang untuk mengurangi BHR.2
Miravitlles et al (2013) menganalisis data dari penelitian EPI-CAN, suatu penelitian
epidemiologi di Spanyol termasuk 3885 subjek yang sebelumnya didiagnosis dengan asma.
17.4% dari mereka diklasifikasi dengan fenotip asthma- COPD overlap dan ditemukan
bahwa mereka menderita lebih banyak dispnu, mengi, eksaserbasi, berkurangnya aktivitas
fisik dan memburuknya kualitas hidup (11.1 unit di St. Georges Respiratory QuesttionnaireSGRQ 95%CI 4.88- 17.36).

19

Seperti yang telah disebutkan Menezes et al (2014)

sebelumnya, mereka menemukan bahwa pasien dengan overlap berisiko lebih tinggi tidak
hanya untuk terjadinya eksaserbasi, tetapi juga untuk dirawat inap (PR 4.11; 95%CI 1.4511.67), dibandingkan pasien COPD.15
Tabel 1. Ringkasan mengenai persamaan dan perbedaan karakteristik antara asma, chronic
obstructive pulmonary disease (COPD), dan overlap syndrome4

2.4 Diagnosis
Langkah pertama dalam mendiagnosis apakah pasien menderita penyakit saluran nafas
kronik adalah mengidentifikasi pasien yang berisiko atau kemungkinan menderita penyakit
saluran nafas kronik, dan untuk menyingkirkan penyebab potensial lain penyebab gejala
11

klinis saluran nafas. Hal ini dilakukan berdasarkan riwayat medis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lain yang terperinci.3
Gejala klinis yang seharusnya mendesak adanya pertimbangan terjadinya penyakit
saluran nafas kronik yaitu3
Riwayat batuk kronik atau rekuren, produksi sputum, dispnu, atau mengi; atau
berulangnya infeksi akut traktus respirasi bawah.
Adanya laporan diagnosis asma atau COPD dokter sebelumnya
Riwayat pengobatan inhalasi sebelumnya
Riwayat merokok tembakau dan/ atau senyawa lain
Paparan terhadap bahaya lingkungan, misalnya paparan saat bekerja atau

domestic terhadap polusi udara.


Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan3

Mungkin normal
Adanya bukti hiperinflasi dan gejala klinis lain penyakit paru-paru kronik

atau insufisiensi respirasi


Auskultasi abnormal (mengi dan/ atau ronki basah)

Dari pemeriksaan radiologi, dapat dijumpai3

Mungkin normal, khususny pada stadium awal


Abnormalitas pada chest X-ray atau CT-scan (yang dilakukan untuk alasan
lain seperti skrining untuk kanker paru- paru), termasuk hiperinflasi,
penebalan dinding saluran nafas, terperangkapnya udara, hiperlusensi, bullae

atau gejala emfisema lain.


Mungkin mengidentifikasi adanya diagnosis alternatif, termasuk bronkiektasis,
adanya infeksi paru-paru seperti tuberkulosis, penyakit paru-paru interstisial
atau gagal jantung.

Mengingat luasnya tumpang tindih antara gejala klinis asma dan COPD (tabel 2),
pendekatan yang diajukan lebih memusatkan perhatian pada gejala klinis yang paling
membantu dalam membedakan asma dan COPD (tabel 3)3

Kumpulkan gejala klinis yang mendukung diagnosis asma atau COPD.


Centanglah kotak pada tabel 2b. Tidak semua gejala klinis asma dan COPD

tertera, hanya yang paling mudah membedakan asma dan COPD saja.
Bandingkan jumlah gejala klinis tersebut. Hitunglah jumlah kotak yang dicentang
pada masing-masing kolom. Memiliki beberapa (tiga atau lebih) gejala klinis
yang tertera, tanpa adanya diagnosis alternatif, kemungkinan kuat menegakkan
12

diagnosis yang benar. Misalnya, riwayat alergi meningkatkan probabilitas bahwa


gejala klinis saluran nafas terjadi akibat asma, tetapi tidak penting dalam
diagnosis asma karena asma non- alergi merupakan fenotip asma yang dikenal
baik; dan atopik lazim pada populasi umum termasuk pada pasien yang
menderita COPD di kemudian hari. Bila pasien memiliki jumlah gejala klinis

asma dan COPD yang serupa, diagnosis ACOS seharusnya dipertimbangkan.


Pastikan diagnosis asma atau COPD, atau apakah gejala tersebut keduanya
mendukung diagnosis Asthma- COPD Overlap syndrome. Bila tidak ada gejala
klinis patognomonik, para dokter mengenali bahwa diagnosis dibuat berdasarkan
bukti dan tidak ada gejala klinis yang membuat diagnosis jelas tidak dapat
dipertahankan.
Tabel 2. Gejala klinis asma, COPD dan ACOS3
Ciri Asthma, PPOK dan ACOS

Ciri

Asma

ACOS

Biasanya pada usia


>40 tahun

Biasanya pada usia


>40 tahun, mungkin
memiliki gejala pada
masa anak-anak

Gejala kronik yang


berkelanjutan,terutam
a saat aktivitas

Gejala saluran nafas


termasuk sesak saat
ekspirasi yang
persisten

Fungsi Paru

Terjadi atau riwayat


keterbatasan aliran
udara, reversibel pada
BD, AHR

FEV1 mungkin
membaik dengan
terapi, tetapi post BD
FEV1/FVC <0,7
persists

Keterbatasan aliran
udara tidak
sepenuhnya
reversibel, tetapi
sering pada riwayat
atau variabilitas
sekarang

Fungsi paru
dengan gejala

Mungkin normal
dengan gejala

Keterbatasan aliran
udara yang persisten

Keterbatasan aliran
udara yang persisten

RPD dan RPK

Kebanyakan pasien
memiliki riwayat alergi
dan asma pada masa
kecil

Riwayat terhadap
paparan berbahaya
dan gas (asap rokok,
dan asap kendaraan)

Riwayat terdiagnosa
asma, alergi, dan
RPK asma dan
riwayat paparan

Usia terjadi Onset

Pola perjalanan
penyakit

Biasanya saat masa


anak-anak, tetapi bisa
terjadi pada umur
kapanpun

PPOK

Gejala mungkin
bervariasi dari waktu
ke waktu, sering
terdapat keterbatasan
aktivitas, dipicu oleh
aktivitas, emosi, debu
dan kontak alergen

13

Perjalanan
Penyakit

Membaik secara
spontan atau dengan
terapi

Biasanya progresif,
meskipun dengan
terapi

Gejala biasanya
berkurang dengan
terapi, progesifitas
biasanya terjadi dan
sangat membutuhkan
terapi

X foto Thoraks

Biasanya normal

Hiperinflasi dan
kelainan lain pada
PPOK

Sama dengan PPOK

Eksarsebasi dapat
terjadi, tetapi risiko
dapat diturunkan
dengan terapi

Eksarsebasi dapat
diturunkan dengan
terapi. Jika terjadi
komorbiditas
berhubungan terhadap
gangguan

Eksarsebasi mungkin
lebih sering dari
PPOK tetapi dapat
diturunkan dengan
terapi. komorbiditas
berhubungan
terhadap gangguan

Eosinofil

Neutrofil di sputum,
limfosit di saluran
nafas, dapat memiliki
inflamasi sistemik

Eosinofil dan atau


Netrofil di sputum

Eksarsebasi

Tipe Inflamasi
saluran nafas

Tabel 3. Gejala klinis yang mendukung asma atau COPD3

14

Spirometri penting untuk penilaian pasien dengan curiga penyakit kronik saluran
nafas. Pemeriksaan ini harus dilakukan saat kunjungan awal atau berikutnya, jika mungkin
sebelum dan setelah percobaan pengobatan. Konfirmasi awal atau eksklusi diagnosis
mungkin mencegah percobaan terapi yang tidak perlu, atau keterlambatan dalam memulai
pemeriksaan lain. Spirometri mengkonfirmasi adanya keterbatasn aliran udara kronik tetapi
nilanya lebih terbatas dalam membedakan antara asma dengan obstruksi saluran nafas
terfiksir, COPD dan ACOS (tabel 4)3
Pengukuran peak expiratory flow (PEF), meskipun bukan alternatif untuk spirometri,
jika dilakukan berulang pada meter yang sama selama periode 1-2 minggu mungkin

15

membantu mengkonfirmasi diagnosis asms dengan menunjukkan adanya variasi yang


berlebihan, tetapi PEF normal tidak menyingkirkan baik asma maupun COPD.3
Seperti yang ditunjukkan tabel 3, spirometri saat kunjungan tunggal tidak selalu
mengkonfirmasi

diagnosis.

Pemeriksaan

selanjutnya

mungkin

diperlukan

untuk

mengkonfirmasi diagnosis atau menilai respon pengobatan awal dan berikutnya.3

Tahap 3 - Spirometri

Tabel 4. Pengukuran spirometri pada asma, COPD dan ACOS3


Variabel Spirometri

Asma

PPOK

ACOS

FEV1/FVC normal
sebelum dan setelah
BD

Cocok dengan asma

Tidak cocok dengan


diagnosa (GOLD)

Tidak cocok kecuali


bukti lain keterbatasan
aliran udara kronik

FEV1/FVC < 0,7


setelah BD

Indikasi keterbatasan aliran


udara, dapat meningkat

Perlu untuk diagnosa


dengan kriteria GOLD

Lazim dalam ACOS

FEV1 = 80% perkiraan

Cocok dengan asma


(kendali baik, atau
interval antar gejala

Cocok dengan GOLD


kategori A atau B jika
FEV1/FVC pasca BD < 0,7

Cocok dengan
ACOS ringan

FEV1 < 80% perkiraan

Cocok dengan asma.


Faktor risiko bagi
eksaserbasi

Indikasi keparahan
keterbatasan aliran udara
serta risiko eksaserbasi
dan mortalitas

Indikasi keparahan
keterbatasan aliran udara
serta risiko eksaserbasi
dan mortalitas

Lazim pada PPOK dengan


kemungkinan lebih besar
jika FEV1 rendah, namun
pertimbangkan ACOS

Lazim pada ACOS


dengan kemungkinan
lebih besar jika FEV1
rendah

Lazim dalam PPOK.


Pertimbangkan ACOS

Cocok dengan
diagnosa ACOS

Peningkatan pasca BD:


Lazim pada beberapa
FEV1 > 12% dan 200 mL
kasus asma, tidak
dari baseline (keterbatasan
selalu ada
aliran udara reversibel)

Peningkatan pasca BD:


FEV1 > 12% dan 400 mL
dari baseline

Kemungkinan besar
asma

GINA 2014, Box 5-3

Global Initiative for Asthma

Pada penelitian Fu et al (2014), obstruksi pada saluran nafas, yang diukur sebagai FEV 1
(% dari yang diprediksi) dan FEV1/ FVC, secara bermakna lebih besar pada kelompok COPD
dan overlap dibandingkan dengan kelompok asma (p<0.001), tetapi tidak ditemukan
perbedaan antara kelompok COPD dan overlap.5
2.5 Pengobatan
Meskipun intervensi spesifik bervariasi tiap penyakit, tujuan pengobatan asma dan
COPD adalah serupa dan terutama didorong oleh patient- centered outcome seperti gejala
klinis, status kesehatan dan kualitas hidup dan mencegah terjadinya eksaserbasi (misalnya
mengurangi frekuensi dan keparahannya).4
Pada umumnya, terapi untuk COPD memiliki efek yang agak terbatas dibandingkan
asma. Ketika inhalasi kortikosteroid merupakan dasar pengobatan pasien dengan asma
persisten, inhalasi bronkodilator (2-agonist dan antikolinergik) merupakan andalan terapi
pasien COPD. Saat ini, tidak ada obat yang mengurangi penyakit yang dapat mengubah
16

perkembangan obstruksi saluran nafas baik pada asma atau COPD. Meskipun begitu,
komponen penting untuk pengobatan sukses dari penyakit obstruksi saluran nafas manapun
adalah berhenti merokok.4
Saat ini, belum ada data penelitian klinis acak yang membantu membimbing intervensi
terapi pada asthma- COPD overlap syndrome. Kenyataannya, pasien dengan overlapping
asma dan COPD sering kali disingkirkan dari percobaan pengobatan untuk kondisi manapun.
Meskipun begitu, prinsip pengobatan serupa dengan asma atau COPD dan melibatkan terapi
menyeluruh terhadap inflamasi saluran nafas, obstruksi saluran nafas, dan airway
hyperresponsiveness.4
Glukokortikoid merupakan anti- inflamasi paling poten yang tersedia untuk pengobatan
asma dan COPD. Ketika diindikasi, inhalasi kortikosteroid masih merupakan andalan terapi
glukokortikoid untuk penyakit yang stabil karena terbukti efektivitas, dan dalam dosis
rekomendasi, ada beberapa efek samping sistemik. Meksipun begitu, onset kerjanya yang
lambat dibandingkan steroid sistemik, membuat yang terakhir sebagai pilihan pengobatan
eksaserbasi akut.4
Tujuan terapi primer untuk asma akut atau eksaserbasi COPD adalah cepatnya kembali
obstruksi saluran nafas dan jika perlu, diperbaiki keadaan hiperkapnia berat atau hipoksemia.
Karena itu, pengobatan eksaserbasi akut dini dan agresif penting dilakukan. Pengobatan
utama untuk eksaserbasi akut adalah bronkodilator inhalasi short- acting, glukokortikoid
sistemik, dan pada kasus COPD, diperlukan antibiotik.4
Bila ditambahkan ke terapi bronkodilator, glukokortikoid sistemik memperbaiki gejala
klinis dan fungsi paru-paru dan mengurangi lama rawatan di rumah sakit. Pasien dengan
dispnu dan wheezing berkelanjutan meskipun telah diterapi bronkodilator intensif paling
mungkin menderita obstruksi saluran nafas persisten yang terjadi sekunder akibat edema pada
saluran nafas, inflamasi dan intraluminal mucus plugging.4
Meskipun infeksi saluran nafas merupakan pencetus tersering terjadinya eksaserbasi
asma dan COPD, antibiotik saat ini hanya diindikasi untuk pengobatan eksaserbasi COPD
sedang hingga berat. Pedoman klinis saat ini tidak merekomendasi antibiotik untuk
eksaserbasi asma karena kebanyakan infeksi saluran nafas yang mencetus serangan asma
adalah infeksi virus daripada bakteri. Antibiotik tertentu, terutama makrolida, memiliki efek
antimikroba dan antiinflamasi yang mungkin berguna dalam pengobatan sebagian pasien
dengan asma atau COPD. Diperlukan penelitian selanjutnya untuk mengklarifikasi peran
potensial makrolida pada subkelompok pasien spesifik dengan penyakit stabil atau
eksaserbasi akut.4
Saat ini terdapat banyak bukti bahwa inhalasi kortikosteroid efektif terhadap inflamasi
eosinofil pada penderita asma tetapi agak kurang efektif terhadap inflamasi neutrofil yang
17

terutama terlihat pada COPD. Karena itu, asma neutrofilik (noneosinofilik) terkait dengan
peningkatan resistensi steroid, sedangkan inflamasi eosinofil yang terjadi bersamaan dengan
COPD terkait dengan lebih besarnya respon terhadap kortikosteroid. Meskipun penggunaan
inhalasi kortikosteroid direkomendasi sebagai terapi lini pertama untuk semua stadium asma
persisten, pengobatan inhalasi kortikosteroid pada COPD untuk pasien simtomatik dengan
FEV1 <50% yang diprediksi dan/ atau eksaserbasi sering meskipun telah diberi rejimen
optimal dengan inhalasi bronkodilator long- acting. Meksipun begitu, terapi inhalasi
kortikosteroid mungkin dibenarkan lebih awal (misalnya, pada saat yang sama dimulai
inhalasi bronkodilator long- acting) jika dijumpai tanda- tanda adanya komponen asma pada
COPD. Monoterapi jangka panjang dengan inhalasi kortikosteroid tidak direkomendasi pada
COPD karena inhalasi bronkodilator lebih besar manfaatnya dengan lebih sedikit efek
samping.4
Terdapat 2 kelas utama dalam inhalasi bronkodilator yaitu 2 agonis dan antikolinergik.
Kembalinya

perubahan akut dengan

penggunaan bronkodilator tidak sepenuhnya

membedakan asma dari COPD. Pasien dengan kondisi manapun bisa mendapat manfaat dari
bornkodilator dan seharusnya dicoba menilai respon mereka. Selain itu, bronkodilator secara
konsisten telah terbukti menginduksi perbaikan jangka panjang dalam gejala klinis, kapasitas
olahraga, dan obstruksi saluran nafas pada pasien COPD, bahkan ketika tidak ada perbaikan
dalam spirometri setelah dosis pemeriksaan tunggal.4
Respon bronkodilator pada asma dan COPD berbeda secara kuantitatif dan pola
spirometri. Meskipun pasien asma khususnya menunjukkan hanya peningkatan FEV1 saja
atau pada FEV1 dan forced vital capacity (FVC), pasien dengan COPD khususnya
menunjukkan peningkatan FVC atau pada FEV1 dan FVC (misalnya, kurang hiperinflasi).4
Namun adanya respon spirometri terhadap SABA sendiri tidak membedakan asma dari
COPD.20
Bronkodilator short- acting seharusnya digunakan secara agresif selama eksaserbasi
akut, dan direkomendasi bentuk nebul untuk yang sangat sakit dan tidak mampu
menghasilkan aliran yang diperlukan untuk penggunaan efektif cara lain. Inhalasi 2-agonis
short acting (misalnya albuterol) merupakan andalan terapi untuk eksaserbasi akut asma atau
COPD karena onset kerjanya yang cepat.4 Diduga mekanisme kerja SABA selular adalah
melalui kemampuan reseptor yang distimulasi untuk mengatur adenilat siklase intraselular
yang menyebabkan pembentukan efektor protein kinase dan fungsi pertukaran nukleotida
guanin.20 Bronkodilatasi antikolinergik short- acting yang lebih bertahap (misalnya
ipratropium) daripada agen2 membuatnya tidak tepat sebagai monoterapi untuk eksaserbasi
akut. Meskipun begitu, penambahan ipratropium pada terapi albuterol menyebabkan
18

perbaikan bronkokonstriksi yang lebih cepat dan lengkap dan mengurangi tingkat rawat inap
pada pasien dengan eksaserbasi COPD atau serangan asma yang sedang hingga berat.4
Semua pasien simtomatik dengan asma atau COPD seharusnya diberi inhalasi
bronkodilator short- acting sebagai dasar yang diperlukan untuk mengurangi gejala klinis
akut. Penggunaan teratur bronkodilator short acting sebagai pemeliharaan pengobatan untuk
asma atau COPD telah digantikan oleh bronkodilator long- acting yang lebih efektif dan
sesuai. Bronkodilator long- acting efektif bila digunakan sebagai monoterapi pada pasien
dengan COPD, tetapi mereka seharusnya selalu dikombinasi dengan anti- inflamasi
(misalnya, inhalasi kortikosteroid atau agen yang mengubah leukotrien) bila mengobati asma
persisten dengan keparahan manapun.4
Meskipun inhalasi 2 agonis dianggap sebagai bronkodilator lini pertama pada
pengobatan asma, antikolinergik inhalasi, bila diberi dalam dosis yang efektif, dapat
menyebabkan bronkodilatasi yang bermakna yang sebanding dengan pengobatan 2 agonis.
Terdapat semakin banyak bukti bahwa antikolinergik long- acting dapat seefektif agonis 2
long- acting dalam mengontrol gejala klinis asma. Penggunaan antikolinergik menambah
sedikit manfaat dalam pengobatan 2 agonis pada asma stabil kronik, meskipun pasien yang
lebih menderita obstruksi saluran nafas yang lebih parah. Karena itu, masih diperlukan
percobaan terapi kombinasi pada pasien individu yang tidak dikontrol oleh satu bronkodilator
saja. Inhalasi antikolinergik disarankan sebagai bronkodilator alternatif untuk pasien yang
tidak menolerir 2 agonis, dan mereka dianggap sebagai pilihan obat untuk mengobati asma
yang diinduksi oleh -bloker.4
Di lain pihak, pada pasien dengan COPD antikolinergik memberikan bronkodilatasi
yang setara atau mungkin membaik dibandingkan 2 agonis. Masih belum cukup bukti untuk
merekomendasi satu bronkodilator daripada yang lain dalam mengobati gejala klinis COPD.
Terapi kombinasi (2 agonis dan antikolinergik) menghasilkan respon bronkodilator yang
lebih baik daripada hanya satu saja pada pasien dengan COPD stabil. Pilihan antara 2
agonis, antikolinergik, dan terapi kombinasi bergantung pada ketersediaan obat dan pada
masing- masing respon individu pasien dalam hal berkurangnya gejala klinis dan efek
samping. Sifat progresif penyakit, lebih beratnya obstruksi saluran nafas, dan lebih
terbatasnya efek bronkodilator daripada asma menjelaskan mengapa kebanyakan pasien
COPD memerlukan kombinasi terapi bronkodilator dalam beberapa kasus selama perjalanan
penyakit.4

19

Table
4 Summary
Summary
syndromic
approach
to diseases
of chronic
Table 4.
ofof
syndromic
approach
to diseases
of chronic
airflo airflow
lim
i tationlimitation
Table
4 Summary
Summary
syndromic
approach
to diseases
of chronic
Table 4.
ofof
syndromic
approach
to diseases
of chronic
airflo airflow
lim
i tationlimitation

20

Gambar 5. Ringkasan pendekatan gejala klinis pada penyakit dengan keterbatasan aliran
9

udara kronik.3
Tabel 5. Ringkasan mengenai pengobatan antara asma, chronic obstructive pulmonary
disease (COPD), dan overlap syndrome4

2.6 Rujukan
Diperlukan rujukan dan evaluasi diagnostik yang lebih lanjut pada keadaan berikut3
21

Pasien dengan gejala klinis persisten dan/ atau eksaserbasi meskipun sudah

diobati
Ketidakpastian dalam diagnosis, khususnya jika diagnosis alternatif (misalnya
bronkiektasis, parut paska- tuberkulosis, bronkiolitis, fibrosis pulmonal,
hipertensi pulmonal, penyakit kardiovaskular dan penyebab lain gejala klinis

respirasi) perlu disingkirkan.


Pasien dengan kecurigaan asma atau COPD dimana gejala klinis atau tanda tidak
khas atau tambahan (misalnya hemoptisis, berkurangnya berat badan yang
bermakna, keringat malam, demam, tanda-tanda bronkiektasis atau penyakit
struktur paru-paru lain) memberi kesan adanya diagnosis pulmonal tambahan.
Hal ini seharusnya mendorong rujukan dini, tanpa perlu menunggu dilakukan

percobaan untuk asma atau COPD


Jika dicurigai penyakit saluran nafas kronik tetapi hanya ada beberapa gejala

klinis baik asma dan COPD


Pasien dengan komorbiditas yang mungkin mengganggu penilaian dan

pengobatan penyakit saluran nafas.


Rujukan juga sesuai untuk masalah yang timbul selama pengobatan asma, COPD
atau ACOS yang sedang berjalan.

Tahap 5 Rujukan untuk pemeriksaan


Tabel
6. Pemeriksaan
yang kadang- kadang digunakan dalma membedakan asma dan
spesialis
jikakhusus
diperlukan
COPD3

Pemeriksaan

Asma

PPOK

DLCO

Normal atau sedikit naik

Seringkali turun

Gas darah arterial

Normal antara eksaserbasi

Pada PPOK parah, mungkin abnormal


antara eksaserbasi

Hiperresponsivitas
saluran pernapasan

Tidak berguna untuk membedakan asma dan PPOK


Level tinggi cenderung asma

CT scan resolusi tinggi Biasanya normal; mungkin ada


jebakan udara dan penebalan
dinding saluran pernapasan

Jebakan udara atau emfisema;


mungkin ada penebalan dinding
bronkial dan fitur hipertensi paru

Uji atopik (uji sIgE


dan/atau tusuk kulit)

Tidak penting untuk diagnosa;


meningkatkan kemungkinan
asma

Memastikan prevalensi latar belakang;


tidak mengesampingkan PPOK

FENO

Jika tinggi (>50ppb), maka


mendukung inflamasi eosinofilik

Biasanya normal. Rendah pada


perokok aktif

Eosinofil darah

Mendukung diagnosa asma

Mungkin ditemukan selama


eksaserbasi

Analisis sel inflamasi


sputum

Penting dalam diferensiasi diagnosa yang tidak dibuat dalam populasi


dengan jumlah besar

GINA 2014, Box 5-5

Global Initiative for Asthma

22

Pemeriksaan fungsi paru-paru pada pasien dengan ACOS sering menunjukkan lebih
tingginya kapasitas difusi karbonmonoksida (DLCO). Pada CT scan resolusi tinggi pada
dada, pasien ACOS lebih banyak terperangkap gas, kurangnya emfisema dan lebih hebatnya
penebalan dinding bronkus dibandingkan pasien COPD.16 Nitrit oksida yang diekspirasi
(FENO) telah dinyatakan sebagai tanda inflamasi jalan nafas pada penderita asma. FENO
mungkin berperan dalam menegakkan diagnosis

asma. Kadar F ENO lebih rendah pada

perokok daripada bukan perokok, yang membuat pengukuran kadar FENO kurang berguna
dalam membedakan asma dari COPD. Kadar FENO berkaitan dengan eosinofilia sputum (dan
darah) pada asma; apakah hal ini nyata terjadi pada COPD belum diketahui.2 Sensitivitas
eosinofilia pada sputum telah dilaporkan 82.4% dan spesifisitas 84.8% dalam mendeteksi
asthma- COPD overlap syndrome dengan nilai cut- off 2.5%.8

KESIMPULAN
Asma dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) merupakan penyakit paru
obstruktif yang paling menonjol dan insidensinya semakin meningkat. Sekitar 1 dari 12 orang
di seluruh dunia menderita asma atau COPD, dulunya dianggap sebagai dua entitas penyakit
yang berbeda, namun dua kondisi ini sekarang ini dikenal heterogen dan sering kali
merupakan kondisi yang tumpang tindih, yang disebut sebagai asthma- COPD overlap
syndrome.
Perkiraan prevalensi populasi ACOS berkisar mulai dari 1.6% hingga 4.5% dari
penelitian di Italia, Korea Selatan, Amerika Latin, dan Amerika Serikat. Asthma- COPD
overlap menyebabkan gangguan status kesehatan, meningkatnya eksaserbasi, lama rawat inap
dan mortalitas. Terlebih lagi, pada pasien muda (berusia 20- 44 tahun) dengan ACOS,
diagnosis ACOS dikaitkan dengan peningkatan lama rawat inap dan jumlah masuk ke rumah
sakit daripada populasi asma berat.
Saat ini, belum ada data penelitian klinis acak yang membantu membimbing intervensi
terapi pada asthma- COPD overlap syndrome. Kenyataannya, pasien dengan overlapping
asma dan COPD sering kali disingkirkan dari percobaan pengobatan untuk kondisi manapun.
Meskipun begitu, prinsip pengobatan serupa dengan asma atau COPD dan melibatkan terapi
menyeluruh terhadap inflamasi saluran nafas, obstruksi saluran nafas, dan airway
hyperresponsiveness.
23

DAFTAR PUSTAKA
1. Dournes G, Laurent F. Review Article: Airway Remodelling in Asthma and COPD:
Findings, Similarities, and Differences Using Quantitative CT. Hindawi Publishing
Corporation, Pulmonary Medicine Vol 2012, Article ID 670414, 8 pages.
doi:10.1155/2012/670414.
2. Postma DS, Rabe KF. The Asthma- COPD Overlap Syndrome. N Engl J Med 2015;
373: 1241-9. doi: 10.1056/NEJMra1411863.
3. Global Initiative For Asthma (GINA), Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD). Diagnosis of Diseases of Chronic Airflow Limitation: Asthma,
COPD and Asthma- COPD Overlap Syndrome (ACOS). 2014.
4. Nakawah MO, Hawkins C, Barbandi F. Asthma, Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD), and the Overlap Syndrome. J Am Board Fam Med 2013; 26 (4):
470-7.
5. Fu JJ, Gibson PG, Simpson JL, McDonald VM. Longitudinal Changes in Clinical
Outcomes in Older Patients with Asthma, COPD and Asthma- COPD Overlap
Syndrome. Respiration 2014; 87: 63-74.
6. Wurst KE, Kelly- Reif K, Bushnell GA, Pascoe S, Barnes N. Understanding AsthmaChronic Obstructive Pulmonary Disease Overlap Syndrome. Respiratory medicine
2016; 110: 1- 11. Available from http://dx.doi.org/10.1016/j.rmed.2015.10.004.
[Accessed on 21th May 2016].
7. Alshabanat A, Zafari Z, Albanyan O, Dairi M, FitzGerald JM. Asthma and COPD
Overlap Syndrome (ACOS): A Systematic Review and Meta Analysis. PLoS ONE
2015; 10(9):e0136065. doi:10.1371/journal. Pone.0136065.
8. Ernst G, Camargo B, Borsini E, Bosio M, Iotti A, Salvado A. Case Report: Patient
with COPD- Asthma Overlap Detected by Sputum Eosinophilia. J Med Cases 2015; 6
(12): 544-6.
9. Papaiwannou A, et al. Asthma- Chronic Obstructive Pulmonary Disease Overlap
Syndrome (ACOS): Current Literature Review. J Thorac Dis 2014; 6 (S1):S146-S151.
doi: 10.3978/j.issn.2072-1439.2014.03.04.
10. Soler-Catalua JJ, Coso B, Izquierdo JL, et al. Consensus Document on the Overlap
Phenotype COPD-Asthma in COPD. Arch Bronconeumol 2012;48:331-7.
11. Zeki AA, Schivo M, Chan A, et al. The Asthma-COPD Overlap Syndrome: A
Common Clinical Problem in the Elderly. J Allergy (Cairo) 2011;2011:861926.

24

12. Louie S, Zeki AA, Schivo M, et al. The Asthma-Chronic Obstructive Pulmonary
Disease Overlap Syndrome: Pharmacotherapeutic Considerations. Expert Rev Clin
Pharmacol 2013;6:197-219.
13. de Marco R, Pesce G, Marcon A, et al. The Coexistence of Asthma and Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Prevalence and Risk Factors in Young,
Middle-Aged and Elderly People from the General Population. PLoS One
2013;8:e62985.
14. Hardin M, Silverman EK, Barr RG, et al. COPD Gene Investigators. The Clinical
Features of The Overlap between COPD and Asthma. Respir Res 2011;12:127.
15. Menezes AM, de Oca MM, Perez-Padilla R, et al. Increased Risk of Exacerbation and
Hospitalization in Subjects With An Overlap Phenotype: COPD-Asthma. Chest
2014;145:297-304.
16. Bujarski S, Parulekar AD, Sharafkhaneh A, Hanania NA. The Asthma COPD Overlap
Syndrome (ACOS). Curr Allergy Asthma Rep 2015; 15: 7. Doi 10.1007/s11882-0140509-6.
17. Gibson PG, Simpson JL. The Overlap Syndrome of Asthma and COPD: What Are Its
Features and How Important Is It? Thorax 2009;64:728-35.
18. Iwamoto H, Gao J, Koskela J, et al. Differences in Plasma and Sputum Biomarkers
between COPD and COPD-Asthma Overlap. Eur Respir J 2014;43:421-9.
19. Miravitlles M, Soriano JB, Ancochea J, et al. Characterisation of the Overlap COPDAsthma Phenotype. Focus on Physical Activity and Health Status. Respir Med
2013;107:1053-60.
20. Albertson TE, et al. Pharmacotherapy of Critical Asthma Syndrome: Current and
Emerging Therapies. Clinic Rev Allerg Immunol 2015; 48: 7-30.

25

You might also like