You are on page 1of 159

22

TERAPI OKSIGEN
Anna Uyainah Z.N.

PENDAHULUAN

Agar pemberian oksigen aman dan efektif diperlukan


pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek

Sejak penemuan penting mengenai molekul oksigen oleh


Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya
pertukaran gas pada proses pernapasan oleh Lavoisier,
oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan

terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi

pasien. Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen

MEKANISME HIPOKSIA

dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920


ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat digunakan
sebagai terapi. Sejak itu efekhipoksia lebih dimengerti dan

Pada saat istirahat rata-rata laki-1aki dewasa

penggunaan oksigen tersebut.

membuhrhkan kira-kira225)50 ml oksigen permenit, dan


meningkat sampai 10 kali saat beraktivitas. Jaringan akan
mengalami hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat

pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru


membawa dampak meningkahrya jumlah perawatan pasien.

Dua penelitian dasar

di awal tahun

1960-an

dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, hal

memperlihatkan adanya bukti membaiknya kualitas hidup


pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang
mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal
Oxygen Therapy ?lal (NOTT), pemberian oksigen selama

ini dapat terjadi kira-kira 4 - 6 menit setelah ventilasi


spontan berhenti.

Berdasarkan mekanismenya, penyebab hipoksia


jaringan dibagi dalam 3 kategori, yaitu: 1). Hipoksemia
artei, 2). Berkurangnya aliran oksigen karena adanya
kegagalan transport tanpa adanya hipoksemia arleri, dan
3). Penggunaan oksigen yang berlebihan dijaringan.

12 jam atau24jam sehari selama 6 bulan dapat memperbaiki

keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan


genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka

Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika


penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan

atau kualitas hidup mereka. Namun penelitian lain


memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasienpasien dengan hipoksemia, dapat memperbaiki harapan
hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas latihan.
Keuntungan lain pemberian oksigen pada beberapa
penelitian di antaranya dapat memperbaiki kor pulmonal,

berubah dari aerobik ke metabolisme anaerobik untuk


menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme.
Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan
produksi asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis
dengan cepat, metabolisme selular terganggu dan

meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi


neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi

mengakibatkan kematian sel.


Pemeliharaan oksigenasi jaringan tergantung pada 3
sistem organ yaitu sistem kardiovaskular, hematologi, dan
resplrasl.

hipertensi pulmonal, memperbaiki metabolisme otot, dan


diperkirakan dapat memperbaiki impotensi.
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur

maupun saat beraktivitas pada penderita dengan

Walaupun pada hipoksemia biasanya berhubungan


dengan rendahny aP aO ry an1merupakan gangguan fungsi

hipoksemia. Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan

terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di


rumah. Pengembangan oksigen rawat jalan dapat

paru, namun kegagalan pengangkutan oksigen dapat

mengurangi perawatan di rumah sakit.

sistem hematologi.

disebabkan oleh kelainan sistem kardiovaskular ataupun

161

.162

KEGAWAXDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Sistem
Respirasi

Kardiovaskular

SistEm saraf
pusat

Neuromuskular
Metabolik

Gejala dan Tanda-tanda


Sesak napas, sianosis
Curah jantung meningkat, palpitasi,
takikardia, aritmia, hipotensi, angrna,
vasodilatasi, syok
Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai,
bingung, eforia, delirium, gelisah, edema
papil, koma
Lemah, tremor, hiperrefleks, incoordination
Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi


oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi oksigen
yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat aktivitas,
dapat meningkatkan kemampuan beraktivitas dan dapat
memperbaiki kualitas hidup.

Manfaat lain terapi oksigen adalah memperbaiki


hemodinamik paru, kapasitas latihan, kor pulmonal,
menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung,
memperbaiki fungsi neuropsikiahik, mengurangi hipertensi
pulmonal, memperbaiki metabolisme otot dan diperkirakan
dapat memperbaiki impotensi.

MANIFESTASI KLINIK HIPOKSIA


Manifestasi klinik hipoksia tidak spesihk, sangat bervariasi,

INDIKASI TERAPI OKSIGEN

tergantung pada lamanya hipoksia (akut atau kronik),

kondisi kesehatan individu dan biasanya timbul pada

Dalam pemberian oksigen harus diperlimbangkan apakah

keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi klinik dapat

pasien benar-benar membutuhkan oksigen , apakah


dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (short-term

berupa perubahan status mental,lbersikap labil, pusing,


dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aitmia. Sianosis
sering dianggap sebagai tanda hipoksia, namun hal ini hanya
dapat dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.

Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat


oksimetri (pulse oxymetty) dan analisis gas darah. Bila
nilai saturasi kurang darig0o/o diperkirakan hipoksia, dan

o xy g

en

th

er apy) atau terapi oksi gen j angk a p anjang (l o n g -

term oxygen therapy).


Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen
yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan
harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas.

membutuhkan oksigen.

Terapi Oksigen Jangka Pendek

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain


Berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak
spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering

digunakan adalah pemeriksaan PaO, arteri atau saturasi


oksigen arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu analisis
gas darah arteri ataupun noninvasif yaitl pulse oximetry
(dengan menjepitkan alat oksimetri pada ujung jari atau
daun telinga). Pada pemeriksaan analisis gas darah,

spesimen darah diambil dari pembuluh darah arteri

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang


dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan
hipoksemia akut, di arrtaranya pneumonia, PPOK dengan
eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular,
emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat. Pemberian oksigen yang tidak
adekuat akan menimbulkan cacattetap dan kematian. Pada
kondisi ini, oksigen harus dibenkan dengan FiO, 60- 100%
dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi
yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan

(a.radialis atau a.femoralis) dan akan didapatkan nilai PaO,

dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan

PCO2, saturasi oksigen dan parameter lain. Pada


pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi
oksigen. Pengukuran saturasi oksigen melalui oksimetri

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan, oksigen

ini tidak cukup untuk mendeteksi hipoksemia, karena hanya


dapat memperkirakan PaOr> 60mmH gatauPaOr<60 mmHg.
Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidakbisa
untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigenjangka

panjang, namun pemeriksaan noninvasif ini efektif


digunakan untuk evaluasi kebutuhan oksigen selama
latihan, dan untuk mengevaluasi dan memastikan dosis
oksigen bagi pasien yang menggunakan oksigen di rumah.

MANFAATTERAPIOKSIGEN
Tujuan terapi oksigen adaiah mengoptimalkan oksigenasi
jaringan dan meminimalkan asidosis respiratorik.

harus diberi secara terus-menerus.


Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek
telah ada rekomendasi dari The American College of Chest

Physicians dan the National Heart, Lung and Blood


Institute. (Tabel2)

lndikasi yang sudah direkomendasi


Hipoksemia akut (PaOz < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Henti jantung dan henti napas
Hipotensi (Tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik
(bikarbonat < 18 mmol/L)
Respiratory disfress (frekuensi pernapasan > 24lmin)
lndikasi yang masih dipertanyakan
lnfark miokard tanpa komplikasi
Sesak napas tanpa hipoksemia
:

Krisis sel sabit


Angina

163

TERAPIOKSIIGEN

Terapi Oksigen Jangka Panjang


Banyak pasien dengan hipoksemia membutuhkan terapi

Pemberian oksigen secara kontinyu


PaOz istirahat < 55 mmHg atau saturasi oksigen < BB %
PaOz istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89 %
pada salah satu keadaan
Edema yang disebabkan karena CHF
P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P >
3 mm pada lead ll, lll, aVF)
Eritrosiiemia (hematokrit > 56 %)
PaOz > 59 mmHg atau oksigen saturasi > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu
Selama latihan : PaOz < 55 mmHg atau saturasi oksigen <
BB%
Selama tidur : PaOz < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88
Yo dengan komplikasi seperti hipertensi pulmoner'
somnolen, dan aritmia

oksigen jangka panjang. Pasien dengan PPOK

merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan

terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi

oksigen jangka panjang pada pasien PPOK


memperlihatkan bahwa pemberian oksigen secara
kontinyu selama 4 -8 minggu menurunkan hematokrit,

memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan


vaskular pulmonar.
Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi
oksigen jangka panjang (long-term oxygen therapy I
UIOT) dapat meningkatkan jangka hidup sekitar enam

sampai tujuh tahun. Angka kematian menurun pada pasien


dengan hipoksemia kronis apabila oksigen diberikan lebih

dari l2jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah


ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa
terapi oksigenjangka panjang dapat memperbaiki harapan
hidup. Karena adatya perbaikan dengan terapi oksigen
jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk
pasienhipoksemia (PaO, < 55 mmHg atau saturasi oksigen
< 88 %) oksigen diberikan secara terus menerus 24 jam
dalam sehari. Pasien dengan PaO, 56 -59 mmHg atau

PaOz < 55 mmHg or SaOz


< 88%

saturasi oksigen 89%o, kor pulmonal atau polisitemia juga


memerlukan terapi oksigen jangka panjang.
Pada keadaan ini , awal pemberian oksigen harus
dehgan konsentrasi rendah (PiOr24 - 28 %) dan dapat

PaOz 55-59 mmHg atau


SaOz > 89%
Adanya P pulmonal pada
EKG, hematokrit > 55%
dan gagal jantung

lndikasi

Pasien dengan kor

pulmonal

kongestif
lndikasi khusus
Nocturnal hypoxemia

analisis gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia


dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26. Oksigen
dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan PPOK
yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan dapat
mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas
dan meningkatkan mismat c/z ventilasi-perfu si. Hal ini akan
menyebabkan retensi CO, dan akan menimbulkan asidosis
respiratorik yang berakibat fatal. Pasien dengan gagal
napas tipe II mempunyai risiko hiperkapnia yang sering
adekuatnya terapi yang diberikan.
Pasien yang menerima terapi oksigen jangka panjang
harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan untuk menilai apakah
hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih

dibutuhkan terapi oksigen? Hingga

40%o

9jYo

Dosis oksigen sebaiknya


disesuaikan saat iidur dan

ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan

terjadi karena kelebihan pemberian oksigen dan tidak

Pendapaian terapi
PaOz > 60mmHg atau SaO2 >

Tidak ada hipoksemia saal


istirahat, tetapi saturasi
menurun selama latihan
atau tidur

latihan
PaOz > 60mmHg atau SaO2'>

90%
Dosis oksigen sebaiknya
disesuaikan saat tidur dan
latihan

Dosis oksigen sebaiknya

disesuaikan saat tidur


Dosis oksigen sebaiknya

disesuaikansaat latihan

lebih atau sama dengan 60 mmHg dantidakmempunyai


hipoksia kronik.
Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan
prognosis yang buruk dan dapat meningkatkan risiko

kebakaran.
Pasien yang tidak menerima terapi adekuat

pasiet yang

mendapat terapi oksigen mengalami perbaikan setelah 1


bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.

Indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah


direkomendasi (Tabet 3 dan Tabel4)

KONTRAINDIKASI
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada :
. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat
dengan keluhan utama dispneu, tetapi dengan PaO,

TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN


Cara pemberian oksigen dlbagi 2jenis yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing
mempunyai keuntungan dan kerugian.
Alat oksigen arus rendah di antaranya kanul nasal,
topeng oksigen, r e s erv o ir m as k, katetet tr atstracheal, dan

simple mask.
Alat oksigen arus tinggi di antaranya venturi mask
dan res ert,oir nebulizer blenders.

764

KEGA\I'ATDARURAIAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAM

Alat Pemberian Oksigen dengan Arus Rendah


Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan
sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Kanul
nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring
dengan aliran l-6Llm,dengan FiO, antaraI,24 - 0,44 (24%
- 44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO,
secara bermakna

di

atas 44oh dan dapat mengakibatkan

mukosa membran menjadi kering.


Untuk memperbaiki efi siensi pemberian oksigen, telah
didisain beberapa alat, di attaranya electronic demand

devices, reservoir nasal canulas, dan transtracheal


cathethers, dan dibandingkan dengan kanul nasal
konvensional, alat- alat tersebut lebih efektif dan efi sien.
Electronic demand devices. Secara komersial dibuat dengan
perbedaan dalam hal waktu, frekuensi, dan volume.

Berdasarkan beberapa studi alat

ini menunjukkan

pendorongan dengan arus tinggi tersebut.


Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40Ll
menit oksigen melalui mask,yangumumnya cukup unfuk
total kebutuhan respirasi. Dengan penggunaan mask ini
tidak mempengaruhi FiOr.
Dua indikasi klinis untukpenggunaan oksigen dengan

arus tinggi adalah pasien dengan hipoksia yang


memerlukan pengendalian

FiO,

dan pasien hipoksia

dengan ventilasi abnormal.

Sistem Suplai Oksigen


Ada beberapa macam sistem untuk suplai oksigen, di
arfiaratya: Oxygen concentrdtors, sistem gas kompresor

dan oksigen dalam bentuk cair. Masing-masing ada


kerugian dan keuntungannya, oleh karena itu harus dipilih

yang mana yang terbaik ,disesuaikan dengan kondisi

penghematan oksigen 50 - 86%. Salah satu kerugiannya


adalahbunyi yang gaduh dari alat ini.

paslen.

Reservoir nasal canulas. Alat ini dapat mengurangi


penggunaan oksigen 50- 15%. Namun kerugian

menyaring molekul oksigen udara lingkungan dengan

Oksigen concentrators, secara elektrik bertenaga mesin,


konsentrasi oksigen9}o/o- 98o/o, dan aliran oksigen maksimum

penggunaan alat ini adalah tidak nyaman bagi pasien di


antaranya harus bernapas dengan cara bibir dikatup.

dapat mencapai 3-5 L/menit. Concentrators merupakan


sistem pemberian oksigen yang paling hemat biaya.

Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara


langsung melalui kateter ke dalam fiakea. Oksigen
transtrakeal dapat meningkatkan kesetiaan pasien

dipadatkan menyediakan oksigen kurang lebih 57 jam

Compressed gas cylinders, silinder dengan gas yang


dengan aliran oksigen

2Llmerit sampai 15 L/menit.

menggnnakan oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan

sering berhasil pada pasien dengan hipoksemia yang


refrakter. Dari hasil studi , dengan oksigen transtrakeal ini
dapat menghemat penggunaan oksigen 30 - 60%.
Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakeal yaitu
tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh dan tidak ada

iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima


mencapai 80-96 %. Kerugian dari penggunaan oksigen
transtrakeal adalah biaya tinggi dan risiko infeksi lokal.
Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen
transtrakeal ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme,
dan batuk paroksismal. Komplikasi lain di antaranya infeksi
stoma, dan mulkus ball yang dapat mengakibatkan fatal.
Risiko retensi CO, ini perlu dihindari dengan berhatihati mengatur pemberian oksigen dengan mempertahankan
PaOrantara60- 65 mmHg.

Alat Pemberian Oksigen dengan Arus Tinggi


Alat oksigen arus tinggi di antaranya Venturi mask dan
Reservoir Nebulizer Blenders.
Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing
(efek Bernoulll). Jet mixing masks, mask dengan arus
tinggi, bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat
konsentrasi oksigen rendah ( 24-35%). Pada pasien
dengan PPOK dan gagal napas tipe II , bernapas dengan
mask ini mengurangi risiko retensi CO, dan memperbaiki
hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai,

dan masalah rebreathing diatasi melalui proses

Aliran 02 100%

Fio, (%)

Sistem aliran rendah


Kanul nasal

1Um

24

2Ll

aa

3L/m

32
36
40
44

4Llm

5L/m
6L/m
Transtrakeal

0,5-41lm

24-40

Mask Oksigen

5-6Um

6-7Um
7-8 L/ m
Mask dengan kantong
reservorr

6L/m
7Ll

8L/m
9L/m

40
50
60
60
70
80
90
>99

'10 L/ m

Nonrebreathing
4-10 L/m

60-'100

Sistem aliran tinggi


Venturi mask
3 L/m

24

6Um

2B

9 L/m

40
40
50

12Llm
15 Um

165

TERAPIOKSIGEN

Liquid oxygen reservoirs, oksigen dalam bentuk cat yang

KESIMPULAN

bertahan 5 sampai 7 hari dengan aliran oksigen 2 L/menit dan


dapat digunakan dengan mengisi ulang. Kerugian, alat ini
cukup mahal dan kadang-kadang terj adi pembekuan pada klep
apabila pemberian oksigen mencapai 8 L/menit, dan kadang

Terapi oksigen merupakan sistem pengobatan yang telah


dikenal sejak lama, dapat diberikan pada pasien-pasien

dengan hipoksemia akut maupun kronik. Pemberian

terjadi penguapan oksigen cair tersebut apabila tidak

oksigen dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah

digunakan.

perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup.


Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan jangka
panjang. Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti

HAL.HAL YANG PERLU DIPERHAIIKAN

indikasi pemberian oksigen, tehnik yang akan dipakai, dosis


oksigen yang akan diberikan dan lamanya oksigen yang
akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen
perlu dievaluasi melalui pemeriksaan analisis gas darah
atau dengan oksimetri, sehingga dapat mengoptimalkan
pemberian oksigen dan mencegah terjadinya retensi COr.

Pada terapi oksigen jangka panjang, peningkatan PCO,

arteri biasanya kecil dan ditoleransi baik. Namun,


kadangkala berkembang hiperkapnia yang serius sehingga
harus berhati-hati melanjutkan terapi oksigen.

Penggunaan oksigen yang berlebihan pada pasien


PPOK dengan gagal napas tipe2 dapatmenimbulkan efek
toksisitas , retensi CO, dan asidosis respiratorik, yanggejala

awalnya dapat berupa adanya nyeri

substernal, takipnu, dan batuk yang tidak produktif.


Karena untuk deteksi toksisitas oksigen tidak mudah,
maka perlu dilakukan pencegahan timbulnya toksisitas
oksigen dengan cara pemberian oksigen harus dilakukan

dengan dosis dan carayar'g tepat. Pemberian oksigen

yang paling aman dilakukan pada FiO, 0,5

REFERENSI

dada

- l.

Menggunakan suplemen oksigen berisiko terhadap api,


oleh karena itu hindari merokok, dan tabung harus
diyakinkan aman agar tidakjatuh dan meledak.

Bames PJ. Chronic obstructive pulmonary disease. New Eng J Med.

2000:343; 4:269-280.
Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients
with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit
Care Med. 2003;168:1021 -2.
Celli B.R., MacNee W, and Committee members. Standard for the
diagnosis and treatment of patients with COPD Eur Respir J.
2OO4:23;932-46.
Emtner M, Porszasz J, Burns M, et all. Benefits of supplemental
oxygen in exercise training in nonhypoxemic chronic obstructive pulmonary disease patients. Am J Respir Crit Care Med.

2003;168:1034-42.
Michael F. Beers. Oxygen therapy and pulmonary oxygen toxicity.
In: Fishman AP, ed. 3'd ed. Fishman's pulmonary diseases and

disorders. 1998;2627 -42.


Tarfu SP, Celli BR. Long term oxygen therapy. Review article. New
Eng J Med. 1995;333:11:710-4.

23
DUKUNGAN VENTILATOR MEKANIK
Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Amin

Dari berbagai tipe yang ada, ventilator yang dipilih

PENDAHULUAN
Ventilator adalah suatu sistem alat bantuan hidup yang
dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi
pernapasan yang normal. Tujuan utama pemberian
dukungan ventilator mekanik adalah untuk mengembalikan

fungsi normal pertukaran udara dan memperbaiki fungsi


pemapasan kembali ke keadaan normal. Ventilator mekanik
dibagi menjadi dua, yaitu ventilator mekanik invasif dan
ventilator mekanik non invasif

hendaknya mudah untuk mengontrol konsentrasi


oksigen, volume tidal, frekuensi napas serta yang
terpenting adalah yang dikuasai oleh operator mesin
ventilator. Ventilator juga sebaiknya diperlengkapi alarm
untuk diskoneksi tipe ventilator mendadak' batas
pressure, dan volume eksPirasi.

MAN FAAT PEMASANGAN VENTILATOR

.
.
.
.
.
.

PEMILIHAN DAN TIPE VENTILATOR


Pada saat manusia bernapas spontan, udara masuk ke paru

akibat tekanan negatif (hisapan) dari dalam paru karena


paru dan rongga toraks mengembang. Ventilator tekanan
negatif bekerja dengan mengembangkan rongga dada.
Ventilator tipe ini saat ini sudah tidak digunakan lagi.
Ventilator tekanan positif bekerja dengan menghembuskan udara melalui saluran napas ke dalam paru.
Ventilator tipe inilah yang saat ini umum digunakan dan
oleh karena itu tulisan ini akan lebih dibahas tentang

.
.
.

negatif
Ventilator tekanan

positif

a. Cuirass ventilator
b. Tank ventilator (iron lung)
a. Pressure limit devices
Volume limit devices (MA-2'

Time cycled devices (Siemens

erpenuhi'
dan penyampaian oksigen yang
juga
untuk
digunakan
Tekanan positif ventilator dapat

9008, e00c)
Ventilatorfrekuensi

tinggi

a. Jet ventilators
b. High frequency

c.

Menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen sistemik


danmiokard.
Menurunkan tekanan intrakranial
Menstabilkan dinding dada.

mengkonsumsi oksigen berlebihan, dengan "positive


usaha ini
pressure mode" ventilator dapat

Bear 2)

c.

neuromuskular.

imbangan) ventilasi-perfusi dan memperbaiki oksigenasi


daerah yang ventilasinya buruk. Usaha bernapas pasien
yang tak adekuat dengan memakai otot napas tentunya

(Bird, Bennet PR-2)

b.

Memudahkan pemberian sedatif atau blokade

berfungsi sebagai pendukung sampai penyebab utama


kondisi yang memerlukan dukungan ini teratasi.
Tekanan positif dapat mengembangkan kembali
atelektasis atau mempe tbaiki mis m at chin g (ketidak-

disebutkan di bawah ini:

Ventilatortekanan

Mencegah atau mengatasi atelektasis paru


Mengatasi kelelahan otot bantu pemapasan

Harus diingat bahwa ventilator mekanik hanya

ventilator tekanan positif. Beberapa tipe ventilator

Mengatasi hipoksemia
Mengatasi asidosis respiratorik akut
Mengatasi distres pemapasan

venti lators

menstabilkan dinding dada pada keadaan fungsi bernap as


terganggu seperti pada "Jlail chest".

Ossilators

r66

t67

DUKUNGAN VENTILAI1OR MEKANIK

MODUS BANTUAN VENTILATOR

Untuk dapat memahami berbagai modus/metode kerja


ventilator harus dipahami dulu istilah-istilah initiation/
trigger, target/limit, dan cycle off (disingkat cycle).
Trigger (initiulion) adalah pencetus awal inspirasi. Inisiatif
atau pencetus awal inspirasi pada pernapasan dengan
ventilator bisa berasal dari mesin (machine triggered /
controlled breath) atau dari pasien sendiri Qtatient
triggered/assisted breath). Jenis trigger yang dipakai pada
suatu modus ventilator seringkali menjadi kata kedua dari
nama modus tersebut, misalnya pada modus Volume
C ontrolled Ventilation, Volume As sisted Vent ilation, dll.
Kebanyakan ventilator dapat diatur untuk menghantarkan
udara baik dengan cara terkontrol (mandatory I control
mode) maupun dengan cara bantuan (assist mode).
adalah jenis batas pemberian udara inspirasi
oleh ventilator. Ada dua jenis limit pada ventilator yang
saat ini ada yaitu volume limited dan pressure limited.
Padavolume limited, jumlah volume udara yang diberikan

Limit (larget)

saat inspirasi oleh ventilator ditentukan oleh operator mesin,

sedangkan pada pressure targeted, operator menentukan


besar tekanan yang diberikan pada saat inspirasi. Jenis
target ini sering kali dipakai sebagai kata pertama pada nama

modus ventilator, seperti pada Pressure Support


Ventilation, Vo lume Controll ed Ventil ation, dll.
Cycle/cycle off/cycling to exhalation adalah proses
perpindahan dari inspirasi ke ekspirasi. Proses cyclingbisa

didasarkan atas waktu (time cycled), volume (volume


cycled), tekanan (pressure cycled), atau besarnya aliran

tdara Qflow cyclefi. Ventilator jenis baru sering kali


menggabungkan antara beberapa parameter cycling,
misalnya arfiara volume cycling dan pressure cycling.
Pada cycling berdasarkan waktu, inspirasi berhenti

paru-pam mengembang. Hal ini mengakibatkan distribusi


gas ke seluruh paru lebih homogen. Kerugiannya adalah
pengantaran volume pada setiap respirasi tergantung pada

compliance paru dan rongga dada. Perubahan dinamis


pada mekanik paru mengakibatkan tidal volumebervariasi.

Hal ini membutuhkan pengawasan ketat dan mungkin


membatasi kegunaan cara ini pada pasien dalam keadaan
gawat darurat. Ventilator jenis terbaru dapat menyediakan
ventilasi volume-assured pressure cycled.
P ada volume-cycl ed inhalasi berj alan sampai volume

tidal dihantarkan dan diikuti pengeluaran udara secara


pasif. Dasar daricara ini adalah gas dihantarkan dengan
pola aliran inspirasi yang konstan, mengakibatkan puncak
tekanan yang ada dalam jalan napas lebih tinggi dari yang

yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru (plateau


pressure). Karena volume yang dihantarkan konstan,
tekanan jalan napas berubah-ubah sesuai perubahan
compliance paru dan resistensi jalan napas. Kerugian
utama adalah tekanan jalan napas yang berlebihan akan
mengakibatkan barotrauma. Pengawasan ketat dan
pembatasan tekanan bermanfaat untuk menghindari
masalah ini. Karena volume-cycled menjamin volume
yang konstan, cara ini menjadi pilihan awal di unit gawat
darurat.
P ada

cycling berdasarkan flow, ventilator akan mulai

ekspirasi bila mesin mendeteksi bahwa aliranudara inspirasi


oleh pasien sudah menurun atau dianggap tidak adalagi

oleh mesin. Cycling ini ada pada pasien yang bernapas


spontan ata:u assisted-spontaneous breaths. Ambang di
mana mesin m ergatggap flow inspirasi telah berhenti bisa
didasarkan atas nilai flow yang absolut atau persentase
dari peakJlow rate (mtmnya25%). Umumnya ambang
ini sudah diset tetap oleh pembuat ventilator tetapi ada
juga ventilator yang ambangnya dapat diubah-ubah. Bila
ambang ini diturunkan makaberarti memperlama inspirasi
demikian pula sebaliknya.

pada waktu yang telah ditentukan (Ti) oleh operator mesin

dan akan terjadi proses ekspirasi. Cara menset waktu


lamanya inspirasi adalah dengan menentukan jumlah
napas dalam semenit (frekuensi) dan dilanjutkan dengan
menentukan rasio inspirasi : ekspirasi (I:E ratio) dalam
setiap napasnya. Caru lain menentukan lamanya inspirasi
adalah dengan menentukan volume tidal disertai pola
aliran(flow) inspirasi dan laju aliran tertinggi(peakflow
rate).Yentllator jenis lama atau yang kecil, seperti ventilator unfuk transportasi, dioperasikan dengan cara time
cycled.
Pada pressure-cycled, puncak tekanan inspirasi

ditetapkan dan perbedaan tekanan antara ventilator dan


paru-paru mengakibatkan pemompaan sampai puncak
tekanan tercapai. Apabila puncak tekanan tercapai inspirasi
akan berhenti diikuti katup ekspirasi akan terbuka dan
pengeluaran udara secara pasifakan terjadi. Keuntungan
utama dari pressure-cycled adalah deselerasi pola aliran
inspirasi, di mana aliran inspirasi semakin berkurang saat

CONTROLMODES
Padamodes ini inisiatifbemapas seluruhnya dikontrol oleh
ventilator, alat menghantarkan volume tidal (volume r4asuk
sekali napas) tanpa usaha napas dari pasien. Pada pasien

apnea atau pasien yang'peak airway pressure'rrya


melebihi ventilator (asma) atau terbatas usaha napasnya
atau yang pernapasannya cepat (>25 kali/menit) cara
terkontrol ini adalah pilihan utama. Cara ini menjamin
penghantaran ventilasi yang sesuai setiap menit. Ada dua
macam control mode yang bisa diberikan pada pasien,
yaiht Volume Controlled Ventilation (VCV) dan Pressure

Controlled Ventilation (PCV).


Vol

me Controlled Ventilation (VCV)

Sesuai namanya modus

ini adalah volume targeted dan

{68

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

machine triggered. Modus ini disebut juga controlled


mechanical ventilation (CMV). Pada modus ini volume
tidal umumnya dihantarkan dengan pola flow yang telah
diatur sebelumnya sehingga merupakan volume cycled
ata:: /low cycled, namun bisa pula ditambahkan pause
setelah akhir inspirasi selama waktu tertentu sehingga
merupakan time cycled. Karena volume tidal dan waktu
inspirasi ditentukan mesin, maka untuk mencegah
barotrauma, tidak boleh terjadi peningkatan tekanan jalan

napas, misalnya akibat batuk, pasien berontak,


bronkospasme atau complience rongga toraks yang
menurun. Untuk itu modus ini hanya digunakan pada
pasien dengan sedasi berat, anestesia, paralisis otot
napas atau gangguan neuromuskular berat. Selain itu
harus terpasang alarm untuk membatasi tekanan jalan
napas (umumnya diatur pada 60 cmHg). Keuntungan
modus ini adalah hilangnya work of breathing (WOB)

pada pasien yang memang harus diturunkan/


diistirahatkan WOBnya.

Pressure Co ntro I led Ve nti I ati o n ( PCV)


Pada modus ini mesin bekerja dengan machine
triggered, pressure targeted dan time cyled. Pada saat
mesin secara otomatis memberikan napas, tekanan jalan
napas segera mencapai peak airway pressure dan

selanjutnya menurun sampai

titik awal. Kecuali bila

modus ini dioperasikan dengan PEEP maka titik awal


adalah 0 mmHg. Bila modus ini dioperasikan dengan
positive end expiratorlt pressure (PEEP) maka titik awal
tekanan adalah PEEP itu sendiri. Apabila PEEP
digunakan, maka besarnya peak airway pressure adalah
PEEP ditambah tekanan yang telah 'ditugaskan' (mandatory) pada mesin untuk diberikan. Karena modus ini
didasarkan atas time cycled, ekspirasi hanya akan terjadi

bila waktu inspirasi (Ti) habis. Apabila penurunan


tekanan saat inspirasi telah mencapai titik awal
sebelum Ti maka akan terjadi pause dt mana tekanan
jalan napas akan dipertahankan sampai waktu ekspirasi
tiba.
I nterm ittent M a ndatory Ventil ati on (lMVl
Modus ini bukan murti controlled mode karena pasien
juga bernapas spontan. Napas dari mesin dihantarkan
setiap interval waktu tertentu (machine triggered), dan

pasien dapat melakukan pernapasan spontan di antara


bantuan napas ventilator. Lebih tepat bila mode ini
disebut sebagai VCV pada pasien bernapas spontan.
Agar pasien dapat bernapas spontan, pada mesin harus
dibuat memiliki aliran udara yang terus menerus
walaupun mesin sedang tidak memberikan inspirasi.

Apabila inspirasi mesin terjadi saat pasien baru


ekspirasi dapat muncul risiko barotrauma atau
volutrauma. Oleh karena itu cara ini telah digantikan
dengan synchronized IMV (SIMV).

ASSISTED VENTILATION MODES

Volume Assisted Ventilafion (VAV)


Modus ifi adalah patient's triggered dan volume limited.
Ventilator akan bekerja memb anf.t (as s isting) memberikan
udara inspirasi bila mendeteksi usaha napas dari pasien.
Modus ini disebut j.uga assisted mechanical ventilation.
Besamya volume tidal yang diberikan ditentukan oleh
mesin (volume limiteQ. Sama seperti VCV modus ini
memakai volume cycled atau /low cycled. Modus ini
diindikasikan pada pasien yang bemapas spontan namun
tidak adekuat (selama masih cukup adekuat untuk terbaca
oleh mesin). Berkebalikan dari VCY modus ini tidak boleh
diberikan pada pasien henti napas, dalam sedasi b erat atau

pelemas otot. Modus ini juga berbahaya pada pasien


dengan hiperventilasi sentral karena akan meningkatkan
volume semenit (VE), menyebabkan hipokarbia, alkalosis
respirasi akut, hipokalemia dan aritmia.
P ressu re S u

pport Venti lation (PSVI

Modus ini sering disingkat PS saja. Modus ini bekerja


secara patient's trigerred, pressure targeted, flow
cycled. Apabila pasien memicu mesin, mesin akan
memberikan udara secara cepat sehingga tekanan jalan
napas yang ditargetkan dicapai. Seperti halnya pada
PCV, apabila PEEP digunakan lebih dari 0 mmHg, maka

peak airway pressure yang terjadi adalah PEEP


ditambah nilai PS (besarnya tekanan maksimal yang
dib erikan oleh me s in). S el anj utnya/ ow akarr disesuaikan
terus untuk mempertahankan tekanan jalan napas
tersebut, sehingga selama pasien masih menarik napas
(berarti pasien membuat tekanan negatif) maka mesin
terus memberikan udara/tekanan. Apabila flow inspirasi

pasien menurun sampai ambang cycle off mesin


(umumnya 25oh dari peak expiratory pressure), mesin
akan beralih ke ekspirasi.
PSV dirancang untuk menghindari barotrauma dan
mengurangi kerja napas. PSV berbeda dengan IMV/SIMV,
di mana PSV dikondisikan untuk membantu setiap usaha
napas spontan. PSV sekarang menjadi pilihan pada pasien
dengan gagal napas yang tidak terlalu berat dan memiliki
usaha napas yang adekuat. Hasilnya dapat meningkatkan
kenyamanan pasien, mengurangi efek buruk terhadap

kardiovaskular, mengurangi risiko barotrauma, dan


meningkatkan distribusi gas.

Assisfed-co ntro I I ed

ve

nti I ati o n m ode

Pada modus-modus tipe ini ventilator mendeteksi

inisiatif

inspirasi dari pasien dan menyediakan bantuan tekanan


selama inspirasi. Pada mesin juga diset frekuensi napas

minimal. Bila pasien bernapas di bawah target


minimal tersebut maka mesin memberikan napas secara
otomatislmandatory.

t69

DUKUNGAI{ VENTIL.TIiTOR MEI(ANIK

e Assi sted -Co ntro I I ed Ve nti I ation (VACV)


VACV sering disebut assist-control ventilation atat
disingkat A/C saja. Modus ini adalah volume limited dan

PaCOrnya meningkat mendadak dan menimbulkan

time cycled. Pasien menginisiasi inspirasi


seperti pada VAV namun frekuensi minimal sudah diatur di
mesin sehingga bila pasien bernapas sangat lambat atau
sangat lemah, modus ini akan menjadi VCV' Pada modus

Hipoksemia

ini setting frelttensi inpirasi terkontrol tidak boleh di bawah


kebutuhan minimal pasien.

Vo I u m

volume

ata:u

asidosis.

.
.

PaO, <60mmHg atau SatO2<90% pada FiO2>50o

Adanya 'shunt'(pada atelektasis, edema paru, pneumonia, emboliparu)


Adanya ketidakimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) atau
percampuran dar ena (pada asma dan PPOK)
Adanya hipoventilasi dan peninggian tekanan PaCO2
(pada henti napas, gagal napas akut).
Pada FiO, yang rendah, tekanan barometrik yang rendah,

.
Synchronous lntermittent Mandatory Ventilation
(srMV)

dan adanya toksin tertentu (kebakaran, ketinggian

Modus ini bekerja secara patient s triggered dan volume


targeted seperti halnya VSV. Namun walaupun pasien bisa
mentrigger mesin, bila pasien tidak juga bemapas dalam
wakfu terlentu, mesin akan memberi napas secara otomatis

seperti pada VCV atau IMV. Usaha penyelarasan


(synchronis ation) adalah untuk mengurangi barotrauma,
yang mungkin timbul dengan cara IMV, ketika napas
diantarkan kepada pasien yang sudah dalam keadaan

tertentu, keracunan CO).


Keseimbangan difusi yang tak adekuat (anemia, curah
jantung yang tinggi, umumnya ini adalah faktor yang
memperburuk bukan faktor utama)

Hiperkapnia

inspirasi maksimal atau sedang berusaha penuh untuk

PaCOr> 55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO, dari


keadain awal yang disertai asidosis). Hal ini dapat terjadi

ekspirasi.

pada

Pilihan awal modus ventilasi (misalnya SIMV atauA/


C) tergantung dokter atau institusi yang bersangkutan.
Ventilasi CMV, juga NC, adalah cara bantuan penuh di
mana ventilator bisa mengambil alih seluruh usaha napas.
Kedua cara ini bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan
ventilasi semenit (VE) yang tinggi. Dukungan penuh, akan
mengurangi kerja otot pernapasan (tvork of breathing)
sehingga mengurangi konsumsi O, dan produksi CO, dari
otot-otot pernapasan. Suatu kekurangan yang mungkin
terdapat pada modus A/C pada pasien dengan penyakit
sumbatan jalan napas adalah perburukan dari keadaan
udara yang terperangkap (air trapping) dan napas yang
berlumpukan (breath stacking).
Ketika bantuan napas penuh diberikan pada pasien
yang dilumpuhkan dengan blokade neuromuskular, tidak
ada perbedaan antara VE pada berbagai cara ventilasi yang
ada. Pada pasien apnoe, A/C dengan frekuensi napas 10
dan VT 500 ml mengantarkan VE yang sama dengan SIMV
dengan parameter yang sama. SIMV membutuhkan usaha
napas lebih besar daripada A/C karena itu SIMV jarang
dipakai sebagai modus awal ventilator.

IN

DIKASI PEMASANGAN VENTILATOR

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal


napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas.

Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk


hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang

tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen


dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di mana

Peningkatan beban kerja melebihi kapasitas keq'a karena


Compliance yatgtertdah(ARDs, luka bakar daerah

.
.
.

dada, efusi pleura, obesitas, pneumonia)


Resistensi yang tinggi (asma, PPOK, tumor atau
sumbatan pada saluran naPas)

Peningkatan YCO2 bersamaan dengan terbatasnya


kapasitas kerja (diet, PPOK)
Peningkatandead space (ruang rugi) yang memerlukan
peningkatan ventilasi bersamaan dengan keterbatasan
kapasitas kerja.
Penurunan kapasitas kerja.

di otak

Karena penurunan pusat napas

overdosis obat dan sindrom hipoventilasi sentral


Penyakit neuromuskular (miastenia gravis, sindrom

pada

Cuillain-Bane)

Mechanical disadvantage ( hipetventilasi, auto


PEEP)

Atrofi otot

napas (pada malnutrisi, paralisis jangka

lama, steroid)

Gangguan metabolik (asidosis, penurunan O,

Kelelahan.

delivery)

TATA LAKSANA VE NTI LATO R


Pada ventilator invasif, pasien mulanya harus diintubasi

dulu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Karena


memerlukan pemantauan gas darah berulang maka kanula
untuk pengambilan darah arterial harus dipasang juga.
. Pilihlah ventilator yang paling anda kuasai atatpahng
familiar dengan anda, dan sesuai dengan kebutuhan

170

KEGA\I/AIDARURAf,AN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAI\il

pasien. Ingat tujuan utama kita adalah untuk memberikan

ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, mengurangi


beban napas pasien, sinkronisasi alat dan pasien, dan
menghindari tekanan inspirasi yang tinggi.
Berilah FiO, awal 100%, kemudian FiO, ini diturunkan
dengan titrasi unfuk memperlahankan saturasi O, pada

terjadi tekanan inspirasi tinggi berlebihan yang tak bisa

dikoreksi dengan berbagiai cara, maka untuk


mensinkronkan pasien dengan alat boleh

92-94%.
Pasanglah volume tidal awal pada 8- I Oml/kgBB. Pasien

dengan gagal napas akut karena gangguarr


neuromuskular sering memerlukan volume tidal sampai

10-l2ml/kgBB, sedangkan beberapa kasus ARDS


memerlukan volume tidal 5-8m1/kgBB, lebih baik

memperpanjang waktu ekspirasi pada penyakit


sumbatan jalan napas. Dengan bantuan ventilasi,
s ens it ivity diatur pada 1 -2 cm HrO.
Bila ada kesulitan dengan oksigenasi, ventilasi atau

dipertimbangkan pemakaian sedasi, analgesik atau ubah

pos1s1.

Konsultasi kepada yang lebih berpengalaman untuk


kasus/alat bersangkutan bila masih ada kesulitan.

menghindari tekanan inspirasi saluran napas yang


tinggi.

ATURANMEMULAI PEEP

Respiratory Rale (RR). Pilih frekuensi pernapasan yang


sesuai dengan keadaan klinis pasien. Targetkan ke pH
bukan saja PaCOr. Pernapasan yang terlalu cepat

mengurangi waktu untuk ekspirasi, meningkatkan


tekanan jalan napas rata-rata dan menyebabkan udara
terperangkap pada pasien dengan penyakit sumbatan
jalan napas. Pernapasan awal dapat dibuat 5-6 kali per

Mulailah PEEP pada 5 cm HrO dan tingkatkan secara


berlahap dengan 2-3 cm HrO. Efek rekruitment penuh
mungkin belum muncul untuk beberapa jam.
Monitor selalu tekanan darah, denyut jantung, PaO,
saat menaikkan PEEP, dan pada interval waktu tertentu.
Ingat selalu efek buruk PEEP yaitu: barotrauma, hipotensi,

menit pada pasien dengan asma, dengan teknik

turunnya curah jantung, peninggian PaCO, dan gagalnya

hiperkapnik.

oksigesnasi.

Inspiration/expiration ratio (IlE ratio). Rasio normal


dimulai dengan l:2. Kemudian dikurangi menjadi 1:4
atau 1:5 pada keadaan penyakit sumbatanjalan napas
dalam usaha menghindari udara terperangkap dan pada
auto atau intrinsik PEEP.
Pasanglah PEEP pada kelainan paru yang difus, untuk

menunjang oksigenasi dan menurunkan FiO,. Pada

sebagian besar kasus gagal napas. PEEi, juga


meningkatkan tekanan puncak inspirasi saluran napas,
suatu efek yang sebenarnya tak diinginkan. Jarang
diperlukan tekanan PEEP melebihi 15 cm H,O. PEEP
memindahkan cairan dari alveoli ke ruang interstisial
perivaskular. PEEP tidak mengurangi jumlah total dari

cairan ekstravaskular paru. Umumnya PEEP diatur


secara fisiologis pada 3-5 cmHrO untuk mencegah
penumnan fungsi kapasitas residu paru. PEEP 6 - l0
cmH2O dipakai untuk mencegah atelektasis pasca
bedah. Alasan peningkatan PEEP pada pasien dengan

penyakit berat adalah untuk menyediakan cukup


oksigen, dan menurunkan FIO, pada keadaan nontoksik (FIOr<0,5). Tingkat PEEP harus diselaraskan
sehingga tekanan intratorakal yang berlebihan (dengan
resultan berupa penurunan aliran balik vena dan risiko
barotrauma) tidak terjadi.
Jika ventilator memerlukan pengaturun flow rate

gnakanlahfl owrateatauRRyangmenghindarinapas
yang bertumptkan(stacking) dan auto PEEP. Inspira-

totyflow rates adalah fungsi dari VT,

VE ratio dan RR

yang bisa dikendalikan secara internal oleh ventilator.

Inspiratory flow rates diatur pada 60 l/menit.


Pengaturan ini dapat ditingkatkan sampai 100 l/menit
untuk mengantarkan VT secara cepat dan

Modifikasi Seting Ventilator


Setelah pasien diintubasi (pada ventilator invasif) dan
tersambung ke ventilator mekanik, dengan teliti

perhatikan efek dari intervensi ini. Lihat frekuensi napas


pasien, atur laju pernapasan oleh mesin. Pasien yang

tetap takipnea setelah terpasang ventilasi mungkin


memerlukan sedatif. Diazepam (2-5 mg iv) tiap 2 jam
elektilpada keadaan ini.
Penting memonitor hasil pemeriksaan gas darah secara
serial. Hasil ini sebagai dasar untuk mengubah seting ventilator. Mengingat pH normal adalah 7,40, P aCO rnormal

40, dan PaO, normal sekitar 100. Maka kita perlu


mengetahui data dasar analisis gas darah ini. Hal ini
membantu untuk mengetahui nilai dasar, karena pasien
dengan penyakit paru kronik mungkin merasa nyaman
dengan Pa0, 50. Nilai normal ini merupakan target saat
mengatur seting ventilator.

Kurang tepat merubah lebih dari satu paramcter


sebelum memeriksa efek dari perubahan sebelumnya
dengan pemeriksaan gas darah. Walaupun begitu masih
dapat diterima mengubah dua parameter secara bersamaan
sepanjang yang satu mempengaruhi Pa0, dan yang lain
mempengaruhi PaC0, (seperti FI0, dan frekuensi/RR).
Jangan merubah PEEP dan FI0, secara bersamaan karena
hal ini akan menyulitkanmeramalkan efekyang diinginkan.

Periksalah gas darah arterial 30-60 menit setiap setelah


mengubah seting ventilator.
Mengubah Pa0r. Pa0, dipengaruhi olehperubahanFI0, dan
PEEP. Berikan FI0, kurang dari 60% untuk menghindari efek

toksik oksigen.

'

17t

DUKUNGAN vENnL/tg1oR MEKAT{IK

a). Pa0, tinggi. Bila Pa0, tinggi, FIO, dapat diturunkan

dengan menggunakal "rule

o"f

7" sebagai patokan

pengaturan FIOr. Setiap penurunan 1% FI0r, Pa0, akan turun


7. Contoh :jika Pa0r 380 pada FI0, 9}o/o,Dengantarget Pa0,
100, maka adalah aman untuk menurunkan FI0, dari 90%
menjadi 50%(40 X 7:280). Jikapasien sudahpadaposisi
FI0, rendah, maka bila PaO, tetap tinggi, PEEP dapat
diturunkan. Direkomendasikan penurunan PEEP dengan
tahapan 2cm Hr0, periksa hasil gas darah tiap saat sesudah
pemrmnan tersebut. Turunkan PEEP pada level fisiologis
3-5 cm H20. Karena efek toksik oksigen, pasien dengan

bedah faktor yang penting diperhatikan adalah rasa sakit


sayatan akibat operasi mempengaruhi lama bantuan
ventilator. Akibatnya pasien setelah laparotomi atau
torakotomi (keduantr a sakit sayatan lebih lama) akan
membutuhkan periode lebih panjang dalam intubasi dan
ventilator dibanding yang disebabkan oleh median
sternostomy (relatif kurang sakit). Parameter yang harus
ada sebelum menyapih pasien adalah sebagai berikut:

1.

Pa02 tinggi pertama-tama harus diturunkan FIO, nya barulah


kemudianPEEP.

b). PaO, rendah. Pasien dengan PaO, yang rendah, PEEP


pada level hsiologis dapat meningkatkan Pa0, dengan hanya
mengatur Fi0, sekitar 50-60%. Kemudian mulailah menaikkan
PEEP pada kenaikan 2. Monitor efek tiap-tiap perubahan
dengan memeriksa gas darah, apabila diperlukan PEEP >10
cm HrO maka kateter arteri pulmonalis perlu dipasang untuk
memonitor efek dari penambahan PEEP, karena PEEP dapat

Pasien harus memperoleh oksigenasi yang adekuat


(ditentukan oleh PaOr), pada PEEP fisiologis dan FI0,
tidak lebih besar dari 500/o. Secara obyektif harus
ditemukan Pa0, lebih besar dari 70 pada penurunan
secara serial PEEP 3-5 dan FIOr 40-50%.

a.

b.

yang baru pada alat bantu pernapasan.


Pa0, >70 diperkenankanuntukpenyapihan.
Pasien harus memperoleh ventilasi adekuat (ditentukan
oleh PaC0r) yang harus kurang dari 45 sebelum

c.

2.

menurunkan aliran balik darah ke jantung dan


mengakibatkan efek terbalik terhadap curah jantung.

ekstubasi.
a. Sapihlah sampai frekuensi 2-4. hka gas darah tetap
memperlihatkan ventilasi adekuat ( PaCO, rtormal)
ubah seting ventilator ke CPAP (Continous Positive
Airway Pressure). Perhatikan laju pernapasan

Besarnya curah jantung bervariasi dari pasien ke pasien.


atau pada pasien yang sama pada waktu yang berbeda.

PEEP dengan level tinggi juga berisiko menyebabkan

pasien dengan baik. Jika pasien menjadi takipnu


pada frekuensi rendah, atau setelah dengan seting

barotrauma (pneumotorak, pneumediastinum atau pneumo


peritoneum). Pada beberapa sentra, pasien yang diberi PEEP
tinggi dipasang prohlaksis chest tube bilateral.

ke CPAP, maka penyapihan j angan diteruskan dulu.


Jangan membiarkan pasien pada frekuensi ventila-

Merubah PaC0r. PaC0, dipengaruhi oleh pengaturan

tor 2, atau CPAP terlalu lama setelah diputuskan


penyapihan tidak diteruskan' Pernapasan melalui
pipa endotrakeal tidak seperti pemapasan normal
melalui mulut dan tidak tepat membiarkan pasien
bernapas terlalu lama melalui tube. Walaupun

frekuensi dan volume tidal.

a. PaC0, tnggi. PaC0, tinggi menandakan hipoventilasi;


jagalah volume tidal pada 10-15 ml,&gBB. Sesudah itu
naikkan frekuensi untukmemperbaiki ventilasi semenit (\{E),
periksa efek tiap perubahan dengan analisis gas darah.

b.

PaCO, rendah. Menandakan adarrya ventilasi yang


berlebihan dan biasanya diikuti oleh keadaan alkalosis.
Jagalah volume tidal tidak lebih dari 15 ml&gBB. Turunkan
frekuensi ventilator. Jika pasien takipnu pemberian sedatif

b.

Capacity (YC). Agar ekstubasi berjalan lancar maka,


NIF harus 25 cm HrO atau lebih besar (lebih negatif).
Volume tidal harus 400 pada ukuran dewasa normal.

(rate).Hal ini menunjukkan


kelelahan karena kurangnya bantuan ventilasi dan hal ini
setelah penumnan frekuensi

Prinsip umum untuk mengubah seting ventilator. a). Bila


pasien memburuk baru lakukan intervensi. b). Mengubah
FIO, selalu dibatasi kemungkinan keracunan oksigen. c).
Mengubah VE dibatasi oleh kemungkinan penurunan PaC0,
dengan akibat alkalosis. d). Mengubah PEEP dibatasi
kemungkinan penurunan PaC0, dengan akibat alkalosis.

kebanyakan orang menggun akkan T-p iece sebelum


ekstubasi, jika pasien bisa menerima CPAP pada 5
cm Hr0, maka sebetulnYa
MenenfukankemamPuan

harus diperoleh parameter respirasi atau disebut


juga faktor mekanik pemapasan, meliputi volume
tidal (VT), negative inspiratory force (NIF) dan Wtal

atau paralisis mungkin diperlukan untuk mengontrol


ventilasi. Perhatikan kemungkinan munculnya takipnu

memerlukan peningkatan frekuensi ventilator.

Pa0r<60 memerlukan kembali pada level sebelum


pemasangan alat bantu pernapasan.
Pa0, 60-70 % memerlukan menunggu pada level

3.

Mempersiapkan ekstubasi.
a. Tentukan tingkat kesadaran, pasien harus sadar
(bangun) dan kooperatif. Mintalah pasien untuk
mengangkat kepalanya untuk memperlihatkan
kekuatan yang adekuat dan kemampuan untuk
mengikuti perintah.

b.

curah jantung.

Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat, Pa0,


dan PaC0, harus mencukupi pada CPAP + 5 cm HrO
dan FI0, tidak lebih dati 50o/o. Pernapasan mekanik

Penyapihan (weaning) dari ventilator. Pada pasien pasca

harus memperlihatkan NIF tidak kurang dari 25

e). Mengubah PEEP dibatasi oleh kemungkinan penurunan

172

KEGA\ilATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PET.WAKIT DALAM

dengan tidal volume 400

c.

4.

ml atau lebih

besar.

penyapihan dari ventilator invasif.


. Tingkat kesadaran stabil atau membaik
. Tanda vital stabil
. Frekuensi napas < 25lmenit
. gas darah mendekati atau pada :

Frekuensi pernapasan harus 25 atau kurang.


Tanda vital stabil atau tidak ada risiko aspirasi atau

tidak terkontrolnya pemapasan.


Prosedur ekstubasi. Sebagai kunci ekstubasi yang
sukses dijelaskan kepada pasien prosedur yang akan

P0r>7OmmHg

dilakukan
a.

b.

PC0r<5OmmHg

pasien 'disuction' melalui rongga mulut dan

endotrakeal

kempeskan balon selang endotrakeal.

selang

.
.

Persyaratan

pH < 7,35.
Kapasitas vital >15 ml/kg

Volumetidal >400ml (50-T0kgdewasa)

Kemungkinan perlu
ventilasi mekanik
Anam nesis/pem eriksaan fisik

Kapasitas vital

-l<--

Depresi pusat pernapasan

Penyakit paru kronik

V!,
K ro

nik

Prognosis ad malam

+
Apneu

iperkapn

ia

mHg

PaCO, < 50 mmHg

Teruskan tera pi

Kesadaran menurun Kesadaran ba

Teruskan tera pi
Penyakit paru akut
PaCO, < 60 mmHg

Trauma dinding toraks


Fail chest

Fto,

ringan

Fail chest beral


PaCO, > 45

PaCO, < 45

Hemodinamik

mmHg
stabil

PaCO, > 60 mmHg

1,0

PaCO,> 45 mmHg

mmHg

PaC0, < 4$
I

t-t
Kesadaran menurun

Hemodinamik tak stabil

Kesadlran baik

[-----------l
jelas

Tidak ada kelelahan

Kelelahan

Lanjutkan terapi

T.,.r.ki
l\.4

Bukan Pascasurgical

asalah neurom uskula

Kapasitas vital
<'10 ml/kg

Bukan bypass

kardiopulmonari

kard iopu lm ona ri

Sukar menelan

rJi
Kelelahan lelas

>'1 0 ml/kg

Efek obat prolong

Bisa menelan
Tidak ada kelelahan
Teruskan terapi

Prosed ur surgical major

Hemodinamik
tak stabil

Peninggiantekanan Asidosismetabolik

intrakranial

l\itungkin perlu IPPV

1.

Kapasitas vital

Gambar

t.,,.pi

YV

By pass

Obesitas

p16q

berat

173

DUKI,JNGAI\ VENTILATOR MEI(ANIK

'

NIF (negative inspiratoty force) > -25 cm

HrO

(lebih negatifl.

c.

Sebelum pipa endotrakeal dilepas, pasien harus


dalam fase inhalasi. Jadi saat pelepasan pipa, pasien

d.
5.

adalah pada fase ekshalasi yang akan membantu


mencegah terhisapnya sekret yang ada di trakea ke
paru.
Ingat bahwa pipa berbentuk lengkung dan ikutilah
lengkungan itu saat melePasnYa.

Pesan penting setelah ekstubasi.

a. Pasang40-50o%maskermuka
b. Sucsion bilamana perlu
c. Bila pasien telah mengalami

bantuan pernapasan
di samping
ventilator
biarkanlah
dalam waktu lama,
dapat
jam,
waktu
setiap
karena
pasien selama24

dipergunakan bila terjadi hal kegawatat yang


memerlukan ventilator kembali.
d. Cek gas darah setelah 30-60 menit
e. Periksa spirometn tiap jam
f Rangsang batuk dan napas dalam
o Perhatikan takipnu, yang sering merupakan peftanda
b'
awal gagal napas.

KOMPLIKASI

Keputusan untuk memasang ventilator harus


dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75o% pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih
dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48
jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah
sakit (bukan saja lepas dari ventilator)jadi lebih kecil

distensi berlebihan alveolar (volutrauma), meningkatkan

permeabilitas mikrovaskular dan kerusakan parenkim.


Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FIO, lebih besar
dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan
kerusakan sel sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi
ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan
atelektasis sekunder.

Pengaruh pada Kardiovaskular


Jantung, aor1a, dan pembuluh darah pulmonal berada di
dalam rongga dada dan potensial dalam meningkatkan
tekanan intra torakal. Hasilnya berupa penurunan curah

jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan


menurun, disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran
jantung fi.i. P"nr*nan curah jantung akrbat preload
ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien
hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan
volume cairan.

Pengaruh pada Ginjal, Hati, dan Saluran Cerna

Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada


keseluruhan penunrnan fungsi ginjal dengan penurunan
volume urin dan ekskresi natrium.
Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan
curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah
hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu'
Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder
mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan
peningkatan tekanan vena lambung.

Ventilator Noninvasif (NIPPV)

Secara statistik angka survivai berhubungan sekali


dengan diagnosis utama, usia , dan jumlah organ yang gagal

Ventilasi invasif adalah suatu alat bantuan napas mekanik


(ventilator) tanpa suatu pemasangan pipa endotrakeal ke

. Pasien asma bronkial lebih dari 90o/o survive sedangkan


pasien kanker kurang dari l0o/o. Usia di atas 65 tahun
kemungkinan survivekurang dari 50'/o. Sebagian penyebab
rendahnya .sur"vival pasien terpasang ventilator ini adalah

jalan napas

akibat komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe

Manfaat alat ini adalah: efek samping akibat intubasi


jalan napas atau efek samping trakeostomi dapat dihindari,
ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat
terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus

positive pressure.

untuk istirahat.
NIPPV disebut juga body ventilator (iron lung, pneumo

wrap, chest cuirass), positive pressure ventilator (PPV),

AKIBAT MERUGIKAN DARI VENTILASI MEKAN!K

continuous possitive airway pressure (CPAP).

Pengaruh pada Paru-Paru

ventilator.Alat ini bekerja dengan menimbulkan tekanan


negatif di sekeliling dada dan perut yang menghasilkan

Body ventilator diseb:ut juga negative pressure

tinggi (lebih besar dari 40 cmHrO) berhubungan dengan

pengembangan rongga dada sehingga udara terisap ke


paru melalui mulut dan hidung. Saat tekanan sudah sama
kembali dengan sekitarnya, maka secara pasif akibat
elastic recoil parudan dinding dada akan terjadi ekspirasi'

peningkatan insidens barotrauma. Disfungsi sel alveolar

Pada pneumo

Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension


pneumothorax. Puncak tekanan pengisian paru yang

timbul akibat tekanan jalan napas yang tinggi'

Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis,


yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan napas lebih
lanjut. Tekanan jalan napas yang tinggi juga mengakibatkan

belt (intermitent abdominal pressure

ventilator),mekanisme kerja justru sebaliknya; yaitu alat


melakukan penekanan pada perut untuk ekspirasi aktif dan
inspirasi terjadi secara pasif karena gravitasi.
Pada rocking bed ventilator mekanisme kerjanya adalah

774

pengubahan posisi pasien dan akibat gravitasi akan


membantu pergerakan pasif diafragma untuk inspirasi dan
ekspirasi.

Non invasif positive pressure ventilators, mekanisme


kerjanya adalah secara aktif membantu inpirasi dengan
mengantarkan suatu volume tidal udara yang sudah diatur
tekanannya. Teknik ini memungkinkan kita mengontrol
ventilasi menyeluruh atau hanya membantu usaha napas
spontan saja. Ekspirasi (ekshalasi) terjadi secara pasif
terhadap PEEP yang sudah diatur tekanannya atau terhadap
tekanan atrnosfer.

KEIGAWTTDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Keuntungan

Keterbatasan

Mudah dipasang dan dipindah


Lebih nyaman
Mengurangi pemakaian sedatif
Bisa sambil bicara/menelan
/batuk

Stres psikis
Peningkatan pengawasan
perawatan
Timbul hipoksemi saat dilepas
Timbul iritasi mata
Sulit higienis jalan napas
Tak ada proteksi jalan napas
Tak nyaman di muka
Distensi lambung
Terbatas kemampuan
ventilasinya
Tidak ada perlindungan udara

Menghindari komplikasi plpa


berupa:
. resistensi pipa
. trauma jalan napas atas
. asplrasl mlnl
. infeksi paru

CPAP (Continous possitive air pressure) mengantar


secara konstan suatu tekanan udara selama inspirasi dari
ekspirasi, jadi tekanan udara dibuat positifterhadap tekanan
atmosfir selama siklus napas. CPAP ini bukan mumi suatu
model ventilator karena tak membantu inspirasi secara aktif,

tapi mengurangi beban bernapas pada pasien yang bisa


bemapas spontan dengan memperbaiki compliance atau
mengimbangi PEEP intrinsik. Tekanan yang dipakai biasanya
5-1 0 cmllOjarangyang melebihi/bisa mentolerir sampai lebih
dari 15 cmllO.

REFERENSI
Dellinger RP. Mechanical ventilation. In : The ACCP pulmonary
board review 1998-1999. Illinois. ACCP: 346-359.
Gomella LG, Braen GR, Haist SA, Olding M. Fundamental of
ventilator management. In:Clinicians pocket reference 6'h ed.
California: Appleton&Lange; 1989.p.226-32.
Marini JJ and Wheeler AP. Indications and option on mechanical
ventilation. In: Critical care medicine, the essentials. 2'd,ed.
Baltimore: Williams&Wilkins; 1997.p.1 16-35.

24
GANGGUAN KESEIMBANGAN
CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Parlindungan Siregar

CAIRAN TUBUH TOTAL


Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Pada bayi

prematur jumlahnya sebesar 80% dari berat badan; bayi

normal sebesar 70-15% dari berat badan, sebelum

INTRASEL

pubertas sebes ar 65 o/o- I }oh dari b er at badan; orang dewasa


sebesar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam
sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam

6O% BB
Cairan Total

sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang


gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk'
Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen
utama yaitu cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Volume
cairan intrasel sebesar 60%o dari cairan tubuh total atau
sebesar 36Yo dariberatbadan pada orang dewasa. Volume
cairan ekstrasel sebesar 40%o dari cairan tubuh total atau
sebesar 24o/o dariberat badan pada orang dewasa. Cairan
ekstrasel dibagi dalam dua subkomparlemen yaitu cairan
interstisium sebesar 30oh dari cairan tubuh total atau 1 80%

Tubuh

EKSTRASEL

Gambar 1. Cairan total tubuh dengan kompartemen intrasel dan


ekstrasel

dari berat badan pada orang dewasa dan cairan

intrasel dan langsung berhubungan dengan fungsi sel.


Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium (kation utama)
dan kalium, kalsium, magnesium. Untuk menj aga netralitas
(elektronetral), di dalam cairan ekstrasel terdapat anion-

intravaskular (plasma) sebesar l0o/o dari cairan tubuh total


atat60/o dari beratbadan pada orang dewasa (Gambar 1).
Cairan ekstrasel dan cairan intrasel dibatasi oleh membran
sel (l ip i d - s o lu b I e), mentpakan membran semipermeabel
yang bebas dilewati oleh air akan tetapi tidak bebas dilewati
oleh solut yang ada di kedua kompartemen tersebut kecuali
urea. Cairan interstisium dan cairan intravaskular dibatasi
oleh membran permeabel yang bebas dilewati oleh air dan

anion seperti klorida, bikarbonat dan albumin. Kation utama


dalam cairan intrasel adalah kalium dan sebagai anion
utama adalah fosfat.

solut kecuali Albumin. Albumin hanya terdapat di


GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN

intravaskular.
Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut
berupa kation dan anion (elektrolit) yang penting dalam
mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua
kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya
mempengaruhi tekanan osmotik cairan ekstrasel dan

Gangguan keseimbangan air dalam topik ini adalah


ketidakseimbalgal a.ntara air yan'g masuk ke dalam dan
air yang ke luar dari tubuh, ketidakseimbangan antara
cairan intra dan ekstrasel serta ketidakseimbangan antara

r75

L76

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAM

cairan interstisium dan intravaskular. Ketidakseimbangan

ini khususnya

antara intra dan ekstrasel atau antara


interstisium dan intravaskular, sangat dipengaruhi oleh
osmolalitas atau oleh tekanan osmotik. Osmolalitas adalah
perbandingan antara jumlah solut dan air. Solut-solut yang

mempengaruhi osmolalitas dalam tubuh adalah natrium,


kalium, glukosa dan urea. Makin tinggi osmalilitas maka

makin tinggi tekanan osmotik. Urea mempengaruhi


osmolalitas akan tetapi tidak berpengaruh terhadap
tekanan osmotik oleh karena urea memiliki kemampuan
untuk menembus membran sel (lipid-soluble) betpirrdah
bebas dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, sehingga

urea disebut sebagai osmol yang tidak efektif


(ineffective-osmole).

Berpindahnya cairat dari intrasel ke ekstrasel atau


sebaliknya, dipengaruhi oleh perbedaan osmolalitas.
Cairan akan berpindah dari daerah yang osmolalitas lebih
rendah ke daerah dengan osmolalitas lebih tinggi. Dalam
keadaan normal maka osmolalitas cairan intrasel adalah
sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel. Kandungan air
di intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total
dalam tubuh lebih besar dari jumlah natrium total dalam
tubuh. Natrium, kalium, glukosa bebas berpindah antar
interstisium dan intravaskular (plasma), sehingga ketiga
osmol ini tidak berpengaruh terhadap perpindahan cairan
dari intersisium ke dalam plasma atau sebaliknya. Protein
dalam plasma yaitu albumin tidak mudah berpindah dari

Dehidrasi. Dehidrasi adalah keadaan di mana berkurangnya


volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkuran gnya a ir
jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel.
Akibatnya terjadi peningkatan natrium dalam ekstrasel
sehingga cairan intrasel akan masuk ke ekstrasel (volume
cairan intrasel berkurang). Dengan kata lain, dehidrasi
melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara
bersamaan di mana 40oh dari cairan yang hilang berasal
dari ekstrasel dan60%o berasal dari intrasel.
Pada keadaan dehidrasi, akan terjadi hipernatremia
karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang
hipotonik. Dehidrasi dapat terjadi pada keadaan keluarnya

air rnelalui keringat, penguapan dari kulit, saluran


intestinal, diabetes insipidus (sentral dan nefrogenik),
diuresis osmotik, yang kesemuanya disertai oleh rasa haus
dengan gangguan akses cairan. Atau dapat terjadi bila
cairan ekstrasel masuk ke intrasel secara berlebihan pada
kejang hebat atau setelah melakukan latihan berat. Atau
dapat terjadi bila asupan cairan natrium hipertonik yang
berlebihan.

Ilipervolemia. Hipervolemia adalah suatu keadaan di mana


terjadinya peningkatan volume cairan ekstrasel khususnya

intravaskular (volume overloafl melebihi kemampuan


tubuh mengeluarkan air melalui ginjal, saluran intestinal,
kulit. Keadaan ini lebih dipermudah dengan adanya
gangguan pada otot jantung (gagal jantung kongestif) atau

intravaskular ke dalam cairan interstisium sehingga

pada gangguan fungsi ginjal berat (penyakit ginjal kronik


stadium IV dan V atau pada gagal ginjal akut oligurik).

albumin adalah osmol utamayang mempengaruhi tekanan


osmotik di intravaskular. Tekanan osmotik dalam plasma
ini disebut juga sebagai tekanan onkotik dalam plasma.

Edema. Edema adalah suatu pembengkakan yang dapat

Berpindahnya cairan dari intravaskular ke interstisium atau


sebaliknya sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam
plasma.

Ada beberapa keadaan yang dapat kita temukan dalam


: 1).
Hipovolemia, 2). Dehidrasi, 3 ). Hipervolemia, 4). Edema.

hal gangguan keseimbangan air antara lain

Hipovolemia. Hipovolemia adalah suatu keadaan di mana

berkurangnya volume cairan tubuh yang akhirnya


menimbulkan hipoperfu si j aringan. Hipovolemia adalah
berkurangnya cairat ekstrasel di mana air dan natrium
berkurang dalam jumlah yang sebanding. Hipovolemia
dapat terj adi pada kehilangan air dan natrium melalui saluran

intestinalis seperti muntah, diare, pendarahan atau melalui

pipa sonde. Dapat juga melalui ginjal antara lain

diraba akibat penambahan volume cairan intersisium. Ada


dua faktor penentu terhadap terjadinya edema antara lain :

a). Perubahan hemodinamik dalam kapiler yang


memungkinkan keluamya cairan inlravaskular ke dalam
jaringan interstisium. b). Retensi natrium di ginjal.
Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh ; a).
Permeabilitas kapiler. b). Selisih tekanan hidrolik dalam
kapiler dengan tekanan hidrolik dalam intersisium. c). Selisih
tekanan onkotik dalam plasma dengan tekanan onkotik
dalam interstisium.
Retensi natrium dipengaruhi oleh : a). Aktivitas sistem
renin-angiotensin-aldosteron yang erat kaitannya dengan
baroreseptor di arteri aferen glomerulus ginjal. b). Aktivitas
ANP (atrial natriurelik peptide) yang erat kaitannya
dengan baroreseptor di atrium dan ventrikeljantung. c).

penggunaaan diuretik, diuresis osmotik, b alt-wasting neph-

Aktivitas saraf simpatis, ADH yang erat kaitannya dengan


baroreseptor di sinus-karotikus. d). Osmoreseptor di

ropathy', hipoaldosteronisme. Melalui kulit dan saluran

hipotalamus.

napas seperti 'insensible wctter losses

keringat, luka bakar.

Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah

Atau juga melalui sekuestrasi cairan seperti pada ileus

misalnya pada gagal jantung kongestif, sirosis hati,

struksi, trauma, fraktur, pankreatitis akut.


Pada hipovolemia cairan yang berkurang atau hilang
hanyalah cairan ekstrasel. Karena cairan yang keluar atau
hilang adalah cairan yang isotonik, maka kadar natrium
plasma tetap dalam batas normal.

sindrom nefrotik, dan gagal ginjal, makajumlah total natrium


tubuh akan meningkat oleh karena adanya retensi natrium

ob

'

ginjal akibat peningkatan sistem renin-angiotensinaldosteron. Akibat semua ini terjadi penimbunan air pada
interstisium yang akan menimbulkan edema umum.

177

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Di samping faktor-faktor penyebab edema diatas, ada


faktor lain yang mencegah berlanjutnya penumpukan

sebanyak duapertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan


keluar dari saluran intestinal (diare atau muntah), jenis cairan

cairan dalam jaringan interstisium (edema) yaitu aliran


limfatik yang dapat menampung kelebihan cairan dalam

pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-laktat.


Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh
karena potensi terjadinya asidosis metabolik pada diare
yang berat.

jaritgan interstisium. Faktor lain adalah dengan


meningkatnya jumlah cairan dalam jaringan interstisium
pada edema, akan mengurangi tekanan onkotik dan

meningkatkan tekanan hidrolik jaringan interstisium

Dehidrasi

sehingga penumpukan cairan dalam interstisium

Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan

terhambat.

ekstrasel secara bersamaan di mana 40oh dari cairan yang


hilang berasal dari ekstrasel dan 60%o berasal dari intrasel.

Manifestasi klinis edema dapat berupa : edema paru,


edema perifer misalnya pada tungkai, asites, bendungan
pada vena setempat misalnya pada tungkai yang biasanya
unilateral, bendungan vena dalam, edema 'pitting' pada

Hipernatremia pada pasien dengan hipovolemia,


merupakan tanda klinis dehidrasi' Defisit cairan tubuh
total ini dapat dihitung dengan rumus
:

hipotiroid.
DefisitCairan
PENANGGUI-ANGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN
CAIRAN

0,4x beratbadan(NaPlASMA/ 140 - 1)

Untuk koreksi cairan, jenis cairan yang diberikan adalah


cairan dekstrosa isotonik. Volume cairan yang dibutuhkan
sesuai dengan perhitungan rumus di atas ditambah dengan

Hipovolemia
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi
keadaan ini yaitu menanggulangi penyakit yang mendasari
dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui
jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi
cairat yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan

yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskular dan


interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan
yang isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan

interstisium dan intravaskular adalah sama, maka


penghitungan cairat yang hilang didasarkan pada persen
berkurangnya plasma (cairan intravaskular).
Disebut hipovolemi ringan bila kehilangar, < 20%o
volume plasma. Gejala klinis yang timbul hanya takikardia.
Disebut hipovolemia sedang bila kehllangan2} - 40%o
volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah takikardia
dan hipotensi ortostatik

Disebut hipovolemia berat bila kehilangan > 40yo

volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah penurunan


tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi, pikiran kacau.
Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6olo
dari berat badan pada orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi
volume rhgan (2Ooh) pada orang dewasa seberat 60 kg,
volume cairan yang hilang sebesar 20oh dati 3,6 liter adalah
0,72liter (720 ml). Kecepatan pemberian cairan tergantung
pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang
berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat
hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan darah.
Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang
ke luar. Bila pendarahan sebaiknya diganti dengan darah
juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan
koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau
cairan ringer-laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam

intravaskular, sedangkan cairan kristaloid akan masuk

'insensible water losses' volume urin24 jam | volume


cairan yang keluar melalui saluran cerna. 'Insensible water

losses' sebanyak + 40 ml/jam. Cairan dapat diberikan


intravena atau oral bila pasien sadar. Kecepatan prirberian
cairan harus tidak menimbulkan penurunan kadar natrium
plasma > 0,5 meq/jam. Sebagai contoh bila kadar Na-plasma
diturunkan dari 160 menuju 140, maka kecepatan pernberian
cairan adalah selama 40 jam (20 dlbagl 0,5). Bila berat
pasien ini adalah 60 kg, maka defisit cairan sebesar 0,4 x 60

- l):3,43 L. Bila insensible /oss sebesar 960 ml


dan volume ur in I 500 mll 24j am, maka volume ca iran yang
dibutuhkan sebesar 3,43 + 0,96 + 1,5 5,89 Liter. Jumlah
cairan ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 liter/jam.
(160ll4O

Tindakan lain adalah mengatasi penyebab terjadinya


dehidrasi.

Hipervolemia
Hipervolemia (volume overloaQ, volume intravaskular
yang meningkat, pada kegagalan otot jantung dan
penurunan fungsi ginjal dapat menimbulkan edema paru'
Penganggulangan yang dilakukan dalam hal ini adalah
pemberian diuretik kuat, furosemid, serta restriksi asupan
air. Asupan air yang dianjurkan hanya sebanyak'insensiblewater losses' yaitu + 40 mVjam. Pasien dengan gagal

ginjal akut atau gagalginjal terminal dengan hipervolemia


memerlukan dialisis untuk penanggulangannya' Pasien
dengan polidipsia primer, asupan air melebihi kemampuan
pengeluaran melalui ginjal dan kulit, akan menimbulkan
gejala akibat hiponatremia. Penanggulangan pada keadaan
ini adalah dengan restriksi asupan air serta mengatasi gejala
akibat hiponatremia akut bila ada.

Edema
Penanggulangan edema yang dilakukan meliputi:

178

memperbaiki penyakit dasar bila mungkin, restriksi asupan


natrium untuk minimalisasi retensi air, pemberian diuretik.

KEGAWAtrDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

natriuretic peptide (BNP). liormon-hormon ini akan

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian

mempengaruhi ekskresi natrium di dalamurin.


Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh

diuretik untuk penanggulangan edema adalah : saat yang


tepat, risiko yang akan dihadapi bila edema dikurangi,
waktu yang dibutuhkan untuk menangani edema, cepat

Peningkatan volume cairan (hipervolemia) dan peningkatan

atau lambat.

Indikasi atau saat yang paling tepat untuk


menanggulangi edema adalah bila ada edema paru,
merupakan satu satunya indikasi pemberian diuretikyang
paling tepat dalam menanggulangi edema dibandingkan
dengan penanggulangan jenis edema yang lain. Retensi
natdum sekunder (kompensasi) yang terjadi pada gagal
jantung atau sirosis hati adalah dalam rangka untuk
memenuhi volume sirkulasi efektifmenjadi normal kembali
guna optimalisasi perfusi jaringan. Pemberian diuretik yang
terlalu besar pada keadaan ini akan menimbulkan risiko

berkurangnya perfusi j aringan. Berkurangnya perfusi


jaringan, dalam klinik dapat dinilai dari kenaikan ureum
dan kreatinin.

Retensi natrium primer seperti pada penyakit ginjal,

akibat obat-obatan (minoksidil, NSAID, estrogen),


eding edema', tidak adapengurangan volume sirkulasi
efektif, pada keadaan ini yang terjadi adalah ekspansi
cairan ekstrasel. Pemberian diuretik pada keadaan ini tidak
akan mengurangi volume sirkulasi efektif sehingga tidak
mengurangi perfu si j aringan.
'

refe

Pada edema umum akibat gagal jantung, sindrom


nefrotik, retensi natrium primer, bila dilakukan pemberian
diuretik, mobilisasi cairan edema dapat berlangsung cepat
sehingga pengeluaran cairan edema sebanyak 2-3 liter
dalam 24 jam tidak akan mengurangi perfusi jaringan.
Berbeda dengan pengeluaran cairan asites, mobilisasi
cairan asites masuk ke intravaskular berlangsung lambat
sehingga bila diberikan diuretik kuat untuk mengurangi

asites dengan cepat, akan terjadi penurunan perfusi


jaringan sehingga akan menimbulkan kenaikan ureum atau
sindrom
hepato-renal dan dapat menjadi penyebab ensefalopati
hepatikum.

GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM

filtrasi glomerulus dan reabsorbsi oleh tubulus ginjal.


asupan natrium akan meningkatkan

laju filtrasi

glomerulus dan pada deplesi volume (hipovolemia) serta


asupan natrium yang rendah akan terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus. Perubahan perubahan yang terjadi pada
laju filtrasi glomerulus akan mempengaruhi reabsorbsi
natrium di tubulus (glomerulotubular balance).
Sebanyak 60% -65o/o

natitmyang

difi ltrasi direabsorbsi

di tubulus proksimal, 25%-30% di 'loop of Henle',5% di


tubulus distal dan 4% di duktus koligentes.
Reabsorbsi di tubulus proksimal dan duktus koligentes
tergantung pada kebutuhan tubuh yang diatur oleh faktor
neurohumoral (angiotensin-Il dan norepinefrin di tubulus
proksimal dan aldosteron di duktus koligentes). Reabsorbsi
di lengkung-Henle dan tubulus distal tergantung dari

jumlah natrium yang ada dalam filtrat di tubulus atau


disebut juga tergantung banyaknya jumlah filtrat.
Reabsorbsi natrium di tingkat sel tubulus proksimal dimulai
dari aktivitas pompa NaK-AIPase di membran basolateral

sel tubulus sehingga menimbulkan gradien elektrokimia


sehingga memudahkan masuknya natrium secara pasif
dalam bentuk solut kotranspor dengan glukosa, asamamino, fosfat yang dihantarkan oleh protein pembawa
(carrier) masuk menembus membran-sel dan juga melalui
antiport Na-H (reabsorbsi natrium dan sekresi ion-H).

Reabsorbsi natrium di lengkung-Henle asending,


dilakukan oleh proses elektronetral melalui kontranspor
NaK2Cl. Bila Na di reabsorbsi, maka absorbsi Cl akan
terhalang sebaliknya bila Cl di reabsorbsi maka reabsorbsi
Na terhalang dan bila K diareabsorbsi maka reabsorbsi Na
dan Cl terhalang. Kalium yang direabsorbsi akan kembali
masuk ke dalam lumen melalui saluran-K yang ada di
membran sel bagian lumen, sehingga membuat lumen
menjadi elektropositif dan mendorong Na masuk dari lumen ke dalam sel. Natrium yang masuk ke dalam sel akan
dikeluarkan dari sel masuk ke dalam sirkulasi dengan
bantuan pompa NaK-ATPase di membran basolateral di
mana akan ke luar 3 Na dan masuk 2 K. Kalium yang
masuk kemudian di keluarkan ke dalam lumen melalui
saluran-K di membran sel. Cl yang direabsorbsi, kemudian

Natrium berperan dalam menentukan status volume air


dalam tubuh. Keseimbangan natrium yang terjadi dalam
tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu pengatur :
. Kadar natrium yang sudah tetap pada batas terlentu
(Set-Point)
. Keseimbangat arlltara natrium yang masuk dan yang
keluar (Steady-State)
Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan

mempengaruhi kadar hormon terkait seperti hormon


antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin
aldosteron), atrial natriuretic peptide (AI\P), brain

ke luar dan masuk dalam sirkulasi melalui saluran Cl di


mernbran basolateral. Keluarnya kalium ke dalam lumen
dan keluarnya natrium ke dalam sirkulasi membuat sel
menjadi elektronegatif dan lumen menjadi elektropositif
sehingga memudahkan natrium masuk ke dalam sel dari
lumen lengkung-Henle asending.
Reabsorbsi natrium di tubulus distal, dilakukan oleh
proses elektronetral melalui kotranspor Na-Cl. Di dalam
sel, natrium dikeluarkan melalui membran basolateral oleh
pompa NaKAIPase ke dalam sirkulasi dan Cl keluar dari
sel pada membran basolataeral melalui saluran Cl. Pompa

179

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

NaK-AIPase juga membuat agar sel menjadi elektronegatif


sehingga mendorong Na masuk ke dalam sel melalui
kotranspor Na-Cl.
Reabsorbsi Na di duktus koligentes, terjadi di bagian
korteks duktus koligentes dan di medulla dalam. Pada
bagian korteks dilakukan melalui sel-prinsipal. Reabsorbsi
natrium di sel-prinsipal bagian korteks duktus koligentes
bersifat elektrogenik yang memungkinkan kadar natrium
dalam lumen turun sampai kurang dari 5 meq/L pada
keadaan hipovolemi. Sifat elektrogenik ini menyebabkan

Polidipsia primer atau gagal ginj al merupakan keadaan


di mana ekskresi cairan

lebih rendah dibanding dengan asupan cairan yang


menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH.
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau
tinggi.

hiperglikemi atau pemberian manitol intra vena


menyebabkan cairan intrasel keluar dari sel
menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang

muatan dalam lumen menjadi negatif sehingga


memungkinkan terjadinya reabsorbsi pasif Cl melalui jalur
paraselular dan juga memungkinkan terjadinya sekresi K

menyebabkan hiponatremia.

ke dalam lumen melalui saluran-K yang peka aldosteron

pada membran sel bagian lumen. Aldosteron sangat


berperan dalam proses transpor natrium dengan
meningkatkan jumlah saluran natrium di bagian apikal
membran sel prinsipal duktus koligentes. Lumen yang
bermuatan negatif ini dimungkinkan oleh pompa-NaKAIPase di bagian basolateral sel prinsipal, 3 Na keluar
dan kemudian

K keluar kembali dari sel yang menciptakan

normal.
Pseudohiponatremia, padakeadaanhiperlipidemia

atau hiperproteinemia di mana menyebabkan


volume air plasma berkurang. Jumlah natrium
tetap,osmolalitas normal akan tetapi secara total

dalam cairan intravaskular kadar natrium jadi

mendorong Na masuk ke dalam sel melalui saluran naffium.


Di samping itu, ion-K yang keluar ke dalam lumen melalui
saluran kalium peka aldosteron, akan mendorong Na dalam
lumen masuk ke dalam sel melalui saluran natrium tersebut.

Prostaglandin E2 dapat menghambat reabsorbsi


natrium di sel prinsipal sebaliknya ADH meningkatkan
reabsorbsi natrium di sel prinsipal dengan meningkatkan

Pemberian cairan isoosmotik tidak mengandung


natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma

dari sel masuk dalam sirkulasi dan 2 K masuk dalam sel


muatan negatif dalam sel. Muatan negatif dalam sel,

Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan

berkurang.
Padakelompok-I (ADH meningkat) dapat dibagi dalam:
Volume sirkulasi efektifturun.
- Na keluar berlebihan dari tubuh. l). Melalui ginjal:
diuretik aktt, renal salt wasting, muntah akut,

hipoaldosteron.

2).

Melalui non- ginjal: diare,

diuretik lama, muntah lama.


- Peningkatan volume air bebas elektrolit. l). Gagal
jantung. 2). Sirosis Hati 3). Pendarahan 4). Adrenal
insufisiensi 5. Hipotiroidisme 6.Hipoalbuminemia
Volume sirkulasi efektiftidakturun. SIADH (Syndrome
Inappropriate of ADH secretion)

jumlah saluran natrium.

HIPONATREMIA

hiponatremia dapat dibagi dalam

Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka


Respons fisiologis dari hiponatremia adalah terlekannya
pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin
meningkat oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal
duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah).
Hiponatremia terjadi bila : a). Jumlah asupan cairan

melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan


menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan
melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati
atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADHsecretion).
Berdasarkan prinsip di atas maka hiponatremia dapat
dikelompokkan atas :
. HiponatremiadenganADHmeningkat
- ADH yang meningkat oleh karena deplesi volume
sirkulasi efektif seperti pada : muntah, diare,
pendarahan, jumlah urin meningkat, pada gagal

jantung, sirosis hati, insufisiensi adrenal,


hipotiroidisme.

ADH yang meningkat pada SIADH.

Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologis.

Hiponatremia kronik. Disebut kronik bila kejadian


hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 jam.
Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperli
penurunan kesadaran atau kej ang, gejalayatg terjadi hanya
ringan seperti lemas atau mengantuk. Kelompok ini disebut
juga sebagai hiponatremia asimptomatik.
Hiponatremia akut. Disebut akut bila kejadian hiponatremia
berlangsung cepat yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan
ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema
sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang
osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga
sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.

Di

dalam

klinik bila ditemukan kasus

dengan

hiponatremia disertai gejala yang berat maka hiponatremia

masuk dalam kategori akut dan sebaliknya bila tidak


dengan gejala berat maka hiponatremia masuk dalam

kategori kronik. Hal ini penting untuk diketahui


sehubungan tindakan yang akan dilakukan bila ada
kej adian hiponatremia.

180

Penatalaksanaan

KEGAWAiIDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

iponatremia

Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab


terjadinya hiponatremia dengan cara :
. Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah,
penggunaan diuretis, penggunaan manitol)
. Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain apakah ada
tanda tanda hipovolemi atau bukan)

.
.
.

Pemeriksaan gula darah, lipid darah


Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas
rendah atau tinggi)
Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan
memeriksa BJ (berat jenis) urin (interpretasi terhadap
adakah ADH yang meningkat atau tidak, gangguan
pemekatan)
Pemeriksaan natrium, kalium dan klorida dalam urin
untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan


yang tepat sasaran.

.
.
.

Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia, akut atau

kronik.
Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia
perlu dikenali (deplesi volume, dehidrasi, gagal jantung,
gagal ginjal)

Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat


dengan pemberian larutan natriun, hiperlonik intravena.
Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari
kadar natrium awal dalam wakhr I jam. Setelah itu, kadar
natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L setiap I jam
sampai kadar natrium darah mencapai 130 meq/L. Rumus
yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam
lamtan natrium hiperlonik yang diberikan adalah 0,5 x
Berat Badan (kg) x deltaNa. Delta natrium adalah selisih

antara kadar natrium yang diinginkan denga kadar


natriumawal.

Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara


perlahan yaihr sebesar 0,5 meq/L setiap 1jam, maksimal
l0 meq,/L dalam24 1am. Bila delta Na sebesar 8 meq/L,

dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus


yang dipakai adalah sama dengan di atas. Natrium yang

laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus sentral


maupun nefrogeni! diuresis osmotik akibat glukosa atau
manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat
tumor atau gangguan vaskular. Deplesi volume dan defisit

cairan menyebabkan ekskresi Na dalam urin rendah

sehingga kadamya kurang dai 25 meq,/L.


Penambahannatrium yang melebihijumlah cairan dalam
tubuh misalnya koreksi bikarbonat berlebihan pada
asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi

volume sehingga natrium yang berlebihan akan


diekskresikan dalam urin menyebabkan kadar Na dalam

urin lebih dari 1 00 meq/L.


Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya
pada latihan olahragayang berat, asam laktat dalam sel
meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat dan
air dai ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar
natrium akan kembali normal dalam waktu 5-15 menit

setelah istirahat.

Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah


mengalami hipematremia, karena respons haus yang timbul
akan dijawab dengan asupan airyangmeningkat sehingga

tidak terjadi hipernatremia. Hipernatremia terjadi bila


kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada
orang dengan usia lanjut, diabetes insipidus (volume urin
dapat>10 L).
Dalam keadaan hipotalamus yang normal serla fungsi
ginjal normal, hipemahemia akan menyebabkan osmolalitas

urin menjadi lebih dari 700-800 mosmolkg.

Dalam kaitan dengan hipernatremia, kita harus


membedakan antara deplesi volume dengan dehidrasi.
Deplesi volume adalah keluarnya air bersama natrium
secara seimbang (isotonik) dari dalam tubuh. Dehidrasi
adalah keluarnya air tanpa natrium (cairan hipotonik) dari
dalam tubuh yang mengakibatkan timbulnya hipematremia.

Dengan kata lain, deplesi volume adalah hipovolemia

dengan normonatremia sedang dehidrasi adalah


hipovolemia dengan hipernatremia. Pada dehidrasi terjadi
pengurangan air baik ekstra maupun intrasel sedang pada
deplesi volume air yang berkurang hanyalah air ekstrasel.

diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik


intravena atau natrium oral.

HIPERNATREMIA
Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya
pengeluaranADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin
berkurang oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal
duktus koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi).
Hipernatremia terjadi bila :
. Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi
ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya
pada pengeluaran air tanpa elektrolit mel alui 'insensible
water loss' ataukeringat; osmotik diare akibatpemberian

Gejala Klinis
Timbul pada keadan peningkatan natrium plasma secara
akut hingga di atas 158 meqlL. Gejala yang ditimbulkan
akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari
dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan

pada vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan


perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas,
twitching, kejang dan akhimya koma. Kenaikan akut di
atas 180 meflL dapat menimbulkan kematian.

Penatalaksanaan Hipernatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan
etiologi hipernatremia. Sebagian besar penyebab

181

GANGGUAI\ KESEIMBANGAT{ CAIRAN DAN ELEKTROLIT

hipernatremi a adalah defisit cairan tanpa elektrolit akibat


koreksi airyang tidak cukup akan kehilangan cairan tanpa
elektrolit melalui saluran cerna, urin, atau saluran napas.

Setelah etiologi ditetapkan, langkah berikutnya


mencoba menurunkan kadar natrium dalam plasma ke arah

normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan


adalah mengurangi volume urin (desmopressin pada
diabetes insipidus sentral atau diuretik tiasid, mengurangi

asupan garam atau protein pada diabetes insipidus


nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium
berlebihan, pemberian natrium dihentikan.
Penyebab yang tersering adalah defisit cairan tanpa
elektrolit, pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan

berdasarkan penghitungan jumlah defisit cairan (lihat


penanggulangan gangguan keseimbangan cairan).

dibantu dengan adanya hiperaldosteron sekunder dari

hipovolemia akibat muntah. Kesemuanya ini akan


meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan teqadi
hipokalemi. Pada saluran cema bawah, kalium keluar bersama
bikarbonat (asidosis metabolik). Kalium dalam saluran cema
bawah jumlahnya lebih banyak (20-50 meq/L).
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat

terjadi pada pemakaian diuretik, kelebihan hormon


mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme primer
(adenoma kelenjar adrenal). Anion yang tak dapat di
reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam

tubulus (bikarbonat, beta-hidroksibutirat, hippurat)


menyebabkan lumen duktus koligentes lebih bermuatan
negatif dan menarik kalium masuk ke dalam lumen lalu
dikeluarkan dengan urin, pada hipomagnesemia, poliuria
(polidipsia primer, diabetes insipidus) dan' Salt-wasting

nephropathy' (sindrom Bartter atau Gitelman,


GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM

Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang


sangat besar dalam tubuh dan terbanyak berada di intrasel.

Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot,


konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan,
perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan kalium di
intrasel diperlukan keseimbangan elektrokimia yaitu

hiperkalsemia).
Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat
terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang
panas sehingga produksi keringat mencapai 10 L.
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis
ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-

adrenergik (pemakaian p2-agonis), paralisis periodik


hipokalemik, hipotermia.

keseimbangan antara kemampuan muatan negatif dalam

sel untuk mengikat kalium dan kemampuan kekuatan

kimiawi yang mendorong kalium keluar dari sel'


Keseimbangan ini menghasilkan suatu kadar kalium yang
kaku dalamplasma antara 3,5-5 meq,L. Kadarkaliumplasma
kurang dari 3,5 meq/L disebut sebagai hipokalemia dan
kadar lebih dari 5 meq/L disebut sebagai hiperkalemia.
Kedua keadaan ini dapat menyebabkan kelainan fatal listrik

jantung yaitu disebut aritmia.

HIPOKALEMIA
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang

dari 3,5 meq/L. Hipokalemia merupakan kejadian yang


sering ditemukan dalam klinik.
Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :1.

Asupan kalium yang kurang. 2. Pengeluaran kalium yang


berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat.
3. Kaliummasukke dalam sel.
Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cema

ar.tara

lain muntah, selang naso-gastrik, diare atau

pemakaian pencahar. Pada keadaan muntah atau pemakaian

selang nasogastrik, pengeluaran kalium bukan melalui


saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan
lamtung hanya sedikit (5-10 meq/L), akan tetapi kalium
banyak ke luar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang
nasogastrik, terj adi alkalosis metabolik sehingga banyak
bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan mengikat
kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga

Gejala Klinis
Kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless
legs syndrome'merupakan gejalapada otot yang timbul
pada kadar kalium kurang dari 3 meq/L. Penurunan yang

lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau


rabdomiolisis.

Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardia


ventrikular merupakan efek hipokalemia pada jantung. Hal
ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi ventrikel pada
keadaan hipokalemi yang menimbulkan peningkatan arus
re-entty.
Tekanan darah dapat meningkat pada keadaan
hipokalemia dengan mekanisme yang takjelas.
Hipokalemia dapat menimbulkan gangguan toleransi
glukosa dan gangguan metabolisme protein'

Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya


vakuolisasi pada tubulus proksimal dan distal. Juga terjadi
gangguan pemekatan urin sehingga menimbulkan poliuria
dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan
produksi NHo dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal

yang akan Menimbulkan alkalosis metabolik.


Meningkatnya NHo (amonia) dapat mencetuskan koma
pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

Diagnostik pada HiPokalemia


Pada keadaan normal, hipokalemia akan menyebabkan
ekskresi kalium melalui ginjal turun hingga kr'rang dari25
meq per hari sedang ekskresi kalium dalam urin lebih dari

182

KEGAWATDARURATAI\ MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAXIT DALAM

40 meq per hari menandakanadanyapembuangan kalium


berlebihan melalui ginjal.
Ekresi kalium yang rendah melalui ginjal dengan disertai

asidosis metabolik merupakan pertanda adanya

dari 5 meq/L. Dalam keadaan normal jarang terjadi


hiperkalemia oleh karena adanya mekanisme adaptasi oleh

tubuh.
Penyebab hiperkalemia dapat disebabkan oleh

: l.

pembuangan kalium berlebihan melalui saluan cema seperti


diare akibat infeksi atau penggunaan pencahar.
Ekskresi kalium yang berlebihan melalui ginjal dengan

Keluamya kalium dari intrasel ke ekstrasel. 2. Berkurangnya


ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar dari sel dapat

diserlai asidosis metabolik merupakan petanda adanya


ketoasidosis diabetik atau adanya P.TA (renal tubular

asidosis organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisiensi


insulin, katabolisme jaringan meningkat, pemakaian obat

acidosis) baik yang distal atau proksimal.


Ekskresi kalium dalam urin rendah disertai alkalosis
metabolik, petanda dari muntah kronik atau pemberian

penghambat B-adrenergik, pseudo hiperkalemia akibat

diuretiklama.
Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis
metabolik dan tekanan darah yang rendah, petanda dari

olahraga.

Sindrom Bartter.

Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis


metabolik dan tekanan darah tinggi, petanda dari
hiperaldosteronisme primer.

pengambilan contoh darah di laboratorium yang


mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan

Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal ter;adi


pada keadaan hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi
volume sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin.

Gejala Klinis
Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel

Pengobatan
Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam

terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh

Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan


yaitu pada keadaan; 1) pasien sedang dalam pengobatan
digitalis, 2) pasien dengan ketoasidosis diabetik, 3) pasien
dengan kelemahan otot pernapasan, 4) pasien dengan
hipokalemia berat ( K < 2 meq/L ).

Indikasi kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak


terlalu lama yaitu pada keadaan; 1). insufisiensi koroner/
iskemia otot jantung,2). ensefalopati hepatikum, 3). pasien
memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan
kalium dari ekstrasel ke intrasel.

sehingga dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial


aksi lebih mudah terjadi. Dalam klinik ditemukan gejala
akibat gangguan konduksi listrikjantung, kelemahan otot

sampai dengan paralisis sehingga pasien merasa sesak


napas. Gejala ini timbul pada kadar K> 7 meqfl- ata:u
kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. Dalam keadaan

asidosis metabolik dan hipokalsemi, mempermudah


timbulnya gejala klinik hiperkalemia.

Pengobatan
Prinsip pengobatan hiperkalemia adalah:
. Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel,
dengan cara memberikan kalsium intravena. Dalam
beberapa menit kalsium langsung melindungi membran

Indikasi sedang, pemberian kalium tidakperlu segera seperti


pada; hipokalemia ringan (K antara 3-3,5 meq/L).

akibat hiperkalemia ini. Pada keadaan hiperkalemia yang

berat sambil menunggu efek insulin atau bikarbonat


yang diberikan (baru bekerja setelah 30-60 menit),
kalsium dapat diberikan melalui tetesan infus kalsium
intravena. Kalsium glukonat l0 ml diberikan intravena
dalam waktu 2-3 menit dengan monitor EKG. Bila

Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral


oleh karena lebih mudah" Pemberian 40 - 60 meq dapat
menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 meqil, sedang
pemberian 135 - 160 meq dapat menaikkan kadar kalium

perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada,


pemberian kalsium glukonat dapat diulang setelah 5

sebesar 2,5 -3,5 meq,/L.

Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCI


disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan I 020 meqljam. Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau
kelumpuhan otot pernapasan, dapat diberikan dengan
kecepatan 40-100 meq/jam. KCI dilarutkan sebanyak 20
meq dalam 100 cc NaCl isotonik. Bila melalui vena perifer,
KCI maksimal60 meq dilarutkan dalamNaCl isotonik 1000
cc, sebab bila melebihi ini dapat menimbulkan rasa nyeri
dan dapat menyebabkan sklerosis vena.

merut.

Memacu masuknya kembali kalium dari ekstrasel ke


intrasel. dengan cara

Pemberianinsulin l0unitdalam glukosa40%, 50ml


bolus intravena, lalu diikuti dengan infus Dekstrosa
50% untuk mencegah terjadinya hipoglikemi. Insulin
akan memicu pompa NaK-AIPase memasukkan kalium ke dalam sel, sedang glukosa/dekstrosa akan
memicu pengeluaran insulin endogen.

HIPERKALEMIA

Pemberian Natrium bikarbonat yang akan


meningkatkan pH sistemik. Peningkatan pH akan
merangsang ion-H ke luar dari dalam sel yang

Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih

kemudian menyebabkan ion-K masuk ke dalam sel.

183

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLM

Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium


bikarbonat diberikan 50 meq i.v selama 10 menit.
Bila ada asidosis metabolik, disesuaikan dengan
keadaan asidosis metabolik yang ada.
- Pemberian cx,2-agonis baik secara inhalasi maupun
tetesan intravena. cx, 2-agonis akan merangsang
pompa NaK-ATPase, kalium masuk ke dalam sel.
Albuterol diberikan 10 mg-20 mg.
Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh.
- Pemberian diuretik-loop (furosemid) dan tiasid.

Sifatnya hanya sementara.


Pemberian resin-penukar. Dapat diberikan per oral
maupun suposltofla.
Hemodialisis.

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM


Empat puluh persen kalsium dalam plasma terikat dengan
protein, 150% membentuk kompleks dengan sitrat, sulfat
dan fosfat, 45o/o sebagai kalsium-ion bebas.

Kalsium yang terikat dengan protein atau disebut juga


sebagai kalsium yang tidak dapat terdifusi, 8}%o-9}ohterikat

dengan albumin. Perubahan kadar protein dalam plasma

juga akan mempengaruhi kadar kalsium yang terikat


dengan protein. Peningkatan albumin I gram/dl akan
meningkatkan kalsium terikat protein sebesar 0,8 mg/dl,
sedang peningkatan globulin I gram/dl akan meningkatkan
kalsium terikat protein 0,16 mg/dl. Kalsium yang tidak

terikat protein I dffisible I ultrafiltrable termasuk di


dalamnya kalsium-kompleks dan kalsium-ion bebas.
Kalsium-ion bebas merupakan kalsium yang aktif secara
biologis; kadarnya dalam plasma sebesar 4 mgldl-4,9 mgl
dl atau 45o/o dari kadar kalsium total dalam plasma.
Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kalsium-ion
bebas membutuhkan darah segar, diambil secara anaerob,
tanpa heparin dan terbebas dari fibrin.
Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal

balik antara absorbsi usus, ekskresi dalam urin dan faktor


hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus terutama
di duodenum dan jejunum proksimal. Berbeda dengan
absorbsi natrium dan kalium di usus yang berlangsung
lengkap, absorbsi kalsium tidak berlangsung lengkap. Hal
ini terjadi karena absorbsi Kalsium membutuhkan vitaminD dan juga terbentuknya ikatan Kalsium yang sukar larut
seperti kalsium-fo sfat, kalsium- oksalat. Ab sorbsi dalam
usus lebih efisien pada keadaan asupan diit rendah kalsium

dan juga meningkat bila kebutuhan tubuh akan kalsium

bertambah misalnya kehamilan atau adanya deplesi


kalsium tubuh total. Beberapa obat dapat menghambat
absorbsi kalsium antara lain kolkisin, fluor, teofilin dan

glukokortikoid. Motilitas usus yang tinggi juga

menghambat absorbsi kalsium. Pada keadaan malnutrisi


ptotein, absorbsi kalsium juga terganggu oleh karena ikatan
kalsium-protein di sel mukosa usus mengalami defisiensi.

Untuk menghitung berapa kalsium yang diabsorbsi dapat


dilakukan dengan rumus di bawah sebagai berikut:
Kalsium diet - Kalsium feses

Absorbsi kalsium fraksional =


Kalsium diet

100

Ekskresi kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang


difiltrasi oleh glomerulus (kalsium ultrafiltrable) dan
kalsium yang direabsorbsi oleh tubulus (kalsium-ion bebas
lebih mudah direabsorbsi dari pada kalsium-kompleks,
sehingga kadar kalsium-ion bebas hanya20Yo dari jumlah
kalsium yang diekskresi dalam urin). Asupan dan ekskresi
natrium dalam urin akan mempengaruhi ekskresi kalsium
urin. Ekskresi natrium yang meningkat pada keadaan
peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan
ekskresi kalsium win. 97-99%o dari total kalsium yang
difiltrasi oleh glomerulus akan direabsorbsi oleh tubulus.
50-70% dari total kalsium yang difiltrasi direabsorbsi di
tubulus proks imal,30-40o/o antara akhir tubulus proksimal
dan tubulus distal dan lO% di duktus koligentes. Faktor
hormonal yang mempengaruhi keseimbangan kalsium
diperankan oleh vitamin-D dengan metabolit aktifnya 1'25dihidroksikolekalsiferol (1 ,25 [OH]2Dr) Yang disebut juga
kalsitriol dan hormon paratiroid. Sumber vitamin-D di dalam
tubuh manusia berasal dari vitamin-D3 endogen.VitaminD3 atau disebut juga kolekalsiferol, dibentuk secara termal
isomerisasi dari previtamin-D,. Previtamin-D3 berasal dari
provitamin-D3 yang disebut juga 7-dehidrokolesterol'
Kolekalsiferol dimetabolisme dalam hati menjadi 25hidroksivitam in-D3 atau 25 (OH)D3. Setelah melalui siklus
enterohepatik, 25(OH)D3 dalam bentuk komplek dengan
protein difiltrasi melalui glomerulus dan direabsorbsi di
tubulus proksimal. Di dalam sel tubulus proksimal, 25 (OH)
D, dimetabolisme menjadi 1,25[OH]2D, alau kalsitriol.
fitsitriol yang bersirkulasi dalam darah merupakan
pengatur utama absorbsi kalsium di usus. Efek vitamin-D
pada tulang ada dua yaitu 1) Membantu mineralisasi matriks
tulang organik dan 2) Membantu motilisasi kalsium tulang

untuk meningkatkan kadar kalsium plasma yang tidak


berhubungan dengan kemampuan absorbsi kalsium di
usus. Vitamin-D juga meningkatkan reabsorbsi kalsium
di tubulus ginjal.

Hormon paratiroid berperan utama dalam mengafur


kadar kalsium dalam darah. Melalui efekumpanbaltk(feed-

back mechanism) perubahan kadar kalsium-ion, akan


mempengaruhi sekresi hormon paratiroid yang kemudian
mengembalikan kadar kalsium-ion dalam batas normal'
Permukaan sel kelenjar paratiroid memiliki sensor yang

disebut sebagai'calcium-sensing receplor' yang


merupakan anggota datt 'G protein-coupled receptor' '
Bila kalsium dalam darah tinggi, melalui jalur fosfolipaseC, kalsium dalam sel kelenjar paratiroid meningkat yang
kemudian menghambat sekresi hormon paratiroid oleh sel

184

KEGAWATDARUR'ffAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEI\YAKIT DALAM

kelenjar paratiroid.' Calcium-sensing receptor, juga


terdapat di kelenjar tiroid dan di ginjal. Kalsitriol dan
homon paratiroid saling mempengaruhi satu sama lain.
Hormon paratiroid merangsang pembentukan kalsitriol di
ginjal, akan tetapi kalsitriol dapat menurunkan sekresi
hormon paratiroid dalam w aktu 12-24 jam. Hiperkalsemia
atau hipokalsemia akan menghambat atau merangsang
terbentuknya kalsitriol melalui perubahan sekresi hormon

paratiroid. Hormon paratiroid berpengaruh dalam


perubahan pembentukan tulang. Hormon paratiroid akan
meningkatkan aktivitas osteoblas (sel pembentuk tulang)
melalui reseptor hormon paratiroid pada sel osteoblas.

Osteoblas kemudian akan menstimulasi peningkatan


osteoklas (sel resorbsi kalsium tulang). Hormon paratiroid
menghambat reabsorbsi kalsium di tubulus proksimal akan
tetapi meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus distal
sehingga hasil akhir adalah menurunkan ekskresi kalsium
dalam urin. Sehingga efek akhir kerja hormon paratiroid
pada tulang dan ginjal adalah meningkatkan kadar kalsium
dalam darah.

Pengobatan
Kadar kalsium-ion normal adalah 4-5,2 mgldl atau l-1,3
mmol/L. Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar
kalsium-ion lebih dari 3,2 mg/dl atau lebih dari 0,8 mmol/L
atau kalsium-total sebesar lebih dari 8-8,5 mgldl. Pada
keadaan asimptomatik, dianjurkan meningkatkan asupan
kalsium dalam makanan sebesar 1000 mglhari. Gejala
hipokalsemia baru timbul bila kadar kalsium-ion kurang
dari 2,8 mgldl ata:u kurang dari 0,7 mmolil atau kadar
kalsium-total < 7 mgl dl.
Gejala hipokalsemia berupa parestesi, tetani, hipotensi
dan kejang. Dapat ditemukan tanda-Chovstek atau tandaTrousseau, bradikardi dan interval-QT yang memanjang.
Pengobatan yang diberikan bila timbul gejala adalah
pemberian kalsium intravena sebesar 100-200 mg kalsiumelemental ata:uT gram-2 gramkalsium glukonas dalam 1020 menit. Lalu diikuti dengan infus kalsium glukonas dalam
larutan dextrosa atau NaCl isotonis dengan dosis 0,5-1,5
mg kalsium-elemental/Kg BB dalam 1jam. Kalsium infus
kemudian dapat ditukar dengan kalsium oral dan kalsitriol

0,25-0,5ig/irai.
Hipomagnesemia dapatjuga menimbulkan hipokalsemi.

HIPOKALSEMIA

Etiologi

Bila ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal,


dapat diberikan larutan l0% magnesium sulfat sebesar 2
gram selama l0 menit dan kemudian diikuti dengan I gram

Defisiensi vitamin-D. Keadaan keadaan yang dapat

kronik disertai hipoparatiroid, diberi kalsium oral seperti

menyebabkan defi siensi vitamin-D adalah :


. Asupan makanan yang tidak mengandung lemak.
. Malabsorbsi yang terjadi pada gastrektomi sebagian,
pankreatitis kronik, pemberian laksan yang terlalu lama,
bedah-pintas usus dengan tujuan mengurangi obesitas.
. Metaboiisme vitamin-D yang terganggu pada penyakit
riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan fungsi
ginjal, dan gangguan fungsi hati kronik.

kalsium karbonat 250 mg kalsium elementaV650 mg tablet.

dalam 100 cc cairan per 1 jam. Pada keadaan hipokalsemi

HIPERKALSEMIA

Hiperkalsemia sering menyertai penyakit penyakit


seperti

Hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme primer terjadi

Hipoparatiroidisme. Dapat terjadi pada saat pasca bedah


kelenjar tiroid, secara tidak sengaja kelenjar paratiroid ikut
terangkat. Dapat juga terjadi secara idiopatik sejak anak

adenoma, karsinoma dan hiperplasia (akibat hipokalsemia


yang lama) kelenjar paratiroid.

anak. Pengobatan eklampsia dengan memakai magnesiumsulfat, dapat menekan sekresi hormon paratiroid. Efek toksik

malab sorbsi vitamin-D, penyakit ginj al kronik berat.

langsung obat golongan aminoglikosida dan obat


sitotoksik.

Pseudohipoparatiroidisme. Bersifat diturunkan. Organ


sasaran tidak memberi respons yang baik terhadap

hormon

paratiroid.

Hiperparatiroidisme sekunder dapat disebabkan oleh

Hiperparatiroidisme tersier ditandai dengan sekresi


berlebihan yang sangat bermakna hormon paratiroid dan
hiperkalsemi disertai dengan hiperplasi paratiroid akibat
respons berlebihan terhadap hipokalsemi. Keadaan ini
disebut juga sebagai hiperparatiroidisme refrakter. Tidak
memberi respon terhadap pemberian kalsium dan kalsitriol
dan terjadi pada penyakit ginjal kronik tahap terminal.

Proses keganasan. Karsinoma medular kelenjar tiroid,


menyebabkan kalsitonin meningkat sehingga ekskresi

pada pemberian fosfat berlebihan,

Tumor ganas. Sering terjadi pada karsinoma paru, buahdada, ginjal, ovarium dan keganasan hematologi. Faktor
penyebab hiperkalsemia disebabkan oleh 1) faktor lokal
pada tulang akibat metastasis yang bersifat osteoklastik
dan 2) faktor humoral. Faktor humoral disebabkan oleh
substansi yang beredar dalam darah dihasilkan oleh sel

penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal akut, pemberian


sitotoksik pada limfoma atau leukemia.

tumor dan bersifat osteoklastik. Substansi ini disebut juga


sebagai'osleoclast-activating cytokines'.

kalsium urin meningkat. Hipoparatiroidisme akibat


karsinoma payudara dan karsinoma prostat dengan anak
sebar yang bersifat osteoblastik.

Iliperfosfatemia. Terjadi

185

GAI{GGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEtr(TROLIT

Intoksikasi vitamin-D. Batas antara normokalsemia dan


hiperkalsemia akibat pemberian vitamin-D sempit, sehingga
kadang kadang tidak disadari sudah terjadi hiperkalsemia.
Hiperkalsemia dipermudah dengan pemberian vitamin-D
bersama dengan diuretik tiazid.

Kelasi kalsium-ion. Kalsium-ion dapat dikelasi dengan


mempergunakan Na-EDTA atau fosfat secara intravena.
Penggunaan terbatas oleh karena efek toksik bahan kelasi ini.

Hemodialisis/dialisis-peritoneal. Dialisis efektif


menurunkan kadar kalsium dengan memakai dialisat bebas

Intoksikasi vitamin-A. Pemberian vitamin-A berlebihan


dapat menyebabkan hiperkalsemi. Pada percobaan
binatang, pemberian vitamin-A berlebihan menyebabkan
fraktur tulang dan peningkatan jumlah sel osteoklast serta
ditemukan kalsifi kasi metastatik.

Sarkoidosis. Dapat terjadi hiperkalsemia karena adanya


peningkatan absorbsi kalsium melalui usus dan pelepasan

kalsium dari tulang. Pada sarkoidosis dapat terjadi


peningkatan produksi vitamin-D.

Hipertiroidisme. Terjadi akibat meningkatnya resorbsi


tulang. Hormon tiroid dapat memperkuat kerja hormon
paratiroid atau secara langsung hormon tiroid dapat

kalsium. Merupakan pilihan terakhir terutama untuk


hiperkalsemia berat khususnya diserlai insufisiensi ginjal
atau pada gagal jantung dimana pemberian cairan dibatasi.

GANGGUAN KESEIMBANGAN FOSFOR


Terdapat dua bentuk fosfor di dalam badan kita yaitu fosfor

organik dan fosfor inorganik. Semua fosfor organik


terdapat dalam fosfolipid yang terikat dengan protein.
Fosfor inorganik, 90%o dapat dif,rltrasi oleh glomerulus
(ultrafiltrable) dan sisanya terikat dengan protetn. 53%o
dari fosfor ultraf,rltrabel berdisosiasi dalam bentuk H2PO4 dan HPO,,2 - dengan perbandingan

I '.4

dan sisanya dalam

Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal'


Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis.
Pemberian cairan ini akan meningkatkan volume cairan

bentuk garam natrium, kalsium dan magnesium. Jumlah


fosfortubuhtotal adalah 0,5-0,8 mg,kgBB, 85% disimpan
dalam fulang; loh dalamcairan ekstraselular serta sisanya
berada dalam sel (intraselular). Kadar fosfor dalam darah
orang dewasa adalah2,5-4 mg/dl danpadaanak 2,5-6mgl
dl. Terdapat hubungan yang terbalik antara kadar kalsium
dan fosfor dalam darah. Hasil perkalian kedua kadar ini
adalah tetap. Dalam keadaan akut, peningkatan kadar fosfor
darah akan diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah.
Peningkatan akut kadar kalsium darah tidak segera diikuti
penumnan fosfor darah sebelum ada perubahan fosfor
dalam urin. Dalam keadaan alkalosis dan hiperventilasi
terjadi penurunan kadar fosfor dan meningkat pada
keadaan asidosis. Pemberian insulin dan epinefrin akan
menurunkan kadar fosfor darah. Pemberian glukosa akan
menurunkan kadar fosfor darah oleh karena masuknya

ekstraselular yang umumnya rendah akibat pengeluaran

fosfor ke dalam sel bersamaan dengan terjadinya

urin berlebihan disebabkan induksi oleh hiperkalsemia,

fosforilasi glukosa.

meresorbsi kalsium tulang.

Insufisiensi adrenal. Deplesi volume yang terjadi


meningkatkan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal.
Absorbsi kalsium usus juga meningkat akibat kurangnya
hormon glukokortkoid.

Sindrom'Milk-Nlkalil.

Pemberian antasid yang

mengandung kalsium karbonat dengan diserlai pemberian


susu yang berlebihan pada pengobatan tukak lambung
dapat menyebabkan hiperkalsemia.

Pengobatan Hiperkalsemia

muntah muntah akibat hiperkalsemia.

Absorbsi Fosfor di Usus


menghambat maturasi osteoklas. Diberikan

Sekitar 50-65% fosfor dalam usus diabsorbsi secara aktif


bergabung dengan natrium terutama di daerah yeyunum
melalui kotransporterNa-P (NaPi2b) yang identik dengan

jam dengan dosis

NaPi2a di tubulus ginjal. Absorbsi bergantung pada

4IU,&gBB.
Bifosfonat-menghambat aktivitas metabolik osteoklas
dan juga bersifat sitotoksik terhadap osteoklas.

gradien natrium antara mukosa usus dan bagian basolateral


sel usus oleh pompa NaKAIPase. Adanya fosfor dalam

Galium nitrat-menghambat resorpsi tulang oleh

absorbsi fosfor dihambat oleh asupan kalsium yang tinggi.

osteoklas dengan menghambat pompa proton 'ATPase


dependent' pada membran osteoklas.

Absorbsi fosfor juga dihambat oleh antasid aluminium

Menghambat Resorbsi Tulang

Kalsitonin-menghambat resorpsi tulang dengan cara


intramuskular atau subkutan setiap

.
.

12

usus akan membantu absorbsi kalsium, akan tetapi

hidroksida. Vitamin-D3 menstimulasi absorbsi fosfor dalam

Mengurangi absorbsi kalsium dari usus. Glukokortikoid


(prednison, 20 -40 mglhari) mengurangi produksi kalsitriol
oleh paru dan kelenjar limfe yang diaktivasi produksinya

USUS.

oleh sel mononuklear. Kalsium serum dapat turun dalam 25 hari.

Ekskresi fosfor dipengaruhi oleh kadar fosfor inorganik

Ekskresi Fosfor Melalui Urin


dalam plasma, Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan

186

KEGA}VATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAXIT DALAM

kemampuan absorbsi maksimal dalam tubulus (Tm). Tm


berbanding lurus dengan LFG. Makin tinggi kadar fosfor
inorganik dalam darah, makin tinggi ekskresi melalui urin.

Fosfor yang difiltrasi,

60%o

kemudian meningkatkan glikolisis. Aktivitas ini

di reabsorbsi di tubulus

proksimal, 10%-25% di tubulus distal sedang sisanya 5o%20o/o terdapat dalam urin. Reabsorbsi fosfor di tubulus
proksimal melalui kohanspor Na-Pi dengan bantuan energi
dari pompa NaK-ATPase di basolateral, fosfor keluar dari
sel bersama natrium sebesar 10%o dan tidak tergantung
natrium sebesar 30o%. Ada tiga jenis kotranspor Na-Pi yaitu
tipe I, II dan III. Kotranspor Na-Pi yang dominan dalam
tubulus manusia adalah tipe II Q.{a-Pi2a). Hanya reabsorbsi
di bagian luminal tubulus yang dipengaruhi oleh hormon
paratiroid dan oleh regulator lain.

Keadaan yang Mempengaruhi Ekskresi Fosfor


Hormon paratiroid, menghambat reabsorbsi fosfor di
tubulus proksimal sehingga ekskresi dalam r.rin meningkat.

Hambatan ini melibatkan reseptor hormon paratiroid yang


memediasi pembentukan cAMP intrasel, inositol trifosfat,

banyak menggunakan fo sfor.


- Hungry Bone Syndrome. Terjadi setelah dilakukan
paratiroidektomi atau tiroidektomi pada pasien
dengan osteopeni. Pada keadaan ini akan terjadi
deposisi kalsium dan fosfor pada tulang sehingga
menimbulkan hipokalsemra.
Absorbsi melalui usus berkurang
- Asupan fosfor rendah

..

Menggunakan antasid yang mengandung

aluminium atau magneslum


Diare kronik, steatorrea
Ekskresi melalui urin meningkat

Hiperparatiroidisme primer atau sekunder


Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitaminD
Primaty renal phosphate wasting
Sindrom Fanconi

diasilgliserol, kalsium-bebas sitosol dan aktifasi protein

TANDA DAN GEJALA YANG DITEMUKAN PADA

kinase A dan C. Vitamin-D3 merangsang reabsorbsi fosfor

HIPOFOSFATEMIA

inorganik di tubulus ginjal. Meningkatnya asupan fosfor

melalui makanan akan meningkatkan ekskresi fosfor


sebaliknya diit rendah fosfor akan mengurangi ekskresi
fosfor urin. Growth hormone, hormon tiroid, insulin dan
insulin-like growth factor meningkatkan reabsorbsi fosfor
(ekspresi NaPi-2a meningkat di tubulus).
Peningkatan volume cairan ekstraselular yang akut
dengan pemberi larutan NaCl isotonik meningkatkan
ekskresi fosfor, sebaliknya hipovolemia akut akan
mengurangi ekskresi fosfor.
Diuretik yang menghambat reabsorbsi Na, Cl, HCO3 di
tubulus proksimal memiliki sifat fosfaturik, akan tetapi sifat
fosfaturik ini hilang sejalan dengan terjadinya hipovolemia.

Diuretik yang bersifat menghambat enzim karbonik


anhidrase di tubulus proksimal, bersifat paling fosfaturik.
Asidosis akan meningkatkan ekskresi fosfor urin dan
sebaliknya pada alkalosis.

HIPOFOSFATEMIA
Ada tiga hal yang dapat menyebabkan berkurangnya kadar
fosfor dalam darah antara lain:
. Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel.
- Meningkatnya sekresi insulin khususnya pada
realimentasi. Pemberian insulin atau glukosa pada
orang dengan keadaan kekurangan fosfor misalnya
ketoasidosi s diabetik, hiperglikemi non-ketotik, pada
keadaan malnutrisi, pasien dengan realimentasi.
- Alkalosis respiratorik:lakut. Pada keadaan ini, CO,

dari dalam sel akan keluar dari sel sehingga


menstimulasi aktivitas fosfofruktokinase yang

Gej ala yang ditimbulkan akibat hipofosfatemia baru timbul


pada saat kadar fosfor darah kurang dari 2 mg/dl dan
gejala berat seperti rabdomiolisis baru timbul bila kadar
fosfor kurang dari I mg/dl.

Hiperkalsiuri. Hipofosfatemi yang lama

akan menghambat

reabsorbsi kalsium dan magnesium dalam tubulus


terhambat. Disamping itu terjadi resorbsi kalsium tulang
yang dimediasi oleh peningkatan kalsitriol akibat induksi
oleh hipofosfatenii.

Ensefalopati metabolik. Timbul gejala parestesi, berlanjut


kearah gejala delirium, kejang dan koma. Gejala ini timbul
akibat iskemi j aringan.
Gejala gangguan otot skeletal dan otot polos. Hipofosfatenu
dapat menimbulkan gejala miopati-proksimal, disfagia dan
ileus. Pada keadaan akut dapat terjadi pelepasan fosfor
dari otot dan menimbulkan rabdomiolisis.

Kerusakan fungsi sel darah merah. Pada keadaan


hipofosfatemi terjadi pengurangan kadar ATP
menyebabkan terjadi perubahan regiditas dan timbul
hemolisis. Hemolisis terjadi bila kadar fosfor kurang dari

0,5 mg/dl. Kadar 2,3 difosfogliserat mengakibatkan


kemampuan melepaskan oksigen ke jaringan berkurang dan
menimbulkan iskemi j aringan
Gangguan fungsi sel darah putih. Gangguan fungsi lekosit
yaitu berkurangnya fagositosis dan kemotaksis granulosit
akibat ATP intrasel berkurang.

Gangguan fungsi trombosit. Timbul gangguan retraksi


bekuan dan trombositopenia sehingga menimbulkan
perdarahan mukosa.

187

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Pendekatan Diagnostik Hipofosfatemi


Dapat dilakukan dengan mengukur ekskresi fosfor dalam
trin24jam atau menghitung Ekskresi Fraksional Fosfor
(EFF) dalam urin sewaktu.

EFF:

[Ufo

x Pcr x 100] :

[Pfo

Ucr)

Ekskresi Fosfor Rendah :


Fosfor dalam urin 24 jam kurang dari 100 mg atau FFE
kurang dari 5% (normal FFE 5% - 20%). Keadaan ini dapat
disebabkan oleh: l).Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke
dalam sel. 2). Absorbsi melalui usus berkurang.

Ekskresi Fosfor Tinggi : 1). Hiperparatiroidisme primer


atau sekunder, 2). Defisiensi vitamin-D atau resisten
terhadap vitamin-D. 3). Primary renal phosphate wasting

dapat diberikan infus NaCl isotonis secara cepat yang akan


meningkatkan ekskresi fosfor urin. Dapat |oga dilakukan
dengan memberikan asetazolamida (inhibitor karbonik
anhidrase) l5 mg/kgBB setiap 4 jam. Atau dapat juga
dilakukan hemodialisis khususnya hiperfosfatemia pada
gangguan fungsi ginjal.
Pada hiperfosfatemia kronik, yang biasanya terjadi
pada gagal ginjal kronik atau pada familial tumoral

kalsinosis, pengobatan ditujukan untuk menekan


absorbsi melalui usus dengan memberikan pengikat
fosfat seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer,
Iantanum karbonat.

GANGGUAN KESEIMBANGAN MAGNESIUM

(defek pada tubulus), 4). Sindrom Fanconi.

Pengobatan
Pengobatan terhadap hipokalsemia tidak diberikan bila

tidak ada indikasi yang kuat. Umumnya pengobatan


ditujukan kepada faktor etiologi timbulnya hipofosfatemia.

Bila terdapat kekurangan vitamin-D, dapat diberikan


vitamin-D sebanyak 400-800 IU per hari. Pemberian fosfor
baru diberikan bila sudah timbul gejala atau pada keadaan
gangguan tubulus sehingga terjadi pengeluaran fosfor
berlebihan melalui urin secara kronik. Lebih disukai
memberikan fosfor per oral karena pemberian secara
intravena banyak menimbulkan efek samping seperti
aritmia. Dosis per oral sebesar 2,5 gram-3,5 gram per hari.
Bila terpaksa pemberian intravena, dibertkan tidak lebih
dai' 2,5 mg/<gBB selama 6 j am.
Penelitian yang baru yang masih dalam evaluasi adalah

pemberian dipiridamol 75 mg satu kali sehari dapat


meningkatkan kadar fosfor darah.

HIPERFOSFATEMIA
Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit
saja kenaikan fosfor darah, ekskresi melalui urin akan
meningkat.
Hiperfosfatemi dis ebabkan oleh terutama diseb abkan
oleh ketidakmampuan ginjal dalam ekskresi fosfor :
. Jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada

sindrom lisis tumor, rabdomiolisis, asidosis laktat,

.
.
.

ketoasidosis, pemberian fosfor berlebihan.


Gangguan fungsi ginjal, akut atau kronik.
Reabsorbsi fosfor yang meningkat melalui tubulus pada

hipoparatiroid, akromegali, pemberian bifosfonat,


familial tumoral calcinosis.
Pseudohiperfosfatemi pada hiperglobulinemi (mieloma
multipel), hiperlipidemia, hemolisis, hiperbilirubinemia.

Hipomagnesemia merupakan kelainan yang ditemukan


sebesar l2o/o pada pasien rawat inap dan 60oh-65o/o dati
jumlah tersebut terdapat di ruang rawat inap intensif
(ICU). Ekskresi magnesium satu satunya terjadi sangat
efisien melalui ginjal. Hipermagnesemia dapat terjadi
apabila ada gangguan ekskresi atau pemberian yang

berlebihan. Berbeda dengan zat pelarut yang lain,


magnesium yang difiltrasi oleh glomerulus sebagian besar
di reabsorbsi sebesar 60-10% di Thick Ascending Limb

of Henle (TAL) bukan di tubulus proksimal. 15%-25%


magnesium yang difiltrasi, di reabsorbsi secra pasif di
tubulus proksimal dan S'/o-l\oh reabsorbsi di tubulus
distal. 3% dari Magnesium yang difiltrasi akan dibuang
dalamurin.
Sepertiga dari magnesium dalam makanan akan
diabsorbsi oleh usus halus secara pasif dan dalam bentuk

sistem transpor. Di dalam tubuh kita magnesium


berpengaruh pada reaksi enzim di attaranya
transfosforilasi, sintesis protein, metabolisme
hidrat-arang, sintesis dan degradasi DNA, aktivasi AIP.
Hanya sebagian kecil magnesium berada dalam cairan
ekstrasel. 60oh berada di dalam tulang, 20%o betada di
dalam otot. Kadar magnesium dalam serum berkisar antara
I ,4-1 ,l 5 meqlL,20%o terrkat dengan protein.

Peningkatan atau penurunan kadar magnesium


dalam darah berturutan akan meningkatkan atau
menurunkan ekskresi magnesium melalui ginjal.
Penambahan volume cairan ekstrasel yang akut dan
kronik akan meningkatkan ekskresi magnesium melalui
ginj al. Pemberian diuretik seperti manitol, asetazolamid,
tiasid, furosemid dan asam etakrinik akan meningkatkan
ekskresi magnesium dengan menghambat reabsorbsi di
tubulus. Tidak ada hormon yang diketahui dapat
mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh

kita. Hiperkalsemia akan meningkatkan ekskresi


magnesium dalam urin. Ekskresi magnesium mempunyai

Pengobatan

pola diurnal. Ekskresi paling rendah terjadi


pada waktu sore dan paling tinggi pada waktu

Pada keadaan akut dengan disertai gejala hipokalsemia,

subuh.

188

KEGAWAiIDARURAIAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEITYAKIT DALAM

HIPOMAGNESEMIA

[(0,7

Hipomagnesemia dapat terjadi oleh karena: 1). Gangguan


absorbsi di dalam usus misalnya pada diare kronik maupun
akut, malabsorbsi, steatorea, operasi pintas usus halus.
Kelainan genetik seperti hipomagnesemia intestinal primer
yang terjadi pada saat periode

neonatal menyebabkan gangguan absorbsi magne-

sium. Pankreatitis akut juga dapat menyebabkan


hipomagnesemia melalui saponifikasi lemak yang nekrotik;
2). 'Ierbuang melalui ginjal antara lain pada penggunaan
diuretik loop dattiazid, ekspansi volume cairan ekstrasel,

alkoholik, hiperkalsemia, nefrotoksin

seperti

aminoglikosida; sisplatin; siklosporin dll, disfungsi loop


Henle atau tubulus distal seperti pasca nekrosis tubular
akut; pasca cangkok ginjal; sindrom Bartter; sindrom
Gitelman, Ekskresi berlebihan Ginjal Primer seperti pada
Gitelman; mutasi Paracellin-1; mutasi NaKAIPase; 3).
Terlihat juga pada pasca operasi, pasca pemberian
foscarret, pada hungry bone syndrome.

Gejala KIinis

Gangguan neuromuskular seperti otot terasa lemas,


fasikulasi otot, tremor, tetani, tanda Chvostek dan Trous-

seau

positif. Tetani dapat timbul tanpa disertai

hipokalsemia.

Hipokalemia terjadi karena pada hipomagnesemia,


jumlah dan aktivitas ATP akan berkurang sehingga
terjadi peningkatan saluran -kalilum (K-chann

.
.
.

el diloop

Henle dan di duktus koligentes. Akibatnya ekskresi


kaliummeningkat.
Hipokalsemia terjadi karena resisten terhadap hormon
paratiroid akibat penurunan pembentukan siklik-AMP.
Terjadi defisiensi vitamin-D yang sebabnya belum dapat
dijelaskan.

Gangguan pada aktivitas

aritmia ventrikel.

Diagnosis
Untuk membedakan apakah hipomagnesemia diakibatkan
oleh gangguan renal atau non-renal dapat dilakukan

Mg urin 24 jam

atau

pengukuran ekskresi fraksional magnesium dalam urin.


Bila magnesium urin 24 jam lebih dari 10-30 mg atau
ekskresi fraksional lebih dari 2o/o,hal ini disebabkan oleh
penggunaan diuretik, sisplatin atau aminoglikosida. Pada
gangguan non-renal, ekskresi fraksional antara 0,5%o 2,1%o atau reralanya 7,4Yo. Pada pengeluran renal

berlebihan (renal wasting), ekskresi fraksional 15%


(artara 4o/o-48%). Ekskresi fraksional : [UMg x Pcr x 100]:

x PMg) x Ucr]. Mg bebas

dalam plasma adalah},7

kadar Mg plasma.

Pengobatan
Bila fungsi ginjal baik, kita tidak perlu takut memberikan
magnesium agak berlebihan. Bila ada gangguan fungsi
ginjal, pemberian harus berhati hati. Pemberian dapat
dilakukan secara intravena atau intramuskular MgSO4.
Pada pasien tetani atau aritmia ventrikel dapat diberikan
50 meq (600 mg) MgSO4 dalam 8-24 jam. Pemberian secara

infus intravena dilakukan pengenceran dengan larutan


glukosa. Pemberian per oral pada hipomagnesemia kronik
dengan MgO 250-500 mg empat kali sehari.

HIPERMAGNESEMIA
Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan
fungsi ginjal. Pada pasien gagal ginjal terminal, kadar magnesium serum adalah2-3 meq/L(2,4-3,6 mgldl). Pemberian
antasid yang mengandung magnesium pada pasien

gangguan fungsi ginjal dapat menimbulkan gejala


hipermagnesemia. Pemberian magnesium berlebihan
melebihi kemampuan ekskresi ginjal atau pemberian
MgSO4 sebagai laksan dengan cara melalui oral maupun

suppositoria dapat menimbulkan hipermagnesemi.


Pemberian laksan ini pada pasien gagal ginjal dapat bersifat

fatal.

Gejala
. Kadar magnesium plasma sebesar 4,8-7,2 mg/dl,
menimbulkan gejala nausea, flushing, sakit kepala,

listrik jantung berupa

pelebaran komplek-QRS; perpanjangan interval-PR;


menghilangnya gelombang-! sehingga menimbulkan

dengan pengukuran kadar

letargi, nganfuk dan penuunan reflek tendon.

Kadar magnesium plasma sebesar 7,2-12 mgldl,


menimbulkan gejala somnolen, hipokalsemi, reflek tendon hilang, hipotensi, bradikardia, perubahan EKG.

Kadarmagnesiumplasmasebesar lebihdari 12mgldl,


menimbulkan gejala kelumpuhan otot, kelumpuhan
pemapasan, blok jantung komplit, henti jantung.

Seluruh gejala ini ditimbulkan oleh karena gangguan


neuromuskular, kardiovaskular dan efek magnesium
sebagai penghambat saluran kalsium (calcium-channel

blocker) dan menurunkan sekresi hormon paratiroid yang


berakibat hipokalsemia.

Pengobatan
Langkah pertama adalah antisipasi akan terjadinya
hipermagnesemia. Misalnya kehati-hatian pemberian
magnesium padapasien gangguan fungsi ginjal. Bila timbul

gejala yang berat dapat diberikan 100 mg-200 mg


elemental kalsium secara intravena selama 5-10 menit.

GANGGUAN KESEIMBANGAT{ CAIRAN

DAN'I

E'KTROI

189

IT

REFERENSI
Halperin ML, Goldstein MB. Fluid, electrolyte, and acid-base

physiology. a problem-based approach. 3rd

ed.

WB.Saunders.1999.

Rose

B.D.

Symptoms

of hyponatremia and hypernatremia.

UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM.


Rose B.D. Diagnosis of hypokalemia. UpToDate, Version 13.2.,
2005., CD-ROM.
Rose B.D. Causes of hyperkalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005.,
CD-ROM.
Schrier R.W. (ed). Renal and electrolyte disorders. 6th ed. Lippincolt

Williams & Wilkins. 2003.


Siregar P., Roesma J., Suhardi D.A., Parsudi I. Gangguan elektrolit
dalam klinik. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid IL edisi ketiga.
2001. Suyono S., Waspadji S., Lesmana L et all (eds), halaman
307 -24.

S.A. Causes and treatment of hlpermagnesemia. UpToDate,


Version 13.2., 2005., CD-ROM.

Zalman

26
GANGGUAN KESEIMBANGAN
ASAM BASA METABOLIK
Parlindungan Siregar

terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Pengaturan


kadar ion-H ini dimungkinkan dengan tiga cara yaitu 1)
Penyangga kimiawi di dalam maupun di luar sel' 2)
Pengaturan tekanan parsial CO, dengan cara pengaturan
kecepatan ventilasi paru. 3) Pengaturan kadar bikarbonat

PENDAHULUAN

Ion-H merupakan salah satu komponen ion ion yang


berada dalam cairan ekstrasel disamping ion-Na dan ionK. Dalam keadaan normal kadar ion-H adalah sebesar 40
nanomol/L, secara kasar senilai I per sejuta kadar ion-Na
dan ion-K dalam milimol/L. Ikatan ion-H dengan protein

dalam plasma dengan cara pengaturan ekskresi ion-H


melalui ginjal (net acid excretion) (Gambar 1). Menurut
Bronsted, yang disebut dengan asam adalah zat
penyumbang ion-H sedang basa adalah penerima ion-H'
Penyangga di luar sel(Extracellular Buffer) sebagian
besar dilakukan oleh ion-HCOr. Ion-HCO, bermula dari
hidrasi CO, yanB larut dalam cairan ekstra selular

yang bermuatan negatif sangat kuat dan lebih kuat


dibandingkan dengan ikatan ion-Na dan ion-K dengan
protein. Meningkat atau berkurangnya ikatan ion-H
dengan protein akan merubah muatan protein, bentuk
molekul protein yang akhirrrya menimbulkan kerusakan
jaringan akibat perubahan fungsi protein. Konsekuensi
dari hal ini tubuh harus menjaga kadar ion-H tetap dalam

membentuk asam karbonat (HrCO3). H2CO3 kemudian


berdisosiasi menjadi ion-H dan ion-HCO3. Kadar H2CO3
sangat rendah dibanding COr-terlarut (1:3a0) dan ion-

batas normal walaupun pembenfukan asam maupun basa

Keseim bangan
asam -basa

Penyangaan
kimiawi

kstra se lu la r

lntraselular

Ginjal

Eksresi Co,

Sekresi H'

H- + H PO,'

NET ACID EXCRETION

;ifu--;l
Reab srop si
HCO3-

Gambar

1.

Keseimbangan asam basa dan pengaturan ion-H

190

L9t

GAI\GGUAN KESEIMBANGAI\ ASAM BASA METABOLIK

HCO3 (l:6800) sehingga reaksi di atas dapat


disederhanakan menjadi CO2 + H2O e H* + HCO3-. Reaksi
ke kiri dan ke kanan sama kuatnya sehingga bila ion-H

Kadar H2CO3 sangat kecil dibanding dengan kadar


CO2 ataupun ion-HCO3, sehingga reaksi di atas dapat
diperlakukan seperti di bawah ini:

berlebihan pada keadaan asidosis metabolik, ion-H akan


disangga oleh penyangga ion-HCO, membentuk H2CO3.

COr-terlarut + H2O <t H*

untuk mengatur tekanan parsial COr. Peningkatan ion-H


dalam plasma akan meningkatkan sekresi ion-H dalam
tubulus ginjal. Ion-H di dalam tubulus akan berikatan

dengan bikarbonat yang di filtrasi oleh glomerulus


sehingga terdisosiasi menjadi HrO dan CO, dengan
bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus
proksimal. Secara pasif CO, dan HrO akan di reabsorbsi
masuk ke dalam sel tubulus proksimal yang kemudian
bereaksi dengan H2O membentuk ion-HCOr. Ion-HCO, ini
kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh
kotranspor Na-3HCO, pada membran basolateral.
Pada keadaan alkalosis metabolik, ion-HCO, berlebih
menyebabkan kadar ion-H berkurang, reaksi akan bergeser
ke kanan dan terj adi hipoventilasi untuk mempertahankan
tekanan parsial COr. Akibat penurunan kadar ion-H, sekresi

ion-H di tubulus berkurang, sehingga reabsorbsi


bikarbonat menurun. Bikarbonat kemudian di ekskresi
dalam bentuk Na-bikarbonat.

Penyangga di dalam sel (intracellular buffer) dan


penyanggaan oleh tulang (bone buffer) sebagian besar

dilakukan oleh protein, fosfat organik dan inorganik,


hemoglobin dalam sel darah merah serta oleh disolusi
mineral tulang berupa pelepasan CaCO, dan CaHPOo ke
ekstrasel.
Pada keadaan asidosis metabolik, penyanggaan terjadi
sebanyak 43% di luar sel dar. 5l%o terjadi di dalam sel.
Pada keadaan asidosis respiratori, penyanggaan terjadi
sebanyak hanya3%o di luar sel dan sebagian besar (97%o)

HCO3-

Menurut hukum 'Law-Mass Action', reaksi ke kanan

Disamping itu, keberadaan ion-H yang berlebih


menyebabkan reaksi bergeser ke arah CO, + HrO. Akibaflrya
CO, akan berlebih sehingga terjadi hiperventilasi pada paru

sama kuatnya dengan reaksi ke

kiri sehingga:

kl . (COr-terlarut) (H,O) : k2 .(H.) (HCO3,


Ka = (H+)(HCO3-)/ (CO2-terlaruQ(H2O)
Oleh karena Ka dan HrO adalah sesuatu yang konstan
maka reaksi berubah menjadi:

K'a = (H.)(HCO3-)/(COr-terlarut)
Dalam plasma pada suhu 37 derajat celcius, K'a adalah
sebesar 800 nmol/L sehingga:

(H+)

800

(H+)

x (CO2-terlarut)/(HCO3-)
24 x (PCO,) /(HCO3-)

Dalam rumus Henderson-Hasselbalch dinyatakan


sebagai berikut:

pH

6,10

+ log (HCO3-) /

0,03

PCq

Konversi antara besaran pH dengan kadar ion-H dapat


dilakukan sebagai berikut:

.
.
.

pH7

pH7,l0
pH7,20

. pH6,9

: 100 nmol/L
:
: kadar ion-H 100 x 0,8 nmol/L
: kadar ion-H : 100 x 0,8 x 0,8
: kadar ion-H

: kadarion-H:100x 1,25

Berdasarkan rumus perhitungan di atas, maka


perubahan menjadi asidemi atau alkalemi adalah
dipengaruhi olehrasio antara PCO2 dan ion-HCO3. Bila

terjadi di dalam sel.

rasio meningkat maka kadar ion-H naik (asidemi) dan bila


rasio menurun maka kadar ion-H akan tuirrn (alkalemi).
Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan rasio
tersebut disebut sebagai asidosis atau alkalosis.

RUMUS HENDERSON.HASSELBALCH

ASIDOSIS METABOLIK

Sistem penyanggaan di dalam tubuh manusia terutama


dilakukan oleh asam lemah yang dapat berdisosiasi
sehingga memiliki kemampuan untuk menangkap atau

Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ionHCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsiil CO2 di
dalam arteri. Kadar ion-HCO3 normal adalah sebesar 24
meq/L dan kadar normal PCO2 adalah 40 mmHg dengan
kadar ion-H sebesar 40 nanomol/L.
Penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 meq/L akan
diikuti olehpenurunanPCO2 sebesar 1,2 mmHg. Penyebab
asidosis metabolik dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
I. Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh.
II. Berkurangnya kadar ion-HCO3 di dalam tubuh.
Itr. Adanya retensi ion-H di dalam tubuh.

melepaskan ion-H. Asam karbonat merupakan asam lemah

yang terutama dalam sistem penyanggan dalam tubuh


manusia. Asam karbonat merupakanbentukan dari hidrasi
COr. Tekanan parsil CO, dalam darah arteri adalah sama

dengan tekanan CO, dalam udara aieveol. Sebagian dari


CO, ini yaitu sebanyak 0,03 x PCO, melarut dalam cairan
plasma. Tekanan parsil CO, dalam arteri adalah 40 mm Hg,
sehingga CO, yang terlarut adalah sebanyak 0,03 x 40 :
1,2 mmoUl. Hidrasi CO2terlarut menghasil asam karbonat.

COr- terlarut + H2O

H2CO3

e II* +

HCO3-

Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang


menyebabkan penurunan tekanan parsiil CO2, dapat

192

KEGAWAfi)ARUR/IffAN MEDIK DI BIDAIIG ILMU PEhIYAKIT DALAM

bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan


kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu :
Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana pemrnman
kadar ion-HCO, sebesar 1 meq/L diikuti penumnan PCO,

c)

Tubulus proksimal

sebesar 7,2mmHg.

Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respirasi,


dimana penurunan kadar ion-HCO, sebesar I meq/L diikuti
penurunan PCO, sebesarkurang dari 1,2 mmHg.

Asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis


Respirasi, dimana penurunan kadar ion-HCO3 sebesar I

\a

HCO, +

H-

+3
l-

+'

H,CO3

cA

meq/L diikuti penurunan PCO, sebesar lebih dari 1,2 mmHg.

l,lembran
basolateral

Peran Ginjal
Dalam keadaan asidosis metabolik, kompensasi tubuh
melalui ginjal adalah meningkatkan sekresi dan ekskresi
ion-H (asidifrkasi urin, pH urin turun) sebanyak 50-100

2K'

2.

Gambar

0,+

11

,6

lvlembran

luminal

Reabsorpsi ion-HCO, di tubulus proksimal

meq/hari serta reabsorbsi ion-HCO, yang terdapat dalam


cairan fi ltrat glomerulus.

Sekresi ion-H terjadi di tubulus proksimal (sampai


dengan bagian tebal/asending loop dari Henle) dan di sel

interkalated duktus koligentes. Sekresi ion-H di tubulus


proksimal terjadi melalui penukar (antiporter) Na-H dan
pompa H-AIPase pada bagian apikal (lumen) sel tubulus.
Sebanyak dua pertiga sekresi ion-H di tubulus proksimal
adalah melalui penukar Na-H sedang sisanya melalui

pompa H-ATPase. Ion-H yang disekresi

di tubulus

proksimal akan bergabung dengan ion-HCO, yang dihltrasi


glomerulus membentuk H2CO3, kemudian terdisosiasi
menjadi HrO dan CO2 dengan bantuan enzim karbonik
anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO,
dan HrO akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus

proksimal yang kemudian bereaksi dengan H2O


membentuk ion-HCOr. Ion-HCO, ini kemudian akan masuk
ke dalam sirkulasi darah oleh kotransporNa-3HCO, pada
membran basolateral (perivaskular) (Gambar 2). Sebagian
besar (90% dari yang difiltrasi) ion-HCO, direabsorbsi di
tubulus poroksimal dan sisa l0% dibagian tebal loop dari

Henle melalui penukar Na-H dan di duktus koligentes

Tubulus proksimal

2K'

-3

H'-

Difiltrasi Disekresi

H,O

HPO,'+

l-1'

t
I

O,+OH

H,P O.'

em bran

Membran

basolatera

luminal

Gambar 3. Sekresi ion-H di tubulus proksimal dan proses


penyanggaan ion-H oleh HPO,z

lemah ini. Ion-NH4 dalam keadaan nornal dibentuk di


tubulus proksimal melalui metabolisme glutamin menjadi

bagian medula-luar.

ion-NHo dan alfa-ketoglutarat (Gambar 4). Ion-NH,

Di tubulus distal khususnya pada duktus koligentes,


asidifikasi urin terjadi dengan disekresinya ion-H oleh

kemudian disekresi ke dalam lumen melalui penukar-Na-H.


Ion-NH, ini kemudian di reabsotbsi kembali di bagian tebal
loop dari Henle oleh penukar Na-K-2C1. Ion-NH4 yang di
reabsorbsi ini kemudian masuk dalam sel intersisium. Di
jaringan intersisium, NHo kemudian terdisosiasi menjadi
NH, sehingga kadar NH, dalam intersisium meningkat. NH,
kemudian dapat berdifusi masuk ke dalam lumen tubulus
coligentes di bagian medula dalam oleh karena pH urin di
bagian ini memiliki pH yang rendah. NH3 di lumen duktus
koligentes ini kemudian bergabung dengan ion-H yang
disekresi oleh pompa H-AIPase dan pompa H-K-ATPase

pompa H-ATPase dan pompa H-K-ATPase pada bagian


apikal. Pompa H-K-AIPase berfungsi sebagai sekresi ion-

H dan reabsorbsi ion-K dimana fungsi utama adalah


mencegah hilangnya kalium pada keadaan hipokalemia.
Ada beberapa asam lemah yang difiltrasi oleh
glomerulus antara lain yang bertindak sebagai penyangga
ion-H dalam lumen tubulus. Asam lemah yang menonjol
sebagai penyangga tersebut adalah adalah HPO, (2-)
(Gambar 3). Proses penyanggaan ini disebut sebagai

'titratable-acidity'. Dalam keadaan normal, sebanyak l0

40 meq/hari ion-H dalam lumen tubulus disangga oleh asam

membentuk NH4 yang kemudian diekskresi mealui urin


(Gambar5).

193

GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASIA METABOLIK

basolateral sel tubulus proksimal awal sehingga terjadi


peningkatan sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HCO3.

Aldosteron. Aldosteron mempengamhi sekresi ion-H


melalui aktifasi pompa H-ATPase di duktus koligentes

Tubulus proksimal

_E

2K

o
=

o
'=
o

bagian kortek ginjal pada sel interkalated dan pada medula


bagian luar .
Aldosteron juga mempengaruhi secara tidak langsung
sekresi ion-H oleh sel prinsipal pada duktus koligentes di
kortek ginjal melalui efek reabsorbsi ion-Na. Reabsorbsi

ion-Na mengakibatkan muatan negatif di dalam Lumen

befiambah sehingga mempermudah sekresi ion-H ke dalam

3d

lumen.

6
Y

Hormon paratiroid. Hormon paratiroid menghambat


penukar Na-H di bagian apikal sel tubulus proksimal serta
koteransporter Na-3HCO, di bagian basolateral. Akibahrya
sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HCO3 terhambat.
Gambar

4.

Pembentukan ion-NH, di tubulus proksimal

Anion-gap Dalam Plasma


Untuk mengetahui etiologi dari tiap tiap kelompok
penyebab asidosis metabolik tersebut perlu diketahui

besarnya anion-gap (senjang anion). Dalam keadaan


normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalarn tubuh
adalah sama besar. Ada anion dan kation yang dapat

NH.
H-

ATP
_q

H-

-3

=
L

HrO

cr'

eo

t
I

3HC03+

CO,+OH

CA

asola

te ra

anion lain dan kation lain disebut sebagai anion-gap.


Besarnya anion gap, Na - (HCO, + Cl), dalam keadaan

normal sebesar 12 + 3 meq.


Pada kelompok pembentukan asam organik yang
berlebihan sebagai penyebab asidosis metabolik, besar

anion-gap akan meningkat oleh karena adanya


penambahan anion lain yang berasal dari asam organik

anlara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis


diabetik, asam laktat pada asidosis laktat, asam salisilat

l\ilembran
b

dihitung (C1, HCO3 danNa) dan ada anion dan kation yang
tak dapat dihitung (anion atau kation lain darizat organik).
Selisih antara Na dengan HCO, dan Cl atau selisih dari

pada intoksikasi salisilat atau asam organik akibat

Gambar 5. Difusi NH. pada duktus koligentes dan penggabungan

intoksikasi etanol.

ion-H dengan NH. di dalam lumen tubulus.

Pada kelompok berkurangnya kadar ion-HCO3 sebagai


penyebab asidosis metabolik, besar anion-gap tetap dalam
batas normal dengan peningkatan kadar ion-Cl. Misalnya
pada keadaan diare atau Renal TubularAsidosis proksimal

Jumlah ion-H yang diekskresi melalui ginjal (net acid


excretion) adalah merupakan penjumlahan dari titratableacid dengan ion-NH4 dan dikurangi dengan jumlah ionHCO3 yang terdapat dalamurin. Jadi dapat diformulasikan
sebagai berikut

Net acid excretion

(RTA-2), pemakaian obat inhibitor enzim karbonik


anhidrase atau pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium III -

Titratable acid + NH4* - HCO3-

Ion-H dalam bentuk bebas sangat sedikit di dalam urin


final yaitu kurang dari 0,04 meq/L.

Asidosis metabolik dengan anion-gap yang normal


selalu disertai dengan peningkatan ion-Cl dalam plasma

sehingga disebut juga sebagai asidosis metabolik


hiperkloremik.

Pada kelompok retensi ion-H sebagai penyebab

Peran Hormon Dalam Sekresi lon-H


Angiotensin-Il. Angiotensin-Il dapat mengaktifasi penukar
Na-H pada apikal dan kotransporter Na-3HCO, pada bagian

asidosis metabolik, besar anion-gap meningkat, misalnya


pada penyakit ginjal kronik stadium IV - Y dan besar
anion-gap normal misalnya pada renal tubular asidosis

(RTA-I atauMA-4).

t94

KEGAWATDARURIIiTAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEIYYAKIT DALAM

Anion-gap Dalam Urin


Pada keadaan asidosis metabolik dengan anion-gap
normal (hiperkloremik), ion-Cl yang berlebih akan di
sekresikan oleh sel interkalated duktus koligentes bersama
dengan sekresi ion-H (ion-Cl melalui saluran-Cl dan ion-H

melalui pompa H-ATPase). Ekskresi ion-Cl dilakukan


bersama dengan ion-NH3 dalam bentuk NH4CI. Ion-NH4
dibentuk dari ikatan antara ion-NH3 dalam tubulus dengan

ion-H yang disekresikan oleh sel nefron distal (duktus


koligentes). Terganggu atau normalnya ekskresi ion-NH3
dalam bentuk NH4CI dapat dinilai dengan menghitung
anion-gap di dalam urin. Anion-gap dalam urin dihitung
dengan rumus :

(Na-urin + K-urin) - Cl-urin


Bila hasilnya positif, terdapat gangguan ekskresi ion-

NH3 sehingga NH4CI tidak terbentuk akibat adanya


gangguan sekresi ion-H di nefron distal (tidak dapat
berikatan dengan ion-NH3) misalnya pada RTA-1 dan

Langkah pertama adalah menetapkan berat ringannya


gangguan asidosis.
Gangguan disebut letal bila pH darah kurang dari 7
atau kadar ion-H lebih dari 100 nmol/L.
Gangguan yang perlu mendapat perhatian bila pH
darahT,l -7,3 atatkadar ion-H antara 50 80nmol4l..

Langkah kedua adalah menetapkan anion-gap atau bila


perlu anion-gap urin untuk mengetahui dugaan etiologi
asidosis metabolik. Dengan bantuan tanda klinik lain, kita
dengan mudah menetapkan etiologi.

Langkah ketiga, bila kita mencurigai adanya kemungkinan


asidosis laktat, hitung rasio delta anion gap dengan delta
HCO3 (delta anion gap: anion gap pada saat pasien
diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal; Delta
HCO,: kadar HCO, normal dikurangi dengan kadar HCO,
pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari l, asidosis
disebabkan oleh asidosis laktat atau lebih tepat 1,6. Langkah

ketiga adalah menetapkan sampai sejauh mana koreksi

RTA4.

Hasil yang negatif, menunjukkan keadaan asidosis


metabolik anion-gap normal dimana ekskresi ion-Cl dalam
bentuk NH4CI sebanding dengan sekresi ion-H di nefron
distal yang terjadi akibat adanya asidosis metabolik,

dapat dilakukan.

22 meqlL. Pertimbangan yang dilakukan adalah


mencegah terjadinya hiperkalemi, mengurangi

misalnya pada keadaan diare.

Penghitungan anion-gap dalam urin tak dapat

kemungkinan malnutrisi, mengurangi percepatan

diaplikasikan bila terjadi deplesi volume sehingga ekskresi

Na-urin menjadi rendah atau bila terjadi peningkatan


ekskresi anion tak dapat dihitung seperti B-hidroksi butirat
pada ketoasidosis-DM sehingga jumlah Na dan K yang
diekskresi dalam urin bertambah.

Tampilan Klinik Asidosis Metabolik


pHlebihdariT,l:

l.
2.

Rasa lelah (fatique)


Sesak nafas (Kussmaull)

3. Nyeri perut
4. Nyeri tulang
5. Mualimuntah
pH kurang dari atau sama dengan 7,1

Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan


secara penuh hingga mencapai kadar ion-HCO3 20

gangguan tulang (renal osteodistrofi).


Pada keto-asidosis diabetik, atau pada asidosis-laktat
tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion-HCO, dalam
darah sebesar kurang dari atau sama dengan 5 meq/L
atau bila terjadi hiperkalemi berat atau setelah koreksi
insulin pada DM dan koreksi oksigen pada asidosis

laktat, asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan


sampai kadar ion-HCO, sebesar l0 meq/L.
Pada asidosis metabolik bercampur dengan asidosis
respiratori, tidak dalam ventilator, koreksi harus
dilakukan secara hati hati atas pertimbangan depresi
pernapasan.

Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan Na:

1. GejalapadapH>7.1
2. Efek inotropik negatip, aritmia
3. Konstriksi vena perifer
4. Dilatasi arteri perifer (penurunan resistensi perifer)
5. Penurunan tekanan darah
6. Aliran darah ke hati menurun
7. Konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran O,
terganggu)

Bikarbonat, setelah diketahui kebutuhan bikarbonat pada


pasien. Kebutuhan bikarbonat adalah berapa banyak
bikarbonat yang akan kita berikan untuk mencapai kadar
bikarbonat darah yang kita tuju.
Untuk ini kita harus mengetahui 'bicarbonate-space'
atau ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pasien pada kadar
bikarbonat tertentu dari pasien. Ruang-bikarbonat adalah
besarnya kapasitas penyanggaan total tubuh, termasuk
bikarbonat ekstraselular, protein intraselular dan bikarbonat

tulang.

Koreksi Asidosis Metabolik


Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan
baik agar koreksi dapat dilakukan dengan tepat talpa
menimbulkan hal hal yang membahayakan pasien.

Rumus untuk menghitung ruang-bikarbonat pada kadar

bikarbonat plasma tertentu adalah sebagai berikut

Ru-bikar = {0,4+ (2,6: [HCO3])]

BB (kg)

195

GAT{GGUAN KESEIMBANGAN ASIAM BASA METABOLIK

I.

Contoh:
Ru-bikar pada kadar bikarbonat plasma 20 meq/L adalah :
{0,4+ (2,6: 20)} x BB atau 0,53 BB atau 53% BB (lihat

sel.

II.

Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dari dalam tubuh


(contraction alkalosis).
III. Pemberian bikarbonat berlebihan.

Tabet 1)

%BB HCO3

HCO3

BB

HCO3

Ru-bikar meq/L Ru-bikar meq/L

meq/L

I
2
3
4
592
683
777
872

300
170

9
10

127

11

105

12
13
14
15
ID

17
18
19
20
21
22
23
24

69
66
64
62
60
58
57
56

%BB
Ru-bikar
55
54

54
53
52
52
51
51

Ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pada keadaan bikarbonat


plasma tertentu. Bila kita menginginkan menaikkan kadar
bikarbonat plasma dari I 0 meqil menj adi 20 meqlL, maka
bikarbonat yang kita butuhkan adalah sebagai berikut :

Ru-bikar pada keadaan l0 meq/L :


ata,u

Terbuangnya ion-H melalui saluran cerna atau melalui


ginjal dan berpindahnya (shift) ion-H masuk ke dalam

{0,4 + (2,6 : I 0) x BB

660/oBB

Ru-bikar padakeadaan2} mef,L

{0,4 + (2,6 :20) x BB

Dalam keadaan normal, sekresi ion-H oleh gaster akan

merangsang ekskresi bikarbonat oleh pankreas dan


penyanggaan ini berlangsung adekuat (tidak terjadi
gangguan keseimbangan asam-basa).

Terbuangnya ion-H akibat muntah muntah maupun


pemakaian sonde naso-gastrik yang terbuka, ionbikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena hilangnya
stimulus oleh ion-H di duodenum. Akibatnya hilangnya
ion-H yang tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat
akan menimbulkan alkalosis.
Sekresi ion-H melalui ginjal, akan meningkat pada
keadaan keadaan hiperaldosteronisme primer, penggunaan

diuretik loop dan tiazid, pasca hiperkapni, hiperkalsemi.


Penggunaan diuretik loop dan tiazid akan meningkatkan

kadar aldosteron, sekunder dari pengurangan volume


plasma. Deplesi volume plasma akan merangsang sistem
renin-aldosteron- angiotensin. Semua keadaan keadaan ini

akan merangsang peningkatan sekresi ion-H dan


reabsorbsi bikarbonat dalam tubulus (Gambar 6).

atau 53YoBB

Ru-bikar adalah attara 53% - 66% berat badan, j adirerata


Ru-bikar adal ah 59,5

J-\

Yo.

Bila berat badan 60 kg, maka bikarbonat yang dibutuhkan


adalah;
{(0,66 + 0,53) :
Rerata

Ru-bikar

2}

x 60 x

Berat Badan

Aldosteron

Volume sirkulasi
efektifturun

(20

10)}

Renin

dilepas

di

duki

I
I

Ang ll
Meningkal

CIJ

K1

pH,l

kol

lon K
keluar
d ari sel

I
I

Stimulasi

357 meq.

Na H-ATPase

dan ClHC0rexchanger

Delta Bikarbonat Plasma

357 meq bikarbonat kita berikan secara intra-vena


selama 1 sampai

jam, tergantung berat ringannya asidosis

yang terjadi (letal atau tidak letal).

ALKALOSIS METABOLIK
Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya
peningkatan primer bikarbonat dalam arteri. Akibat
peningkatan ini, rasio PCO, dan kadar HCO, dalam arteri

berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini


dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi
(hipoventilasi) sehingga PCO, meningkat dalam arteri. Pada
alkalosis metabolik yang simpel, kenaikan kadar HCO3 I
meqlL akan menyebabkan kenaikan PCO, sebesar 0,7
mmHg. Penyebab alkalosis metabolik dapat disebabkan
oleh:

ks.io

-H

.t
Reabsorbs HC0

Sekresi ion-H melalui tubulus juga meningkat pada


keadaan asidosis dalam sel akibat masuknya ion-H ke
dalam sel. Keadaan hipokalemi akan merangsang keluamya

kalium dalam sel masukke dalamplasma. Untukmenjaga


keadaan keseimbangan elektirk, ion-H masuk ke dalam sel

sehingga terjadi asidosis intrasel. Asidosis intrasel


merangsang sekresi ion-H meningkat ke lumen tubulus

dan mengakibatkan peningkatan reabsorbsi ionbikarbonat.


Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dalam jumlah
besar misalnya pada pemberian diuretik loop dalam dosis

196

KEGA}V/ITTDARURIIXAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

yang tinggi, akan meningkatkan kadar bikarbonat per liter


plasma akibat volume plasma yang berkurang.
Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat dapat mengakibatkan
alkalosis metabolik. Pemberian insulin pada keto-asidosis
diabetik atau perbaikan oxigenisasi jaringan pada asidosis
laktat akan dengan cepat meningkatkan kadar bikarbonat
plasma.

Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindrom

terhambat. Bila dengan antagonis enzim karbonik


anhidrase tak berhasil, dapat diberikan HCI dalam
larutan isotonis (150 meq/L) selama 8 - 24 jam.
Kebutuhan HCI dapat dihitung dengan mengetahui
jumlah distribusi bikarbonat pada keadaan alkalosis
tersebut sbb:
Kelebihan bikarbonat: 0,5 xBeratBadanx (HCO3 plasma-24)

Bartter dan Sindrom Gitelman suatu keadaan terjadinya

mutasi genetik pada transporter Na-K-Cl di bagian


asending loop-Henle (Bartter) dan di tubulus distal

REFERENSI

(Gitelman). Keadaan ini mirip dengan alkalosis metabolik


akibat diuretik loop atau tiazid.

Batlle DC. Segmental characterization of defects in collecting

Pengobatan

l.

Pada keadaan alkalosis

metabolik, disebut letal bila pH

darahlebihdari 7,7.

2.
3.

Bila ada deplesi volume cairan tubuh, normalkan kembali


volume plasma dengan pemberian NaCl isotonis
Bila penyebabnya hipokalemi, koreksi kalium dalam
plasma.

4. Bila penyebabnya
5.
6.

hipokloremi, koreksi chlorida dengan


pemberian NaCl isotonis.
Bila etiologinya adaTah pemberian bikarbonat
berlebihan, stop pemberian bikarbonat.
Dalam keadaan fungsi ginjal tuiun atau pada keadaan
edema akibat gagaljantung, cor-pulmonale atau sirosis
hati, koreksi dengan NaCl isotonis tidak dapat dilakukan
karena ditakutkan terjadi retensi Na dan kelebihan cafuan
(edema bertambah). Dapat diberikan antagonis enzim

karbonik anhidrase, sehingga reabsorbsi bikarbonat

tubule acidification. Kidney Int 1986, 30(4):546-54.


Garg LC, Narang N. Effects of aldosterone on NEM-sensitive ATPase in rabbit nepkon segments. Kidney Int 1988, 34(l):13-7.
Geibel J, Giebisch G, Boron WF. Angiotensin II stimulates both
Na(+)-H+ exchange and Na+/HCO3- cotransport in the rabbit
proximal tubu1e. Proc Natl Acad Sci U S A 1990, 87(20):791720.
Halperin ML, Goldstein

MB. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base


Physiology (A problem-based approach). Third Edition, 1999,
W.B.Saunders Company, Philadelphia, p 50-51.
Palmer BF, Alpem RJ. Metabolic alkalosis. J Am Soc Nephrol. 1997,
8(9):1462-9.
Rose BD, Post TW. Acids and Bases. UpToDate 13.1,2005, CDRom.
Rose BD, Post TW. Buffers UpToDate 13.1, 2005, CD-Rom.
Ruiz OS, Qiu Y! Wang LJ, Arruda JA. Regulation of the renal
Na-HCO3 cotransporter: Y mechanism of the inhibitory effect
of parathyroid hormone. Kidney Int 1996, 49(2):396-402.

Sasaki S, Marumo F. Mechanisms of inhibition of proximal


acidification by PTH. Am J Physiol 1991,260(6 Pt 2): F8338

26
REHIDRASI
Rizka

Hu

ma rdewaya

nti Asdie, Don i Pria mbodo Witja ksono, Soeba gjo Loehoeri

PENDAHULUAN

tersering yang menyebabkan dehidrasi, khususnya di

Rehidrasi adalah usaha mengembalikan ke keaadan hidrasi

negara-negara yang sedang berkembang seperti di Asia


khususnya di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Amerika

Selatan dan Afrika. Walaupun usaha WHO untuk

yang normal dari keadaan dehidrasi. Dehidrasi dalam


pengertian klinis adalah tubuh kekurangan air beserta
elektrolit-elektrolitnya. Tujuan utama rehidrasi ini adalah

misalnya pada pasien asidosis diabetik harus diberikan


insulin segera setelah pemberian glukosa dan kalium, pada
insufisiensi adrenokortikal harus diberikan kortison atau
hidrokortison lain (alfa fluorohidrokortison). Bila keadaan
hidrasi ini sudah tercapai, barulah diteruskan dengan

mengantisipasi keadaan tersebut sampai saat irti telah


menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun, tetapi di
negara yang masih berkembang diare masih merupakan
penyebab utama terjadinya dehidrasi. Di Indonesia sendiri
diare masih merupakan penyakit urutan ke enam dari
sepuluh besar pola penyakit yatg ada. Angka kesakitan
diare (IR) dari tahun 1986 sampai 1991 berkisar 19,46 27,22 per seribu pasien, sedang angka kematian (CFR)
berkisar 0,02 - 0,034 per seribu pasien. Pada survei yang
dilakukan di Amerika serikat oleh FoodNet dari tahun 1 998
sampai 1999 dilaporkankan diare akut selama 4 minggu
6%o detganrata-rata 0,72 episode per orang dewasa per
tahun, untuk anak-anak dengan 1,1 episode per tahun dan
untuk geriatri usia diatas 65 tahun 0,32 episode per tahun.
Pada penelitian tahun 2000 yang dilakukan di Amerika
Serikat angka perkiraan penyakit hati dan gastrointestinal
berkisar 135 juta kasus pertahun yang disebabkan oleh
nonfoodborne dan76 juta kasus yang disebabkan oleh

menjaga keadaan hidrasi normal dengan tetesan

foodborne.

pengembalian cairanbadan ke volume normal, osmolaritas


yang efektif dan komposisi yang tepat untuk keseimbangan

asam basa. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan


tergantung pada analisis keadaan dehidrasinya. Analisis
harus dilakukan setiap saat untuk mengevaluasi keadaan
pasien. Seperti halnya penatalaksanaan keadaan klinis
yang lain, pada dehidrasi pun dibutuhkan kombinasi data,
logika dan empirisme dengan tujuan juga menghilangkan
komplikasi-komplikasi yang disebabkan oleh gangguan
keseimbangan asam basa. Pada keadaan tertentu kadangkadang dituntut pemberian obat-obat lain yang dibutuhkan,

pemeliharaan (maintenanc e).

Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare

Untuk memilih jenis cairanyang dibutuhkan harus

di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare

diteliti betul kasus per kasus, apakah seseorang pasien


kekurangan air saja ataukah kekurangan air beserta
elektrolit di dalamnya ataukah sudah ada gangguan

di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per


penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0

1.000

I ,5

kali

per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini

keseimbangan asam basa. Gangguan asam basa sangat


tergantung pada fungsi ginjal dan paru. Masalahnya
menjadi lebih kompleks lagi bila ternyata pasien juga
mengalami gangguan ginjal dan paru.

meningkat menjadi3T 4 per I .000 penduduk dan merupakan


penyakit dengan frekuensi KIB kedua tertinggi setelah
DBD. Survei Departemen Kesehatan (2003), penyakit diare
menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor
tigapadabayi, dan nomor lima pada semua umur. Kejadian
diare pada golongan balita secara proporsional lebih

EPIDEMIOLOGI

banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh


golongan umur yakni sebesar 55 persen.

Diare hingga saat ini masih merupakan penyakit yang

197

198

KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PEIYYAKIT DAL/NVT

Angka kematian diare akut di negara berkembang telah


menurun dari 4,5 juta kematian pada tahun 1979 menjadi
1,6 juta pada tahtn2002 namun angka kejadian diare akut
masih masuk urutan 5 besar dari penyakit yang sering

penyumbatan sebagian saluran kemih, hipokalemi,


aldosteronisme primer, paska transplantasi ginjal,
efek toksik litium karbonat, dtau anestesia yang
mengandung penthrane (methoxyflurane).

c.

menyerang anak Indonesia. Kejadian diare akut di


Indonesia diperkirakan masih sekitar 60 juta episode setiap
tahunnya dan 1-5 persen diantaranya berkembang menjadi
diare kronis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dari
35 persen seluruh kematian balita akibat diare disebabkan
oleh diare akut.
Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan penyakit

Kehilangan cairan karena sebab lain seperti

berlebihan misalnya luka bakar (kombusio);


pengeluaran air yang berlebihan melalui saluran

diare antara lain bertujuan untuk menurunkan angka

cerna, misalny a p ada gastroenteriti s alal/./ cho

kesakitan, angka kematian, dan penanggulangan kejadian

form diaruhea

luar biasa (KLB). Departemen Kesehatan RI melalui


Keputusan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan (PPM

& PL)

2.

telah

mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan dan Pemantauan


Program Pemberantasan Diare dengan tujuan khusus
menurunkan angka kematian pada semua umur dari 54 per
100.000 penduduk menjadi 28 per 100.000 penduduk,
menurunkan angka kematian balita dari 2,5 per 1.000 balita
menjadi 1,25 per 1.000 balita dan menurunkan angka
fatalitas kasus (CFR) diare pada KLB dari 1-3,8 persen
menjadi 1,5 persen.

Pemberian makanan yang mengandung susu dan


krim tanpa air pada pasien dengan perdarahan
lambung.

c.

Secara garis besar dikenal 3 macam kehilangan cairan


badan:
sebagai akibat kehilangan

at

pure dehydration atao dehydration hypertonic ata,u


water deficit atau water deficiency ata,u pure water
depletion. Kehilangan cairan tipe ini biasa terjadi karena:

Kehilangan cairan karena pemasukan air tidak


mencukupi, misalnya : orang-orang yang kehabisan
air minum di kapal yang rusak di tengah laut atau di
padang pasir; kesukaran atau tidak bisa menelan,
misalnya pada orang yang debil, koma atau disfagia;
rangsangan haus hilang, misalnya pada orang tua

dengan aterosklerosis serebral, tumor otak,


poliomielitis tipe bulbar, meningitis atau kerusakan
otak lainnya.
Kehilangan cairan karena pengeluran melalui ginjal
berlebihan: pada ginjal yang normal, misalnya pada
diabetes insipidus, karena kelebihan elektrolit atau

hiperosmoler dan pada pemasukan air yang


berlebihan; pada gangguan fungsi ginjal yang
disebut nephrogenic diab etes ins ipidus, misalnya
pada pyelonefritis kronik, glumerulonefritis, ginj al
polikistik, fase diuresis pada kegagalan ginjal akut,

Pemberian makanan dengan karbohidrat tinggi pada


orang-orang yang baru sembuh dari luka b akar y ang

berat.

d. Pasien

darl

badan baik karena kekurangan pemasukan air atau


kehilangan air berlebih melalui paru, kulit, ginjal, atau
saluran makanan. Keadaan ini sering disebut dengan

b.

i-

air yang tidak mencukupi pada pasien dengan koma.

ETIOLOGI

a.

I er

Kehilangan cairan karena kelebihan elektrolit (solute


loading hypertonicity). Kehilangan cairan karena
ekskresi urin yang mengandung banyak elektrolit
seperti natrium, klorida, kalium dan anion serta kation
lain-lain, atau bahan-bahanyatg bukan ion seperti
dekstrosa, fruktosa atau urea, asam amino dan bendabenda nitrogen lainnya. Kehilangan cairan ini bisa
karena:
a. Pemberian makanan yang mengandung banyak
garam dekstrosa, protein dan substansi lain dengan

b.

1. Kehilangan cairan

pengeluaran air berlebihan seperti melalui paru,


orang-orang yang kontak dengan sinar matahari
dalam waktu yang lama tanpa minum, pada
hiperventilasi dan demam; pengeluaran air yang

dengan asidosis diabetik berat yang tidak

diobati.

e.
3.

Keadaan lainnya yang berhubungan dengan

hiperosmolaritas
Kehilangan cairan karena hiperosmolaritas. Hal ini terjadi
jika cairan ekstraselular karena suatu sebab menjadi

hiperosmoler, misalnya karena hiperosmoler


hiperglikemia, koma diabetik non ketoasidotik atau
hiperosmolaritas yang terjadi karena pemberian
substansi baik per parenteral maupun per rektal yang

dapat meningkatkan osmolaritas darah; koma


hiperglikemik hiperosmolar dapat juga terj adi pada
dialisis peritoneal. Hiperosmolar dapat ju ga teqadi pada
angiografi dengan kontras, sesudah pemberian natrium
sulfat intravena pada hiperkalsemia, sesudah pemberian
makanan hipertonik pada mega colon dan pada pasien
yang baru sembuh dari luka bakar yang berat.

PATOGEN ESIS DAN PATOFISIOLOGI

Dalam penatalaksanaan rehidrasi haruslah diketahui

terlebih dahulu patogenesis dehidrasi termasuk


patofisiologinya. Cairan di dalam tubuh terdiri dari unsurunsur cairan ekstraselular, intraselulaer dan intertisial.

199

REHIDRASI

Jumlah air dalam tubuh dewasa dengan rata-rata beral

badat 70 kg mendekati 40 liter, rata-rata

52o/o berat

badannya. Pada bayi yang baru lahir, mungkin mencapai


I5%o dariberat badan, kemudian menurun secara progresif
dari lahir sampai umur tua. Kebanyakan penurunan terjadi
dalam waktu 10 tahun awal kehidupan. Juga kegemukan
menurun presentase air dalam fubuh, kadang mencapai

pernapasan yang terjadi pada cuaca dingin. Sedangkan


dalam cuaca yang sangat panas, air yang hilang dalam
keringat ditingkatkan mencapai 1,5 -2 liter I jam, sehingga
mengurangi cairan tubuh dengan cepat.

Latihan meningkatkan hilangnya air lewat 2 jalan.


Pertama, latihan meningkatkan derajat pemapasan, dengan

meningkatkan kenaikan hilangnya air lewat saluran


pernapasan sesuai dengan meningkatnya derajat ventilasi.
Kedua, latihan meningkatkan panas badan dan akibatnya

4s%.

menghasilkan keringat yang berlebihan.

Ambilan dan Keluaran Air


Kebanyakan ambilan air tiap hari masuk melalui oral. Hampir

dua pertiga dalam bentuk air murni atau dalam bentuk


minuman lain dan sisanya dari makanan yang dimakan.
Sejumlah kecil juga disintesis dalam tubuh sebagai hasil
oksidasi dari makanan. Jumlah sekitar 150 dan 250 mVhari,
tergantung dari derajat metabolismenya.
Tabel I menunjukkan rute air yang hilang dari tubuh

dalam keadaan yang berbeda. Normal dalam suatu

Unsur-unsur Cairan Tubuh


Sekitar dari 25 sampai 40 liter cairan tubuh ada dalam I 5

trilyun sel tubuh, disebut cairan intraselular. Masingmasing sel berisi cairan yang berisi campuran beberapa
unsur yang berbeda, namun konsentrasi unsur-unsur ini
serupa antara safu sel dengan yang lainnya.
Semua cairatyang berada di luar sel disebut cairan

lingkungan suhu 680F (200C) hampir 1400ml dan 2300 ml


ambilan air hilang lewat urin, 100 ml lewat feses dan 100 ml
lewat keringat. Sisanya 700 ml hilang lewat evaporasi dari
respirasi atau difusi lewat kulit, yang kita sebut dengan

ekstraselular, merupakan cairan yang konstan, rata-rata I 5


liter pada orang dewasa dengan berat b adan'l} kg. Cairan
ekstraselular ini terbagi menjadi cairan interstisial, plasma,

insensible water loss.


Rata-ratahilangnya air oleh difusi lewatkulit mendekati
300-400 mUhari,jumlah ini juga sama dengan seseorang
yang dilahirkan tanpa kelenjar keringat. Dengan kata lain,

gastrointestinal, dan cairan ruang potensial.

molekul air secara difus menembus sel-sel kulit, yang


dilapisi oleh jaringan tanduk kulit, yang terisi oleh
kolesterol, bertindak sebagai pelindung terhadap
hilangnya air oleh proses difusi.

Suhu
normal

Cuaca
panas

Latihan berat
dan lama

lnsensible loss:

Kulit
Saluran

350

350

350

350

250

650

1400

1200

500

100

1400

5000

napas

Urin
Keringat
Feses
Total

100

100

100

2300

3300

6500

(Sumber: Guyton, 1991)

cairan serebrospinal, cairan intraokuler, cairan traktus


Plasma adalah bagian dari darah yang non selular, yang

merupakan bagian dari cairan ekstraselular dan


berhubungan dengan cairan intertisial melalui lubanglubang dalam kapiler secara terus menerus. Volume plasma
rata-rata 3 liter pada dewasa normal.
Darah berisi cairan ekstraselular (plasma) dan cairan
intraselular (dalam darah sendiri). Rata-rata volume darah
dewasa normal mendekati 5000 ml, sekitar 3000 ml berupa

plasma dan 2000 ml berupa sel darah. Nilai ini sangat


bergantung dengan jenis kelamin, beratbadan, dan faktorfaktor yang mempengaruhi volume darah. Secara fisiologis,
jumlah cairan tubuh pada orang dewasa berkisar 45-10 o/o
berat badan (BB), rata- ruta 57o/o, dan bergantung dengan
gemuk dan kurusnya seseorang, sedangkan pada anakanak cairan tubuh berkisar 70-80% berat badan, tata-rata
75%.

Cairan rubuh terdiri dari

.
.

.
Semua udara yang melalui alat pemapasan mencapai
kelembaban yang jenuh, sampai tekanan uap hampir 47

mmHg, sebelum dikeluarkan. Tekananuap udara luaryang


terhisap melalui paru-paru biasanya jauh di bawah 47
mmHg, sehingga mengakibatkan rata-rata air yartg hilang
melalui paru berkisar 300-400mltrari. Karena tekanan udara
luar menurun dengan menurunnya temperatur, hilangnya

Cairanintraselular(CIS) :4}YoBB
Cairan ekstraselular (CES) : plasma (5% BB) dan cairan

Cairantransselular(CTS)

interstisial (15% BB)


1-3%BB

Unsur-unsur Cairan Ekstraselular


Pada cairan plasma dan cairan interstisial mengandung
sejumlah besar ion Na* dan ion Cl, sejumlah besar ion
bikarbonat dan sejumlah kecil ion K, Ca*, Mg*t, PO4, SO4
serta ion asam organik.

air yang melewati paru terbanyak dalam cuaca yang sangat


dingin dan hanya sedikit dalam cuaca yang sangat panas'

Unsur-unsur Cairan !ntraselular

Hal ini

Cairan Intraselular hanya berisi sejumlah kecil Na*, dan Cl-

menerangkan perasaan kering dalam saluran

200

KEGAWAXDARURII|IAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAI\{

dan hampir sama sekali tidak terdapat ion Catt, tetapi


mengandung sejumlah besar K* dan PO4, dan sejumlah
kecil Mg* dan ion SO4 . Sel- sel berisi sejumlah besar
protein, hampir mencapai 4 kali lipat dibandingkan di plasma.

Absorpsi Air dan Elektrolit


Sejumlah kecil cairan hanya terserap dalam mukosa
lambung, tetapi air terserap baik melalui mukosa usus halus
dan mukosa usus besar unfuk mengatur naik turunnya
nilai osmotik. Na* berdifusi ke dalam dan keluar usus halus

tergantung dengan naik turunnya konsentrasi. Karena


membran lumen usus halus dan usus besar permeabel
terhadap Na*, dan membran basolateral mengandung Na*
Kt AIPase, sehingga Na* aktif diserap.
Dalam usus halus, transportasi Nat, penting untuk
menyerap glukosa, asam amino dan bahan lainnya. Adanya
glukosa dalam dalam lumen usus membantu reabsorbsi
Na*. Hal ini merupakan fisiologi dasar pengobatan
hilangnyaNa* dan airpada diare denganpemberian larutan
yang berisi glukosa dan NaCl. Begitu juga gandum
berguna untuk pengobatan diare.

Ion Cl secara nonnal disekresi ke dalam lumen usus


halus oleh saluran Cl- yang diaktivasi oleh siklik AMP.
Enterosit juga menyerap Na, K, Cl dengan banfuan suatu
cotransporter INa* - IK* - 2Cl dalam membran basolateral.

Masukan

Sekresi endogen
Kelenjar ludah
Perut

1500 ml

Empedu

2500 ml
500 ml

Pankreas

1500 ml

Usus

1000 ml

Reabsorbsi
ileum
colon

1300 ml

tergantung pada makanan yang dicema, tetapi pada waktu


makanan masuk ke jejunum, osmolaritasnya mendekati
plasma. Osmolaritas dipertahankan sepanjang sisa seluruh
usus halus, partikel osmotik aktif yang dihasilkan oleh
pencemaan diambil lewat absorpsi dan air mengalir secara

pasif keluar dari usus besar mengikuti osmotikyang


dihasilkan. Dalam usus besar Na dipompakan keluar dan
air mengalir secara pasifdengannya, sesuai dengan naik
turunnya osmolaritas.
Ada beberapa sekresi K ke dalam lumen usus, terutama
sebagai komponen mukus, tetapi sebagian terbanyak,
perpindahan K ke dalam usus disebabkan karena difusi.
Ion K dapat juga disekresikan ke dalam kolon. Akumulasi
K dalamkolon adalah akibat ke{a dari HrKtATPase dalam
membran sel lumen kolon bagian distal, dengan hasil akhir
transportasi K* yang aktif ke dalam sel. Walaupun
demikian, hilangnya cairan di ileum dan kolon pada diare
kronik dapat menyebabkan hipokalemi berat.
Jika diet mengandung K tinggi untuk jangka panjang,
sekresi aldosteron meningkatdan lebih banyak K yang
disekresikan ke dalam kolon, dikarenakan pompa Na+ K+
AIPase di dalam membran sel, menyebabkan konsentrasi
kenaikan K intraselular dan difusi K dari lumen ke dalam

Untuk keseimbangan cairan tubuh dan elektrolitnya,


mekanisme homeostasis diselenggarakan oleh

a. Ginjal, dengan mekanisme renin-angiotensin,


mempengaruhi tekanan darah
anak ginjal, dengan mekanisme aldosteron
akan mempengaruhi retensi Na
Kelenjar hipofisis, dengan mekanisme ADH, akan
mempengaruhi resorpsi air
Paru-paru, dengan mekanisme asidosis-alkalosis untuk
menjaga asam basa

b. Kelenjar

8800 ml
Balans di tinja

duodenum

osmolaritasnya bisa hipotonik atau pun hipertonik

HOM EOSTASIS DAN PATOFISIOLOGI

9000 ml
8800 ml
5500 ml

isi usus sama dengan plasma. Isi

membran sel.

7000 ml
Total input

akhir menurunkan absorbsi NaCl. Kenaikan elektrolit dan


air mengisi usus sehingga timbul diare. Na*K*AIPase dan
Naiglukosa cotransporter tak terpengaruh, sehingga
reabsorbsi glukosa dan Na* tetap terjadi.
Air bergerak keluar masuk usus sampai tekanan osmotik

200 ml

c.

Sumber: (Ganong, 1993)

d.
Pada penyakit kolera yang disebabkan oleh vibrio
kholera yang tinggal di lumen usus, menghasilkan suatu
toksin yang mengikat adenosin difosfat ribosilase subunit

G5, menghambat aktivasi GTPase, perubahan ini


menyebabkan stimulasi adenilsiklase yang berkepanjangan
dan berakibat kenaikan siklik AMP intraselular.

Pada diare yang disebabkan Escherichia coli


menghasilkan toksin yang serupa, di mana akumulasi siklik
AMP menaikan sekresi Cl- dari kelenjar intestinal dan
menghambat fungsi mukosa pembawa Nat, dengan hasil

KLASIFIKASI DEHIDRASI DENGAN MANIFESTASI


KLINIS
Derajat dehidrasi seseorang berdasarkan defisit berat
badan, dapat digolongkan sebagai berikut :
. Dehidrasi ringan ( defisit < 5%BB)
Keadaan umum sadar baik, rasa haus +, sirkulasi darah
nadi normal, pernapasan biasa, mata agak cekung,

201

REHIDRASI

turgor biasa, kencing biasa.


Dehidrasi sedang ( defisit 5-10% BB)
Keadaan umum gelisah, rasa haus ++, sirkulasi darah
nadi cepat (120-140), pernapasan agak cepat, mata
cekung, turgor agak berkurang, kencing sedikit.
Dehidrasi berat ( defisit > 10% BB)
Keadaan umum apatis/koma, rasa haus +++, sirkulasi
darah nadi cepat (>140), pernapasan Kussmaul (cepat
dan dalam), mata cekung sekali, turgor kurang sekali,
kencing tidak ada.

virulensi yang penting yaitu faktor kolonisasi yang


menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada
usus halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat
stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan
elektrolit yang menghasllkan watery diawhea. ETEC

tidak menyebabkan kerusakan brush border atatt


menginvasi mukosa.

Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme


terjadinya diare belum jelas. Didapatinya proses
perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan

dari membrane mikro


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kelainan
antara lain

1.

Hematokrit, biasanya meningkat akibat hemokonsentrasi


Peningkatan berat jenis plasma
Peningkatan protein tota
Kelainan pada analisis gas darah (asidosis metabolik)
Sel darah putih meningkat (karena hemokonsentrasi)

2.
3.
4.
5.
6. Fosfatase
7. Natrium

alkali meningkat
dan kalium masih normal, setelah rehidrasi

kalium ion dalam serum rendah

DIAGNOSIS
negara yang sedang berkembang dengan fasilitas
laboratorium yang terbatas tidak semua diagnosis etiologi
bisa ditegakkan, sehingga sering kali diagnosis klinis yang
dapat digunakan. Media kultur yang tidak lengkap, hasil
kultur yang tidak tumbuh, sehingga diagnosis klinis lah

Di

yang digunakan.
Diagnosis etiologi penyebab diare akut atau dehidrasi
dibagi atas

1.

Virus

Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70


- S0%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut :
. Rotavirus serotype l, 2, 8, dan 9 : pada manusia.
Serotype 3 dan 4 didapati pada hewan dan manusia.
Dan serotype 5,6, danT didapali hanya pada hewan.
. Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya
akrbatfood borne atatwater borne transmisi, dan dapat
juga terjadi perr,tlaran person to person.
. Astroviru.s, didapati pada anak dan dewasa

.
.
'

Adenovirus (qpe 40,41)


Small bowel structured virus
CytomegaloYirus

2. Bakteri

Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktot

vili

yang akan mengganggu

permukaan absorbsi dan aktivitas disakaridase.


Enteroaggregative E.coli (EASCEC) Bakteri ini melekat

kuat pada mukosa usns halus dan menyebabkan


perubahan morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme

timbulnya diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin


mungkin memegang peranan.

Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan


biokimia mirip dengan Shigella. Seperti Shigella,ElBC
melakukanpenetrasi danmultiplikasi di dalam sel epitel
kolon.
E n t er o h em o n h agic E. c o I i (EIIEC). EIIEC memproduksi

verocytotoxir (VT) 1 dar. 2 yang disebut juga


Shiga-like toxin yang menimbulkan eddma dan
perdarahan difuse di kolon. Pada anak sering berlanjut
menj adi hemolytic-uremic syndrome.

Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi


didalam sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel
mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk
kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk'. smooth

lipopolysaccharide cell-wall antigenyang mempunyai


aktivitas endotoksin serta membanfu proses invasi dan
toksin (Sfrlga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat
sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan
watety diarrhea
Campylobacter j eiuni (Helicobacter i ejuni). Manusia
terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan
(unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan
feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi
seperli daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi
dapat menyebar melalui kontak langsung person to
person. Cjejuni mungkin menyebabkan diare melalui
invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe
toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heatlabile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang
terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
Vibrio cholerae 0l dan V choleare 0139. Air atau
makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan
menularkan kolera. Penularan melalui person to person
jarang terjadi . V.choleraemelekat dan berkembang biak

pada mukosa usus halus dan menghasilkan


enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera
ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (II) dari
ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang
lain yang mempunyai karakteristik tersendiri, seperti

202

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular


occludens toxtn (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan

sekresi cairan kedalam lumen usus.


Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi

sel epitel usus. Enterotoksin yang dihasilkan


menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa yang

atrofi

'

Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon,


bloody diarrhea dan nyeri abdomen.
Bakteripatogennoninvasif, antaralain : Escherichia

coli, Klebsiella enterobacter,

Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus.

Mekanisme patogensis masih belum jelas, tapi


dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme
asam empedu. Transmisi melalui rute fecal-oral. Interaksi

host-parasite dipengaruhi oleh umur, status nutrisi,


endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan
endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa
asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa
malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah,
dapat terjadi wabah dalam 5 8 hari setelah terpapar
dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri
epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai

nralabsorbsi dengan fatty stools, nyeri perut dan

gembung.
Entamoeba histolytica. Prevalensi disentri amoeba ini
bervariasi, namun penyebarannya di seluruh dunia.
Insiden nya mningkat dengan bertambahnya umur, dan
terbanyak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi
asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica rron
patogenik (E dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat
berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri
yang fulminant.

Cryptosporidium.

Di

cryptosporidiosls 5 -

negara yang berkembang,

dari kasus diare pada anak.


Infeksi biasanya simtomatik pada bayi dan asimtomatik
pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis
berupa diare akut dengan tipe watiry dianhea, ingan
dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan
15o/o

gangguan sistem kekebalan tubuh seperti pada


penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan

.
.
.

reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan


resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.

Microsporidium spp

dengan gejala klinis watety diarrhea dan

caecum, dan appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan

menimbulkan ulkus, akan teqadi bloo$t diawhea

3. Protozoa

villi

nyeri abdomen.

Clostridium

perfringens Staphylococcus aureus, Bacillus cereus


Bakteri patogen invasifatau destruktifantara lain:
Salmonella, Yers inia enferocol ifi c a, Campylob acter
jejuni, Vibrio parahemolyticus, Vibrio mimicus,
Wbrio vulviticus, E.coli invasif dan E.coli ettero
hemoragik
Virus penyebab diare akut : Rofa virus
Protozoa penyebab diare akut '. Giardia lamblia,

Amoeba histolytica

KOMPLIKASI
Dehidrasi akibat bakteri patogen noninvasif biasanya
ringan, namun pada kondisi pasien yang jelek tanpa
memperoleh rehidrasi yang adekuat dapat menjadi nekrosis
tubular akut hingga bisa menyebabkan kematian yang
diakibatkan dengan renjatan hipovolemik. Untuk rehidrasi
sendiri jika tidak mencapai hidrasi normal dapat terjadi
gagal ginjal akutdan sebaliknyajika terjadi overhidrasi bisa
meninggal akibat edemaparu akut.
Dehirasi akibat bakteri patogen invasif biasanya lebih

berat dibanding dengan noninvasif, dan komplikasinya


semakin berat jika rehidrasinya tidak adekuat, sehingga
bisa menyebabkan gagal ginjal akut dan akan terl'adi edema
paru akutjika rehidrasi yang berlebihan.

Dehidrasi akibat virus komplikasinya hampir sama


dengan yang disebabkan bakteri, kebanyakan lebih ringan.
Sedangkan dehidrasi yang disebabkan protozoa biasanya

lebih akut ataupun kronik tergantung dengan banyak


maupun virulensi protozoa tersebut. Bila jumlahlya banyak
dan virulensinya tinggi selain komplikasinya seperti yang

disebabkan oleh bakteri juga dapat mengakibatkan


perforasi usus, peritonitis maupun terjadinya abses secara
emboli pada organ yang terserang.

Isospora belli
Cyclospora cayatanensis
PENGOBATAN

4. Helminths

.
.

Pengobatan dapat dibagi menjadi : rehidrasi ( suportif),

Strongyloides stercoralls. Kelainan pada mukosa usus


akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare.

pengobatan yang ditujukan etiologinya, pengobatan


spesifik untuk rotavirus, dan pengobatan protozoa

Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan


kelainan pada berbagai organ termasuk intestinal
dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan

penyebab diare.

perdarahan usus..

REHIDRASI

Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus


halus, terutama jejunum, menyebabkan inflamasi dan

Rehidrasi menurut Goldberge E ( 1980)

203

REHIDRASI

Cara

Skor x 10 %BB ( kg) x 1 liter

Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis

dehidrasi lainnya, maka kehilangan air diperkirukat2%o


dari berat badan pada waktu itu.
Jika seseorang pada waktu itu sedang berpergian 3-4
hari tanpa air dan ada rasa haus, mulut kering dan
oliguria, maka defisit air diperktraart 6Yo daiberat badan

15

Rehidrasi menurut Morgan-Watten


Dengan mengukur berat jenis plasma

Berat jenis plasma

pada waktu itu.

Czra2z
Jika pasien dapat ditimbang tiap hari maka kehilangan berat
badan4 kg pada fase akut sama dengan defisit air 4 liter

Cara3:
Dengan kenyataan konsentrasi natrium dalam plasma

Cara Pemberian
Bila pasien dapat menelan, air diberikan per oral, kecuali
kalau pasien muntah-muntah. Air j uga diberikan per rektal.
Air murni tidak boleh diberikan perinfus dilcarenakan akan
menyebabkan eritrosit membengkak dan terjadi hemolisis.
Oleh karena itu harus diberikan cairan per infus. Puruhito
(19S0) memberikan pedoman sebagai berikut :
. Ligasi pungsi

Infus sebaiknya diberikan pada lengan untuk

berbanding terbalik dengan volume air ekstraselular dengan


pengertian bahwa kehilangan air tidak disertai dengan

memudahkan perawatanny a, antara lain vena jugularis


eksterna, vena subklavia, vena basilika, vena sefalika,
vena mediana kubiti, vena dorsalis manus atau pedis,

perubahan konsentrasi natrium plasma maka dapat


dihitung dengan rumus

Na2xBW2:NalxBWl
Dimana:

N,
BW2

: kadarnatriumplasmanormal(l42nBqL)
: volume air badan normal, biasanya 60% dari BB
pria dan 50% dari BB wanita
: kadar natrium plasma sekarang
: volume air badan sekarang

Gejala klinis

Kesadaran somnolen, soporous sampai

I
1
1

Di samping pemberian cairan lewat infus, kita kenal


pemberian cairan lewat hipodemoklinis pada pasien
dengan penyakit jantung yang tidak memungkinkan
pemberian lewat per oral atau infus, dengan syarat-syarat

sebagai berikut

1.

- 1 (negatif)
- 2 (nesatif)

Rehidrasi menurut Daldiyono


Daldiyono (1973) mengemukakan salah satu cara
menghitung kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial pada
gastroenteritis akuV diare koliform berdasarkan sistem skor
(nilai).
Jumlah skor dapat dihitung dan dihitung pemberian
:

Urutankerja:
Lihat etiket pada botol infus, apakah sesuai dengan
yang dijadwalkan, lihat kualitas cairan apakah ada

Jarum pungsi difrksasi pada kulit plester, lalu pengaturan


tetesan dibuka sesui dengan jadwal yang diberikan.

koma

vena safena magna.


Untuk pemasangan central venous catheler (CVC),
vena yang dipakai adalah vena jugularis ekstema, vena
subklavia, vena basilika, vena sefalika, vena inguinalis
interna.

kekeruhan, perubahan wama, partikel kotoran. Jarum


infus yang dipakai sebaiknya yang disposable. Tunry
infus dibersihkan dengan alkohol dan infus set diisi
dengan cairan infus terisi penuh dan tidak ada udara.
Kemudian dilakukanpungsi vena di tempatyang dipilih'

Tensi sistolik kurang atau sama dengan 90


mmHg
Nadi lebih atau sama dengan 120/menit
Napas Kussmaul (lebih dari 30/menit)
Turgor kulit kurang
Facies cholerica
Ekstremitas dingin
Jari tangan keriput(washer hand)
Sianosis
Umur 50 tahun atau lebih
Umur 60 tahun atau lebih

Skor

Muntah
Voxs Choleric (Suara serak)
Kesadaran apatis

cairan dalam 2jam

1.025 x BB (kg) x 4

0,001

Bila ada tandatanda di atas ditambah dengan kelemahan


fisik yang nyata, perubahan mental seperti bingung atau
delirium maka defisit air sekitu 7 -|4%berat badan pada
waktu itu.

Nal
BWl

2.

Cairan harus isotonik dengan plasma. Jika hipertonik


akan terjadi retribusi cairan ke jaringan interstisial dan
merangsang subkutan
Dekstrosa 5o/o dan air tidak boleh diberikan subkutan

karena akan terjadi difusi glukosa dari jaringan


interstisial ke plasma dan difusi natrium dari plasma ke

jaringan interstisial.

Kecepatan Tetesan
Biasanya kehilangan cairan dapat dikoreksi dalam2hari.
Setengah kebutuhan diberikan pada hari yang pefiama,
dapat per oral, rektal atau infus. Bila kehilangan cairan

204

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

cukup berat dan pemberian infus terlalu cepat, akan


mengakibatkan intoksikasi air dan kejang, disebabkan sel-

REFERENSI

sel otak dengan osmolaritasnya yatg tinggi dibanding

Daldiyono H et al., Menghitung jumlah cairan untuk initial rehidrasi


pada gastrointestinal akut/ Choleriform Diarrhea dengan sistem
skore. Naskah Lengkap KOPAPDI, 1973 : 489 - 95
Depkes RI, 2005a, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1216/
MENKES/SK/XIl200l tentang Pedoman Pemberantasan
Penyakit Diare,Edisi ke-4, Jakarta
Depkes RI, 2005b, Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 2005-

dengan sel-sel lain mengalami edema dengan cepat. Untuk


itu pemberian cairan dengan memperlambatnya dan selalu

diukur kadar natrium serum setelah setengah kebutuhan


cairan diberikan.

2009, Jakarta.

PENGOBATAN PADA ETIOLOGINYA

Penggunakan antibiotik terhadap bakteri patogen


noninvasif, pada umumnya

.
.

Tetrasiklin 30 mg,&gBB per oral tiap 6 jam, selama 2 hari


Trimetoprim 160 mg dan sulfametoksazol 800 mg, per
or al, 2x.ttai,selama 5 hari

Pengobatan bakteri patogen yang invasif, pada


umumnya selain obat - obat di atas, dapat diberikan juga
kloramfenikol ataupun ampisilin. Pengobatan untuk

Rotavirus, yang spesifik tidak ada,

jadi

sifat

pengobatanny a hany a s imtomatik atau suportif.


Sedangkan untuk pengobatan diare yang disebabkan
protozoa adalah

.
.

Untuk Giardia lamblia dengan Quinakrin 100 mg, 3xl


hari, selama 5 -J ha/,ata.umetronidazol2lO mg, 3x,trari,
selama 5-7 hari
Unhrk amoebiasis dengan metronidazol 750 mg, 3x{hai,
selama 7-10 hari

DuPont HL : Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults,


American Joumal of Gastroenterology, Yol.92, No.1 1, November 1997.
Goldfinger SE : Constipation, Diarrhea, and Disturbances of Anorectal Function, 1lr : Braunwald, E, Isselbacher, K.J, Petersdorf,
R.G, Wilson, J.D, Martin, J.B, Fauci AS (Eds) : Harrisonb Principles of Internal Medicine, 11Lh Ed. McGraw-Hill Book Company, New York, 1987, 171 - 80.
Ganong WF Review of Medical Physiology six teenth ed. Pretice
Hall Intemational Inc. Appleton and Lange Simon and Schuster
Business and Professional Group 1993 :434.
Ilnyckyj A : Clinical Evaluation and Management of Acute Infectious Diarrhea in Adult, Gastroenterology Clinics, Volume 30,
No.3, WB Saunders Company, September 2001.
Montgomery L : What is the best way to evaluate acute diarrhea ?,

Journal

of Family Practice,

I:une, 2002, From

: http.//

www.cebmjr2 ox ac.uk/docs/levels html


Pitisuttithum P : Acute Dysentry, DTM&H Course 2002, Faculty of
Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand.
Puruhito. Dasar-dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus
- Kasus Bedah. Atr Langga Press Surabaya, 1980.
Schiller LR. Diarrhea, Medical Clinics of North America, Vol.84,

No.5, September 2000.

PROGNOSIS
baik, terutama jika mendapat penanganan
cepat, tepat dan adekuat. Kematian terjadi jika mempunyai
Pada umumnya

penyakit dasar yang berat dan penanganan yang tidak


adekuat.

REHABILITASI
Terutama bila pasien mempunyai penyakit dasar apalagi
lebih dari satu penyakit dan multiorgan seperti pada geriatri.

ASPEK KHUSUS
Penanganan rehidrasi yang terlambat dan tidak adekuat
sering menimbulkan penyulit gagal ginjal, tetapi jarang
yang memerlukan hemodialisis kecuali kalau memang

mempunyai penyakit dasar berat dan lama, misalnya


diabetes melitus.

Suthisarnsuntorn U. Bacteria Causing Diaryheal Diseases & Food


Poisoning, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand.
Turgeon DK, Fritsche, T.R. Laboratory Approachs to Infectious
Diarrhea, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB
Saunders Company, September 2001
Tantivanich S. Viruses Causing Diarrhea, DTM&H Course 2002,
Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok,
Thailand.
Wa:rke CA. Epidemiology and cause o/ diaruhea in developed countries,2008 . Uptodate 16.3
Wingate D, Phillips SP, Lewis SJ, et al : Guidelines for adults on self-

medication for the treatment of acute diarrhoea, Alimenl


Pharmacol Ther, 2001: 15;77 1-82.

27
PENATALAKSAN ATN UMUM KOMA
Budiman

PENDAHULUAN
Kondisi tidak sadar dan koma merupakan masalah umum
dalam kedokteran. Keadaan ini mendominasi unit gawat

darurat pada berbagai pelayanan rumah sakit.


Ketidaksadaran dan kehilangan kesadaran memiliki
manifestasi klinik dan penjelasan fisiologi yang berbeda,
kendati dapat disebabkan oleh berbagai penyakit.

orang, merangsang tidur ringan dan ditandai dengan


mudahnya dibangunkan dan persistensi kesadaran pada
periode yang singkat.
Vegetative state adalahkondisi tubuh yang sadar tetapi
tidak responsif. Pasien ini sudah bangun dari koma setelah
periode berhari-hari atau berminggu-minggu, kondisinya

tidak responsif , yaitu kelopak mata yang terbuka,


memperlihatkan bahwa dia dalam keadaan sadar' Dapat
mengunyah, batuk, menelan, sebagaimana gerakan limbus
dan kepala, akan tetapi dengan sedikit respons.

KEADAAN TIDAK SADAR (CONFUSTONAL

srArq

ANATOMI DAN FISIOLOGI KETIDAKSADARAN

Tidak sadar adalah kondisi mental dan perilaku dari


menurunnya pemahaman (comprehensloz), rasionalitas
(coherence), dan kapasitas motivasi. Ketidaksadaran,
sebagaimana didefinisikan di atas, diawali dengan
ketidakmampuan untuk mempertahankan fokus pikiran dan
kerja, serta adanya disorientasi. Jika kondisi tidak sadar
ini memburuk akan terjadi penurunan kesadaran mental
secara menyeluruh, termasuk kerusakan dalam ingatan,
persepsi, komprehensi, penyelesaian masalah, bahasa'
praksis, fungsi visiospasial dan aspek perilaku emosional
lainnya yang merupakan bagian dari otak.

Kesadaran secara kompleks berhubungan dengan korteks

serebral. RAS adalah kelompok agregasi neuron yang

terletak di atas batang otak dan talamus media,


mempertahankan korteks sereberal dalam keadaan
sadar.

Jadi, prinsip dasar terjadinya koma adalah : l)' Luka


atau kerusakan pada RAS atau proyeksi ry a; 2). Rusaknya
sebagian besar kedua serebral hemisfer; 3). Tertekannya
fungsi retikulo serebral oleh obat-obatan' toksin, atau

gangguan metabolik seperti hipoglikemia, anoksia,


azotemia, atau kegagalan hati.
Bagian formasi retikular yang penting bagi pertahanan

kesadaran menyebar dari otak tengah kaudal menuju


talamus bagian bawah. Neuron RAS berdiri pada korteks

KOMADAN KELAINAN KESADARAN LAIN

terutama melalui nukleus penghantar talamik yang

Koma adalah keadaan penurunan kesadaran dan respons


dalam bentuk yang berat, kondisinya seperti tidur yang
dalam di mana pasien tidak dapat bangun dari tidumya'

kemudian mengeluarkan dorongan rangsang pada aktivitas


korteks serebral keseluruhan. Yang terpenting adalah
pemahaman bahwa secara anatomi RAS mengontrol fi'rngsi

Stupor adalah kadar yang lebih rendah dari ketidaksadaran


yang mana pasien dapat bangun hanya dengan rangsangan
kuat, disertai dengan perilaku motorik yang menghindarkan

diri dari

pupil
pupil
maka

ketidaknyamanan atau rangsangan yang

padabatang otak bagian atas.

mengganggu. Drowsiness, yang biasa terjadi pada setiap

205

206

KEGA\ilATDARURAIAN MEDIK DI BIDAT{G ILMU PENYAKIT DALAM

Koma Akibat Lesi Besar pada Serebral dan


Herniasi
Lubang kranial dipisahkan menjadi kompafiemen oleh
lipatan (infolding) dura. Herniasi adalah pergeseran
jaringan otak ke kompartemen yang secara normal tidak

sekitar 8 - 10 detik setelah aliran darah berhenti. Ritme


EEG menjadi lambat dan ketika kondisi pengiriman substrat
memburuk, maka semua aktivitas elekhik otak berhenti.
Pada sebagian besar ensefalopati metabolik , aktivitas

terjadi.

metabolik global otak menurun sesuai tingkat


ketidaksadaran. Kondisi seperti hipoglikemia,

Herniasi transtentorial uncal. Merupakan impaksi girus

hiponatremia, hiperosmolar, hiperkapnia, hiperkalsemia,

temporal media anterior (uncus) ke bagian anterior bukaan


tentorial. Jaringan yang bergeser menekan sarafketiga ketika

ia melalui ruang subarachnoid dan mengakibatkan


pembesaran pupil ipsilateral (kemungkinan karena serat para
simpatetik fungsi pupil terletak pada daerah periperal saraf).

Koma yang terjadi merupakan akibat dari tekanan lateral


dari otak tengah yang berbenturan dengan sudut tentorial

yatg

berseberangan karena pergeseran gyrus

dan kegagalan hati dan ginjal, berhubungan dengan


berbagai perubahan pada neuron dan astrosit. Efek
reversibel kondisi tersebut tidak jelas, tetapi mungkin
disebabkan oleh gangguan penyediaan energi, perubahan
di sepanjang membran neuron, dan
abnormalitas neurotransmiter.
Koma dan kejang adalah penyerta yang biasa terjadi
akibat ketidakseimbangan sodium dan air dalam skala

pada aliran ion

parahipokampus.

yang besar. Perubahan osmolar ini meningkat karena

Herniasi transtentorial sentral. Merupakan gerakan

ketoasidosis, kadar hiperosmolar nonketotik, dan

simetik ke bawah dari bagian thalamus atas melalui bukaan


tentorial. Tanda utama adalah pupil miotik dan drowsiness.

Herniasi temporal dan sentral dianggap sebagai


penyebab tekanan progresifbatang otak dari atas: pefiama
otak tengah, kemudian pons dan terakhir medulla. Sehingga
terjadi tanda neurologis yang berhubungan dengan tingkat
yang terpapar.

Bentuk lain adalah hemiasi transfalsial (pergeseran


gyrus singulat di bawah falx dan disamping garis tengah)
dan herniasi foraminal (dorongan ke bawah tonsil serebelar
ke foramenmagnum).

Hubungan langsung antara berbagai konfigurasi


hemiasi transtentorial dan koma, tidak selalu ditemukan.
Pergeseran, strukfur otak dalam ke arah manapun oleh
massa, cukup adekuat untuk menekan bagian RAS,
sehingga terjadi koma.

Drowsiness dan stupor dapat terjadi dengan


pengangkatan sedang secara horizontal pada daerah
diencefalon (thalami), sebelum transtentorial atau hemiasi.
Pada kasus tempaknya massa akut, terdapat hubungan
konsisten antara tingkat pergeseran horizontal struktur
garis tengah dengan tingkat kesadaran.

.
.
.

Pergeseran horizontal pineal 3 - 5 mm : drowsiness


Pergeseran horizontal pineal 6 - 8 mm : stupor
Pergeseran horizontal pineal > 9
:koma

mm

Koma dan Kondisi Ketidaksadaran Karena


Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik mengakibatkan koma dan
mengganggu pengiriman substrat energi (hipoksia, iskemia,

adanya gangguan sistemik termasuk di antaranya diabetik

hiponatremia. Sebagaimana ensephalopati metabolik lain,


keparahan perubahan neurologik tergantung pada
kecepatan perubahan serum yang terjadi.

Koma epileptik. Pengeluaran listrik menyeluruh dan


berkelanjutan dari korteks (s eizures I kejang) berhubungan
dengan koma, walaupun tidak ada aktivitas motor epileptik
(convulsion). Koma yang terjadi setelah kejang, merupakan
tahap postictal, yang disebabkan oleh kekurangan
persediaan energi atau efek molekul toksik lokal yang
merupakan hasil dari kejang.

Koma farmakologis. Ensefalopati jenis ini sangat reversibel

dan tidak menimbulkan kerusakan residual yang


menyebabkan hipoksia. Overdosis beberapa obat dan
toksin dapat menekan fungsi sistem saraf. Ada pula yang
menyebabkan koma dengan mengganggu nukleus batang
otak termasuk RAS dan korteks cerebral.

Penatalaksanaan. Evaluasi medik yang lengkap dapat


ditunda kecuali tanda vital, funduskopi, pemeriksaan

nuchal rigidity sampai evaluasi neurologi dapat


menentukan keparahan dan sebab koma.

Riwayat. Padaberbagai kasus, sebab dari koma akan cepat


dibuktikan (misalnya. trauma atau serangan jantung).
kendati demikian, terdapat beberapa hal yang harus
diketahui: 1). kondisi dan kecepatan terjadinya gejala
neurologis; 2). gejala anteseden (confusion, lemah, sakit
kepala, kejang, pusing, pandangan gatda, atau muntah);
3). penggunaan obat-obatan, narkoba, atau alkohol; 4).
penyakit hati kronik, ginjal, paru-paru, jantung, dan lainlain.

hipoglikemia) atau dengan mengganti eksitabilitas neuron. Neuron cerebral sangat tergantung pada aliran darah

cerebral (CBF:cerebral blood flow) dan berhubungan


dengan pengiriman oksigen. dan glukosa.
Otak menyimpan glukosa untuk energi selama 2 menit
setelah aliran darah terganggu dan oksigen yang tersisa

Pemeriksaan Umum Fisis


Harus segera diperiksa:

Suhu. l). Hipertermia; kemungkinan adanya infeksi


sistemik, meningitis bakterial, atau ensefalitis. Suhu 42o -

207

PEITATALAKSANAAN UMUM KOMA

44" C'. heat stroke atau intoksikasi obat antikolinergik; 2).


Hipotermia; kemungkinan intoksikasi alkohol, barbiturat,
sedatif, atau fenotiazin, hipoglikemia, kegagalan sirkulasi
periferal, atau hipotiroid, dan suhu < 3 l'C.

Denyut nadi. Takipnea yang disebabkan oleh asidosis atau


pneumonla
Pola pernapasan. Pola pemapasan tidak teratur berindikasi
adatya gangguan batang otak
Tekanan darah. 1). Hipertensi: ensefalopati hipertensi atau
peningkatan cepat tekanan intrakanial; 2). Hipotensi: koma
karena intoksikasi alkohol, barbiturat, perdarahan interrral,
infark miokard, sepsis, krisis hipotiroid atau penyakit

Addison.

Sebagian besar penyebab koma adalah karena masalah


medis yang jelas seperli intoksikasi obat, hipoksia, strok,

trauma, atau gagal hati dan ginjal. Kondisi yang


menyebabkan koma mendadak, misalnya minum obat,
perdarahan serebral, trauma. serangan janfung, epilepsi,
atau emboli arteri basilar. Koma subakut biasanya akibat
riwayat masalah medis atau neurologis sebelumnya. seperli
lumor atau infark serebral.

Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab terbesar


kejadiankoma.

.
.

Pemeriksaan funduskopi mendeteksi. Perdarahan


subaraknoid, ensefalopati hipertensif, dan peningkatan
tekanan intrakranial (edema papil ).
Petekiae mendeteksi trombotik trombositopenik purpura, meningokoksemia, atau diatesis pendarahan.

Perdarahan gangliabasal dan talamik (onset akuttetapi


tidak instan, muntah, sakit kepala, hemipegia, dan tanda

tertentu pada mata)


Perdarahan pontin (onset mendadak, pupil terlihat,
gerakan refleks mata hilang, dan respon komea, okular

naik turun, posturing, hiperventilasi, dan keringat

.
.

berlebih)
perdarahan serebelar (sakit kepala oksipital, muntah,
gaze

paresis, dan tidak dapat berdiri)

trombosis arteri basilar (neurologic prodome atatt


warning spells, dtplopia, disartria, muntah, gangguan

KADAR TERJAGAAN (AROUSAI) DAN GERAKAN


YANG DIHASILKAN
Jika pasien tidak terangsang oleh suara yang keras,

gerakan mata dan respon kornea, dan paresis asimetris

tungkai dan lengan).


perdarahan subaraknoid (komapresipitus sesudah sakit

kepala dan muntah).

stimulus yang intensif dan semakin kuat dapat digunakan

Apabila riwayat dan pemeriksaan fisik tidak

untuk menentukan besarnya terjagaan dan respons


motorik optimal pada setiap sisi tubuh. Hasilnya dapat
bervariasi dari menit ke menit dan sangat diperlukan
pemeriksaan beruntun. Misalnya dengan menggelitik

menunjukkan penyebab terjadinya koma, maka diperlukan


pindaian CT atau MRI. Sebagian besar penyebab klinis
dari koma dapat diketahui tanpa pindaian neurologis.

lubang hidung, menggunakan tangan unhrk mengeluarkan


rangsangan yang salah.
Refleks Cahaya Pupil

Refleks Batang Otak


Penilaian fungsi batang otak sangat penting untuk
mengetahui lokasi lesi pada koma. Refleks yang dinilai
biasanya respons pupil pada cahaya, gerakan mata
spontan dan keluar, respons kornea, dan pola pernapasan.
Jadi, ketika aktivitas batang otak terdeteksi, terutama

reaksi pupil dan gerakan mata, maka koma dinyatakan


sebagai penyakit hemisfer bilateral.

PENEGAKAN DIAGNOSIS KOMA


Penyebab koma secara umum dikategorikan menjadi 3

(tiga) konsep:l). Tanpa tanda-tanda neurologis yang


penting, misalnya. ensefalopati metabolik; 2). Sindrom
meningitis, dengan kategori demam atau leher kaku dan
adanya keluaran sel pada cairan spinal, misalnya.
meningitis bakterial, perdarahan subaraknoid; 3). Dengan
tanda-tanda penting yang biasa terjadi, misalnya strok,
perdarahan serebral.

Gambar 1. Pemeriksaan refleks batang otak pada koma

208

KEGAWATDARURATAI\ MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

Kematian Otak
Kematian otak terjadi akibat terhentinya aliran darah
serebral, hasil dari hilangnya fungsi otak secara global
sementara itu pemapasan dipertahankan dengan alat dan
jantung terus dipompa. Kerusakan otak ini merupakan jenis
yang dapat dikatakan sama dengan kematian.
Diagnosis kematian otak, terdiri dari beberapa elemen

penting: 1). kerusakan batang korteks yang luas, yang


ditunjukkan dengan koma yang dalam (tidak responsif
terhadap semua bentuk rangsangan); 2). kerusakan
menyeluruh batang otak, yang ditunjukkan dengan pupil
tidak bereaksi terhadap cahaya dan hilangnya refleks
okulovestibular dan kornea; 3). kerusakan medulla yang
disebabkan oleh apnea komplet.
Denyut nadi tidak bervariasi dan tidak respons pada
atropin. Biasanya terjadi diabetes insipidus, tetapi terjadi
beberapa jam atau hari setelah kematian otak. Pupil

membesar berukuran sedang. Refleks tendon tidak


diperlukan karena tulang belakang tetap berfungsi.
Tes apnea dapat dilakukan dengan aman, dengan
menggunakan difusi oksigenisasi (ventilator dilepaskan).

Kemudian dilengkapi dengan preoksigenisasi 100%


oksigen. Tekanan CO, meningkat sekitar 0.3 sampai 0.4
kPa/menit (2 - 3 mmHg/menit) selama apnea. Beberapa
menit pada akhir observasi, PCO, arterial minimal sebesar
> 6.6 sampai 8.0 kPa (50 60 mmHg).
-

Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah mencegah kerusakan sistem saraf

yang lebih parah. Kondisi hipotensi, hipoglikemia,


hiperkalsemia, hipoksia, hiperkapnia, dan hipertermia harus
segera diperbaiki. Pada pasien drowsy yang bernapas
secara noflnal, diperlukan pengawasan agar oropharyngeal
airway tetap terbuka. Intubasi trakeal diperlukan. apabila
terjadi apnea, obstruksi saluran napas atas, hipoventilasi,
emesis, atau jika terjadi aspirasi karena koma. Diperlukan

ventilasi mekanik jika terdapat hipoventilasi atau


kebutuhan untuk merangsang hipokapnia untuk
menurunkan ICP. Dilakukan suntikan intravena dan
diberikan nalokson dan dekstrosa jika terjadi overdosis
narkotika dan hipoglikemia; tiamin diberikan bersama

Pemberian cairan hipotonik intravena harus dilakukan


dengan hati-hati pada semua gangguan serius otak karena
berpotensi terjadi edema serebri. Luka pada tulang servikal
harus diperhatikan, terutama jika akan dilakukan intubasi
atau evaluasi respons okulosefalik. Sakit kepala dengan
demam dan meningismus merupakan tanda dibutuhkannya

pemeriksaan cairan serebrospinal unfuk mendiagonsis


meningitis. Jika penekanan lumbal terlambat dilakukan
karena suatu hal, maka harus segera diberikan antibiotik
seperti sefalosporin generasi ketiga, terutama setelah
diambil kultur darah.
Glasgow Coma Scale (GCS). Pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett, sebagai alat

bantu dalam asesmen klinis kondisi ketidaksadaran.


Kemudian GCS digunakan secara luas untuk mengukur
pasien individual, membandingkan efektifitas pprawatan,
dan faktor menentukan prognosis. GCS telah digunakan
pada berbagai sistem klasifikasi trauma dan penyakit kritis.
Glasgow Coma Scale terdiri dari nilai dengan kisaran 3 15, yang merupakan kisaran tingkat ketidaksadaran pasien
trauma atau kritis (Tabel 1). Skala dihitung dengan cara
penjumlahan semua nilai respon.
E+M

. Ringan : l3 - 15 poin
. Moderat:9-l2poin
. Berat:3-8poin
. Koma: nilai< 8 poin

Eye Opening
Response (E)

Respons
Motorik (M)

basilar dengan iskemia batang otak, digunakan heparin

jika tidak

terdapat

perdarahan serebral. Penggunaan fisostigmin untuk


membangunkan pasien overdosis obat antikolinergik,

harus diberikan oleh dokter konsulen dan dengan

Respons

pengawasan yang ketat. Banyak dokter yang berpendapat


bahwa obat tersebut hanya boleh digunakan pada pasien

Verbal (V)

overdosis antikolinergik yang berhubungan dengan


aritmia j antung. Penggunaan antagonis benzodiazepin
memiliki prospek untuk perbaikan setelah overdosis obat
soporifik dan bermanfaat untuk ensefalopati hepatik.

3 sampai dengan 15

Penjumlahan nilai respons merupakan asesmen tingkat


kategori ketidaksadaran pasien, yang terbagi menjadi:

dengan glukosa untuk menghindari terjadinya penyakit


Wemicke pada pasien malnutrisi. Pada kasus trombosis

intravena atau obat trombolitik,

+Y:

dengan
verbal,

Spontan: terbuka
kedipan pada garis dasar
Terbuka pada perintah
bicara, atau jeritan
Terbuka pada rasa sakit,
terlihat pada wajah
Tidak ada

tidak

respons
yang

Melakukan gerakan
diperintahkan
Gerakan karena rangsang
sakit (rasa sakit lokal)
Tidak merasakan sakit
Fleksus tidak normal,
decofticate posture
Respons ekstensor (rgtrd),
decerebrate posture
Tidak ada respons
Terorientasi
Pembicaraan membingungkan,
tetapi dapat menjawab

rasa

pertanyaan.
Respons tidak jelas, kata-kata
jelas
Kata-kata

Tidak ada

meracau
respons

4 poin
3 poin
2 poin
1 poin

6 poin
5 poin

4 poin
3 poin

2 poin
1 poin

5 poin
4 poin

3 poin
2 poin
1 poin

209

PENAf, ALAKSTANAAN UMUM KOMA

Berbagai cara pengukuran lain telah dikembangkan


satu
kekurangannya adalah kegagalan dalam mengukur refleks
batang otak Pengukuran ini juga memiliki bias numerik

untuk mengatasi kekurangan GCS. Salah

otak. Hilangnya gelombang kortikal pada potensi teqaga


somatosensori merupakan indikator prognosis koma yang
buruk.

dalam menghitung respons motorik. Masalah yang


bekembang sekarang ini adalah penggunaan GCS pada
pasien intubasi. Beberapa pendekatan lain digunakan
untuk pasien tersebut.
Kendati banyak kekuranganrya, Glasgow Coma Scale

masih digunakan secara luas untuk mengukur


ketidaksadaran.

PROGNOSIS

REFERENSI
Bartiett D. The coma cocktail: indications, contraindications,
adverse effects, proper dose, and proper route. J Emerg Nurs

2004;6:30
Fukuda N, Tanizawa Y Progress in diagnosis of and therapy for
hypoglycemic coma in patients with well-controiled diabetes.
Nippon Naika Gakkai Zasshi. 20O4;8:93.
Gerber CS. Understanding and managing coma stimulation: are we
doing everything we can? Crit Care Nurs Q. 2005:2:28.

Kochanek PM,

Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka


panjang. Vegetative slale persisten memiliki prognosis
yang buruk. Prognosis lebih baik dapat terjadi pada
kelompok anak-anak dan remaja.
Koma metabolik memiliki pronosis yang lebih baik
dibandingkan dengan koma traumatik. Segala pendapat
mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya hanya

berupa perkiraan, dan keputusan medis seharusnya


disesuaikan dengan faktor-faktor seperti usia, penyakit
sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan.

Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di


kepala, dapat dilakukan dengan Glasgow Coma Scale;
secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma

et al. Therapeutic hypothermia for

severe

traumatic brain injury. JAMA. 2003;22:289.


Michelson DJ, S Ashwal. Evaluation of coma and brain death. Semin
Pediatr Neurol. 2004;2:11.
Nayana PP, TV Serane, et al. Long-term outcome in coma. Indian
J Pediatr. 2005;4:12.
Ropper AH. Acute confusional states and coma. In: Kasper DL, et
al, eds. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition.

New York: McGraw-Hill; 2005.


Shaffer L, et al. Case report: can mild head injury cause ischaemic
stroke? Arch Dis Chiid. 2003;88.
Stembach GL. The Glasgow coma scale J Emerg Med. 2000;1:19.
Wang JT, et al. Prognostic value of evoked responses and eventrelated brain potentials in coma. Can J Neurol Sci. 2004;4:31.

Waterhouse C. The Glasgow Coma Scale and other neurological

28
SINKOP
Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN

disebabkan oleh masalah kardiak. Sedangkan pada


kelompok dengan kejadian sinkop yang berhubungan
dengan persarafan termasuk hipotensi ortostatik dan
sinkop yang berhubungan dengan obat-obatan, tidak

Berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan
koptein, yang artinya memutuskan. Sehingga definisi dari
sinkop tersebut adalah kehilangan kesadaran dan kekuatan
postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara,

menunjukkan peningkatan tingkat mortalitas.

dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan.


Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat penumnan
aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi di

KLASIFIKASI

batang otak, dan akan membaik tanpa membutuhkan terapi


kimiawi maupun elektnk.
Kebanyakan individu yang pernah mengalami pingsan

Penyebab sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam


kelompok utama yaitu vaskular, kardiak, neurologikserebrovaskular, psikogenik, metabolik dan sinkop yang

(terutama sinkop vasovagal) tidak mencari pertolongan

tidak diketahui penyebabnya. Kelompok vaskular

dokter sehingga prevalensi dari sinkop tersebut sulit


ditentukan. Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa

merupakan penyebab sinkop terbanyak kemudian diikuti


oleh kelompok kardiak.

pernah mengalami paling sedikit sekali episode sinkop


selama hidupnya.. Di Amerika dikatakan bahwa t 3Yo dari
kunjungan pasien di gawat darurat disebabkan oleh

Penyebab Vaskular dari Sinkop


Dibagi dalam beberapa kelompok gangguan vaskular

kejadian sinkop, dan merupakan6Yo darialasan seseorang


datang ke rumah sakit. Angka rekurensi dalam pemantauan
selama 3 tahun lebih kurang34Yo. Pada studi Framingham
mengenai kejadian sinkop dilakukan pemeriksaan sekali
dalam dua tahun yang melibatkan 7814 individu, dilaporkan
bahwa insidens sinkop pertama kali terjadi 6,211000 or-

seperti kelainan anatomik (subclavian steal syndrome),


ortostatik (insufisiensi otonom, idiopatik, hipovolemia dan
akibat induksi obat-obatan) serta diakibatkan refleks
(hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi

persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional pada


keadaan batuk, mengunyah atau berkemih serta keadaan
sensitif terhadap adenosin).

angltahun. Sedangkan biaya yatg dikeluarkan untuk


melakukan evaluasi dan pengobatan pasien dengan sinkop

tersebut dapat mencapai US $ 800 juta. Pasien yang


mengalami episode sinkop akan mengalami penurunan
kualitas hidup mereka. Prognosis dari sinkop sangat

Hipotensi ortostatik.

D efi ni si hipotensi ortostatik adalah


apabila terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg
atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri
selama 3 menit . Pada saat seseorang dalam posisi berdiri
sejumlah 500-800 ml darah akan berpindah ke daerah

bervariasi tergantung dari diagnosis etiologinya. Sebagai


contoh pada studi Framingham tersebut, individu yang
mengalami sinkop termasuk sinkop yang tidak diketahui
penyebabnya mempunyai tingkat mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan yang tidakpernah mengalami episode
sinkop. Pada pengamatan dikatakan bahwa tingkat
morlalitas tertinggi ditemukan pada kasus sinkop yang

abdomen dan ekstremitas bawah, sehingga berakibat


terjadinya penurunan besar volume darah balik vena secara
tiba-tiba ke jantung. Penurunan besar volume ini akan
mengakibatkan penurunan curah jantung dan stimulasi
pada aorta, karotis dan baroreseptor kardiopulmonal yang

210

2tt

SINKOP

akan mencetuskan peningkatan refleks simpatis. Hasil akhir


yang ditemukan adalah keadaan di mana te4adi peningkatan

denlut jantung, kontraktilitas otot jantung dan resistensi


vaskular unfuk mempertahankan tekanan darah sistemik
menjadi stabil.
Kondisi hipotensi ortostatik ini dapat asimtomatik tetapi
dapat pula menimbulkan gejala-gejala seperti kepala terasa
ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah, berdebar,
gemetar dan sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan,

terutama pada usia lanjut disebabkan oleh redistribusi


darah ke usus. Penurunan tekanan darah sistolik sebanyak
20 mmHg tata-rata satu jam setelah makan terjadi pada
sekitar seperliga populasi usia lanjut yang berada di rumah
perawatan. Walaupun sering tidak bergejala tetapi dapat
mengakibatkan gejala kepala terasa ringan bahkan sinkop.
Penyebab lain terjadinya hipotensi ortostatik adalah

obat-obatan terutama yang mengakibatkan terjadinya


deplesi volume atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut
merupakan kelompok yang rentan dengan efek hipotensif
obat-obatan akibat penurunan sensitivitas baroreseptor,
berkurangnya aliran darah serebral, renal sodiumwasting
dan gangguan mekanisme haus akibat proses penuaan.
Di antara obat-obatan yang sering menyebabkanhipotensi
ortostatik adalah:

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

diuretika
penghambat adrenergik alfa misalnya : terazosin
penghambat saraf adrenergik misalnya : guanetidin

Sinkop yang dimediasi persarafan. Ada beberapa sindrom

sinkop yang dimediasi refleks di antaranya adalah


hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi
persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional (batuk,
mengunyah dan berkemih) serta sensitif terhadap
adenosin. Pada setiap kasus refleks timbul akibat pencetus
$tada afferent limb) datrespon(pada efferent limb). Al<tbat

dari refleks tersebut akan timbul peningkatan aktivitas


vagal dan umpan balik pada simpatis perifer sehingga
terjadi bradikardi, vasodilatasi dan pada akhirnya hipotensi,
presinkop atau sinkop. Penyebab refleks yang paling sering
adalah hipersensitivitas sinus karotis dan hipotensi yang
dimediasi persarafan.
Pencetus yang khusus dari masing-masing keadaan
misalnya pada sinkop akibat berkemih disebabkan oleh

aktivasi mekanoreseptor pada kandung kemih. Sinkop


akibat defekasi timbul akibat input neural dari reseptor
tekanan pada dinding usus, sedangkan sinkop akibat
mengunyah timbul akibat impuls saraf aferen yang berada

di saluran cerna bagian atas.

Penyebab Kardiak dari Sinkop


Sinkop yang disebabkan oleh masalah kardiak merupakan
penyebab kedua tersering dari sinkop tersebut, meliputi
10-20% atau seperlima dari seluruh kejadian. Sinkop yang
disebabkan kardiak ini akan menyebabkan risiko moftalitas

yang lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak

penghambatACE

mempunyai dasar kelainan jantung. Pasien dengan sinkop


kardiak ini mempunyai risiko kematian tertinggi dalam 1
sampai 6 bulan. Tingkat mortalitas dalam I tahun perlama

antidepresan : MAO Inhibitor

alkohol
penghambat ganglion misalnya : heksametonium,

18-33yo, dibandingkan dengan sinkop yang bukan

mekamilamin

disebabkan kelainan kardiak yaitu 0-l2oh, bahkan pada

tranquilizermisalnya: fenotiazin,barbiturat
vasodilator : prazosin, hidralazin, penghambat saluran

sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6oh.


Demikian pula dengan angka kematian mendadak yang

kalsium

lebih tinggi pada populasi yang mempunyai kelainan dasar


kardiak.

obat hipotensif yang bekerja sentral misalnya

metildopa, clonidin.

penyebab neurogenik yang digolongkan dalam gangguan

Aritmia. Sinkop akibat irama jantung yang tidak beraturan


paling sering disebabkan oleh keadaan takiaritmia
(ventrikular atau supraventrikular) atau bradiaritmia.

primer dan sekunder. Gangguan atau kelainan primer

Takikardia ventrikel merupakan keadaan takiaritmia yang

Hipotensi ortostatik juga dapat disebabkan oleh

biasanya idiopatik, sedangkan kelainan sekunder biasanya


berhubungan dengan zat biokimiawi tertentu atau kelainan

paling sering menyebabkan sinkop. Takikardia

struktur yang merupakan bagian dari sindrom terlentu.


Salah satu contoh adalah postural orthostatic tachycardia
syndrome (POTS) adalah salah satu bentuk ringan dari
gangguan otonom kronik dan intoleransi ortostatik ini
ditandai dengan gejala-gejala yaitu peningkatan denyrt
jantung sebanyak 28 kali/menit atau lebih tanpa diikuti

cukup sering, walaupun sebagian besar penderita

perubahan bermakna dari tekanan darah selama 5 menit


dalam posisi berdiriatatupright tilt. POTS ini diakibatkan

oleh kegagalan vaskular perifer sehingga terjadi


vasokonstriksi. Dapat pula terjadi akibat sinkop yang
berhubungan dengan hipotensi yang dimediasi
persarafan.

supraventrikular juga merupakan penyebab sinkop yang


mempunyai keluhan yang lebih ringan seperti berdebar,
sesak napas dan kepala terasa ringan. Bradiaritmia juga
dapat menyebabkan terjadinya sinkop termasuk sick slners
syndrome dan blok atrioventrikular. Contoh yang spesifik
misalnya sinus arrest, fibrilasi atrial dengan respons
ventrikel yang sangat cepat melalui jalur aksesori pada

pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White dan


takikardia ventrikel monomorfik yang menetap. Sedangkan
padapasien dengan blokjantung komplit dapat mengalami
episode sinkop yang membaik sendiri pada saat terjadinya
curah jantung yang tidak efektif akibat takiaritmia ventrikel

212

atau episode asistol sementara (pada serangan stokesAdams).


Satu bentuk dari takikardi ventrikel polimorfik adalah
Torsade de pointes yang terjadi pada pasien dengan

repolarisasi ventrikel yang memanjang (sindrom QT


memanjang atau Long QT syndrome /LQTS), tetapi
mempunyai jantung yang secara stmktural normal. LQTS
dapat terjadi akibat penyakit dasar yang didapat ataupun

kongenital misalnya pada keadaan hipokalemia atau


terpapar obat-obatan tertentu. Tbrsade de pointes dalam
perkembangannya dapat menjadi fibrilasi ventrikel. Maka
seseorang dengan LQTS mempunyai risiko mengalami
sinkop atau bahkan kejang (akibat hipoksia serebral sesaat)
dan yang lebih fatal adalah kematian mendadak. Kelainan
kongenital lain yang berpotensi mengakibatkan gangguan
aitmiayang fatal adalah sindrom Brugada (elevasi segmen
ST di daerah prekordial V,, V, dan V, yang sering disertai
blok berkas cabang kanan inkomplit maupun komplit),

takikardi ventrikel polimorfik akibat katekolaminergik


familial serta displasia ventrikel kanan yang berhubungan
dengan aritmia ventrikel. Pada kardiomiopati hipertrofi,
akibat hipertrofi kardiak yang terjadi dapat menyebabkan
kematian mendadak karena takiaritmia ventrikel menetap.
Penjelasan lain dari sinkop yang dapat terjadi adalah tipe
obstruktif di mana terdapat gradien intraventrikular.
Pada pengguna pacu jantung dan ICD (Implantable
Cardiac Defibrillalor) yang mengalami gangguan fungsi
dapat menyebabkan terjadinya sinkop. Individu pengguna
ICD misalnya, apablla terjadi takiaritmia ventrikel yang
cepat dan dapat diatasi dengan alat tersebut, sinkop masih

KEGAWTfi)ARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

menyebabkan obstruksi pada pengisian ventrikel dan


terjadi sinkop.

Penyebab neurologik/serebrovaskular dari sinkop.


Penyebab neurologik dari sinkop termasuk migrain, kejang,

malformasi Amold-Chiari dan TIA (Transient Ischemic


Attack) yang ternyata cukup mengejutkan karena

merupakan < l\yo sebagai penyebab sinkop secara


keseluruhan. Kebanyakan individu yang mengalami sinkop
akibat kelainan neurologik seringkali mengalami kejang,
daripada hanya episode sinkop saja.
Kelainan neurologi yang terjadi seringkali mirip dengan

sinkop yaitu terdapatnya gangguan atau hilangnya


kesadaran seseorang. Keadaan ini termasuk iskemi serebral
sementara (biasanya pada daerah vertebrobasiler), migrain

(daerah arteri basiler), epilepsi lobus temporal, kejang


atonik dan serangan kejang umum. Pada gangguan
neurologi yang berhubungan dengan nyeri hebat seperti

neuralgia trigeminal atau glosofaringeal, kehilangan


kesadaran biasanya disebabkan sinkop vasovagal.

Penyebab metabolik/lain-lain dari sinkop. Penyebab


metabolik pada sinkop sangat jarang,hatya kira-kira 5%
dari seluruh episode sinkop. Gangguan metabolik yang
seringkali menjadi penyebab sinkop tersebut adalah
hipoglikemi, hipoksia dan hiperventilasi. Sinkop akibat

hipoglikemi adalah hilangnya kesadaran yang


berhubr.rngan dengan kadar gula darah di bawah 40 mgldL
dan disertai gejala tremor, bingung, hipersalivasi, keadaan
hiperadrenergik dan rasa lapar. Hipoglikemi selalu harus

dipikirkan pada pasien dengan diabetes melitus yang

mungkin dapat terjadi, hal ini tergantung dari lamanya


keadaan hipotensi akibat proses terminasi dari takiaritmia
tersebut. Sehingga penting sekali mendapatkan
keterangan mengenai ICD yang dipergunakan terutama

mendapatkan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral.

apabila terdapat episode sinkop tersebut.

dalam posisi terlentang. Hipoadrenalism yang dapat


menyebabkan terjadinya hipotensi postural akibat sekresi
kortisol yang tidak adekuat, merupakan penyebab penting
episode sinkop yang dapat diobati. Keadaan ini harus
dipikirkan pada individu yang mendapatkan terapi steroid
jangka panjang dan tiba-tiba menghentikannya atau bila
sudah terdapat stigmata insufisiensi adrenal.

Struktur anatomi jantung. Kelainan anatomi jantung yang


dapat menyebabkan sinkop termasuk stenosis valvular
(aorta, mitral, pulmonal), disfungsi katup protesa atau
hombosis, kardiomiopati hiperfrofft, emboli paru, hipertensi

pulmonal, tamponade jantung dan anomali dari arteri


koroner. Sinkop pada stenosis aorta terjadi saat aktivitas
ketika terjadi obstruksi katup menetap dan menghambat
peningkatan curahjantung sehingga timbul dilatasi vaskular
pada otot-otot skeletal yang bergerak. Sinkop dapat terjadi
saat aktivitas atau latihan tersebut bahkan sesaat
setelahnya. Sinkop juga dapat terjadi pada saat istirahat
pada stenosis aorta bila ditemukan keadaan takiaritmia
paroksismal atau bradiaritmia yang timbul bersamaan
dengan abnormalitas katup ini.
Diseksi aorta, subclavian steal syndrome, disfungsi
berat ventrikel kiri dan infark miokard merupakan penyebab
penting lain dari sinkop kardiak. Pada usia lanjut, sinkop

dapat merupakan tampilan dari infark miokard akut.


Miksoma atrial kiri atau trombus pada katup protesa yang
menutupi katup mitral selama fase diastolik akan

Penting diperhatikan bahwa sinkop akibat hipoglikemi


berbeda dengan sinkop pada keadaan lain yaitu tidak
berhubungan dengan hipotensi, bahkan pada saat pasien

UJIDIAGNOSTIK
Mengetahui penyebab pasti dari sinkop seringkali
merupakan sesuatu keadaan sulit yang menantang. Hal
ini disebabkan oleh karena kejadian sinkop tersebut terjadi
secara sporadis dan jarang, sehingga sulit untuk dapat
melakukan pemeriksaan fisis ataupun membuat rekaman
jantung saat kejadian sinkop tersebut.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis


Pada saat sinkop kehilangan kesadaran terjadi akibat
berkurangnya perfusi darah di otak. Penting sekali

213

SINKOP

diketahui riwayat kejadian di saat-saat sebelum terjadinya


sinkop tersebut untuk menentukan penyebab sinkop serta

menyingkirkan diagnosis banding yang ada. Dari


anamnesis harus ditanyakan riwayat pasien secara teliti
dan seksama, sehingga dari riwayat tersebut dapat
menggambarkan kemungkinan penyebab sinkop tersebut
atau dapat sebagai petunjuk untuk strategi evaluasi pada
pasien. Gambaran klinis yang muncul pada setiap pasien
sangat penting untuk diketahui terutama faktor-faktor yang
dapat merupakan predisposisi terjadinya sinkop beserta

akibatnya.

Hal-hal penting untuk ditanyakan pada saat


anamnesis tercantum pada Tabel 1. Sebaiknya semua hal

yang tercantum ditanyakan secara teliti dan seksama.


Selain berguna untuk diagnostik, mengetahui riwayat
kejadian juga dapat merupakan strategi untuk evaluasi.
Sebagai contoh, penyebab kardiak sangat mungkin
dipikirkan apabila sinkop didahului dengan keluhan
berdebar-debar, atau sinkop terjadi pada posisi terlentang
ataupada saat selama melakukan latihan hsik.
Sebaliknya, mekanisme mediasi oleh persarafan sangat
mungkin menjadi penyebab apabila terdapat faktor-faktor

predisposisi, keadaan yang memberatkan, gejala ikutan dan


pasien mengalami episode sinkop berulang dalam beberapa
tahun.
Beberapa penyebab terjadinya kehilangan kesadaran

yang paling sering ditemukarr antara lain : l). Serangan


Stokes-Adam misalnya, keadaan asistol sementara atau
fibrilasi ventrikel pada blok atrioventrikular ; 2). Aritmia
Jantung lain, atau 3). Kejang (misalnya petit mal pada
epilepsi). Kemungkinan bahwa hal-hal tersebut di atas

merupakan penyebabnya harus dipikirkan apabila


kehilangan kesadaran tersebut teg'adi tiba-tiba dan lamanya

berkisar anlara I sampai 2 detik. Kejadian yang gradual


atau bertahap kemungkinan disebabkan oleh sinkop
vasodepresor, misalnya pingsan pada umumnya atau
sinkop akibat hiperventilasi atau hal lain yang lebihjarang
adalah hipoglikemia.
Pada pemeriksaan fisis, gambaran klinis dan tampilan
pasien sangat penting diketahui. Pemeriksaan-pemeriksaan

yang meliputi tanda-tanda sistem kardiovaskular,


pemeriksaan neurologis serta gejala-gejala terdapatnya
hipotensi ortostatik harus dilakukan pada pasien dengan
sinkop. (Tabel2)

Rekomendasi klas

untuk diagnosis berdasarkan

evaluasi awal (anamnesis, pemeriksaan fisis, pengukuran

tekanan darah ortostatik dan elektrokardiogram, maka


diagnosis penyebab sinkop pada keadaan-keadaan :
Pertanyaan-pertanyaan seputar keadaan saat sebelum
serangan
Posisi (duduk, terlentang atau berdiri)
Aktivitas (istirahat, perubahan posisi, sedang atau
sehabis melakukan latihan fisik, sedang atau sesaat
setelah berkemih, buang air besar, batuk atau menelan)
Faktor-faktor predisposisi (misalnya tempat ramai atau
panas, berdiri dalam waktu lama, saat setelah makan)
dan faktor yang memberatkan (misalnya ketakutan, nyeri
hebat, pergerakan leher)

Sinkop vasovagal : bila terdapat kejadian-kejadian yang


memberatkan seperti rasa takut, nyeri hebat, stres emosi,
berdiri lama yang timbul dengan gejala prodromal tipikal

Sinkop situasional : bila sinkop terjadi selama atau segera


setelah berkemih, defekasi, batuk atau mengunyah

Pertanyaan-pertanyaan mengenai saat terjadinya serangan


Mual, muntah, rasa tidak enak di perut, rasa dingin,
berkeringat, aura, nyeri pada leher atau bahu,
penglihatan kabur

Pertanyaan-pertanyaan mengenai serangan yang terladi


(saksi mata)
Bagaimana cara seseorang tersebutjatuh (merosot atau
berlutut), warna kulit (pucat, sianosis, kemerahan),
lamanya hilang kesadaran, jenis pernapasan (mengorok),
pergerakan (tonik, klonik, tonik-klonik atau minimal
mioklonus, otomatisasi) dan lama kejadiannya, jarak
antara timbulnya pergerakan-pergerakan tersebut
dengan kejadian jatuh, lidah tergigit

Pertanyaan-pertanyaan mengenai latar belakang


Riwayat keluarga dengan kematian mendadak, penyakit
jantung aritmogenik kongenital atau pingsan
Riwayat penyakit jantung sebelumnya
Riwayat kelainan neurologis (parkinsonisme, epilepsi,
narkolepsi)
Gangguan metabolik (misalnya diabetes melitus)
Obat-obatan (antihipertensi, antiangina, antidepresan,
antiaritmia, diuretika dan obat-obatan yang dapat
membuat QT memanjang)
(Bila terjadi sinkop berulang) Keterangan mengenai
berulangnya sinkop misalnya waktu dari saat episode
sinkop pertama dan jumlah rekurensi yang terjadi

Sinkop ortostatik : bila diketahui terdapat hipotensi


ortostatik dan berhubungan dengan kejadian sinkop atau
pre-sinkop. Pengukuran tekanan darah ortostatik dilakukan

setelah pasien berbaring terlentang selama 5 menit.


Pengukuran diteruskan setelah 1 atau 3 menit berdiri dan
tetap diteruskan pengukurannya bila tekanan darah masih
menurun dalam 3 menit. Bila pasien tidak dapat berdiri lama,
tekanan darah sistolik terendah selama posisi tegak harus
direkam. Penurunan tekanan darah sistolik > atau sama
dengan 20 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik
sampai 90 mmHg dapat didefinisikan sebagai hipotensi
ortostatik, terlepas dari ada atau tidaknya gejala yang
menyertarnya.
Sinkop akibat aritmia : Dilihat dari gambaran EKG dan bila
terdapat:
. Sinus bradikardia < 40 kali/menit atau blok sinoatrial
berulang atau henti sinus > 3 detik

.
.
.

Mobitz II. BlokAV deraj at2 atau3

Blokberkas cabang kanan dan diri bergantian


Takikardia supraventrikular paroksismal dengan laju
ventrikel cepat
Malfungsi pacu jantung dengan henti irama.

214

Gejala atau Penemuan Klinis


Setelah tibatiba timbul perasaan,
suara atau bau yang tidak
menyenangkan dan tidak dapat

dijelaskan
Posisi berdiri dalam waktu lama
atau di keramaian, tempat yang
hangat
Mual, muntah berhubungan

dengan sinkop
Satu jam setelah makan
Setelah latihan flsik
Sinkop dengan nyeri di daerah
tenggorokan atau wajah

Dengan rotasi kepala, terdapat


penekanan pada sinus karotis
(tumor, bercukur, kerah yang
ketat)
Dalam beberapa detik sampai
menit bila berdiri aktif

Terdapat hubungan waktu


dengan dimulainya terapi obat
tertentu atau perubahan dosis
obat yang diberikan
Selama latihan fisik , atau posisi
terlentang
Didahului keluhan
berdebardebar
Riwayat keluarga mengalami
kematian mendadak

KEGAWTIDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALI\M

Kemungkinan Penyebab

dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama yang akan

Vasovagal

menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi.


Vasovagal atau gangguan
otonom

Vasovagal
Post prandial (gangguan

otonom)
Vasovagal atau gangguan
otonom

Neuralgia (neuralgia
glosofaringeal atau
trigeminal)
Sinkop akibat gangguan
sinus karotis yang
spontan

Hipotensi ortostatik

dan diplopia
Lengan yang sering
dipergunakan untuk latihan
Perbedaan tekanan darah atau
denyut nadi pada kedua lengan

Pemeriksaan elektrokardiografi. Rekaman elektrokardiografi 1 2 sandapan harus selalu dilakukan pada pasien
dengan sinkop. Walaupun tidak banyak informasi yang
dapat diperoleh apabila sinkop tersebut disebabkan
keadaan non-kardiak, tetapi pemeriksaan ini mudah, cepat,
tanpa risiko dan tidak mahal. Beberapa penemuan penting
yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini serta
kemungkinan dapat diidentifikasi sebagai penyebab sinkop

antara lain, pemanjangan interval QT (sindrom QT


memanjang), pemendekan interval PRdan gelombang delta
(pada sindrom Wolff-Parkinson-White), blok berkas cabang
kanan dengan elevasi segmen ST (pada sindrom Brugada),
infark miokard akut, blok atrioventrikular derajat tinggi atau
inversi gelombang T pada sandapan prekordial kanan (pada

displasi ventrikel kanan aritmogenik). Banyak pasien


dengan sinkop menunjukkan gambaran rekaman
elektrokardiograhyatg normal. Hal ini sangat berguna

Drug lnduced

untuk menunjukkan kemungkinan kecil penyebab sinkop


berasal dari kelainan kardiak, yang berhubungan dengan

Sinkop kardiak

prognosis yang lebih baik. Terutama bila terjadi pada pasien


usia muda yang mengalami sinkop.

Takiaritmia
Sindrom QT memanjang,
sindrom Brugada,
Displasi Ventrikel
Kanan, Hipertrofi
Kardiomiopati

Disertai gejala vertigo, disartria

perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan sindrom QT


memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia
harus disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan harus

Tl A (Transient

schemic
Attack) pada batang
otak
Subclavian steal
I

Subclavian stea/ atau


diseksi aorta

Bingung setelah serangan


selama lebih dari 5 menit

Kejang

Pergerakan tonik klonik,


automatisme, lidah tergigit,
wajah kebiruan, aura epileptik
Seringkali serangan disertai
keluhan somatis, tanpa
kelainan organik pada jantung.

Kejang

Blok bifasikular (didefinisikan sebagai blok berkas cabang


kiri atau blok berkas cabang kanan atau blok fasikular
posterior kiri)
Abnormalitas/kelainan konsuksi intraventrikular lain (durasi
QRS > 0,12 detik)
Blok atrioventrikular derajat dua Mobitz I
Bradikardia sinus asimptomatik (< 50 derajat per menit), atau
blok sinoatrial
Kompleks QRS praeksitasi
lnterval QT memanjang

Pola blok berkas cabang kanan dengan elevasi ST pada


sadapan V1-V3 (sindrom Brugada)

Gelombang

negatif pada sadap prakordial

kanan,

gelombang epsilon, dan kelambatan ventrikular yang


Gangguan psikiatrik

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan laboratorium darah
rutin seperti elektrolit serum, enzim jantung,kadar gola
darah dan hematokrit memiliki nilai diagnostik yang rendah.

Sehingga pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak


direkomendasikan pada pasien dengan sinkop, kecuali
terdapat indikasi tertentu dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Misalnya pemeriksaan kadar gula darah
untuk menyingkirkan kemungkrnan hipoglikemia dan kadar

hematokrit untuk mengetahui kemungkinan adanya

berpotensi pada dugaan dispasia ventrikular kanan

aritmogenik
Gelombang Q diduga infark miokard.

Ekokardiograli. Dipergunakan sebagai uji penapisan untuk


deteksi penyakit jantung pada pasien dengan sinkop.
Walaupun mempunyai nilai diagnostik yang rendah bila
dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG tidak ditemukan
abnormalitas kardiak. Pada pasien yang mengalami sinkop

atau pre-sinkop dengan pemeriksaan fisis yang nofinal,


kelainan yang paling sering,ditemukan (4-60/o sampai l850% kasus) adalah prolaps katup mitral. Abnormalitas
kardiak lain termasuk penyakit katup j antung (paling banyak
stenosis aorta), kardiomiopati, abnormalitas pergerakan

2t5

SINKOP

dinding ventrikel regional yang menunjukkan kemungkinan


terdapat infark miokard, penyakit jantung infiltratif seperti
amyloidosis, fumor kardiak, aneurysma dan tromboemboli
atrial. Penemuan kelainan jantung ini penting sebagai
stratifikasi risiko. Bila ditemukan kelainan jantung yang
sedang-berat, maka evaluasi langsung dilakukan pada

Di sisi lain, bila


kelainan struktur yang ditemukan hanya ringan,
kemungkinan sinkop kardiak menjadi kecil sehingga
penyebab kardiak dari sinkop tersebut.

evaluasi dilanjutkan seperti pada seseorang tanpa kelainan

struktur jantung.

Elektrofisiologi. Untuk indikasi rekomendasi dilakukamya


studi elektrofisiologi invasif bila pada evaluasi awal
dicurigai sinkop terjadi disebabkan oleh aritmia (pasien
dengan abnormalitas EKG dan atau terdapat penyakit
struktur jantung atun sinkop yang berhubungan dengan
palpitasi, atau pasien dengan riwayat kematian mendadak
pada keluarga). Sedangkan untuk diagnosis dikatakan
apabila hasil studi elektrofisiologi normal tidak dapat
sepenuhnya menyingkirkan aritmia sebagai penyebab
sinkop, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
selanjutnya. Pada beberapa keadaan dikatakan studi
elektrofisiologi sangat tinggi nilai diagnostiknya sehingga
tidak diperlukan pemeriksaan tambahan lain. Sebagian besar

ahli berpendapatbila hasil studi dapat menginduksi


terjadinya ventrikular takikardia monomorfik yang menetap
dengan mempergunakan protokol standard. Sedangkan
kriteria lain yang menunjukkan hasil positif adalah : 1)'

Titt-Table Tesling,Uji ini merupakan pemeriksaan standar


dan sudah diterima secara luas sebagai salah satu uji

diagnostik pada evaluasi pasien dengan sinkop.


Pemeriksaan upright tilt testing dlindikasikan pada sinkop
yang kemungkinan dimediasi oleh persarafan, dan uji ini
penting sebagai baku emas untuk membuat diagnosis
tersebut. Dalam acuan yang dikeluarkan the American
College of Cardiol o gy dicantumkan rekomendasi sekaligus

interpretasi dari pemeriksaan

ini. Upright tilt

testing

biasanya dilalarkan selama 30 sampai 45 menit dengan sudut


kemiringan atfiara 60 sampai 80 derajat (biasanya dipakai

70 derajat). Sensitivitas dari hasil pemeriksaan ini dapat


meningkat, dengan spesifisitas yang lebih rendah,
menggunakan lama pemeriksaan yang lebih panjang, sudut
pemeriksaan yang lebih curam dan obat-obatan provokatif
seperti isoproterenol atau nitro gliserin. Kesepakat at y ang
dipakai adalah uji ini disarankan pada kejadian sinkop
berulang, atau pada kejadian sinkop pertama kali tetapi
pasien dengan risiko tinggi, pada serangan sinkop pertama
kali tanpa kelainan struktur jantung atau penyebab sinkop
lain dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ini, dan pada

evaluasi pasien yang penyebab sinkop telah terbukti


(seperti asistol, blok atrioventrikular) tetapi menunjukkan
kemungkinan adanya penyebab persarafan pada kej adian
sinkop tersebut yang akan mempengaruhi rencana
pengobatan selanjutnya, serta pemeriksaan ini juga
dianjurkan sebagai evaluasi sinkop yang berhubungan atau
akibat aktivitas fisik.

Pemanjangan waktu CSNRT (Coruected Sinus Node


Recovery Time)leblhdari 1000 ms; 2). Pemanjanganyang
bermakna dari interval llV (His-Purkinje) lebih dari 90-100
ms; 3). Terjadinya blok infra-His baik akibat induksi ataupun
secara spontan; 4). Takikardia supraventrikular dengan

hipotensi
Pemijatan pada sinus karotis. Pemijatanpada sinus karotis
ini adalah suatu teknik dengan melakukan tekanan secara

halus pada sinus karotis untuk mendiagnosis


hipersensitivitas sinus karotis. Bila hasil yang ditemukan :
. Terjadi asistol selama lebih dari 3 detik berarti : terjadi
respons kardioinhibisi

Terjadi penurunan tekanan darah sistolik 50 mmHg


berarti: terjadi respons vasodepresor

Pasien dengan respons kardioinhibisi harus


ditatalaksana dengan menggunakan alat pacu jantung.
Pada beberapa studi dikatakan bahwa manuver

ini

sangat

berguna bila dilakukan pada individu berusia > 60 tahun


dengan rata-rata nilai diagnostiknya 46%o. Selama

dilakukan manuver

Tipe
sinko
turun

Denyut jantung menurun pada saat


trikel tidak menurun < 40 kali/menit atau
li/menit selama minimal 10 detik dengan
atau tanpa periode asistol < 3 detik. Tekanan darah menurun
sebelum penurunan denyut jantung.
Tipe 2 A. Hambatan kardiak tanpa asistol. Denyut jantung
menurun sampai laju ventrikel < 40 kali/menit selama lebih

dari 10 detik tetapi tidak terjadi episode asistol yang > 3 detik.
Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung.
Tipe 2 B. Hambatan kardiak dengan asistol. Asistol terjadi
> 3 detik. Tekanan darah menurun bersamaan dengan atau
terjadi sebelum penurunan denyut jantung.
Tipe 3, Vasodepresor. Denyut jantung tidak menurun lebih
dari 10olo dari puncaknya pada saat sinkop.
Pengecualian 1. lnkompetensi kronotropik. Tidak terjadi

peningkatan denyut jantung selama tllt festtng (misalnya <


10o/o dari

laju pre-tl/f tesflng)

Pengecualian 2. Peningkatan denyut jantung berlebihan.


Peningkatan denyut jantung yang berlebihan pada saat
posisi tegak dan selama waktu sebelum sinkop (misalnya >
130 kali/menit)

ini selalu dilakukan dengan

pemantauan EKG dan pengukuran tekanan darah, karena


manuver ini bukan tanpa risiko walaupun kecil. Tentu saja
pasien yang sebelumnya diketahui mempunyai kelainan
pada arteri karotis (misalnya terdapat bruit karotis) atau

PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN SINKOP


Pendekatan dalam penatalaksanaan pasien dengan sinkop

yang mempunyai risiko strok tidak dianjurkan untuk

sangat bergantung dari diagnosis yang telah dibuat.

dilakukan manuver tersebut.

Seperti contohnya pasien dengan sinkop yang disebabkan

216

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

oleh blok atrioventrikular atau sick sinus syndromeharus


dilakukan pemasangan pacu janfung menetap, tatalaksana

adalah : disopiramid, golongan antikolinergik, teofilin


dan clonidine. Pacu Jantung: Secara teoritis, pacu
jantung akan banyak bermanfaat pada pasien dengan
dominasi kelainan pada kardioinhibisi dibandingkan
dengan respon vasodepresan.

pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White


membutuhkan ablasi kateter, sedangkan pasien dengan
takikardi ventrikel kemungkinan harus dilakukan implantasi

defibrilator. Jenis-jenis lain dari penyebab sinkop


mengharuskan penghentian obat-obatan tertentu,

Sinkop akibat aritmia; Belum banyak data yang


mengevaluasi efek antiaritmia, baik farmakologik
ataupun pemasangan alatpada pasien dengan episode
sinkop akibat aritmia. Saat ini telah dipertimbangkan
untuk pemasangan dehbrilator intrakardiak pada pasien
yang mengalami sinkop dan membutuhkannya sesuai

peningkatan asupan garam atau edukasi terhadap pasien.


. Sinkop neurokardiogenik : Yairu pada pasien-pasien
dengan sinkop berulang atau sinkop yang berhubungan
dengan cedera fisik atau stres pada pasien. Pendekatan
non-farmakologik biasanya merupakan pilihan pertama

rekomendasi dari American College Cardiology


(ACCy American Heart Association (AHA), yaitu:
pasien dengan riwayat infark miokard, ejection
fraction (EF) < 35o/o atau sama, terdapat dokumentasi

dalam terapi, termasuk mengajari pasien untuk


menghindari faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu
timbulnya sinkop, seperti panas yang berlebihan,
dehidrasi, posisi berdiri setelah latihan fisik, alkohol
dan obat-obatan tefientu. Ada pula pengalaman klinis
yang mengatakan bahwa suplementasi garam dan
asupan cairan dapat menurunkan episode sinkop.
Sedangkan untuk terapi farmakologis, ada beberapa

yang membuktikan terjadinya takikardia ventrikular


yang tidak menetap, dan takikardia ventrikular yang
diinduksi pada studi elektrofisiologi, atau kejadian
takikardia ventrikular yang spontan. Sedangkan pacu
jantung harus dipasang pada pasien dengan bukti
dokumentasi terjadinya bradiaritmia berat atau

obat-obatan yang direkomendasikan seperti golongan;

atenolol (.8- blocker), midodrine (a-agonist),

simtomatik.

paroxetine (se\ective serotonin reuptake inhibitor) dan

Hal lain yang harus diperhatikan adalah indikasi

enalapril. Golongan obat-obatan lain yang juga

perawatan di rumah sakit pada pasien dengan sinkop dan


lamanya larangan seorang pasien unfuk mengemudikan

direkomendasikan sebagai terapi sinkop vasovagal

SINKOP
I

Anamnesis, Pemeriksaan fisis, EKG

Diagnostik
(termasuk vasovagal, situasional,
hipotensi oilostatlk, dan poliiarmasi
pada usia lanlut)

S nkop dengan penyebab yang

Suggestlve

belum jelas

(term asuk stenosis aorta,

emboli paru gejala neurologis,


riwayat keluarga dengan sinkop
atau kematian mendadak

I
I

Penyakii lantung organik(PJ0)


(abnormalilas EKG,
gejala saat aklivitas,
sinkop mendadak)

+
IERAPI

Pemeriksaan khusus
(E koka rdlografi, kateterisasi

>60th

Us a

Tidak dicurigai
terdapat peny
Jantung

jantung, scan paru, EEG,


tomografi komputerisasi)

Pem ijatan karotls

c
TE

PJo
RAP

Ekokardioorafi
dan treadmilltest
I

eloQ
lrama sinus normal
dengan gejala

Aritm ia dengan

I
I

'I

Hentikan mencari
penyebab aritm ia

Gejala berulang

I/, lesl
evaluasi psikiatri

Tidak diagnostik

n.,.'.

I
Studi elektrofisiolog

el

Ep sode per ama

J
STOP

Sering

ttt

lllonitor

EKG,

Tidak

Sering

fi/t lesl,

,7f lest, evaluasi psikiaki


ps ik ia tri

Gambar 1. Algoriime Diagnostik Sinkop (Sumber: Linzer M, et al, Ann lntern Med. 1997;126:989-96)

Episode pertama

evaluasi

STOp

217

SINKOP

kendaraan. Pada umumnya perawatan di rumah sakit


diindikasikan pada pasien yang :
. Mempunyai riwayat penyakit arteri koroner, gagal
jantung kongestif atau aritmia ventrikular
. Disertai gejala nyeri dada
. Pada pemeriksaan fisik terdapat kelainan katup yang
bermakna, gagal jantung kongestif, strok atau
gangguan neurologis fokal

.
.
.

PadapemeriksaanEKG ditemukan gambaran : iskemia,


aritmia, interval QT memanj ang atau blok berkas cabang

Indikasi lain

Kehilangan kesadaran yang tiba-tiba disertai terjadinya


cedera, denyrt jantung yang cepat atau sinkop yang
berhubungan dengan aktivitas

Frekuensi kejadian makin meningkat, kemungkinan

penyakit jantung koroner atau terdapat aritmia

.
.

(misalnya pada pemakaian obat-obatan yang dapat


menginduksi terjadinya torsades de pointes).
Hipotensi ortostatik sedang berat
Usia di atas 70 tahun
Demikian pula dengan masalah izin mengemudikan

kendaraan bermotor. Dokter yang merawat pasien dengan


sinkop harus memberitahukan kemungkinan risiko yang
dapat timbul bila pasien tersebut mengemudikan kendaraan,

baik risiko terhadap dirinya maupun terhadap orang di


sekitarnya. Sebagian ahli berpendapat seseorang yang
pemah mengalami sinkop sebaiknya tidak diizinkan untuk
mengemudikan kendaraan, karena terdapat kemungkinan
sinkop berulang. Di AS dari AHA/NASPE dibuat suatu
rekomendasi mengenai izin mengemudikan kendaraan
bermotor bagi individu yang pernah mengalami episode
sinkop, aturan ini dikenakan pada kejadian aritmia yang
mengakibatkan kehilangan kesadaran, yaitu :
. Episode vasovagal ringan (hanya pre-sinkop saja,
dengan tanda-tanda sebelum kejadian sinkop tersebut,
hanya pada posisi berdiri, jelas faktor pemicunya, tidak
sering frekuensi timbul serangan), tidak dikenai batasan

dalam memperoleh izin mengemudikan kendaraan

bermotor.

Sinkop vasovagal berat (kehilatgan kesadaran


sepenuhnya, tanpa tanda-tanda sebelum kejadian
sinkop tersebut, dapat timbul pada berbagai posisi
tubuh, tanpa faktor pemicu yang jelas, frekuensi timbul

serangan cukup sering), izin untuk mengemudikan


kendaraan bermotor setelah sinkop teratasi dapat
diberikan dengan pemantauan dalam 3 bulan.
Sinkop vasovagal berat yang tidak diobati : izin untuk
mengemudikan kendaraan bermotor sama sekali tidak
dapat diberikan.

REFERENSI
Abboud FM, Neurocardiogenic syncope N Engl J Med 1993; 328:
ttt7 -20
Alboni P, Menozzi C, Brignole M et a1. An abnormal neural reflex
plays a role in causing syncope in sinus bradycardia. .l Am Col1
Cardiol 1993;22: 1123-9
Alboni B Brignole I\{, Menozzi C et al. The diagnostic value ol
history in patients with syncope with or without heart disease.
J

Am Coll Cardiol 2001; 37;1921-8.

Atkins D, Hanusa B, Sefcik T et al. Syncope and orthostatic


hypotension. Am J Med 1991 ; 91 : 179-85.
Benditt DG, Ferguson DW, Grubb BP et al. Tilt table testing for
of Cardiology, J Am Coll
Cardiol 1996; 28: 263-7 5.
Benditt DG, Lurie KG, Fabian WH : Clinical approach to diagnosis
of syncope. An oven,iew. Cardiol Clin 1997; 15 165-76
Brignole M, Menozzi C, Gianfranchi L et al. Neurally mediated
syncope detected by carotid sinus massage and head-up tilt test
in sick sinus syndrome. Am J Cardiol 1989; 63: 58-65.
Brignole M, Alboni P, Benditt D, Bergfeldt L, Blanc JJ, Thomsen
PEB,Van DUk JG Fitzpatrick A, Hohnloser S, Janousek J, et al.
Guidelines on management (diagnosis and treatment) of
syncope. Eur Heart J,2001;'22: 1256-13O6.
Brugada J, Brugada R, Antzelevithch C et al. Long-term follow-up
of individual with the electrocardiographic pattem of right bundle
branch block an<l ST-segment elevation in precordial'leads V1
to V3. Circulation 2002; 105: 73-8.
Day SC, Cook EF, Funkenstein H et al. Evaluation and outcome of
assessing syncope. American College

emergency room patients with transient loss


Am J Med 1982;73: 15-23.

Denes P, IJretz

E, Ezri MD et

of consciousness.

a1. Clinical predictors of

electrophysiologic findings in patients with syncope of unknown


origin. Arch Intem Med 1988; 148: 1922-8.

Fonarow GC. Feliciano Z, Boyle NG et al. Improved survival in


patients with nonischemic advanced heart failure and syncope
treated with an implantable cardioverter defibrillator. Am J

Cardiol 2000; 85: 981-5.


Hoefnagels WAJ, Padberg GW, Overweg J et al. Transient loss of
consciousness : the value of the history for distinguishing
seizure from syncope J Neurol 1991;238: 39-43.
Knight BP, Goyat R, Pelosi F et a1. Outcome of patients with nonischemic
dilated cardiomyopathy and unexplained slrncope treated with an
implantable defrbrillator. J Am Coll Cardiol 1999; 33: 1964-'70.

Krumholz HM, Douglas PS, Goldman L, Waksmonski C. Clinical


utility of transthoracic two-dimensional and Doppier
echocardiography. J Am Coll Cardiol 1994;24: 125-11.
Leitch JW, Klein GJ, Yee R et a1. Syncope associated with supraventricular tachycardia : An expression of tachycardia or
vasomotor response. Circulation 1992; 85: 1064-'7I.
Linzer M et al. Syncope. Ann Intern Med 1997; t26:989-96Nienaber CA, Hiller S, Spiehnann RP, Geiger M, Kuck KH. Syncope in
hypertropic cardiornyopathy : multivariate analysis of the heart
of prognostic detetminants. J Am Co1l Cardiolo 1990; 15: 948-55.
Schnipper JL, Kapoor WN. Diagnostic evaluati.on and management
of patients with syncope. In : Thakur RK, ed. The Medical
Clinics of North America, WB Saunders Company, 2001; 85(2):
423-56.
L, Timothy KW, Vincent GM et al. Spectrum of ST-T wave
patterns and repolartzation parameters in congenital long-QT
syndrome : ECG findings identifo genotypes. Circulation 2000;

Zhang

\02:2849-55.

29
GAGAL NAPAS AKUT
Zulkifl i Amin, Johanes Purwoto

PENDAHULUAN

Efektivitas dan Efisiensi Sistem Pernapasan


PO, arleri 100 mmHg menunjukkan oksigenasi darah arteri

Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan


unfuk mempertahankan suafu keadaan perlukaran udara

yang efisien. Fungsi pengeluaran/eliminasi CO, yan9


efektif diperlihatkan dengan kadar PCO, arterial dibawah
40 mmHg, kadar ini harus pada status asam basa normal.
Kondisi yang berbeda ditemukan pada dua orang

antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan


kebutuhan tubuh normal.
Secara sederhana, peranan sistem pernapasan ialah
mempertahankan PO, PcO, dan pH darah arteri tetap
normal. Gagal napas dapat diakibatkan kelainan pada: Paru,

pasienyang sama-samamempunyai PO, arterial 100 mmHg,

tetapi pasien pertama bernapas pada suasana udara

mangan (F,o, : 0,21), sedangkan pasien kedua bemapas


dengan O, 100 o/o (Fror: 1,0). Pasien pertama melakukan
pertukaran oksigen antara atmosfer dengan darah arteri
secara lebih efisien.
PaO, mengukur efektivitas oksigenasi; hubungan
antara konsentrasi oksigen inspirasi dan Pao, merupakan
petunjuk proses oksigenasi yang efisien. Pco, arterial
menggambarkan fungsi efektivitas ventilasi.
Dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PCO,

jantung, dinding dada, otot pernapasan, mekanisme


pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata
Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung
gagal napas, disfungsi dari: jantung, sirkulasi paru, sirkulasi

sistemik, transpor oksigen hemoglobin, dan disfungsi


kapiler sistemik mempunyai peranpenting pada gagal napas.

DEFINISI

arterial 40 mmHg mempunyai ventilasi yang sama


efektifnya. Tetapi jika pasien pertama membutuhkan

Gagal napas terjadi bila: 1). PO, arterial (Paor) < 60 mmHg,
atau 2). PCO, arterial (Pacor) > 45 mmHg, kecuali jika

ventilasi semenit yang lebih tinggi (volume udara respirasi


dalam I menit) daripada pasien kedua, berarti pasien
pertama kurang efisien dalam mengeliminasikan CO,
daripada pasien kedua yang mempunyai ventilasi semenit
yang lebih rendah.

peningkatan PCO, merupakan kompensasi dari alkalosis


metabolik.
PaO, < 60 mmHg, yang berarti adanya gagal napas
hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan

Jadi, PaCO, ialah ukuran efektivitas ventilasi;


hubungan attara PaCO, dan ventilasi semenit (Vr)
merefl eksikan efisiensi ventilasi. Pengukuran deraj at

biasa (fraksi O, inspirasi [FrO, ] : 0,21), maupun saat


mendapat bantuan oksigen.
PaCO, > 45 mmHg yang berarti suatu gagal napas
hiperkapnia. Pengecualian terhadap angka di atas terjadi
pada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang
asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan
PaCO, sebagai kompensasi terhadap pH darah yang
rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO, meningkat secara tidak

inef,rsiensi oksigenasi dan ventilasi didiskusikan di bawah.

KLASIFIKAS! GAGAL NAPAS


Kelainan yang mempengaruhi parenkim paru (termasuk

jalan napas, ruang-ruang alveolar, interstisial, dan

normal, meskipun masih di bawah 45 mmHg pada keadaan


asidosis metabolik, hal ini dapat dianggap sebagai gagal
napas tipe hiperkapnia.

sirkulasi pulmoner). Pasien dengan kelainan ini hampir


selalu ditandai dengan hipoksemia, tetapi dapat disertai

218

2t9

GAGALNAPASAKUT

atau tidak disertai hiperkapnia tergantung pada tipe

Nilai 863 merupakan faktor yang menyesuaikan VCO,


pada suhu dan tekanan standar, kering; menyesuaikan Vo

anatomik dan fisiologik antara udara di alveolus dan darah

pada suhu dan tekanan tubuh, jenuh; dan menyesuaikan


PaCO, dalam mmHg. Untuk output CO, yang konstan,
hubungan antara PaCO, dan Vo menggambarkan hiperbola
ventilasi, dimana PaCO, dan Vo berhubungan terbalik. Jadi,
hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveo-

spesifik
penyakit dan derajat beratnya. Perubahan hubungan

di kapiler paru menyebabkan hipoksemia. Contoh:


Pneumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi lambung,
Acute respiratory distress syndrome (ARDS), emboli paru,
asma, penyakit paru interstisial.

Kelainan yang terutama mempengaruhi komponen nonparu sistem pernapasan. Tipe kelainan ini umumnya

menyebabkan hiperkapnia. Contoh: Penyakit yang


menyebabkan kelemahan otot pemapasan, penyakit sistem

saraf pusat yang mengganggu pengendalian ventilasi,


kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding
dada, seperti kifoskoliosis.
Paru mungkin normal, tetapi hipoksemia yang tidak
proporsional terhadap hiperkapnia yang terjadi dapat
menandakan adanya keterlibatan paru. Sebagai contoh
seorang pasien dengan kelemahan neuromuskular karena
myasthenia gravis, mula-mula menunjukkan gagal napas
hiperkapnia. Tetapi kemudian mengalami pneumonia
karena ketidakmampuan membatukkan dahak, sehingga
selain hiperkapnia juga timbul gagal napas hipoksemia.

lar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan


ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan
PCO, arterial dan rumus di atas.

Ventilasi semenit. Pada pasien dengan hipoventilasi

alveolar,
tidak
yang ber

ngkat). MeskiPun
umlah total udara

Vo

Paru setiaP menit


dapat diukur dengan mudah. Ini didefrnisikan sebagai
minute ventilation (ventilasi semenit, Vu, L/men). Konsep

fisiologis yang berguna ialah menganggap bahwa V.


merupakan penjumlahan dari Vo @agian dari V, yang
berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang
rugi (dead spo"" r"rrrr*r:

J:l

",

Vo=Vr-Vo
GAGAL NAPAS HIPERKAPNIA

Kemudian didapatkan rumus

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas


hiperkapnia mempunyai kadar PCO, arterial (PaCOr) yang

VCQ G,/menF PaCo, (mmH9

x\

(L/menit)

t q-%A/')
863

abnormal tinggi. Karena CO, meningkat dalam ruang


alveolus, O, tersisih di alveolus dan Pao, arterial menurun.
Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan
hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi
tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada
pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika

penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru


seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.
Penyakit paru obstruktif kronis yang parah tidak jarang
mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan
asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS berat
dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia'

VoA/, menunjukkan derajat inefisiensi ventilasi kedua


paru. Pada orang nornal yang sedang istirahat, nilai Vo/
V, sekitar 0,30, berarti sekitar 30 % dari ventilasi semenit
tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada
kebanyakan penyakit paru, proporsi VE yang tidak ikut
pertukaran udara meningkat, maka VrA/, meningkat.
Dari rumus di atas, untuk suatu VrA/, Yang konstan
dan VCO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan V.
digambarkan sebagai hiperbola yang bergeser ke atas dari

hiperbola yang digambarkan oleh hubungan attataPaco,

dan Vo. Untuk

nilai

yang berbeda, hubungan ini

digambarkan oleh kelompok kurva hiperbola yang sejajar

Patofisiologi
Hipoventilasi alveolar. Dalam keadaan stabil, pasien
memproduksi sejumlah CO, dari proses metabolik setiap
menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO, tersebut dari
keduaparu setiap menit. Jikakeluaran semenit CO, (VCOr)
menukarkan CO, ke ruang pertukaran gas di kedua paru,
sedangkan Vo adalah volume udara yang dipertukarkan di
alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan
rumus:

VCO, (L/men) = PaCO, (mmHg) x V^ (L/menit) x

J863

(lihat gambar). Kurva-kurva ini bermanfaat untuk


V, atau

memperkirakan VrA/, dari pengukuran PaCO, dan

dapat dipakai untuk menentukan perubahan Vu yang


diperlukan untuk merubah PaCO, yang diinginkan.

Mekanisme hiperkapnia. Hiperkapnia (hipoventilasi


alveolar) terjadi saat:

1. nilaiVu

di

2. nilai\ no
3. nilai Vu di

,tetapirasioVr/V, meningkat,
,

dan rasio

VrA/, meningkat.

Perlu ditekankan disini bahwa istilah hipoventilasi


merujuk pada hipoventilasi alveolar, karenanya hiperkapnia

220

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAI}I

dapat timbul meskipun ventilasi semenit lebih besar


daripada normal, jika rasio VrA/, tinggi atau keluaran CO,

Peningkatan PaCO, pada penyakit kronik berlangsung


lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal

meningkat (pada saat aktivitas atau keadaan laju

meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis

metabolisme meningkat yang lain).

respiratorik kronik. Hal ini menjelaskan bahwa kadar pH


yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status
mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO,

Ruang rugi alveolar dan rasio volume ruang rugi /

volume tidal merupakan konsep fisiologi yang


memudahkan kita mengerti mekanisme ini, tetapi tidak selalu

mempunyai hubungan dengan anatomi. Trakea dan jalan


napas menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke
dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut

muflak.
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala
hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada
orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki

ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,

berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler


paru. Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan
napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik
yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga mempakan
ruang rugi anatomis.
Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar

tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal


napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea dan
hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas
hiperkapnia.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnia akut harus

peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi


fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi

diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis


banding utama ialah gagal napas hiperkapnia karena

regional melebihi jumlah aliran darah regiorral (ventilationperfusion lY I Ql tnismatching) . Walaupun V/Q mismatching
umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan
bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching j:uga
akan menyebabkan peningkatan PaCOr. Kenyataannya

penyakit paru versus penyakit non-paru. Pasien dengan


penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang
tidak sesuai dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai
menggunakan perbedaan PO, alveolar-arterial. Tetapi,
pasien dengan masalah non-panr dapat pula mempunyai

dalam hampir semua kasus, kecuali denganV/Qmismatching


yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi,

hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan


neuromuskular (sebagai contoh) yang mengakibatkan
atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru-

mengembalikan PaCO, ke tingkat normal. Iadi,YlQmismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi
normokapnia dengan peningkatan V.. Seperti dapat dilihat
pada gambar l, peningkatan V. pada kondisi PaCO, nor-

kontras dengan kelainan komponen lain sistem pemapasan


berhubungan dengan peningkatan VrA/, dan, karenanya

mal menunjukkan peningkatan Vo/V, - dalam hal ini,

pernapasan. Tetapi, pada pasien dengan kelumpuhan otot

peningkatan ruang rugi fisiologis.

pernapasan dapat juga

sering menunjukkan peningkatan

V.

dan frekuensi

ditemui takipnea. Efek dari

hiperkapnia dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan

neurologis, pengobatan berlebih dengan sedatif,

Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf
pusat (Tabel 1). Peningkatan PaCO, merupakan penekan
sistem saraf pusat, tetapi mekanismenya terutama melalui

turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena


peningkatan akut PaCOr. Karena CO, berdifusi secara
bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, pH turun
secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.

mixedema, atau trauma kepala. Perubahan status mental


dapat menyulitkan penilaian kekuatan otot, dan kekuatan
otot ekstremitas dapat tidak berhubungan dengan
kekuatan otot respirasi.

GAGALNAPAS HIPOKSEMIA
Gagal napas hipoksemia jauh lebih sering dijumpai
daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini

Hiperkapnia

Hipoksemia

Somnolen

Ansietas
Takikardia
Takipnea
Diaforesis
Aritmia
Perubahan status mental
Bingung
Sianosis
Hipertensi
Hipotensi

Letargi
Koma

Asteriks
Tidak dapat tenang
Tremor
Bicara kacau
Sakit kepala
Edema papil

Kejang

Asidosis laktat

mempunyai nilai PO, arterial yang rendah, tetapi PaCO,


normal atau rendah. Paco, tersebut membedakamya dari
gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya ialah
hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak
biasa di mana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat
rendah, seperti ketinggian atau saat oksigen digantikan
oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan
adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau

sirkulasi paru. Contoh situasi klinis yang umum


menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO, ialah
pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan
ARDS.

221

GAGALNAPASAKUT

Patofisiologi
Hipoksemia dan hipoksia. Istilah hipoksemia paling sering
menunjukkan PO, yang rendah di dalam darah arteri (PaOr),
dan dapat digunakan untukmenunjukkan PO, padakapiler,
vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk
menekankan rendahnya kadar O, darah atau berkurangnya
saturasi oksigen di dalam hemoglobin.
Hipoksia umumnya berarti penurunan penyampaian

ialah jumlah dari PO, PCO, PHrO, dan PNr. Bila PI{rO dan
PN, tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada
PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO, Hipoventilasi
alveolar menyebabkan penurunan PAO, yang menimbulkan
penumnan PaO, bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan, menunjukkan hubungan antara PO, dan
PCO, alveolar:

(delivery) O, ke jaringan atau efek dari penurunan

PAOr=FiO, x PB - Pnco,

penyampaian O, ke jaringan.

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia.


Hipoksia dapat pula terj adi akibat penurunan penyampaian
O, karena faktor rendahnya curahjantung, anemia, syok
septik, atau keracunan karbon monoksida, di mana Po,
arterial dapat normal atau meningkat.
Mekanisme hipoksemia. Mekanisme fisiologi hipoksemia
mempunyai kegunaan dalam identifikasi tipe penyakitparu
dan respons terapi. Mekanisme ini dibagi dalam dua
golongan utama: l). berkurangnya PO, alveolar, dan 2).
meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture).
Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke
paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan
di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri
akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial
oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO, darah
vena sistemik (PVOr) menentukan batas bawah PO ,arteri.
Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui
sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di

rongga alveolar, maka PO, :

PAOr. Maka PO, alveolar

(PAOr) menentukan batas atas PO, arteri. Semua nilai PO,


berada diantara PVO, dan PAOr.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan

PO, alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena


bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler
pulmonal (campuran vena). Pada banyak pasien dengan
gagal napas hipoksemik, kedua mekanisme ini berperan

(Tabel2).

Penurunan PO, alveolar. Tekanan total di ruang alveolar

Mekanisme
POz alveolar
PO2 inspirasi

Hipoventilasi

PaCOz

(PACO'

Pirau kanan ke-kiri


YIQ mismatching
Keterbatasan difusi

memasuki dan O, meninggalkan ruang alveolar. Dalam


praktek, PCO, arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO,
alveolar (PaCOr). PAO, berkurang bila PAco, meningkat.

Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia


(berkurangnya PaOr).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa

hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometrik total


berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FIO, rendah
(seperti saat seseorang menghisap campuran gas di mana
sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). HaI ini juga
akibat penurunan PaOr. Pada hipoksemia yang terjadi
hanya karena penunrnan PaOr, penurunan Pao, kira-kira
sebanding dengan penurunan PaO, dan perbedaat arrtara
PaO, dan PaO2 tidak berbeda bermakna. Perbedaan PO,
alveolar-arteri adalah normal pada hipoksemia karena

hipoventilasi.
Pencampuran vena (venous admixture). Meningkatnya
jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang
mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan
gas alveolar. Perbedaan PO, alveolar-arterial (P(o_") Or)
meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan
pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan,
P,o-rO, normalnya sekitar 10 dan20 mmHg, meningkat
dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak.
Dalam pemapasan udara ruangan, FiO, : 0,2 I ; j ika R
0,8, PaCOr:40 mmHg, dan PaOr: 55 mmHg, maka :

Contoh

Normal
Normal

Normal atau J
Normal atau J
Normal atau 0

pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO,

PnOz

Campuran darah
vena

.
.

FIo, ialah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah


tekanan barometrik, dan R ialah rasio perfukaran udara

Normal
Normal
Normal

t
1
1

> 550
> 550

Ketinggian
Penyakit neuromuskular, sindrom
obesitas-hipoventilasi

<550
>550
>550

ARDS, defek septal


Pneumonia, asma, PPOK
Proteinosis alveolar

222

KEGAWAfi)ARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITTYAKIT DAI.IIM

PAO,

(0,21 x 713)

40

150

50 = 100 mmHg

0r8

dan
P1o*;

Pada contoh

O, = 100

55 = 45 mmHg

ini, ditemukan hipoksemia arterial (PaOr<

60 mmHg) dan

P11-a

O,

meningkat (> 20 mmHg).

Disimpulkan bahwa hipoksemia terjadi karena salah satu


penyebab meningkatnya pencampuran vena:

Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt).Sebagian darah


vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan
darah yang berasal dari paru, akibatnya ialah pencampuran

arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru


PO, diantara PAO, dan PVO,. Nilai mutlak PO,
tergantung pada proporsi darah yang tidak melalui paru
dengan

dannilai PAO, danPVOr. Mekanisme hipoksemiaini dikenal


sebagai pirau kanan-ke-kiri.

Hal ini dapat terjadi pada:


. kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau
lobus sedangkan aliran darah dipertahankan,
. penyakit jantung kongenital dengan defek septum.
. ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat,
atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi
pirau kanan-ke kiri yang berat.

Petanda terjadinya pirau kanan-ke kiri ialah: 1).


Hipoksemia berat dalam pemapasan ndara ruangan,2).
Hanya sedikit peningkatan PaO, jika diberikan tambahan
oksigen, 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai Pao,
yang diinginkan, dan 4). PaO, < 550 mmHg saat mendapat
o . Berdasarkan kesepakatan, j ika PaQ < 5 5 0 mmHg
O 21 00
saat bernapas dengan O, 100 o%, dikatakan terjadi pirau
kanan-ke kiri.

Ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (ventilation- perfusion


mismatching : Y lQ mismatching). Merupakan penyebab
hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasiperfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah
vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi
seperti yang terjadi pada pirau kanan-ke-kiri. Sebaliknya
beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke areaarea tersebut. Di sisi lain, beberapa area paru yang lain
mendapat ventilasi yang berlebih dibandingkan aliran darah
regional yang relatif sedikit.

Darah, yang melalui kapiler paru di area yang


hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen
dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan
hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap

pertukaran gas antara kapiler

alveolus seringkali

kompleks, tetapi untuk kepentingan klinis, kelainan ini


dapat disebabkan semua penyakit paru yang merubah
distribusi ventilasi atau aliran darah. Contohnya ialah :
. Asma dan penyakit paru obstruktif konik lain, dimana

variasi pada resistensi jalan napas cenderung

mendistribusikan ventilasi secara tidak rata.


Penyakit vaskular paru seperti tromboemboli paru,
dimana distribusi perfusi berubah.

Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q ialah Pao,


dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara relatif
mudah dengan pemberian oksigen tambahan.

Keterbatasan difusi (diffusion limitation). Keterbatasan


difusi O, merupakan jarang menyebabkan hipoksemia.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan

normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah


vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan
kesetimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang,
dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat
sehingga tidak cukup waktu bagi PO, kapiler paru untuk

mengalami kesetimbangan dengan PO, alveolus.


Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila
PAo, sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui
membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit
untuk darah kapiler paru sangat pendek.
Beberapa keadaan di mana keterbatasan difusi untuk

transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama


hipoksemia ialah:

.
'

Penyakitvaskularparu

Pulmonery alveolar proteinosis, keadaan di mana


ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid.

Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi
dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksia jaringan

(Tabel 1). Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi


melalui stimulasi kemoreseptor glomus karotikus, diikuti
dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.

Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan


mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pemapasan

untuk merespons. Pada pasien hipoksemik dengan


penyakit paru berat atau keterbatasan ventilasi,
peningkatan ventilasi mungkin hanya ditemukan sedikit
atau bahkan tidak ada, dan tidak ada hiperventilasi. Pada
pasien yang terganggu fungsi glomus karotikusnya, tidak
ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkrn
didapatkan sianosis, terutama jelas di ekstremitas distal,
tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar
membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung
pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibatpasokan
oksigen yang tidak mencukupi ke jaringan, atau hipoksia.
Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah
anaerobik, disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan
kadar asam laktat di darah akan selanjutnya merangsang
ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan
gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks atau

berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat


menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,

223

GAGALNAPASAKUT

seperti somnolen, koma, kejang, dan kerusakan otak


hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis
meningkat, sehingga turut menyebabkan terjadinya

2.

takikardia, diaforesis, dan vasokonstriksi sistemik, diikuti

hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi' dapat


menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi,
serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia, dan
gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik diperburuk oleh
adanya gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue
oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang
berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi, dapat
diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan

regional pada derajat hipoksemia yang lebih dini.


Contohnya ialah peningkatan risiko iskemia miokard dari
hipoksemia pada pasien dengan aterosklerosis arteri
koroner atau pasien dengan syok hipovolemik yang

Penurunan curahjantung, yang tergantung dan:


. Aliran balik vena sistemik yang adekuat,
. fungsi ventrikel kanan dan kiri,
. resistensi pulmonar dan resistensi sistemik,

frekuensi denYut jantung

Hipoksemia dan asidosis mempengaruhi kontraktilitas


miokaid, atau dapat menimbulkan takikardia, bradikardia,
atau infarkmiokard. Sepsis dan syok sepsis dapatmenekan

fungsi miokard. Ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi


mempengaruhi jantung dan sirkulasi, di antaranya melalui
berkurangnya aliran balik vena sistemik, compliance
diastolik ventrikel kiri, peningkatan resistensi vaskular
paru, serta perubahan afterload venhikel kanan dan kiri'
Tanda - tanda kurangnya O, delivery terlihat dari
pemantauan fungsi ginjal, hati, jantung, dan sistem organ
lainnya. Asidosis laktat juga dapat menjadi petunjuk
adanya gangguan O, deliverY.

menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia


arterial ringan.

Oxygen Delivery. O, delivery yang adekuat ke jaringan


ialah fungsi sistem pernapasan yang paling penting, dan
membutuhkan fungsi paru, j antung, dan sirkulasi yang normal. Deteksi dan penatalaksanaan gangguan O, delivery
sistemik harus menjadi tujuan utama pada tatalaksana gagal
napas, selain memperbaiki kelainan gas darah arteri.
O, delivery merupakan hasil dari konsentrasi O, arteri
(mL OrlL darah) dan curah jantung (L/menit).

:
(ml/menit)
Ordelivery

mL

CaO,

(mL OrlL darah)

a
(L/menit)

TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT


Dasar-dasar Fisiologis TeraPi
Gagal napas hiperkapnia. Karena hiperkapnia berarti
adanya hipoventilasi alveolar, tata laksana suportif
bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal,

hingga penyakit dasar dapat diobati. Kadang-kadang


ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan
tetap terbukanya jalan napas yang efektif - penyedotan
sekret, stimulasi batuk, drainase postural, atau perkusi dada
atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang

darah:
mmHgx
tidak m

1,34

x10'
akah

darah dan O2terdistribusi ke organ-organ dengan proporsi

yang sesuai dengan kebutuhan organ tersebut, sehingga


O, delivery yang normal atau tinggi mungkin tidak cukup
.,ntuk beberapa kondisi tertentu seperti syok, sepsis atau

endotrakeal atau trakeostom i


Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai

dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal


sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis
ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang
diinginkan, pada pasien dengan hiperkapnia kronik harus

hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia. Hal ini karena

penyakit hati stadium akhir. Hal-hal yang potensial

koreksi PaCO, hingga batas normal pada kasus tersebut

menyebabkan penurunan O, del iv ery ialah:.


1. Penurunan konsentrasi 02 arteri yang dapat berkurang
sebagai akibat:

nyawa karena sudah terjadi kompensasi berupa

Penurunan saturasi O,
berkurangnya PaO, atau bergesernya kurva

hemoglobin karena

disosiasi oksihemoglobin ke kanan (karena asidemia,

.
.

hipertermia, atau hemoglobinopati).

Alemia,
Karbon monoksida, yang akan menggantikan O,
karena afinitas terhadap hemoglobin yang tinggi,
serta menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke

kiri. Pergeseran ke kiri ini meskipun tampaknya


meningkatkan konsentrasi O, pada semua tingkat
PaO, akan menyebabkan kesulitan melepas oksigen
kejaringan.

dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam

peningkatan kadar bikarbonat serum.


Hipoksemia sering ditemukan pada pasien dengan gagal
napas hiperkapnik - terutama yang didasari oleh penyakit

puir,

dan pemberian oksigen tambahan seringkali

dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan

hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak


dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati' Kelompok
pasien dengan penyakit paru kronik ini (obstruktif maupun
restriktifl atau gangguan dinding dada (kifoskoliosis)
tampaknya tidak sensitif lagi terhadap hiperkapnia dan
tergantung pada hipoksemia sebagai pemicu ventilasi' Bila

oksigen yang cukup diberikan untuk mengatasi

hipoksemia, rangsang ventilasi menjadi tumpul dan pasien

224

akan mengalami hipoventilasr.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena


overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan
pasien dengan trauma dada, akan membaik seiring
berlalunya waktu, dan penatalaksanaan terutama bersifat
suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus

ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru


obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.

Gagal Napas Hipoksemia


Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal
napas hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS,

mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive endexpiratoy pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain.
Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnia, tetapi
dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan

kelelahan otot pernapasan. Perhatian terhadap


transportasi oksigen penting, dan anemia berat harus
dikoreksi serta curah jatung yang adekuat harus
dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal
napas hipoksemik harus diatasi, terutama jika pneumonia,
sepsis, atau penyebab lain sebagai dasamya. Tatalaksana
dapat meliputi diuretika, antibiotik, dan bronkodilator selain

tindakan-suportif lainnya.
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak
merata pada semua bagian paru (tidak mengenai kedua
paru), memiringkan pasien pada posisi di mana area paru
yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih
bawah dapat meningkatkan oksigenasi. Hal ini karena
gravitasi dan berat paru meningkatkan perfusi dan ventilasi
ke derah paru yang tergantung/lebih di bawah. Pasien
dengan hemoptisis berat atau sekret /dahak banyak, tidak

boleh ditempatkan pada posisi seperti ini karena


kemungkinan akan terjadi aspirasi darah atau sekret ke
arca yarrg belum terlibat.
PadaARDS dengan edema paru nonkardiogenik yang
difus, terdapat banyak pendapat yang menganjurkan
pasien ditempatkan dalam posisi pronasi (tengkurap).
Pasien yang berada pada posisi pronasi lebih jarang
mengalami kolaps pada sisi paru yang tergantung. Selain
itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh
jantung atau isi abdomen. Pada beberapa pasien, perbaikan
pada hipoksemia arterial bersifat sementara setelah
perubahan dari posisi supinasi ke pronasi, tetapi pada
banyak kasus efeknya bertahan selama minimal beberapa
Jarn

Jalan napas (airway). Jalan napas sangat penting untuk


ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obatan
pernapasan. pada semua pasien dengan gangguan
pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obshuksi jalan napas atas. Perlimbangan untuk insersi jalan

napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT)


berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas artifisial

KEGAWAIIDARURATAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PENYAKIT DALI\M

dibandingkan jalan napas alami.


Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma

orofaring atau nasofaring karena penekanan kronik,


kerusakan trakea (erosi, trakeomalasia), gangguan respons
batuk, risiko aspirasi meningkat, gar,gg:uan fungsi
mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara,
dan meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.
Keuntunganjalan napas artifisial ialah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen
dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan-positif
dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute untuk

bronkoskopi fiberoptik.

Pada pasien dengan gagal napas akut, pilihan


didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan pernapasan,
dan terapi pemapasan viajalan napas alami cukup adekuat
ataukah lebih baik denganjalan napas artifisial. Tatalaksana
yang agresifsebelum intubasi dapat dicoba, dan hasilnya
membimbing dokter untuk membuat keputusan. Indikasi
intubasi dan ventilasi mekanik ialah :

Secara fisiologis: a). hipoksemia menetap setelah


pemberian oksigenb). PCO2 > 55 mm Hg dengan pH <
7 ,25 , c). Kapasitas vital < I 5 mlikg dengan penyakit
neuromuskular
Secara klinis: a). Perubahan status mental dengan
gangguan proteksijalan napas, b). Gangguan respirasi
dengan ketidakstabilan hemodinamik c). obstruksi jalan
napas atas (pertimbangkan trakeostomi jika obstmksi
terletak di atas trakea), d). sekret yang banyak yang
tidak dapat dikeluarkan oleh pasien, dan membufuhkan
penyedotan

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan


intubasi endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi
pengkajian klinis respons terhadap terapi seringkali lebih
berguna lagi. Faktor lain yang perlu dipikirkan ialah
ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi
tekanan-positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-

invasif,NIPPV:NIV).
Oksigen. Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan
tergantung pada mekanisme hipoksemia; tipe alat pemberi
oksigen tergantung pada jumlah oksigen diperlukan,
kecenderungan pasien dan doktel potensi efek samping

oksigen pada konsentrasi berbeda-beda, dan ventilasi


semenit pasien. Karena oksigen konsentrasi tinggi merusak
paru, harus diupayakan untuk meminimalkan jumlah dan
lama terapi oksigen. Lebih lengkap mengenai terapi oksigen
akan dibahas dalam bab tersendiri.

Bronkodilator. Bronkodilator mempengaruhi langsung


terhadap kotrtraksi otot polos, tetapi beberapa mempunyai

efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi.


Bronkodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru
obstruktif, tetapi peningkatan resistensi jalan napas juga
ditemukan pada banyak penyakit paru lainnya, seperti
edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia.

225

GAGALNAPASAKUT

Alat

Ozflow
rate (Um)

Keuntungan

Fio2

Kerugian

Low-flow delivery devices :

Kanul nasal
Simple mask

2-6

0,24

- 0,35 Pasien nyaman

4-8

0,24

- 0,40

High-flow delivery devices :

Venturi mask

2-12

0,25

- 0,50

FlOz konstan dengan VE

Nonrebreathing mask

6-15

0,70

- 0,90

FlO2 tinggi

High-ftow

0,50

- 0,90 FlO,

O2btender

- 20

Agonis beta-adrenergik / simpatomimetik. Obat-obat ini

lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi


dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping sangat berkurang
bila dilakukan dengan rute inhalasi, sehingga dosis yang
lebih besar dan kerja lama dapat diberikan.
Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah
agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih
banyak daripada yang direkomendasikan untuk pasien
dengan penyakit obstruksi paru stabil. Peningkatan dosis
(kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan
frekuensi pemberian (hingga setiap jam atau nebulisasi
kontinu) seringkali dibutuhkan.
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi,
kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang

tersedia ialah albuterol, metaproterenol, terbutalin.


Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik terhadap
reseptor a2, ju1a tidak menunjukkan kelebihan dalam
mengatasi bronkospasme dibandingkan obat lain yang
lebih selektif. Agonis beta-adrenergik kerj a lama (LABA),
berguna untuk penggunaan kronik seperti mencegah

bronkospasme, tetapi tidak direkomendasikan untuk


serangan bronkospasme akut.

Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi,


aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada
dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya

dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan


disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartemen
ekstrasel ke intrasel sebagai respons terhadap stimulasi
beta-adrenergik. Komplikasi yang jatatg terjadi ialah

perburukan hipoksemia karena eksaserbasi dari


ketidakseusaian ventilasi-perfusi. Pada kasus ini,
vasokonstriksi arteri pulmonar lokal yang wajar di area
yang rendah rasio ventilasi-perfusinya, dinetralkan oleh
efek obat.

Antikolinergik. Respons bronkodilator terhadap obat


antikolinergik (parasimpatolitik) tergantun g pada derajat

FlOz bervariasi dengan VE


FlOz bervariasi dengan VE

Aliran tidak adekuat Pada FlOz


tinggi
Tidak nyaman; FlOz tidak daPat
disesuaikan

tinggi pada aliran total

tonus parasirnpatis instrinsik. Obat-obat ini kurang berperan


pada asma, di mana obstruksi jalan napas berkaitan dengan

inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus


parasimpatis tampaknya lebih berperan.

Antikolinergik direkomendasikan terutama untuk


bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal
napas, antikolinergik harus selalu digunakan dalam
kombinasi dengan agonis beta-adrenergik.

Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI


(metered-dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi' Efek
samping jarang terjadi, seperti takikardia, palpitasi dan
retensi urin.

Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator


dibandingkan agonis beta-adrenergik. Mekanisme kerj a
ialah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase padaAMP siklik
(cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi
reseptor beta-adrenergik, dan aktivitas anti-inflamasi.
Sekitar 90 % teofilin dimetabolisme di hepar menjadi
metabolit tidak aktif dengan sistem sitokrom P450. Sistem
enzim ini distimulasi oleh merokok tembakau atau marijuana
dan fenobarbital. Aktivitas enzim ini memrun dengan adanya
simetidin, eritromisin, kontrasepsi oral, danbanyak obat lain.
Metabolisme teofilin sangat berkurang dengan demam, usia

lanjut, berhenti merokok, atau dengan obat yang


meningkatkan metabolisme, penyakit hati, dan gagal jantung'

Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah'

Komplikasi yang lebih parah ialah aritmia jantung,


hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.

Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam


menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti,
tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal'
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada
gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat
oral atau parenteral.

Efek samping kortikosteroid parenteral ialah


hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati

226

steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem

imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan


gastrointestinal.

Kortikosteroid inahalasi sangat j arang menimbulkan


efek samping sistemik kecuali batuk, karena provokasi

bronkospasme, dan kandidiasis oral dan faring.


Kortikosteroid inhalasi yang lebih kuat mempunyai efek
samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis, dan perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid
bersama-sama dengan obat penghambat neuromuskular

non-depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan


otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitat.weaning.

Ekspektoran dan nukleonik. Cairan per oral atau parenteral


dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada
pasien yang kekurangan cairan. Katium yodida oral mungkin
berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan

sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein


dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran
seket melalui batuk.
Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret
jalan napas, terutamapadapasien dengan ETT. Sedikit (35 ml) Na Cl 0,9 0%, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat
hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan
(suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang 1ebih
banyak.

Asetilsistein merusak ikatan disulfrd pada protein spu-

tum dan dapat menjadi obat mukolitik yang kuat. Tetapi


asetilsistein yang diaerosolisasi kurang efektif dan dapat
merangsang bronkospasme pada penderita asma. Jika
diperlukan, sedikit asetilsitein dapat diberikan saat lavase
dengan bronkoskopi fleksibel pada jalan napas yang
bermasalah.
Karena beberapa kualitas abnormal sputum disebabkan

DNA yang berasal dari penghancuran sel, enzim yang


melisiskan DNA @NAase) dapat bermanfaat, tetapi belum
disetujui untuk pemakaian pada pasien ppOK atau asma.

TATALAKSANALAIN
Fisioterapi dada dan nutrisi merupakan aspek tata laksana
yang perlu diintegrasikan dalamtata laksana menyeluruh
gagal napas akut.
Pemantauan hemodinamik dilakukan sesuai kondisi dan

umumnya meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut


jantung, ritme jantung, tekanan darah sistemik, tekanan
vena sentral, dan penenfuan hemodinamik dengan teknik

I(EGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDAI{G ILMU PENYAKIT DALAM

yang lebih invasif seperti kateterisasi j antung kanan. perlu

diperhatikan bahwa pengukuran tekanan vena sentral


(CVP) dipengaruhi positive end-expiratory pressure
(PEEP). Pada kateterisasi jantung kanan penderita dengan
resistensi vaskular paru yang meningkat (emfisema, emboli paru, dan penyakit vaskular paru lainnya), tekanan

diastolik arteri pulmonar (PAD) tidak

dapat

menggambarkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri


(LVEDP). Hasil perhitungan curah jantung dengan metode
Fick juga terpengaruh pada gagal napas akut, karena
ketidakakuratan pengukuran konsumsi oksigen saat fraksi
oksigen inspirasi melebihi 0,6.
Pemantauan respirasi meliputi frekuensi napas,
penilaian mekanika respirasi, pertukaran udara, dan fungsi
terintegrasi sistem kardiovaskular dan respirasi.

Ventilasi Mekanik
Mengenai ventilasi mekanik akan dibicarakan dalamjudul

tersendiri.

REFERENSI
Amir, Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2"d National Symp.
Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakarta Mei 2003
Bellini LM. Nutrition in Acute Respiratory Failure. In Fishman Ap,
Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds).
Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New

York: McGraw-Hill 2002. 1082-9).


Bellini LM, Grippi MA. Hemodynamic and Respiratory Monitoring
in Acute Respiratory Failure. In Fishman AP, Elias JA, Fishman
JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual
of Pulmonery Diseases and Disorders. New York: McGraw-Hill.
2002. 1064-72.)
Brochard L, Mancebo J, Elliot MW. Noninvasive ventilation for
acute respiratory failure. Eur Respir J, 2002;19:712'21.
Colin Selby. Respiratory Medicine: An Illustrated Colour Text.
Edinburgh: Churchill Livingstone, 20O2:70-1.
Consensus Conference Report: Clinical indications for noninvasive
positive pressure ventilation in chronic respiratory failure due
to restrictive lung disease, COPD and nocturnal hypoventilation.
Chest, I999;1 I 6:521-34.
Make BJ et al Mechanical ventilation beyond the intensive care
unit. Report of a consensus conference of the American College

of Chest Physicians. Chest. 1998;t l3(Suppl):289S-344S.


Sue DY, Lewis DA. Respiratory Failure. In Bongard FS, Sue Dy
(eds). Cunent Critical Care Diagnosis and Treatment. New york:
Lan ge Medical B ooks/McGraw -Hrll, 2002 :268 -3 04.
Wysocki M, Antonelli M. Noninvasive mechanical ventilation in

acute hypoxaemic respiratory failure. Eur Respir J, 2001;18:209-

20.

30
RESUSITASI JANTUNG PARU
Arif Mansjoer

Pada rekomendasi ILCOR 2005 terdapat beberapa


perubahan mendasar dalam tata laksana resusitasi.
Beberapa hal penting dalam rekomendasi resusitasi

PENDAHULUAN
Resusitasi jantung pam mempakan upaya perlolongan
pertama pada orang tidak sadar yang mengalami henti
jantung atau henti napas. Perkembangarr lupaya
pertolongan ini memiliki sejarah yang panjang. Tercatat
pada tahun 1740 Paris Academy of Science secara resmi
merekomendasikan resusitasi mulut ke mulut pada korban

jantung paru 2005:

.
.

tenggelam. Selanjutnya metode resusitasi terus


berkembang hingga Peter Safar tahun 1950-an

mengembangkan pengendalian jalan napas (airway controL)


serta metode pernapasan buatan dari mulut ke mulut dan
W.B. Kouwenhoven tahun I 960. mengembangkan metode

pijat jantung dada tertutup (closed-chest cardiac


massage). Selanjutnya kedua metode ini dipadukan menjadi
resusitasi jantung paru (RJP). Pada tahun 1914 American
H eart A s s o c iation merekomendasikan dan mensosialisasikan

metode resusitasi jantung paru. Sistem

ini

Tekanan dan rekomendasi perbaikan efektivitas


tindakan kompresi dada
Rasio kompresi dan ventilasi yang sama oleh penolong
pada semua korban (kecuali bayi baru lahir)
Rekomendasibahwa setiap napas buatandiberikan selama
1 detik dan harus dapat menyebabkan kenaikan dada.
Rekomendasi satu shock segera diikuti resusitasi
jantung paru yang digunakan saat defibrilasi korban
henti jantung akibat fibrilasi ventrikular. Iramajantung
diperiksa seti ap 2 menit.
Perubahan yang ada menitikberatkan pada informasi

tentang cara melakukan resusitasi jantung paru lebih


sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah diingat, dan
mudah dilakukan. Hal penting lainnya adalah semakin
diminimal waktu terputusnya kompresi dada sehingga
aliran darah ke organ vital dapat dipertahankan.
Rekomendasi hasil konsensus terakhir tersebut dibuat

kemudian

digunakan dan dikembangkan di seluruh dunia. Pada tahun


2005 perhimpunan berbagai organisasi bidang resusitasi
di dunia bersepakat membentuk suatu komite pemersatu
(ILCOR) bertemu dan membuat konsensus dan rekomendasi.

sebagai panduan pembentukan pedoman resusitasi bagi para

International Liaison Committee on Resuscitation

anggota ILCOR. Di Amerika, misalnya, American Heart


Association (AHA) membuat '2005 American Heart

(ILCOR) yang dibentuk tahun 1993 merupakan organisasi


yang terdiri dari berbagai organisasi resusitasi di dunia
dan dibentuk untuk melakukan pengkajian berbagai ilmu
pengetahuan resusitasi secara sistematis dan membuat
rekomendasinya. ILCOR telah dua kali mengadakan

Association Guidelines

for

Cardiopulmonary Resuscitation

and Emergency Cardiovascular Care' sedatgkan di


Eropa, European Resuscitation Council (ERC). Panduan
yang dibuat dari rekomendasi ILCOR 2005 banyakberbeda
dengan panduan-panduan yang ada sebelumnya.

konferensi, yaitu pada tahun 1999 dan 2005. Pada


konferensi pertama dihasilkan Guidelines 2000 for
C ar di opul monary Resus c it ation (CPR) and Emer g ency
Cardiovascular Care (ECC). Sedangkan pada konferensi
kedua di Texas pada 23-30 Januari2005, yang diikuti 249
peserta dari 1 8 negara dikeluarkan konsensus internasional
yang memuat kesimpulan dan rekomendasi pengobatan
berdasarkan bukti ilmiah (evidence-based medicine).

KEBERHASILAN RESUSITASI JANTUNG PARU


Henti jantung mendadaktelah menjadi penyebab kematian
utama di dunia. Di Eropa 700.000 kematian per tahun

disebabkan oleh henti jantung mendadak. Di Amerika

227

228

KEGAWAIDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PETTYAKIT DALAM

insidensnya 0,55 kernatian per 1.000 populasi/tahun


dengan kematian karena penyakit arteri koroner di luar
rumah sakit atau unit gawat darurat sebesar 330.000

(kompresi dada dan pemberian napas buatan) ditambah

defibrilasi. Sedangkan pada trauma, overdosis obat,


tenggelam, dan kebanyakan anak mekanisme henti
jantungnya adalah asfiksia di mana resusitasi terbaiknya
adalah pemberian napas buatan.
Agar resusitasi korban, baik fibnlasi ventrikular maupun
asfiksia, dapat berhasil ada 4 langkah penting yang dikenal
dengan konsep Chain of Survival, yail.t'.
l. Pengenalan dini keadaan gawat (emergency) dan

kematian per tahun sedangkan di dalam rumah sakit 250.000


kematian per tahun.

Empat puluh persen korban henti jantung mendadak


mengalami fibrilasi ventrikular (VF) saat pertama kali

diperiksa. Namun sedemikian banyaknya fibrilasi


ventrukular atau takikardia ventrikular yang terjadi pada

henti jantung mendadak, saat dilakukan rekaman

meminta banfuan pelayanan gawat darurat medis atau


pelayanan medis setempat. Pertolongan dini dan efektif

elektrokardiogram irama jantung telah berubah menjadi


asistol. Fibrilasi ventrikular merupakan depolarisasi dan
repolarisasi yang cepat dan tidak teratur di manajantung
kehilangan fungsi koordinasi dan tidak dapat memompa
darah secara efektif. Banyak korban henti jantung dapat
ditolong jika penolong segera bertindak saat masih terdapat
fibrilasi ventrikular, namun sebaliknya resusitasi kurang
berhasil bila irama jantung telah asistol.
Tindakan terbaik yang dapat diberikan pada henti
jantung akibat fibrilasi ventrikel adalah resusitasi segera

dapat mencegah henti jantung.

2.

Resusitasi jantung paru dini oleh penolong. Resusitasi


segera dapat menyelamatkan hidup dan henti jantung

akibat fibrilasi ventrikular dua hingga tiga kali lipat.

3. Defibrilasi dini. Resusitasi

jantung paru ditambah


defibrilasi dalam 3-5 menit pertama terjadinya kolaps
dapat menyelamatkan hidup hingga 49-7 5'/o. Tiap menit

penundaan defibrilasi mengurangi kemungkinan


selamat sebany ak l0

5%".

Shout for help


0pen Airway
Look for signs of life

call EMS/Resuscitation Team


Give 2-5 initial Breaths jf no regular breathing

Give 30 chest Compressions (almost 2 compressions/second)


followed by 2 breaihs Continue untill defibrillator/monitor is attached

on-Shockkable

(P

Advanced Life Support

Give 1 shock

During CPR
Maintain open airway
Ventilate and oxygenate
0btain vascular access
Verify electrode/paddle postion
and contact
Correct reversible causes
Consider:
Airway adjunct
Vasopresso rs/a ntiarrhythm ics

Monitor and Manager:


G I u co se /te m p e

ratu relC O,/e le ctro ly te s

Gambar 1. Algoritme umum penanganan henti jantung (lLCOR, 2005)

A/A sv sto le )

229

RESUSITASI JANTUNG PARU

4.

Bantuan hidup lanjut dini dan perawatan pascaresusitasi. Kualitas pengobatan selama fase pasca-

resusitasi akan mempengaruhi hasil (outcome).


Weisfeldt dan Becker (2005) mengemukakan 3 fase
henti jantung akibat frbrilasi ventrikular. Fase pertama

adalah fase elektrik yag berlangsung dalam 4 menit


pertama henti jantung. Tindakan yang penting pada fase
ini adalah defrbrilasi. Fase kedua adalah fase sirkulasi
(hemodinamik) fase ini berlangsun g antara 4 sampai 1 0
menit pertama. Pada fase ini yang penting adalah kompresi

dan ventilasi untuk memberi perfusi pada otak dan


jantung. Sedangkan fase ketiga adalah fase rnetabolik
yang berlangsung setelah 10 menit henti jantung. Pilihan
pada fase ini adalah memberi kesempatan pada otak untuk

recovery atau menurunkan kebutuhan oksigen otak


dengan cara terapi hipotermia.

HENTI JANTUNG DAN RESUSITASI JANTUNG PARU

Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah


dalam sistem sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat
terganggunya efektivitas kontraksi j antung saat sistolik.
Berdasarkan etiologinya henti jantung dapat disebabkan
oleh penyakit jantung (82,4%); penyebab intemal non-

jantung (8,6%) seperti akibat penyakitparu, penyakit


serebrovaskular, penyakit, kanker, perdarahan saluran
cerna, obstetrik/pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes
melitus, penyakit ginjal; dan penyebab eksternal nonjantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksia, overdosis
obat, upaya bunuh diri (selain yang telah disebutkan),
listrik/petir. Henti j antung dibedakan berdasarkan aktivitas
listrik jantung (elektrokardiogram), yaitu asistol, aktivitas
elektrik tanpa nadi (pulseless electrical activity, PEA),
fibrilasi ventrikel (VF), dan takikardia ventrikel tanpa nadi
(pulseless VT).
Tindakan resusitasi jantung paru dilakukan oleh tenaga

BANTUAN HIDUP DASAR


Bantuan hidup dasar (basic life support) adalah suatu
tindakan Pada saat pasien ditemukan dalam keadaan
tiba-tiba tidak bergerak, tidak sadar, atau tidak bemapas,
maka periksa respons pasien. Bila pasien tidak respons,
aktifkan sistem darurat dan lakukan tindakan bantuan

hidup

dasar.

Singkatan ABCD sudah terkenal luas dan

mempermudahtata laksana pasien henti jantung' ABCD


tersebut adalah airway, breathing, circulation' dan
defibrillation. Aitway adalah upaya untuk mempertahan

kan jalan napas yang dapat dilakukan secara noninvasif maupun invasif. Breathing adalah upaya
memberikan pernapasan atau ventilasi. Circu lation
adalah upaya mempertahankan sirkulasi darah baik
dengan obat-obatan maupun dengan kompresi dada
fiantung). Pembukaan jalan napas dengan teknik non-

invasif dilakukan dengan cara mengekstensikan kepala


(head tilt) serta mengangkat dagu (chin lift). Membuka
jalan napas dengan mengangkat rahang Qaw trust)
dilakukan bila dicuriga ada trauma kepala (fraktur
vertebra servikal). Penilaian pernapasan (breathing)
dengan memantau atau observasi dinding dada pasien
dengan cara melihat (look) nark dan turunnya dinding
dada, mendengar (listen) tdara yang keluar saat

ekshalasi, dan merasakan (feel) aliran udara yang


menghembus di pipi penolong. Bila pasien bernapas,
posisikan pasien dalam posisi pemulihan. Bila pasien
tidak bernapas atau pernapasan tidak adekuat, berikan
napas buatan 2 kali. Setiap napas diberikan 1 detik dan
terlihat menaikkan dinding dada.

Penilaian sistem sirkulasi datah (Circulation)


dilakukan dengan menilai adatya pulsasi arteri karotis.
Penilaian ini maksimal dilakukan selama 5 detik. Bilatidak
ditemukan nadi maka dilakukan kompresi jantung yang

keterangan DNAR (do not attemptresuscitation), pasien

efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 x/m,


kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung
mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan
relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada,

memiliki tanda kematian yang ireversibel (seperti

dan rasio kompresi dan ventilasi 30:2.

rigormortis, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat), atau tidak


ada manfaat fisiologis yang dapat diharapkan karena fungsi

jantung adalah defibrilasi

medis bila sudah ditegakkan masalah henti jantung.


Resusitasi janfung paru tidak dimulai bila pasien memiliki

vital telah menurun walau telah diberi terapi maksimal


(seperti syok septik atau syok kardiogenik yang progresif).
RJP dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara
efektif telah membaik, perawatan dilanjutkan oleh tenaga
medis di tempat rujukan atau di tingkat perawatan yang
lebih tinggi, ada kriteria yang jelas menunjukkan sudah
terjadi kematian yang ireversibel, penolong sudah tidak
dapat meneruskan tindakan karena lelah atau ada keadaan

lingkungan yang membahayakan atau meneruskan


tindakan resusitasi akan menyebabkan orang lain cedera,
atau keterangan DNAR diperlihatkan kepada penolong

Salah satu faktor keberhasilan penanganan henti

diti (early defibrillation).

Resusitasi jantung paru yang disertai dengan defrbrilasi


dini (dalam 3-5 menit henti jantung) akan memberikan
angka kesintasan 49-1 5% dan tiap keterlambatan
defibrilasi I menit maka kesintasan akan menurun 1 0- 1 5'
Berdasarkan hal tersebut dikembangkan alat yang dapat

mengenali irama jantung, menganalisis dan memberikan

instruksi tindakan yang perlu dilakukan. Alat yang


disebut AED (automated axternal defibrillator) ir,i
diletakkan di tempat-tempat umum dan dapat dapat
digunakan oleh orang awam pada pasien henti jantung
di luar rumah sakit.

230

KEGAWIIT-DARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PEIIYAKIT DAIJ\M

Tidak ada gerakan atau respon

Hubungi 9'll atau


nomor kontak gawat darurat
Minta alat deflbrilasi atau kirlmkan
tenaga penyelamat kedua
jika ada untuk mendapatkannya

Bebaskan jalan napas, cek pernapasan

Jika

tidak bernapas, berikan 2 kali napas bantuar


yang membuat dada terangkat

respon, cek nadi:


jelas teraba nadi

jetas:

i
i--------------- i

rrioetirz i

;5

;i
i

-.-l

Berikan siklus 30 kali kompresi dan 2 kali napas bantuan


hingga defibrilator tiba, penyedia bantuan hidup lanjut mengambil alih,
atau korban bergerak
Tekan kuat dan cepat (1 00 kali/menit) dan lepaskan penuh
lvlinimalkan interupsi pada kompresi

Berikan satu kali tembakan (shock)


Segera ulangi RJP 5 siklus

Segera ulangi RJP 5 siklus


Cek ritme tiap 5 siklus;
lanjutkan hingga penyedia bantuan hidup
lanjut mengambil alih atau korban bergerak

Gambar 2. Algoritma bantuan hidup dasar (AHA, 2005)

Gambar 3. Tindakan{indakan bantuan hidup dasar: a. Evaluasi respons pasien


b. Minta pertolongan, c Amankan jalan napas, d Evaluasi pernapasan pasien, e
Pemberian napas buatan, f. Kompresi dinding dada.

231

RESUSTTASI JANTUNG PARU

BANTUAN HIDUP LANJUT

Gambar 4. Posisi pemulihan

Bantuan hidup lanjut(Avanced Life Support) dilakukan di


fasilitas kesehatan. Tindakan bantuan hidup dasar tetap
dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut.
Pada manajemen jalan napas (airway), tindakan yang

dilakukan adalah mempertahankan patensi jalan napas


dengan head tilt-chinlift blla perlu gunakat orophatyngeal airway ataunasopharyngeal airway. Tindakan lanjut
seperti intubasi endotrakeal atau penggunaan latyngeal
mask airway (LMA) dapat dilakuan. Suplementasi oksigen
diberikan dan nilai oksigenasi dan ventilasi dengan melihat
naiknya dinding dada, saturasi oksigen, kapnograf' Pada
Gambar 5. Kompresi dinding dada dilakukan di titik tengah

pasien yang sudah menggunakan pipa endotrakeal

sternum Saat melakukan kompresi dada maka tekanan intratoraks


meningkat dan jantung paru akan tertekan. Darah dari jantung
(ventrikel kiri) akan terpompa ke sistem sirkulasi Saat kompresi
dilepas (dekompresi) maka tekanan intratoraks menurun dan
jantung-paru akan mendapat kesempaian pengisian volume

(endotracheal tub e) maka ventilasi dapat diberikan dengan


frekuensi 10-12 kali permenit dan kompresi dinding dada
dapat dilakukan 100 kali permenit tanpa terputus. Periksa

posisi pipaendotrakeal baik dengan auskultasi atau


kapnograf. Fiksasi pipa enfotrakeal agar tidak mudah lepas.
Untuk menjamin akses vascular maka pada pasien perlu

dipasang akses intravena. Lead EKG dipasang untuk


memantau adaflya aritmia atau henti jantung (asistol, PEA,
VF, atau VT tanpa nadi). Sesuai indikasi berikan cairan
dan obat untuk mengatur:irama seperli amiodaron, Iidokain,

sulfas atropine, magnesium; mempertahankan tekanan


Gambar 6. Automated external defibrillator diletakkan di tempat
umum dan digunakan saat ditemukan pasien yang dicurigai
mengalami henti jantung

darah seperli epinefrin, dopamin.


Panduan algoritma penanganan henti jantung dibagi
menjadi dua, yaitu henti jantung yang dapat dilakukan

dengarkan instruksi
Gambar 7. Langkah-langkah pemasangan AED (automated external defibriltator): a. buka tutup tas atau kotakAED,
apeks di sisi
elektroda
dan
klavikula
pada
di
bawah
sternal
kanan
sisi
yang terdengar dari mesin Reb, n,c,O. iempelkan elektroda sternal
tidak memegang
Lteiat apetJpada garis aksilaris anterior, e,f,g,h ikuti instruksi menghentikan kompresi dada saat mesin AED menganalisis,
pasien saat mesin AED melakukan shock, melanjutkan kompresi dada, dan pemberian napas buatan

232

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEIYYAKIT DALAM

Pulseless Arrest
Algorilme bantuan hidup dasar: meminta
bantuan, lakukan RJP
Bedkan oksigen jika tersedta
Pasang monitor/defibrilator jika tersedia

Shockable

'l

Cet r rm-"
R im e

sho.trhlp?

No/ Shockab/e

Aslsto e/PEA

Berikan 1 kali tembakan (shock)


. BiFasik manual: sesuai alati (pada
umumnya 120 hingga 200 J)
. Catatan: iika tidak dlketahui,
gunakan 200 J
. AED: sesuai alat
. N4onofasik: 360 J

t
;*r*
I

Berikan 5 sik us

Segera ulangi RJP sebanyak 5 siklus


Jika lersedia akses lV ateu lO, berkan vasopresor
Epinekin 1 mg lVi lO
Ulangiiap 3 hingga 5 menil
atau

Berikan selu dos s vasopresin 40 U lV/ O untuk


mengganlikan epinefrin dos s pedama alau kedua

RJF

I
Berikan 5 siklus RJP
Cek rtme
R rtm e shockable?

engisi lcharying)
h

tinggi

.
-

AED: sesuai alsl


N,4onofasikt 360 J
Segera ulangi RJP selelah tembakan
Jiks tersedia akses lV atau IO, berikan vasopresor selema RJp
(sebelum atau sesudah tembakan)
Epinefrin'1 mg lV/lO
. Ulangi tiap 3 hingga 5 menit
. atau
. Berikan satu dosis vasopresin 40 U lV/lO untuk mengganlikan
eprnefrin dosis pedama alau kedua
Benkan 5 siklus R,iP
Cek

'T",.^

Not
asisto

ridak

able
lanjulkan

rka lidak ada nadi, laniu kan ke kotak 1 0


ka lerdapat nadi mulal tala aksana poshesul

Shockable

Berlk

kotak

bih tinggi

SaaI RJP
_ Te

enit)

- lvli

resi dada

-Pa

Sa

Monofasik: 360 J
JP

'

uikan 2 ka i napas bantueni

Hrndar h peryenlrasi

IV

o H poksia
o on Hidrogen (as dosis)
o Hipo/h perka em a
o H pog ikem a
o H potermla
o
o
o
o

Toks

Tamponade,la
Tension pneum
Trombosis (kor
o lrauma

teu paru)

Gambar 8. Algoritma bantuan lanjut dasar (AHA, 2005)

defibrilasi (fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa


nadi) dan yang tidak dapat dilakukan defibrilasi (asistol
dan pulseless electrical activie).
Saat melakukan bantuan hidup lanjut, maka penyebab
henti jantung yang reversibie harus dicari dan diatasi.

PENUTUP
Perubahan pada rekomendasi tahun 2005 didasarkan pada

upaya mengurangi waktu terputusnya kompresi yang

Tamponade Jantung, Tension pneumothorax,


Thrombosis coronary, Thrombosis pulmonary), dan

mempakan waktu perfusi. Perubahan besar adalah kapan


CPR dimulai, rasio kompresi:ventilasi 30:2, perkembangan
AED, dan strategi |-shock diikuti kompresi-ventilasi.
Ilmu pengetahuan tentang resusitasi jantung paru terus
berkembang. Pedoman saat ini akan berkembang dan
berubah di kemudian hari. Saat ini prinsip resusitasi tetap

Trauma.

early recognition and call

Penyebab yang reversible adalah 5H dan 6T, yaitu


Hypovolemia, Hypoxia, Hydrogen ion (asidosis),Hypo-l
Hyperkalemia, Hypoglycemia, hypothermia, Toxins,

for

help, early CPR, early

233

RESUSITASI JAT{TUNG PARU

defibrillation, dan postresuscitation care. Berbagai


penelitian terus berjalan dengan tujuan mendapatkan

Ewy GA. Cardiocerebral resuscitation-the new cardiopulmonary

metode resusitasi dengan hasil (outcome)yang lebih baik.

Handley

REFERENSI
American Heart Association. Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation.
2000;1 02(suppl):I 1 -I3 84.
American Heart Association, In collaboration with International
Liaison Committee on Resuscitation Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care - an
international consensus on science. Resuscitation. 2000;46:l-

430.

resuscitation. Citculation. 2005: I 1 l:2134-2142


A, Koster R, Monsieurs K, GD Perkins, Davies S, Bossaert
L. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation
2005 - section 2. adult basic life support and use of automated
extemal defibrillators. Resuscitation. 2005;6'7 (suppl 1):S7-S23.
International Liaison Committee on Resuscitation. 2005 International consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment recommenda-

tions. Circulation. 2005; 1 12:IIIl -lII1 36.


Mitka M Peter J. Safar, MD j'father of CPR," innovator, teacher,
humanist. .I Am Med Assoc. 2003:289:2485-6.

31
ACUTE RESPIRATORY DIS TRESS S r/VDR OME
(ARDS)
Zulkifl i Amin, Johanes Purwoto

DEFINISI
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan

akumulasi cairan yang mengandung protein dalam


parenkimparu.
Dasar definisi dipakai konsensus Komite Konferensi
ARDS Amerika-Eropa tahun 199 4 tdd:
1. Gagal tapas (respiratory failure/distress) dengan
onset akut

2.
3.

4.

Akibat Paru sendiri

Akibat Sistemik

permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan


dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan

a
a

Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding


fraksi oksigen yang diinspirasi ( PaO, I FIO) < 200
mmHg -hipoksemia berat.

Radiograhtorak: infiltratalveolarbilateralyang sesuai


dengan edema paru
Tekanan baji kapiler pulmoner Qtulmonary capillary

wedge pressure) < 18 mmHg, tanpa tanpa tanda klinis


(Ro d11) adanya hipertensi atrial kiril(tanpa adarryatanda

gagaljantung kiri).

Bila PaO, lFIOrantara200-300 mmHg, maka disebut

(ALI)
Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor
risiko terjadinyaAll dan tidak adanya penyakit paru konik

Acute LungInjury

yang bermakna.
Acute Lung Injury (ALI) danARDS didiagnosis ketika
bermanife stasi seb agai kegagalan pernapasan berbentuk
hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan kapiler
paru.

Luka berat
Sepsis
Pankreatitis
Shock
Tranfusi berulang
DIC
Luka bakar
Obat-obatan/overdosis
Opiat
Aspirin
Phenothiazines
Tricyclicls
antidepresan
Amiodarone
Khemoterapi
Nitrofurantoin
Protamine
Thrombotic
thrombocytopenic
purpura
Cardiopulmonary
bypass
Trauma kepala
Paraquat

Aspirasi asam lambung


Emboli karena pembekuan
darah, lemak, udara, atau
calran amnton
TBC miliar

Radang paru difus/luas (cth,


SARS)
Radang paru eosinofilik akut
Cryptogenic organizing
pneumonitis
Obstruksi saluran napas atas
Asap rokok yang mengandung
kokain

Near-drowning
Terhisap gas beracun:
Nitrogen diosida
Chlorine
Sulfur dioksida
Amonia
Asap
Keracunan Oksigen
Trauma paru
Ekspose radiasi
High-altitude exposure
Lung reexpansion or
repeffusion

o
o
o
o
o

ARDS = acufe respratory distress syndrome (sindrom pernapas- an akut)


SARS = severe acute respiratory syndrome (sindrom pemapasan akut berat

dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung.


Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang
dibagi dalam tiga fase yang dapat dijumpai secara tumpang

Patogenesis dan Patofisilogi


Patogenesis ALI/ARDS dimulai dengan kerusakan pada
epitel alveolar dan endotel mikrovaskular. Kerusakan awal

234

235

ACUTE RESPIRATORY I'ITRESS SYNI,8OME (AR"DS)

tindih: inisiasi, amplihkasi, dan injuty.


Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor risiko
akan menyebabkan sel-sel imun dan non-imun melepaskan

mediator-mediator dan modulator-modulator inflamasi


didalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel
efektor seperti netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan
di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka
melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan
protease, yang secara langsung merusak paru dan
mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut

Diagnosis Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya
diagnosa kondisi yang menjadi faktor risiko ARDS (lihat

Faktor Risiko). Tanda pertama ialah takipnea, retraksi


intercostal, adanya ronkhi basah kasar yg jelas. Dapat
ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki
basah kasar. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon
dengan pemberian oksigen. Sebagian besar kasus disertai

disfugsr/gagal organ ganda yang umumnyajuga mengenai


ginjal, hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.

fase injury.

Kerusakan pada membran alveolar-kapiler


menyebabkan peningkatan permeabilitas membran, dan
aliran cairan yangkaya protein masuk ke ruang alveolar.
Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan
di alveolus, dan terjadi kerusakan lebihjauh.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium:

Analisa Gas darah: hipoksemia, hipokapnia


(sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada
emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik

Terdapat tiga fase kerusakan alveolus:


1. Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar,
nekrosis sel pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya
membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan

pelebaran intercellular junction, terbentuknya

membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara,

intravaskular diseminata (sebagai bagian dari

dan inflamasi netrofil. Juga ditemukan hipertensi

pulmoner dan berkurangtya compliance paru-

2.

Fase proliferatif: paling cepattimbul setelah 3 hari sejak


onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe II,

3.

Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi


padat karena fibrosis.

pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis


respiratorik.
leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia
(refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel),
peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis)
gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi

MODSI multiple organ dysfunction syndrome)


Radiologi
Foto toraks: pada awal proses, dapat ditemukan

lapangat paru yang relatif jernih, serial foto

kemudian tampak bayangan radio-opak difus atau

Penyebab

Ciri-ciri

Densitas dipenden (berdasar CT scan)


(terjadi Kolaps/konsolidasi)

Elastisitas

Kebutuhan volume per menit

Usaha napas

(!

Compliance)

True shunt (perfusi ruang udara


Vasokonstriksi pulmoner hipoksik terganggu
VtQ mismatch adalah komponen minor
ketidakstabilan alveolar
Disfungsi surfaktan
Kompresi normal yang berlebihan pada paru karena peningkatan
berat
(t cairan paru, inflamasi)
Disfungsi surfaktan (1 elastisitas spesifik)
J volume paru ('baby lung)
1 elastisitas dinding dada
Alveolitis fibrosis (lambat)
1 ruang rugi alveolar (alveolar dead space) [VorJVr sering 0,4-0,7

t V"o,
t elastisitas

1 kebutuhan volume per menit


Vasokonstriksi pulmoner (TxAz, endotelin)
Trombosis mikrovaskuler pulmoner
Alveolitis fibrosis
PEEP

Hipertensi pulmoner

Toraks
< 300 mmHg
< 200 mmHg

lnfiltrat bilateral

< 18 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari


peningkatan tekanan atrium kiri
18 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari
tekanan atrium kiri

<

236

KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEI\TYAKIT DALAM

patchy bilateral dan diikuti pada foto serial


berikutnya lagi gambarat conJluent, tid.ak

9.

terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau


pembesaran jantung.

CT scan : pola heterogen, predominasi infiltrat pada


area dorsal paru (foto supine).

Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar

10. Vaskulitis
I 1.

Pneumonitis hipersensitivitas
interstisial

12. Penyakit paru

Perbedaan edema paru kardiogenik dan non


kardiogenik (IRDS)

Interpretasi foto toraks berorientasi pada definisi ALI


dan ARDS, meskipun demikian terdapat keberagaman

yang sangat dipengaruhi oleh pengamat baik pada


interpretasi foto toraks dan penentuan infiltrat. pada
definisi Konferensi Konsensus Amerika-Eropa, infiltrat
harus bilateral dan konsisten dengan edema paru.
CT toraks terbukti sangat membantu dalam penelitian

patofisiologi

ALI,

Bisa menggambarkan keberagaman

inflasi paru, dan secara umum digunakan unfuk memandu


tatalaksana klinis. Otopsi dan foto toraks ALI memrnjukkan
proses yang seragam yang melibatkan kedua paru, akan
tetapi CT toraks pada awal perjalanan ALI pada pasien

dengan posisi terlentang menunjukkan terdapat


peningkatan densitas paru pada bagian dorsal, danpada

paru ventral relatif normal. Selain itu, CT sering kali


menunjukkan adanya pneumotoraks, pneumomediastinum
dan efusi pleura yang tidak terdiagnosis sebelumnya.
Setelah dua minggu dengan ventilasi mekanik, CT scan
dapat menunjukkan arsitektur paru yang berubah dan kista
emfisematosa atau pneumatokel.
Banyaknya CT atau unit Hounsfield dapat ditetapkan
menjadi masing-masing voxel (- 2000 alveolus dalam s/zce
standar 10 mm). Data ini dapat digunakan untuk menilai
proporsi dari bagian yang menarikperhatian,apakah tidak

terdapat aerasi, sedikit aerasi, aerasi normal, atau


hiperinflasi. Pada mulanya dinilai satt slice paru basal,
tetapi jelas bahwa informasi yang lebih jauh dapat diperoleh

dengan mempelajari seluruh paru. Ini memberikan (i)


rekonstruksi lobus atas dan bawah (lobus tengah sulit
untuk dipisahkan, (ii) potongan paru yang sama dapat
dinilai pada level inflasi yang berbeda atau pEEp (paru
juga digerakkan arah sefalo-kaudal dengan pernapasan)
dan (iii) gambaran paru yang lebih luas dapat dicapai
(kerusakan paru bervariasi padaALI). Namun CT seluruh
paru membutuhkan paparan yang banyak terhadap radiasi

ionisasi, dan informasi yang berbeda, mungkin lebih


berhubungan dengan ventilasi mekanik yang didapatkan
dari CT dinamik.
Diagnosis banding secara radiologi:

1.

Edemaparukardiogenik

2. Infeksi paru: viral, bakterial, fungal


3. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian
(High-altitude pulmonary edema : HAPE)
Edema paru neurogenik
Edemaparudiinduksi laringospasme
Edema paru diinduksi obat: heroin, salisilat, kokain

4.
5.
6.
7. Pneumonitis radiasi
8. Sindrom emboli lemak

PERJALANAN PENYAKIT
ARDS muncul sebagai respons terhadap berbagai trauma
dan penyakit yang mempengaruhi paru secara langsung

(seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat, dan


kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik,
trauma berat, pankreatitis). Dalam 12-48 jam setelah kejadian
awal pasien mengalami distress pernapasan dengan
perburukan sesak napas dan takipneu. Pemeriksaan gas
darah arteri menunjukkan hipoksemia yang tidak respons
terhadap oksigen melalui nasal. Infiltrat difus bilateral
terlihat pada rontgen tanpa disertai gambaran edema paru
kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury
yang paling berat dan dicirikan oleh:
' Riwayat trauma atau suatu penyakit yang menjadi

'

rmstator
Hipoksemia efrakter terhadap terapi oksigen (misal P02
< 8.0 kPa (60 mmHg) dengan 40% oksigen). Derajat
hipoksemia dapat terlihat sebagai rasio tekanan oksigen
arteri @O2) terhadap konsentrasi fraksi oksigen inspirasi
@i02l100% oksigen:FiO2 dari l). PadaARDS PO2E(O2

<261OaQ0}mmHg)

'
'

Infiltrat difus bilateral pada rontgen toraks (gambar 18.2)


Tidak ada bukti suatu edem paru kardiogeik (misalparlmonary capillary wedge pressure <18 mmHg)

TATALAKSANA PENYEBAB PENYAKIT


Penanganan secara holistik pada tahap awal penyakit
merupakan hal yang penting. Berbagai faktor yang
mengarah pada ALI harus ditangani dengan cepat dan
tepat. Termasuk diagnosis dan penanganan infeksi yang

tepat dengan drainase dan antibiotika yang tepat,


pengenalan renjatan dan resusitasi cepat, tatalaksana
trauma dan bantuan sarana/layanan pendukung yang baik.
Pencegahan: trombosis vena dalam, ulserasi akibat
tekanan, infeksi nosokomial adalah penting pada semua
pasien dengan penyakit kritis. Begitu juga pemberian nutrisi
yang adekuat. TatalaksanaARDS intinya adalah mengatasi
hipoksemia berat, mengobati penyebab dasar ARDS dan
tindakan suportif untuk mencegah komplikasi.
Empat prinsip dasar menjadi pegangan tatalaksana
ARDS. Pertama: pemberian oksigen, PEEP dan ventilasi

tekanan positif, hampir semuanya menunjukkan


keuntungan bagi pasienARDS dibalik itu dia juga memiliki

237

ACUTE RESPIRATORY DITRESS SYNI'ROME (ARDS)

potensi efek samping yang berat. Kedua, walaupun ARDS


seringkali dianggap kegagalan napas primer, kegagalan
multiorgan non paru dan infeksi adalah penyebab utama
kematian. Ketiga, pengaturan ventilasi mekanik yang hati2
terutama volume tidal terbukti berakibat komplikasi yang
lebih jarang dan merupakan satu satunya tatalaksana yang
memperbaiki survival/kesintasan. Terakhir, prognosisnya
buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak
ditangani dengan baik.

Bantuan pernafasan/Venti lator


Hipoksemia padaARDS umumnya refrakter terhadap terapi
oksigen karena adanya shunting pada pembuluh darah

melalui bagian paru yang tidak terventilasi kemudian


berakibat alveoli terisi oleh eksudat proteinaseosa
sehingga menimbulkan atelektasis.
Peran ventilasi non-invasifbelum teruji dalamALI dan

ARDS dan kebanyakan pasien memerlukan ventilasi


mekanis dengan inrubasi.

Cara dan pemberian dukungan ventilasi harus

ALI dan ARDS. Telah


sekian tahun penelitian laboratorium menunjukkan
perlukaan paru akibat ventilator (ventilator-induced lung
disesuaikan dengan patofisiologi

Nonkardiogenik (ARDS)

Kardiogenik
Riwayat penyakit
jantung
Bunyi jantung ketiga
Kardiomegali
lnfiltrat pada foto dada
distribusinya ditengah
Pelebaran pembuluh
darah mediastinum
(increased width of
mediastinum at level of
azygos vein)
Peninggian tekanan baji
afteri paru

Tidak adanya penyakit


jantung
Tidak ada bunyi jantung
yang ketiga
Jantung normal
lnfiltrat pada foto
dada distribusinya
dtperifer
Normal

Keseimbangan cairan
neqatif

MENGENALI PASIEN KRITIS


Pasien yang mengalami ARDS dapat dideteksi padatahap

awal. Deteksi dini dan observasi secara hati-hati pada


pasien berisiko merupakan hal yang penting untuk
mendeteksi tanda perburukan dan mengidentifikasi
kebutuhan unit terapi intensif. Beberapa gejala alarm dapat

diterapkan di bebagai kondisi karena terdapat pola


perburukan fisiologis yang sama pada pasien kritis yang
dapat dideteksi dengan observasi sederhana menggunakan
denl.ut nadi, frekuensi perapasan, tekanan darah, suhu,
poduksi urin dan deralat kesadarn. Pengukuran gas darah

arteri memberikan informasi tambahan tentang perhrkaran


gas dan kondisi metabolik pasien.

Frekuensi napas
Denyut nadi
Tekanan darah
Suhu
Produksi urin
Derajat kesadaran
Oksigenasi

Asidosis

volume rendah. Dari penelitian oleh ARDS Network


melibatkan 861 pasien ALI dari 75 ICU diacak untuk
mendapat volume tidal (Vr) 12 atau 6 ml/kg prediksi berat
badan. Mortalitas dikurangi menjadi22Yo dai40o/o sampai
3loh padapada kelcmpok Vr yang lebih rendah.
Continous positive air way pressure (CPAP) dapat

dilakukan dengan menggunakan masker sempit untuk

Normal atau
menurunnya tekanan
baji arteri paru

Keseimbangan cairan
positif

inj uty [YILI]). dan penelitian klinis akhir-akhir ini ditemukan


bahwa mortalitas dapat diturunkan dengan pemberian tidal

mencegah atelektasis alveolus dan mengurangi ventilasi/


perfusi yang tidak tepat serta mengurangi kerja pernafasan.
Pasien dengan gagal napas hipoksemia akut, dan sesak
berat biasanya membutuhkan ventilasi mekanik. Intubasi
endotrakhea dan pemasangan ventilasi mekanik segera
harus dilakukan.
Setelah intubasi, ventilasi terkontrol mengakibatkan
penurunan usaha bernafas dengan segera dan ikuti dengan
aplikasi PEEP dan atur konsentrasi oksigen inspirasi dalam
fraksi tinggi (FiOr). Kemudian pada perj alanan klinis, mode
ventilasi yang dibantu atau dengan dukungan (assisted/

support ventilation)dapat memberikan interaksi pasienventilator yang lebih baik dan memungkinkan peningkatan
oksigenasi (V/Q mismatch) yang lebih baik. Sebagai hasil
dari kontraksi diafragma.

Intermitten positive pressure ventilasi mekanik


mampu memompa paru, menghantarkan oksigen sesuai
dengan volume tidal dan kecepatan yang diatur. Ketentuan
volume, tekanan pemompaan, kecepatan dan prosentase
oksigen diatur agar ventilasi adekuat. Untuk mencegah

kolaps alveolus ditambahkan Positive end expiratory

<8 atau >30/menit


<40 atau >130/menit

(>380

C.

'1oO

40

C),

(<360 C. 96.80 C)
<30 ml/jam selama 3 jam

Tidak respons terhadap Perintah

Saturasi oksigen <90% atau PaO2 <


BkPa (60 mmHg) meski dengan 600/o
oksigen yng diinspirasi
pH< 7 2, bikarbonat <20 mmol/L

pressure (PEEP) 5-15 cmH2O pada akhir siklus ekspirasi.


Tekanan yang tinggi akan memacu ventilasi paru yang
sulit mengembang pada ARDS dan mengurangi curah
jantung (cardiack output)dan risiko barotrauma (contoh:
pneumotoraks). Kombinasi tekanan ventilasi yang tinggi
dan konsentrasi oksigen tinggi menimbulkan kerusakan

mikrovaskular sehingga menyebabkan edema paru


(ventilator lungitoksisitas oksigen). Vari asi dai teknik lung-

protective ventilator telah berkembang. Permissive


hipercapnia merupakan teknik yang membiarkan pasien
dengan PaCO2 tinggi ( misal 10kpa,75 mmHg) untuk
mengurangi ventilasi alveolus dan menghindari tekanan

238

KEGA\ilIIiTDARURAIAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAM

pernafasan eksesif. Inverse ratio ventilation


memperpanjang fase inspirasi daripada fase ekspirasi
sehingga volume tidal yang dihantarkan akan lebih lama
pada tekanan yang lebih rendah. Namun hal ini dapat
menyebabkan progresive air trapping. High-frequency jet

ventilasi merupakan tehnik dengan volume kecil


dihantarkan berupa udara yang diinjeksi pada frekuensi
tinggi ( contoh 1 00-300/menit). Ventilasi pasien pada posisi

terlentang bermanfaat mengurangi gravitasi dan


atelektasis. Extru corporeal membrane oksigenasi
@CMO) merupakan pengalihan sirkulasi melalui mernbrane
external untuk menyediakan oksigen dan membuang
. karbondioksida.

Tidak satupun dari strategi ventilasi

mampu meningkatkan prognosis ARDS namun masingmasing bermanfaat.

frekuensi napas. Protokol ARDS Network mentargetkan


normokapnia, dengan frekuensi napas maksimal 35, untuk
memperkecil asidosis respiratorik. Hal ini membuka paru

terhadap peregangan tidal berulang, dan dapat


mengakibatkan hiperinfl asi dinamik akibat waktu ekspirasi

yang memendek (meskipun hal ini tidak muncul dalam


penelitianARDS Network). Selain itu, membiarkan PaCO,
meningkat di atas normal tidak berbahayapada banyak
paslen.

Jika asidosis hiperkapnia terjadi perlahan, asidosis


intraselular terkompensasi dengan baik, dan peningkatan
yang berhubungan dengan tonus simpatik dapat
memperbesar cardiac outpul dan tekanan darah. Meskipun

TARGETKADARGAS DARAH

asidosis respiratorik dapat memperburuk hipertensi


pulmoner, dan menginduksi aritmia miokardial namun
dampaknya seringkali kecil, khususnya jika telah terjadi
kompensasi metabolik. Selain itu, pada modelALI iskemireperfusi, penatalaksanaan hiperkapnia mengurangi

Seperli yang telah dibahas sebelumnya, terdapat banyak

perlukaan paru dan apoptosis. Bagaimanapun penelitian


klinis yang membolehkan hiperkapnia harus dilakukan

variabel untuk dipertimbangkan ketika menentukan gas


darah sasaran pada ARDS. Sebagai contoh jika psien
mengalami cedera otak traumatik, mungkin tidak tepat
untuk dibiarkan sedikit hiperkapnia.

Sasaran Oksigenasi dan FiO,

Harus disepakati altara faktor yang menentukan


oksigenasi, termasuk paru yang teraerasi buruk atau tidak
teraerasi yang luas, vasokonstriksi pulmoner hipoksik, dan

tercampur saturasi oksigen vena, dan sasaran PaOr.


Adanya hubungan altara gatgguan kognitifdan saturasi
oksigen lSaOr) <90yr, mengesankan bahwa SaOre" 90o/o,
biasanya PaO, > 60 mmHg adalah target yang rasional.
Karena ventilasi tekanan positif dapat menurunkan cardiac output, penting juga dipertimbangkan oksigenasi
jaringan pada proses yang menentukan ini.
Selain PEEP, peningkatan FiO, digunakan untuk
memperbaiki SaOr. Meskipun demikian, FiO, dapat juga
menyebabkan perlukaan jaringan termasuk kerusakan alveolar difus. Keseimbangan antara peningkatan tekanan
jalan napas dan FiOrtidak diketahui, tetapi FiO, yang tinggi
biasanya dianggap kurang merusak. Sebagian hal ini

disebabkan oleh kerusakan laveolar difus itu sendiri


melindungi paru dari hiperoksia, mungkin melalui induksi
pemangsa sebelumnya untuk spesies oksigen reaktif.
Kesepakatan yang masuk akal adalah untuk memulai FiO,
pada satu dan dititrasi turun sampai d" 0,6. Pada pasien
dengan hipoksemia berat, pengukuran tambahan seperti
nitrit oksid yang terhirup (iNO), posisi telungkup dapat
dicoba, bersama dengan target SaO, yang lebih rendah.

Target Karbondioksida

sebelum tatalaksana hiperkapnia dipertimbangkan.


Hiperkapnia harus dihindan pada pasien dengan atau dalam
risiko peningkatan tekanan intrakranial.

TEKNIK TAMBAHAN UNTUK MEMPERBAIKI


OKSIGENASI

Postur telungkup (prone)


Pada 70o/o pasien ARDS, posisi telungkup akan
menghasilkan peningkatan PaO, yang signifikan, dengan

peningkatan PaO, yang sedikit pada posisi terlentang


(sup ine).Mekanisme yang terlibat

meliputi rekrutmen paru

dorsal, bersamaan dengan kolapsnya paru ventral;


bagaimanpun perfusi lebih mudah didistribusikan untuk
mencapai V/Q sesuai yang lebih baik. Meskipun penelitian
klinis mortalitas belum menemukan perbaikan mofialitas,
analisa post-hoc menduga bahwa mortalitas dapat
diturunkan pada sebagian besar pasien hipoksemia.

MANIPULASI SIRKULASI PU LMONER


Nitrit oksid yang terhirup (iNO) dan prostasiklin (PGIr)
mungkin dapat digunakan untuk merltrunkan shunt
pulmoner dan after-load verttrrkel kanan dengan
menurunkan impedansi arteri pulmoner. Ketika
vasokonstriksi pulmoner hipoksik aktif, terdapat distribusi
aliran darah pulmoner dari daerah dengan ventilasi buruk
ke daerah dengan ventilasi nonnal untuk mencapai PaO,
Baik iNo maupun PGI, _merupakan vasodilator poten,
karena mereka dapat dikirmkan sebagai campuran gas (iNO)
atau terinhalasi (PGIr), mereka dapat terkirim pada paru

dengan ventilasi baik. Keduanya bekerja untuk

Strategi V, rendah akan menghasilkan peningkatan PaCO2

vasodilatasi sirkulasi pulmoner lokal dan meningkatkan

kecuali ventilasi menit diperbesar dengan peningkatan

redistribusi aliran darah pulmoner dari paru dengan

239

ACUTE RESPIRATORY DITRESS SYNDROME (ARDS)

ventilasi buruk, menurunkan shunt pulmoner dan


memperbaiki oksigenasi. Almitrin intravena merupakan
vasokonstriktor pulmoner selektif yang dapat menguatkan
vasokontriksi pulmoner hipoksik, dan meskipun ini dapat
memperbaiki oksigenasi sendiri, almitrin mempunyai efek

sinergistik dengan iNO.


NO terinhalasi atau PGI, dapat juga digunakan untuk
mengurangi afterload venfrkel kanan; biarpun peningkatan
cardiac output jarang terjadi pada ARDS. PGI, akan
meningkatkat cardiac output pada ARDS, meskipun
demikian, terdapat vasodilatasi pulmoner nonspesifik
dengan peningkatan aliran darah melalui daerah paru

pasien yang respons. Dua percobaan besar iNO telah


menunjukkan tidak ada perbaikan mortalitas atau
pembalikanALl. Namun iNO aman dan secara signifikan
memperbaiki oksigenasi inisial (dibandingkan dengan
plasebo atau tanpa NO), tetapi hal ini tidak terus-menerus

melebihi 12-24 jam, dan beberapa pasien yang menerima


plasebo mengalami peningkatanPaOre" 20o/o dalam4 jam.
Oleh karena itu, peran iNO padapsien denganARDS masih
tidak pasti. Pada pasien dengan hipoksia berat, mungkin
dalam kombinasi dengan almitrin, iNO akan memberikan
pertolongan sementara.

dengan ventilasi buruk, menghasilkan perburukan

Prostasiklin lnhalasi

oksigenasi.

PGI, (sampai 50 nglkg per menit) memperbaiki oksigenasi


sama efektifrrya dengan iNO padapasienARDS. PGI, secara

Nitrit Oksid lnhalasi


Nitrit oksid merupakan relaksan otot polos yang
diturunkan dari endotel. Nitrit oksid juga mempunyai
peranan fisiologis penting lainnya termasuk
neurotransmisi, pertahanar. host, agregasi trombosit,
adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dosis iNO serendah
60 bagian per milyar dapat meningkatkan oksigenasi,

terus-menerus dinebulisasi pancaran karena waktu


paruhnya yang singkat (2-3 menit). Keuntungan yang
potensial meliputi peningkatan pelepasan surfaktan dari
sel tipe II yang teregang, menghindari potensi komplikasi

meskipun demikian, dosis yang umum digunakan dalam


ARDS adalah 1-40 bagian per milyar, dengan dosis yang

turunan dari PGlryang mempunyai aktivitas yarrg- serupa,


dengan durasi kerja yang lebih panjang, tanpa bufer alkalin.
Namun begitu tidak ada agen yatg taTah menunjukkan
perbaikan keluaran pasien ARDS.

lebh tinggi membuthkan penurunan tekanan arteri


pulmoner. Peningkatan PaO, melebihi 20% dianggap

iNO, dan toksisitas yang minimal. Namun PGI, terlarut dalam

bufer glisin alkalin, yang mana itu sendiri dapat


menyebabkan inflamasi jalan napas. Iloprost adalah

sebagai respon positif, dan iNO harus dilanjutkan pada


dosis efektifminimal.

NO inhalasi dapat diberikan terus-menerus atau


menggunakan inj eksi respirasi intermiten. Pemberian
biasanya dalam bentuk angka medis NOA{2, dan harus
tercampur dengan cukup untuk menghindari pemberian

TERAPI FARMAKOLOGI LAIN

konsentrasi NO yang bervariasi. Direkomendasikan


konsentrasi respirasi NO dan NO, diukur, dengan metode
elektrokimia atau dengan chemiluminesence. Metode

tambahan untuk

elektrokimia akurat sampai I ppm, dimana adekuat untuk


penggunaan klinis, dan kurang mahal. Kadar NO dan NO,
pada lingkungan lokal sebagian besar tergantung dari
konsentrasi atmosfer, meskipun demikian masih umum
latihan untuk mencari gas ekspirasi. Pengikatan terhadap
hemoglobin pada sirkulasi pulmoner secara cepat
menginaktifasi NO, dan dampak sistemik hanya dilaporkan
setelah konsentrasi tinggi dari iNO. Kadar metahemoglobin
sistemik mungkin dipantau, dan biasanya kurang dati 5%6
selama penggunaan klinis iNO, tetapi harus dibandingkan
dengan kadar dasar. Nitrit oksid dapat menyebabkan
toksisitas paru melalui kombinasi dengan oksigen radikal
bebas, dan melalui metabolisme NO menjadi NO, namun

Terapi Pengganti Surfaktan

hal ini tampaknya bukan masalah klinis utama.


Hanya 40-10% dengan ARDS mengalami perbaikan

Terlepas dari perbaikan mortalitas pada sepsis setelah

aktivasi protein-C, tidak terbukti terapi farmakologi


ALI dan ARDS berdasarkan banyak

penelitian memberi luaran lebih baik.

Disfungsi surfaktan adalah abnormalitas penting dan awal


yang berperan dalam kerusakan paru pada ALI. Surfaktan

paru mengurangi tegangan permukaan yang menjaga


stabilitas alveolus, mengurangi kerja napas dan cairan paru.
Selain itu surfaktan mempunyai peranan penting dalam
pertahanan paru /zosl. Spesies oksigen reaktif, fosfolipase,
dan peningkatan penneabilitas protein mengarah pada
hambatan fungsi surfaktan, komposisinya tidak normal,

dan pergantiannya jelas bertambah. Cedera paru yang


diinduksi ventilasi sulit terjadi tanpa disfungsi surfaktan.
Oleh karena itu, menarik untuk mempertimbangkan terapi
penggantian surfaktan eksogen.
Meskipun membesarkan hati data laboratorium dan
penelitian kecil, penggantian surfaktan eksogen tidak dapat

oksigenasi dengan iNO (yang respon), dan hal ini


sepertinya akibat vasokontrikso pulmoner hipoksik aktif

direkomendasikan tanpa data yang lebih banyak.


Meskipun sebuah penelitian besar mengenai surfaktan

pada sisanya. Penambahan almitrin i.v. dapat mempunyai


dampak aditif pada oksigenasi, dan dapat meningkatkan

aerosol gagal mempengaruhi keluaran atau menunjukkan


efek fisiologi, masih diragukan apakah surfaktan dapat

240

KEGAWAIDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT

DALAII

mencapai paru distal karena dosis yang rendah

dat'rain
out' dari aerosol. Selain itu, preparat yang digunakan

sirkulasi. Pasien terpasang ventilator denganARDS rentan


terhadap infeksi nosocomial dan lavage bronchoalveolar

sensitif terhadap inhibisi protein dan tidak mengandung


protein, yang jelas menurunkan tegangan permukaan. Hasil

dapat mengidentifikasi patogen. Multi organ failure


merupakan komplikasi dari ARDS yang memerlukan
intervensi khusus (seperti dialisis pada gagal ginjal).

yang lebih menjajikan telah ditemukan dengan preparat


yang mengandung protein surfaktan diberikan dengan
penanaman; meskipun data definitif masih diperlukan.

TERAPIANTI INFLAMASI

Optimalisasi Hemodinamik
Penurunan tekanan arteri pulmonal mampu mengurangi
derajat kebocaran kapiler pulmonal. Hal ini dapat dicapai

dengan menghindari pemberian cairan yang eksesif,


penggunaan diuretik dan penggunaan obat-obat yang

bekerja sebagai vasodilator pada arteri pulmonal.


Adakalanya dipandu oleh ballon-tipped pulmonary
artery catheter (swan-ganz) yang mengukur tekanan arleri
pulmonal, tekanan baji kapiler pulmonal (menggambarkan
tekanan atrium kiri) dan kardiak output (menggunakan
tehnik dilusi termal). Tujuan managemen hemodinamik
adalah mencapai keseimbangan optimal antara tekanan
arteri pulmonal yang rendah unfuk mengurangi kebocoran
cairan terhadap alveoli, tekanan darah sistemik adekuat
untuk mempertahankan perfu si j aringan dan organ (contoh
ginjal) dengan kardiak output cukup dan hantaran oksigen
optimal pada jaringan ( hantaran oksigen sebagai fungsi
dari konsentrasi haemoglobin, saturasi oksigen darah dan
kardiak output). Obat-obatan yang digunakan sebagai

vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat atau kalsium


antagonis, obat-obat ini juga menyebabkan vasodilatasi
sistemik disertai hipotensi dan gangguan perfusi organ.

Inotropik dan vasodilator seperti dobutamin atau


norepinephrin (noradrenalin) diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah sistemik dan kardiak
output terutama pada sepsis (disebabkan oleh septikemia
atau peritonitis), sepsis berkaitan dengan vasodilatasi.
Nitric oxide inhalasi digunakan sebagai vasodilator arteri
pulmonal selektif. Karena diberikan secara inhalasi, obat
ini didistribusikan secara selektif pada regio ventilasi
seperti paru yang menimbulkan vasodilatasi. Vasodilatasi
terhadap alveoli akan meningkatkan ventilasi/perfusi
secara signifikan sejalan dengan meningkatnya pertukaran
udara. NO diinaktifkan oleh hemoglobin. Hal ini penting

untuk memantau konsentrasi udara yang dihirup,


nitrogen dioxide dan methemoglobin untuk mencegah
toksisitas.

Managemen Umum Lainnya


Koreksi anemi dengan transfusi darah meningkatkan kadar
oksigen dalam darah dan hantaran oksigen ke jaringan.
Dukungan nutrisi ( misalnya enteral feding melalui jejunostomy) merupakan hal yang penting untuk memelihara

target kunci terhadap tatalaksana adalah kaskade inflamasi


yang berasal dari kerusakan jaringan. namun kondisi ini
sulit dipahami dan belum ada obat anti inflamasi dapat
mengatasi ards. kortikosteroid tidak meningkatkan luaran

tetapi agen ini dapat digunakan untuk mengurangi


alveolitis fibrosis, namun ini berdasarkan penelitian kecil,
dengan cros s-oyer, menunjukkan penurunan mortalitas.
penting untuk menyingkirkan infeksi sebelum memulai steroid, dan melanjutkan dengan pengawasan yang agresif.

hal ini dapat meliputi bilasan bronkoalveolar untuk


menyingkirkan pneumonia yang berhubungan dengan
ventilator.. ibuprofen digunakan untuk mengurangi jumlah
aktivasi neutrofil dan pentoksifilin digunakan karena dapat
mengurangi produksi interleukin- 1. hemohltrasi digunakan
untuk mengatur keseimbangan cairan tetapi pada pasien
sepsis juga bermanfaat untuk menyingkirkan endotoxin.
saat ini telah dikatahui adanya kaitan altara sistem
koagulasi dan respon imun terhadap sepsis dengan
mengaktivasi citokine, monosit, komplemen, koagulasi dan
sistem fibrinolitik sebagai bagian respon inflamasi sistemik

terhadap infeksi. protein c rekombinan memiliki efek


antiinflamasi dengan menghambat produksi citokine dan
adhesi sel dan melalui hambatan produksi trombin. obatobat ini telah terbukti menurunkan mortalitas terutama bila
digunakan lebih dini pada pasien sepsis berat dan multiple organ failure.

Prognosis
Meskipun telah banyak penelitian mekanisme infamasi
ARDS dan tehnik ventilasi dan kontrol hemodinamik,
namun mortalitas pasien ARDS masih sangat tinggi > 50
0%.
Pasien yang masih hidup mungkin dengan fibrosis paru
dan gangguan difusi oksigen namun beberapa pasien
sembuh sempuma walaupun telah melewati masa kritis
pada

dengan trauma paru yang berat yang membutuhkan


peruwatatyang lama.

KONTROVERSI DAN MASALAH YANG BELUM


TERPECAHKAN

kestabilan pasien pada kondisi kritis, dan koreksi

A.Manajemen Cairan
Apakah sebaiknya volume intravaskular sebaiknya

hipoalbuminemia akan meningkatkan tekanan osmotik


plasma sehingga mengurangi kebocoran cairan dari

peningkatan permeabilitas paru, edema paru dijaga pada

diturunkan padaARDS tetap menjadi kontroversial. Karena

241

ACUTE RESPIRATORY DITRESS SYNDROME (ARDS)

tekanan hidrostatik kapiler paru yang rendah atau normal.

Masih diperdebatkan apakah resolusi edema paru


difasilitasi dengan merendahkan tekanan hidrostatik
mikrovaskular dengan diuretik dan restriksi cairan.
Ventilasi tekanan positif dan PEEP menurunkan cardiac
output dan penghantaran oksigen. Cardiac output dijaga
adekuat dengan menjamin adekuatnya volume cairan
intravaskular. Sepsis dan shock, yang merupakan faktor
risiko utama pada ARDS sering memerlukan pemberian
cairan masif karena hipotensi dan penurunan perfusi
jaringan. Faktor-faktor ini menjadi alasan bahwa ekspansi
volume mungkin diperlukan dan diuretik serta
keseimbangan cairan yang negatif sebaiknya dihindari.
Dipihak lain bukti retrospektif menunjukkan bahwa
keseimbangan cairan negatif diharapkan pada ARDS.
Penurunan tekanan mikrovaskular paru menurunkan cairan

konservatif, pada protokol yang bebas menghasilkan ratarata keseimbangan cairan yang positif mendekati 7000m1.
Tidak ada perbedaan kematian pada 60 hari tetapi strategi
konservatif ini menghasilkan durasi yang lebih pendek dari
ventilasi mekanik dan tinggal di ICU. Tidak ada komplikasi
tambahan.
Pada sebuah studi lain, randomisasi pasien ALI pada
insersi dan penggunaan kateter arteri pulmonar atau kateter
vena sentral menunjukkan tidak ada perbedaan pada

sut'vival 60 hari atau disfungsi organ. Ditemukan lebih


banyak aritmia dengan kateter arteri pulmoner tetapi tidak
ada perbedaan insiden kegagalan ginjal atau penggunaan
vasopresor, diuretik atau dialisis.

REFERENSI

di paru meskipun

ada kegagalan paru berat dan


keseimbangan cairan negatif bersih kumulatif serta

Amir Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2'd National Symp.

penurunan berat badan secara bermakna lebih tinggi pada


yang berlahan hidup dibandingkan yang meninggalpada
ARDS. Trial ini mempunyai masalah dalam pada pemilihan
pasien dengan prognosis yang lebih baik tetapi mereka

Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakafia Mei 2003


Bongard FS, Sue DY and Vintch JRE. Acute Respiratory Distress
Syndrome. In. Curent Diagnosis & Treatment Critical Care 3'd
Ed. New York: McGraw Hill, 2008: 295-309.

tidak menduga bahwa keseimbangan cairan mungkin

Bourke SJ. Acute Respiratory Distress Syndrome.

In:

determinan penting pada keluaran. Pada sebuah studi,

Respiratory Mecicine. Oxford: Blackwell, 2007: 19l--196.


Parsons PE. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Hanley ME,

survival lebih baik pada ARDS yang setidaknya

Welsh CH (eds). Current Diagnosis and Troatment in

mengurangi 25%o tekanan tepi kapiler paru dibandingkan


dengan yang tidak. Rata-rata lama perawatan di ICU dan
penggunaan ventilator lebih cepat pada pasien-pasien
yang mendapat cairan lebih sedikit dari 1 liter dalam 36
jam pertama. Tidak ada efek pelemahan pada fungsi sistem
organ meskipun asupan cairanyang rendah.
Pada sebuah studi strategi yang konservatif dari
penggantian cairan dibandingkan dengan yang lebih
bebas. Penggunaan kateter vena sentral untuk panduan
sama seperti banyaknya urin yang keluar dan tekanan arteri
rata-rata dimana pasien dengan ALI diatur menurut
protokol. Pada I hari pertama, ada keseimbangan cairan

Pulmonary Medicine. New York: Lange,2003:161-6.


Grippi MA. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Fishman AP,
Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds).
Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders.3'd ed.
New York: McGraw-Hill, 2002: 1023-8.
Moss M, Ingram RH Jr. Acute Respiratory Distress Syndrome. In
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.l5'i ed.
New York: McGraw-Hill, 20Ol:1523-6.
Bersten AD. Acute respiratory distress syndrome. In Bersten AD,
Soni N and Oh TE(eds) Oh's Intensive Care Manual.
London: Elsevier; 2O03: 329-337.
Papadakis MA and McPhee SJ. Acute Respiratory Distress
Syndrome In Current Medical Diagnosis & Treatment New
York: McGraw Hill, 2009: 284-286.

kumulatif negatif yang sangat kecil untuk protokol

32
SYOK HIPOVOLEMIK
Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN

PATOFISIOLOGI SYOK

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh

gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan


kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul
akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti,
perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yangberat
(syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru
(syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol
(syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok
neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafrlaktik).

darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke


jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah

ETIOLOGI

pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi

jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan


menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:

Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan
berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna
menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak
melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya

traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk


tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan

Syok hipovolemik adalah tergangguanya sistem sirkulasi

cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung


akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan
bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan

akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang


berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif
atau kehilangan plasma darah.

arterial rata-rala (mean arterial pressurelMAP) jatuh


hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis
dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.

Perdarahan
Hematom subkapsular hati
Aneurisma aorta pecah
Perdarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
Kehilangan plasma
Luka bakar luas
Pankreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraselular
Muntah (vomitus)
Dehidrasi

Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh
baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor

tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang


mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap
tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard,
bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah
jantung, penentu utama dalam perfusi laringan, adalah

Diare

Terapi diuretik yang sangat agresif


Diabetes insipidus
lnsufisiensi adrenel

242

243

SYOKHIFOVOIT,MIK

hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung.


Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian
ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat
bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah j antung.

Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal,
maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang
dilepaskan oleh bakteri gram negatifyang mati di dalam
usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta
peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi
sel dan menyebabkan depresi jantung.

Ringan
(<20% volume

darah)

dingin
pengisian

Ekstremitas

Waktu

kapiler meningkat
Diaporesis
Vena kolaps
Cemas

Sedang
volume
darah)

l2O-40%

Sama, ditambah
Takikardia
Takipnea
Oliguria
Hipotensi ortostatik

Berat
(>40% volume

darah)
Sama, ditambah:
Hemodinamik tak
stabil
Takikardia
bergejala
Hipotensi
Perubahan
kesadaran

Perfusi ke susunan sarafpusat dipertahankan dengan baik

sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran


adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik
ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat

Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan
hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jatang karena
cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi

cepat, terutama pada pasien usia lanjut danyangmemiliki


penyakit berat di mana kematian mengancam. Dalam waktu
yang sangat pendek dari terjadinya ketusakan akibat syok
maka dengan resusitasi agresif dan cepat.

kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara


syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti
aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara

fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan


mempertahankal garaTTrdan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama
dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi urin.

DIAGNOSIS
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda
berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan
adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan denganjelas atau berada dalam

traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan


jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka
biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun

GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik
akibat non-perdarahan serla perdarahan adalah sama meski
ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok'
Respons fisiologi yang normal adalah memperlahankan
perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan
terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh
vena yang kolaps, pelepasan horrnon stres sefia ekspansi
besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan

menggunakan cairan intersisial, intraselular dan


menurunkan produksi urin.
Hipovolemia rin ga.n (1 20%o v olume darah) menimbulkan

sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi


penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal

tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan.


Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi,
kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia.
Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan
adanya hipovolemia.
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat
kardiogenik karena penatalaksanaan yang berbeda.
Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan

mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan


menemukan adatya tanda syok kardiogenik seperti
distensi vena jugularis, ronki dan galop 53 maka semua
dapat dibedakan.

takikardia ringan dengan sedikit gejala yang tampak,


terutama pada penderita muda yang sedang berbaring
(Tabel2). Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume
darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas,

meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi


berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi
ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka
gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun
drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, pasien
menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung.

TATALAKSANA
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang
harus dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi
kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernapasan dan diberikan

resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau


cara lain yang memungkinkan seperli pemasangan kateter
CYP (central venous pressure) atau jalur intraarterial.

244

Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes


dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia)
atau dengan catrangaramseimbang seperti Ringer's laktat
(RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis

tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok


hipovolemik. Pemberian 2 - 4 L dalam 20- 30 menit
diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan
untuk meningkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat
dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan
menggunakan kateter Swan-Ganz. Bllahemodinamik tetap
tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum
teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar
hemoglobin <10 gldL perlu penggantian darah dengan
transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan.
Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani
tes cross-matclz (uji silang), bila sangat darurat maka dapat
digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau Onegatif.

Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang


berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamin,
vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah
volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin
infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik.
Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit

KEGAU/ATDARURAI':AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAIVI

dilanjutkan 60 mcg/kg dalam I jam dalam dekstros 5oh dapat


membantu meningkatkan MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus

dijaga. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan

bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan


organ akhirjarang terjadi dibandingkan dengan syok septik
atau traumatik. Kerusakan oryandapatteqadi pada susunan
sarafpusat, hati dan ginjal dan ingat gagal ginjal merupakan

komplikasi yang penting pada syok ini.

REFERENSI
Boeuf B, et a1 Naloxone for shock (review): The Cochrane Library:
issue 4, 2005
Hofmeyr JG Hypovolaemic shock: best practice & r'esearch. Clin

Obst and Gynaecol. 2001 ;15:4.

Koelling TM, et al. Approach to the patient with hypotension and


shock. Kelleyh textbook oJ inlernal medicine. Edisi ke-4. Dalam:

Humes HD, et al, ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2000.
Kumar, Clark. Intensive care medicine. Clinical medicine. Edisi ke5. In: Kumar, et al, ed. London: Elsevier Science; 2002.
Landry DW, et al. The pathogenesis of vasodilatory shock. New

Engl J Med. 2001;345:588-95.


Maier RV Approach to the patient with shock. Harrison's principles of internal medicine. Edisi ke-16. Dalam: Kasper DL, et
al, ed. New York: McGraw-Hil1: 2005

33
SYOK KARDIOGENIK
Idrus Alwi, Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN

DEFINISI SYOK KARDIOGENIK

Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama


pada pasien yang dirawat dengan infark miokard akut.
Terapi reperfusi segera (primary PCl) untuk kasus infark

Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh


penunrnan curah jantung sistemik pada keadaan volume

intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan


hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi
ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada

miokard akut menurunkan insidens syok kardiogenik


tersebut. Kejadian syok kardiogenik sebagai komplikasi
infark miokard menumn dari 20o/o pada tahun 1960an

kemudian menetap +

80%

kiri cukup baik.


Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis.
Nilai cert off tntuk tekanan darah sistolik yang sering
dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan
darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
keadaan di mana fungsi ventrikel

selama 20 tahun. Syok

kardiogenik pada infark miokard kebanyakan terjadi pada


infark miokard dengan elevasi segmen ST dibandingkan
dengan yang tanpa disertai elevasi segmen ST.
Gagal ventrikel kiri terjadi pada hampir 80% dari syok
kardiogenik akibat infark miokard akut. Sedangkan sisanya
adalah akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur
septum ventrikular, gagal jantung kanan predominan dan

mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik.


Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda
hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental,
kulit dingin dan oliguria.
Syok kardiogenik didehnisikan sebagai tekanan darah
sistolik < 90 mmHg selama > I jam di mana :

ruptur dinding atau tamponade.


Penelitian menunjukkan shategi revaskularisasi dini
menurunkan mortalitas dalam 6 dar' 12 bulan dan lebih

.
.
.

superior dibandingkan terapi medis agresif awal. Walaupun

tindakan percutaneus coronaty intet'vention ( PCI ) dini


alau coronary artery bypass graft surgery (CABG)

bermanfaat, sekali diagnosis syok ditegakkan, laju


mortalitas tetap tinggi ( + 50 o/o ), walaupun mendapat

Tak respons dengan pemberian cairan saja,


Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,
Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks
kardiak < 2,2 Umenit per m2 dan tekanan baji kapiler

paru> 18mmHg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah :
. Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat > 90
mmHg dalam I jam setelah pemberian obat inotropik,
dan
. Pasien yang meninggal dalam I jam hipotensi, tetapi
memenuhi kriteria lain syok kardiogenik.

intervensi, dan separuh kematian terjadi dalam 48 jam


pertama. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerusakan
miokard luas yang ireversibel dan kerusakan organ vital.
Bukti baru menduga bahwa respons inflamasi sistemik,
aktivasi komplemen, pelepasan sitokin infl amasi, ekspresi
inducible nitric oxide synthase ( iNOS ) dan vasodilatasi
yang tak adekuat mempunyai peran penting, tidak hanya
pada genesis syok tetapi jluga outcome setelah syok.
Syok kardiogenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik
akibat terjadinya depresi berat dari indeks kardiakl.2,2
(Llmin)lm2 dan hipotensi tekanan sistolik arterial menetap
(< 90 mmHg), di samping terjadinya peningkatan tekanan
baji kapiler paru (PCWP) > I 8 mmHg.

EPIDEMIOLOGI
Penyebab syok kardiogenik yang terbanyak adalah infark
miokard akut, di mana terjadi kehilangan sejumlah besar

miokardium akibat terjadinya nekrosis. Insidens syok

245

246

KEGAWAiTDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

kardiogenik sebagai komplikasi sindrom koroner akut


bervariasi. Hal ini berhubungan dengan definisi syok
kardiogenik dan kriteria sindrom koroner akut yang dipakai
sangat beragam pada berbagai penelitian.
Syok kardiogenik terjadi pada 2,9 %o pasien angina
pektoris tak stabil dan2, I o% pasien IMA non elevasi ST.
Median waktu perkembangan menjadi syok pada pasien
iri adalah7 6 jam dan 94 jam, di mana yang tersering setelah
48 jam. Syok lebih sering dijumpai sebagai komplikasi IMA
dengan elevasi ST daripada tipe lain dari sindrom koroner
akut. Pada studi besar di negara maju, pasien IMA yang
mendapat terapi trombolitik tetap ditemukan kejadian syok
kardiogenik yang berkisar attara 4,2 o/o sampai 7,2 oh.

Tingkat mortalitas masih tetap tinggi sampai saat ini,


berkisar antar a 7 0-100%.

ETIOLOGI

klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik


berkompensasi dengan peningkatan resistensi vaskular
sistemik yang te4'adi sebagai respons dari penurunan curah
Jantung.

Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin


setelah infark miokard. Pada pasien pasca IM, diduga
terdapat aktivasi sitokin inflamasi yang mengakibatkan
peninggian kadar iNOS, NO dan peroksinitrit, di mana
semuanya mempunyai efek buruk multipel

.
.
.
.
.
.

antaralail:

Inhibisi langsung kontraktilitas miokard


Supresi respirasi mitokondriapada miokardnon iskemik.
Efek terhadap metabolisme glukosa

Efekproinflamasi
Penurunanresponsivisitaskatekolamin
Merangsangvasodilatasi sistemik

Sindrom respons inflamasi sistemik ditemukan pada


sejumlah keadaan non infeksi, antara lain trauma, pintas
kardiopulmoner, pankreatitis dan luka bakar. Pasien dengan
infark miokard (IM) luas sering mengalami peningkatan

Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat


menyebabkan terjadinya syok. Di antara komplikasi
tersebut adalah : ruptur septal ventrikel, ruptur atau
disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang
keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok
kardiogenik tersebut. Sedangkan infark ventrikel kanan
tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat

suhu tubuh, sel darah putih, komplemen, interleukin,


C-reactive protein dan petanda inflamasi lain. NO yang
disintesis dalam kadar rendah oleh endothelial nitric orlde (eNOS) sel endotel dan miokard, merupakan molekul
yang bersifat kardioprotektif.

menyebabkan terjadinya syok.

PREDIKTOR

Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok


kardiogenik adalah takiaritmia atau bradiaritmia yang
rekuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi ventrikel

kiri,

dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia

supraventrikular ataupun ventrikular.


Syok kardiogenikjuga dapat timbul sebagai manifestasi
tahap akhir dari disfungsi miokard yang progresif, termasuk

akibat penyakit jantung iskemia, maupun kardiomiopati


hiperlrofi k dan restriktif.
Picard MH et al, melaporkan, abnormalitas struktural
dan fungsional jantung dalam rentang lebar ditemukan
pada pasien syok kardiogenik akut. Mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan fungsi
sistolik ventrikel kiri awal dan regurgitasi mitral yang

dinilai dengan ekokardiografi, dan tampak manfaat


revaskularisasi dini tanpa dipengaruhi nilai fraksi ejeksi
ventrikel kiri pada awal (baseline) atau adanya regurgitasi
mitral.

Pengenalan pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk


berkembang menjadi syok dapat memfasilitasi pengiriman

lebih awal pasien risiko tinggi sebelum terjadi awitan


hemodinamik.
Sejumlah sistem skor menggunakan model prediktif
perkembangan syok telah dilaporkan untuk membantu
strategi dalam mengambil keputusan. Pada penelitian
GUSTO I, usia, tekanan darah sistolik, frekuensi jantung
dan klas Killip memberikan > 85 % informasi prediktif.
Empat variabel yang sama, bermakna pada populasi
GUSTO III dan memberikan > 95 yo informasi prediktif.
(ons et) instabilitas

Prediktor utama syok pada populasi PURSUIT mencakup


usia, tekanan darah sistolik, depresi Sl frekuensijantung,
tinggi, infark miokard dan ronki pada pemeriksaan fisis.
Studi awal pada infark miokard akut mengidentifikasi

indikator signifikan untuk prognostik pasien berdasarkan


gambaran klinis dan keadaan hemodinamik. Klasifikasi

Killip dibuat
PATOFISIOLOGI
Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok
kardiogenik adalah depresi kontraktilitas miokard yang
mengakibatkan lingkaran setan penuflrnan curah jantung,
tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan selar5'utnya
tef adi penunuran kontaktilitas dan curah jantung. Paradigma

berdasarkan gambaran klinis (tanda-tanda

gagaljantung kongestif, suara 53 gallop, ronki, gambaran


radiografik yang menunjukkan gagal jantung kongestif,
edema paru dan syok kardiogenik). Sedangkan klasifikasi
Forrester dibuat berdasarkan keadaan hemodinamik yaitu:
angka PCWP QtulmonarT capillary wedge pressure) dar'
CI (cardiac index) yang dihubungkan dengan tingkat
morlalitas. Semakin tinggi nilai PCWP dan semakin rendah
CI maka mofialitas akair meningkat.

247

SYOKKARDIOGENIK

elektrokardiografi dapat membantu untuk menentukan

MANIFESTASI KLINIS

Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya
syok kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard
akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut,

dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit


jantung koroner sebelumnya.
Padakeadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark
miokard akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai
seminggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien
mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tibatiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau
bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya
palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung
yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan merasakan
letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.

etiologi dari syokkardiogenik. Misalnya pada infarkmiokard


akut akan terlihat gambarannya dari rekaman tersebut.
Demikian pula bila lokasi infark terj adi pada ventrikel kanan
maka akan terlihat proses di sandapan jantung sebelah
kanan (misalnya elevasi ST di sandapan V4R). Begitupula
bila gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadinya
syok kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman
aktivitas listrik jantung tersebut.

f,'oto roentgen dada : Pada foto polos dada akan terlihat


kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau edema
paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi
komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral
akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti
paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset

infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru


menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel
kanan yang dominan atau keadaan hipovolemia.
pemeriksaan yang non-invasif
ini sangat banyak membantu dalam membuat diagnosis dan
mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini
relatifcepat, aman dan dapat dilakukan secara langsung di

Ekokardiografi : Modalitas
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan
tekanan darah sistolik yang menurun sampai < 90 mmHg,
bahkan dapat turun sampai < 80 mmHg pada pasien yang
tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denlut jantung
biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi
simpatis, demikian pula dengan frekuensi pemapasatyang
biasanya meningkat sebagai akibat kongesti di paru.
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki.
Pasien dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan
keadaan hipovolemik yang menurut studi sangat kecil
kemungkinannya menyebabkan kongesti paru.
Sistem kardiovaskular yalg dapat dievaluasi seperti
vena-vena di leher seringkali meningkat distensinya. Letak

impuls apikal dapat bergeser pada pasien dengan


kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan
jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade.
Irama gallop dapat timbul yang menunjukkan adanya
disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan
regurgitasi mitral atau defek septal ventrikel, bunyi bising
atau murmur yang timbul akan sangat membanfu dokter
pemeriksa untuk menentukan kelainan atau komplikasi
mekanikyang ada.
Pasien dengan gagaljantung kanan yang bermakna akan
menunjukkan beberapa tand a-+arrda arfiara lain : pembesaran
hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi trikuspid atau
terjadinya asites akibat gagaljantung kanan yang sulit untuk
diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun
intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal
jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin,
menunjukkan terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.

Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (EKG): Gambaran

rekaman

tempat tidur p asien (bedside). Keterangan yang diharapkan


dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antaralain: penilaian
fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental),

fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi),


tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanyashunt (misalnya
pada defek septal ventrikel denganshunt dari kiri ke kanan),
efusi perikardial atau tamponade.

Pemantauan hemodinamik : Penggunaan kateter SwanGanz untukmengukur tekanan afieri pulmonal dan tekanan
baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya
untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik,
serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan.
Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang
berat, akan terjadi peningkatan tekanan baji paru. Bilapada
pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru
lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut
memrnjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut
cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau
hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan
baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah.
Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan

perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik).


Minimalisasi ale rl o ad sangat diperlukan, karena bila terj adi
peningkatan afterload akatmenimbulkan efek penurunan
kontraktilitas yang akan menghasilkan penurunan curah
jantung.

Saturasi oksigen : Pemantauan saturasi oksigen sangat


bermanfaat dan dapat dilakukan pada saat pemasangan
kateter Swan-Ganz, yatg jluga dapat mendeteksi adanya
defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang kaya
oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan

248

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDAIIG ILMU PEI{YAKTT DALA.IU

terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan


dengan saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri
pulmonal.

Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus


dikerjakan sebelum transportasi jika fasilitas tersedia.
Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor
dengan memberikan continuous positive airway

PENATALAKSANAAN
Volume pengisian ventrikel kiri harus dioptimalkan, dan
pada keadaan tanpa adanya bendungan paru, pemberian
cairan sekurang-larangnya25O ml dapat dilakukan dalam
10 menit. Oksigenasi adekuat penting, intubasi atau

ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan


abnormalitas difusi oksigen. Hipotensi yang terus

berlangsung memicu kegagalan otot pernapasan dan dapat


dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis.
Laporan adanya penurunan secara dramatis mortalitas
syok kardiogenik dengan melakukan revaskularisasi awal
mulai muncul pada akhir tahun 1980. Uji klinis secara acak
yang menguji superioritas dan generalisabilitas strategi
revaskularisasi awal telah dilakukan di USA yaitu SIIOCTK
trial. Pada penelitian SHOCK dilaporkan peningkatan
surrival 3}hari dari 46,7 o/omenjadi 56 o/o dengan strategi
revaskularisasi awal, namun perbedaan 9 % absolut tidak
bermakna ( p:0,11 ). Pada pemantauan, perbedaan survival pada strategi revaskularisasi awal menjadi lebih besar
danbermakna setelah 6 bulan (36,9 o/ov 49,7 Yo,p:O,027 )
dan satu tahun ( 33,6 oh v 46,7 Yo ) untuk reduksi absolut
I 3,2 o (9 5 % CI 2,2 %o sampai 24,1 Yo, p < 0,03 ). Terdapat
l0 subkelompokyang diuji, termasukjenis kelamin, usia,
riwayat IM, hipertensi, diabetes, infark miokard anteriol

syok awal atau akhir dan transfer atau status rawat


langsung. Manfaat revaskularisasi awal didapatkan pada
semua subkelompok kecuali pada usia lanjut. Manfaat
revaskularisasi awal lebih besar pada usia < 75 tahun pada
30 hari (4l,4Yov 56,8yo,95 yo CI-27,8 Yo sampai-3,0 o/o)
dan 6 bulan (44,9 o y 65 o/o,95 % CI -31,6 o sampai -

l,lYo).

pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG


harus dimonitor secara terus menerus, dan peralatan
defibrilator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus
tersedia (33% pasien pada revaskularisasi awal SHOCK

trial menjalani resusitasi kardiopulmoner, takikardia


ventrikular menetap atau fibrilasi ventrikel sebelum
randomisasi).

Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan


elevasi ST jika diantisipasi keterlamb atan angiografi lebih
dai2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik < 100 mmHg yang mendapatkan trombolitik
pada meta analisis FTT adalah 28,9%o dibandingkan 3 5, I %

dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98, p < 0,001).


Meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan
ini dapat memfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan
tekanan perfusi koroner.
Pada syok kardiogenik karena infark miokard non

elevasi ST yang menunggu kateterisasi, inhibitor


glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan.

Langkah 2. Menentukan secara Dini Anatomi


Koroner
Hal ini merupakan langkahpenting dalam tatalaksana syok

kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa (pump

failure) iskemik yang predominan.

Pasien di Rumah Sakit

komunitas harus segera dikirim ke fasilitas pelayanan


tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatasi segera
dengan IABP. Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh

darah yang tinggi, penyakit left main, dan penurunan

fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan


instabilitas hemodinamik mempunyai korelasi dengan
anatomi koroner. Suafu lesicircumflex atau lesi koroner
kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada keadaan

tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri,

LANGKAH PENATALAKSANAAN SYOK KARDIO.


GENIK

bradiaritrnia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati.

Langkah 3. Melakukan Revaskularisasi Dini


Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan

Langkah L Tindakan Resusitasi Segera


Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu
pasien dibawa untuk terapi definitif. Mempertahankan
tekanan arleri rata-rata yatg adekuat untuk mencegah
sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau
noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat
hipotensi, harus diberikan secepahlya untuk meningkatkan
tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis

minimal yar,g dibutuhkan. Dobutamin

dapat

dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau


digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output
tanpa hipotensi yang nyata.

pemilihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak

yang membandingkan PCI dengan CABG pada syok


kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG
emergensi padapasienleft main atatpenyakit 3 pembuluh
besar. Laju mortalitas di rumah sakit dengan CABG pada
penelitian SHOCK dan regis try adalah sama dengan outcome dengan PCI, walaupun lebih banyak penyakit arteri
koroner berat dan diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang

menjalaniCABG
Rekomendasi terapi reperfusi dini syok kardiogenik
karena komplikasi infark mokard akut dapat dilihat pada
Gamhar2.

249

SYOKKARDIOGENIK

Tanda klinis: hipoperfusi, CHF, edema paru akut


Penyakit dasar yang paling mungkin ?

Pem be rian

- Furosemid lV 0,5-1,0 mg/kg


- [,lorfin lV 2-4 mg
- Oksigen bila diperlukan
- Nitrogliserin SL, kemud an 10-20 mcg/menit
bila TDS > 100 mmHg
- Dopamin 5-15 mcg/kg/menit lV bila TDS
70-100 mmHg dan tanda/gejala syok (+)
- Dobulamin 2-20 mcgikg/menit lV
bila TDS 70-100 mmHg dan tanda/gejala syok G)

Pemberian
- C airan
- Transfusi darah

- lnlervensi spesifik
- Vasopresor

TDS > 100 mmHg

Lihat guldelire AC C/A H A


tentang lnfark miokard
dengan elevasi ST

TDS 70-100 mmHg


dan tanda/gejala syok (-)

TDS 70-100 mmHg

TDs < 70 mmHg


dan tandaigejala syok (+)

Gambar 1. Skema penatalaksanaan syok kardiogenik

Delayed onset shock


Pem eriksaan ekokardiografi untuk
menyingkirkan defek mekanikal

Syok awal, diagnosa dibuat


pada saat pasien masuk RS

Rujuk ke pusat invasif

Terapi fibrinolitik pada keadaan


1 > 90 menii baru dapat dilakukan PCI
2 Awitan lM < 3 jam
3 Tidak ada kontraindikasi
Rujuk ke puset invasif
yang memadai

yang memadai

Kateterisasi jantung
dan angiografi koroner

CABG segera

Bila tidak memungkinkan

Revaskularisasi m ekanis
segera dengan PCI atau CABG
direkomendasikan pada
1 Usia < 75 tahun
2. Elevasi ST, LBBB atau lM posterior
3 Terjadi syok < 36 jam setelah awitan ll\4
4, Revaskularisasi dapat dilakukan dalam
waktu 18 jam setelah syok

Gambar 2. Rekomendasi terapi reperfusi dini pada syok kardiogenik karena komplikasi infark miokard akut

250

reGAWAJTDARURAIAN MEDIK DI BIDAI{G ILMU PENYAKIT DALAM

PERAN INTRAAORTIC BALOON PIJMP

Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA,


direkomendasikan pemasangan IABP dini pada pasien

syok kardiogenik yang merupakan kandidat strategi


agresif.

Kombinasi menurunkan afterload, meningkatkan


tekanan diastolik untuk perfusi koroner dan meningkatkan
curah jantung, membuat IABP merupakan pilihan atraktif
pada syok kardiogenik.

Pada Gambar 3 dapat dilihat diagram intra aortic


ballon pump dan posisinya dalam Aorta.
Pada Gambar 4 dapat dilihat efeklntra Aortic Ballon
Pwnp selama sistol dan diastol

et al 1 , dalam penelitiannya terhadap I I pasien dengan syok


persisten walaupun mendapat vasopressor, IABP dan PCI.
Output urin dan tekanan darah meningkat nyata dan72 %o

tetap hidup dalam 30 hari. Selanjuhrya dilaporkan pula


penurunan mortalitas dari 67 % menjadi 27 o/o dengan
inhibitor NOS , NG-nitro-L-arginine methyl ester,pada uji
acak skala kecil pada 30 pasien.

Inhibisi kaskade komplemen pada tingkat C5


menghasilkan penurunan respons iNOS berlebih, terhadap
iskemia dan reperfrrsi dan secara teoritis dapat menghambat
terjadinya syok. Hasil awal COMplement inhibition in
Myocardial infarction treated with Angioplasty
(COMMA) study menunjukkan inhibisi C5 dikaitkan
dengan laju syok dan kematian yang lebih rendah pada
pasien risiko tinggi yang menjalani PCI primer, walaupun
tanpa efek terhadap ukuran infark.
Saat ini telah didisain penelitian SHOCK-2 (Shouldwe

inhibit nitric Oxide synthase in patients with Cardiogenic shock?) untuk menguji inhibitor NO, L-NMMA,
dengan uji acak yang baik pada pasien syok persisten
walaupun infarct related artery (IRA) paten.

alth seal

RERERENSI
Cotter G, Kaluski E, Blatt A, et al. L-NMMA (a nitric oxide
synthase inhibitor) is effective in the treatment of cardiogenic
shock. Circulation 2000; i01 : 1358-61
Ducas J, Grech ED. ABC of interventional cardiology. Percutaneous

coronary intervention: cardiogenic shock.

BMJ
2O03;326:1450-2.
Davies CH. Revascularization for cardiogenic shock. Q J Med

ne way valve

Gambar

Diagram intra aoftic ballon pump

(kii)

dan

posisinya dalam aorta (kanan)

w
I
|

r. rela.anlL-g
2) (onsurs o<s,ger oteh

20Ol;94:57 -67

Fibrinolilytic Therapy Trialist (FTT) Collaborative Group.


Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute

: collaborative overview of early


mortality and major morbidity results from all randomized tria1s of more than 1000 patients. Lancet 1994;343:311-22,
Goldberg RJ, Samad NA, Yazebski J et al Temporal trends in
cadiogenic shock complicating acute myocardial infarction. N
Engl J Med. 1999;340:1162-8.
Goldbetg RJ, Gore JM, Alpert JS, et al. Cardiogenic shock after
myocardial infarction : incidence and mortality from community-wide perspective, 1975 to 1988. N Engl J Med
myocardial infarction

ne--'un
I I a ueninorarran rekanan d asloti(
r o(a'd merLrJn I | 5r. Menin_okatkan oerfJs, koroner

199

Gambar 4. Efek intra aortic ballon pump selama sistolik


dan diastolik

HARAPAN MASADEPAN
Peran NG-monomethyl-L-arginine (L-NMMA), suatu
inhibitor nitrik oksida selektif, cukup menjanjikan. Cotter

l;325:ll17

-22

Hochman JS. Cardiogenic shock complicating acute myocardial


infarction. Circulation 2003;107 :2998-3002.
Hochman JS, Sleeper LA, Webb J, et al. Early revascularization in
acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock.
N Engl J Med 1999;341:625-34
Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al One-year survival
following early revascularization for cardiogenic shock. JAMA
2001:,285:190-2.
Hochman JS, Buller CE, Sleeper LA, et al. Cardiogenic shock

complicating acute myocardial infarction : etiologies,


management and outcome : overall findings of the SHOCK trial

registry J Am Coll Cardiol. 2000;36:1063-70.


Holmes DR, Bates ER, Kleiman NS, et al Contemporary reperfusion
therapy for cardiogenic shock : the GUSTO-I trial experience

2st

SYOKI(ARDIOGEMK

J Am Coll Cardiol 1005;26668-74.


Hasdai D, Califf RM, Thomson TD, et a1. Predictors

shock after thrombolitic therapy for acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2000;35:136-43.
Hochman JS, Sleeper LA, Godfrey E, et al. Should we emergently
revascularize occluded coronaries for cardiogenic shock : an
Intemational randomizes trial of emergency PTCA/CABG-trial
design. Am Heart J 1999;137:313-21.

D, Topol EJ, Califf RM, et al. Cardiogenic shock


complicating acute coronary syndrome . Lancet 2000;356:74956.

Hasdai

AK, Sleeper LA, Forman R, et al. Cardiogenic shock caused


by right ventricular infarction : a report from the SHOCK registry. J Am Coll Cardiol 2003;411273-9.

Jacobs

of cardiogenic

Menon V, Hochman JS. Management of cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. Heart 2002;88:531-7.
Picard MH, Davidoff R, Sleeper LA, et al. Echocardiographic predictors of survival and response to early revascularization in
cardiogenic shock. Circulation 2003 ;1 07 :27 9 -84.
Webb JG Sanborn TA, Sleeper LA, et al. Percutaeous coronary
intervention for cardiogenic shock in the SHOCK trial registry.
Am Heart J 2001;14l:964-'70.

34
PENATALAKSANAAN SYOK SEPTIK
Khie Chen, Herdiman T. Pohan

sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak


adekuat sehingga mengganggu metabolisme seVjaringan.

PENDAHULUAN

Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti

Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap


infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam

perdarahaan, infark miokard, anafilaksis, emboli paru dan


yang cukup sering ditemukan adalah syok septik.

sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi.


Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang
saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan
dalam konsensts American College of Chest Physician
dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992
yang mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi
sistemik (sys/e mic infl ammatory respons e syndromel SIRS),
sepsis berat dan syok/ renjatan septik. (Tabel 1)
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan

Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi


penunman tekanan darah (tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih
dari 40 mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun
telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan
darah dan perfusi organ.
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera oleh karena semakin cepat

syok dapat teratasi, akan meningkatkan keberhasilan


pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan
kematian. Oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok

Sindrom respons inflamasi sistemik


(SIRS: sysfemic infl ammatory response
syndrome) respon tubuh terhadap inflamasi
sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut :
suhu > 38oC atau <360C
frekuensi jantung >90 kali/menit
frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2
<32 mmHg
leukosit darah >12.000/mms, < 4.000/mm3 atau batang

septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk


mendapatkan hasil yang diharapkan.

SYOK DAN MEKANISME HEMODINAMIK

>10o/o

Pada keadaan syok terjadi gangguan hemodinamik yang


menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat dan

Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan
manifestasi SIRS

mengganggu metabolisme pada sel dan jaringan. Terdapat


8 faktor hemodinamik yang berperan dalam terjadinya syok,
antara lain: 1). Faktor pertama yang berperan penting dalam

Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi
atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan

terjadinya syok adalah volume intravaskular. Volume

penurunan kesadaran.

Sepsis dengan hipotensi


Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg dan tidak
ditemukan penyebab hipotensi lainnya.
Renjatan septik
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan
resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan

intravaskular berperan dalam mempertahankan tekanan

dan aliran balik vena (venous return) ke jantung.


Penurunan volume intravaskular akibat kehilangan darah,
plasma atau cairan dapat mempengaruhi aliran balik dan

curah jantung; 2). Jantung merupakan faktor kedua


terpenting yang mempengaruhi sirkulasi hemodinamik.
Curah jantung dipengaruhi oleh frekuensi dan irama

perfusi organ.

252

253

PENATALAKSTANAAI\ SYOK SEPTIK

jantung, kontraktilitas dan keseimbangan preload dan


faktor keti ga
yang berperan penting dalam mempertahankan sirkulasi.
Perubahan tonus afieriol akan mempengaruhi pengisian
ventrikel, tekanan arteri dan distribusi volume sistemik.
Perbedaan tonus arteriol pada organ akan menyebabkan
aft er I o ad ; 3 ). Res i stens i vaskular merupakan

maldistribusi volume darah yang mengakibatkan


ketidakseimbangal attara suplai dan kebutuhan oksigen;
4). Mikrosirkulasi dan kapiler berperan dalam transportasi
cairan dan nutrisi. Gangguan sirkulasi mikrovaskular akan
menyebabkan gangguan metabolisme sel, sedangkan
peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan
terjadinya edema interstisial; 5). Resistensi venula
berperan dalam 10-15% resistensi vaskular. Peningkatan
resistensi venula dan tekanan hidrostatik menyebabkan

MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada


tingkat selular (termasuk disfungsi endotel), gangguan
perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi,
iskemia reperfusi dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain
yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor

humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant


tance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin
bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping dari
subs

terapi yang diberikan.

PENATALAKSANAAN SYOK SEPTI K

keluarnya cairan dari intravaskular ke interstisial; 6).

Penatalaksanaan syok septik merupakan bagian dari


penatalaksanaan sepsis yang komprehensif, mencakup
eliminasi patogen penyebab infeksi, eliminasi sumber

Hubungan arteri-vena tanpa melalui kapiler akan

infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila

menyebabkan hipoksia dan gangguan transpor nutrisi; 7).


Kapasitas vena dapat menampung hingga 80o% volume
sirkulasi. Penurunan tonus vena dan peningkatan kapasitas
vena akan mempengamhi volume sirkulasi sistemik; 8).
Faktor terakhir yang berperan adalah patensi pembuluh

terjadi kegagalan organ atau renjatan, vasopresor dan


inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ,
gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi

darah. Obstruksi pembuluh darah menyebabkan


penunrnan aliran balik vena.

PATOFISIOLOGI SYOK SEPTIK DAN KEGAGALAN


ORGAN

Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi


sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida)
yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses

inflamasi yang melibatkan berbagai mediator infl4masi

yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO dan berbagai


mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan
proses homeostatis dimana terjadi keseimbangan antara
proses infl amasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeosta-

sis pada proses inflamasi

ini terkait

dengan faktor

suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut.


Bilamana terjadi proses inllamasi yang melebihi kemampuan
homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang
maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang
bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan
gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ.
Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan

diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila

respons imun maladaptif pejamu terhadap infeksi.


Penatalaksaan hipotensi dan syok septik merupakan
tindakan resusitasi yang perlu dilakukan segera mungkin.
Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,

dimulai sejak pasien tiba unit gawat darurat. Tindakan


mencakup aitway : a). breathing; b). circulation; c).
oksi geni sasi, ter api cair an (kristaloid dan/ atau koloid),
vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya
dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 812 mmHg, tekanan arterirata-rata (MAP)>65 mmHg dan
produksi urin >0,5 ml/kg/jam.

Oksigenisasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai
akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena
gangguan ventilasi maupun perfusi. Traspor (delivety)
oksigen ke janngan dapat pula terganggu akibat keadaan

hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan


SIRS
lL-6

itihLrlL q pkcdnen
Stimulls
eksogen

(endotoks nl

disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO


menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah

Amp

ifikasi

MODS
lan.r

llepar

aE
CRp

L,B

Paru

ARDS

L-10

Jantung

Disfungs
K

LB P

sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain

yang juga berperan adalah disfungsi miokard akibat


pengaruh berbagai mediator sehingga terjadi penurunan
curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi

dan syok pada sepsis.


Berlanjutnya proses inflamasi yang maladapatif akan
menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/

]NOS

Endotel

vaskular
Aktivitas prokoag!lan
kemotaksis nekofil

No

Vasodilatasi

1. Disfungsi organ multipel sebagai hasil akhir dari


proses inflamasi yang berlanjut. (Modifikasi dari Dhainaut)
Gambar

254

pemrrunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah


akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen oleh

KEGAWAXDARUruITAN MEDIK DI BIDANG ILMU PET.TYAIilT DALAM

klinis pasien, sarana yang tersedia, keuntungan

dan

kerugian pemberian transfu si.

eritrosit menurun. Traspor oksigen ke jaringan


dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi

vaskular, mikrotrombus dan gangguan penggunaan


oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.

Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua

faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi,


delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat
perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat

dan gagal napas bila disertai dengan penurunan


kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
perlu segera dilakukan. Oksigenisasi bertujuan mengatasi

hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di


darah, meningkatkan trasport oksigen dan memperbaiki
utilisasi oksigen di j aringan.

Terapi Cairan
Hipovolemia dapat terjadi pada sepsis sebagai akibat
peningkatan kapasitas vaskular (penurunan aliran balik
vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun, kehilangan

cairan melalui pernapasan atau keringat), terjadinya


perdarahan dan kebocoran kapiler. Pada keadaan
hipovolemik akan terjadi gangguan transpor oksigen dan
nutrisi ke jaringan dan menyebabkan terjadinya hipotensi
dan renjatan.

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan


pemberian cairan baik kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer
laktat), maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan pada
terapi awal karena lebih murah dan mudah didapat, tetapi
perlu diberikan dengan volume yang lebih besar. Volume
cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidakkurang atauprur berlebih. Secara klinis respons terhadap
pemberian cairan terlihat dari peningkatan tekanan darah,
pemrmnan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan

Vasopresor dan Inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan
hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara
adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi.
Hipotensi terjadi sebagai akibat vasodilatasi atau sebagai

akibat disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan


curah jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri ratarata(MAP) 60 mmHg, atautekanan darah sistolik 90mmHg.
Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi urin
dapat menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan
fungsi organ. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin
dengan dosis >8 mikrogram(mcg),&g/menit, norepinefrin
0,03 - 1, 5 mcg/kg/menit, fenileferin 0, 5 - 8 mc g,&g/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang

dapat digunakan dobutamin dosis 2-28 mcglkg/menit,


dopamin 3 -8 mcglkg/menit, epinefrin 0, I -0, 5 mcglkgimenit
atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).

Bikarbonat
Bikarbonat telah lama digunakan dalam mengkoreksi
asidemia pada sepsis. Namun terapi bikarbonat untuk

koreksi asidemia pada sepsis saat ini diragukan

manfaatnya, dengan alasan bahwa bikarbonat sebagai


bufer bermanfaat pada tingkat selular; sedangkan pada
sepsis dan renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dengan
konsekuensi terjadinya gangguan traspor karbondioksida
dari jaringan, sehingga akan terjadi pH sel yang semakin
rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH
< '7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/I, dengan disertai
upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

kulit dan ekstremitas, produksi urin dan membaiknya


penurunan kesadaran. Pada sarana yang lebih lengkap atau
di unit rawat intensif dapat dipantau dengan mengukur
tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan
tekanan venajugular, ronki, galop 33 dan penurunan saturasi

oksigen.

Albumin merupakan protein plasma yang juga berfirngsi


sebagai koloid. Albumin berfungsi mempertahankan
tekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum albumin yang

rendah (<2 gldl) disertai tekanan hidrostatik melebihi


tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (paclc red cell) diperltkan pada
kdadaan perdarahan aktif, atau bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada keadaan tertentu misalnya
iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan
dicapai pada sepsis dipgrtahankan di atas 8 hingga l0 g/

dl. Namun pertimbangan dalam memberikan transfusi


bukan berdasarkan kadar Hb semata, tetapijuga keadaan

DisfungsiRenal
Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi
secara akut, disebabkan karena gangguan perfusi ke organ tersebut. Bilamana pasien dalam keadaan hipovolemik
atau hipotensi, keadaan ini harus segera diperbaiki dengan

pemberian cairan secara adekuat, terapi dengan


vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Pada keadaan
oliguria, pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh
karena pemberian cairan secara agresifdapat menyebabkan

edema paru. Dopamin dosis renal (1-3 mcglkg/menit)

seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi


ginjal pada sepsis, akan tetapisecara evidence based terapi
ini tidak terbukti menurunkan mortalitas dan menurunkan
kebutuhan akan dialisis.
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat

dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu


ontinuous hemofi ltr atioz). Pada hemodialisis digunakan
gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma,
(c

255

PENATALAKSANAAN SYOK SEPTIK

sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan


hidrostatik. Teknik hemofiltrasi yang digunakan berupa
continuous art eiov enous hemofi ltratior (CAVH) atau c irculation of dialysate on ultrafiltrate chamber (CAYHDF).

Baik hemodialisis ataupun hemofiltrasi merupakan terapi


pengganti yang saling melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan
kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah
stabil dapat dilakukan hemodialisis. Hemofiltrasi memiliki

kelebihan dalam memperbaiki kontraktilitas miokard,


memperbaiki transpor oksigen dan memodulasi respons
imunologis melalui bersihan mediator infl amasi.

Nutrisi
Nutrisi merupakan terapi suportif yang penting dan harus
diperhatikan dalam perawatan pasien sepsis. Pada sepsis
terjadi slress yang menyebabkan gangguan metabolisme
berbagai zat nutrisi. Di satu pihak terjadi hiperkatabolisme
akibat kebutuhan yang meningkat, sedangkan keadaan
gangguan perfusi dan hipoksia menyebabkan proses utilisasi

dan kontraktilitas dengan oxygen delivery

darr

demand. Protokol tersebut mencakup pemberian cairan


kristaloid dan koloid bolus 500 ml tiap 30 menit untuk
mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila
tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg,
diberikan vasopresor hingga >65 mmHg dan bila MAP >
90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi

oksigen vena sentral (ScvO2); bila ScvO2<70% dilakukan


koreksi hematokrit hingga diatas 30Yo. Setelah CVP, MAP

dan hematokrit optimal namun ScvO2 < 70oA, dimulai


pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP< 65
mmHg atau frekuensi jantung >120 kalilmenit. (Gambar 2)
Hasil penelitian pada 130 pasien dengan 133 kontrol
didapatkan penumnan mortalitas pada kelompok early
goal directed therapy 30,5% dibandingkan kontrol46.5%
dengan perbaikan pada parameter ScvO2, kadar laktat
darah, defisit basa lebih rendah dan pH darah lebih tinggi.

dan pengangkutan sisa metabolisme menjadi terganggu. Pada

metabolisme glukosa te{adi peningkatan produksi (proses

glikolisis dan glukoneogenesis), ambilan (uptake) dan


oksidasinya pada sel; peningkatan produksi dan penumpukan
laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi

,/
diin

insulin. Pada metabolisme lemak terjadi lipolisis dan


hipertrigliseridemia dan proses katabolisme pada metabolisme
protein.
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein
(asam amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu
diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara
enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara

-\

i, paralisis (jika
) atau kekurangan

l*

parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah perlu

<65mmHo r.

dilakukan oleh karena berbagai penelitian menunjukkan


manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan

0batWsoaklll

Transfusi eritrosit sam pat


hematokrit > 30%

mortalitas.

Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi dicoba pemberiannya pada
sepsis berat dan renjatan dengan hasil tidak terbukti
menurunkan mortalitas. Saat ini terapi kortikosteroid hanya
diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal, dan dapat
diberikan secara emprik bila terdapat dugaan keadaan

Perawatan rumah sakit

Gambar 2. Early goal directed therapy (Sumber Rivers 2001)

tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus


intravena 4 kali sehari selama 7 haripada pasien renjatan
septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan

REFERENSI

kontrol.

Annane D, Sebille Y Charpentier C. Effect of treatment with low


doses of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in
patients with septic shock. J Am Med Assoc. 2002;288(7):862-

EARLY GOAL DIRECTED TREATMENT


Penelitian yang dilakukan Rivers dengan membandingkan
tatalaksana yang disebut early goal directed treatment
dengan terapi standar. Inti dari tatalaksana ini bahwa terapi
mencakup penye suaian beban j antun g p r e I o ad, aft e r I o ad

71.

Astiz ME, RackowEC. Septic shock. Lancet 1998;351:1501-5.


Balk RA. Severe sepsis and septic shock, definition, epidemiology
and clinical manifestation. Crit Care C1in. 2000;16(2):179-92.
Chertow G, Sayegh M, Allgren RL. Is the admioistration of dopamine associated with adverse of favorable outcome in acute renal
failure? Am J Med. 1996;101:49.

256

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving sepsis campaign


guidelines for management of severe sepsis and septic shock.
Crit Care Med. 2004:32(3);858-71.
Dhainaut JF, Marin N. Sepsis induce multiple organ dysfunction
syndrome. In: Dhainaut JF, Thijs L, Park G (eds). Septic shock.
London. WB Saunders Co. 2000. p.321-26
Jindal N, Hollenberg SM, Dellinger RP, Pharmacologic issues in the
management of septic shock. Crit Care Clin 2000;16(2):233-

49.
Jumois D. Prophylaxis and management of acute renal failure during sepsis. In: Dhainaut JF, Thijs LG Park G, editors. Septic
shock. London: WB Sauders co. 2000 p. 511-20.

KEGAW'ITDARURr'TTAT{ MEDIK DI BIDANG ILMU PEIYYAKIT

DALI\M

Members of the American College of Chest Physician/Society of


Critical Care Medicine Consensus Conference Committee.
AmericanCollege of Chest Physician/Society of Critical Care
Medicine Consensus Conference: Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of intovative therapies in
sepsis. Crit Care Med. 1992;20:864-74.
Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et.al. Early goal-directed therapy in
the treatment of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med
2001,345:1368-77 .
Singer M. Management of multiple organ failure: guidelines but no

hard and fast rules. J Antimicrob Chemother.


(SupplA): I03-12.

1998;41

35
RENJATAN ANAFILAKTIK
Iris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi

PENDAHULUAN

menghadapi keadaan tersebut sangat diperlukan.

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian

berkaitan dengan anafilaksis, diagnosis, terapi dan

dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan


dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek

pencegahan.

samplng.

ANAFILAKSIS ATAU SYOK ANAFILAKTIK

Tulisan ini akan membahas beberapa pengertian yang

Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru


di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat

Bila pada bagian pendahuluan dijelaskan perbedaan


anafilaksis dengan reaksi anafilaktoid, maka berikut ini

membawa maut juga. Hipokalemia, intoksikasi digitalis,


keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik merupakan
contoh-contoh efek samping yang potensial berbahaya.

dikemukakan pengertian anafilaksis dan syok anafilaktik.


Banyak anggapan bahwa reaksi alergi obat yang dapat
mematikan adalah syok anafilaktik. Seperti terlihat pada
Tabel 1, syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi

Gatal-gatal karena alergi obat, mengantuk karena


pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi

klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan

efek samping yang ringan. Diperkirakan efek samping

adanya

hipotensi yaflg tyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah


syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi
terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara

terjadi pada 6 sampai 15 % pasien yang dirawat di rumah


sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-10 %o dari
efek samping.

keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi


tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas
merupakan gejala utamanya.
Justru gejala yang terakhir ini yang sering terjadi dan
bahkan ada laporan yang menyatakan kematian karena
anafilaksis dua pertiga disebabkan oleh obstruksi saluran
napas (terutama pada usia muda), dan sisanya oleh kolaps
kardiovaskular (terutama usia lanjut).
Ciri khas yang pertama dari anahlaksis adalah gejala

Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi


alergi obat. Meskipun terdapat berbagai definisi mengenai
anafilaksis, tetapi umumtya para pakar sepakat bahwa

anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial


dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera
setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus

lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan


antibodi disebut sebagai reaksi anafilaktik. Sedangkan
yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi
anafilaktoid tetapi karena baik gejala yang timbul maupun
pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua
macam reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.
Perbedaan tersebut diperlukan manakala mencari

yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah

pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus


nonalergen seperti zatkimia, obat atau kegiatan jasmani.

Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik,


sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul
serentak atau hampir serentak.

penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan

lanjutan.

Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi

umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial

lnsidens

berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan

Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak

257

258

KEGAWTfi)ARURATAN MEDIK DI BIDAIIG ILMU PETTYAKIT DALAM

dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya

karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya


penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada
0,002%opemakaian.

Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang


tersering adalah pemakaian media kontras untuk
pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan
reaksi yang mengancam nyawapada},lYodan reaksi yang

fatal terjadi antara I : 10.000 dan 1: 50.000 prosedur


intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya
media kontras yang hipoosmolar.
Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah
dilaporkan. Enam kasus kematian karena uji kulit dat24
kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959 sampai tahun
1984.

Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena


imunoterapi selamaperiode 1985 sampai 19S9.

Anafilaksis (melalui lgE)


Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)

Serum heterolog (antitoksin tetanus,

globulin

antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui lgE)
Zat penglepas histamin secara langsung
Obat (opiat,vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
:

Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah


lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
Antiinflamasi nonsteroid

DIAGNOSIS
Sistem

Gejala dan tanda

Umum
Prodromal

Lesu, lemah, rasa tak enak yang


sukar dilukiskan, rasa tak enak di
dada dan perut, rasa gatal di hidung
dan palatum

Pernapasan
Hidung
Laring

Hidung gatal, bersin dan tersumbat


Rasa tercekik, suara serak, sesak
napas, stridor, edema,spasme

Lidah

Edema

Bronkus

Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskular

Pingsan,sinkop, palpitasi, takikardia,


hipotensi sampai syok, aritmia.
Kelainan EKG : gelombang T
datar,terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard.
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare
yang kadang-kadang disertai darah,
peristaltik usus meninggi
Urtika, angioedema, di bibir, muka
atau ekstremitas

Gastro intestinal

Kulit
Mata

Susunan saraf
pusat

Gatal, lakrimasi
Gelisah, kejang

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adaty

gejala klinik sistematik yang muncul beberapa detik atau

menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor


pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok
anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenal tandatanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera
dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang
berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas dapat
langsung muncul tanpa tanda-tanda awal. Kumpulan gejala
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu organ saja,
tetapi pula muncul gejala pada beberapa organ secara

serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang


sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang
disertai gangguan pernapasan baik karena edema larings

atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan


kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular
seperti syok yang berat sampai terjadi penurunan
kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular,
pemapasan atau kulitjuga bisa disertai gejala mual, muntah,

kolik, usus, diare yang berdarah, kejang uterus


MEKANISME DAN PENYEBAB ANAFILAKSIS
KARENAOBAT
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui
mekanisme IgE maupun melalui non-IgE seperti terlihat
pada Tabel 2.Tentu saja selain obat ada juga penyebab
anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air
yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian
anafi laksis penyebabnya tidak diketahui.

atau

perdarahan vagina.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi


anafilaksis yaitu reaksi vasovagal, infark miokard akut,
reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema
herediter.

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien


mendapat suntikan. Pasien tampak mau pingsan, pucat dan

259

RENJATANANAFILAKTIK

berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafi laksis, pada


reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah
diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada
anafilaksis.
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah
nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut
sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tatda-tanda

obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit.


Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan
membantu diagnosis infark miokard.

adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Obsevasi yang

dilakukan oleh Stark dkk menyatakan bahwa bentuk


anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita temukan,

bifasik yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan


protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat
berlangsung 5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang
intensif.

TERAPI

Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian


obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak

Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh

lemah, pucat berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah


kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan
kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong
diagnosis reaksi hipoglikemik.
Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda

ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan


lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan

gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian
tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat
membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering
pasien mengeluh parestesia.
Sindrom angioedema neurotik herediter merupakan
salah satu keadaan yang menyerupai anafilaksis. Sindrom
ini ditandai dengan angioedema saluran napas bagian atas
dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan

kulit atau kolaps vaskular. Adanya riwayat keluarga yang


mempunyai sindroma ini disertai penurunan kadar
inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom

kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila


epinefrin 1 : 1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB
sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat
diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya
gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara
intramuskuler (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis
epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien
tidak mengidap kelainan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan
imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera
diberikan suntikan infiltrasi epinefrin I : 1000 0,1-0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergen
tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat
suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut
dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya

angioedema neurotikherediter.

dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam

Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik.


Sindrom ini ditandai dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi
tidak dijumpai adanya urtikaria atau angioedema.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotinin darah
meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi indol asam
asetat dalam urin meninggi.

memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu


mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar,

Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi


mencari alergen penyebab maupun pencetusnya tidak
mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan. Dalam

hal ini anamnesis yang teliti merupakat cara yang paling


penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis terutama
berdasarkan reaksi anafilaksis yang timbul segera setelah
terpajan oleh alergen atau faktor pencetus serangan dan
menimbulkan gejala klinik pada organ-organ sasaran seperti

yang telah disebutkan tadi. Akan halnya pemeriksaan


penunjang seperti uji kulit hanya bermanfaat bila
mekanisme anafi laksis tersebut melalui IgE (imunoglobulin
E) dan obat-obat yang dapat diuji pun terbatas pada
penisilin. Hormon dan enzim sangatjarang dilakukan karena
prosedw tersebut juga bisa menimbulkan reaksi anafilaksis.
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu

beberapa menit setelah terpajan

oleh alergen, tetapi

sehingga oksigenasi berjalan

baik;2).

Sistem

kardiovaskular yangjuga harus berfungsi baik sehingga


perfu si jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada
sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada
organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas
ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada

anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya


saluran napas atau syok anafilaksis.

Sistem Pernapasan
1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab

tersering kematian pada anafilaksis adalah


tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings
atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan
epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan
tersebut. Tetapi pada edema larings kadang-kadang

diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi


trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit

tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.

260

KEGAWAJDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding


larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya
tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena

2.
3.

trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang


berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan
dengan segera adalah melakukan punksi membran
krikotiroid denganjarum besar. Kemudian pasien segera
dirujukke rumah sakit.
Pemberian oksigen 4-6 Umenit sangatpenting baikpada
gangguan pernapasan maupun kardiovaskular.
Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran
napas bagian bawah seperti pada gejala asma atau
status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan
salbutamol atau agonis beta-2lainnya 0,25 cc - 0,5 cc
dalam2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi
atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam
20 cc dekstrosa 5%o atau NaCl 0,9o/o dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit.

di atas kemudian diikuti pemapasan hiperventilasi untuk


menjamin absorpsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan
tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1.

obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya


sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan
menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik
alfa tidakterhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi
agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan

manfaat

Gejalahipotensi atau syokyang tidakberhasil dengan


pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi
kekurangan cairan intravaskular.
Pasien ini membufuhkan cairan intravena secara cepat
baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9o/o) atat koloid
(plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan
koloid 0,5-1 L dan sisanya dalambentuk cairankristaloid.

Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan


intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah
atau yang terkumpul dijaringan splangnikus, tetapijuga
dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke

2.

intravaskular.
Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemaniauan

sistem kardiovaskular dan pemberian natrium


bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.

3.

Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous


pr e s s ur e). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau
kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian
eairan,juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang
bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.

4. Bila

tekanan darah masih belum teratasi dengan


pemberian cairan, para ahli sependapat untuk
memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena.
Dengan caramelarutkan 1 ml epineprin 1 : 1000 dalam
250 ml dektrosa (konsentrasi4mglml) diberikan dengan
infus 1 - 4 mglmenit atau 15 - 60 mikrodrip/menit (dengan
infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sampai maksimum 10 mg /ml

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia,

pada

keadaan anafilaksis yang berat, American Heart


Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1 : 10.000
diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa
endohakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1 : 10.000). Tindakan

di samping pemberian aminofilin

dan

kortikosteroid secara intravena.

2.

Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH, dengan


AH, bekerja secara sinergistik terhadap reseptor yang
ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit,

AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan


anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk

AH, seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin ( 1 50 mg)


harus diencerkandengan20 mlNaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi
teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai

Sistem Kardiovaskular

l.

Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan

3.

gantinya dipakai ranitidin.


Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien
yang mengalami gangguan napas maupun gangguan

kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak


bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat
bermanfaat unhrk mencegah reaksi anaf,rlaksis yang
berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa

diberikan tablet prednison tetapi lebih disukai


memberikan intravena dengan dosis 5 mgikgBB
hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini
dapat diberikan setiap 4-6 jam.

PENCEGAHAN

Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis


mempunyai risiko untuk memperolehreaksi yang samabila
terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini harus dikenali,
diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan

pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang


kepada pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang
harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila
pencetus tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada
sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.

Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat


serangan anafilaksis bisajauh lebih berat, oleh karena itu

setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh


pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai risiko

anafilaksis dianjurkan untuk tidak memakai obat-obat


penyekat beta karena bila terjadi reaksi anafilaksis
pengobatannya sulit. Sebaiknya obat-obat substitusi
pengganti obat penyekat beta tersebut.
Pada beberap a keadaan dilaporkan adany a tindakan

pencegahan untuk menghindari reaksi anafilaksis.

261

RENJATANANAFILAKTIK

Greenberger dkk memberikan prednison dan antihistamin


sebelum memberikan media kontras pemeriksaan radiologik

risiko. Tindakan
desensitisasi jangka pendek dengan penisilin.

kepada pasien yang mempunyai

Desensitisasi jangka panjang diberikan kepada pasien


yang alergi terhadap sengatan tawon.
Oleh karena reaksi anahlaksis terutama disebabkan oleh
obat-obatan barangkali petunjuk di bawah ini mungkin
bermanfaat mencegah terjadinya anahlaksis baik di tempat
praktek atau dimana saja.
Sebelum memberikan obat : 1. Adakah indikasi memberikan
obat, 2.Adakah riwayat alergi obat sebelumnya, 3. Apakah

pasien mempunyai risiko alergi obat, 4. Apakah obat


tersebut perlu diuji kulit dulu, 5. Adakah pengobatan
pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi
Sewaktu minum obat. Enam caramemberikan obat : 1. Kalau
mungkin obat diberikan secara oral, 2. Hindari pemakaian
intermiten, 3.Sesudah memberikan suntikan pasien harus
selalu diobservasi, 4. Beritahu pasien kemungkinan reaksi
yang terjadi, 5. Sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan
darurat, 6. Bila mungkin lakukan uji provokasi atau
desensitisasi.
Sesudah minum obat. 1. Kenali tanda dini reaksi alergi obat,
2.Hentikan obat bila terjadi reaksi, 3. Tindakan imunisasi
sangat dianjurkan, 4. Bila teiadi reaksi berikan penjelasan
dasar kepada pasien agar kejadian tersebut tidak terulang
kembali.
Sangat dianjurkan untuk lebih baik melakukan tindakan
berhati-hati atau pencegahan, daripada menghadapi reaksi
anafi laksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya

pasien yang meninggal karena anafilaksis sering


dilaporkan.

Akan halnya dengan obat-obat sebagai penyebab


anafilaksis, tidak semua obat dapat diuji kulit. Hanya
penisilin, berbagai macam hormon, serum dan enzim yang
dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada beberapa keadaan
uji kulit maupun provokasi dengan mernberikan obat
kadang-kadang membantu diagnosis tetapi kedua cara
tersebut juga bisa mencetuskan anahlaksis.

REFERENSI
Bamard JH. Studies of Hymenoptera sting death in the United States.
J Allergy Clin Immunol 1973:52:525-9.
Belleau J, Lieberman PL. Anaphylaxis. Dalam: Milgrom EC, Usatine
RP, Tan RA, spector SL (Eds). Practical Allergy. Mosby, China.

2004:97 -109

Bochner BS, Lichrenstein LM. Anaphylaxis. N. Engl J med.


1991;321:1785-90.

Busse WW. Anaphylaxis in patients receiving beta blocker drugs.

Allergy Clin Immunol 1986;78:76-83


De Swarte RD, Patterson R. Drug Allergy: In Roy Patterson R,
Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic Diseases. Diagnosis and Management 5'h ed Philadelphia: Lippincot-Raven

Publishers. 1997 : 317-412.


Doctor J. Anaphylaxis: focus an early diagnosis and treatment. Can
J CME. 1996;March:41-56.
Ewan PW,. Anaphylaxis : Diagnosis and management In : Holgate S,
Boushey HA, Fabbril LM, editor. Diffuclt asthma. London :
Martin Dunitz Ltd. 1999: 521-534.
Gilmore NJ, Yang WH, De1 Carplo J. Penicillin allergy. A simple,
rapid intravenous methode of desensitization (abstrac)
J Allergy Clin Immunol 1984;63:185.
Graft DF. Venom immunotherapy for stinging insect al1ergy. Clin

Rev. Allergy 1987 ;5:149-59.


Greenberger PA, Patterson R, Raden RC. Two pretreatment regimens for high risk patients receiving radio contrast media. J
Allergy Clin Immunol 1984:7 4:540-3.
Herrera AM, De Shazo RD. Current concepts in anaphylaxis
Pathophysiology, diagnosis and featment. Immuno Allergy Clin

N Amer 1972;12:517-34.
Horan RF, Fennoyar DS, Sheffer AL. Management of anaphylaxis.
Immuno Allergy Clin N Amer 1991;11:117-41.

Kelly JF, Patterson R, Anaphylaxis. Course , mechanism

and

treatment. J AMA 197 4;227 :1413 -6.


Kemp SF. Adverse effects of allergen immunotherapy: Assessment
and treatment. Immunol Allergy Clin North Am 2000;20:571'
91

Lawlor GJ, Rosenblatt HM. Anaphylaxis. In : Lawlor GJ, Fischer FJ,


Adeiman DC, editors.. Manual of Allergy and Immunology, 3'd
ed. Boston: Little Brown and Company; 1995:.224-252.
Lieberman PL Specific and idiophatic anaphylaxis: Phatophysiology
and treatment. In : Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG,
Busse WW, editors. Allergy, Asthma and Immunology from
Infancy to Adulthood. 3d eds. Philadelphia : WB. Saunder Company. 1996: 29'7-319.
Liebennen P, Kemp SF, Oppenheimen J, Lang DM, Bernstein IL
dan Nicklas RA. The diagnosis and management of anaphylaxis: An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol
2005; 1 1 5(suppl): 5483-S523.

Lockey RF, Benedict IM, Turkeltauk, et al. Fatalit'ies from


imunotheraphy (II) and skin testing (3T). J Ailergy Clin
Immunol 1987 ;7 9 :660-6.
Reid MJ. Lodey RF, Turkeltauk PC. Survey of fatalities from skin
testing and immunotherapy, 1985-1989. J Allergy Clin Immunol,
1993;92:6-9.
Ring J. Anaphylaxis. Dalam allergy in practice. Springer. Munchen.
2005:97 -104
Stark BJ, Sulliran TJ. Biphasic and protacted anaphylaxis. J Allergy
Clin Immunol 1986;78:78-83.
Toogod RH. Risk of anaphylaxis in patients receiving beta blocker
drugs. J Allergy Clin Immunol 1988;81:1-3.
Weiszer I. Allergic emergencies. In : Patterson R, editor. Allergic
disease : diagnosis and management. 2^d edition. Philadelphia:
JB Lippincot,1980: 37 4-94.

36
KEGAGALAN MULTI ORGAN
(DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL)
Aryanto Suwondo

Sindrom disfungsi organ multipel (Multiple organ


dysfunction syndrome disingkat MODS) dapat terjadi
pada penderita-penderita penyakit dengan kondisi kritis
atau pasca trauma berat. Perjalanan alamiah sindrom

proses menuju kegagalan sistem organ dalam fungsinya

mempertahankan homeostasis.
Penelitian-penelitian terdahulu menemukan adany a
infeksi, kadang-kadang tersamar, sebagai faktor klinis
utama yang berhubungan dengan MODS. Tetapi dalam
penelitian-penelitian terakhir terbukti MODS dapat terjadi
tanpa adanya fokus infeksi, dan secara eksperimental
MODS dapat ditimbulkan dengan menl.untikkan media-

ini

meliputi perawatan yang lama di ruang intensif sehingga


menghabiskan dana dan daya vpayayatg besar. MODS
muncul sebagai akibat langsung dari meningkatnya

kecanggihat alat-alat maupun obat-obatan untuk


menunj ang kehidupan sehingga berhasil memperpanj ang

hidup pasien-pasien kritis yang pada masa-masa

tor-mediator infl amasi. Lebih jauh, penelitian-penelitian ini


menunjukkan bahwa kegagalan fungsi satu organ dapat

sebelumnya tidak ada harapan lagi. Berdasarkan datadari

merugikan fungsi organ-organ lain dan mempercepat

penelitian-penelitian retrospesktif terungkap bahwa

kegagalan organ-organ tersebut.


MODS dapat bersifat primer maupun sekunder. MODS
primer terjadi sebagai akibat langsung jejas (insult) pada
organ-organ tertentu, misalnya kontusio paru, gagal girrjal
karena rabdomiolisis, atau koagulopati karena transfusi
multipel. Respons inflamasi pada MODS primer tidak
menonjol. MODS sekunder bukan akibat langsung jejas
awal (initial insult). Tapi terjadi sebagai konsekuensi
respons inflamasi yang berlebihan, dan meluas keseluruh

ancaman utama terhadap kelangsungan hidup pasien-

pasien kritis

ini bukanlah dari penyakit yang

mendasarinya ataupun komplikasinya, tetapi akibat suatu

proses kegagalan fisiologis yang progresif pada


beberapa sistem organ. Di ruang rawat intensif, setelah
tahun 1 950-an proporsi pasien-pasien usia lanjut, dengan
komorbid yang lebih banyak, meningkat dibandingkan
dengan sebelumnya waktu usia menjadi alasan menolak
pasien untuk dirawat di ICU. Demikian pula cara-cara
resusitasi pasca trauma yang berdasarkan protokol militer

organ di dalam badan; fenomena ini dinamakan systemic


inJlammatory response syndrome disingkat SIRS. Bila
proses ini terjadi akibat infeksi disebut sepsis.
Angka kematian MODS lebih dari 6}oh.Mortalitasnya
tergantung dari jumlah organ dan lamanya organ-organ
tersebut mengalami kegagalan fungsi, dan tetap menjadi
penyebab kematian tertinggi di ruang rawat intensif nonkoroner.

dan dibukanya pusat-pusat penanggulangan trauma


(trauma centers) meningkatkan jumlah pasien dalam
kondisi kritis yang berhasil sampai di rumah sakit.

Tahw 1973 Tilney dan kawan-kawan pertama kali


melaporkan kasus gagal organ multipel dalam jurnal
kedokteran bedah: 3 orang pasien pasca operasi aneurisma
aorta abdominalis yang pecah, yang kemudian meninggal

karena gagal organ multipel. Sejak itu dikenal istilah


sequential system failure, progressive multiple organ

ETIOLOGI

system failure.

Terminologi dysfunction, lebih dinamis daripada

Beberapa jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat

failure, menunjukan bahwa fenomena ini adalah suatu

menyebabkan MODS (Tabel

262

l).

263

KEGAGALAN MULTI ORGAN @ISFUNGSI ORGAI\ MULTIPEL)

Trauma

lnflamasi

non-infeksi

Baktereremia

Trauma
multipel

Pankreatitis

Kanker

Viremia

Pasca operasi

Vaskuliiis

Fungemia

lskemia viseral

HIV

Suntikan
sitokin
Reaksi obal

Penyakit riket

Status
epileptikus
Heat injury

Eklamsia

Abdominal
compadment
syndrome

Bypass
kardiopulmoner

Mycobacteria
lnfeksi
protozoa

lnfeksi organ
solid

Gagal hati

Sindrom
reperfusi
Reaksi
transfusi
Sindrom
asprrasr

Transfusi
masif

imun (magic bullets) untuk memblok sitokin-sitokin dan


endotoksin terbukti gagal.

lnfeksi, trauma, luka bakar


luas, dll

Endotoksin, komponen dinding sel kuman gram


positif, superantigen

Kondisi proinflamasi

Pelepasan sitokin
Aktivasi komponen, pembekuan darah, kaskade
eikosanoid

Sepsis / SIRS

PATOGENESIS

Teori MODS Lama


Suatu reaksi inflamasi yang masif mendasari baik SIRS
maupun MODS, dan karena respons inflamasi yang mirip
pada kedua fenomena ini dipikirkan patofisiologi yang
sama. Teori terdahulu mengenai bagaimana terjadinya
MODS berdasarkan eksperimen pada sukarelawan atau
binatang percobaan yang mendapat suntikan endotoksin

atau mediator-mediator proinflamasi serta penelitian-

penelitian yang mengukur kadar mediator-mediator


proinflamasi dalam serum pasien-pasien SIRS dan MODS.

Teori SIRS/MODS ini terlalu linier dan sederhana


(Gambar 3). Penelitian-penelitian dengan cara modulasi

Syok
MODS
Ke m atia n

Gambar 3. Teori linier sepsis, SIRS dan MODS

Teori MODS Terbaru


Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator
proinfl amasi dilepaskan untuk melawan antigen-antigen
asing dan mempercepat penyembuhan luka. Kemudian
akan diikuti pelepasan mediator-mediator anti-infl amasi
untuk meregulasi proses ini. Homeostasis dicapai dan
pasien sembuh. Bila jejas patologis berat, dan mekanisme

pertahanan lokal tidak berhasil mengatasinya, maka

MODS primer

M0DS sekunder

mediator-mediator inflamasi akan masuk ke dalam sirkulasi


sistemik dan merekrut leukosit-leukosit baru di daerah
inflamasi. Terjadilah respons terhadap stres di seluruh

tubuh. Sekali lagi, mediator-mediator anti-inflamasi


dilepaskan ke dalam sirkulasi sistemik untuk memperbaiki

kaskade proinflamasi sehingga tercapai kembali


Sembuh

Gambar 1. Kausa dan akhir yang berbeda dari MODS

homeostatis.
Bila respons proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya
berat, atau bila respons anti-inflamasi sebagai
kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal meregulasi

respons proinflamasi, terjadilah ketidakkeseimbangan


dengan predominan respon proinflamasi. Pada keadaan
ini didapat tanda-tanda SIRS, dan mulai didapat ancaman

terjadinya disfungsi organ. Sebaliknya, bila terjadi


predominansi respons anti inflamasi, dengan akibat anergi
dan imunosupresi, keadaan ini dinamakan compensatoty
antiinflammatoty response syndrome disingkat CARS,

Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya


homeostasis. Bila homeostasis tidak berhasil dicapai,
sampailah pada fase terakhir proses patogenik ini,
Gambar 2. Hubungan antara SIRS, sepsis dan infeksi

immunological dissonance. Pada fase ini keseimbangan

264

KEGAWTTDARUR/{IAN

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAXIT DALAM

antara proses pro dan antiinflamasi hilang. Secara klinis


didapatkan tanda-tanda MODS (Gambar 4).
Molekul pro-inflamasi

Se T dan

rL-1 p

tL-2

tL-1 0

Sel NK

Respons anti-inflam asi

lL-10 tL-6,

ke dalam s rkulasi sistem

Kardiovasku ar komproma
( syok )

L-6

tL-8
Elatase neutrofil

IL.1 IL,6 TNF.

tL-4

apopto sis

Gambar 4. Teori baru MODS

PERAN SITOKIN
Sitokin adalah glikoprotein dengan berat molekul rendah,

bersifat larut, berfungsi meregulasi sistem imun tidak


spesifik (innate) dan spesifik. Cara kerjanya pleitropik
terhadap berbagai sel target dengan cara-cara yang berbeda
bergantung situasi dan kadamya. Pada kadar rendah sitokin
mempunyai efek parakrin sedangkan pada konsentrasi
tinggi mempunyai efek endokrin.
Beberapa sitokin berperan dalam terjadinya SIRS dan

MODS: TNF-o IL-lp, IL-8, IL-6, IL-10, yang kadamya


berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas sepsis (Tabel
2).
TNF-cx, dan IL-1p, diproduksi terutama oleh monosit.
Selain mengantarai demam, sitokin-sitokin ini mengaktivasi
pembekuan, menginduksi ekspresi molekul-molekul adhesi,

Molekul antiinflamasi
lL-1 ra
tL-4

TNF-cr

IFN-y

Protein kinase
MCP-I (monocyte

chemoattractant protein)
MCP-2
Leukemia inhibitory factor
Tromboksan
PAF (platelet activating factor)
Molekul adhesi terlarut
Neuropetid vasoaktif
Fosfolipase 42
Tirosin kinase
Free radical generation
Neopterin
P Al1 (pl a s mi noge n activ ato r
inhibitor)

tL-13
Reseptor lLl tipe ll
Transforming grov/th factor B
Reseptor TNF-0 terlarut
LPS
CD-'14 terlarut

Prostaglandin

E2

Antagonis reseptor leukotrein


B+

TNF-cr dan menurunkan mortalitas sedangkan anti IL-l0


meningkatkan mortalitas sepsis pada binatang percobaan.

Kadar IL-10 yang berlebihan, diperkirakan sebagai


predisposisi untuk imunosupresi, ditemukan pada pasienpasien yang meninggal karena sepsis. Di sisi lain, kadar
IL-10 yang rendah, diperkirakan memudahkan terjadinya

inflamasi yang tidak terkontrol, dikaitkan dengan


memburuknya prognosis ARDS.
Keadaan internal milieu leblh penting daripada kadar
absolut sitokin. Pasien usia lanjut atau pasien dengan
komorbid diketahui meningkat risikonya untuk terjadi SIRS/
MODS. Keadaan ini berkaitan dengan kadar sitokin yang
abnormal, dan telah terbukti bahwa kemampuan sel untuk
mensintesis mediator pro atau antiinflamasi dipengaruhi
aktivasi sebelumnya. Fenomena ini dapat menerangkan
model two hit dalampatogenesis: jejas awal tidak cukup
kuat untuk menimbulkan MODS, kecuali ada faktor-faktor
lain, misalnya infeksi sekunder, atau dilepaskannya sitokinsitokin dari usus atau paru.

saling memacu sintesis keduanya, dan memicu produksi


IL-6,-8 dan IL- 10. IL-6 memicu fase akut produksi protein

dan meregulasi produksi TNF-o dan IL-1B. Kontrol


terhadap gen yang mengekspresikan sitokin-sitokin
infl amas i dilakukan oleh faktor-faktor transkripsi intrasel,
terutama NF-rb, bila kadarnya tinggi dikaitkan dengan
prognosis buruk.

Sebagai respons terhadap mediator-mediator


proinflamasi, akan diproduksi sitokin-sitokin antiinflamasi
dan antagonis sitokin. IL-4,IL-10, dan IL-13 menginhibisi
produksi sitokin leukosit. Antagonis reseptor IL-l ([-l
ra) dan reseptor TNF terlarut pada konsentrasi tinggi akan
mengikat IL-l dan TNF dengan demikian mencegah
aktivitas biolo gisnya. Suntikan IL- 1 0 mengurangi produksi

MEDIATOR LIPID PADA MODS

Bila kaskade inflamasi diaktifkan, PLA, (phospholipase

Ar) memetabolisme membran fosfolipid dari sel-sel


infl amasi untuk memproduks |PAF

tor)

dan

AA

(asam arahidonik).

(p

latel et activ ating fac -

AA akan dimetaboslisme

oleh siklooksigenase atau 5' lipoksigenase menghasilkan


sejumlah prostaglandin dan leukotrien, yang mempunyai
efek pro- dan anti-inflamasi seperti sitokin.
TXA, (tromboksanAr) mempunyai peran yang penting
pada fase akut dari kerusakan organ antara lain dengan
merangsang agregasi trombosit sehingga terjadi trombosis

265

KEGAGALAN MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAI{ MULTIPEL)

di mikrovaskular dan kerusakan jaringan. TXA, dapat


menyebabkan bronkokonstriksi dengan akibat V/Q

Hipoksia Jaringan dan Kerusakan Jaringan

mismatch,dan menyebabkan depresi miokard. Kadar TXB,


(metabolit TXA2 yang stabil) yang tinggi ditemukan pada
pasien sepsis yangfatal. Berbeda dengan TXA, PGE, dan
prostasiklin (PGIr) mempunyai efek yang menguntungkan.
Sementara efek negatif yang utama adalah vasodilatasi,
molekul-molekul ini berperan dalam menstabilkan lisosom

Kematian sel karena hipoksia dapat menyebabkan respon

dengan demikian mempunyai efek anti proteolitik,


menginhibisi aktivasi sel T dan sel B dan mencegah

Hipoksia juga menyebabkan pelepasan IL-6, sitokin utama


yang berperan dalam respon fase akut.

produksi sitokin oleh makrofag.

PAF bekerjasama dengan sitokin-sitokin lain,


meningkatkan produksi IL-l dari monosit. PAF juga

karena Reperfusi
inflamasi. Hipoksia juga menyebabkan sel-sel epitel
melepaskan TNF-ct dan IL-S dengan akibat meningkatnya
permeabilitas epitel. IL-8 berperan sebagai kemoatraktan
terhadap neutrofil, dan memblok efek autokrin dari TNF-cr

sehingga fungsi penyekat (barrier) dipertahankan.

Reperfusi jaringan yang iskemik akan diikuti

meningkatnya permeabilitas vaskular.

pembentukan ROS sebagai hasil metabolisme xantin dan


hipoksantin oleh oksidase xantin, dan metabolisme AA
dan produksi superoksida oleh neutrofil yang teraktivasi.
Sebagai tambahan, terjadi influks kalsium ke dalam sel
dengan akibat kerusakan sel.

PENGARUH GENETIK

APOPTOSIS

mempunyai efek langsung pada proses inflamasi yaitu


terhadap endotel dengan hasil adhesi sel-sel neutrofil dan

Pasien yang berasal dari keluarga dengan produksi TNF


yang rendah, risiko mendapat infeksi meningokokus yang
fatal meningkat 10 kali lipat, dan risiko ini naik 20 kali lipat
bila produksi IL- 10 tinggi. TNF-cr dan IL-IRA meningkatkan
risiko serta memperburuk prognosis sepsis. Sayangnya
determinan genetik terhadap prognosis sepsis maupun
MODS terflyata lebih kompleks dari sekedar ekspresi

kuantitatif satu atau beberapa sitokin.

Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, adalah


suatu mekanisme penting dalam homeostasis selular
pada organisme multiselular. Fenomena ini dilgstarikan
secara genetik, suatu mekanisme yang memerlukan
energi, yang bertujuan mengontrol jumlah sel. Berbeda
dengan keadaan tanpa inflamasi dan respon inflamasi
akut, pada MODS terjadi perubahan dinamik dan regulasi
dari apoptosis (Tabet 3).

Kerusakan Jaringan
Kerusakan jaringan terjadi selama proses inflamasi dan
berjalan progresif menuju disfungsi dan berahir dengan
gagal organ. Endotel vaskular mengekspresikan molekulmolekul adhesi sehingga leukosit berpindah tempat dari
sirkulasi ke dalam jaringan. Leukosit berkelompok sebagai
respon terhadap kemokin seperli IL-S, degranulasi sel-sel
leukosit melepaskan protease-protease seperti elastase dan
metaloproteinase matriks yang merusak struktur jaringan.
Leukosit-leukosit yang teraktivasi mernproduksi ROS

(reactive oxygen species) yang ikut berperan dalam

Pengamatan
Penundaan
apoptosis
neutrofil

Hipotesis

Menguntungkan
Merugikan

Menguntungkan
Apoptosis
limfosit
meningkat
Merugikan

kerusakan jaringan.

Menguntungkan
Merugikan

Peran Oksida Nitrit


(Inducible nitric oxide synthase) iNOS dalam respons
terhadap inflamasi menghasilkan NO dalam jumlah
berlebihan. NO menyebabkan vasodilatasi, inotropik
negatif dan nitrosilasi jaringan. Miosit pasien sepsis
menunjukkan nitrosilasi dari protein intraselular. Salah satu
syarat berfungsinya suafu organ secara normal adalah
kemampuan sel-sel epitel menjaga permeabilitas paraselular,

dan nitrosilasi merusak integritas paraselular dengan


akibat antara lain meningkatnya permeabilitas mukosa
usus. Zoss of compartmentalization terjadi pada ARDS,
gagal ginjal akut dan kolestasis intrahepatik.

Apoptosis
oarenkim

Meningkatkan fungsi
Memperpanjang fungsi
Memperpanjang elaborasi
metabolit yang toksik
Dapat berakibat nekrosis
neutrofil
Mengurangi otoreaktivitas
Mengurangi sel-sel efektor
yang dapat melanggengkan inflamasi
Supresi imun
Mengurangi beban selsel sekarat
Menghapus jejak inflamasi
Mengurangi kapasitas
fungsi dari organ

PERANAN GANGGUAN KOAGULASI


Penelitian pada mikrosirkulasi hati menujukkan bahwa
dalam waktu 5 menit setelah penyuntikan endotoksin telah
terjadi mikrotrombus. Bila tantangan endotoksin di dalam
sirkulasi sistemik berlanjut maka bekuan-bekuan fibrin akan

mulai berakumulasi. Akibatnya terjadi daerah-daerah


hipoperfusi, dan nekrosis koagulasi serta kerusakan

266

MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALI\M

jaringan yang ireversibel. Dengan mengukur aktivasi


koagulasi dapat dipastikan pada semua pasien syok septik
teqadi trombin.

Mekanisme kontrol utama terhadap pembentukan


trombin adalah jalur antikoagulasi protein C. Trombin
bersifat proinflamasi, prokoagulasi dan juga regulasi

lntervensi Medis
Komplikasi kateterisasi
venasentral dan arteri

Komplikasi dan Kerusakan


Jaringan

proliferasi selular melalui perangsangan pelepasat growth

Pneumotoraks
Perdarahan
lnfeksi
Simpul dari kateter

factor.Defrsiensi protein C pada SIRS,MODS memudahkan


terjadinya trombin, dengan akibat disfungsi sel-sel endotel

Aritmia
lnfark paru, pecah arteri pulmonalis
Target terapi tidak tepat

pulmonalis

(Gambar5).
Komplikasi terapi cairan Hipovolemia yang tidak terditeksi
Penurunan tekanan onkotik

Pemberian cairan kristaloid atau


Koagulasi

lnflamasi

Gagal vaskular

koloid berlebihan

lnflam asi

Anasarka
Edema paru
Komplikasi obat inotropik

dan vasopresor

c.srh.s;l
lnf la m asi

tr.nlb.rb l

fhk..h

Gambar

5.

Komplikasi ventilasi
mekanik

Spiral Progresi lnflamasi-Koagulasi

KERUSAKAN JARINGAN SEBAGAI AKIBAT

Aritmia

lskemia/infark miokard
Vasokonstriksi yang tidak dikehendaki
(dopamin dan norepinefrin)
Hiperglikemia
Asidosis metabolik (epinefrin)
Supresi hipofisis oleh dopamin
Volutrauma

Gangguan hemodinamik
Pelepasan sitokin ke dalam sirkulasi
sistemik
Supresi imun
Hipotensi dan atrofi otot (sedatif dan
relaksan otot)

Komplikasi nutrisi

Hiperglikemia

parenteral

Steatosis dan disfungsi hati


Produksi COz berlebih

INTERVENSIMEDIS

Supresi imun

Atrofi mukosa gastrointestinal


Banyak efek merugikan yang timbul sebagai kosekuensi
penggunaan alat-alat penujang kehidupan di ICU yang
turut berperan dalam penumnan fungsi organ (Tabel 4).

dan

limfoid

Pemberian substansi
toksik

Toksisitas oksigen
Aminoglikosida
Kortikosteroid dosis tinggi
NSAID

GAMBARAN KLINIS

DisfungsiGinjal
Disfungsi Kardiovaskular
NO menurunkanresistensi vaskular sistemik,

Gagal ginjal akut pada pasien dalam kondisi kritis


penyebabnya multi faktor. Ginjal mudah mengalami

dan bersama TNF-cr serta IL- I B menekan fungsi miokard.


Penurunan perfusi akan terjadi di semua organ. Hilangnya

kerusakan jaringan yang diperantarai oleh leukosit melalui


produksi protease dan ROS. Hipovolemia, cardiac output

fungsi penyekat dari endotel menyebabkan edema dan


redistribusi cairan. Resusitasi cairan dapat menyebabkan
dilatasi miokard. Pada pasien sepsis indeks kardiak
meningkat. Sepertiga pasien sepsis mengalami disfungsi

yang rendah, obat-obat yang bersifat nefrotoksik, tekanan

miokard.

dalam menghadapi iskemia.

Pada MODS,

intra-abdominal yang meningkat, dan rabdomiolisis


berperan dalam disfungsi ginjal. Medula yang lebih aktif
dalam metabolisme relatif lebih parah dari pada kortek ginjal

Disfungsi Respirasi

Disfungsi Gastrointestinal

Disfungsi pulmonar sering terjadi pada pasien SIRS dengan

Hipoperfusi

tanda-tanda: takipnea, hipoksemia (rasio PaOrlF,O,

sepsis dan syok. Iskemia mukosa usus meningkatkan


permeabilitas dengan akibat terjadi translokasi bakteri dan
mediator-mediator ke dalam sirkulasi sistemik. Fenomena
ini mendukung teori model two hit dalam patogenesis

menurun) dan hiperkarbia. Sepsis/SIRS dapat berkembang


menjadiAll (acute lung injzry) bahkanARDS. Enampuluh
persen pasien syok septik mengalami ARDS.

sp

lanchnic sering dijumpai pasca trauma, pada

267

KEGAGALAI\ MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL)

SIRS/MODS. Terjadi nitrosilasi dalam sel-sel epitel usus


yang juga akan menaikan permeabilitas usus.

Manifestasi iskemia splanchnic dapat berupa


ileus, hepatitis iskemik, kolesistitis
tanpa batu, dan pankreatitis. Hiperglikemia terj adi sebagai
perdarahan

tres s ul c er.

Gagal Respirasi

.
.
.
.

RR (re,rylratory rate) < 5/min, atau > 49lmin

PaCOr25OmmHg
P(A-a)Or>350mmHg
Ventilasi mekanik atau CPAP pada hari ke-4

akibat meningkatnya glukoneogenesis dan gangguan


bersihan glukosa. Lipolisis meningkatkan gliserol dan asam
lemak bebas dalam plasma serta menurunkan keton. Pada

MODS lanjut terjadi hiperhigliseridemia akibat menumnnya


bersihan trigliserida, dan praterminal terjadi kegagalan
glukoneogenesis, yang meyebabkan hipoglikemia.

Disfungsi Neurologis
Ensefalopati sering terjadi dan berkolerasi dengan
mortalitas pada sepsis. Neuropati dan miopati yang
heterogen dapat timbul dalam perjalan MODS. Dari review
delapan penelitian yang mehbatkan242 pasien, didapatkan
kelainan EEG pada 76%o pasien dengan ventilasi mekanik

lebih dari 5 hari. Dua penelitian melaporkan lamanya

ARDS
. Riwayat penyakit yang menyokong
. Skor hipoksemia (Pa0r,/FIOr) < 200 mmHg
. Inhltrat difus pada foto rontgen dada
. Tidak ada infeksi paru atau penyebab lain dari distres

.
.

pernapasan

pulmonary compliance)
(PCWP ( Pulmonary Capillary Wedge Pressure ) < 18
mmHg)
(1,

ALI

.
.

Skorhipoksemia(PaOfIOr)< 300mmHG

:ARDS

pemakaian ventilator secara statistik signilftan memanj ang

pada pasien dengan gangguan neuromuskular, dan


mortalitas meningkat dua kali lipat.

.
.
.

DEFINISI

Gagal Kardiovaskular
. Hk(heartrate)< 54lmefit

.
.

Gagal Ginjal

MAP (mean arterial pressure) < 49 mmHg


VT (ventricular tachycardia) dan atau YF (ventricular

Diuresis < 479 mU 24jamatau< l59ml-/8jam-

BUN>100mg/dl
Kreatininserum>3,5 mg/dl

Gagal hati
. Bilirubinserum>6mgldl
. PT (Prothrombin time) > 4 s di atas kontrol (tanpa
antikoagulan)

fibrillation)

PHserum <7,24 denganPCO,<40mmHg

Gagal Susunan Saraf Pusat

Klinis
Hipotensi
Hipoperfusi jaringan

lnfeksi

Trauma

Ancaman gagal organ

Skor Glasgow Coma Scale < 6 ( tanpa pemberian sedatif

Sasaran terapi

lntervensi
Monitor di lCU, ekspansi volume,
vasopresor
Monitor di lCU, ekspansi volume,
vasopresor, obat inotropik

Antibiotik yang tepat


Debridemen jaringan mati
Pengasatan pus
Fiksasi dini patah tulang
Pengasatan pus
Moniior di lCU, ekspansi volume,
vasopresor, obat inotropik

SBP > 90-100 mmHg, atau MAP


> 7OmmHg PCWP > 12 mmHg
Saturasi O, > 92o/o
Cl > 3,5 tlmiilm'z
Laktat serum < 2,2 mmolll
Hb > 10-12 g/dl
Diuresis 0,5-1 ml/kg/jam
Eradikasi
Hindari zat yang nefrotoksik
Resusitasi cairan
Hindari hipotensi
Diuresis 0,5-1 ml/kg/jam
Menormalkan kembali
- status mental
SSP
- BUN, kreatinin,
Ginjal
diuresis 0,5-1 mUkg/jam
Respirasi - P (A-a) O,
- bilirubin serum
Hati
Nutrisi enteral, parenteral
Dosis obat disesuaikan dengan fungsi organ-organ

.
.
.
,

268

KEGA1VATDARURATAN

Gagal Hematologis
. L< 1000/ml

.
.

Tr<20.000/ml
Ht<200/.

Gagal Sistem Koagulasi

.
.
.
.
.

Trombositopenia

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Pembedahan
Termasuk fiksasi patah tulang yang lebih dini, debridemen
luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati
dan pengasatan pus. Sumber dari respon inflamasi tidak

selalu jelas. Kadang-kadang diperlukan pembedahan


eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi intra
abdomen.

PT dan aPTT memanjang

Hipofibrinogenemia
TFDP
BTmemanjang

MOSF (Multiple Organ Sysfem Failure)


Bila didapat dua atau lebih gagal organ/sistem.
SIRS
Bila didapat dua atau lebih :
. Temperatur>38oCatau <360C
. HR>90/menit
. RR>20lmenitatauPaCOr<32mmHg
. Leukosit> 12.000 /ml atau<4.000/ml

Antibiotik
Usaha mencari patogen penyebab infeksi harus dilakukan

maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan,


pemeriksaan serologi dan aspirasi perkutan' Pemberian
antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit
infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama
dengan pencegahan infeksi sekunder serta penyakit
nosokomial akan menurunkan insiden MODS.

Tatalaksana Suportif
Bilamana tidak berhasil ditemukan kausa yang spesifik
. Defisit harus dikoreksi

.
.

Sistem/organ yang mengalami disfirngsi harus ditopang

Sistem/organ yang masih berfungsi dijaga

Sepsis
SIRS yang disebabkan infeksi.

TERAPIINOVATIF

Sepsis Berat
Sepsis dengan disfungsi organ, gangguan perfusi

Modulasi lmun

(termasuk asidosis laktat, oliguria dan perubahan status


mental) atau hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg
atauturun> 40 mmHg).

Syok Septik

Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi

monoklonal serta obat-obat lain yang bertujuan

memanipulasi sistem imun (magic bullets) menunjukkan


tidak adanya penurunan mortalitas pasien-pasien MODS'

lnhibitor NO

Sepsis dengan gangguan perf,rsi dan hipotensi walaupun


mendapat resu' nasi cairan.

Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS (rlfric

TATALAKSANA

dalam tatalaksana MODS.

Pencegahan

Filtrdsi Darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 L frltrasi/jam) mungkin
dapat menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi

Teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena


dari penelitian didapat 40% kasus MODS disebabkan
karena kesalahan pembedahan. Infeksi nosokomial
menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan,

ruangan isolasi serta pelapisan kateter iv dengan


silikon/zat antibakteri dapat mengurangi insiden
MODS.

oxide synthase) bahkan meningkatkan mortalitas' Di masa


mendatang mungkin inhibitor yang selektif terhadap iNOS
(inducible nitric oxide synthase) mempunyai peranan

lainnya dan mengeluarkannya dari aliran darah. Sayanglya


penelitian-penelitian yang ada belum memperlihatkan hasil
yang baik.

Kortikosteroid
Konikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg)

KontrolKausa
Hal terpenting dalam tatalaksana MODS adalah
menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau
sumber infeksi.

secara signifikan meningkatkan mortalitas sepsis dan syok

septik. Beberapa penelitian akhir-akhir ini, dengan


kotikosteroid dosis fisiologis, menunjukkan perbaikan

syok dan disfungsi organ. Mekanisme kerjanya

269

KEGAGALAIY MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL)

diperkirakan : l. Anti-inflmasi melalui penekanan transkripsi


sitokin-sitokin proinflamsi, 2.Terapi sulih pada insufi siensi

REFERENSI

korteks adrenal, 3. Memperbaiki sensitivitas reseptor

Baue

katekolamin.

syndrome, and systemic inflammatory response syndrome Why


no magic bullets? Arch Surg 1997; 132 :703-7.
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definition for sepsis and organ

Manipulasi Kaskade Pembekuan Darah

failure and guidelines for the use of innovative therapies in

Penelitian mengenai manfaat aPC (activated protein Q,


yang melibatkan 1690 pasien, melaporkan hasil yang
mengejutkan. Mortalitas pada kelompok terapi adalah
24,7% sedangkan pada kelompok plasebo 30,8yo, dengan
penurunan risiko kematian relatif sebesar 19,4Yo dan
penurunan risiko kematian absolut sebesar 6,1% (P:0,005).
Penelitian lainnya, menilai manfaat NI III (antithrombin

III),yargmelibatkarr23T4pasien,tidakmenunjukkanefek
yang mengunfungkan.

KESIMPULAN
Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak penelitian
pengobatan baru, hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Mortalitas pasien MODS masih tetap tinggi. Dalam masa

penantian, ACCP dan SCCM pada tahun 2004

ini

merekomendasikan suafu pegangan dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septik: I j. Resusitasi awa|'2). Diagnosis; 3). Terapi antibiotik; 4). Kontrol sumber infeksi; 5).

Terapi cairan; 6). \hsopresor; 7). Terapi inotropik; 8).

Kortikosteroid; 9. Recombinant Human Activated


Protein C, 10) Pemberian produk darah; 11). Ventilasi
mekanik; l2).Sedasi, analgetik; l3). Kontrol gula darah;
4). Terapi pengganti fu ngsi ginj al ; I 5 ). Terapi bikarbonat;
16). Pencegahan trombosis vena dalam; 17). Pencegahan
stress ulcer.
I

AE. Multiple organ failure, multiple organ dysfunction

sepsis. The ACCP/SCCM consersus conference committee.


Chest 1992; 101: 1644-55.
Bone RC. The pathogenesis of sepsis Ann Intern Med 1991;115:
457 -69.
DeCamp MM, Demling RH. Posttraumatic multisystem organ
lailure JAMA 7988; 260: 530-1.

Glauser MP, Zanetti G, Baumgartner JD, et al. Septic shock :


pathogenesis. Lancet 1991; 338: 732-6.
Kenyon NJ, Albertson TE. Steroids and sepsis: time for another
reevaluation. Intensive Care Med 2002; 11: 68-74.
Lin SC. Multiple organ failure in critically i1l patients. Medical
Progress 2002; luly :27-35.
Lumb PD. Murltiple organ system failure. In Hoyt JW, Tonnesen
AS, Allen SJ. (eds): Critical care practice. Philadelphia, 1991,
WB Saunders company, pp 422-6.
McKinlay J, Bihari D. Multiple organ dysfunction. In Bersten AD,
Soni N. (eds): Oh's intensive care manual. Edinburgh, 2003,
Butterworth Heinemann, pp 113-26.
Samra JS, Summers LKM, Frayn KN. Sepsis and fat metabolism. Br
J Surg 1996; 83: 1186-96.
Wilkinson JD, Pollack MM, Glass NL, et al Morlality associated
with multiple organ system failure and sepsis in pediatric
intensive care unit. J Pediatr 1987; I I 1: 324-8.

37
SINDROM TERMAL DAN SENGATAN LISTRIK
Budiman

HIPOTERMIA

Hiperglikemia bisa terjadi walaupun lebih dari

40o/"

penderita mengalami hipoglikemia. Gangguan


Hipotermia diakibatkan oleh lepasnya panas karena

keseimbangan asam basa bisa timbul tetapi tidak mengikuti


pola tertentu.
Pada EKG terlihat interval PR, QRS, dan QT memanjang
dan gelombang Osborn J. Irama jantung takikardia sampai
bradikardiajuga fibrilasi atrial dengan laju ventrikular yang

konduksi, konveksi, radiasi, atau transpirasi. Local cold


inj ury danfros bite timbulkarena terj adi hipotermia karena
penurunan viskositas darah dan kerusakan intraselular
(intr ac e llul ar inj ay).

lambat sampai fibrilasi ventrikular hingga bisa terjadi


asistolik pada temperatur yang sangat rendah.

Manifestasi Klinis
Manifestasi tidak seberat frosbite yang berupa luka
bergaung dan tidak ada jaringan yang terlepas. Trench
foot diaklbatkan jaringan di lingkungan yang lembab pada
suhu dingin selama beberapa jam sampai beberapa hari.

Akan timbul hiperhidrosis jangka panjang

Diagnosis
Hipotermia didiagnosis bila suhu tubuh di bawah 35'C
(9

dan

insensitivitas dingin.

5'F). penyakit yang menyerupai gej ala hipotermia seperti :


Defisiensi tiroid, insufisiensi adrenal, disfungsi susunan
sarafpusat, infeksi, sepsis, penyakit kulit, keracunan

obat dan gangguan metabolisme yang perlu

D eraj at pertam a dan ke duafr o s b i t e s;.tp erfrs ial ditandai


dengan edema, luka bakar, dan eritema serta melepuh pada
derajat kedua. Derajat ketigafrosbite ditandai dengan luka

yang lebih dalam timbul sedalam kutis dan jaringan


subkutis. Derajat keempat ditandai dengan luka yang

dipertimbangkan dan dievaluasi.


Cold injury yang terlokalisir didapat dari anamnesis
dan pemeriksaan

mencapai jaringan subkutaneus, otot, tendon, dan fulang.

fisik

Klasifikasi Luka Dingin Menurut Beratnya

Pasien datang dengan sianosis dan bisa terjadi


hemoragik dan nekrosis kulit. Kadang-kadang jaringan

Klasifikasi luka dingin menurut berat kasus terbagi menjadi


tiga kategori. (Tabet 1)

menjadi sepertimumi.

Mild hypothermia 32"C (89,6"F) sampai 35"C (95'F)


menyebabkan timbulnya menggigil, takikardia, dan

Penatalaksanaan
1. Luka di kaki ditangani dengan pengangkatan,
penghangatan, dan pembalutan jari yang terluka.
Nifedipin 20 mg per oral 3 kali sehari, kortikosteroid

peningkatan tekanan darah. Menggigil mengakibatkan

penurunan denyut jantung dan tekanan darah ketika


temperatur di bawah 32'C (89,6"F). Mental melambat dan
kehilangan refleks menelan. Komphkasi yang umum terjadi
adalah aspirasi.
Dengan temperafur yang sangat rendah, pasien menjadi

2.

letargi dan koma. Imobilisasi menimbulkan risiko

topikal prednison, dan prostaglandin El (limaprost 20


mg per oral 3 kali sehari) dapat membantu.
Pemanasan cepat dengan air yang mengalir pada suhu
42'C (107"F) selama 10-30 menitpada ekstremitas yang
mengalamiy'osb#e. Pasien bisa diberi narkotilg ibuprofen,
dan aloe vera. Pemberian penicillin E 500.000 U setiap 6
jam selama 48 -7 2 jammemperlihatkan hasil yang baik.

rabdomiolisis dan gagal ginjal akut. Hemokonsentrasi dan

pengurangan volume bisa menimbulkan trombosis


intravaskular dan koagulasi intravaskular diseminata.

270

271

SINDROM TERMAL DAI\ SENGATAN TISTRIK

8.

pemanasan yang lebih agresif (bilas lambung, kandung


kemih, lavase peritoneal dan pleural.) Temperatur cairan

Derajat pertama

.
.
.

Kulit membeku sebagian Eritema, edema, hiperemia

Tidak melepuh atau nekosis


Deskuamasi kulit jarang (5 sampai 10 hari kemudian)

bilas bisa samp ai 42" C ( 107'F)

9.

Pasien dengan kecurigaan kekurangan tiamin dan


alkoholisme bisa diberikan tiamin 100 mg iv (IM) dan
50% glukosa sebanyak 50ml-l00rnl ivjika kadar glukosa

10.

Pasien dengan kecurigaan hipotiroidisme atau


insufisiensi adrenal dapat diberikan tiroksin iv dan

Gejala
Seperti sengatan dan rasa terbakar, berdenyut dan bisa
timbul hiperhidrosis

Derajat kedua
. Luka jaringan kulit

Eritema, vesikel substansial dengan cairan bening


melepuh merupakan deskuamasi dan jaringan
kehitaman
Gejala
Mati rasa dan gangguan vasomotor pada kasus berat

Jika ada ketidakstabilan kardiovaskular, dibutuhkan

sewaktu rendah.

hidrokartison 100 mg.


fibrilasi ventrikular dilakukan def,rbrillasi sampai

11. Pada

temperatur 30'C (86'F), meskrpun 3 countershockhatss

diukur.

Derajat ketiga (dalam)

Jaringan kutis dan subkutaneus, otot, tendon dan


tulang membeku.
Edema lokal
Awalnya luka benryarna merah tua atau cyanosis
Kadang-kadang jaringan mengering, hitam, seperti
muml.
Gejala
Sendi terasa nyeri

.
.
.

kembali melalui sirkuit ekstrakorporal

12. Pemanasan

merupakan metode pilihan pada pasien hipotermia berat

dalam henti jantung. Jika perlengkapan tidak tersedia,


resusitasi trakeostomi dan pijat jantung dalam dan bilas
mediastinal merupakan alternatif yang dapat diterima.
13. Semua pasien dengan fro s bile superfisial terlokalisir
atau hipotermia sedang dapat dirujuk ke RS. Pasien tidak

dirawat, mereka bisa kembali pada lingkungan yang


hangat.
-r_

Luka bersih banyak mengandung prostaglandin dan


tromboksan dapat dibersihkan atau diaspirasi. Luka
yang berdarah seharusnya dibersihkan dan dirapikan

HIPERTERMIA

kembali.
4

Teknik penghangatan termasuk penghangatan pasif,


penghangatan aktif eksternal, dan penghangatan

Keringat dan penguapan jumlahnya cukup tinggi terjadi

perawatan aktif (Tabel 2).

Kelembaban mengurangi kemampuan tubuh untuk

Pasien dengan hipotermia sedang dapat diatasi dengan


penghangatan pasif dengan cara memindahkannya dari
lingkungan dingin dan menggunakan selimut kolasi.

mendinginkan diri sendiri melalui keringat.


Ketidakmampuan respons termoregulasi dan kontrol
terhadap sistem peningkatan presipitat atau depresi pusat
temperatur disebabkan disfungsi organ lain, dapat
menimbulkan manifestasi klinis arfiara lain sindrom

Pasien dengan hipotermia berat, sebaiknya dipantau


degat pulse oxymetri..
Perhatikan jalan napas, pemapasan, dan jantung. Bila
tidak ada gangguan kardiovaskular, penghangatan aktif

bila temperatur mencapai 35"C (95'F) atau lebih.

eksternal dapat diterapkan (radiasi panas, selimut

hipertermia.
Pencegahan terjadinya peningkatan suhu abnormal
tergantung pada keseimbangan antara pelepasan panas

hangat, immersi air hangat dan obyek yang dipanaskan)

dan pembentukan panas.

dengan cairan hangat

IV dan oksigen yang

dihangatkan.
Sumber Panas
Pencairan

Pencairan dalam air hangat (40o C sampai 42o C) selama


10-30 menit sampai ekstremitas melunak dan
kemerahan.
Analgesik opioid parenteral (misalnya Morfin 0,1 mg/kg iv)

Sesudah Pencairan

- Bersihkan luka
- Perbaiki jaringan yang mengalami pendarahan
- Oleskan daerah luka dan lepuh dengan krim aloe vera
- Profilaksis dengan imunisasi tetanus
- lbuproten 12 mlkglhr dalam dosis terbagi
- Mempertimbangkan limaprost 20lkg oral 3 kali/hari
- Memulai hidroterapi harian

Laju metabolik normal


Maximal shinering
Kelembaban 02 pada
20 l/menit (45oC)
iv fluid (45"C)
Dialisis peritonial
1llhari
4Lhari
C a rd i op u I mo na

ry bypass (45'C)

1l l/hari

28 llhr
Trunk immersion pada air panas (45oC)

Vasokonstriksi
Vasodilatasi

272

KEGAW}iTDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Pakaian, ventilasi, latihan dan air sertapelepasan garam

ditimbulkan oleh panas dan kesanggupan tubuh untuk


mengatur temperatur rubuh.

Latihan yang berat harus disesuaikan dengan suhu


udara, kelembaban udara, garam, dan yang lebih penting
lagi, pelepasan air harus cukup dan diberikan sebelum
timbul gangguan gejala suhu (heat illness). Usia muda,
usia lanjut dan orang-orang dengan penyakit tertentu,
umumnya penyakit kardiovaskular, kemungkinan terjadi
risiko sakit akrbat heat stress.
Saiah satu akibat yang ditimbulkan oleh heat stress
adalah heat stroke.

mengenai metoda pendinginan yang terbaik, umumnya


merupakan pengecualian bagi heat stroke yang berat dan
durasi dari hipertemia yang berpengaruh terhadap
terjadinya kesakitan bahkan kematian. Penanganan yang
umum merupakan dasar terapi. Intubasi endotrakeal
disarankan untuk pasien dengan ventilasi yang tak cukup
atal yang tidak mempunyai refleks muntah. Pemberian
oksigen, pemantauan EKG, CVR tekanan darah, dan output urin dengan kateter Foley merupakan prosedur standar
penanganan heat stroke.
Pendinginan dengan cara pencelupan dalam tabung
berisi air es, seperti pencelupan untuk penderita hipotermia,

merupakan teknik yang sulit bila pasien labil.


HEAT STROKE

Heal stroke merupakan kasus emergensi. Pasien yang


mempunyai riwayat heat exposure, dapat disertai
peningkatan suhu tubuh dan disfungsi CNS yang cukup
berat, misalnya delirium, coma, atau kejang.
Kerusakan otak dapat terjadi pada kasus yang berat.
Ada 2 tipe pada heat stroke; tipe klasik banyak terjadi
pada usia lanjut, pada penyandang keterbelakangan mental atau pada usia muda. Terjadi beberapa kali sehari selama

gelombang panas dan orang

ini tidak

mempunyai

kesanggupan untuk bertahan pada lingkungan dingin dan


mempertahankan asupan cairan yang cukup.

Tipe heat stroke yang terjadi saat latihan yang


berlebihan pada suhu sangat panas dan lingkungan yang
lembab. Terjadi cepat dan dehidrasi pada pasien dengan
heat stroke klasik.
Gejala heat stroke dia?,:tbatkanoleh gangguan metabolik
sel dan kematian sel. Kreatin kinase, aspartan aminotransferase (AST) dan enzim serum dehidrogenase laktat
meningkat dan dapat terus meningkat selama 7-10 hari.
Rabdomiolisis yang diakibatkan mioglobinuria, dapat
menimbulkan gagal ginjal akut. Waktu pembekuan kadangkadang memanjang dan koagulasi intraselular diseminata
(KlD)jarang terjadi.
Meskipun terjadi peningkatan curah jantung, hipotensi
dapat timbul karena vasodilatasi perifer berat dan
penunrnan volume. Tahanan sistemik vaskular rendah
terjadi vasodilatasi sekunder. Padatemperatur di atas 40oC,

kontraksi jantung menurun dan terapi cairan harus


dipantau secara hati-hati pada pasien hipotensi.
Terapi mendinginkan pasien harus dimulai di lapangan,
jangan menunggu mencari penyebab hipertemia. Jika
temperafur merupakan faktor untuk mendinginkan secara
cepat terhadap pasien yang mengalami coma, prosedur
diagnosa lain harus segera ditegakkan. pungsi lumbal
penting untuk menyingkirkan diagnosis meningitis atau

ensefalitis. Sepsis, trauma kepala dan bencana


serebrovaskular dapat juga dipertimbangkan.
Pendinginan yang cepat dan segera merupakan terapi
utanra pada heat stroke. Walaupun banyak perdebatan

Meningkatkan penguapan merupakan cara yarlg praktis


dan efektif. Pasien tanpa pakaian disemprot dengan air
dingin dengan cara menyalakan kipas angin diatas pasien.
Teknik ini menggunakan pendinginan temperatur
0,3 1"C/menit, menghasilkan hal yang sama atau merupakan

efek yang sama atau lebih baik daripada pendinginan


dengan cara pencelupan dalam bak mandi. Teknik ini
dilakukan pada pasien yang aksesnya mudah, ivlines dan
perlengkapan monitor.
Pendinginan aktif dapat dihentikan ketika temperatur

tubuh rrrencapai 39oC untuk mencegah dingin yang


berlebihan. Hipertemia umumnya pulih 4-8 j am, sedangkan
mekanisme termoregulasi pasien menjadi tidak stabil untuk
beberapa minggu sesudah terjadi heat stroke.
Terapi cairan harus dievaluasi secara hati-hati, hipotensi
dapat berubah dengan pendinginan. Output urin harus
dipertahankan untuk mencegah terjadinya risiko gagal
ginjal akut. Vasopressor dapat digunakan hanya pada kasus
tertentu. Menggigil dengan peningkatan produksi panas

dapat diatasi dengan pendinginan. Umumnya ditekan


dengan klorpromazin 25-50 mg iv. CPZ menurunkan
ambang kejang dan dapat menyebabkan hipotensi.
Pengobatan kej ang termasuk diazepam > I 0 mg ivlambat,
fenitoin 15 mg/kg ivdalam larutan garam dengan kecepatan

tidak lebih dari 50 mg/mnt atau fenobarbital120-240 mg


ivlambat setiap 20-30 menit sampai total 400-600 mg.
Asidosis berat (pH<7,2) dapat dikoreksi dengan natrium
bikarbonat (0,5-1meqlkg, iv lebih dari 30-60 menit)
Pasien heat stroke dipantau secara intensif selama 4872 jampadapendinginan cepat dan perubahan status mental. Ikterus, rabdomiolisis dan gagal ginjal akut dapat te{adi
pada kasus yang berat. Prognosis buruk terjadi bila koma
lebih dari 10 jam, ditandai dengan masa protrombin yang
memanjang atau AST lebih dari 1000 IU/I.

SENGATAN LISTRIK
Pada sengatan listrik dapat timbul kerusakan jaringan
dengan spekhum luas, mulai dari lukabakarkulit superfisial
sampai kerusakan organ-organ tubuh hingga kematian.

Kerusakan yang timbul sangat penting untuk

273

SINDROM TERMAL DAI\ SENGAiTAN LISTRIK

mendiagnosis adanya luka padajaringan dan organ tubuh


agar dapat ditentukan tindakan selanjutnya. Sebagian besar
sengatan listrik terjadi pada anak-anak, remaja, dan pekerja
yang terpapar bahaya listrik.

Gambaran Klinis
Listrik dapat menyebabkan kerusakan jaringan sebagai efek
langsung arus listrik searah pada sel dan oleh kerusakan
termal dari panas yang diteruskan oleh jaringan. Energi
terbesar terjadi pada titik kontak sehingga kerusakan
jaringan pada daerah tersebut harus diobservasi lebih baik.
Luka ke luar sengatan listrik lebih besar daripada luka
rrasuk. Bila sengatan listrik masuk ke dalam tubuh,
kerusakan terbesar terjadi pada jaringan saraf, pembuluh
darah dan otot. Sengatan listrik dapat mengakibatkan
nekrosis berupa koagulasi, kematian saraf, dan kerusakan
pembuluh darah. Luka yang ditimbulkan lebih menyerupai
jaringan nekrosis atau kerak daripada luka bakar termal.
Karena ukuran dari luka karena sengatan listrik tidak
berkorelasi baik dengan kerusakan yang ditimbulkan,
pemeriksaan teliti untuk luka yang dalam sangat penting.
Luka traumatik sering terjadi bersamaan dengan sengatan
listrik.

Diagnosis
Diagnosis sengatan listrik berdasarkan riwayat penyakit.
Bila riwayat penyakit tidak jelas, ciri-ciri luka pada kulit
sangat menolong. Pemeriksaan yang menyeluruh serta
memperhatikan luka akibat sengatan listrik sangat penting
unfuk mengesampingkan adatya suatu trauma.
Pemeriksaan untuk tulang patah dan dislokasi tetap

dilakukan walaupun tanpa riwayat trauma. Tidak


ditemukannya luka sengatan listrik pada pemeriksaan
j aringan mengesampingkan sengatan listrik serius.
Pemeriksaan laboratorium hitung darah lengkap
elektrolit, kalsium, urea nitrogen darah, kreatinin, analisa
gas darah, myoglobin (MB), kreatinin kinase (CK). CK MB dapat meningkat tanpa adanya kerusakan otot jantung
tapi ada luka otot secara ekstensif. Fungsi hati dan amilase
diperiksa bila diduga ada luka abdomen.
EKG dapat dilakukan bila ada indikasi ; pemeriksaan
radiologis dilakukan pada sisi luka sengatar.listf.k.CT scan
kepala merupakan indikasi pada luka kepala yang berat,
korna atau bila ada perubahan mental.

serebral, ensefalopati hipoksia, nyeri kepala, afasia, lemah,

paraplegia, kuadriplegia, disfungsi sumsum tulang,


pheriperal neuropati, insomnia, emosi labil

Kulit.

Vaskular. Trombosis, nekrosis koagulasi, DIC, ruptur


pembuluh darah, aneurisma, sindrom kompartemen

Pulmonal. Henti napas (sentral atau perifer mis. tetanus),


pneumonia aspirasi, edema pulmonal, kontusi pulmonal,
kerusakan inhalasi

RenaVmetabolik. Gagal ginj al akut, mioglobinuria, asidosis


metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, hiperglikemia
Gastrointestin al. Perforasi, tukak sttes (Curling Ulc er),
Pendarahan GIT

Muskular. Mionekrosis, sindrom kompartemen

Skeletal. Fraktur kompressi vertebra, fraktur tulang,


dislokasi bahu (anterior dan posterior), fiaktur skapula

Optamologi. Cornel burns, delayed catarac, trombosis


atau hemoragia intraokular, uveitis, fraktur orbita

Pendengaran. Hilangnl'a pendengaran, tinnitus, p9rforasi


membran timpani, mastoiditis,-meningitis

Oral burns. Hemoragia arteri labialis, scarring dan


deformitas fasialis,gangguan bicara, perubahan bentuk
mandibula dan gangguan pembentukan gigi
Obstetrik. Aborsi spontan, kematian janin

Tindakan
l. Airway, breathing dan sirkulasi harus diperbaiki,
mobilisasi spinal harus diperhatikan karetra potensial
2.
-).

Kardiovaskular. Kematian mendadak (frbrilasi ventrikel,


asistolik), Nyeri dada, disritonia, segmen ST-T abnormal,
blok cabang berkas, kerusakan miokardial, disfungsi
ventrikel, MCl, hipotensi (volume deplesi), hipertensi
(pelepasan katekolamin)

Neurologis. Status mental, agitasi, koma, kejang, edema

terjadi trauma spinal.


Pemberian O, tekanan tinggi dengan masker'
Monitor jantung, pulse oksimetri, pemantauan tekanan
darah non invasif.

Fibrilisasi ventrikel, asistolik atau takikardi ventrikular


dapat diterapkan dengan protokol standar ACLS.

Disritmia sering tirnbul tapi tidak membutuhkan


tindakan langsung.
5

5.

Komplikasi Sengatan Listrik

luka akibat sengatan listrik, akibat sekunder luka bakar

Cairan kristoloid iv dengan bolus inisial 20-40 mlkg


setelah satu jam pertama. Perbaikan cairan tergantung
pada luasrtya luka bakar pasien. Untuk mengukur output urine digr.rnakan kateter Foley pada kasus berat.

Jika terjadi rabdomiolisis, lebih banyak dibutuhkan

cairan untuk mencegah gagal ginjal.


Profilaksis tetanus sebaiknya diberikan.
8. Antibiotik profilaksis tidak penting sekali, kecuali bila
ditemukan luka terbuka yang besar.
9. Kejang <iiobati dengan terapi standar.
10. Fraktur dan luksasi setepat mungkin dikurangi.
11. Luka bakar pada kulit dapat diobati dengan silver sulfadiazine sesudah dibersihkan.

1.

274

KEGAWTTIDARURITIAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEDTYAKIT DALAM

12. Konsultasi dengan dokterbedah umum bila terjadi

luka

jaringan yang dalam dan luas. Pasien di

atas

membutuhkan eksplorasi luka bakar, debridemen,


fasiotomi, dan perawatan cukup lama. Anak-anak
dengan luka lokal dapat dievaluasi dengan spesialis
ENT atau bedah plastik. Wanita hamil yang mengalami
sengatan listrik membutuhkan konsultasi kandungan
untuk penanganan dan monitor janin. Pasien dengan
sengatan listrik yang berat dapat diisolasi di unit luka
bakar atau pusat trauma.
13. Anak-anak yang mengalami luka lokal yang

terlokalisir

atau luka pada tangan dapat dipulangkan. Orang tuanya

harus diberi instruksi untuk mengontrol pendarahan


arteri labialis yang dapat timbul kemudian.

listrikll}-22}Y tanpa
gejala/luka. EKG normal dan pemeriksaan fisik normal
dapat dipulangkan.

14. Pasien yang mengalami sengatan

REFERENSI
Bacon CJ, et al : Case controi study of thermal environmenl
proceeding haemorrogic shock encephalopathy. Arch Dis Chitd

81,1999
Bouchama

A, Knochel JP: Heat Stroke. N engl J Med.

2002:.346:1978
Cauchy E et al: Retrospective study of 70 cases of severe frostbite
lesions: a proposed new classification scheme. Wildernedd
Environ Med,. 2001;12:248,
Daley BJ, et al: Electrical injuries. Updated November 11 20A4.
Available at: http ://www emedicine com/med/topic28 1 O.htm

Danzl DF: Hypothermia and Frostbite. Kasper DL, et al

eds.

Harrison's principles of Intemal Medicine. 16s edition. McGrawHil1. New York, 2005
Danzl DF: Hypothermia. Senib Respir Crit Care Med. 2002;23:57
Dinarello CA, et al: Fever and Hyperthermia. Kasper DL, et al eds.
Harrison's principles of intemal medicine. l6s edition. McGraw-

Hill. New York, 2005


Dinarello CA: Proinflammatory cytokines. Chest. 2000;118:503
Giesbrecht GG: Cold stress, near drowning and accidental hypo
thermia: A review. Aviat Space Environ Med. 2000;71:733
Kochanek PM,

et al: Therapeutic hypothermia for

severe

traumatic brain injury. JAMA. 2003;22:289

Leibovici D, et al: Electrical injuries: current concepts. Injury.


1995l.9:26.

38
SENGATAN SERANGGA
Budiman

PENDAHULUAN

diikuti pengracunan dapat disebabkan oleh Laxosceles

Sengatan serangga dan pagutan ular merupakanbagian

reclusa, laba-laba cokelat, dan empat spesies terakhir dari


Laxosceles yang banyak terdapat di Amerika Tengah dan
Utara.

dari kegawatan karena lingkungan. Pada dasarnya


penatalaksanaan sengatan serangga dan pagutan ular
tergantung jenis binatang itu sendiri. Oleh karena itu,

Laba-laba lain yang menyebabkan ulkus nekrotik


termasuk dalam jenis laba-laba hobo (Tegenaria agrestis).
Laba-laba reclus e berwamacokelat dan mempunyai warna
ungu gelap berbentuk titik pada permukaan dorsal. Labalaba hobo cokelat dengan tanda abu-abu dan laba-laba
kantung dapat berwarna kuning pucat, hijau atau cokelat.
Laba-laba ini tidak agresif dalam menggigit manusia
dan gigitannya hanya berupa tekanan pada kulit. Labalaba ini menyerang dari balik batu dan tumpukan kayu,
sering menyerang pada malam hari. Gigitan timbul pada
korban yang berpakaian, mula-mula di lengan, di leher, dan
di bawah perut.
Cairan jemih dari laba-laba ini berisi esterase, fosfatase

sangat penting untuk mengetahui secara langsung


binatang yang menggigit atau setidaknya mengetahui ciri

binatang tersebut melalui wawancara dengan pasien


maupun saksi kejadian.
Perlu diketahui bahwa tidak semua serangga dan ular

itu beracun. Kendati beracun pun, belum tentu kadar


toksinnya dapat membahayakan manusia. Toksin itu
sendiri merupakan alat mempertahankan diri maupun
mencari makan bagi serangga maupun ular.
Pada tulisan ini, akan dibahas penatalaksanaan gigitan
dan pagutan beberapajenis serangga dan ular yang dapat
membahayakan manusia, baik secara umum maupun khusus.

alkalin protease dan enzim lain yang menyebabkan


nekrosis jaringan dan hemolisis.
Sfingomielinase B, faktor dermonekrotik yang penting,
terletak di antara membran sel yang merupakan kemotaksis
neutrofil, akan menyebabkan trombosis vaskular dan reaksi

SENGATAN SERANGGGA

seperti Arthus.
Mulanya gigitan tidak nyeri atau terasa panas. Setelah
beberapa jam terasa nyeri dan gatal dengan indurasi di
sekeliling gigitan ada daerah pucat iskemik dan daerah
kemerahan. Pada banyak kasus tanpa terapi akan sembuh
dalamwakhr2-3 hari.

Sengatan laba-laba dapat menimbulkan rasa sakit,


kulit dan

bahkan dapat menimbulkan nekrosis

keracunan sistemik.
Dari 30000 spesies laba-laba, ada seratus yang bersifat

mengadakan penetrasi pada kulit manusia.


Identifikasi bahwa ini gigitan laba-laba dapat diketahui
sejak awal terapi.

agresif dan mempunyai gigi taring yang cukup

Pada kasus yang berat, kemerahan merata dan di bagian

tengah ada pendarahan dan nekrosis disertai timbulnya


bula. Timbul jaringan kehitaman dan terkelupas yang
beberapa minggu kemudian meninggalkan ulkus yang
diameiernya bisa mencapai 25 cm dan kadang-kadang

GIGITAN LABA.LABA PERTAPA DAN NEKROSIS


ARACHNIDISM

membuat j aringan cekung.

Proses penyembuhan bisa 3 hingga 6 bulan. Bila


mengenai jaringan lemak, penyembuhan bisa sampai 3

Nekrosis kulit yang berat dan nekrosis jaringan subkutis

275

276

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PE}TYAKIT DAI.AM

tahun. Kompikasi lokal bisa melukai jaringan saraf dan


infeksi sekunder. Demam, nyeri, lemah, mual, muntah,

mialgia,

artr algia, makulopapul

ar

dan leuko sito

si

dengan kompres dingin pada sengatan agar mengurangi

absorbsi racun. Berikan infus intravena midazolam


untuk mengontrol agitasi, gerakan otot yang tidak

s dapat

timbul setelah 72 jam gigitan serangga. Jarang terjadi


komplikasi akut berupa anemia hemolitik, hemoglobinuria
dan gagal ginjal.

'

/
Penatalaksanaan

.
.
.

.
.
.

Tindakan awal dengan membersihkan gigitan, balut


dengan balutan yang steril dan beri kompres dingin,
angkat dan lakukan imobjlisasi bagian yang baru digigit.
Bila ada indikasi, berikan analgetik, antihistamin,
antibiotik dan profilaksis tetanus.
Pada 48-72 jampertama diberi dapson, inhibitor leukosit
yang dapat menghentikan lesi yang akan menjadi
nekrosis. Dapson diberikan per oral 50-100mg 2kalil
hari, setelah dipastikan tidak ada G6 phosphatase dehydrogenase G6PD defiuency.
Bila efek lokal atau sistemik dari glukokortikoid tidak
terlihat maka lebih potensial dignakan Laxosceles yang
spesifrk antivenin.

Debridemen dilanjutkan dengan skin grafting


Pasien dimonitor terhadap tanda-tanda hemolisis, gagal
ginjal dan komplikasi sistemik yang lain.

beraturan yang disebabkan oleh sengatan kalajengking.


Pemantauan selama pengobatan dapat diberi dan sedatif
atau narkotik j ika perlu temtama pasien yang mengalami
gej ala-gej ala

neuromuskular untuk mencegah terjadinya

henti napas.
Hiperlensi dan edema pulmonal dapat dikontrol dengan
nifedipin, hidr alazit atau prazosin dan bradiaritmia bisa

dikontrol dengan atropin.

SENGATAN HYMENOPTERA
Yang termasuk di dalamnya adalah 1ebah, tawon dan semut.

Umumnya mereka menyerang bila koloni atau sarangnya


diganggu. Racunnya diproduksi pada kelenjar di bagian
belakang perut yang akan keluar dengan cepat bila terjadi
kontraksi otot kantung racun dengan kapasitas di atas 0,1
ml pada serangga yang besar.
Toksin polipeptida pada lebah madu termasuk melitin
yang dapat merusak selYnembran; degranulasi protein sel
mast dapat menyebabkan pelepasan histamin berupa
apamin (neurotoksin); adolapin (anti inflamasi). Enzim
dalam racun terdiri dari hialuronidase yang merupakan

SENGATAN KALAJENGKING

sebagian besar komponen dan fospolipase yang

Kalajengking merupakan binatang yang hidup di tanah


dan memakan artropoda serta kadal kecil. Kalajengking

merupakan major venom allergen.


Sengatan lebih menimbulkan nyeri, bengkak dan reaksi
kemerahan, edema lokal dan bengkak yang timbul setelah

memiliki sepasang penjepit yang digunakan untuk


menggenggam mangsanya. Kemudian melumpuhkan
mangsanya dengan sengatan yang terdapat pada ujung
ekor. Sengatan tersebut menimbulkan rasa nyeri dan panas

yang potensial menimbulkan pengracunan yang


mematikan. Kalajengking yang mematikan terdiri dari 301000 spesies (yang telah diketahui) dan menyebabkan 5000
kematian di dunia setiap tahunnya.
Kalajengking mencari makan pada malam hari dan

menyengat pada siang hari biasanya tinggal di bawah


kayu, di batu atau di dalam tanah. Bila didalam gedung, ia
ditemukan di sepatu, pakaian, tempattidur, bakmandi dan
bak cuci piring. Kalajengking menyengat manusia bila
diganggu.

beberapa jam. Gigitan multipel dapat menyebabkanmual,


diare, edema menyeluruh, dispnea, hipotensi, dan kolaps.

Rabdomiolisis dan hemolisis intravaskular dapat


menyebabkan gagal ginjal. Kematian akibat efek langsung
dari racun terjadi bila sengatan lebah madu antara 300-500
sengatan.

Penatalaksanaan
Pada sengatan dibersihkan, diberi desinfektan dan
diberikan es batu. Bila perlu diberikan analgetik,
antihistamin oral dan losion kalamin topikal. Reaksi lokal

yang cukup luas diobati dengan glukokortikoid. Pasien


dengan banyak sengatan dimonitor selama 24 jam untuk
mencegah terjadinya gagal ginjal atau koagulopati.

Penatalaksanaan

Sengatan dari spesies yang tidak mematikan, sebaiknya

SENGATAN SEMUTAPIDAN SEMUT LAIN

diberikan es batu, analgetik atau antihistamin.


Umumnya sengatan hanya menimbulkan nyeri lokal
dapat ditangani di rumah dengan instruksi kembali ke

Sengatan semut api merupakan masalah kesehatan di


Amerika. Semut menggigit pada waktu banjir bila terjadi

bagian gawat darurat bila terjadi perkembangan


penyakit menjadi gangguan saraf dan otot atau

gangguan saraf kranial.

Perlakukan pasien dengan tenang, berikan tekanan

kontak dengan manusia. Semut merah-cokelat atau semut


cokelat-hitam menyengat kulit manusia dengan kekuatan
rahang ketika menyemprotkan racun. Racun alkaloid berisi
piperidines sitotoksik dan hemolitik serta beberapa

277

SENGAfrAN SERANGGA

protein dengan enzim aktif.


Mula-mula timbul reaksi kemerahan, bengkak dan rasa
terbakar timbul dalam 30 menit. terjadi pustula steril dalam
wakfi 24 jam. Pustula menjadi ulkus setelah 48 jam dan
sembuh dalam I 0 hari bila tak terjadi infeksi sekunder.
Eritem yang cukup luas dan edema dapat timbul dalam

Pengobatan dengan antihistamin dan antipruritus.


Pencegahannya yaitu membersihkan tempat bersarangnya

kutu, tempat tidur dan pejamu dengan menyemprot


insektisida seperti pyrethin, DDT atau malathion.

beberapa hari walaupun tak selalu terjadi. Pada kasus yang


berat dapat terjadi penekanan sarafdan pembuluh darah.

REFERENSI

Sengatan diberi es batu, glukokortikoid topikal dan


antihistamin oral. Pustula ditutup dengan verban dan diberi
antibiotik bila ada indikasi. Epinefrin dan terapi suportif
lainnya diberikan bila ada reaksi anafilaktik.

Auerbach PS, Nonis RL. Disorders caused b1, reptile bites and marine animal exposures.In: Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. New York:McGraw-

GIGITAN KUTU
Umumnya kutu yang menggigit manusia adalah kutu
anjing, kutu kucing atau kutu tikus yang mempunyai sarang
dan tinggal pada pejamu. Larva kutu memakan butir-butir
darah pejamu yang mengering yang dikeluarkan oleh kutu
dewasa pada waktu makan. Kutu manusia menetap pada
tempat tidur atau furnitur.
Pada orang yang sensitif akan timbul eritema, papul,

urtika vesikel dan infeksi bakteri pada tempat gigitan.

Hill; 2005
Auerbach PS, ed. lYilderness medicine.4h ed. St. Louis: Mosby;2001
Barzilai A et al.Insect bite-like reaction in patients with hematologic malignant neoplasms. Arch Dermatol .19991,135.
Goddard J.Physician's guide to arthropods of medical importance.
4'h ed Boca Raton: CRC Press; 2002
Gold BS et al.Bites of venomous snakes. N Engl J Med. 2002;347.
Mauguire JH, et al. Ectoparasite infestations and arthropod bites
and sting. Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of intemal
medicine 16th edition New York:McGraw-Hill;2005
Sharma SK et al.Impact of snake bites and determinants of fatal
outcomes in Southeastern Nepal. Am J Trop Med Hyg.
2004;2:71.
Werner GTPoisonous-snake bites. Therapy and preventive measures. Fortschr Med. 1978;6:96.

39
PENATALAKSAN MTN KERACUNAN
BISA I(ALA"IENGKING
Djoni Djunaedi

INSIDENS, JENIS DAN KARAKTERISTIK

dalam sepatu, pakaian, tempat tidur bahkan menyelam di


dalam bak mandi serta ditemukan di tempat-tempat gelap

KALAJENGKING

laindalamrumah.
Sengatan kalajengking terasa nyeri namun pada

Kalajengking (Scorpion) merupakan jenis binatang tanah


yang terhra. Diperkirakan kalajengking telah ada di muka
bumi ini sejak sekitar 400 juta tahun yang lalu (Depkes,
2001). Di antara 1000 spesies yang sejauh ini telah berhasil
diidentifrkasi, hanya sekitar 30 spesies yang memiliki racun
yang mematikan (Maguire,2005). Beberapa spesies yang
beracun tersebut berikut r,egara tempat hidupnya adalah

umumnya tidak berbahaya kecuali sengatan oleh

kajengking jenis beracun. Racun kalajengking


mengandung aampuran kompleks fosfolipase A2,
asetilkolinesterase, hialuronidase, protein dengan berat
molekul rendah, asam amino dan serotonin (Depkes, 2001).
Spesies Zelra s quinquestriatus merupakan spesies dengan
racun yang kardiotoksik dan dapat menyebabkan syok,
hipotensi serta edema paru.

Centruroides suffuses (Meksiko), Tityus serrulatus


(Brazil), Leirus quinquestrialas (Afrika Utara) dan
Centruroides sculpturatus atau C. axilacauda (bark
scorpion) yang hidup di Amerika Serikat, Arizona, Texas,
Meksiko Utara dan di beberapa daerah California.
Centruroides sculpturatus memiliki panjang I - 7 cm
dengan alat penyengat di bagian ekor dan melakukan
kegiatan (aktif) pada malam hari. Pada tahun 1950
katAjengking jenis ini dilaporkan menyebabkan banyak
kematian meskipun sejak tahun 1968 tidak pernah ada

laporan mengenai kematian akibat sengatan

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pada lokasi sengatan kalajengking kadangkadang teriihat minimal dan secara umum racun kalajengking
menunjukkan sifat hemolitik dan neurotoksik yang dapat
bermuara pada tingkat keracunan berat (Wirtz, l99l).

C.

sculpturatus selain kematian bayi umur 5 bulan. Di seluruh


dunia setiap tahunnya dilaporkan sekitar 5000 kematian
akibat sengatan kalajengking (Maguire, 2005). Di IRD
RSUD dr. Saiful Anwar Malang sepanjang tahun 2004 2005 hanya menerima satu kasus sengatan kalajengking
tanpa kej adian kematian.
Pada umumnya kalajengking tidak agresif kepada
manusia namun dapat menyengat jika terancam atau marah
akibat diusik oleh manusia. Mereka umumnya melakukan
kegiatan pada malam hari dan sebagian besar hidup di
dalam pohon, dekat pohon atau mencari tempat teduh di
bawah bangunan. Namun adakalanya kalajengking juga

Gejala Lokal
Nyeri seperti terbakar, gejala peradangan disertai parestesi

lokal. Gejala-gejala tersebut umumnya membaik dalam


waktubeberapa jam.

Gejala Sistemik

Umumnya ditemukan pada anak-anak berusia kurang


dari l0 tahun. Gejala yang timbul dapat berupa gelisah,

keluar keringat berlebihan, diplopia, nistagmus,


fasikulasi, opistotonus, salivasi, hipertensi, takikardi
dan kadang-kadang kejang, paralisis otot pernapasan
(terutama pada orang tua dan anak-anaQ.

ditemukan masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di

278

279

PENATALAKSANAAT{ KERACUNAN BISA I(ALAIENGKING

Gejala-gejala tersebut dapat pula disertai dengan edema

paru, syok, koagulopati, koagulasi intravaskular


diseminata (KID), pankreatitis, gangguan fungsi ginjal,
hemoglobinuna, ikterus, rabdomiolisis, hipertermia, dan
asidosis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada penderita yang gelisah dengan gerakan-gerakan


tak terkontrol dapat diberikan infus intravena kontinu

dengan midazolam. Bagaimanapun juga pemberian


sedatif tidak boleh berlebihan.
Pemberian antivenin harus dilakukan secara hati-hati
sebab dapat memberikan reaksi anafilaksis dan serum
s icknes s. mengemukakan bahwa pemberian antivenin
yang berasal dari domba masih kontroversial.
Reaksi syok anafilaksis dapat dijumpai pada penderita

Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar: Hb,


leukosit, trombosit, elektrolit, gula darah, urea, kreatinin,
CPK (kreatinin fosfokinase), profil koagulasi, analisis gas

yang sensitifterhadap racun kalajengking. Reaksi yang


ditimbulkan akibat keracunan sengatan kalajengking

darah dan uji faal hati.

penatalaksanaannya pada tingkat immediate treatment,


mild reaction treatment dan serum reaction treatment.
Reaksi klinis yang timbul dapat berupa konjungtivitis,
rinitis, urtikaria,/angioderm a, pruritius, eritema edema
laringeal, bronkospasme dan hipotensi yang dapat
berakhir dengan kematian.

pada penderita yang sensitif membedakan

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kasus sengatan kalajengking dapat
dipilah ke dalam:

Terapi Suprotif

Stabilisasi: 1). Penatalaksanaan jalan tapas, 2).


Penatalaksanaan fungsi pernapasan: ventilasi dan

ANJUMN PENCEGAHAN PADA DAERAH SCORP'ON


INFESTED

oksigenasi, 3).Penatalaksanaan sirkulasi: pasang infus


kristaloid.

Dekontaminasi: 1). Cuci luka dan berikan tetanus

profilaksisjika diperlukan, 2). Jangan diberi es pada lokasi


luka dan jangan melakukan insisi lokal serta pengisapan.
Prosedur ini berbeda dengan prosedur yang dianjurkan
oleh Dreisbach, Maguire, dan Wirtz (1991) yang
menganjurkan unhrk melakukan kompres es pada lokasi
sengatan pada beberapajam pertama dengan tujuan untuk
melokalisasi racun sehingga absorpsi racun berkurang.

Terapispesifik
Terapi antivenin dengan pemberian serum skorpion
(polivalen)

Terapi Tingkat Lanjut


Terapi ini dilakukan untuk mengatasi gejala sistemik akibat
keracunan sengatan kalaj engking seperti hipertensi, edema

paru, bradiritmia, gelisah, syok.

Hipertensi dan edema paru dapat diatasi dengan

pemberian nifedipin, nitroprus s ide, hy dralazine ata,u


prazostn
Bradiaritmia dapat dikontrol denganpemberian atropin

Periksa dan kibaskan benda-benda seperti sepatu,


pakaian, handuk dan tempat tidur sebelummemakainya

Singkirkan kayu, batu, tumpukan benda-benda yang


disukai oleh kajengking untuk menyembunyikan diri
Semprotan insektisida dapat mengurangi sumber
makanan kalajengking sehingga antropoda jenis ini
dapat punah.

REFERENSI
Depkes: Penatalaksanaan keracunan bisa sengatan kalajengking
(scorpion). Dalam SIKer. Dirjen POM Depkes RI. Pedoman
penatalaks anaan keracunan untuk rumah s akil:2001.p.240-42
Dreisbach, R.H. dan Robertson, WO.Handbook of poisoning: prevenlion, diagnosis and lreatment. 12'h eds. Connecticut:
Appleton & Lange:i987.p. 486-90
Maguire, J.H., et.al:Ectoparasite infestations and arthropod bites
and stings. In D.L. Kasper et.al. (eds.). Harrisonb Principles of

Internal Medicine. 16'h ed. NY: McGraw-Hill:2l5.p2603-4


Reid HA:Animal poisoning, in Manson's Tropical Diseases. 18th
ed., PEC Manson-Bahr, FIC Apted (eds). London:Bailliere
Tindall: I e82.p .544-65.
Rekam Medik RSUD dr. Saiful Anwar Malang, 2005

Wirtz, R. dan Azad AF:Injurious arthropods. In: GT. Strickland


(ed). Hunter's Tropical Medicine. T'h ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company: 1991 .p.907 -9.

40
PENATALAKSAN A/\N GIGITAN
ULAR BERBISA
Djoni Djunaedi

protease ancrod merupakan prokoagulan dari

INSIDENSI

C. rhodostoma yenom (menekan fibrinopeptida-A dari

fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan


trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-

Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak

berbisa maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular


menggigit pada saat ia aktif, yaitu pada pagi dan sore hari,
apabila ia merasa terancam atau diganggu. Di seluruh dunia
setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang meninggal
dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat
ditemukan 8000 kasus gigitan ular berbisa per tahunnya
dengan 98%o gigiranterjadi di daerah ekstremitas danl\Yo

hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi


yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggung jawab
terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian

besar bisa ular mengandung fosfolipase

yang

bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik,


rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom
lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase dan DNAase perannya belum jelas. Peran procoagulant yenom
factors (enzim) dapat dilihat pada bagan berikut:

disebabkan oleh Rattlesnake. Dibagian Emergensi RSUP


dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurunwaktu 1996- 1998

dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa.


Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dalam kurun

waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus


gigitan ular berbisa. Kepada semua kasus gigitan ular
tersebut diberikan terapi antivenom dan menunjukkan hasil
yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah
sakit sudah dalam keadaan koma dan apnoe. Hal ini sejalan

FAKToRxZ

dengan laporan Auerbach (2005) bahwa angka kematian


ditemukan kurang dari |Yo padakasts gigitan ular berbisa
yang diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan
sekitar 30.000 - 40.000 kematian akibat gigitan ular berbisa.

Ca--PL

PROTROIVBIN

Komposisi, Sifat dan Mekanisme "Ketja" Bisa Ular


Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen

II

Some bothrops species


("Stypven')

Echis carinatus ("Ecarin")


some Australian Elapids
some Colubrids
TR0M BIN lla
Calloselasma rhodostom
("Arvin, Ancrod")
Trimeressurus specres
Some B
species

sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan


sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang
sebagian besar (90%) adalahprotein, terdiri dari berbagai

Ca"

FIBRINOGEN

RIN

Xllla +-

Xlll

macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan
beberapa enzim seperti ecarin (suafit enzim prokoagulan
dari E. carinatus venom yang mengaktivasi protrombin).

Gambar 1. Kerja beberapa bisa ular yang bersifat prokoagulan

Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine

pada kaskade pembekuan (adaptasi dari Warrell)

I
I

t
CROSS-LINKED FIBRIN

280

281

PENATALAKSIANAAN GIGITAN ULAR BERBISA

Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat


dan dampak yang ditimbulkannya seperti neurotoksik,
hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin,

antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular


(merusak tunika intima). Selain itu bisa ular juga
merangsang jaringan untuk menghasilkan zat-zat
peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat
lambat.

GAMBARAN KLINIS
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan
bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala
lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):

1.

2.
3.

JENISJENIS ULAR BERBISA


Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun
jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan
morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke
dalam 4 famili utama yaitu:
. Famlli Elapidae misalnyaular weling, ular welang, ular
sendok, ular anang dan ular cabai
. Famili CrotalidaelWperidae misalnya ular tanah, ular
hijau dan ular bandotan puspo
. Famili Hydrophidaemisalnya ular laut

Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan,


ekimosis (dalam 30 mernt - 24 1am)
Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat,
menggigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala dan
pandangan kabur
Gejala khusus gigitan ular berbisa:
. Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru,
jantung, ginjal, peritonium, otak, gusi,hematemesis
dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),

.
.
.

berbisa atau ular tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu

bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan


sebagai berikut:

Ciri-ciri ular berbisa : l).Bentuk kepala segi empat

Neurotoksik hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis


pernapasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot
laring, refleks abnormal, kejang dankoma
Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan

tanda-tanda 5P (pain, pallor, paresthesia,

Famili Colubridaemisalnyaularpohon

Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular

hemoptoe, hematuria, koagulasi intravaskular


diseminata (KID)

paralysis, pulselesness)
Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat
diklasifi kasikan sebagai berikut:

Derajat

panjang, 2). Gigi taring kecil, 3). Bekas gigitan: luka halus
berbentuk lengkungan

Venerasi

00+
l+l-+
ll

1). Kepala segi tiga, 2).Dta


gigi taring besar di rahang atas, 3). Dua luka gigitan utama

Ciri-ciri ular tidakberbisa:

akibat gigi taring

Nyeri

+l+++

+++

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang

Edema/

Eritema
<3 cm / 12jam

3-12 jaml12 iam

0
+

>12-25 cml12 jam

neurotoksik,
mual,
puslng,
syok
>25 cml12 jam

++

> ekstremitas

ptekhiae,
syok,
ekhimosis
++

ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah


jenis ular:

+++

Sistemik

gagal ginjal
akut, koma,
perdarahan

Hematotoksik seperti: Trimeresurus albol aris (ular hij au),


Ankistrodon rhodostoma(ular tanah). Aktivitas hemoragik
pada bisa ular Wperidae menyebabkan perdarahan spontan
dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade

pembekuan).

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan:

s (lular welang),

Naya sputatrx (ular sendok), ular kobra, ular laut


Neurotoksin pascasinaps seperti a-bungarotoxin dan
cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor

Neurotoksik

seperti : B u n g aru sfa

sc

a tu

Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae


memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies

yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat


gigitan.

sebelumnya.

Pemeriksaan

fisik: status umum dan lokal

serta

perkembangannya setiap 12 jam

end-plate sedangkan neurotoksin prasinaps seperti bbungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan
fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromus cular j unction.

Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat


kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:


Gigitan Elapidae:

Efeklokal (kraits, mambas, coral snakesdanbeberapa


kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa
pembengkakan, atau kerusakan kulit dekat gigitan.

282

Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia


memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan
kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa

sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak


di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata
Gejala sistemik mrurcul 15 menit setelah digigit ular atau

muncul setelah l0 jam kemudian dalam bentuk paralisis


dari urat-urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan
sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata
menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit

dingin, muntah, pandangan kabur dan mati rasa di


sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralisis otot
leher dan anggota badan, paralisis otot pernapasan
sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah
menurun, denlut nadi lambat dan tidak sadarkan diri.
Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung
hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat
timbul gejala-gejala neurotoksik. Kematian dapat terj adi
dalam24jam.

Gigitan Wperidae:

Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa


jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya
cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit
dekat gigitan

KEGAWAIDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

Gigitan Coral snake: Jika terdapat toksisitas neurologis


dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius anti-

venin)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin,


N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan,
waktu protrombin, fibrinogen, APT! D-dimer, uji faal
hepar, golongan darah dan uji cocok silang
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria
urea

.
.
.

(mioglobulinuria)
EKG

Foto dada

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaal pada kasus gigitan ular berbisa
adalah:

.
'
.

Menghalangi/memperlambatabsorpsibisaular
Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam
sirkulasi darah
Mengatasi efek lokal dan sistemik

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah


beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare,

perdarahan pada bekas gigitan (lubang dan luka yang

Tindakan Penatalaksanaan
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat

dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam


muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat
kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari

.
.
.

berikutnya akan timbul memar, melepuh dan kerusakan


jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang-kadang
tekanan darah rendah dan denyut nadi cepat.

Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas


siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan
perdarahan hebat.

Gigitan Hydropiidae:

.
.

Gejala yang segera muncul berupa sakit kepala, lidah


terasa teba'l, berkeringat dan muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul
kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang,
paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pulil
dan ptosis, mioglobulinurtayang ditandai dengan urin
wama coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik),
ginjal rusak, henti jantung.

Gigitan Rattlesnuke d,an Crotalidae:

Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan,


ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan
indikasi minimal yang perlu dipertimbangkan untuk
pemberian polivalen crotalidae antivenin
Anemia, hipotensi dan trombositopenia merupakan
tanda penting.

pengobatan,

beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah

B.

Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal


terhadap luka gigitan
Jangan memanipulasi daerah gigitan
Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum
minuman yang mengandung alkohol
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum
tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal
dari gigitan. Tindakan mengikat ini kurang berguna
jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.
Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe,

bukan menahan aliran vena atau arteri.


Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan
terapi suportifsebagai berikut :

.
.
.
.

Penatalaksanaan jalan napas

Penatalaksanaan fungsi pemapasan


Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan : verban
ketat dan luas di atas luka, imobilisasi (dengan bidai)

Ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu


protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen dan Hb,
leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit
(terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika

>10 menit, menunjukkan kemungkinan adatya

koagulopati
Apus tempat gigitan dengan yenom detection

283

PENATALAKSANAAN GTGITAI\ ULAR BERBISA

l0-50LD1}bisaAnlEstrodon

25-50LD50bisaBzrngarus
25-50 LD50 bisaNaya Sputarix
Fenol 0.25ohvlv

- Gangguan neurotoksik: beri

Beri SABU (SerumAnti BisaUlar, serumkudayang


dikebalkan) polivalen 1 ml berisi :

.
.
.
.

dan edema hebat pada bagian luka.

Neostigmin

(asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin

Teknik pembeiat 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 5 00 ml


NaCl 0,9% atau Dextrose 50% dengan kecepatan 40-80 tetes/
menit. Maksimal 100 ml(20 vial). Infiltrasi lokal pada luka

tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adarry a gejala venerasi sistemik

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid


Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan
ukuran lilitan lengan atau anggota badan
Sindromkompartemen: lakukanfasiotomi

depresan

Terapiprofilaksis:

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz danWay


(Depkes,2001);
Derajat 0 dan 1: tidak diperlukan SABU; dilakukan
evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan


Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau
kodein, hindari penggunaan obat-obatan narkotik

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman


terbanyak yang dijumpai adalah P. aeroginosa,
Proteus sp., Clostridium sp., B. fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

SABU

.
.
.

Derajatll :3-4 vialSABU

DerajatIII : 5 15 vial SABU


DerajatlV : berikanpenambahan6-

vial SABU

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan


Ular
. Penduduk di daerah di mana ditemukan banyak ular
berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana
berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50%

Lreratat

'

Tidak ada
Minimal
Sedang
Berat
Berat

0
I

il

ilt

Geiala
..
ststemtK

Beratnva
evenomast
+
+
+
+
+

<2

Jumlah
vtal
venom
0

2-15
1

5-30
>30
<2

++
+++

10
15
15

kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian

.
.
.
.

Pedoman terapi SABU menurut Luck


Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian

bawah sampai dengan kaki


Ketersediaan serum antibisa ular (SABU) untuk daerah
di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah
berumput dan semak-semak

Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati


sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak
penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

.
.

antivenom
- Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak

meningkat, waktu pembekuan darah tetap


memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi

pemeriksaan d arah pada I dan 3 j am berikutnya dst.


Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat,
waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat

diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah untuk


memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan
hingga 2 x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan

koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita


dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani
operasi minimal 2 minggu setelah gigitan .
Terapi suportif lainnyapadakeadaan:

Gangguan koagulasi berat: beri plasmafresh-frozen

Perdarahan: beri transfusi darah segar atau


komponen darah, fibrinogen, vitamin K, transfusi

(dan antivenin)

trombosit

REFERENSI
Auerbach, P.S. danNorris, R.L.2005. Disorders causedby
reptilebites andmarine animal exposures. InD.L. Kasper
et.al. (eds.). Harrison's Principles of Internal Medicine.
I 66 ed. NY: McGraw-Hill : 2593-2598
Depkes. 2001 . Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam
SIKer. Ditjen POM Depkes RI . Pedomanpenatalal<sanaan
keracunan untuk Rumah Sakit: 253-259
Dreisbach, R.H. dan Robertson, W.O. 1987. Handbook of
poisoning: prevention, diagnosis and treatment. l2th
eds. Connecticut: Appleton & Lange: 467-490
Rekam Medik RSUD dr. Saiful Anwar Malang, 2005
Warrell, D.A. 1991. Snakes. In G.T. Strickland(ed.). Hunter b
Tropical Medicine.l'h ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company: 877-888.

4l
INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAT)
Nanang Sukmana

edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang


(pada kasus berat).

PENDAHULUAN
Kecepatan danketepatan penanganan intoksikasi
(keracunan) sangatlah penting agar penderita dapat
segera dikelola dan diobati sesuai dengan besar masalah
sehingga penderita tersebut tidak mengalami komplikasi
yang lebih berat maupun kematian. Akan tetapi pada
kenyataannya sering kita jumpai penanganan kasus
keracunan mendapat kesulitan karena penyebab yang
sukar diketahui atau banyak organ yang mengalami

PRINSIP PENATATAKSANAAN KASUS KERACTJNAN

Mengingat kecepatan diagnosis sangat bervariasi dan


disisi lain bahaya keracunan dapat mengancam nyawa
maka upaya penatalaksanaan kasus keracunan ditujukan
kepada hal seperti berikut: 1). Penatalaksanaan kegawatan.
2). Penilaian klinis. 3). Dekontaminasi racun. 4). Pembenan

kerusakan akibat zatlbahan penyebab.

Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan


multisistem dengan penyebab yang tidak jelas harus
dicurigai kemungkinan keracunan, misalnya bila
ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak,
gangguan napas, pasien psikiatri dengan manifestasi
berat, anak remaja dengan sakit dada , aritmia yang
mengancam nyawa atau pekerja yang menunjukkan

antidotum. 5). Terapi suportif. 6). Observasi dan konsultasi.


7). Rehabilitasi.
Dari rincian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa
yang paling utama adalah menentukan besar masalah
yang muncul untuk segera diatasi.

gejala klinis di lingkungan kerja yang mengandung bahan


kimia, asidosis metabolik yang sukar dicari penyebabnya,
tingkah laku aneh ataupun kelainan neurologis dengan
kausa yang sukar diketahui.
Dari keadaan tersebut di atas maka setiap klinikus harus
mempunyai kemampuan dan penalaran yang baik untuk

Berhubung setiap keracunan dapat mengancam nyawa


maka walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan maka
setiap kasus keracunan harus diperlakukan seperti pada
keadaan kegawatan yang mengancam nyawa. Penilaian
terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan,
sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara
cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak

Penatalaksanaan Kegawatan

dapat menegakkan diagnosis keracunan meskipun


dihadapkan dengan kasus yang rumit.
Pada tulisan ini akan dibahas "simtomatologi dan
penatalaksanaan darurat pada pengguna zat adlktif ".

terlambat dimulai.

Semua urutan resusitasi seperti yang

umumnya dilalrukan. yaitu

Simtomatologi Opiat
Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan
simptomatolo gi yanghampir sama yaitu golongan opiat
(morpin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif : 1). narkotika.
2).barbiturat. 3).benzodiazepin. 4). meprebamat. 5). etanol.

(Airways), bebaskanjalannapas dari sumbatan bahan


muntahan, lendir, gigi palsu. Bila perlu dengan
perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat
penghisap lendir.

B
C

Tanda dan gejala yang sering ditemukan : Koma,


Depresi napas, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi,

284

(Breathing), jaga agar pernapasan sebaik mungkin


dan bila memang diperlukan dapat dengan alat respirator.
(Circulation), tekanatt darah dan volume cairan harus
dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan
dalam keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid.

285

INTOKSII(ASI iIARKOIIKA (OPIAT)

Bila terjadi henti jantung lalarkan RJP (resusitasi Jantung

Pemberian Antidotum

Paru).

Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip


utama adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah.
Apalagi antidotum belum tentu tersedia setiap saat.

Penilaian Klinis
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
penatalaksanaan keracunan harus segera dilakukan tanpa
menunggu hasil penapisan toksikologis. Walaupun diagnosis etiologi hampir sebagian sulit ditegakkan akan
tetapi dengan penilaian dan pemeriksaan klinis yang
cermat dapat ditemukan beberapa kelompok kelainan yang
memberi arah kepada diagnosis etiologi.
Oleh karena itu pada kasus keracunan bukan saja hasil
laboratorium toksikologis yang selalu harus diperhatikan
akan tetapi standar pemeriksaan kasus keracunan yang
telah disetujui di masing-masing rumah sakit perlu dibuat
unfuk memudahkan penanganan yang bertepat guna.

Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat


perhatian karena dapat mengancam nyawa ialah : koma,
kejang, henti jantung, henti napas dan syok.
Anamnesis. Upaya yang paling penting adalah anamnesis
atau allo-anamnesis yang rinci. Beberapa pegangan

anamnesis yang
keracunan

.
.

.
.

ialah

penting dalam upaya

mengatasi

Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh


obat yang digunakan termasuk obat yang sering
dipakai.

Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan


petugas tentang obat yang digunakan.
Tanyakandansimpan (untukpemeriksaantoksikologis)
sisa obat, muntahan yang masih ada.
Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok
anafilaksis.

Pemeriksaan Fisis. Lakukan pemeriksaan fisik untuk


menemukan tanda /kelainan akibat keracunan yaitu
pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut
jantung, ukuran pupil, keringat, air liur dan lainnya.
Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasar skala prioritas
dan pada keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan
fi sik harus dilakukan berulang.

Dekontaminasi
Umumnya zat atao bahan kimia tertentu dapat dengan
cepat diserap melalui kulit sehingga dekontaminasi
permukaan sangat diperlukan, sedang dekontaminasi
saluran cerna difujukafi agar bahan yang tertelan akan
sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif,
pencahar, pemberian obat perangsang muntah dan
kumbah lambung.
Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahanl
obat dapat dilakukan dengan dialisis, akan tetapi kadangkadang peralatan tersebut tidak tersedia di rumah sakit
(hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum dapat
dicoba sebagai tindakan pengganti.

Suportif, Konsultasi dan Rehabilitasi


Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus
dilihat secara holislik dar, cost elfectivenes disesuaikan
dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan.

OPIAT
Umumnya kelompok opiat digunakan untuk mengatasi

nyeri melalu mekanisme efek depresi pada otak


(depressant elfect on the brain). Morfin yang merupakan
bagian dari kelompok ini sering digunakan (untuk medis)
pada nyeri dada, edema paru dan untuk mengatasi rasa

sakit berlebih pada keganasan. Akan tetapi dalam


perkembangannya sering disalahgunakan. Untuk
mengetahui lebih

jauh

beberapa obat yang termasuk

golongan narkotika yang sering dijumpai di lapangan yaitu:

walaupun penyalahgunaan obat tersebut'sering


dilaporkan, misalnya di New York 1970 terjadi kematian
1200 penderita karena overdosis dan di Amerika Serikat
diperkirakan lebih dari 10.000 kematiankarena kelebihan
dosis, akan tetapi angka kematian (karena over dosis) di
Indonesia belum ada pelaporan. Belum adanya laporan
ini j angan sampai melengahkan para klinisi karena mrurgkin

saja kasus penyalahgunaan obat akan bertambah seiring


dengan kemajua\zamar'.

Pengaruh obat terhadap susunan saraf pusat (SSP)


sangat bervariasi dari berbagai obat tersebut di atas.
Sedangkan penemuan secara patologis pada kematian
yang disebabkan overdosis gambarannya tidak khas.

Jenis obat

Dosis

Kodein
Dekstrometorfan
Heroin
Loperamid (imodium)
Meperidin (petidin)
Morfin
Naloxone (Narcan) -)
Opium ( Papaver
somniferum )
Pentazocaine (Talwin)

*) Antagonis narkotika

fatal

(s)

Dosis pengobatan
(ms)

0,8

60
60 -12Olhari
4

u,c
0,2
0,5

100
10

0,2
0,3
0,3

Dosis s/d 5 mg tidak menyebabkan kematian

Farmakologi Opiat
Setelah pemberian dosis tunggal heroin (putaw) di dalam
tubuh akan dihidrolisis oleh hati (6 10 menit) menjadi 6

monoacetyl morphine dan setelah itu akan diubah menjadi

morfin. Morfin selanjutnya diubah menjadi Mo

286

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut


di dalam air. Bentuk metabolit ini yang dapat di tes di dalam

cukup efektif untuk memastikan diagnosi


dan zat adrktif lainnya.

keracunan opiat

urin.
Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka
bahan tersebut (+ 60%) dapat melalui sawar otak dalam

waktu yang cepat.

Mekanisme Toksisitas
kelompok opiat mempunyai kemampuan
untuk menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptomya yang
akan menyebabkan efek sedasi dan depresi napas.
Kematian umumnya terjadi karena apnea atau aspirasi
paru dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema
Pada umumnya

Jenis obat

Lamanya waktu dapat dideteksi

Amfetamin
Barbiturat

2 hari
t hari (kerja pendek)
3 minggu (kerja panjang)

Benzodiazepin
Kokain

3 hari

Kodein
Heroin

2-4 hari
2 hari
1-2 hari

Methadone

3 hari

Morfin

2-5hari

pulmoner yang akut (non kardiogenik) mekanismenya


masih belumjelas.
Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing
jenis obat opiat tergantung cara (rute) pemberian, efek
toleransi (pemakai kronik), lama keq'a dan masa paruh obat
yang akhirnya akan menentukan tingkat toksisitas.
Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP (otak)

GAMBARAN KLINIK
Umumnya kasus keracunan dari golongan narkotika
cenderung adanya penurunan kesadaran (sampai koma)
dan gangguan sistem pernapasan (depresi napas). Kita

maka mekanisme toksisitas dan antidottya dapat

perlu mengetahui tanda dan gejala keracunan akut baik

diterangkan melalui reseptor.


Beberapajenis reseptor ialah :
. Reseptor Mul (p1) : berefek analgesik, euforia, dan
hipotermia
Mu2 (p2) : bradikardi, depresi napas, miosis, euforia,
penurunan kontraksi usus dan ketergantungan fisik.
. Reseptor Kappa (rc) : spinal analgesik, depresi napas
dan miosis. hipotermia.
. Reseptor Delta (o) : depresi napas, disporia, halusinasi,
vasomotor stimulasi.

karena pemakaian per oral maupun parenteral.

Reseptor Gamma (y) : inhibisi otot polos, spinal


analgesik?

Dosis toksis selalu akan menyebakan kesadaran yang

turun sampai koma, pupil yang pin point dapat terjadi


dilatasi pupil pada anoksia yatgberat, pernapasan yang
pelan (depresi pernapasan), sianosis, nadi yang lemah,
hipotensi, spasme dari saluran cema dan bilier, dapat te{adi
edema paru, dan kejang. Kematian karena gagal napas
dapat terjadi dalam 2 - 4 jam setelah pemakaian oral maupun
subkutan, sedang pada pemakaian secara intravena dapat
berlangsung lebih cepat lagi. Beberapatanda gejalayang
dapat terjadi ialah hiperlermi, aritmia jantung, hipertensi,
bronkospasme, parkinson like syndrome, nekrosis tubu-

lar-akut yang terjadi karena rabdomiolisis

dan

mioglobulinuria, gagal ginjal. Kulit dapat berwarna


DIAGNOSIS

kemerahan, dapat terjadi leukositosis dan hipoglikemia


(pernah dilaporkan).

Bila ditemukan gejalaklinis yang khas (pinpoint, depresi


napas dan membaik setelah pemberian nalokson) maka
penegakan secara klinis dapat dengan mudah. Kadangkadang ditemukan bekas suntikan yang khas (needle track
slgr). Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan
gejala klinis. Pemeriksaan secara kualitatif dari bahan urin

Kasus-kasus keracunan opiat merupakan bagian kecil

dari seluruh pemakai sesuai dengan fenomena gunung


sepefii tertera di bawah ini:

Emergensi

Morpin
Meperidin
Nalorpin
Nalokson

Ag
(+++)
Ant

Ag
(+)

Ag

(0)
Ag
(+)

(-)

(+)

Ant

Ag

(As)
+++

Ant

Ant

Ag

G-)

(-)

(-)

c)

Kelompok risiko
tinggi
Ant

Gambar 1. Fenomena gunung es pemakai narkoba

es

287

INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAD

Pemeriksaan laboratorium untuk melihat kadar dalam


darah tidak selalu diperlukan karena pengobatan berdasar

besar masalah sangat diperlukan daripada konfirmasi


kadar/jenis obat. Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa
darah serial, penilaian fungsi paru dan foto dada untuk

kasus dengan kelainan paru, di samping pemeriksaan

Tindakan

Penanganan kegawatan :

l). Bebaskanjalan

napas; 2).

Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan; 3). Pasang


infus dektrose 5o% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan

koloid bila diperlukan


Pemberianantidotumnalokson: 1). Tanpahipoventilasi:

glukosa darah dan elektrolit.

Dosis awal diberikan 0,4 mg iv; 2). Dengan hipoventilasi:


Dosis awal diberikan I -2 rlg iv; 3). Bila tidak ada respons

PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT

timbul respons perbaikarl kesadaran dan hilangnya

dalam 5 menit, diberikarl nalokson

l-2 mg iv hingga

depresi pemapasan, dilatasi pupil atau telah mencapai


dosis maksimal l0 mg. Bila tetap tidak ada respons lapor
konsulen tim narkoba; 4). Efek nalokson berkurang 2040 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan
overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat
tanda-tanda penumnan kesadaran, pernapasan dan
perubahan pada pupil serta tanda vital lainnya selama

Sebelum melangkah pada pengobatan maka para klinisi


perlu mengetahui alur penatalaksanaan keracunan opiat
seperti di bawah ini agar mendapat suatu gambaran yang
jelas.

24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip


nalokson satu ampul dalam 500 cc D5o/o atau NaCl
0,9% diberikan dalam 4 - 6 jam;5). Simpan sampel
urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto
dada; 6). Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheal tube)bila: a). Pernapasan tidak adekuat, b).

lntoksikasi golongan opiat

Oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, c.

Aloanam nesa

Riwayat pemakaian obat


Bekas suntikan (Need/e track sign)
Pemeriksaan urin

Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson

ke- 2; 7). Pasien dipuasakan untuk menghindari

.
Trias intoksikasi opiat
Depresi napas
Pupil pin-point
Kesadaran menurun (kom a)

. Dalam menjalankan semua tindakan

harus

memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan universal

oleh karena tingginya angka prevalensi hepatitis C

.
Suport sistem pernapasan dan sirkulasi

aspirasi akibat spasme pilorik.


Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba
Bagian Ilmu Penyakit Dalam untuk penilaian keadaan
klinis dan rencana rehabilitasi.

danHIV.

Bila diperlukan, pasien sebelumnya dipasang NGT


untuk mencegah aspirasi.

PENGOBATAN
Nalokson intravena (lihat protokol)
Naloksone. Nalokson adalah antidotum dari intoksikasi
opiat baik kasus dewasa maupun anak. Dosis dewasa
:0,4 - 2.0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat
Observasi/pengawasan tanda vital dan
dipuasakan selama 6 jam

Gambar 2. Alur tatalaksana intoksikasi opium

Gejala Klinis
Penurunan kesadaran diserlai salah satu dari: 1 ). Frekuensi
pemapasan < 12 kali/menit; 2). Pupil miosis (seringkalipin-

point); 3). Adanya riwayat


terdapat needle track sign.

pemakaian morflrn/heroin/

dengan pemanduan perbaikan gejala klinik. Dapat


dipertimbangkan nalokson drip bila ada kecurigaan
intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek
nalokson sekitar 2 - 3 jam.

Bila dalam observasi tidak

ada respon setelah pemakian


(nalokson)
total 10 mg
diagnosis intoksikasi opiat perlu
(Gambar
dikaji ulang.
3)
Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya yaitu
pemberian nalokson disamping oksigen dan respirator bila diperlukan.
Hipotensi diberikan cairan iv yang adekuat, dapat
dipertimbangkan pemberian dopamin dengan dosis 2 -

288

KEGAWAXDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

REFERENSI
Bittikofer JA. Toxicology. Dalam : Bishop ML, Fody EP, Duben
von Laufen JL ( Editors). Philadelphia : Lippincott C, 1985

TIDAK EMERGENSI
overdosis
Gelala put!s obaUkegawatan psikialri
Erergens komplikasi (ARDS AIDS, dt

547

l\4asalah psikiatris
)

Masalah komunikasi
(HCV, pneumonia drug ahse, HlV, dll)

t-d_l
Penanganan sesuai besat masa ah

t-;;'**ffiil;-l

Penanganan sesual besat masalah

9.

AL, Currance PL. Morphine sulfate Dalam : Weiner R,


Culverwell (Editors) Emergency care for Hazardous materials
exposure Missouri: Mosby Company, 1988: 280 - 1
Chiu LPW Diagnosis and Management of drug abuser. Medicine
Digest 1996; 14 : 18 25
Dreisbach RH, Robertson WO, editors. Handbook of poisoning
Narcotic analgesic Norwalk: Appleton & Lange, 1987 : 324 Bronstein

8.

|-;_l
trol

rutin)

Ruang Rawat
lnap Penyak t Dalam
Psikiatrl

II

Ruanorawa

*-

inal

POLIKLINIK RAWAT JALAN

I
Detoksifikasl konvensional

Rs/bercbat]alan Deloksifkasi cepat denoan anestes

REHABILITASI

Grant HD, Murray RH, Bergeron JD., editors. Basic life suppofi I
The airway and pulmonary resuscitation Emergency care. Fift
edition. London : Prentice Hall International Editions 1990.
Handley AJ, Fisher JM. Dalam : Colquhoun MC, Handley AJ, Evans
TR (Editors). Dalam : ABC of Resuscitation. London : BMJ
Publishing Group, 1995: 1 5.
Hung OL, Hoffman RS. Opioid Intoxication. Reversal. Medical
Progress 199'7;24 : 39 - 43
Micromedex, Inc. Volume 93. 1997.
Olson KR. Opiats and Opioids. Dalam : Olson KR, Anderson IB,
Blanc PD, Benowitz NL, Kearney TE, Osterloh JD dan Woo
OF (Editors). Poisoning & Drug Overdose Norwalk: Appleton

& Lange,1994:238

40.

Sukmana N. Penatalaksanaan kasus keracunan bahan kimia obatobatan. In service training for National and Provincial level

poison information centre and hospital staff. Direktorat


Pengawasan Narkotika dan Bahan berbahaya. Jakarta 5
Desember 1994.

11

Widodo D, Sukmana N, Basri , Husni Azis, Muchtar A, Latif A.


Gambar 3. Protokol penanganan lntoksikasi opiat di unit gawal
darurat

Kasus keracunan akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo (tahun


1996 1997). Tim Penanggulangan dan Informasi Keracunan

RSCM

Jakarta.

Widodo D. Pelatihan tatalaksana perawatan kasus penyalahgunaan

5 mcg/Kg BB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan.


Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi

oral)

'
.
.

Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah


intoksikasi dengan opiat oral , awasijalan napas dengan
baik.
Activated Charcoal dapat diberikal pada intoksikasi
peroral dengan memberikan : 240 ml cairan dengan 30 g
charcoal. Dapat diberikan sampai : 100 gram.
Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam iv 5 - l0
mg dan dapat diulang bila diperlukan. Monitor tekanan
darah dan depresi napas dan bila ada indikasi dapat
dilakukan intubasi.

obat dan bahan berbahaya. Jakarta 25 29 Nopember 1996


Schrank KS. Poisoning Dalam : Gardner LB (Editors) Acute Internal Medicine. New York : Elsevier Science Publishing Co, 1986:
461 - 82.
Snodgrass WR. Dalam : Klaassen CD, Amdur MO, Doull J, (Editors).
Toxicology. The basic science of Poisons. New York: Mc.Graw
Hill, 1996: 969 86.

42
KERACUNAN BAHAN KIMIA,
OBAT DAN MAKANAN
Widayat Djoko, Djoko Widodo

PENDAHULUAN
Di masa kini makin sering terjadi masalah keracunan, mulai
dari kecelakaan wisata, kecelakaan kerja atau kecelakaan
rumah tangga sampai usaha bunuh diri, pembunuhan
perorangan bahkan pembunuhan masal yang dikaitkan
dengan "Bio terrorism". Penanggulangan masalah ini
cukup rumit karena beberapa faktor yaitu kurangnya
informasi tentang zat penyebab keracunan karena korban
tidak sadar atau enggan bicara dan faktor ketersediaan
antidot racun yang belum semuanya tersedia, serta
terkadang antidotnya sendiri merupakanbahan toksik, oleh
karena itu penatalaksanaan keracunan seringkali bersifat
simptomatis dan suportif.

bisa diketahui lewat bau mulut atau muntahan kecuali racun

yang sifat dasarnya tidak berbau dan berwarna seperti


arsenikum yang sulit ditemukan hanya berdasar inspeksi
saja. Luka bakar warna keputihan pada mukosa mulut atau
keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan

kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun


basa kuat. Perbedaan pada dampak luka bakamya yaitu
nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan
basa kuat menyebabkan nekrosis likuitaktif. Kerusakan
korosifhebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih
berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar
bila pH>l2 tapi tergantung juga pada konsentrasi bahan
tersebut. Waspadai kemungkinan kerusakan esofagus dan
lambung meskipun tidak ditemukan kerusakan pada rongga
mulut. Beberapa jenis racun mempunyai bau yang spesifik
tetapi kemampuan mendeteksi bau pada populasi umum di
masyarakat hanya 50o/o. (Tabel 1) Beberapa ciri terlentu
dari urin dapat pula membantu menegakkan diagnosis'
(Thbel 2)

DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pasti penyebab keracunan cukup
sulit karena diperlukan sarana laboratorium toksikologi
yang cukup handal, dan belum ada sarana laboratorium
swasta yang ikut berperan sedangkan sarana laboratorium
rumah sakit untuk pemeriksaan ini juga belum memadai
sedangkan sarana instansi resmi pemerintah juga sangat

minimjumlahnya.
Untuk membantu penegakan diagnosis maka diperlukan
autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta
diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kej adian'

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan


dugaan tempat masuknya racun yang dapat melalui
berbagai cara yaitu inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan

Bau

PenYebab

Aseton
Almond
Bawang putih
Telur busuk

lsopropil alkohol Aseton.


Sinida
Arsenik, selenium, talium
Hidrogen sulfida, MerkaPtan

Warna urin
Hijau/ biru
Kuning-merah
Coklat tua
Butiran keputihan
Coklat.

mukosa atau parenteral, hal ini penting diketahui karena


berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya (durasi)
reaksi keracunan. Racun yang melalui rute oral biasanya

289

Penyebab
Metilin biru
Rifampisin, besi(Fe).
Fenol, kresol
Primidon
Mio/haemoglobin uria

290

KEGAWITIDARURAIAN

Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah


status kesadaran. Alat ukur kesadaral yatg paling sering
digunakan adalah GCS (Glasgow Coma Scale). Apabila
pasien tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun

ini selain

MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAI\I

dapat membantu penegakan diagnosis juga

berguna untuk kepentingan penyidikan polisi pada kasus


kejahatan. Sampel yang dikirim ke laboratorium adalah 50
ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses.

(alloanamnesis) maka diagnosis keracunan dapat dilakukan

pereksklusionam dan semua penyebab penurunan


kesadaran seperti meningoensefalitis, trauma, perdarahan
subaraknoid./intrakranial, subdural/ekstradural haematom,
hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, ensefalopati.
Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi

napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu


penegakkan diagnosis pada pasien dengan penunman
kesadaran. (Tabel 3)

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan terutama bila curiga

adanya aspirasi zat racur, melalui inhalasi atau dugaan


adany a perforasi lambung.

Laboratorium Klinik
Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas

darah. Beberapa gangguan gas darah dapat membantu


penegakkan diagnosis penyebab keracunan. (Tabel 4)

Gambaran klinis

Kemungkinan penyebab

Pupil pin point,


frekuensi napas turun.

Opioid.

lnhibitor kolinesterase
(organofosfat, carbamate
insektisida)
Klonidin.
Fenotiazin.

Dilatasi pupil, laju


napas turun
Dilatasi pupil, takikardia

Benzodiazepin
Antidepresan trisiklik
Amfetamin,ekstasi, kokain
Antikolinergik (benzeksol,
benztropin)

Sianosis.

Antihistamin.
Obat depresan SSP.
Bahan penyebab
meth aem og lobinem ia.

Hipersalivasi

Organofosfat / karbamat,
insektisida.

Nistagmus, ataksia,
tanda serebelar

Antikcnvulsan (fenitoin,
karbamazepin)

Analisis gas Darah

lnterpretasi

Asidosis respiratorik
(pH<7,3; PCOz>5,6kPa)

Hipoventilasi, retensi COz


mungkin akibat
antidepresan SSP

Alkalosis respiratorik
(pH>7,45; PCOz<4,7kPa)

Hiperventilasi mungkin
sebagai respons hipoksia;
injuri obat (aspirin) atau
injuri SSP
Jarang tejadi akibat
keracunan, sebagai akibat
hilangnya asam atau
kelebihan alkali.
Sering pada keracunan, bila
berai waspada keracunan
etanol, metanol/ etilen glikol.

Alkalosis metabolik
(pH>7,45; HCO:>30mmol/l)

Asidosis metabolik (pH>7,45;


HCO3<24mmol/l; defisit
basa <-3), kompensasi bila
PCOz<4,7kPa.

Anion gap tinggi.

Metformin, isoniazid, salisilat,


sianida

Alkohol.
Gejala ekstrapiramidal.
Seizures

Hipertermia

Hipertermia &
hipertensi, takikardi,

Fenotiazin, haloperidol.
Metoklopramid
Antidepresan trisiklik,
antikonvulsan.
ieofilin, antihistamin, OAINS.
fenothiazin, isoniazid.
Litium, antidepresan trisiklik,
antihistamin.
amfetamin, ekstasi, kokain.

agitasi.

Hipertermia & takikardi,


asidosis metabolik.

Salisilat.

Bradikardia.

Penghambat beta, digoksin, opioid,


klonidin.

Abdominal cramp,
diare, takikardi,
halusinasi

antagonis kalsium (kecuali


dihidropiridin).
Organofosfat insektisida.
Withd rawal alkohol, opiat,

Pembriksaan fungsi hati, ginjal dan sedimen urin harus

pula dilakukan karena selain berguna untuk mengetahui


dampak keracunan juga dapat dijadikan sebagai dasar
' diagnosis penyebab keracunan seperti keracunan
parasetamol atau makanan yang mengandung asam
jengkol. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan darah
perifer lengkap juga harus dilakukan.

Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus keracunan
karena sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung
yang berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, takikardia
supraventikular, takikardia ventrikular, Tbrs ade de pointes,

PEMERIKSAAN PENUNJANG

fibrilasi ventrikular, asistol, disosiasi elektromekanik.


Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada
keracunan adalah keracunan obat kardiotoksik, hipoksia,
nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan elektrolit darah,
hipovolemia, dan penyakit dasar jantung iskemik.

Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin hal

oksigenasi, koreksi gangguan elektrolit dan asam-basa,

benzodiazepin.

Sangat penting diperhatikan, pada semua kasus aritmia:

291

KERACUNAT{ BAHAN KIMIA, OBITT DAN MAKANAN

hindari obat antiaritmia karena justnr bisa mencetuskan


timbulnya aritmia, gunakan obat inotropik negatif dan
kronotropik.

pasien ditengadahkan dan miring ke sisi mata yang terkena


atau terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan
dan irigasi larutan aquades atauNaCl 0,9o2 perlahan sampai

zat racnffiya diperkirakan sudah hilang (hindari bekas


larutan pencucian mengenai wajah atau mata lainnya)
PENATALAKSANAAi.I

selanjutnya tutup mata dengan kassa steril segera konsul

doktermata.

kulit (rambut dan kuku).

Tindakan

Stabilisasi

Dekontaminasi

Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali


berupa tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan
dengan cepat dan tepat berupa:

dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian,


arloji, sepatu dan aksesori lainnya dan masukkan dalam

.
.

Pembebasan jalan napas.

oksigenasi).
Perbaikan sistem sirkulasi darah.

Perbaikan fungsi pernapasan. (ventilasi dan

Dekontaminasi

absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas, sebelum


memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung
berupa sarung tangan, masker dan apron. Tindakan
dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena
racun yaifu:

Dekontaminasi pulmonal. Dekontaminasi pumonal berupa


tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat
racun, monitor kemungkinan gawat napas dan berikan
oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator.
Dekontaminasi mata. Dekontaminasi mata berupa tindakan
untuk membersihkan mata dari racun yaitu posisi kepala

Stimulasi mekanis pada


orofaring.

Pengenceran

Air dingin atau susu 250 ml

Aspirasi dan
kumbah
lambung

Posisi lrendelenberg left


lateral dekubitus, pasang
NGT, aspirasi, bilas 200300 ml sampai bersih
tambah karbon aktif 50
gram

Arang aktif

Dosis tunggal 30-50 g + 240


ml air.

lrigasi usus

Polietilen glikol 60 gr + NaCl


1,46 g + KCI 0,75 g + Na bic
1,68 g+Na sulfat 5,68 g +
air sampai '1 liter.
Bila menelan zat sangat
korosif (asam kuat), asing.

Bedah

pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau


mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah atau
aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah
paparan bahan toksik. (Tabel 5)

Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat
pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah, atau
dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam.
Apabila masih dalam saluran cerna dapat digunakan
pemberian arang aktif yang diberikan berulang dengan
dosis 30-50 gram (0,5 - 1 gram / kg BB) setiap 4jam per oraV
enteral. Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat
s

ep ert

karb amazepin,

Ch Iordeco n

e, qloinin, dap s on,

Perhatian Khusus

Kontraindikasi

Tata Cara

lnduksi muntah

minimal 10 menit selanjutnya keringkan dengan


handuk kering dan lembut.
dan disabun

Dekontaminasi gastrointestinal. Penelanan merupakan


rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan

Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan


untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi

Jenis
Tindakan

wadah plastik yang kedap air dan tutup rapat, cuci


(scrubbing) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir

Pneumopati inhalasi, sindrom


Mallory Weis.

Kesadaran turun, kejang


Apneu, paparan > 4jam
Keracunan zat korosif.
Kesadaran turun.
Gangguan menelan/ napas
Nyeri abdomen.
Asam pekat, non kaustik.
Kesadaran iurun tanpa
pasang intubasi.
Zat korosif.
Zat hidrokarbon.
Asam pekat, non kaustik
Petrolium destilat.
Paparan >'1jam.
lleus/ obstruksi GIT
Zat korosif.
Zat hidrokarbon.
Gangguan napas, SSP, jantung
tidak stabil, kelainan patologis
USUS.

Efektif paparan

< 1jam.
Kehamilan, kelainan jantung,
depresi SSP, perforasi
lambung.

Konstipasi.
Distensi lambung.

lndikasi keracunan Fe , lithium.,


tablet lepas lambat atau tablet
salut enterik.

292

KEGAWTTDARURATAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEITYAKIT DALAM

digoksin, nadolol, fenobarbital, fenilbutazone, fenitoin,


salisilat, teofilin, phenoxyacetate herbisida.
Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada

dokter spesialis penyakit dalam karena tindakan


spesialistik berupa cara eliminasi racun yaitu: 1). Diuresis
paksa (forc e d diures i s); 2). Alkalinisasi urin, 3 ). Asidifi kasi
urin; 4). Hemodialisis/peritoneal dialisis.

AntiDotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis

racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat


antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit
j umlahnya. Beberapa j enis antidotum pada keracunan dapat

dilihat pada Tabel 6.

Bahan racun

TERAPI

EJALA PENYERTA ATAU PENYU LIT

Gangguan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa


Kebutuhan dasar cairan harian 30-35m14<gBB/hari, natrium
(Na+) 1 - 1,5 mmoU kg BB/ hari, Kalium (K+) 1 mmol/kg BB/
hari. Apabila ada gangguan elektrolit dan asam-basa harus
dikoreksi sesuai derajat berat ringannya.

Gangguan lrama Jantung


Sinus bradikardia yang disertai hipotensi dapat diberikan
atropin 0,6 mg intravena sedangkan pada sinus takikardia
tidak diberikan terapi spesifik dan penghambat beta jangan
diberikan karena dapat menyebabkan dekompensasi.

Anti dotum

Metode

nitrit (sodium/amil nitrit)


sodium tiosulfat.
dikobalt edetate (kasus berat).
ethanol
4-metilpirazol
EDTA
Asam 2,3-dimercaptosuksinat
Penisilamin, BAL.
D-penisilaminb
BAL(Dimercaprol), DMPS
Asam 2,3-dimercaptosuksinat
Natrium tiosulfat
Potasium ferric (prussian blue)
Sodium jodida, BAL.
Sulfas atropine
pralidoksim

Amyl nitrite inhalasi.


50ml (12,59)Na thiosulfat 25% dlm10mnt.

Kimia.
Sianida
Metanol/
Etilen glikol
Timbal.

Merkuri.

Arsenicum.
Na hipoklorit
Talium
Organofosfat
Fe (besi)

Obat.
Amfetamine.
Digoxin.

lsoniazide.
OpioiJ
Parasetamol
Warfarin.
Propranolol.

Racun alam.
Datura/kecubung
Amanita
phaloides
Oleander

2,5m|/kgBB ethanol 40% (vodka, gin) dalam airijus


jeruk, oral 30mnt
Terapi kelasi

Terapi kelasi

50mg atau 250 ml larutan 1%.i v


10gr dalam 100m1 manitol 1,So/oi 2X oral
1-2mg

iv

Desferrioxam ine.

'15

Lorazepam.
Fab fragmen (antibodispesifik)
Piridoksin.
Nalokson.

2mgi.v.

ulang"l0-15 mnt, max 50mg/hari

mg/kg BB/jam

N-asetilsistein, metionin
Vitamin K1 / FFP
lsoproterenol. Adrenalin
Glukagon

Dosis tergantung digoksin serum.


1 gram i v /tiap gram lNH, maks 5 g.
0,01mg/kgBBiv ulang tiap 2 menit.
Metionin efektif, paparan <8jam.
5-10mg.i v. pelan
Titrasi mulai 4 mcg/menit.
Bolus 'lOmg glukagon + Smg/jam drip i.v.

Fisostigmin salisilat
Salibinin.
Benzilpenisilin
Kolestiramin.

0,02m9/kg BB i v.2mnt; ulang 20mnt


Smg/kg BB infus ljam+2Omglkgl24jam.
300m9/kg BB infus.
3X 4 gram/ hari.

Racun binatang
Scorpion
Ubur-ubur
Ular berbisa.
Makanan.
Jengkol.

Antivenin (polivalen)
Antivenom
SABU

Metode Schwartz-Way; metode Luck.

Na bikarbonat.

4X2 graml hari.

Antitoksin tipe A, B, E.

100 000 unit tipe A+B+10 000 unit tipe E

Toxin mikroba.
Botulinum.

293

KERACUNAN BATIAN KIMIA, OBAT DAN MAKANAN

Gangguan SVT disertai gangguan hemodinamik diberikan


kardioversi sinkronisasi mulai 50 Joule, 100, 200, 300 Joule,
setelah stabil diberikan adenosin 3 mg i.v. bolus dan bila
perlu dapat diulang tiap 1- 2 menit dengan dosis 6 mg dan
kemudian 12mg.

Rabdomiolisis. Kelainan ini bisa dideteksi dengan

Methaemoglobinaemia (metHb). Kebanyakan obat oksidan


dapat menyebabkan hal ini yaitu dapsone, sulfonamid,
trimetoprim, nitrit, nitrat, lokal anestesia (benzokain,

terapi simptomatik dan suportif saja.

lignokain, prilokain), metoklopramid, metilen biru, klorat dan


bramat. Pada kasus ringan (kadar metHb < 30%) diberikan
oksigen, sedangkan kasus berat diberikan metilen biru 1-2
mg/kg BB dalam > 5 menit, selanjutnya periksa ulang kadar
MetHb setelah ljam. Perlu diwaspadai bahwa metilen biru
sendiri dapat menyebabkan metHb dan hemolisis terutama
pada dosis >15 mgkg BB dan mudah terjadi pada pasien
dengan defisiensi G6PD.

REFERENSI

Hiperemesis. Bila muntah gagal dikendalikan, maka dapat


diberikan metoklopropamid I 0 mg .i.v.atau proklorperazin
10 mg oral atau ondansetron 8 mg intravena pelan.
Distonia. Distonia sering terjadi akibat overdosis obat anti
psikotik dan beberapa antiemetik. Reaksi yang terjadi
berupa oculogtric, torticolis dan trismus. Beberapa gejala
ekstrapiramidal yang lain seperti tremor, diskinesia, rigiditas
dapat terjadi akibat overdosis obat yang lain. Gejala
ekstrapiramidal harus diterapi dengan procyclidine 5-10
mg i.v./i.m, maksimum 20 mgl 24 jam atau diberikan
b

enztrop ine I -2 mg.i.m. I i.v.

pemeriksaan kadar kreatinin kinase (CK) serum dan kadar


mioglobin urin. Penatalaksanaan meliputi pemberian cairan
rehidrasi i.v. dan alkalinisasi urin.

Sindrom antikolinergik. Penatalaksanaan terbaik adalah

AL, Dargan PI. Churchill's Pocke book of Toxicology.


lstedition. 2001. Harcourt publisher. London.
Henry J, Wiseman H. Management of poisoning. A handbook for
Jones

Health care workers.WHO, Geneva 1997.


Olson KR. Caustic and Corrosive Agents. In Olson
Poisoning Drug Overdosis.
London. 1990; 114-116.

lst edition.

Kr

editor.

Prentice Hall Int,

In Olson Kr editor. Poisoning Drug


Overdosis. lstedition. Prentice Hall Int,London.1990;312-313Becker CE. Ethylen Oxide, . In Olson Kr editor. Poisoning Drug
Overdosis.lst edition. Prentice Hall Int, London.1990; 153Buchanan JF. Etanol.

1s4

Eilenhorn MJ, Schonwald S, Ordog G, Wasserberger J. Ellenhom's


Medical Toxicology. Diagnosis & Treatment of Human
Poisoning 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1997.
Anderson BI. Ethylene g1yco1 and other Glycols. In Olson Kr
editor. Poisoning Drug Overdosis 1st edition. Prentice Hall
Int,London.

990; 202-203

Almond GL. Salicylate. In Viccelio P editor. Handbook of


Medicai Toxicology. 1st edition. Little Brown.Co. USA. 1993.

43
HEMOPTISIS
Ceva W. Pitoyo

masif bila terinfeksi. Kelainan imunologi juga dapat

DEFINISI

menyebabkan perdarahan intrapulmonar difus yang harus


dipertimbangkan pada hemoptisis masif tanpa etiologi lain
yang jelas. Fistula arteri trakeal sering terjadi sebagai
komplikasi dari trekeostomi. Sementara itu ruptur arteri

Hemoptisis adalah mendahakkan darah yang berasal dari


bronkus atau paru. Hemoptisis bisa banyak, atau bisa pula
sedikit sehingga hanya berupa garis merah cerah di dahak.
Hemoptisis masif adalah ekspektorasi 600 ml darah dalam

pulmonalis bisa terjadi pada kateterisasi dengan

24 sampai 48 jam. Hemoptisis dinyatakan sebagai nyata atau


jelas (gross/frank)blla lebih dari sekedar garis di sputum

pengembangan balon. Harus diingat bahw a 2 hingga 32 oh

kasus hemoptisis tidak diketahui penyebabnya atau


idiopatik. Hemoptisis idiopatik disebut juga hemoptisis
esensial. Hemoptisis esensial umumnya menyebabkan

namun kurang dari kriteria masif. Hemoptisis juga bisa


berupa bekuan darah hitam bila darah sudah terdapat dalam
saluran napas berhari-hari sebelum dapat didahakkan.
Pseudohemopfsrs adalah membatukkan darah yang

hemoptisis tidak masif, walaupun pada hemoptisis masif <


5%o

bukan berasal dari saluran napas bagian bawah.


Hemoptisis palsu seperti ini dapat berasal dari rongga

adalahidiopatik.

Rincian dari penyebab hemoptisis dapat dilihat pada


Tabel I, Untuk mencari etiologi hemoptisis, secara rutin
perlu dilakukan evaluasi anamnesis, pemeriksaan fisik,

mulut, hidung, farings, lidah atau bahkan hematemesis


(perdarahan saluran cerna bagian atas) yang masuk ke

hemogram darah perifer lengkap, urinalisis, tes koagulasi,

tenggorokan dan memancing refleks batuk.

elektrokardiografi, dan foto toraks. Kecuali pada kasus

Pseudohemoplisls juga bisa timbul pada pasien yang


mengalami kolonisasi kuman Serratia marcescens yarrg
berwarna merah. Kolonisasi ini sering timbul pada pasien
yang dirawat serta menerima antibiotik berspektrum luas
dan ventilator mekanik. Tidak pula boleh dilupakan,
hemoptisis palsu juga dapat berasal dari kelebihan dosis
rifampisin dan juga kejadiat malingering ata:upasien yang
melukai diri sendiri sehingga tampak sebagai batuk darah.

atau diduga kasus emboli paru, flstula aorlopulmonar dan

gagal jantung. bronkoskopi perlu dilakukan pada kasuskasus hemoptisis, bila sarana memungkinkan.

PATOGENESIS
Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi
saluran napas (dari bronkus utama hingga bronkiolus
terminalis), pleura, jaringan limfoid intra pulmonar, serta
persarafan di daerah hilus. Arteri pulmonalis yangpada
dasarnya adalah membawa darah dari vena sistemik,
memperdarahi jaringan parenkim paru, termasuk bronkiolus

ETIOLOGI
Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari
pendekatan masif atau tidak masifnya hemoptisis. Pada
dasarnya semua penyebab hemoptisis dapat menyebabkan

respiratorius. Anatomosis arteri dan vena bronkopulmonar,


yang merupakan hubungan antaruke-2 sumber perdarahan
di atas, terjadi di dekat persambungan antara bronkiolus

hemoptisis masif, akan tetapi penyebab terseringnya


adalah infeksi (terutama tuberkulosis), bronkiektasis dan
keganasan. Pada aspergiloma, fibrosis kistik serta berbagai

respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini


memungkinkan ke-2 sumber darah untuk saling
mengimbangi. Apabila aliran dari salah satu sistem

penyakit parenkimal paru difu s umumnya teq'adi hemoptisis

294

295

HEMOPTISIS

granulasi yang menggantikan dinding bronkus yang normal.


Penyakit Parenkim Paru

Penyakit Parenkimal Paru Difus (')

Abses paru (.)


Aktinomikosis
Amebiasis
Askariasis
Aspergiloma (.)
Endometriosis paru
Histoplasmosis

Angiosarkoma diseminata
Kapilaritis (dengan/tanpa vaskulitis
sistemik)
Farmer's lung
Granulomatosis Wagener
Hemosiderosis paru idioPatik
lnhalasi lsosianat
Keracunan trimellitik anhidrida
Krioglobulinemia campuran
Lupus eritematosus sistemik
Mixed connective trssue dlsease
Nefropati lgA
Penyakil Legionnaire
Pneumonitis virus
Poliarteritis nodosa
Sindrom Goodpasture
Skleroderma
Vaskulitis sistemik

Kista paru

congenital atau

didapat
Koksidiodomikosis
Kontusio paru (-)
lVletastasis di paru (.)
Mola hidatidosa
Mukormikosis
Nokardiosis
Paragonimiasis
Pneumonia akut dan kronik
Sekuestrasi bronkopulmonar
Sporotrikosis (.)
Tuberkulosis paru (.)
Kelainan Trakeobronkial
Adenoma bronkus
Amiloidosis
Aspirasi benda asing
Aspirasi isi lambung
Bronkiektasis (.)
Bronkitis kronik
Bronkolitiasis
Endometriosis bronkus
Fibrosis kistik (.)
Fistula trakeoesofageal
Fistula arteritrakeal (')
Hamartoma endobronkus
Karsinoma bronkogenik (.)
l\iletastasis endobronkus (.)
lmpaksi mukoid di bronkus
Telangiektasia bronkus
Trakeobronkitis akut (.)
Tuberkulosis endobronkus (.)

Kelainan Kardiovaskular
Aneurisma aorta
Aneurysma arteri pulmonalis
Aneurysma arteri subklavia
CABG (coronary aftery byqass graft)
Emboli paru
Embolisasi lemak
Embolisasi tumor
Fistula arteriovena pulmonalis (.)
Gagal jantung kongestif (.)
Ruptur arteri bronkial (.)
Ruptur arteri pulmonalis (.)
Penyakit jantung kongenital .
Perdarahan intrapulmonar difus (-)
Sindrom Hughes-Stovin
Sindrom pasca infark miokard
Sindrom vena kava superior
Skistosomiasis
Stenosis mitral
Varises vena pulmonalis

Kelainan hematologi

Lain-lain

DIC( Dlsseminate di ntrava scula t


coagulation )
Leukemia (.)
Terapi antikoagulan
Trombositopenia

ldiopatik
latrogenik : (-)
Biopsi Jarum Paru
Bronkoskopi
Kateterisasi Jantung
Malposisi pipa drainase toraks

(WSD)

Penyebab tersering

meningkat maka pada sistem yang lain akan menurun. Studi


arteriografi menunjukkan bahwa 92Yo hemoptisis berasal
dari arteri-arteri bronkial i s.
Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi
dari kelainan. Secara umum bila perdarahan berasal dari
lesi endobronkial,maka perdarahan adalah dari sirkulasi
bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan
adalah dari sirkulasi pulmoner. Pada keadaan kronik dimana
terjadi perdarahan berulang maka perdarahan sering kali

berhubungan dengan peningkatan vaskularitas di lokasi


yang terlibat.
Pada karsinoma bronkogenik, perdarahan berasal dari
nekrosis tumor serta terjadinya hipervaskularisasi pada
tumor, atau juga bisa berhubungan dengan invasi tumor

ke pembuluh darah besar. Pada adenoma bronkial,


perdarahan sering terjadi dari ruptur pembuluh-pembuluh

darah permukaan yang menonjol. Pada bronkiektasis


perdarahan terjadi akibat iritasi oleh infeksi dari jaringan

Walaupun masih diperdebatkan, tetapi mekanisme


hemoptisis pada stenosis mitral dan gagal jantung diduga
berasal dari pecahnya varises dari vena bronkialis di
submukosa bronkus besar akibat dari hipertensi vena
pulmonalis. Hal ini tampak dari pelebaran pembuluh-

pembuluh darah yang beranastomosis antara arteri


bonkialis dan pulmonalis.
Pada emboli paru, hemoptisis tampaknya timbul akibat

infark jaringan paru. Bisa juga perdarahan akibat aliran


darah berlebihan pada anastomosis bronkopulmonar pada

sebelah distal dari tempat sumbatan.


Pada tuberkulosis, penyebab perdarahan bisa sangat
beragam. Pada lesi parenkim akut, perdarahan bisa akibat
nekrosis percabangan arteri I vena. Pada lesi kronik, lesi
fibroulseratif parenkim paru dengan kavitas bisa memiliki
tonjolan aneurisma arteri ke rongga kavitas yang mudah

berdarah. Pada tuberkulosis endobronkial, hemoptisis


disebabkan oleh ulserasi granulasi dari mukosa bronkus.
Pada trakeostomi, perdarahan bisa terjadi akibat
fistula trakeoarteri terutama dari arteri inominata.'
Perdarahan difus intrapulmonal yang berasal dari
pecahnya kapiler bisa terjadi pada berbagai penyakit
autoimun.

DIAGNOSIS
Evaluasi hemoptisis melibatkan evaluasi rutin dan evaluasi
khusus. Evaluasi rutin pada kasus hemoptisis dimulai dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengkategorikan
berbagai penyebab hemoptisis seperti yang tercantum di
tabel I . Sebagian besar hemoptisis di Indonesia disebabkan
oleh tuberkulosis. Apabila foto dada tidak menunjukkan
gambaran spe sifi k untuk tuberkulosis, frekuensi' lama dan

waktu perdarahan dapat dipakai untuk memperkirakan


kemungkinan lain penyakit dasar penyebab hemoptisis.
Misalnya, perdarahan sedikit-sedikit setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan perlu dipikirkan
kemungkinan karsinoma terutama bronkogenik. Sementara
itu perdarahan berulang selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun perlu dipikirkan adanya bronkiektasis atau
adenomabronkus.

Hemoptisis yang berhubungan dengan menstruasi


mengarahkan pada kemungkinan endometriosis paru.
Hemoptisis yang berhubungan dengan aktivitas fisik
walaupun ringan, termasuk hubungan seksual, harus
dipertimbangkan adanya bendungan paru. Pada usia muda
adanya gejala tersebut harus dicari kemungkinan kelainan
jantung atau paru kongenital. Selain kelainan kongenital,
hemoptisis pada usia muda harus selalu dipertimbangkan
sebagai akibat infeksi baik oleh tuberkulosis maupun
trakeobronkitis non spesifik. Di samping itu, perlu pula
dicari kemungkinan fibrosis kistik, kelainan darah atau
tumor-tumor jarang Yang lain.

296

KEGAWTIDARURAf,AN

Apabila hemoptisis telah diketahui penyebabnya dan


telah diterapi dengan baik, tetapi tetap tidak berhenti dalam
24 jam, kemungkinan kelainan hemostasis (koagulopati)
harus dicari. Riwayat terapi antikoagulan membangkitkan

kemungkinan kelebihan dosis antikoagulan atau justru


emboli paru karena dosis kurang. Kecurigaan emboli paru
diperkuat bila ada tanda trombosis vena dalam.

Pada pasien dengan trakeostomi, selain akibat


perlukaan arteri trakealis akibat lubang yang dibuat,
perdarahan bisa terjadi akibat dari tindakan suction atau
kelainan hemostasis.
Pada pasien dengan perdarahan intrapulmonal difus,
gejala utamanya lebih sering berupa sesak napas dan
bukan hemoptisis. Pasien dengan trias ; kelainan saluran
napas atas, penyakit saluran napas bawah, dan kelainan
ginjal harus dipikirkan adanya granulomatosis sistemik
Wegener.

PENATALAKSANAAN

MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEITYAKIT DALAM

hanya dipertimbangkan pada kasus dengan bercak darah


minimal tetapi batuk sangat kuat. Obat - obat anti trombosit

hendaknya dihentikan. Fisioterapi dada dan drainase


postural hendaknya ditunda. Lavase bronkus dengan
larutan salin normal dingin dapat dipertimbangkan pada
kasus yang tidak masif.

Selanjutnya terapi penyakit penyebabnya harus


diberikan. Bila sebabnya infeksi (misalnya pada
bronkiektasis, bronkitis kronik dan fibrosis kistik yang
terinfeksi) antibiotik harus diberikan diserlai teofilin atau

agonis b-adrenergik (sebagai perangsang gerakan


mukosiliar). Pada tuberkulosis paru yang terinfeksi selain
obat anti tuberkulosis antibiotik non spesifik harus
diberikan. Pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
antibiotik belum pernah diteliti betul namun tampaknya

antibiotik spektrum luas membantu mempercepat


penghentian hemoptisis. Bila penyebabnya gagal jantung
maka terapi gagal jantung harus diberikan. Keganasan di
bronkus harus diupayakan untuk direseksi.

Terapi lain yang digunakan di dunia sekarang

hanya sedikit atau hanya berupa bercak di dahak dan


umumnya pertukaran gas tidak terganggu, maka

mencakup terapi foto laser, terapi emboli, dan reseksi bedah


dari paru atau lobus yang berdarah. Terapi foto laser sulit
digunakan bila hemoptisis sangat masif. Reseksi bedah
sudah tegak manfaatnya pada hemoptisis yang disebabkan
oleh penyakit yang berindikasi bedah misalnya keganasan

penegakkan diagnosis menjadi prioritas. Namun apabila


perdarahan masif, maka mempertahankan jalan napas dan

atau trauma dada. Demikian pula untuk fistula arteri


trakealis, bedah adalah pilihan utama penatalaksanaan.

pertukaran gas adalah harus didahulukan. Upaya

Namun untuk tuberkulosis, bronkiektasis terinfeksi,

mempertahankan jalan napas adalah termasuk mencegah


asfiksia atat darah masuk dan meny.umbat saluran napas
yang sehat. Pemberian oksigen dilakukan bila ada tandatanda gangguan perlukaran gas. Bila perlu resusitasi cairan
dan darah harus diberikan.

bronkitis, maupun karena kelainan koagulasi, tindakan

Kecepatan perdarahan dan efek terhadap pertukaran gas


menentukan penatalaksanaan hemoptisis. Bila perdarahan

Mengistirahatkan pasien umumnya membantu


mengurangi perdarahan. Memiringkan pasien ke arah sisi

paru yang diduga sumber perdarahan akan membantu


menjaga asfiksia sisi yang sehat. Pada perdarahan masif

bisa

jadi intubasi dan bahkan ventilator mekanik

dibutuhkan untuk menjaga jalan napas dan pertukaran


udara. Ada satu jenis pipa endotrakeal yang didisain
khusus memiliki lumen dua sehingga masing-masing paru
menjadi terpisah salurannya dan terjaga dari tumpahnya
darah ke sisi lain. Ada juga upaya pemasangan kateter
balon menyumbat bronkus yang berdarah. Pemasangan
ini dipandu dengan bronkoskopi. Upaya ini bukan saja
mencegah asfiksia lobus yang sehat tetapi membantu
menghentikan perdarahan.

Obat antitusif (termasuk narkotika) tidak dianjurkan

untuk digunakan dengan pertimbangan batuk yang


adekuat mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan darah
dari jalan napas dan mencegah asfiksia. Obat antitusif

bedah tampaknya masih kontroversil. Tidak ada kematian

karena hemoptisis pada kasus-kasus tersebut dengan


perdarahan kurang dari 200 mllhari. Di Indonesia di mana
embolisasi dan laser umumnya tidak tersedia, terapi bedah
harus dipertimbangkan pada perdarahan lebih dari 250 ml/
hari. Namun pada sentra dengan kemampuan embolisasi
atau foto laser, tindakan bedah hanya dibatasi pada kasus
y ang dapat dioperasi (op er ab I e) pada perdarahan 1 l/hari
atau lebih

REFERENSI
Corey R, Hla KM. Major and massive hemptysis: reassestment of
conservative management. Am J Med Sci. 1987;294-301.
Cahi11 BC, Ingbar DH. Massive hemoptysis: assestment and
management. Clin Chest Med,. 1994:15;1,47.
Corey R, Hla KM. Major and massive hemoptysis: reassestment of
conservative management. Am J Med Sci. 1987;294-301.
Weinberger SE, Braunwald E. Cough and hemoptysis In: Fauci AS,
Braunwald E, Isselbacher KJ,et al, editors. Harrison's principles
of intemal medicine. 15'h ed. Philadelphia: Mc Graw Hill; 2002.

p.

194-8.

PERDARAHAN

PENATALAKSAN

FAGUS

VARISES

Hernomo Kusumobroto

PENDAHULUAN
Dipakai
1 kali

Perdarahan varises gastro-esofagus, merupakan salah satu

komplikasi terbanyak dari hipertensi portal akibat sirosis,


terjadi sekitar 10 - 30 0% seluruh kasus perdarahan saluran
cema bagian atas. Perdarahan varises sendiri terjadi pada
25 - 35 o/, pasien sirosis. Perdarahan ini sering disertai
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih
tinggi dibanding dengan penyebab perdarahan saluran
cerna yang lain, demikian pula dengan biaya perawatan di
rumah sakit yang lebih tinggi. Perdarahan pertama
biasanya memberi angka mortalitas yang tinggi, bisa
sampai 30 0%, sementaruT0 %o dari pasien yang selamat
(survivor) akan mengalami perdarahan ulang setelah
perdarahan yang pertama tersebut. Selain itu, ketahanan
hidup selama I tahun setelahperdarahanvarises biasanya
rendah (32

SB Tube
Vasopressin
Skleroterapi Endoskopik (STE)
Somatostatin
Ligasi varises endoskopik (LVE)
Transhepatik var. scler. (PTO)
Transjugular intrahepatik
portosistemik shunt (Tl PS)

<1 950

'1956

1973
1978
1

986

1974
1 988

, .Di
lndonesia
1

976

1976
1

983

1992
994
1987
1 995

Pengobatan Medik
Perdarahan varises akut
Vasopressin
Somatostatin
Balon tamponade
Pengobatan jangka panjang
Penghambat beta

80 %).

Selama 3 dekade terakhir ini, pengobatan pasien


hipertensi portal telah mengalami kemajuan yang cukup

Vasodilator

pesat, dengan tersedianya makin banyak pilihan

Pengobatan Endoskopik
Skleroterapi EndoskoPik
Ligasi Varises EndoskoPik
Pengobatan

pengobatan, baik bagi pasien yang belum maupun yang


sudah pernah mengalami perdarahan varises esofagus;
demikian pula untuk pengobatan pada saat perdarahan
akut, maupun untuk pengobatan jangka panjang guna
mencegah perdarahan ulang (Tabel 1 dan 2). Seperti kita
maklumi, selama bertahun-tahun sebelumnya, pengobatan
pertama perdarahataktif varises esofagus yang kita kenal
hanya terdiri atas pemberian infus vasopressin dan

PTO
TIPS

transhePatic obliteration)

trahepatik portosystemik shunting)

Pengobatan Bedah
Transeksi esofagus dan devaskularisasi
Pintasan portosistemik
Transplantasi hati

pemasangan balon tamponade Sengstaken-Blakemore tub e

(SB tube). Ini menyebabkan angka kematian penderita

8, pengobatan perdarahan varises esofagus mengalami


perubahan revolusioner. Temuan ini kemudian disusul
dengan penggunaan endoskopi untuk pengobatan
skleroterapi endoskopik (STE) sekitar tahun 1973, dan

dengan perdarahan varises esofagus pada saat itu sangat


tinggi, r ala-r ata di atas 40%o (Tabel 3).
Baru sekitar tahun 1970, setelah ditemukannyapreparat
vasopresor baru, somatostatin dan analognya pada tahun

297

97

298

Penulis, tahun
Hilmy, 197'1
Djajapranata, '1973
Abdurachman, '1975
Akit,'1975
Simadibrata, 1978
Hernomo,1978
Soemarto, 198'1
Julius, 198'l

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDAT{G ILMU PEIYYAKIT DALAM

Kota

Jml.kasus

Jakarta

108

Surabaya
Bandung
U Pandang

35'l

Jakarta
Surabaya
Yogyakarta

237

Padang

132
17

Mortalitas
54 6 o/o
43 3 o/o
57.6 %
35 5 o/o

bb

45.9 %
32.4 %

138

624%

182

483%

ligasi varises endoskopik (LVE) secara rutin mulai tahun


1986.

Di Indonesia, sirosis hati masih tetap merupakan


penyebab perdarahan saluran cerna yang paling banyak
ditemukan. Frekuensinya bervariasi antara 25 82 oh,
tergantung di daerah mana pemeriksaan dikerjakan. Dari
hasil pemeriksaan endoskopi, perdarahan varises esofagus
ditemukan hampir merata di seluruh Indonesia, dengan
frekuensi bervariasi antara 15 - 63 %.
Pengobatan pasien dengan perdarahan varises gastroesofagus meliputi : prevensi terhadap serangan perdarahan
pertama Q)rimary pr op hy I aris), mengatasi perdarahan aktif,
dan prevensi perdarahan ulang setelah perdarahan pertama

teqadi (secondaty prophylaxrs). Selama beberapa dekade

terakhir, banyak modalitas pengobatan baru dan yang


menarik telah ditemukan untuk perdarahan varises ini.
Pengelolaan perdarahan varises'akut menrpakan proses
yang sangat kompleks, termasuk di antaranya penanganan
secara umum, seperti : resusitasi, monitoring kardiopulmoner, transfusi, pengobatan terhadap perdarahannya
sendiri, dan pencegahan terhadap komplikasi.

>30F, untuk aspirasi dan pencucian lambung. Tidak


terdapat bukti bahwa pemasangan pipa ini meningkatkan
risiko pada pasien yang mengalami perdarahan varises.
Cara ini selain memberi keuntungan untuk mengetahui
apakah perdarahan masih aktif, juga dapat digunakan untuk

membersihkan lambung, sehingga endoskopi dapat


dilakukan lebih efektif.
Dalam Konsensus Baveno I

990), disebutkan bahwa

untuk diagnosis perdarahan varises mutlak dibutuhkan


pemeriksaan endoskopi secepat mungkin. Untuk itu perlu
dicatat waktu pemeriksaan endoskopi (tanggal dan jam
pemeriksaan) dalam setiap laporan. Sebagai batasan
perdarahan aktif disebutkan bila tampak ada perdarahan
pada saat pemeriksaan endoskopi (oozing atau spurting).
Sebagai tanda bekas perdarahan baru (recent bleeding),

dipakai tanda papil putlh (white nipple). Sedang bila


terdapat bekuan darah, harus dibersihkan dengan
penyemprotan (wash). Diagnosis perdarahan varises tanpa
sumber perdarahan lain, dapat digunakan bila ditemukan
darah dalam lambung danlatau endoskopi dikerjakan dalam

waktt24 jam.
Secara endoskopi batasan perdarahan varises adalah

perdarahan dari varises esofagus atau lambung yang


tampak pada saat pemeriksaan endoskopi, atau ditemukan
adanya varises esofagus yang besar dengan darah di
lambung tarpa adanya penyebab perdarahan yang lain.
Perdarahan disebut bermakna secara klinik bila kebutuhan
transfusi daruh2 unit atau lebih dalam waktu 24 jamsejak
pasien masuk rumah sakit, disertai dengan tekanan darah
sistolik kurang dari 100 mm Hg, atau penurunan tekanan
darah lebih dari 20 mmHg dengan perubahan posisi, dan
atau nadi lebih dari 100 kali/menit pada saat masuk rumah
sakit.

Sesuai dengan konsensus Baveno

(I

sampai

III)

maupun Inggris (UK consensus), untuk menilai beratnya


sirosis, dapat digunakan skor Child-Pugh (Tabet 4).

DIAGNOSIS
Pasien dengan perdarahan varises biasanya menunjukkan
gejala-gejala yang khas, berupa: hematemesis, hematokezia
atau melena, pemrrunan tekanan darah, dan anemia. Namun

harus dipahami bahwa adalya tanda-tanda yang khas


sirosis hati, dengan demikian ada dugaan hipertensi portal, tidak otomatis menyingkirkan sumber perdarahan lain.
Hampir 50% pasien dengan hipertensi portal mengalami

Kategori
Ensefalopati

Asites

C)

Albumin (g/l)

<34
>35

INR

< 1.3

Bilirubin (mMol/l)

t/il
sedang
34-51
28-35
1.3- 1,5

Ringan -

ilt/tv
Beral

>51

<28
> 1.5

perdarahan non-varises. Beberapa di antaranya


disebabkan oleh gastropati hipertensi portal, yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan portal, namun
sebagian besar tidak berhubungan dengan peningkatan
tekanan portal. Karena itu pasien-pasien ini membutuhkan
pemeriksaan endoskopi yang segera, untuk menetapkan
diagnosis yang pasti, sehingga pengobatan yang adekuat
dapat segera diberikan. Sebelum endoskopi, dilakukan
pemasangan pipa nasogastrik, dianjurkan dengan ukuran

Menurut sistem

skor di

atas, kelas

sesuai dengan skor 6 atau kurang, Kelas B


kelas C: 10 atau lebih.

Child-Pugh,
skor 7 -9, dan

Pasien dari kelas A, biasanya meninggal akibat efek


perdarahannya sendiri, sementara pasien dengan kelas C
kebanyakan akibat penyakit dasarnya. (Rekomendasi kuat

tingkatAl).

299

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN VARISES ESOFAGUS

Untuk menilai derajat

bes

varises, baik konsensus

Inggris maupun Baveno I-1990 sampai dengan III-2000,


semuanya menganjurkan pemakaian cara yatg paling
sederhana, yaitu membagi menjadi 3 tingkatan (Tabel 5).

Tingkat

Tingakt
Tingakt

2
3

varises yang kolaps pada saat inflasi esofagus


dengan udara
varises antara tingkat 1 dan 3.
varises yang cukup untuk menutup lumen
esofagus. (Rekomendasi kuat tingkat Cll )

Dari Konsensus Baveno II-1995, telah disepakati bahwa


pada semua pasien sirosis hati seyogyanya secara rutin

diperiksa ada tidaknya hiper-tensi portal, dengan


pemeriksaan endoskopi dan USG (sebaiknya dengan
dop-pler), terutama pada pasien yang belum pernah

dalam wakh-r 12

Baveno

kronik akibat GHP, adalah adanya fecal blood loss,


penurunan Hb > 2 gramo/o dalam 3 bulan, dan saturasi
transferin yang rendah, disertai adalya GHP pada
pemeriksaan endoskopi, tanpa adanya kolopati,
duodenopati, supresi sumsum tulang, penyakit ginjal
kronik, maupun pamakaian obat-obat antiinflamasi (OAN)'

Lesi
MLP (Mosaic Like Pattern)
Ringan
Berat
RM (Red Marking)
Terisolasi
Berkonfluen
GAVE (Gastric Anhral Vascular Ectasis)
Negatif
Positif
GHP ringan
GHP berat

seperti: pengukuran tekanan varises dengan cara


langsung, angiografi, dan MRI, hanya dianjurkan untuk
keperluan penelitian saja. Dalam Konsensus Baveno II ini
ada beberapa kesepakatan baru yang dibuat, antara lait:
perdarahan varises baru berarti secara klinik bila memenuhi

hematemesis dan atau melena baru, setelah24 jamkeadaan


umum pasien stabil (tensi, nadi, Hb, PCV) pasca perdarahan
akut.

Konsensus Baveno III-2000 (41) menyebutkan bahwa

clinical
diagnosis klinik hipertensi portal (CSPH
significant of portal hypertension), dapat ditegakkan
berdasarkan

Meningkatnya gradien tekanan portal di atas batas


sekitar l0mmHg.

Adanya varises, perdarahan varises, dan/atau asites,


dapat dipakai sebagai dasar adanya hipertensi portal
secara

klinik (CSPH).

GHP, Konsensus

sepakat untuk menggunakan sistem skoring

seperti dalam tabel 6. Knteria untuk menetapkan perdarahan

mengalami perdarahan SMBA. Sarana diagnosis yang lain

persyaratan membutuhkan minimal 2 unit darah dalam


waktu 24 j am. S edang perdarahan ulang terj adi bila timbul

II

-24 jam.Untuk klasifftasi

Skor
1

2
1

<3
>4

FAKTOR RISIKO PADA PERDARAHAN PERTAMA


Faktor-faktor predisposisi dan yang memacu terjadinya
perdarahan varises, sampai saat ini masih tetap belum jelas.

Dugaan bahwa esofagitis dapat memacu terjadinya


perdarahan varises telah diabaikan. Pada saat ini faktorfaktor paling penting yang dianggap berlanggung jawab
adalah: l). Tekanandalamvarises; 2). Ukuranvarises; 3)'
Tekanan di dinding varises, dan; 4). Beratnya penyakit
hati.

Pada sebagian besar kasus, tekanan portal yang


merefl eksikan (menunjukkan) tekanan intravarises, dan
gradien tekanan vena hepatika (HVPG : hepatic venous
pressure gradient)lebihbesar dari 12 mm Hg, dibutuhkan

Selain itu, semua pasien sirosis seyogyanya dilakukan

untuk terjadinya perdarahan varises esofagus; namun

skrining secara rutin untuk mengetahui adanya varises

tidak ditemukan hubungan lurus antara beratnya hipertensi


portal dan risiko terjadinya perdarahan varises. Gradien
tekanan vena hepatika (HPVG) menunjukkan tendensi
lebih tinggi pada pasien yang mengalami perdarahan,
demikian pula pasien yang mempunyai varises yang lebih
besar. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa

pada saat diagnosis awal sirosis dibuat. Pemeriksaanulang

untuk setiap pasien yang dengan ala.utanpa tanda-tanda


klinik hipertensi portal (CSPH) dapat dilakukan sepefti
berikut:

Pada pasien dengan sirosis kompensata tanpa varises,

pemeriksaan endoskopi dapat diulangi setiap 2 - 3


tahun, untuk mengetahui kapan varises mulai timbul.

risiko perdarahan varises meningkat dengan makin


besarnya ukuran varises.

Padapasien dengan sirosis kompensata dengan varises


kecil, endoskopi dapat diulangi setiap 1 -2 tahun, untuk
mengetahui progresivitas pembesaran varises.

Dengan menggunakan model in vitro, Polio dan


Groszmann menunjukkan bahwa pecahnya varises
berhubungan dengan tegangan (tension) pada dinding

Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati


hipertensi porlal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara

varises. Tegangan ini tergantung pada radius varises. Pada

endoskopik adanya lesi yang berdarah aktif. Bila ditemukan


varises esofagus atau lambung, endoskopi dapat diulangi

model ini, meningkatnya ukuran varises

dan

mengurangnya tebal dinding varises, menyebabkan


varises pecah.

300

KEGAIVAIIDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Gambaran endoskopi, seperti bintik kemerahan (red


dan tatda wale, pertama kali dikemukakan oleh
Dagradi. Kedua tanda ini digambarkan sebagai sangat

Indeks hati (Tabel 7) juga dapat dipakai sebagai


petunjuk untuk menilai prognosis pasien hematemesis

penting dalam meramalkan terjadinya perdarahan varises.


Dalam penelitian retrospektif di Jepang (The Japanese
Research Society for Portal Hypertension), Beppu dan
kawan-kawan menunjukkan bahwa 80% pasien yang

penelitian sebelumnya, pasien yang mengalami kegagalan

spots)

mempunya varises kebiruan (blue varices) atau bintik

kemerahan (cherry

melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil

hati ringan (indeks hati 0 2), angka kematian antara 0 - 16


0%,
sementara yang mempunyai kegagalan hati sedang
sampai berat (indeks hati 3 - 8) angka kematian antara 18 40%.

red spots) ternyata mengalami

perdarahan varises. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa


keduanya merupakan prediktor penting untuk terjadinya
perdarahan varises esofagus pada sirosis.

Kedua penelitian int, - The North ltalian Endoscopic


C/arb (NIEC) dan data dari Jepang menunjukkan bahwa

Pemeriksaan

risiko perdarahan tergantung pada 3 faktor : 1). Beratnya

2.

penyakit hati (diukur dengan klasifikasi Child); 2). Ukuran


varises, dan; 3). Tanda kemerahan (red wale markings).

3
4

Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa gradien


tekanan vena hepatika (HVPG) dan tekanan intravarises
juga merupakan prediktor independen untuk timbulnya

3.6
<2.0
-

1. Albumin (g %)

2
3

>

Bilirubin (mg %)
Gangguan kesadaran
Asites
Kegagalan hati ringan
Kegagalan hati sedang
Kegagalan hati berat

=
=
=

indeks hati
indeks hati
indeks hati

3.0

- 3.5

<30

2.0-30

> 3.0

minimal

minimal

4- 6
7 - 10

perdarahan varises yang pertama.


Sebagai ringkasan, 2 faktor terpenting (utama) yang
menentukan risiko perdarahan varises adalah : beratnya

penyakit hati dan ukuran varises. Pengukuran gradien

PROFILAKSTS PRIMER ( pRtMARy pROpHyLAXtSl

tekanan vena hepatika (HPVG) berguna sebagai petunjuk


unfuk seleksi pasien, guna menentukan cara pengobatan
dan responsnya terhadap terapi.

Karena 30-50% pasien dengan hipertensi portal akan


mengalami perdarahan dari varises, dan sekitar 50 o/o akan
meninggal akibat efek perdarahan pefiama, tampaknya

sangat rasional untuk membuat panduan pengobatan


profilaksis untuk mencegah terjadinya varises, juga

PROGNOSIS PERDARAHAN VARISES AKUT

perdarahan varises. Namun sebagian besar penelitian yang

Angka kematian rata-rata pada serangan perdarahan

dipublikasi tidak mempunyai cukup data untuk

pertama pada sebagian besar penelitian menunjukkan


sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan erat dengan

menunjukkan cara pengobatan mana yang paling efektif.


Bedah pintasan profilaksis telah banyak dicoba dengan
cara acak, penelitian dengan metaanalisis menunjukkan
keunfungan yang bermakna dalam menekan perdarahan
varises, tetapi ternyata juga memrnjukkan peningkatan
risiko terjadinya ensefalopati hepatik dan mortalitas pada
pasien yang dilakukan operasi pintasan. Inokuchi dan
kawan-kawan berhasil menunjukkan penurunan yang
bermakna dalam perdarahan varises dan mortalitas pada
pasien yang mendapat pengobatan dengan berbagai
macam prosedur devaskularisasi. Namun ada sejumlah
masalah yang berhubungan dengan interpretasi penelitian

berabrya penyakit hati. Dalam pengamatan rata-rata selama


1 tahun, angka kemati an rata-rata akibat perdarahan varises
berikutnya adalah sebesar 5 o/opadapasien dengat Child
kelas A, 25 oh pada Childkelas B, dan 50 o/o pada

Child

kelas C. Walaupun kreatinin serum dapat dipakai sebagai

prediktor ketahanan hidup secara menyeluruh pada


beberapa penelitian, klasifikasi Child masih dianggap tebih

superior dibanding prediktor-prediktor lain, dalam


menentukanmortalitas dalam 6 minggu atau 30 hari setelah
perdarahan pertama.
Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG
dapat dipakai sebagai prediktor ketahanan hidup, bila
diukur 2 minggu setelah perdarahan akut. Masih belum
jelas, apakah perdarahan aktif pada saat pemeriksaan

endoskopi dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas.


Namun perdarahan aktif pada saat endoskopi ini dapat
dipakai sebagai prediktor terjadinya perdarahan ulang
yang lebih awal. Risiko kematian menurun dengan cepat
sesudah perawatan di rumah sakit, demikian pula risiko
kematian ini menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah
perdarahan.

ini, karena tiap-tiap senter (ada22 pusat penelitian) temyata


menggunakan teknik devaskularisasi yang berbeda-beda.
Hasil penelitian ini masih membutuhkan konfirmasi lebih

jauh.
Panduan utama penggunaan obat farmakologi sebagai

profilaksis primer perdarahan varises masih tetap


propanolol, yang terbukti dapat menurunkan gradien
tekanan portal, menurunkan aliran darah vena azigos, dan

juga tekanan varises. Efek ini disebabkan karena


vasokonstriksi splanknik dan penurunan volume semenit.
Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa risiko perdarahan

301

PENAf,ALAKSANAAN PERDARAHAN VARISES ESOEAGUS

lebih rendah secara bermakan, namun untuk angka


kematian hanya berbeda sedikit. Perhatian terhadap
pemakaian vasodilator, seperti isosorbid mononitrat
tumbuh karena dalam penelitian terbukti bahan ini dapat
menekan tekanan portal sama efektifnya dengan
propanolol. Kombinasi nadolol dan isosorbid mononitrat
telah dibandingkan dengan nadolol sebagai obat tunggal,
dalam penelitian acak terkontrol. Ternyata terapi kombinasi
dapat menekan frekuensi perdarahan secara bermakna,
tetapi tidak berbeda dalam angka kematian pasien.
Terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa penurunan
denlut nadi istirahat sebesar 25 %o detgan penghambat
beta (propanolol, atenolol, atau nadolol) dapat mencegah
perdarahan pertama, karena penurunan ini berhubungan
langsung dengan penurunan tekanan portal. Isosorbide5-mononitrate 2 x 40 mg, dalam penelitian yang belum
terlalu banyak, efektif juga untuk mencegah perdarahan
y ang pertama. Masih dibutuhkan metodologi penelitian

yang lebih baik untuk menetapkan siapa saja yang


mempunyai risiko yang paling tinggi untuk berdarah,

gradien tekanan vena hepatika

(IIVPG:

hepatic venous

pressure gradient) menjadi kurang dati 12 mm Hg.


(Rekomendasi tingkat AI).

Dosis: Mulai dengan dosis 2 x 40 mg, dinaikkan hingga


x 80 mg bila perlu. Pemakaianlong acting propranolol

dalam dosis 80 atau 160 mg dapat dipakai untuk


memperbaiki ketaatan pasien. (Rekomendasi tingkatAl)
Padakasus dimanaterdapatkontraindikasi atauterjadi

intoleransi tehadap propanolol, pengobatan LVE

merupakan pilihan utama (Rekomendasi tingkat AI')


Dalam situasi di manabaikpropanolol maupun LVE tidak
dapat digunakan, isosorbide mononitrate dapat dipakai
sebagai obatpilihanutama(2 x 20 mg). (Rekomendasi

tingkatBl.)

l.

Siapa yang harus dilakukan surveilans untuk


perdarahan varises

Semua pasien dengan sirosis sebaiknya dikerjakan

endoskopi pada saat diagnosis dibuat.


(Rekomendasi tingkat CI.)

sehingga dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang

2. Berapa kali pasien sirosis harus di endoskopi ?


. Bila pada saat endoskopi perlama tidak ditemukan

paling diuntungkan untuk pengobatan profilaksis.


Metodologi yang lebih baik juga dibutuhkan untuk

varises, pasien sirosis harus dilakukan endoskopi


berkala dengan jarak 3 tahun sekali. (Rekomendasi

menetapkan obat mana yang efektif unfuk menurunkan


tekanan porlal.
Endoskopijuga telah dipakai sebagai salah satu teknik

tingkat AII.)
Bila ditemukan varises kecil pada saat diagnosis
dibuat, pasien harus dilakukan endoskopi berkala
setiap tahun sekali. (Rekomendasi grade aii.)
Pasien sirosis mana yang harus diberi profilaksis

untuk mencegah perdarahan varises. Sklero Terapi


Endoskopi (STE) telah dipakai sejakbeberapa tahun untuk
pengobatan perdarahan varises, namun akhir-akhir ini tidak
dianjurkan lagi sebagai pengobatan profilaksis karena
kurang efektif. Ligusi varises endoskopi (LVE) mungkin
bermanfaat untuk pengelolaan perdarahan varises akut,
tetapi untuk pengobatan profilaktik masih belum banyak

3.

primer

dipakai, sehingga efektivitasnya juga masih perlu


dibuktikan.
Pada saat ini skleroterapi endoskopi (STE) belum dapat
direkomendasi sebagai terapi profilaksis untuk perdarahan

varises pada pasien sirosis. Sarin dan kawan-kawan


membandingkan terapi ligasi varises (LVE) dengan tanpa
terapi aktifdengan cara acak, dan hasilnya menunjukkan
terjadi penurunan secara bermakna perdarahan varises pada
pasien yang mendapat pengobatan LVE. Sementara angka

kematian tidak berbeda. Penelitian selanjutnya yang


menyangkut 120 pasien, menunjukkan hasil yang sama.
LVE juga telah dibandingkan dengan propanolol dalam
penelitain secara acak, hasilnya menunjukkan bahwa LVE
dapat menekan frekuensi perdarahan pertama, namun tidak
mempengaruh i angka kematian.
Sesuai dengan rekomendasi Inggris, juga rekomendasi
Baveno III-2000, metode profilaksis primer yang paling bark
dan efektifadalah:

.
'

Terapi farmakologi dengan propranolol merupakan


modalitas terapi terbaik yang ada pada saat ini.
(Rekomendasi tingkat AI.)
Tujuan pengobatan dengan propranolol: Menurunkan

Bila dibuat diagnosis varises tingkat 3, pasien harus


mendapat profilaksis primer, tanpa melih atbetatnya
gangguan faal hati pasien (Rekomendasi tingkatAl.)
Bila pasien mempunyai varises tingkat 2, detgan
gangguan faal hati Child kelas B atau C, mereka
harus mendapat profilaksis primer. (Rekomendasi
tingkatBl).

PENATALAKSANAAN AWAL (INITIAL MANAGE.


MENT)
Langkah pertama yang paling penting dalam pengelolaan
perdarahan varises akut adalah segera mulai resusitasi dan
proteksi jalan napas untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Endoskopi dini dapat mengevaluasi saluran cerna bagian
atas secara lebih akurat unfuk membuat diagnosis sumber
perdarahan, serta menenfukan pengobatan secara tepat.

Di

negara-negara maju, setiap pasien dengan

perdarahan akut saluran makan bagian atas (SMBA),


terutama perdarahan varises, dianjurkan diawasi di rumah
sakit, bila perlu di ruangan perawatan intensif, walaupun
perdarahan tampaknya ringan. Bila ada Tim Hipertensi
Portal, sebaiknya Tim tersebut telah dilibatkan sejak awal
perawatan pasien. Setelah keadaan umum pasien stabil,
segera dilakukan pemeriksaan endoskopi darurat untuk

302

KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKTT DALAM

menetapkan penyebab perdarahan dan menentukan


pengobatan yang tepat.
Konsensus Baveno III-2000 (41) merekomendasikan

perdarahan, menunjukkan perbaikan perjalanan klinik

bahwa pemberian darah harus dikerjakan secara hati-hati


dan lebih konsernatif, dengan menggunakan sel darah

klavulanik dan siprofl oksasin).

: packed red cell), cukup untuk


mempertahankan hematokrit antara 25 - 30 %o, dan

aspirasi pneumonia atau infeksi. Penelitian terakhir


menunjukkan bahwa pasien dengan sirosis yang mengalami
dengan pemberian antibiotika profi laksis (amoksisilin-asam

yang dipadatkan (PRC

pemberian cairan pengganti plasma (plasma expander)

PENGOBATAN DEFINITIF (DEF|N|T|VE TH ERApy)

untuk mempertahankan hemodinamik yang stabil.


Mengenai pemberian obat-obat koagulopati dan

Pipa Sengstaken-Blakemore (SB tube) dengan modifikasi

pengobatan terhadap trombositopeni, masih diperlukan

Minnesota (dengan penambahan lubang aspirator di atas

data yang lebih banyak. Adanya infeksi harus

balon esofagus) dapat dipakai untuk mengatasi

dipertirnbangkan pada semua pasien. Karena itu pemberian


antibiotika profilaksis seyogyanya dilakukan sebagai
bagian pengobatan rutin untuk semua pasien pada saat
masuk rumah sakit.
Intervensi awal untuk setiap pasien dengan perdarahan

perdarahan varises esofagus atau varises lambung di


daerah proksimal, namun harus dipastikan dulu sumber
perdarahannya. SB tube harus dipasang secara tepat dan
dengan pengawasan (monitoring) yang ketat, karena risiko
kernungkinan terjadinya komplikasi yang sedang sampai
berat. Pada umumnya dianjurkan untuk melakukan inflasi
balon esofagus maupun lambung pada awalnya, dan
segera dilakukan deflasi dalam waktu 12 - 24 jam, :ul;rt'tk

akut adalah pemasangan akses intravena yang baik,


selanjutnya mulai dengan penggantian volume darah yang
(v o lum e r ep I a c em enl). Hampir pada semua pasien,
tindakan ini dapat dimulai dengan cairan kristaloid, diikuti
dengan transfusi darah. Bila pasien masih berdarah aktif,
dan diketahui kemungkinan besar ada hipertensi portal,
vasopressin atau octreotide dapat diberikan dalam dosis
empirik sebagai usaha untuk menurunkan tekanan portal
dengan cepat. Dengan demikian dapat menurunkan risiko
atau menghentikan perdarahannya. Vasopressin diberikan
dalam dosis 0.1- 1.0 unit/menit, meskipun dosis di atas 0.6
unit/menit masih diragukan efektifitasnya. Obat ini dapat

hilang

menimbulkan vasokonstriksi bermakna, yang dapat


menyebabkan iskemi atau nekrosis organ. Pasien dengan
penyakit pembuluh darah koroner atau penyakit pembuluh
darah perifer, merupakan kontraindikasi pemberian obat
ini. Pemberian nitrogliserin intravena dalam dosis 0.3 mgl
menit, atau secara sublingual, maupun transdermal (patch)
dapat ditambahkan pada vasopressin untuk menurunkan
risiko terhadap komplikasi pada jantung dan pembuluh
darah. Octreotide (analog sintetik dari somatostatin) dapat

menurunkan tekanan portal tanpa menimbulkan efek


samping seperti pada vasopressin. Penelitian menunjukkan
bahwa dosis efektif octreotide adalah25-200 mcg/jam secara
intravena, dengan atau tanpa didahului bolus 50 - 100 mcg.
Plasma segar beku (FFP : fresh frozen plasma) dapat

diberikan pada pasien yang terus berdarah yang


menunjukkan PPT yang memanjang. Demikian pula
tombosit (TC

thrombocyte concentrate) dapat dlberlkan

bila trombosit < 50,000/m1 dan perdarahan masih


berlangsung.
Pasien dengan ensefalopati, intoksikasi, atau gangguan
mental/ kesadaran yang lain, perlu dilakukan pemasangan
intubasi endotrakheal sebelum pemeriksaan endoskopi,
atau prosedur invasif lain, karena.risiko aspirasi cukup

tinggi. Setiap pasien dengan perdarahan varises


mempunyai tambahan risiko tinggi untuk mengalami efek
samping yang lebih berat, bila terjadi komplikasi seperti

menghindari kerusakan mukosa. Sekali balon


dikempeskan, dianjurkan untuk segera dilakukan
pengobatan lanjutan untuk mencegah perdarahan ulang,
karena perdarahan ulang setelah pengempesan SB tube

terjadi sekitar 80

o/o

atau lebih. Beberapa pengobatan

definitif termasuk antara lain : terapi endoskopi (STE atau


LVE), embolisasi transhepatik atau transmesenterik
(minilaparotomi), operasi (pintasanl shunt, ligasi,
devaskularisasr), Transjugular Intrahepatic Portosyslemic Shunts (TIPS), ata:u orthotopic liver transplantation (OIjI).
Terapi definitifawal yang terpilih adalah STE atau LVE.
Baik penyuntikan bahan sklerosan (1 .5% sodium
tetradecyl suffote atau 5%o ethanolamine oleate) darr
pemasangan ligator pada varises esofagus, terbukti dapat
mencegah perdarahan ulang varises dan memperpanjang
ketahanan hidup pasien (survival). Untuk mencapai tujuan
ini, pasien harus diterapi secara berkala dan teratur, dengan
pengobatan awal selanjutnya dengan intewall -2 minggu
sampai varises dapat dieradikasi. Makin cepat eradikasi

tercapai, makin baik hasil prevensi perdarahannya.


Sayangnya, STE mempunyai banyak efek samping seperli
: demam, nyeri dada, mediastinitis, efusi pleura, tukak
esofagus yang dalam, perforasi esofagus, dan striktur).
LVE lebih efektif dari pada STE, mempunyai efek samping
jauh lebih sedikit, juga menunjukkan perdarahan ulang
yang lebih sedikit serta mortalitas yang lebih baik dibanding
STE. Dengan pemakaian ligator ganda (multiple ligators),

pemakaian oyertube dapat dikurangi bahkan dihindari,


sehingga LVE menjadi lebih aman dan lebih cepat.
Embolisasi radiologik pada arteri koronaria gastrika dan
kolateralnya, yang memberi pasokan pada varises yang
berdarah, dapat menghentikan perdarahan secara efektif.
Namun pendekatan transhepatik menjadi sulit pada hati
yang sangat sirotik, keras, dan disertai asites, dan dapat

303

PENAf,ALAKSANAAN PERDARA}IAN VARISES ESOFAGUS

menimbulkan risiko komplikasi yang sangat tinggi.


Pendekatan lewat vena transmesenterik tampaknya dapat
mengatasi masalah ini, namun membutuhkan insisi kecil,
yang tetap masih dapat memberi tambahan komplikasi.
Tindakan bedah mempunyai hasil yang sangat bervariasi.
Devaskularisasi lambung bagian proksimal dan esofagus,

dengan atau tanpa transeksi esofagus, mempunyai


beberapa keuntungan, namun tindakan ini belum dapat
diterima secara luas sebagai tindakan yang aman dan
efektif. Pintasan porto-sistemik dengan bermacam cara,
sangat efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi
mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
bermakna, khususnya pada pasien dengan Child C.
Pintasan mesokaval (H-graft) dan splenorenal distal (War-

ren) telah dikembangkan untuk menekan angka


ensefalopati pasca pintasan. Meskipun hasilnya cukup
lumayan, pada beberapa kasus pintasan ini dapat
mengalami pembuntuan (clotting),sehingga ensefalopati
tetap dapat timbul di kemudian hari.
Pengenalan prosedur TIPS menambah perbaikan dan
makin banyaknya variasi pilihan pengobatan pada pasien
yang mengalami kegagalan dengan pengobatan endoskopi.

Di tangan seorang radiolog yang handal atau terlatih,


kesuksesan prosedur TIPS dapat mencapai 950% kasus.
Pintasan ini dapat menurunkan tekanan portal secara efektif
sampai <12 mmHg, sehingga dapat menekan angka
perdarahan ulang cukup tinggi. Pintasan ini juga tetap
mempunyai risiko untuk buntu, karena itu perlu di monitor secara berkala dengan USG atau dengan venografi,

Sesuai dengan rekomendasi Inggris: idealnya pasien


dengan perdarahan varises seyogyanya dirawat di unit
dimana tenaga yang ada sudah familiar dengan pengelolaan
pasien dan penggunaan semua alat-alat untuk intervensi
secara rutin. (Rekomendasi tingkat CII.)

Cara
Kanula perifer No 16, paling sedikit 2
Cross mafch untuk 6 unit darah.
Perbaikan waktu protrombin, jumlah trombosit.
Akses CVC (central venous catheter).
Proteksi jalan nafas dengan intubasi elektif
Perdarahan varises yang berat tak terkontrol;
:

[.

2.

Resusitasi

SaatMelakukanEndoskopi
. Secepat mungkin begitu hemodinamiknya stabil.

.
.

pasien seperti

ini

seyogyanya disiapkan untuk

pemasangan pintasan lebih awal, dibanding pasien dengan

perdarahan varises esofagus.

LVE (ligasi varises endoskopik) merupakan pilihan


pertama. (Rekomendasi tingkat AI.)
Bila LVE sulit karena perdarahan yang masif dan
terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan,
STE dapat dikerjakan (Rekomendasi tingkat AI.)
Bila endoskopi tidak memungkinkan, pemberian
vasokonstriktor seperti octr eotide atau glypres s in,

atau pemasangan pipa Sengstaken (dengan


pengawasan yang ketat), dapat dikerjakan sambil
menunggu tindakan yang lebih definitif. (Recom-

4.

mendation grade AI.)


Kegagalan Mengatasi Perdarahan Aktif
. Dalam keadaan di mana perdarahan sulit dikontrol,

pipa

baik dengan STE maupun LVE. STE dengan jumlah

untuk menghindari dislokasi ligator lebih awal. Penyuntikan


bahan lem atau glue (sianoakilat) ke dalam varises lambung
cukup efektif, tapi bahan ini belum tersedia di AS. Pasien-

(Rekomendasi tingkat BIII. )

bukan kandidat transplantasi, yang menginginkan untuk


kembali, untuk manajemen tindak lanjuft. Sayangnya,
ensefalopati cukup sering dijumpai pasca TIPS, yang

lebih jelek dibandingkan dengan hasil pengobatan pada


varises esofagus. Kombinasi STE + LVE dilaporkan efektif
pada pasien dengan varises terisolasi di daerah kardia
lambung. Pasien-pasien ini membutuhkan pengobatan
supresi asam lebih banyak setelah pemasangan ligator,

Pneumonia aspirasi. (Rekomendasi tingkat Blll

3. MengatasiPerdarahan

dianggap sebagai jembatan emas menuju ke transplantasi


hati. Prosedur ini juga dapat digunakan pada pasien yang

sklerosan yang banyak dikatakan sedikit lebih baik


daripada dengan dosis standard, namun hasilnya tetap

Ensefalopati berat;
Tak mampu mempertahankan saturasi oksigen di atas
90%;

lV.

pada banyak kasus. Dengan demikian, TIPS sering

membatasi penggunaan cara ini, khususnya pada pasien


dengan fungsi hati yang jelek. Transplantasi hati masih
tetap merupakan pilihan paling baik untuk pasien dengan
perdarahan varises yang tidak terkontrol.
Adanya varises lambung merupakan situasi yang lebih
sulit untuk diatasi, karena biasanya tidak mudah dieradikasi

l.
ll.
lll

Sengstaken dapat dipasang, sampai


pengobatan lanjutan seperti terapi endoskopi,
TIPSS, atau tindakan bedah dapat dikerjakan.
(Rekomendasi tingkat BI.)
Pada saat ini konsultasi kepada spesialis harus
segera dikerjakan, dan

bila mungkin juga

pemindahan pasien ke unit spesialis yang lebih

pengalaman dalam menangani keadaan seperti ini.


(Rekomendasi tingkat BII. )
Modalitas pengobatan seperti antara lain, intervensi
bedah seperti transeksi esofagus atau TIPSS harus
ditetapkan dulu berdasarkan pengalaman serta

tersedianya spesialis yang biasa mengerjakan


tindakan tersebut di pusat rujukan yang dituju.
(Rekomendasi tingkat BII.)

304

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG IIJVIU PEIYYAKIT DALAM

PENGOBATAN JANGKA PANJANG/PROFILAKSIS


SEKUNDER (SECONDA Ry pROpHyLAXtS)

diikuti dengan endoskopi beikala setiap 3 bulan dan 6


bulan. Bila terjadi varises baru, segera dilakukan
eradikasi ulang. (Rekomendasi tingkatAII.)

Sementara terapi endoskopi secara berkala dapat


menimbulkan eradikasi varises, menekan perdarahan ulang,

dan memperbaiki ketahanan hidup (survival) pasien


sirosis, tindakan ini khususnya hanya terbatas pada pasien
dengan Child A dan B. Sampai saat ini belum ada satu
penelitian pun yang menunjukkan perbaikan ketahanan

hidup pada pasien Child C, bahkan pada beberapa


penelitian pengurangan perdarahan ulangpun tidak

terbukti. Demikian pula pada perbandingan endoskopi


versus prosedur pintasan pada pasien Child C. Karena itu
sampai saat ini masih belum terbukti secara jelas, dari
sekian banyak variasi pilihan pengobatan, tindakan apa
yang paling terpilih, khususnya dalam hal cost elfectivity.
Tampaknya pilihan terapi terbaik saat ini masih tergantung
pada : tersedianya sarana serta tenaga terlatih, serta kondisi
pasien secara keseluruhan.

Skleroteterapi Endoskopik (STE)

.
.
.

dicapai adalah penurunan nadi pada saat istirahat sebesar


%o, dengan menggunakan propanolol, atenolol, atau

25

Interval antara pengobatan sama seperti LVE di

atas.

Penghambat Beta Non-selektif dengan atau


Tanpa Terapi Endoskopik

Kombinasi STE denganpenghambatbetanon-selektif


maupun beta bloker tunggal, dapat digunakan. Bila yang

dipilih yang terakhir, maka sebaiknya dlakukan


pemeriksaan pengukuran HVPG, untuk memastikan
bahwa pengobatan tersebut berhasil menurunkan
tekanan HVPG di bawah 12 mm Hg. (Rekomendasi
tingkat AII.)

pengobatan tunggal atau dengan kombinasi terapi

mengukur tekanan portal. Tujuan baku yang hendak

(Rekomendasi tingkat BI.)

Bahan sklerosan yang dipakai tergantung persediaan


yang ada.
(Rekomendasi tingkat AII.)

Penurunan tekanan portal secara medik (dengan


bantuan obat), telah terbukti dapat menurunkan risiko
perdarahan ulang. Tindakan ini dapat dikerjakan dengan
endoskopi, untuk mendapatkan hasil maksimal dalam hal
perbaikan ketahanan hidup dan mengurangi perdarahan
ulang. Penghambat beta merupakan obat yang biasanya
digunakan untuk menurunkan tekanan portal, namun
efeknya hanya dapat diperkirakan saja, mengingat tidak
ada tindakan non-invasif yang dapat dipakai untuk

Bila LVE tidak memungkinkan, STE dapat dikerjakan.

TIPSS (T ranjugular lntrahepatic Portosystemic


Stenf Shunf)

TIPSS lebih efektif dibanding terapi endoskopik dalam


menekan perdarahan ulang varises esofagus, tetapi
tidap dapat memperbaiki ketahanan hidup pasien, dan
sering diikuti ensefalopati hepatik. Tindakan ini hanya
dikerj akan pada pusat tertentu yang mempunyai fasilitas
untuk tindakan ini. (Rekomendasi tingkat AI.)

nadolol. Hasil yang lumayan juga telah dibuktikan


dengan penggunaan isosorbid-5 -mononitrat (ISMN) 40
mg,2kali sehari. Hasilnya mungkin akan lebih baik bila
dilakukan kombinasi antara penghambat beta + isosorbid.
Bila varises telah mengalami eradikasi dengan STE atau
LVE, pengobatan medis dapat dihentikan, kecuali terjadi

VARISES LAMBUNG
Khusus untuk varises lambung, rekomendasi Inggris
menganj urka L

c ar

a- car a

pengelolaan sebagai berikut:

masalah lain, seperti timbulnya portal hypertensive


gastropathy.

Sesuai dengan rekomendasi Inggris, profilaksis


sekunder untuk perdarahan varises pada sirosis dapat
dilakukan dengan cara-cara berikut

Ligasi Varises Endoskopik (LVE)

.
.
.
.

Setelah perdarahan aktifvarises dapat diatasi, varises

harus dieradikasi dengan cara endoskopik. pilihan


pertama adalah LVE. (Rekomendasi tingkatAl.)
Dianjurkan setiap varises diligasi dengan I ligator setiap
minggu sampai varises menghilang. (Rekomendasi

Klasifikasi Varises Lambung

Primer. Varises lambung dapat dideteksi

dengan

pemeriksaan endoskopi. Sekunder. Varises lambung yang


timbul dalam waktu 2 tahun setelah eradikasi varises
esofagus.

Macam-macam (tipe) varises lambung.

l.

Gastro-

tingkatBII.)

oesophageal varices tipe I dan2 (GOV): varises lambung


yang merupakan lanjutan varises esofagus dan biasanya
timbul di daerah kurvatura minor dan fundus. 2. Isolated
gastric varices tipe 1 dan 2 (IGV): varises lambung yang
bukan merupakan lanjutan varises esofagus, dan biasanya

Pemakaian over tube sebaiknya dihindari karena dapat


menambah komplikasi. (Rekomendasi tingkat BII.)
Setelah varises berhasil dieradikasi, pasien harus tetap

timbul di daerah fundus atau di tempat manapun di


lambung, termasuk korpus, antrum, pilorus, dan
duodenum. (Rekomendasi tingkat BII.)

30s

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN VARISES ESOFAGUS

Pengelolaan Perdarahan Aktif Varises Lambung


Varises Gastro-oesophageal. Pengobatan sama dengan
varises esofagus. (Rekomendasi tingkat BII.)
Isolated gastric varices (IGC). 1. Pengobatan awal :
STE dengan bahan sklerosan khusus : butyl-cyanoacrylate, atau thrombin. (Rekomendasi tingkat BII.), 2. Bila

terjadi kegagalan, tamponade balon SengstakenBlakemore. (Rekomendasi tingkat BII.) 3. Untuk


pengobatan jangka panjang perdarahan varises : TIPSS
atau bedah pintasan. (Rekomendasi tingkat BIL)

REFERENSI
P, Alves MM, Fidalgo P, et al. Is sclerotherapy the first
choice treatment for active variceal bleeding in cirrhotic
patients? Final report of a randomised clinical lrial. J

Alexandrino

Hepatol.l990;71 (suppl):S 1 .
Andreani T, Poupon RE, Balkau Bt, et al. Preventive therapy of
first gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis: Results

of a controlled trial comparing propranolol,

endoscopic
sclerotherapy and placebo. Hepatology 1990;12:1413-19.
Angelico M, Carli I-, Piat C, el a/. Isosorbide-5-mononitrate versus
propranolol in the prevention of first bleeding in cirrhosis.
G

KESIMPULAN
Diagnosis hipertensi portal secara klinik (CSPH - clinical

significant of portal hypertension) dapat ditegakkan


dengan adarrya: varises, perdarahan varises, danJatat
asites. Secara endoskopi batasan perdarahan varises
adalah: perdarahan dari varises esofagus atau lambung
yang tampak pada saat pemeriksaan endoskopi, atau
ditemukan adanya varises esofagus yang besar dengan
darah di lambung tanpa adanya penyebab perdarahan
yang lain. Pembagian gradasi varises yang paling
sederhana yang dianjurkan saat ini adalah dalam 3
tingkatan : kecil, sedang dan besar. Semua pasien sirosis
hati seyogyanya dilakukan skrining adanya varises pada
saat diagnosis sirosis mulai ditegakkan.
Untuk tata laksana medik perdarahan akut varises
esofagus, penggunaan obat-obat farmakologik seperti
somatostatin dan analognya (octreotide), serta analog
vasopressin (Terlipressin atau Glypressin) dan vasopressin
* nitrogli-serin, masih tetap merupakan obat optimal yang
menjadi pilihan pertama, sambil menunggu tindakan yang
lebih definitif. Terapi endoskopik, khususnya ligasi varises
esofagus (LVE), telah diterima secara luas sebagai sarana

pengobatan endoskopik yang definitif untuk


menghentikan perdarahan varises akut. Skleroterapi
endoskopik (STE) hanya dicadangkan bila LVE tidak
mungkin dikerjakan karena sesuatu alasan. Untuk
pencegahan primer sebelum terjadi perdarahan, dapat
diberikan penghambat beta atau nitrat jangka lama, baik
sebagai kombinasi atau obat tersendiri, khususnya pada
pasien dengan varises esofagus yang besar, atau varises
sedang dengan gangguan faal hati sedang sampai berat.
Sedang untuk pencegahan sekunder perdarahan ulang,
skleroterapi endoskopik (STE) dan ligasi varises esofagus
(LVE), keduanya telah diterima secara luas sebagai sarana
pengobatan endoskopik yang definitif, untuk pencegahan
perdarahan ulang, karena dapat dipakai untuk menimbulkan
oblitrasi varises esofagus. Untuk mendapatkan efek yang
lebih maksimal, diharapkan kombinasi terapi endoskopik
dan farmakologik, akan merupakan pilihan pengobatan
yang ideal di masa depan.

astro enterol

gy

1993 ;1O4

:l

460 -65.

Bosch J, Groszman RJ, Garcia-Pagan JC, et a/. Association of


transdermal nitroglycerin to vasopressin infusion in the treatment of variceal hemorrhage: a placebo-controlled clinical trial.
Hepatology I 989; 1 0:962-8.
Conn HO, Grace ND, Bosch J, et al Proptanolol in the prevention
of the first hemorrhage lrom esophagogastric varices: A
multicenter, randomized controlled clinical trial. Hepatology
1991;13:902-12.
D'Amico G, Traina M,Yizzint G, et al. Terlipressin or vasopressin
plus transdermal nitroglycerin in a treatment strategy for
digestive bleeding in cirrhosis. A randomized clinical trial J

Hepatol.

199 4:20 :206 - 12.

D'Amico G, Pagliaro L, Bosch J The treatment of portal hypertension: A meta-analytic review. Hepatology 7995;22:332-54.
De Franchis R, Primignani M, Arcidiacono PG, et al. Prophylactic
sclerotherapy in high-risk cirrhotics selected by endoscopic

criteria: A multicenter randomized controlled trial.


Gastroentero Logy 199 I

De Franchis
H epat

ol

01

:1

087-93.

Developing concensus in portal hypertension.

.-/

1996;25 :390 -4.

Freeman JG Cobden MD, Record CO. Placebo-controlled trial of


terlipressin (glypressin) in the management of acute variceal
bleeding. J Clin Gastoenterol 1989;11:58-60.
Groszmann RJ, Kravetz D, Bosch J, et al. Nitroclycerin improves
the hemodynamic response to vasopressin in portal hypertension. Hepatology. 1982;2:7 57'62.
Hernomo K, Indrawan D, Nizam O, Pangestu A dan Iswan A.N.
Pengalaman pengobatan somatostatin pada perdarahan saluran
makan bagian atas di Surabaya. Buletin PGI-PPHI-PEGI
Cabang Surabaya 1994; l: 40.
Hemomo K. Pengalaman klinik dengan octreotide pada perdarahan
akut saluran makan bagian atas. Medika. \994;20 : 22.
Hernomo, K. Perbandingan analog somatostatin dan vasopresin
pada perdarahan akut varises esofagus. Penelitian prospektif
secara acak. Bul PGI-PPHI-PEGI Cabang Surabal'a 1995;

2:

41.

Fleig WE, Stance EF, Hunecke R, et al. Prevention of recurrent

bleeding

in cirrhotics with recent variceal hemorrhage:

Prospective, randomized comparison of propranolol and


sclerotherapy. Hepatology 1987 ;7 :355-61.
Hayes PC, Davis JM, Lewis JA, Bouchier IAD. Meta-analysis of the
value of propranolol in the prevention ol variceal haemorrhage.

Lancet

1990;336: 153-6.

Hernomo K. Pengelolaan perdarahan masif varises esofagus pada


sirosis hati Thesls. Surabaya:Airlangga University Press; 1 983.
Penatalaksanaan perdarahan varises
Hernomo, K

esofagus.In:Suyono HS.etal.eds. Buku ajar ilmu penyakit


dalam.3'd ed.vol II.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001 p.158'

306

KEGAWAXDARURAf,AN MEDIK DI BIDAT{G ILMU PENYAKIT DALAM

Hernomo, K. Hipertensi Portal. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam,


Jilid 1, Edisi ke 3, Editor: Sjaifoellah Noer HM dkk., Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 1996, hal. 280.
Inokuchi K, Sugimachi K, Sato T, et al. Improved survival after
prophylactic portal nondecompression surgery for esophageal
varices: A randomized clinical trial. Hepatologt 1990;12 1-6
Italian Multicenter Project for Propranolol in Prevention of Bleeding. Propranolol prevents first gastrointestinal bleeding in nonascitic cirrhotic patients. Final report of a multicenter randomized trial. J Hepatol. 1989;9:75-83.
Jalan R, Hayes PC. UK guidelines on the management of variceal
haemorrhage in cir:rhotic patients. Gur 2000;46(Suppl 3):iii1-

iii 1 5.

Lay CS, Tsai YT, Teg C! e/ a/. Endoscopic variceal ligation in


prophylaxis of first variceal bleeding in cinhotic patients with
high-risk esophageal varices. Hepatology. 1997;25:1346-50.
Lebrec D, Poynard T, Capron !P, et al. Nadolol for prophylaxis of
gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. A randomized trial. J Hepatol. 1988;7:l 18-25.
Merkel C, Marin R, Enzo E, at a/. Randomised trial of nadolol alone

or with isosorbide mononitrate for primary prophylaxis of

variceal bleeding in cirrhosis. Gruppo-Triveneto

per

Engl J Med. 1996;334:1624-29.


Navasa M, Chesta J, Bosch J, Rodes J. Reduction of portal pressure
by iso-sorbide-5-mononitrate in patients with cirrhosis. Effects
L'ipertensione portale.

.A/

upon splanchnic and systemic haemodynamics and liver func-

tion. Gastroenterology 1989;96:11 10-8.


New Italian Endoscopic Club (NIEC) for the study and therapy of
esophageal varices. Definitions, methodology, and therapeutic
strategies in portal hypertension. BAVENO III - portal hypertension into the third millenium. 3'd Baveno International
Consensus Workshop and 1't Postgraduate Course. Lake
Maggiore, Ita1y,

April

12

14, 2000.

North Italian Endoscopic Club (NIEC) for the study and treatment

of esophageal varices. Prediction of first variceal haemorrhage


in patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. A
prospective multicenter study. 1r' Engl J Med 1988;319:983-9
Pascal JP, Cales P and Multicentre Study Group. Propranolol in the
prevention of first upper gastrointestinal tract hemorrhage in
patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. N
Engl J Med 1987;317:856-61.

Piai G, CipollettaL, Claar M, el al. Prophylactic sclerotherapy of


high-risk esophageal varices: Results of a multicentric prospective
controlled trial. Hepatology 1988;8:1495-1500.
Prada A, Bortoli A, Minoli G Camovali M, Colombo E, Sangiovanni

A. Prediction of

oesophageal variceal bleeding: Evaluation

of

the beppu and North Italian Endoscopic Club scores by an


independent grorp. Eur J Gaslroenterol Hepatol 1994;6:100913.

Sarin SK, Guptan RKC, Jain AK, Sundaram KR. A randomized


controlled trial of endoscopic variceal band ligation for primary prophylaxis of variceal bleeding. Eur J Gastroenterol
Hep ato

l.

199 6;8 :337

-42.

Sarin SK, Lamba GS, Kumar M, Misra A, Murthy NS. Comparison of


endoscopic ligation and propranolol for the primary prevention

of variceal bleeding. N Engl J Med. 1999;340:988-93.

AI, Rockey DC. Gastroesophageal Variceal Haemorrhage


New Engl J Med. 20Ol;345:669-81.
Silvain C, Carpentier S, Sautereau D, et a1. Terlipressin plus transdermal
nitroglycerin vs octreotide in the control of acute bleeding
from esophageal varices: a multicenter randomized trial.
Hepatology. I993; 1 8:61-5.
Siringo S, McConnick PA, Mistry P, Kaye G, Mclntyre N, Burroughs
AK. Prognostic significance of the white nipple sign in variceal
bleeding. Gastroinlest Endos l99l;37 :51-5.
Soderlund C, Magnusson I, Torngren S, Lundell L. Terlipressin
(triglycyl-lysine vasopressin) controls acute bleeding oes.ophageal varices. A double-blind, randomized, placebo-controlled
trial. Sc and J G as troenterol. \990 ;25:622-30.
The PROVA Study Group. Prophylaxis of first hemorrhage from
oesophageal varices by sclerotherapy, propranolol or both in
cirrhotic patients A randomised multicenter trtal. Hepatology.
1991;14 1016.
Triger DR, Smart HL, Hosking SW, Johnson AG. Prophylactic
sclerotherapy for esophageal varices: Long-term results of a
single-center trial. Hepatology l99l;13:117 -23.
Tsai Y! Lay CS, Lai KH, et al. Corrtrolled trial of vasopressin plus
nitroglycerin vs vasopressin alone in the treatment of bleeding
esophageal vartces Hepatologyl9S6;6:406-9.
VA Cooperative Variceal Sclerotherapy Group. Sclerotherapy for
male alcoholic cirrhotic patients who have bled for esophageal
Sharara

varices: results of a randomized multicenter clinical trial.


Hep ato

ogy

199 4;20 :618 -25.

45
ILEUS PARALITIK
Ali Djumhana, Ari Fahrial Syam

splanknikus, pankreatitis

PENDAHULUAN

Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama

Ileus paralitik atauadynamic ileus adalahkeadaan di mana


usus gagalltidak mampu melakukan kontraksi peristaltik
untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu

hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik


seperti SLE, sklerosis multipel

Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin,

penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai


penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan
dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat

fenotiazin, antihistamin

Infeksi. Pneumonia, empiema, urosepsis, peritonitis, infeksi

mempengaruhi kontraksi otot polos usus.


Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot
polos usus yang terkoordinasi dengan baik, dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti keadaan otot polos usus,

sistemik berat lainnya.

Iskemia usus.

hormon-hormon intestinal, sistem saraf simpatik dan


MANIFESTASI KLINIS

parasimpatik, keseimbangan elektrolit, dan sebagainya.


Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca

operasi abdomen. Keadaan

ini

Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung


(abdominal distention), anoreksia, mual, dan obstipasi.
Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan
perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan

biasanya hanya

berlangsung antara 24-'72 jam. Beratnya ileus paralitik


pascaoperasi bergantung pada lamanya operasi/narkosis,
seringnya manipulasi usus dan lamanya usus berkontak
dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam
lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan urin akan

dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi.


Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung,

tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal.


Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya distensi
abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah
danjarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada
palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak
pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal
(nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit
primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan
adalah gambaran peritonitis.

menimbulkan paralisis usus. Kelainan retroperitoneal


seperti hematoma retroperitoneal, terlebih lagi bila disertai

fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang


berat. Demikian pula kelainan pada rongga dada seperti

pneumonia paru bagian bawah, empiema, dan infark


miokard dapat diserlai paralisis usus. Gangguan elektrolit
terutama hipokalemia merupakan penyebab yang cukup
serlng.
Penyakit/kea daan y ang menimbulkan ileus paralitik
dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum di bawah
11I:

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu
mencari kausa penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk
dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum,

Kausa lleus Paralitik


Neurogenik. Pascaoperasi, kerusakan medula spinalis,
keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan
307

308

glukosa darah, dan amilase. Foto polos abdomen sangat


membantu menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan
ditemukan distensi lambung usus halus dan usus besar.
Air fluid level ditemukan berupa suatu gambaran line up
(segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level padaileus
obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti
anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos
abdomen masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
foto abdomen dengan mempergunakan kontras.

PENGELOLAAN

KEGAWTIDARURATAN

MEDIK DI BIDA,T{G ILMU PENYAKTT DALAIVT

PROGNOSIS
Prognosis ileus paralitik baik bila penyakit primemy a dapat

diatasi.

REFERENSI
Livingstone AS, Sasa JL. Ileus and obstruction. In: Haubrich WS,
Schaffner F, eds. Bockus gastroenterology. 5th ed. Philadelphia:

WB Saunders; 1995.
Livingstone EH, Passoro EP. Postoperative ileus. Dig Dis Sci.

Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservat if dan


suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga

1990;35:121-32.
Saudgren JE, Mc Phee MS, Greenberger NJ. Narcotic bowel
syndrome treated with clonidin. Resolution of abdominal pain
and pseudoobstruction Ann Intern Med 1990;101:331-4.

keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau


penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat.

Schuffer WD, Sinanan MN. Intestinal obstruction and


pseudoobstruction. In: Sleissenger MH, Fordtran JS, eds.

Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik


(simpatolitik) atau obatparasimpatomimetik pemah dicoba,
tenyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi
dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu
dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi
gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya
diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip
pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat

dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk


gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus paralitik
pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bemanfaat untuk
mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan.

Gastrointestinal disease; pathophysiology/diagnosis management. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1993.


Sileu W. Acute intestinal obstruction. In: Isselbacher KJ, Braunwald
E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, eds. Harrison's
principles of internal medicine. 13th ed. New York: Mc Graw-

Hill;

1994.

46
TROMBOSIS ARTERIAL TUNGI(AI AKUT
MurnizalDahlan

saat yang sama, mencegah terjadinya trombosis yang

PENDAHULUAN

patologis.

Trombosis adalah istilah yang umum dipakai untuk

Pada kepustakaan, bisajuga karena emboli udara atau


DVT, dimana embolus bisa ke aorta melalui foramen ovale
yang tidak menutup dan menimbulkan trombus akut
ditungkai.
Ada 3 hal yang menjadi penyebab timbulnya trombus
ini, yaitu; kondisi dinding pembuluh darah (endotel), aliran

sumbatan pembuluh darah, baik arteri maupun vena . Istilah


lain adalah emboli. Sebetulnya perbedaan keduanya adalah

dalam proses terjadinya, sedangkan manifestasi klinik,


gejala serta tindakannya praktis tidak berbeda. Trombosis
adalah terbentuknya masa dari unsur darah di dalam
pembuluh darah vena atau arteri pada makhluk hidup.
Trombosis hemostasis yang bersifat self-limited dan

darah yang melambat/stasis atau komponen yang terdapat

di dalam darah sendiri berupa peningkatan koagulabilitas


(triadVirchow).

terlokalisir untuk mencegah hilangnya darah yang


berlebihan merupakan respons normal tubuh terhadap
trauma akut vaskular. Sedangkan trombosis patologis

Gejala Klinik
Gejala klinik sangat bervariasi dari yang ringan sampai
berat. Apakah yang terkena arteiyang besar/utama atau
cabang-cabangnya. Apakah kolateral c0kup banyak,

seperti trombosis vena dalam (TVD), emboli paru,


hombosis arteri koroner yang menimbulkan infark miokard,

dan oklusi trombotik pada serebrovaskular merupakan


respons tubuh yang tidak diharapkan terhadap gangguan
akut dan kronik pada pembuluh darah dan darah. Pada

karena prognosis tergantung pada arteri mana yang terlibat

dan yang penting adalah ketepatan dan kecepatan dokter


bertindak. Gejala pertama biasanya adalah rasa nyeri pada
tungkai bersangkutan. Bisa nyeri hebat, bila daerah yang

topik ini, pembicaraan dibatasi pada trombosis arterial


tungkai akut.

Ahli bedah vaskular berperanan untuk mengeluarkan


trombus yang sudah terbentuk yaitu trombektomi

terkena cukup luas. Pada pasien muda, biasanya


kejadiannya lebih akut, rasa nyeri lebih hebat, tetapijustru
prognosisnya lebih baik, karena pembuluh darah relatif
baik. Pada pasien yang lebih tua, dimana sudah terjadi
kelainan kronis arteri, bila timbul trombosis akut biasanya

Penyebab/Kausa

Bisa lokal di tempat/tungkai bersangkutan

atau
proksimalnya. Sebagian besar adalah kelainan di jantung
seperti kelainan katup, infarkjantung, fibrilasi atrium dan
lainJain. Bisa pula karena aneurisma aorta, bila trombusnya
lepas dan bergerak ke tungkai. Trombus yang bergerak ini

disebut embolus. Sistem hemostasis terdiri dari

tidak begitu jelas gejalanya dan nyerinya tidak begitu


hebat. Pada pasien ini justru prognosisnya lebih buruk.
Mati rasa, kelemahan otot, rasa seperti difusuk-tusuk

juga bisa timbul. Bila gejala komplit, "5 P" adalah


gamb arannya, y artu; Pain, Palene s s, Pare sthesia, Paralysis, dan Pulsessness.

komponen utama yaitu trombosit, endotel vaskular, faktor

Sebagai pegangan utama, bila ada pasien dengan


keluhan nyeri hebat ditungkai dan tidak terabanya nadi,
maka diagnosis trombosis akut arteri ini harus ditegakkan
dan ditindak lanjuti. Bila fasilitas ada, pemeriksaan
noninvasif bisa dikerjakan (Doppler). Ini terutama bisa

protein plasma prokoagulan, protein antikoagulan, protein fibiinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua
komponen hemostasis ini harus ada dalam jumlah yang
cukup pada lokasi yang tepat untuk mencegah hilangnya
darah yang berlebihan setelah trauma vaskular, dan pada

309

310

KEGAWAIDARURAIAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PENYAKIT DALAIVI

membantu menegakkan diagnosa pasti dan menenfukan


luasnya daerah yang terkena. Pemeriksaan penunjang lain,

yaitu laboratorium darah segera dilakukan untuk


memastikan adatya proses trombosis yang tentunya
diterangkan di bab yang lain. Arleriografi biasanya tidak

dikerjakan, malahan pada keadaaan akut, akan


memperlambat tindakarVpertolongan kita.

Pada Pasien yang tua dimana kejadian akut

timbul pada

kondisi sudah adanya tanda-tanda kronis, maka diagnosis penunjang sangat penting. Bila pada Doppler
terlihat kelainan obstruksi atau stenosis yang cukup
luas kadang-kadang operasi by pass segera bisa
dikerjakan.
Setelah dilakukan trombektomi maka tindakan lain yang
terus dilakukan terutama heparinisasi.

Tindakan/Pertolongan
Garis besar rencana perawatan dari sumbatan arteri tungkai

akut adalah sebagai berikut

l.

Diagnosis dini dan tindakan segera. Dari anamnesis


dan gejala klinik, kita harus bisa menegakkan diagnosis. Bila ada fasilitas pemeriksaan penunjang, dapat
dikerjakan tapi jangan sampai terlalu lama sehingga
terapiltindakan kita jangan sampai terlambat.
Pasien harus istirahat baring/dirawat dan diberikan
analgetika. Pemberian antikoagulan seperti heparin dan
LMWH, penting untuk mencegah meluasnya proses
trombosis, biasanya diberikan selama l0 hari, sesudah
itu berangsur-angsur diganti per oral. Dosis dan
lamanya pemberian tergantung masing-masing sentra.
Bisa pula diberi trombolitik. Untuk memperbesar hasil
terapi yang terbaik adalah bila pemberian langsung

intraarterial. Tindakan dengan PTA, juga sangat


menolong pada keadaan tertentu.
Tindakan bedah berperan penting, karena trombus yang

terjadi dikeluarkan melalui arteriotomi yang bisa


dilakukan dengan anestesi lokal. Biasanya kita cari arteri
femoralis superfisialis dan setelah arteriotomi, trombus
bisa dikeluarkan dari proksimal maupun distal. Alat yang
dipakai adalah kateter Fogarty yang mempunyai balon
diujungnya. Setelah kateter menembus trombus, balon
dikembangkan dan ditarik untuk mengeluarkan trombus.

ini

terutama berhasil sangat baik bila


kejadiannya benar-benar akut dan pada Pasien yang

Tindakan

relatifmuda.

Gambar 1. Teknik trombektomi dengan kateter Fogarty

REFERENSI
Bletry O. Et Kieffer E. - Embolies arterielles des membres. - Encycl.
Med. Chir., Paris, Coeur-Vaisseaux, 11319 D 10, 3-1980
Deitcher SR, Rodgers GM. Thrombosis and antithrombolitic therapy.
ln : Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F,
eds. Wintrobe's clinical hematology, 11 'l ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p. 1713-58.


Jusi D: Dasar-dasar Ilmu Bedah Vaskular Balai Penerbit FKtlI, 2004
Paradoxial Arterial Emboli Causing Acute Limb Ischemia in Patient
with Essential Thrombocytosis Am J Med Sci 2003; 326 (3):

156

158.

Shahid Ahmed, Md; Adnan Sadiq, Md; Anita

Borgen, Md; Joseph Mattana, Md

Siddiqui, Md; Elliot

47
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
SINDROM LISIS TUMOR
Zakifman lack

derajat keganasan tinggi dan pada tumor padat walaupun

PENDAHULUAN

Jarang.

Dengan berkembangnya ilmu pengobatan kanker,


khususnya kemoterapi, mulai dari penggunaan obat
tunggal sampai penggunaan obat kombinasi yang
kemudian berkembang menj adi berkembang menj adi

PATOFISIOLOGI
Pemberian kemoterapi pada sel tumor yang sensitif akan
berakibat terjadinya penghancuran "mendadak" sejumlah
besar sel tumor sehingga terjadi degradasi asam nukleat,
mengakibatkan katalisis hipoksantin dan xantin oleh

kemoterapi agresif, berbagai laporan hasil terapi yang


menggembirakan diperoleh. Tetapi seiring dengan itu
berbagai efek samping pun timbul dari yang ringan sampai
yang berat bahk an fatalyang tidak j arang rnengakibatkan
kematian, salah satunya yaitu sindrom lisis tumor.

xantin oksidase yang meningkatkan pembentukan asam


urat yang relatif tidak larut dalam air. Ekskresi asam urat
yang meningkat mengakibatkan konsentrasi intratubular
yang meningkat pula sampai melebihi tingkat/batas
kelarutan (limits of solubility), sehingga terjadi keadaan
supersaturasi dan kristal asam urat pada tubulus renal
dan distal collecting system yang mengakibatkan

Pengelolaan efek samping yang tidak diinginkan ini


adalah bagian dari terapi suportif kanker yang merupakan
hal penting dalam pengobatan kanker. Oleh karena itu kita
harus mengenal benar kelainan ini, mulai dari faktor risiko,

tanda-tanda klinis, patofisiologi, komplikasi, cara


penanggulangan, dan cara pencegahannya sehingga
pasien tidak meninggal akibat tindakan kemoterapi

gangguan fungsi ginjal. Keadaan terakhir ini

tersebut.

mengakibatkan terj adinya hiperfosfatemia yang makin


memperburuk fungsi ginjal sehingga terjadi penumnan
ekskresi kalium sampai terjadi hiperkalemia, di samping

SINDROM LISIS TUMOR

hiperfostatemia sendiri mengakibatkan terjadinya


hipokalsemia.

Hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung,


sedangkan hipokalsemia dapat mengakibatkan kejang
otot, penurunan kesadaran (confusion), tetani dan
gangguan irama jantung berupa pemanjangan interval

Sindrom lisis tumor adalah suatu kelainan metabolik yang


mengancam j iwa akibat pelepasan sejumlah zat intraselular
ke dalam aliran darah akibat tingkat penghancuran sel tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi.
Zat intraselular tersebut adalah hasil degradasi asam
nukleat akibat destruksi sejumlah besar sel tumor yang

Qr.

mengakibatkan meningkatnya metabolisme purin, diikuti


oleh meningkatnya pembentukan asam urat.

FAKTORRISIKO

Sindrom lisis tumor terdiri dari: hiperurisemia,

.
.

hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia.


Keadaan ini sering terjadi pada: leukemia akut, limfoma

311

PeningkatanLDH.
Ukuran tumor yang besar (bullqt tumor) dengan tingkat

312

.
.
.

KEGA1VATDARURATAN

proliferasi yang tinggi.


Tumor yang sangat sensitif terhadap kemoterapi.
Hiperurisemia yang sudah ada sebelum pengobatan.
Penurunan fungsi ginjal.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya tanda-tanda
sindrom yang disebutkan di atas yaitu: hiperuriksemia,
hiperfosfatemia, hiperkalemia dan hipokalsemia serta tanda

gangguan ginjal berupa peningkatan kadar ureum,


kreatinin, penurunan volume urin, asidosis metabolik
dengan pernapasan "Kussmaul", atau gejala sesak napas
karena over load cairan tubuh, tetani, kejang otot,
gangguan irama janfung sampai penurunan kesadaran.

MEDIK DI BIDANG ILMU PET\IYAKIT DALAM

sementara alkalinisasi urin tetap dilakukan. Bila terjadi


keadaan oliguria maka harus diberikan diuretik atau manitol
7 2,5 gr am dalam larutan 20%o. Hip erkalemia adalah keadaan

yang mengancam jiwa, sehingga harus segera dilakukan


tindakan berupa pemberian 20-30 I.U insulin regular dalam
200-300 ml glukosa 20%o intrayena selama 30 menit, bisa
ditambahkan 15 gram Kayexalate setiap 6 jam peroral.
Keadaan hiperkalemia ini dapat dikenali dengan timbul nya
gelombang T tinggi pada EKG.
Keadaan hipokalsemia dapat dikoreksi dengan
pemberian kalsium glukonat intravena.
Bila timbul hiperfosfatemia maka tindakan alkalinisasi

urin harus dihentikan karena dapat meningkatkan


presipitasi kalsium fosfat. Bila volume urin tetap sedikit,
gangguan asam basa dan gangguan elektrolit tetap terjadi
disertai adanya perburukan fungsi ginjal, maka tindakan
dialisis harus dilakukan untuk menyelamatkan jiwa.

PENATALAKSANAAN
Pencegahan adalah langkah terbaik yang dilakukan.
Pengenalan jenis tumor dan pasien dengan risiko tinggi
harus dilakukan sebelum kemoterapi dimulai, sehingga
tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk melindungi

fungsi ginjal. Untuk pasien-pasien tersebut diberikan


hidrasi cairan sebesar 2000-3000 mllm2l24 jamyang sudah
dimulai24 jam sebelum pemberian kemoterapi. Selain itu
diberikan alopurinol 2 kali 300 mg,lhari untukmenghambat
produksi asam urat, dan dilakukan tindakan alkalinisasi
urin dengan pemberian natrium bikarbonat 50-100 mEq
untuk setiap liter cairan intravena yang diberikan untuk

1. Kalium, serum > 6 mcg/l


2. Asam urat serum > 10 mg/dl
3. Kreatinin serum > 10 mg/dl
4. Fosfat serum > 10 mg/dl.

5
6
7

"Volume overloaded state"


Hipokalsemia yang simtomatik
Perburukan fungsi ginjal

B.

Oliguri.

(dikutip dari Current Therapy in Hematology-Oncology, fifth


edition)

meningkatkan kelarutan asam urat sehingga dapat


KESIMPULAN

disekresikan melalui ginjal.

Walaupun fungsi ginjal normal sebelum kemoterapi


dirnulai, tidak tertutup kemungkinan terjadinya sindrom
lisis tumor akibat pemecahan sejumlah besar sel tumor
dalam waktu yang singkat, sehingga harus dilakukan
pemantauan elektrolit, ureum, kreatinin, kalsium, fosfat ,
asam urat dan pH urin paling sedikit sekali sehari selama 4
han setelah kemoterapi dimulai. Demikian pula pemantauan
balans cairan harus dilakukan setiap hari terutama pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan jantung yang
sudah ada sebelumnya. Pemeriksaan elektrokardiogram

dilakukan bila ada hiperkalemia dan hipokalsemia.


Frekuensi monitor yang dilakukan tergantung kepada
keadaan klinis.
Bila terjadi kenaikan serum kreatinin maka harus
dilakukan diuresis paksa (forced diuresis) selama 24 jam
perlama dengan penambahan alopurinol 600-800

mglhai,

Sindrom lisis tumor adalah suatu keadaan darurat medik


dalam bidang onkologi yang sering timbul sesudah
tindakan pemberian kemoter api y ang dapat mengakibatkan
kematian apabila tidak disikapi dan diterapi secara baik
dan benar. Tindakan pencegahan tetap merupakan pilihan
terbaik yang harus diambil.

REFERENSI
Fojo AT. Metabolic emergencies in cancer principles and practice of
oncology. In: Devita VTJr, et al, editors. 7th edition. 2003. p.
2292-9.
Krecker E, Muggia FM. Oncologic nalignancies in current therpy in
Hematology-Oncology. In: Braint MC, Carbone PP, et a1,
editors. 1995. p. 600-9.

48
KEGAWATAN ONKOLOGI
DAN SINDROM PARANEOPLASTIK
Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro

PENDAHULUAN

TEKANANATAU OBSTRUKSI OLEH TUMOR

Kanker saat ini frekuensinya meningkat. Faktanya selama


hidup seorang pria berisiko terkena kanker prostat I di

Sindrom Vena Cava Superior


Sindrom vena cava superior disebabkan oleh adanya
obstruksi atau tekanan pada vena cava superior yar,g

attara 6, begitu pula seorang wanita selama hidupnya


berisiko terkena kanker payudara 1 diantara 8. Secara
statitistik juga terjadi peningkatan insidens kanker,
sebagai contoh CPIC (colorectal cancer) 42,3-60,8 per
100.000 penduduk, paru 70 per 100.000 penduduk di

mengalirkan darah ke atrium kanan. Vena cava superior


dibentuk dari penyatuan vena brachiocephalica kanan dan
kiri dan berakhir pada bagian superior-posterior atrium
kanan. Lokasinya di mediastinum tengah dan berdekatan
dengan sternum, trakea, bronchus kanan, aorta, arteri

Amerika Serikat.

Dengan semakin banyak kanker yang dapat


didiagnosis dan diterapi, semua dokter harus mampu

pulmonaris, kelenj ar getah bening paratrakeal dan parahiler.


Dinding vana cava superior tipis sehingga dengan
mudah ditekan. Bila dindingnya sebagian atau seluruhnya

mengenali dan menangani kegawatan onkologi.

Sindrom paraneoplastik adalah gangguan klinik

tertekan, akan terjadi sirkulasi kolateral. Yang paling

dengan tanda dan gejala yang mengenaijauh dari tempat

penting adalah kolateral melalui v ena azygos, yang lainnya


adalah vena m amaria interna, vena torakalis lateral, venavena paraspinalis dan esofagus. Vena-vena yang letaknya
subkutan juga penting dan pelebarannya pada leher dan
dada adalah tanda pemeriksaan fisik yang khas.

tumor primer dan metastasis. Insidens sindrom


paraneoplastik adalah sekitar 50%. Sangat penting
mengenali manifestasi klinik sindrom paraneoplastik
karena sering kali merupakan petunjuk awal adanya
kanker dan pengenalan segera akan mengarah diagnosis

yang lebih awal dan pada stadium yang lebih bisa


ditangani. Keberhasilan penanganan tumor yang

Etiologi
Sindrom vena cava superior disebabkan oleh penekanan,

mendasari akan menghilangkan sindrom paraneoplastik.


Pada beberapa keadaan, tumor tidak bisa diobati tetapi

invasi atau trombosis pada vena cava superior. Saat ini


penyebab terbanyak adalah keganasan (80-98%)'
Penyebab terbanyak adalah kanker paru diikuti oleh
limfoma, kanker yang bermetastasis di mediastinum dan

gejala dan komplikasi sindrom paraneoplastik bisa


ditangani. Kegawatan pada kanker dapat dikategori
menjadi 3 kelompok:

1.

tomor primer mediastinum lihat Tabel

Tekanan atau obstruksi oleh SOL (space-occupying


lesion)

Evaluasi

2. Masalah metabolik atau hormonal (sindrom


3.

l.

Manifestasi klinik sindrom ini bisa akut maupun subakut.

Penekanan vena cava superior yang berlahan


memungkinkan berkembangnya sirkulasi kolateral.

paraneoplastik)
Komplikasi akibat pengobatan kanker

313

314

KEGAWAXDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Penyebab sindrom vena cava supeior


Kanker paru 52-81%
Small cell
Non small cell

Limfoma

2-20o/o

limfoblastik
Metastasis di mediastinum 8-10%
kanker payudara
kanker germ cell
kanker gastrointestinal
Tumor primer di mediastinum 10%
timoma
sarkoma
melanoma
Penyebab bukan keganasan 5%
infeksi (tuberkulosis, sifilis, histoplasmosis)
strume
aneurisma aorta
trombosis pada kateter vena sentral

membantu diagnosis pada 213 pasien. Mediastinoskopi,


torakotomi maupun sternotomi bila perlu dikerjakan untuk
diagnosis. Pemeriksaan iaringan penting dilakukan dengan
bronkoskopi, biopsi jarum halus, biopsi kelenjar getah
bening supraklavikula atau dengan biopsi dipandu CT-

scan pada masa atau kelenjar getah bening di


mediastinum.

PENATALAKSANAAN
Dibedakan arfiara yar,g gawat dengan yang tidak gawat.
Gawat bila ada gangguan saluran napas, kardiovaskular
atau peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan yang
memerlukan penanganan segera.

Radioterapi
Beratnya sindrom vena cava superior terganfung pada
penyebab yang mendasari, kecepatan obstruksi, adarrya

trombus, lokasi obstruksi, dan kecukupan sirkulasi


kolateral. Gejala dan tandanya lihat Tabel2.
Pada pemeriksaan foto dada umumnya dijumpai kelainan

pada setengah sampai 213 pasiendijumpai pelebaran atau


masa pada mediastinum superior. Bisa didapat massa pada
hilus kanan (10-40yo), efusi pleura kanan(25o/o), adenopati
hilus dan masa pada paru (20%). Tapi bisa ditemukan foto
dada yang no rmal (3 - | 5%).

CT-scan dengan kontras atau imaging resonansi


magnetik (MRI) adalah pemeriksaan yang penting untuk
mendeteksi lokasi obstruksi, adanya trombus pada vena
cava superior, sirkulasi kolateral, masa atau adenopati
mediastinum. Pemeriksaan venografi diperlukan bila

Radioterapi efektif pada sebagian besar kasus dan memberi


perbaikan gej ala 7 0 -9 0o/o pasien dan hanya I 0 - I 5Yo y ang
tidak berespon. Pemberian fraksinasi dosis tinggi ( >3 Gy/
hari ) memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis

konvensional 2 Gy lhari.

Kemoterapi
Kemoterapi diindikasikan pada tumor yang kemosensitif
(kankerparu sel kecil, tumor sel germinatrium, limfoma).
Dapat digunakan sebagai terapi tunggal, bersamaan atau
setelah radioterapi.
Evaluasi setelah 3 siklus, bila berespons dilanjutkan
kemoterapi 3 siklus lagi. Pada kasus dengan stable

disease atau disease progression drberlkan jenis


kemoterapi lain dan atau radioterapi.

antisipasi bedah akan dilakukan. Sitologi sputum


Terapi Antikoagulan atau Trombolitik
Pemakaian antikoagulan atau trombolitik dipefianyakan.

Karena sebagian besar pasien respons dengan terapi


Gambaran kinik sindrom vena cava superior

Gejala
Sesak 63%
Muka terasa penuh 50%
Batuk 24o/"
Nyeri dada 15%
Disfagia 9%
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
Mual
Hidung terasa mampat
Tanda
Vena leher distensi 66%
Vena dinding dada distensi 54%
Muka edem 46%
Sianosis 20%
Plethora 19%
Lengan edem 14%
Ekstremitas atas edem
Kemosis
Papil edem
Kesadaran menurun
Sinkop

spesifik. Jika pada pemeriksaan dengan venografi atau CT:

scan ditemukan trombus, pemberian heparin akan


bermanfaat. Terapi fibrinolitik efektif pada pasien yang
penyebabnya adalah trombus pada kateter vena sentral,
dan tidak efektifyang disebabkan oleh invasi tumor atau
penekanan dari mediastinum.

Expandable Metal Stent


Keberhasilan cukup tinggi, 95o/o,tapi akan terjadi obstmksi
lagi pada 11o%. Secara keseluruhan keberhasilan jangka
panjang92o/o.

Pembedahan
Pembedahan hanya dikerj akan pada pasien yang tak
berhasil dengan terapi konvensional. Tekniknya bisa
dengan rekonstruksi vena kava superior atau pembuatan
bypass vena.

315

KEGAWAIDARURAIAN ONI.OI.OGI DAN SINDROM PARANEOPLASTIK

Terapi Suportif

l.
2.
3.

4.
5.

Posisi kepala agak ke atas


Pemberian oksigen
Diuresis (terapi diuresis memperbaiki keadaan klinis tapi
dehidrasi dapat memperburuk sindrom vena cava
superior dan trombosis)
Steroid, digunakanjangka pendek. Bisajangka panjang
bila respons terlihat atau terbukti adatya edema otak.
intubasi atau trakeostomi segera dilakukan bila adany a
stridor (obstmksi saluran napas atas) tidak berespons
dengan steroid dan bronkodilator.

KOMPRESI PADASIMPUL SARAF SPINAL

Terjadi pada tumor primer maupun metastasis yang


menekan simpul saraf dengan akibat terjadi defisit
neurologi. Metastasis spinal sering terjadi pada bagian
posterior korpus vertebra dan akan menekan simpul saraf

spinal bagian anterior. Kebanyakan pasien diketahui


sebelumnya menderita kanker, tapi sebagian yang lain
kompresi pada simpul saraf spinal merupakan manifestasi

awal kanker. Diagnosis banding meliputi tuberkulosis


vertebra, osteomielitis, hematoma epidural, hemia nukleus
pulposus, spondilosis. Lokasi tersering adalah verlebra
torakalis 70% diikuti vertebra lumbalis 20o/o dan vertebra

EFUSI PERIKARDIAL DAN TAMPONADE JANTUNG

sevikalis 10% walaupun metastasis multipel sering


diternukan. Kanker yang sering menyebabkan adalah

Efusi pericardial ditemukan pada pasien kanker secara

kanker payudara, paru, prostat, ginjal, mieloma multipel

otopsi 5-10%. Sering terjadi pada kankerparu lanjut, kanker


payudara, leukemia, limfoma, melanoma maligrum. Gejala

dan sarkoma.

timbul bisa cepat atau pelan tergantung kecepatan

Evaluasi

akumulasi cairan. Akumulasi cairan mengakibatkan


peningkatan tekanan intraperikardial yang berefek pada

Nyeri pinggang/punggung adalah awal gejala yang


dapat lokal, radikular maupun keduanya tergantung

pengisian diastolik jantung, akibatnya terjadi penurunan


busulfan, sitarabin, tretinoin.

lokasi tumor. Nyeri bertambah dengan mengedan, batuk,


gerakan. Kadang memungkinkan mendeteksi lo"kasinya
dengan perkusi spinal secara gentle. Bila lebih berat

Evaluasi

dapat dijumpai gangguan sensorik, motorik,


inkontinensia urin dan alvi dan akhirnya paralisis.

curahjantung. Kemoterapi bisa mengakibatkan efusi seperti

Gejalanya sesak napas, nyeri dada, batuk, palpitasi,


ortopnea, lelah, lemah, gelisah. Tandanya takikardia,
penurunan bunyi jantung, distensi vena leher, edema

peifer

friction rubs . Bila telah timbul tamjantung


ponade
akan ditemukan hipotensi, disritmia,
jugularis
meningkat dan tanda kardinal
tekanan vena
dan pericardial

adalah pulsus paradoksus. Foto dada terlihat pembesaran


jantung. Pada EKG ditemukan low-voltage kompleks dan

electrical alternans. Ekokardiografi adalah prosedur


diagnostik pilihan, dimana cairan efusi dengan mudah
dapat terlihat. Pada tamponade, dapat dilihat kolaps atrium
kanan dan ventrikel pada diastol. CT-scan adalah alternatif

bila ekokardiografi tidak bisa dikerjakan karena pasien


gemuk atau COPD. Analisis cairan perikardium sitologi,
mikrobiologi, biokimia untuk mengetahui etiologi dengan
cara perikardiosentesis pada pasier. dengan tamponade

Pemeriksaan radiologi dengan foto polos dijumpai lesi

litik

deteksi dan lokalisasi kompresi tulang belakang.


Mielografi dan CT-Scan dapat dilakukan bila MRI tak
ada atau ada kontraindikasi.

Penatalaksanaan
Pasien dengan gejala neurologi

.
.
.
.

Kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan pada kanker


yang kemosensitif (limfoma, leukemia, kanker payudara,
kanker paru sel kecil) atau radiosensitif (limfoma, kanker
payudara, kanker paru). Pasien dengan hipotensi ringan
dapat diberikan cairan cepat NaCl 0,9%o atauringer laktat.
Pasien dengan tamponade jantung harus dikerjakan
perikardiosentesis.

Segera dirawat

Kontrol nyeri dengan alat analgesik


Deksametason suntikan 8-10 mg tiap 6 jam dengan
tujuan megurangi edema
Pembedahan dikerjakanbila

1. Kompresi

2.

jantung.

Penatalaksanaan
Pada pasien dengan tanpa atau gejala ringan dan
hemodinamik stabil dapat diberikan terapi sistemik.

maupun blastik atau keduanya pada vertebra.

Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk

spinal oleh fragmen tulang


Kompresi spinal yang tidak diketahui penyebabnya
dan biopsy jaringan diperlukan karena perburukan

defisit neurologi
Tumor tidak berespons dengan radioterapi
Radioterapi setelah pembedahan

3.

Pasien dengan nyeri punggung atau tanpa defisit neurologi

tetapi radiologi abnormal


. Kontrol nyeri dengan analgetik
. Radioterapi diberikan fraksinasi 25-30 cGy sampai dosis
total 3000-3500 cGy

Kemoterapi diberikan pada tumor yang sensitif,


umumnya setelah selesai radioterapi atau pembedahan

316

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEI\YAKIT DALAM

KOMPLIKASI METASTASIS OTAK

hiperleukositosis adalah 5-13% pada AML dan l0-30%


ALL. Peningkatan sel blast di perifer meningkatkan
viskositas darah, aliran darah diperlambat oleh agregrat
pada

Metastasis otak terjadi pada l0-30Yo pasien kanker dan


dua pertiganya akan menimbulkan gejala. Penyebab
terbanyak adalah kanker paru diikuti oleh payudara dan
melanoma. Kanker paytdara metastasis ke otak 10-20%
kasus. Kanker paru sel kecil metastasis ke otak 20-40%
kasus. Melanoma metastasis ke otak l2-20o/okasus.

sel hrmor dan sel leukemia mampu menembus endotel yang

menyebabkan perdarahan. Otak dan paru adalah organ

yang paling sering terkena. Leukostasis otak bisa


mengakibatkan stupor, nyeri kepala, pusing, telinga
mendenging, gangguan visual, ataksia, koma, mati
mendadak. Komplikasi ini bisa dilindungi dengan

radioterapi otak 600cGy dan diikuti kemoterapi

Evaluasi
Metastasis otak menyebabkan gejala dan tanda oleh karena

lokasi atau adatya peningkatan tekanan intrakranial.


Adanya metastasis otak harus dicurigai bila pasien kanker
ditemukan gejala neurologi. Defisit neurologi umumnya
dihubungkan dengan adanyamasa fumor yang membesar
dan berhubungan dengan edema (Tabel 3).

antileukemia. Leukostasis paru bermanifestasi sesak,


hipoksemia dan berkembang jadi gagal napas. Foto dada
mungkin normal atau ditemukan infiltrat. Leukoferesis
membantu menurunkan sel blast perifer. Pengobatan
leukemia dapat menyebabkan perdarahan paru akibat lisis

sel blast di paru yang disebut leukemic

cell

lysis

pneumopathy. Penurunan volume darah dan transfusi yang

tak perlu akan meningkatkan viskositas darah dan


memperburuk sindrom leukostasis.
Gejala

lnsidens %

Sakit kepala
Mual muntah
Astenia

35-50
30-40
35-49
15-20
10-20
15-20
15-20

Kejang
Pusing

Ataksia
Afasia

KEDARURATAN METABOLIK

A. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia paling berisiko pada kanker payudara,

mieloma multipel, kanker paru non sel kecil dan


hipernefroma.
Pasien bisa bergejala seperti pada Tabel 3, tetapi ada
70% metastasis otak tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan afasia, hemiparesis, gangguan penglihatan dan

kejang, leher kaku, edema papil, hipertensi. bradikardia.


Bila sudah lanjut terjadi penurunan kesadaran. Diagnosis
bisa dibantu dengan CT-scatq atau MR[. MRI lebih sensitif
dibanding CT-Scan.

Penatalaksanaan
Radioterapi adalah terapi standar pasien dengan
metastasis otak multipel dengan gejala. Kemoterapi sebagai
awal terapi digunakan untuk metastasis otak yang multipel
atau tunggal yang tidak bergejala. Obat kemoterapi yang

melewati sawar darah otak adalah sisplatin, karboplatin,


etoposid, ifosfamid, temozolomid, gemsitabin, irinotekan.
Pembedahan dikerjakan setelah radioterapi, pada pasien
dengan tumor primer terkontrol, status penampilan baik
dan metastasis otak soliter. Terapi suportif adalah
pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan antikejang.

LEU KOSITOSTASIS PARU DAN INTRASEBRAL

Hiperleukositosis dan sindrom leukostasis berpotensi


komplikasi fatal pada leukemia akut yang terjadi ketika

jumlah sel blast perifer > 100.000/ml. Frekuensi

Patofisiologi
horrnone (PTH) d.an Parathyroid hormonerelatedprotein (PTHrp). Tumor jarang menghasilkan PTH
kecuali kanker parathyroid. PTHrp adalah penyebab

P arathyroid

tersering hiperkalsemia yang terkait kanker. Kondisi


fisiologis PTHrp adalah faktor parakrin. Bila produksi
berlebihan akan berfungsi sebagai hormon yang bekerja
sistemik meningkatkan absorbsi kalsium di usus,
reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal dan metabolisme
tulang.

Vitamin D3.

Pada pasien limfoma Hodgkin, limfoma nonHodgkin, mieloma multipel terdapat peningkatan vitamin

D3.

Sitokin. TGF disel<resi sel kanker dalamjumlah besar. Karena

sebagian homologi, TGF rnerangsang reseptor EGF,


sehingga meningkatkan resorpsi tulang. IL-1, IL-6 dan TNF
meningkatkan resorpsi tulang.
Diagnosis Banding

Penyebab hiperkalsemia adalah banyak (Tabel 4),


penyebab tersering adalah hiperparatiroidisme dan
keganasan. Jika hiperkalsemia terjadi pada pasien yang
dirawat, 65% umumnya berhubungan dengan keganasan.
Evaluasi
Manifestasi klinik hiperkal semia adalahfali gue, kelemahan

otot, depresi, nyeri perut, konstipasi dan anoreksia.

317

KEGAWATDARUR/IffAN ONLOLOGI DAN SINDROM PARANEOPLASTIK

B. Sindrom Lisis Tumor


Pemecahan sel kanker yang cepat akan mengeluarkan
metabolit selular terutama asam urat, ion intraselular yang

Diagnosis banding hiperkalsemia

Kanker

- PTHrp
- Non-PTHrp
Endokrin Dan Metabolik
- Hiperparatiroid primer
- Addison's drsease
- lmobilisasi
- Terapi hormon tiroid
lnfeksi Dan Granulomatosis
- TBC
- HIV
- arcoidosis
- Berryliosis
- Coccidiodomycosis
Diet dan Obat
- Vitamin D eksogen
- Vitamin A eksogen
- Lithium
- Suplemen kalsium
- Thiazide

melampui kapasitas ginjal mengekskresi. Sindrom lisis


tumor tegantung : l. Ukuran dan derajat tumor, 2.
fungsi ginjal, 3. terapi.
Pemecahan sel akan mengeluarkan banyak asam
nukleat,kalium dan fosfat. Asam nukleat mengandung basa

purin yang diubah enzim xantin oxidase menjadi

Hiperkalsemia dapat mengakibatkan pankreatitis dan


predisposisi ulkus peptikum. Komplikasi ginjal akut, terjadi

vasokonstriksi renal, natriuresis, penurunan laju frltrasi


glomerulus. Komplikasi ginjal kronik terjadi gangguan
konsentrasi ginjal, diabetes insipidus nefrogenik, tubular
ginjal asidosis, nefrolitiasis dan penurunan fungsi ginjal,
hiperkalsemia ringan, teqadi gangguan kognitif ringan,
hiperkalsemia sedang terjadi anxietas dan hiperkalsemia
berat terjadi halusinasi, psikosis, somnolen dan koma.
Komplikasi kardiovaskular adalah kecenderungan terj adi
hiperlensi dan percepatan deposisi kalsium di endotel.
Penatalaksanaan

Terapi optimal hiperkalsemia akibat kanker adalah


menyembuhkan kanker. Pada kenyataannya hal ini sulit

hipoksantin dan xantin dan akhimya menjadi asam urat.


Jika asam urat konsentrasinya meningkat. pH menurun,
asam urat mengendap pada tubulus. Diikuti penurunan
tungsi ginjal.
Kalium juga dikeluarkan dari sel. Terdeteksi 6 jam
setelah dimulai kemoterapi. Jika terdapat penurunan fungsi
ginjal, kalium tidak dapat diekskresi.
Fosfat dikeluarkan dari sel yang lisis. Terdeteksi 24
jam sesudah sel lisis. Fosfat akan mengikat kalsium
akibatnya kadar kalsium turun.
Pasien dengan tumor yang proliferasinya cepat
misalnya limfoma, ALL, AML, MM merupakan risiko tinggi
terjadi sindrom lisis tumor. Risiko terjadinya sindrom lisis
tumor : I ). peningkatan LDH > I 000 U/l; 2). leukosit > 50. 000/
mL; 3). asam urat > 6,5 mg/dl; 4). itmor bullqt ; 5 ). gangguan
fungsi ginjal; 6). dehidrasi.

Evaluasi

Gejala. Menunjukkan gejala hipokalsemia seperti


penurunan kesadaran, tetani, otot kram, disritmia, akhimya
bisa terjadi bradikardi dan syok. Gejala hiperkalemia bisa
berupa kelemahan otot atau letargi.

Tanda. l). Kalium > 6 mmol/l, 2). Kalsium < 6 mg/dl, 3).
Kreatinin > 2,4 mgl dl, 4). Di sritmia, 5 ). Peningkat an 25o/o

dikerjakan karena pasien telah ada metastasis saat

fosfat, 6). Peningkatan 25oZ asam urat.

hiperkalsemia ditemukan.

EKG. Peningkatan gelombang

Terapiumum:
. kurangi immobilisasi
. hentikan atau batasi obat yang menghambat ekskresi
kalsium di ginjalmisal tiazid
. hentikan atau batasi obat yang menurunkan perfusi

QRS

ginjal misal OAINS, penghambat ACE, penghambat


reseptor angiotensin II
hentikan suplemen vitamin D, A seperti multivitamin

Pencegahan

.
.
.
.

Terapi spesifik:

..
.

Meningkatkan ekskresi kalsium urin dengan cara

- Bisfosfonat misal klodronat,


zolendronat.

Kalsitonin

Kortikosteroid
Komplikasi akibat pengobatan kanker

Profilaksis hidrasi. Pasien harus dapat 3-5 Llm2 cairan


intravena (glukosa 5%:NaCl 0,9%o

l:l).

Alkalinisasi urin dengan pemberian natrium bikarbonat.


Target pH urin dipertahankatrarrtara 7 sampai 7,5.
Balans cairan minimal 2 kali sehari
Bila pasien dengan risiko tinggi terjadi sindrom lisis
fumor harus diperiksa setiap hari asam urat, Na, K, Ca,
Mg, fosfat, kreatinin, LDH, INR, fibrinogen, DPL,
glukosa.

pemberian NaCl 0,9o/o intravena.


Menghambat resorpsi tulang dengan pemberian

T dan pelebaran kompleks

pamidronat,

Penatalaksanaan
Jika secara klinik terbukti ada sindrom lisis tumor maka:
. Pasien segera dimasukkan ke ICU

.
.

Monitor EKG dan tanda vital


Tekanan vena sentral harus diukur tiap 8 jam

318

.
.
.

Balans cairan ketat

Hidrasi harus dilanjutkan dengan 5 Vm2


Diuresis sedikitnya 150-200 mUjam. Jikadiuresis kurang

atau berat badan bertambah saat hidrasi, berikan

diuretika terutama furosemid intravena, diuretika hemat


kalium dihindari.
Hindari pemakaian kontras medium, aminoglikosida,
OAINS, probenesid, tiazid.

Terapi Hiperurisemia pada Sindrom Lisis Tumor


Alopurinol adah obat pilihan untuk mencegah peningkatan
asam urat. Enzim xantin oksidase mengubah alopurinol
menjadi oksipurinol, yang selanjutnya menghambat enzim
tersebut. Akibatnya mencegah metabolisme hipoxantin
menjadi asam urat. Kelarutan dan eliminasi xantin lebih
baik dibanding asam urat di ginjal. Dosis alopurinol yang
diperlukan 10 mg/kgBB. Jika terdapat penumnan pungsi
ginjal , dosis alopurinol diturunkan. Bila kreatinin klirens
>20 ml/menit diberi 300 mg/hari. Alopurinol tidak boleh

dikombinasi dengan 6-merkaptopurin, ampisilin,


siklosporin. Jika alergi alopurinol, bisa diberikan urat
oksdase atau rasburikase.

Terapi Hiperkalemia pada Sindrom Lisis Tumor

.
.
.
.

Hidrasi dan diuresis


Pemberian nebulisasi beta-2 agonis seperti fenoterol
dapat membantu.
Pemberian 10-20Uinsulindan25-50 g glukosa.

l0 ml bolus perlahan-lahan
selama 2-3 menit diberikan dalam keadaan yang

Kalsium glukonat l0%


mengancam disritmia.

KEGAWTIDARURAf,AN

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAITI

Dialisis pada Sindrom Lisis Tumor


Jika kalium > 7 mmolil tidak bisa ditangani dengan
pengobatan konvensional harus segera dilakukan dialisis
bila keadaannya mengancam nyawa. Indikasi lain adalah
kalium > 6 mmol/ldalam terapi hidrasi, fosfat > 10 mg/dl,
ureum > 150 mg/dl dan oliguria atau anuria.

Komplikasi
Sindrom lisis tumor adalah keadaan yang mengancam
nyawa, dengan komplikasi gagal ginjal akut, disritmia
maligna, DIC dan akhirnya meninggal.

REFERENSI
Friedman JD. Oncologic Emergencies In : Pillot G et al eds.The
Washington Manual Hematology and Oncology Subspeciality
Consult. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004.
Gucalp R, Dutcher J. Oncologic Emergencies In: Kasper DL et al
eds. Harisson's Principle of Internal Medicine, 16th ed. New

York, McGraw-Hill, 2005.


Jouriles NJ. Oncologic Emergencies. In : Markovchick VJ, Pons PT
eds.Emergency Medicine Secrets 3'd ed. Philadelphia, Hanley &
Belfus, 2003.
Kosmidis PA, Schijvers D, Andre F, Rottey S, eds. European Society
for Medical Oncology Handbook of Oncological Emergencies.
London, Taylor & Francis, 2005.
Liu G, Robins HI. Oncological Emergencies. In: Pollock RE, ed.
UICC Manual of Clinical Oncology, 8th ed.New Jersey, John

Wiley & Sons, 2004.


Yahalom J. Oncologic Emergencies. In : de Vita VT et ai eds. Cancer
Principles & Practice in Oncology, Th ed. Philadelphia, Lippincott

Williams & Wilkins, 2005.

You might also like