You are on page 1of 29

REFERAT

OBSTRUKSI INTESTINAL PADA


NEONATUS

PEMBIMBING :
Dr. Trimayu SP.B
OLEH :
Getania Fatmasari
110.2004.095

SMF KEPANITERAAN ILMU BEDAH


RSU dr. SLAMET GARUT
PERIODE 26 MEI-1 AGUSTUS 2009

OBSTRUKSI INTESTINUM PADA NEONATUS


Yang termasuk Obstruksi intestinum pada neonatus adalah sebagai berikut :
1.

ATRESIA DUODENUM

Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus
halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari
lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan
keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya
menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa
awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan
anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada
perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang
ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum
menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko
independen dalam perkembangan atresia duodenum.
Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang
tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan
rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah
menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu
akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna.
Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat
mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau
kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen

duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular


(jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih
akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau
berlebihan dari pancreatic buds.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang
tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang
berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya
memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan
organogenesis dari duodenum.
Epidemiologi
Insiden atresia duodenum di Amerika Serikat adalah 1 per 6000 kelahiran.
Obstruksi duodenum kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan
obstruksi duodenal kongenital (atresia duodenal 40-60%, duodenal web 35-45%,
pankreas anular 10-30%, stenosis duodenum 7-20%). Insiden obstruksi kongenital di
Finlandia (intrinsik, ekstrinsik, dan campuran) adalah 1 per 3400 kelahiran hidup. Tidak
terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini.
Mortalitas dan Morbiditas
Jika atresia duodenum atau stenosis duodenum signifikan tidak ditangani,
kondisinya akan segera menjadi fatal sebagai akibat gangguan cairan dan elektrolit.
Sekitar setengah dari neonatus yang menderita atresia atau stenosis duodenum lahir
prematur. Hidramnion terjadi pada sekitar 40% kasus obstruksi duodenum. Atresia atau
stenosis duodenum paling sering dikaitkan dengan trisomi 21. Sekitar 22-30% pasien
obstruksi duodenum menderita trisomi 21.
Manifestasi Penyakit
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus stenosis duodenal atau
duodenal web dengan perforasi jarang tidak terdiagnosis hingga masa kanak-kanak atau
remaja.

Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum


teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam
malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum
diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran doublebubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada
lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik
yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan
mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang
mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.

Gbr. Atresia duodenum


Gejala atresia duodenum:
Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas
Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu (biliosa)
Muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam
Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kecil
Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Atresia
duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir.
Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan
ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum

melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih
jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada
anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran
cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan
menyeluruh.
Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenal khas memiliki abdomen skafoid.
Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum
proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak
terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi
kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena
belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan
asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba
orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan
berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada
distalnya adalah gambaran khas atresia duodenal. Adanya gas pada usus distal
mengindikasikan

stenosis

duodenum,

web

duodenum,

atau

anomali

duktus

hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf dengan posisi


pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal dan atresia
duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.

Gbr. Radiografi atresia duodenum

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk atresia dan stenosis duodenum pada neonatus
mencakup:
Atresia esofagus
Malrotasi dengan volvulus midgut
Stenosis pilorus
Pankreas anular
Vena portal preduodenal
Atresia usus
Duplikasi duodenal
Obstruksi benda asing
Penyakit Hirschsprung
Refluks gastroesofageal
Penanganan
Tuba orogastrik dipasang untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit dikoreksi dengan memberikan cairan dan elektrolit melalui
infus intravena. Lakukan juga evaluasi anomali kongenital lainnya. Masalah terkait
(misalnya sindrom Down) juga harus ditangani.
Pembedahan untuk mengoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan namun
tidak darurat. Pendekatan bedah tergantung pada sifat abnormalitas. Prosedur operatif
standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas,
meskipun dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan koreksi
atresia duodenum dengan cara yang minimal invasif.
Prognosis
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun
terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik
pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.

Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama
bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut
seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau
refluks gastroesofageal.
2.

MEKONIUM ILEUS

Pendahuluan
Mekonium ileus adalah obstruksi pada ileum terminal yang disebabkan oleh
konsistensi mekonium yang abnormal dimana mekonium menjadi tebal, viscous, kering
dan keras. Mekonium ini memiliki kadar air yang berkurang sebagai hasil dari penurunan
aktivitas dari enzim pankreas dan perpanjangan waktu transit usus halus. Biasanya
tampak pada neonatus dengan Cystic fibrosis (10-20%). Mekonium ileus meliputi lebih
dari 33% dari obstrusi usus halus pada neonatus. Sekitar 50% dari kasus merupakan
komplikasi dari malrotasi, atresia intestinal, atau perforasi.
MI bisa diklasifikasikan menjadi sederhana dan kompleks. MI sederhana muncul
pada 48 jam pertama kehidupan dengan distensi abdomen dan muntah bilus. MI
kompleks lebih berat (<24 jam) dengan distensi abdomen yang progresif, distress nafas
dan peritonitis.
Patofisiologi
Oleh karena kelenjar mukosa usus halus menghasilkan sekresi yang sangat tebal
sejak dalam kandungan, meconium yang dibentuk oleh bayi ini lengket. Karakteristik
dari mekonium ileus, usus halus bagian proksimal mengalami dilatasi dan berisi
meconium lengket serta tebal, sedangkan usus halus bagian distal mengalami kolaps dan
obstruksi oleh plug mukus yang tebal. Bayi yang lahir dengan kelainan ini akan
menderita mekonium ileus sederhana. Walaupun ada sejak dalam kandungan berkembang
menjadi mekonium ileus kompleks. Dalam proses ini, dilatasi volvulus intestinal
proksimal yang masif bila terjadi pada periode gestasi awal, akan didapatkan satu atau

lebih atresia. Apabila volvulus berlebihan ini terjadi pada periode akhir gestasi mungkin
akan ditemukan perforasi dengan atau tanpa mekonium peritonitis.
Gejala dan Tanda
Setelah lahir, bayi akan mengalami kegagalan dalam pengeluaran mekonium
dalam 12-24 jam pertama yang seharusnya terjadi pada neonatus yang normal. Tandatanda dari obstruksi intestinal yang ditemukan antara lain muntah bilus dan distensi
abdomen. Lengkungan usus yang menggelembung kadang-kadang bisa dipalpasi pada
dinding abdomen.
Diagnosis
Pada X-ray ditemukan dilatasi dari lengkung usus, tanpa air fluid level,
penampakan granular soap bubble atau ground glass dari ileum distal terkait
campuran dengan mekonium yang kenyal. USG pada prenatal dapat mendeteksi
perubahan-perubahan yang terjadi semasih dalam kandungan yang mengarah pada kistik
fibrosis atau mekonium ileus, akan tetapi perubahan ini tidak spesifik. Diagnosis menjadi
suspek bila ditemukan tanda-tanda obstruksi intestinal dengan riwayat keluarga kistik
fibrosis.

Gbr. Ileus Mekonium

Penatalaksanaan
Terapi terdiri dari Gastrografin enema untuk kasus yang sederhana: larutan
hiperosmolar akan menarik cairan ke dalam lumen usus menyebabkan suatu diare
osmotik. Terapi pembedahan dilakukan pada kegagalan dengan usaha terapi gastrografin
dan pada kasus-kasus sulit (terkait dengan volvulus, atresia, ganggren, perforasi atau
peritonitis).
Prosedur pembedahan meliputi: ileostomie dengan irigasi, reseksi dengan
anostomosis, dan reseksi dengan ileostomie (Mikulicz dan Bishop-Koop). Manajemen
post operasi meliputi: asetilsistein 10% per oral, asupan oral (pregestimil), penggantian
enzim pankreas dan terapi pulmonal profilaktik. Prognosis jangka panjang tergantung
pada derajat beratnya penyakit serta progresi dari penyakit pulmonal kistik fibrosis.
3.

INTUSUSEPSI
Intususepsi adalah keadaan yang umumnya terjadi pada anak-anak, dan

merupakan kejadian yang jarang terjadi pada dewasa, intususepsi adalah masuknya
segmen usus proksimal (kearah oral) kerongga lumen usus yang lebih distal (kearah anal)
sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus
Definisi lain Invaginasi atau intususcepti yaitu masuknya segmen usus
(Intesusceptum) ke dalam segment usus di dekatnya (intususcipient). Pada umumnya
usus bagian proksimal yang mengalami invaginasi (intussuceptum) memasuki usus
bagian distal (intussucipient), tetapi walaupun jarang ada juga yang sebaliknya atau
retrograd (Bailey,90) Paling sering masuknya ileum terminal ke kolon. Intususeptum
yaitu segmen usus yang masuk dan intususipien yaitu segmen usus yang dimasuki
segmen lain
Invaginasi atau intususepsi merupakan keadaan gawat darurat, dimana bila tidak
ditangani segera dan tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Hampir 70% kasus
invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun, paling sering dijumpai pada
ileosekal. Invaginasi sangat jarang dijumpai pada orang tua, serta tidak banyak tulisan
yang membahas hal ini secara rinci.
Ada perbedaan etiologi yang mencolok antara anak-anak dan dewasa, pada anakanak etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana lead pointnya tidak ditemukan

sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik intra lumen oleh
suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat operasi lead poinnya dapat
ditemukan
Klasifikasi
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik : usus halus ke usus halus
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan
menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi mengenai
valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk masingmasing jenis intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan gambaran : 39% ileosekal, 31,5
% ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang
jarang dan tidak khas (Tumen 1964).
Epidemiologi
Angka kejadian intususepsi (invaginasi) dewasa sangat jarang , menurut angka
yang pernah dilaporkan adalah 0,08% dari semua kasus pembedahan lewat abdomen dan
3% dari kejadian obstruksi usus , angka lain melaporkan 1% dari semua kasus obstruksi
usus, 5% dari semua kasus invaginasi (anak-anak dan dewasa), sedangkan angka-angka
yang menggambarkan angka kejadian berdasarkan jenis kelamin dan umur belum pernah
dilaporkan, sedangkan segmen usus yang telibat yang pernah dilaporkan Anderson 281
pasien terjadi pada usus halus ( Jejunum, Ileum ) 7 pasien ileocolica, 12 pasien cecocolica
dan 36 colocolica dari 336 kasus yang ia laporkan . Desai pada 667 pasien
menggambarkan 53% pada duodenum,jejunum atau ileum, 14% lead pointnya pada
ileoseccal, 16% kolon dan 5% termasuk appendik veriformis. Hampir 70 % kasus
invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun (Bisset et all, 1988)
sedangkan Orloff mendapatkan 69% dari 1814 kasus pada bayi dan anak-anak umur
kurang dari 1 tahun (Cohn 1976). Chairl Ismail 1988 mendapatkan insiden tertinggi

dicapai pada anak-anak umur antara 4 sampai dengan 9 bulan. Perbandingan antara lakilaki dan wanita adalah 2:1 (Kartono, 1986; Cohn 1976; Chairul Ismail !988).
Insidensi tertinggi dari inttususepsiterdapat pada usia dibawah 2 tahun (Ellis 1990).
Orloof mendapatkan 69% dari1814 kasus pada anak-anak terjadi pada usia kurang dari 1
tahun (Cohn 1976). Pada bayi dan anak-anak intususepsi merupakan penyebab kira-kira
80-90% dari kasus obstruksi. Pada orang dewasa intususepsi lebih jarang terjadi dan
diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 5% dari kasus obstruksi (Ellis, 1990)
Etiologi
Menurut kepustakaan 90-95% terjadi pada anak dibawah 1 tahun akibat idiopatik.
Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dinding ileum terminal berupa
hipertrophi jaringan limfoid (plaque payer) akibat infeksi virus (limfadenitis) yang
mengikuti suatu gastroenteritis atau infeksi saluran nafas. Keadaan ini menimbulkan
pembengkaan bagian intusupseptum, edema intestinal dan obstruksi aliran vena ->
obstruksi intestinal -> perdarahan. Penebalan ini merupakan titik permulaan invaginasi.
Pada anak dengan umur > 2 tahun disebabkan oleh tumor seperti limpoma, polip,
hemangioma dan divertikel Meckeli. Penyebab lain akibat pemberian anti spasmolitik
pada diare non spesifik. Pada umur 4-9 bulan terjadi perubahan diet makanan dari cair ke
padat, perubahan pola makan dicurigai sebagai penyebab invaginasi
Invaginasi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun, tidak dijumpai kelainan
yang jelas sebagai penyebabnya, sehingga digolongkan sebagai invantile idiophatic
intususeption.
Sedangkan pada anak-anak umur lebih dari 2 tahun dapat dijumpai kelainan pada
usus sebagai penyebabnya, misalnya divertical meckel, hemangioma, polip. Pada orang
tua sangat jarang dijumpai kasus invaginasi (Tumen 1964; kume GA et al, 1985; Ellis
1990), seta tidak banyak tulisan yang membahas tentang invaginasi pada orangtua secara
rinci.
Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi, diduga tindakan masyarakat tradisional
berupa pijat perut serta tindakan medis pemberian obat anti-diare juga berperan pada
timbulnya invaginasi. Infeksi rotavirus yang menyerang saluran pencernaan anak dengan
gejala utama berupa diare juga dicurigai sebagai salah satu penyebab invaginasi Keadaan

ini merupakan keadaan gawat darurat akut di bagian bedah dan dapat terjadi pada semua
umur. Insiden puncaknya pada umur 4 - 9 bulan, hampir 70% terjadi pada umur dibawah
1 tahun dimana laki-laki lebih sering dari wanita kemungkinan karena peristaltic lebih
kuat. Perkembangan invaginasi menjadi suatu iskemik terjadi oleh karena penekanan dan
penjepitan pembuluh-pembuluh darah segmen intususeptum usus atau mesenterial.
Bagian usus yang paling awal mengalami iskemik adalah mukosa. Ditandai dengan
produksi mucus yang berlebih dan bila berlanjut akan terjadi strangulasi dan laserasi
mukosa sehingga timbul perdarahan. Campuran antara mucus dan darah tersebut akan
keluar anus sebagai suatu agar-agar jeli darah (red currant jelly stool). Keluarnya darah
per anus sering mempersulit diagnosis dengan tingginya insidensi disentri dan amubiasis.
Ketiga gejala tersebut disebut sebagai trias invaginasi. Iskemik dan distensi sistem usus
akan dirasakan nyeri oleh pasien dan ditemukan pada 75% pasien. Adanya iskemik dan
obstruksi akan menyebabkan sekuestrisasi cairan ke lumen usus yang distensi dengan
akibat lanjutnya adalah pasien akan mengalami dehidrasi, lebih jauh lagi dapat
menimbulkan syok. Mukosa usus yang iskemik merupakan port de entry intravasasi
mikroorganisme dari lumen usus yang dapat menyebabkan pasien mengalami infeksi
sistemik dan sepsis. Intususepsi pada dewasa kausa terbanyak adalah keadaan patologi
pada lumen usus, yaitu suatu neoplasma baik yang bersifat jinak dan atau ganas, seperti
apa yang pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus halus dan kolon sebab
terbanyak intususepsi pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak (diverticle
meckels,

polip)

12/25

kasus

sedangkan

pada

kolon

adalah

bersifat

ganas

(adenocarsinoma)14/16 kasus. Etiologi lainnya yang frequensiny labih rendah seperti


tumor

extra

lumen

seperti

lymphoma,

diarea

riwayat

pembedahan

abdomen sebelumnya, inflamasi pada apendiks juga pernah dilaporkan intususepsi terjadi
pada penderita AIDS , pernah juga dilaporkan karena trauma tumpul abdomen yang tidak
dapat diterangkan kenapa itu terjadi dan idiopatik .
Perbedaan dalam etiologi merupakan hal utama yang membedakan kasus yang
terjadi pada bayi/ anak-anak penyebab intususepsi tidak dapat diketahui pada kira-kira
95% kasus. Sebaliknya 80% dari kasus pada dewasa mempunyai suatu penyebab organik,
dan 65% dari penyebabnya ini berupa tumor baik benigna maupun maligna.

Gambaran Klinis
Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan adanya
serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya, dan
kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa sakit
berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara satu serangan dengan serangan
berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah,
keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut. Beratnya
gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin tinggi letak obstruksi,
semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan oleh kembalinya aliran darah
dari usus yang mengalami intususepsi. Terdapatnya sedikit darah adalah khas, sedangkan
perdarahan yang banyak biasanya tidak ditemukan. Pada kasus-kasus yang dikumpulkan
oleh Orloof, rasa sakit ditemukan pada 90%, muntah pada 84%, keluarnya darah
perektum pada 80%dan adanya masa abdomen pada 73% kasus (Cohn, 1976).
Diagnosis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang
ditandai dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh
iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus
bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus bercampur
dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya darah samar
dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja dijumpai pada + 40%
dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan mucus pada + 20% kasus.
Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali saluran
pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala paling awal
invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis
maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian obat-obatan.
Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu
antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya
invaginasi. Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau
pengobatan terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan

Muntah reflektif sampai bilus menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini
dijumpai pada + 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai
gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab
yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan sampai muntah
bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen
usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu
gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90%.
Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan Sousage Like Sign,
terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda
peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dances Sign dan Sousage Like Sign
dijumpai pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi
akan teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal.
Daerah yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut
sebagai Dances Sign. Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri, feces
bercampur lendir dan darah pada sarung tangan merupakan suatu tanda yang
patognomonik.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di
kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG
membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada potongan
melintang invaginasi dan pseudo kidney signpada potongan longitudinal invaginasi. Foto
dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil,
digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.
TRIAS INVAGINASI :

Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengangkat kaki (Craping


pain), bila lanjut sakitnya kontinyu

Muntah warna hijau (cairan lambung)

Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam)
currant jelly stool

Pemeriksaan Fisik :

Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.

Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan

Nyeri tekan (+)

Dancen sign (+) Sensai kekosongan padakuadran kanan bawah karena


masuknya sekum pada kolon ascenden

RT : pseudoportio(+), lender darah (+) Sensasi seperti portio vagina akibat


invaginasi usus yang lama

Gbr. Intususepsi
Radiologis
Foto abdomen 3 posisi
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika circularis
usus) DAH
Colon In loop berfungsi sebagai :

Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi

Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi dan
kejadian < 24 jam

Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar
bersama feses dan udara

Gbr. Radiografi intususepsi


Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah :
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
4. Laparotomi eksplorasi.
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan
diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan
memberikan prognosa yang lebih baik. Penatalaksanaan penanganan suatu kasus
invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan :
1. Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter
dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun
1913 dan diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.
2. Reduksi manual (milking) dan reseksi usus

Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit,
mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai dengan
distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat sampai timbul shock
atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu operasi.
Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang
diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada penemuan
keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan dengan halus dan sabar,
juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan
apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus
diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus
direseksi dilakukan anastomose end to end apabila hal ini memungkinkan, bila tidak
mungkin maka dilakukan exteriorisasi atau enterostomi.
Diagnosa Banding
Obstruksi intestinal lain (volvulus, malrotasi), gastroenteritis, purpura Henoch
Schonlein.
Penyulit
Nekrosis usus yang dapat menyebabkan perforasi dan peritonitis.
4.

ATRESI JEJUNOILEAL
Atresia jejunoileal ada hubungannya dengan kejadian obtruktif vaskuler intrauteri.

Ditemukan empat macam tipe atresia jejunum ileum.

Tipe I : Kira- kira 20% dari atresia dan berupa diafragma intraluminal yang
menyumbat lumen sementara kontinuitas antara usus proksimal dan distal tetap
utuh.

Tipe II : Tali padat berdiameter-kecil menghubungkan usus proksimal dan distal,


meliputi sekitar 35 % cacat ini.

Tipe IIIa : meliputi sekitar 35% dari semua atresia dan terjadi ketika kedua ujung
usus berakhir pada lumen buntu yang disertai dengan sedikit cacat mesenterika.

Tipe IIIb : disertai dengan cacat mesenterika yang luas dan pasokan darah bagian
distal usus tidak normal. Ileum bagian distal melingkari arteria ileokolon, satusatunya yang menjadi pasokan darahnya, sehingga menimbulkan gambaran
kupasan kulit apel.

Tipe IV : meliputi sekitar 5%, Atresia kolon mempunyai persamaan dengan


atresia jejunoieum tetapi jauh kurang lazim.

Gbr. Klasifikasi atresia jejunoilea


Manifestasi Klinis
Diagnosis atresia jejunoileum dapat ditegakkan

dengan ultrasonogram

prenatal. Polihidramnion terjadi pada 25% penderita. Kembar monozigot mempunyai


resiko yang lebih tinggi daripada kembar dizigot atau tunggal. Kelahiran premature
terjadi pada sepertiga kasus. Kebanyakan bayi menampilkan gejala pada hari pertama
lahir, dengan perut kembung dan muntah bercampur empedu atau aspirat lambung.
60-75% bayi tersebut gagal mengeluarkan mekonium. Ikterus ditemukan pada 1/5
sampai 1/3 penderita. Foto polos menunjukkan adanya banyak batas udara-cairan atau
kalsifikasi peritoneum akibat peritonitis peritoneum. Pemeriksaan dengan kontras
usus bagian atas dan bawah menampilkan batas obstruksi dan membedakan atresia
dari ileus mekoneum, sumbatan mekonium, dan penyakit Hirschprung.

Gbr. Radiografi atresia jejunoileal


Penatalaksanaan
Penderita yang mengalami obstruksi usus halus harus stabil dan keseimbangan
cairan serta elektrolitnya adekuat, sebelum dilakukan upaya operasi atau foto
roentgen kecuali kalau dicurigai ada volvulus. Infeksi harus diobati dengan antibiotic
yang tepat. Pemakaian antibiotic profilaksis teridentifikasi dan harus diberikan secara
intravena segera sebelum pembedahan.
Atresia ileum atau jejunum memerlukan reseksi bagian proksimal usus yang
melebar, diikuti dengan anastomose ujung ke ujung. Jika ada diafragma mukosa
sederhana, jejunoplasti atau ileoplasti dengan eksisi parsial selaput tersebut
merupakan alternative yang dapat diterima selain reseksi.

5. HIRSCSPRUNG
Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik
dan ditandai dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga
terjadi obstruksi fungsional.
Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa
neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak
mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Walaupun barium
enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi gold standard
penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar adalah
untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan untuk membuat anastomosis
dengan menyambung rektum bagian distal dengan bagian proksimal usus yang memiliki
innervasi yang sehat.

Patofisiologi

Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian penyakit


Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke
arah proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus
submukosal (Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan
fungsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui.
Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama
perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia
gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah
satu etiology Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam
jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuorblas yang normal dapat terjadi dengan
adanya kegagalan neuroblas dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada

segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk


pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik,
komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor
neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik
menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan
elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan
penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan
antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah dipostulat menjadi faktor penting yang
berkontribusi.
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal
(Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini
terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi,
motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi
usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat
adrenergik menyebabkan inhibisi.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan
sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan
ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali
dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem
kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali
saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan
kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi
fugsional
Klinis
Anamnesis
* Sekitar 10% pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga. Keadaan ini
semakin sering ditemukan pada pasien dengan segmen aganglion yang lebih panjang.

* Penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada anak yang mengalami keterlambatan dalam
mengeluarkan mekonium atau pada anak dengan riwayat konstipasi kronik sejak
kelahiran. Gejala lainnya termasuk obstruksi usus dengan muntah empedu, distensi
abdominal, nafsu makan menurun, dan pertumbuhan terhambat.
* Ultrasound prenatal yang menunjukkan gambaran adanya obstruksi jarang ditemukan,
kecuali pada kasus dengan melibatkan seluruh bagian kolon.
* Anak dengan usia yang lebih tua biasanya memiliki konstipasi kronik sejak kelahiran.
Mereka juga dapat menunjukkan adanya penambahan berat badan yang buruk.
* Sekitar 10% anak yang datang dengan diare yang disebabkan oleh enterocolitis, dimana
diperkirakan terkait dengan adanya pertumbuhan bakteri akibat stasis. Keadaan ini dapat
berkembang menjadi perforasi kolon, yang menyebabkan sepsis.
* Pada penelitian yang melibatkan 259 pasien, Menezes et al melaporkan 57% pasien
datang dengan gejala obstruksi intestinal, 30% dengan konstipasi, 11% dengan
enterocolitis, dan 2% dengan perforasi intestinal.
Pemeriksaan Fisik
* Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan diagnosis,
hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme anus.
* Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan memiliki gambaran
serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang saksama dapat membedakan
keduanya.
* Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya
ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan
Differensial Diagnosis
- Konstipasi
- Ileus
- Iritable Bowel Syndrome
- Gangguan Motilitas Usus
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
* Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya
dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan
elektrolit.
* Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatif.
* Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan
pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi
* Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi dengan
adanya udara dalam rektum
* Barium enema
o Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan kontras
enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.
o Kateter diletakksan didalam anus, tanpa mengembungkan balon, untuk menghindari
kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.
o Foto segera diambil setelah injeksi kontras dan diambil lagi 24 jam kemudian.
o Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami dilatasi
merupakan gambara klasi penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan radiologis pada
neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali gagal memperlihatkan zona transisi.
o Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah
adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan

Pemeriksaan lainnya
* Manometri anorektal

o Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internalsphincter setelah distensi


lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak ditemukan pada pasien
penyakit Hirschsprung.
o Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960, dilakukan
perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak keterbatasan. Status
fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting. Hasil positif palsu yang telah
dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.
o Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri anorektal
jarang digunakan di Amerika Serikat
* Karena malformasi kardiak (2-5%) dan trisomy 21 (5-15%) juga terkait dengan
aganglionosis kongenital, pemeriksaan kardiologis dan genetik dianjurkan
Prosedur
* Biopsi Rektal
o Diagnosa definitif Hirschsprung adalah dengan biopsi rektal, yaitu penemuan
ketidakberaadan sel ganglion.
o Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan biopsi
rektal full-thickness
o Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata karena
aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut
o Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan
pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama prosedur in
dilakukan.
* Simple suction rectal biopsy
o Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik mengambil
jaringan untuk pemeriksaan histologis
o Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus
memotong jaringan yang diinginkan.
o Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas tempat tidur
pasien.
o Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari sampel

yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan pada jaringan
yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy
o Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan
asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf yang hypertrophy sepanjang
lamina propria dan muscularis propria pada jaringan.
Penemuan Histologis
Baik pleksus myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak
ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami hypertrophy
yang terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga ditemukan sepanjang lamina
propria dan muscularis propria. Sekarang ini telah terdapat pemeriksaan imunohistokimia
dengan calretinin yang juga telah digunakan untuk pemeriksaan histologis usus
aganglionik, dan terdapat penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini
kemungkinan

lebih

akurat

dibandingkan

asetilkolinesterase

dalam

mendeteksi

aganglionosis.
Penatalaksanaan
Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama: (1) untuk menangani
komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi, (2) sebagai penatalaksanaan
sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan, dan (3) untuk memperbaiki
fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
* Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan elektrolit,
menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka
dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian
antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
* Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar
dan cairan untuk irigasi.
* Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit.
* Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur
untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis.

* Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang
normal pada pasien post-operatif.
Penanganan operatif
Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang biasanya
membutuhkan biopsi rektal full-thickness. Pada umumnya, penatalaksanaan awal yaitu
dengan membuat colostomy dan ketika anak bertumbuh dan memiliki berat lebih dari
10kg, operasi definitif dapat dilakukan.
Standart penatalaksanaan ini dikembangkan pada tahun 1950 setelah laporan
tingginya angka kebocoran dan striktur pada prosedur tunggal yang dideskripsikan oleh
Swenson. Akan tetapi, dengan kemajuan anastesia yang lebih aman dan monitoring
hemodinamika yang lebih maju, prosedur penarikan tanpa membuat colostomy semakin
sering digunakan. Kontraindikasi untuk prosedur tunggal ini adalah dilatasi maksimal
usus bagian proksimal, entercolitis berat, perforasi, malnutrisi, dan ketidakmampuan
menentukan zona transisional secara akurat.
Untuk neonatus yang pertama kali ditangani dengan colostomy, mulanya zona
transisi diidentifikasi dan colostomy dilakukan pada bagian proksimal area ini.
Keberadaan sel ganglion pada lokasi colostomy harus dikonfirmasi dengan biopsi frozensection. Baik loop atau end-stoma dapat dikerjakan, biasanya tergantung dari preferensi
ahli bedah.
Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan hasil
yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik yang
sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik yang
dilakukan, pembersihan kolon sebelum operasi definitif sangat penting.
* Prosedur Swenson
o Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan untuk
menangani penyakit Hirschsprung
o Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis oblique
dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian distal
* Prosedur Duhamel

o Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi
prosedur Swenson
o Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa bagian rektum
yang aganglionik dipertahankan.
o Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus bagian
proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara rektum dan sakrum),
kemudian

end-to-side

anastomosis

dilakukan

pada

rektum

yang

tersisa

* Prosedur Soave
o Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang mukosa dan
submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah ujung muskuler rektum
aganglionik.
o Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari pembentukan
jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik. Prosedur ini
kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer pada anus.
* Myomectomy anorectal
o Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang sangat pendek,
membuang sedikit bagian midline posterior rektal merupakan alternatif operasi lainnya
o Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang bermula sekitar
proksimal garis dentate.
o Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup.
* Pendekatan laparaskopik sebagai penatalaksanaan penyakit Hirschsprung pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1999 oleh Georgeson. Zona transisi ditentukan awalnya
ditentukan secara laparaskopik, diikuti dengan mobilisasi rektum dibawah peritoneal.
Mukosa transanal diseksi dilakukan, diikuti dengan mengeluarkan rektum melalui anus
dan anastomosis. Hasil fungsional sepertinya sama dengan teknik terbuka berdasarkan
hasil jangka pendek

Diet
* Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar dapat mengoptimalkan
fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien.

Aktivitas
Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara
baik
Medikasi
Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi infeksi, mengurangi morbiditas,
dan mengurangi komplikasi.
Antibiotik
Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh patogen terkait
dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu oleh tes kultur darah
dan sensitivitas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Bedah / editor, R. Sjamsuhidayat, Wim deJong. Ed.2. Jakarta : EGC,
2004.
Mandel G. Duodenal Atresia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/408582-print. Updated: Aug 28, 2007
Ein, S. and A. Daneman (2003). Intussusception. Operative Pediatric Surgery. M. Zicgler,
R. Azizkhan and T. Weber. New York, Mc Graw-Hill Professional : 647-689.
http://www.hopkinscf.org/bin/r/l/meconium_ileus2.jpg
http://www.lucinafoundation.org/assets/duodenal-atresia.jpg
http://www.e-radiography.net/radpath/d/duodenal_atresia2.jpg

You might also like