Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Abdul Ghoffar T.
H1A010019
Yuvita Dewi PriyatniH1A010021
Penguji:
dr. Hj. Elly Rosila Wijaya, Sp.KJ, M.M
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU PENYAKIT JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI NTB
NUSA TENGGARA BARAT
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran,
umum
atau
keracunan
yang
menghambat
2,3
semua usia namun yang paling sering pada usia diatas 60 tahun.
1,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kata delirium berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur.
Sindrom ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton
mendeskripsikan sebagai delirium tremens, kemudian Wernicke menyebutnya sebagai
Encephalopathy Wernicke.4
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium
adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan
fungsi kognitif secara global. Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak
(beberapa jam atau hari), perjalanan singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang
cepat jika factor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.1
2.2. EPIDEMIOLOGI
Delirium adalah gangguan yang sering terjadi. Sekitar 10-15
% ditemukan dari pasien dibangsal bedah umum, 1525 % dari
bangsal medis umum (Penyakit Dalam), 30 % pada pasien yang
dirawat di ICU bedah dan jantung, 4050 % pada pasien yang
menerima perawatan bedah untuk fraktur di panggul, 20 % pada
pasien yang menderita luka bakar dan 30 % lagi dari pasien AIDS
yang diopname.1,5
Usia tua juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan
delirium. Lebih kurang 30-40% pasien yang umurnya lebih dari 65
tahun mengalami satu episode delirium apabila berada di bangsal
perawatan. Faktor predispossi lain adalah usia muda seperti anakanak, adanya trauma sebelumnya pada otak (contohnya dementia,
cardiovascular
ketergantungan
disease,
pada
tumour),
alkohol,
pernah
diabetes,
mengalami
kanker,
delirium,
kemerosotan
1,5,6
1,2,5
A. Penyebab Intrakranial :
Epilepsi dan keadaan paska kejang
Trauma otak (terutama gegar otak)
Infeksi
Meningitis
Ensefalitis
Neoplasma
Gangguan vaskular
B. Penyebab Ekstrakranial :
Obat-obatan (meggunakan atau putus
obat) dan racun
Obata antikolinergik
Antikonvulsan
Obat antihipertensi
Obat antiparkinson
Obat antipsikosis
Glikosida jantung
Simetidin
Klonidin
Disulfiram
Insulin
Opiat
Fensiklidin
Fenitoin
Ranitidin
Salisilat
Sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik
Steroid
Racun
Karbon monoksida
Logam berat dan racun industri lain
Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau
hiperfungsi)
Hipofisis
Pankreas
Adrenal
Paratiroid
Tiroid
Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
peningkatan
serotonin
pada
pasien
dengan
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6, dapat menyebabkan delirium. Saat terjadi proses infeksi, inflamasi dan
paparan toksik dalam tubuh, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan
dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium,
dihubungkan dengan hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan
interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari
bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation retikularis
mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium.
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium, mekanismenya
karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk
menembus otak.
Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat dari disorientasi dan
kebingungan yang mereka alami. Sebagai contoh; pasien yang disorientasi
menggangap mereka dirumah meskipun ada dirumah sakit sehingga staff rumah
sakit dianggap sebagai orang asing yang menerobos kerumahnya.
4. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar/withdrawal
Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan withdrawal. Mereka dapat
terlihat seperti depresi, penurunan nafsu makan, penurunan motivasi dan
gangguan pola tidur.
5. Gangguan tidur
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi bangun pada waktu
malam hari. Pola ini digabungkan dengan disorientasi dan kebingungan yang
dapat menimbulkan situasi berbahaya pada pasien, yaitu resiko jatuh dari tempat
tidur, menarik kateter atau IV dan pipa nasogastric.
6. Emosi yang labil
Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti gelisah, sedih,
menangis dan kadang kadang gembira yang berlebih. Emosi ini dapat muncul
bersamaan ketika seseorang mengalami delirium.
7. Gangguan perseps
Terjadi halusinasi visual dan auditori.
8. Tanda tanda neurologis
Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain: tremor gait, asterixis
mioklonus, paratonia dari otot terutama leher, sulit untuk menulis dan membaca,
dan gangguan visual.
2.5. DIAGNOSA
Untuk memastikan diagnosis, maka gejala-gejala baik yang ringan atau yang
berat haruslah ada pada setiap kondisi dibawah ini, yaitu sesuai dengan pedoman
diagnostik menurut PPDGJ-III : 4,7
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :
Menurunnya
kemampuan
untuk
mengarahkan,
memusatkan,
Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang
ringan
Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat
jangka panjang relatif masih utuh.
3. Gangguan psikomotor :
Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur-bangun (mengantuk pada siang hari).
10
11
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit
inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan delirium ini (1) atau (2):
(1) Gejala pada kriteria A dan B berkembang selama intoksikasi zat.
(2) Penggunaan intoksikasi disini untuk mengatasipenyebab yang ada
hubungan dengan gangguannya.
Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan putus zat:
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit
inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyakit delirium ini dalam kriteria A dan B. Keadaan ini
berkembang selama atau dalam waktu singkat sesudah sindroma putus zat.
12
13
Gambaran Klinis
Gangguan daya ingat
Gangguan proses berpikir
Gangguan daya nilai
Kesadaran berkabut
Major attention deficits
Fluktuasi perjalanan penyakit
Delirium
+++
+++
+++
+++
+++
+++
Demensia
+++
+++
+++
+
+
(1 hari)
Disorientasi
Gangguan persepsi jelas
Inkoherensi
Gangguan siklus tidur- bangun
Eksaserbasi nocturnal
Insight/tilikan
Awitan akut/subakut
+++
++
++
++
++
++
++
++
+
+
+
+
-
2.7. TATALAKSANA
Tujuan
utama
adalah
untuk
mengobati
gangguan
dasar
yang
a. Pengobatan farmakologis
Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah
Haloperidol (haldol), obat antipsikotik golongan butyrophenon. Pemberian tergantung
usia, berat badan,dan kondisi fisik pasien, dosis awal dengan rentang antara 2 sampai
10 mg intramuscular, diulang dalam satu jam jika pasien teragitasi. Segera setelah
pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat
dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan duapertiga dosis diberikan
sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira
1,5 kali kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total
haloperidol mungkin terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien
delirium.
Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai
suatu formula intravena alternative, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah
sangat penting untuk pengobatan ini. Golongan phenothia zine harus dihindari pada
pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang
bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan
waktu paruh pendek atau hydroxizine (vistaril), 25 sampai 100 mg. Golongan
benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali
obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar
(sebagai contohnya, putus alcohol).1
b. Non-farmakologis (pencegahan)
Berbagai literature menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium
sering tidak tuntas. 96% pasienyang dirawat karena pulang dengan gejala sisa. Hanya
20% dari kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam 6 bulan setelah pulang. Hal tersebut
15
3.1. KESIMPULAN
Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai
sebab. Keterlambatan diagnosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan
mortalitas. Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa factor
16
predisposisi dan factor pencetus merupkana mekanisme dasar yang harus selalu
diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih.
Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan
siklus tidur, serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan
gejala yang sering ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke dalam
beberapa tipe. Kriteria diagnosis baku menggunakan DSM-IV; instrument baku yang
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga
diperlukan kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial diagnosis.
Pengelolaan pasien terutama ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana
factor
predisposisi
dan
pencetus.
Penatalaksanaan
non-farmakologik
dan
DAFTAR PUSTAKA
WF:
Catatan
Ilmu
Kedokteran
Jiwa,
Airlangga
RI.
Pedoman
Penggolongan
dan
18