You are on page 1of 18

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT JIWA


TUGAS UJIAN
DILIRIUM

Oleh:
Abdul Ghoffar T.
H1A010019
Yuvita Dewi PriyatniH1A010021
Penguji:
dr. Hj. Elly Rosila Wijaya, Sp.KJ, M.M
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU PENYAKIT JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI NTB
NUSA TENGGARA BARAT
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran,

biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif

secara global. Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu


penyakit dan mempunyai banyak penyebab yang kesemuannya
menggambarkan pola gejala yang sama yaitu berhubungan dengan
tingkat kesadaran dan gangguan kognitif.

Namun secara klinis

delirium kurang dikenali dan kurang didiagnosis.1


Delirium merupakan sindroma mental organik akut yang
berakibat hendaya kognitif yang menyeluruh. Delirium dianggap
satu pertanda disfungsi otak akut dan oleh sebab itu suatu
kedaruratan medik.2
secara

umum

atau

Gangguan fungsi atau metabolisme otak


karena

keracunan

yang

menghambat

metabolisme otak menyebabkan timbulnya keluhan utama berupa


penurunan kesadaran, sehingga penderita tidak mampu mengenal
orang dan berkomunikasi dengan baik, bicaranya inkoheren,
bingung, cemas, gelisah dan panik.

2,3

Kondisi ini dapat terjadi pada

semua usia namun yang paling sering pada usia diatas 60 tahun.

Delirium bermula dengan tiba-tiba (dalam beberapa jam atau


hari), perjalanan yang singkat, dan berubah-ubah intensitinya
(berfluktuasi) dan pulih dengan cepat apabila penyebabnya dapat
diidentifikasi dan dihilangkan. Walaupun begitu setiap ciri-ciri ini
boleh berbeda dari satu penyakit kepada penyakit yang lain.

1,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Kata delirium berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur.
Sindrom ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton
mendeskripsikan sebagai delirium tremens, kemudian Wernicke menyebutnya sebagai
Encephalopathy Wernicke.4
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium
adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan
fungsi kognitif secara global. Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak
(beberapa jam atau hari), perjalanan singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang
cepat jika factor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Delirium adalah gangguan yang sering terjadi. Sekitar 10-15
% ditemukan dari pasien dibangsal bedah umum, 1525 % dari
bangsal medis umum (Penyakit Dalam), 30 % pada pasien yang
dirawat di ICU bedah dan jantung, 4050 % pada pasien yang
menerima perawatan bedah untuk fraktur di panggul, 20 % pada
pasien yang menderita luka bakar dan 30 % lagi dari pasien AIDS
yang diopname.1,5
Usia tua juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan
delirium. Lebih kurang 30-40% pasien yang umurnya lebih dari 65
tahun mengalami satu episode delirium apabila berada di bangsal

perawatan. Faktor predispossi lain adalah usia muda seperti anakanak, adanya trauma sebelumnya pada otak (contohnya dementia,
cardiovascular
ketergantungan

disease,
pada

tumour),
alkohol,

pernah

diabetes,

pacaindera (contohnya buta) dan malnutrisi.

mengalami
kanker,

delirium,

kemerosotan

1,5,6

2.3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Delirium mempunyai berbagai macam penyabab. Penyababnya bisa berasal
dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut (reaksi putus
obat) dan zat toksik. Penyabab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat,
misalnya gagal ginjal dan hati.1,6 Secara lengkap dan lebih terperinci penyabab
delirium dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1. Penyebab Delirium

1,2,5

A. Penyebab Intrakranial :
Epilepsi dan keadaan paska kejang
Trauma otak (terutama gegar otak)
Infeksi
Meningitis
Ensefalitis
Neoplasma
Gangguan vaskular
B. Penyebab Ekstrakranial :
Obat-obatan (meggunakan atau putus
obat) dan racun

Obata antikolinergik
Antikonvulsan
Obat antihipertensi
Obat antiparkinson
Obat antipsikosis
Glikosida jantung
Simetidin
Klonidin
Disulfiram
Insulin
Opiat
Fensiklidin
Fenitoin
Ranitidin
Salisilat
Sedatif (termasuk alkohol) dan hipnotik
Steroid
Racun
Karbon monoksida
Logam berat dan racun industri lain
Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau
hiperfungsi)
Hipofisis
Pankreas
Adrenal
Paratiroid
Tiroid

Penyakit organ non endokron


Hati
Ensefalopati hepatik
Ginjal dan saluran kemih
Ensefalopati uremikum
Paru
Narkosis karbon dioksida
Hipoksia
Sistem Kardiovaskular
Gagal jantung
Aritmia
Hipotensi
Penyakit Defisiensi
Tiamin, asam nikotinik, vit B12 atau asam
folat
Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
Ketidakseimbangan elektrolit dengan
penybab apapun
Keadaan pascaoperatif
Trauma (kepala atau seluruh tubuh)

Berdasarkan aktivitas psikomotor (tingkat/ kondisi kesadaran, aktivitas


perilaku) delirium diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:3
1. Hiperaktif: didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain;
alkohol, amfetamin, lysergic acid diethylamide atau LSD. Pasien bisa nampak
gaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang
hari.

2. Hipoaktif: didapatkan pada pasien pada keadaan hepatic encephalopathy dan


hipercapnia.
3. Campuran: pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tapi
pada malam hari terjadi agitasi dan gangguan sikap.
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa delirium terjadi karena terdapat kerusakan
metabolisme oksidatif serebral dan abnormalitas pada beberapa neurotransmitter.
Berikut terdapat beberapa hipotesis mengenai delirium:2,4
a.

Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari

neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang


mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab
keadaan bingung. Pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga
muncul gejala ini dan pada pasien post operatif delirium serum antikolinergik juga
meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan timbal balik muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Gejala
simptomatis membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan
obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin; terdapat

peningkatan

serotonin

pada

pasien

dengan

encephalopati hepatikum. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric acid);


pada pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga
ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati,
yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua
asam amino ini merupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan
saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus benzodiazepine
dan alkohol.

d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6, dapat menyebabkan delirium. Saat terjadi proses infeksi, inflamasi dan
paparan toksik dalam tubuh, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan
dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium,
dihubungkan dengan hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan
interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari
bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation retikularis
mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium.
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium, mekanismenya
karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk
menembus otak.

2.4. MANIFESTASI KLINIS


Delirium ditandai dari perubahan mental akut dari pasien,perubahan
fluktuatif pada kognitif termasuk memori,berbahasa dan organisasi.3, 4
1. Gangguan atensi
Pasien dengan delirium mengalami kesulitan untuk memperhatikan. Mereka
mudah melupakan instruksi dan mungkin dapat menanyakan instruksi dan
pertanyaan untuk diulang berkali-kali. Metode untuk mengidentifikasi gangguan
atensi yaitu dengan menyuruh pasien menghitung angka terbalik dari 100 dengan
kelipatan 7.
2. Gangguan memori dan disorientasi
Defisit memori, hal yang sering jelas terlihat pada pasien delirium. Disorientasi
waktu,tempat dan situasi juga sering didapatkan pada delirium.
3. Agitasi

Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat dari disorientasi dan
kebingungan yang mereka alami. Sebagai contoh; pasien yang disorientasi
menggangap mereka dirumah meskipun ada dirumah sakit sehingga staff rumah
sakit dianggap sebagai orang asing yang menerobos kerumahnya.
4. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar/withdrawal
Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan withdrawal. Mereka dapat
terlihat seperti depresi, penurunan nafsu makan, penurunan motivasi dan
gangguan pola tidur.
5. Gangguan tidur
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi bangun pada waktu
malam hari. Pola ini digabungkan dengan disorientasi dan kebingungan yang
dapat menimbulkan situasi berbahaya pada pasien, yaitu resiko jatuh dari tempat
tidur, menarik kateter atau IV dan pipa nasogastric.
6. Emosi yang labil
Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti gelisah, sedih,
menangis dan kadang kadang gembira yang berlebih. Emosi ini dapat muncul
bersamaan ketika seseorang mengalami delirium.
7. Gangguan perseps
Terjadi halusinasi visual dan auditori.
8. Tanda tanda neurologis
Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain: tremor gait, asterixis
mioklonus, paratonia dari otot terutama leher, sulit untuk menulis dan membaca,
dan gangguan visual.

2.5. DIAGNOSA
Untuk memastikan diagnosis, maka gejala-gejala baik yang ringan atau yang
berat haruslah ada pada setiap kondisi dibawah ini, yaitu sesuai dengan pedoman
diagnostik menurut PPDGJ-III : 4,7
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :

Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma.

Menurunnya

kemampuan

untuk

mengarahkan,

memusatkan,

mempertahankan dan mengalihkan perhatian.


2. Gangguan kognitif secara umum :

Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi (terutama halusinasi visual)

Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang
ringan

Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat
jangka panjang relatif masih utuh.

Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdapat disorientasi tempat


dan orang.

3. Gangguan psikomotor :

Hipoaktivitas atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak


terduga dari satu ke yang lain.

Waktu bereaksi yang lebih panjang

Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang

Reaksi terperanjat meningkat

4. Gangguan siklus tidur-bangun :

Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur-bangun (mengantuk pada siang hari).

Gejala yang memburuk pada malam hari

10

Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut


menjadi halusinasi setelah bangun tidur.

5. Gangguan emosional : misalnya depresi, ansietas atau takut, lekas marah,


euforia, apatis atau rasa kehilangan akal.
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari,
dan keadan ini berlangsung kurang dari 6 bulan.
Secara klinis penegakkan diagnosis delirium juga dapat menggunakan DSM
IV-TR. Di bawah ini adalah criteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV TR:2
Kriteria diagnostik delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum:
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian).
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit
inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyebab delirium ini.
Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan intoksikasi zat:
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi

11

dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit
inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan delirium ini (1) atau (2):
(1) Gejala pada kriteria A dan B berkembang selama intoksikasi zat.
(2) Penggunaan intoksikasi disini untuk mengatasipenyebab yang ada
hubungan dengan gangguannya.
Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan putus zat:
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit
inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyakit delirium ini dalam kriteria A dan B. Keadaan ini
berkembang selama atau dalam waktu singkat sesudah sindroma putus zat.

Kriteria diagnostik delirium yang berkaitan dengan berbagai penyebab:

12

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan


dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit
inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan etiologi delirium ini yang disebabkan oleh lebih dari satu
penyebab kondisi medik umum, disertai intoksikasi zat atau efek samping
medikasi.
2.6. DIAGNOSA BANDING
Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering
menunjukkan gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit/ kondisi tersebut
acap kali terdapat bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut
informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada anamnesis.3
a. Delirium versus demensia
Yang paling nyata perbedaannya adalah mengenai awitannya, yaitu
delirium awitannya tiba-tiba, sedangkan pada demensia berjalan perlahan. Meskipun
kedua kondisi tersebut mengalami gangguan kognitif, tetapi pada demensia lebih
stabil, sedangkan pada delirium berfluktuasi.2

Tabel 2. Perbandingan Delirium dan Demensia 2

13

Gambaran Klinis
Gangguan daya ingat
Gangguan proses berpikir
Gangguan daya nilai
Kesadaran berkabut
Major attention deficits
Fluktuasi perjalanan penyakit

Delirium
+++
+++
+++
+++
+++
+++

Demensia
+++
+++
+++
+
+

(1 hari)
Disorientasi
Gangguan persepsi jelas
Inkoherensi
Gangguan siklus tidur- bangun
Eksaserbasi nocturnal
Insight/tilikan
Awitan akut/subakut

+++
++
++
++
++
++
++

++
+
+
+
+
-

b. Delirium versus skizofrenia dan depresi


Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap
sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai
depresi. Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi
terdapat perubahan yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada
delirium biasanya gejala berkembang dalam beberapa jam.3
Beberapa pasien dengan skizofrenia atau episode manik mungkin pada
satu keadaan menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan
delirium. Secara umum, halusinasi dan waham pada pasien skizofrenia lebih konstan
dan lebih terorganisasi dibandingkan dengan kondisi pasien delirium.2

2.7. TATALAKSANA
Tujuan

utama

adalah

untuk

mengobati

gangguan

dasar

yang

menyebabkan delirium, tujuan lainnya adalah untuk memberikan bantuan fisik


sensorik dan lingkungan.
14

a. Pengobatan farmakologis
Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah
Haloperidol (haldol), obat antipsikotik golongan butyrophenon. Pemberian tergantung
usia, berat badan,dan kondisi fisik pasien, dosis awal dengan rentang antara 2 sampai
10 mg intramuscular, diulang dalam satu jam jika pasien teragitasi. Segera setelah
pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat
dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan duapertiga dosis diberikan
sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira
1,5 kali kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total
haloperidol mungkin terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien
delirium.
Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai
suatu formula intravena alternative, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah
sangat penting untuk pengobatan ini. Golongan phenothia zine harus dihindari pada
pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang
bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan
waktu paruh pendek atau hydroxizine (vistaril), 25 sampai 100 mg. Golongan
benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali
obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar
(sebagai contohnya, putus alcohol).1
b. Non-farmakologis (pencegahan)
Berbagai literature menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium
sering tidak tuntas. 96% pasienyang dirawat karena pulang dengan gejala sisa. Hanya
20% dari kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam 6 bulan setelah pulang. Hal tersebut

15

menunjukkan bahwa sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih


tinggi dari pada yang diduga sebelumnya. Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum
atau dokter keluarga di masyarakat menjadi penting dalam rangka menemukan kasus
dini dan mencegah penyulit yang fatal.
Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya
mengalami delirium saat dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien
tertentu dan suasana/situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan
delirium. Beberapa obat juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai
efekanti kolinergik dan gangguan faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui
meningkatkan resiko delirium antara lain: benzodiazepine, kodein, amitriptilin
(antidepresan), difenhidramid, ranitidine, tioridazin, digoksin, amiodaron, metildopa,
procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin.
2.8. PROGNOSIS
Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan
perasaan takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah diketahui
dan dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan hilang dalamwaktu 3-7 hari dan
akan hilang seluruhnya dalam waktu dua minggu.2
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai
sebab. Keterlambatan diagnosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan
mortalitas. Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa factor

16

predisposisi dan factor pencetus merupkana mekanisme dasar yang harus selalu
diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih.
Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan
siklus tidur, serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan
gejala yang sering ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke dalam
beberapa tipe. Kriteria diagnosis baku menggunakan DSM-IV; instrument baku yang
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga
diperlukan kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial diagnosis.
Pengelolaan pasien terutama ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana
factor

predisposisi

dan

pencetus.

Penatalaksanaan

non-farmakologik

dan

farmakologik sama pentignnya dan diperlukan kerjasama dengan psikiater terutama


dalam pengelolaan pasien yang gelisah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Harold I. Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri


Klinis. 2010; hal. 519-528
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010; hal.
99-105
3. Maramis

WF:

Catatan

Ilmu

Kedokteran

Jiwa,

Airlangga

University Press, Surabaya, 1994: 181-182.


17

4. Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayan Medis,


Departemen Kesehatan

RI.

Pedoman

Penggolongan

dan

Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia III, Jakarta, 1993 : 69


72 dan 96.
5. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 2009; hal. 907-912
6. http://emedicine.medscape.com/article/288890-overview diakses pada tanggal
10 maret 2016.

18

You might also like