You are on page 1of 38

Asuhan Keperawatan Miastenia Gravis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan

bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan,

bicaracadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda. Myasthenia gravis
dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para
wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan
jarang terjadi selama masa kanak-kanak. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun,
perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia
yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan,
tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan
sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma
adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki
antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda. Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot
mata terlebih dahulu terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang,
hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh
terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering

terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi
lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?
1.3 Tujuan penulisan
1. Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis
1.5 Manfaat penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis

BAB 2
Tinjauan Teoritis
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan
otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20
kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan
pada pria sampai 40 tahun.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung

akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Autoimun : direct mediated antibody


Virus
Pembedahan
Stres
Alkohol
Tumor mediastinum
Obat-obatan :
Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin:
B-blocker (propranolol)
Lithium
Magnesium
Procainamide
Verapamil
Chloroquine
Prednisone
2.3 Anatomi Fisiologi
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi
normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal
bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujungujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular (Howard, 2008; Newton, 2008). Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada
bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat
di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang
merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang
didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)
(Howard, 2008; Newton, 2008).

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel
asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps
dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik
2.4 Patofisisologi
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan
batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya
dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf
bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan
antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot
dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat
pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan
neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot
yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan
vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis
dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut
membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir
motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk
ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat
menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan
mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial
aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetil kolin yaitu asetil kolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui
gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetil kolin akan dilepaskan dalam celah

sinaps. Asetil kolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetil kolin
pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium danp engeluaran ion
kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam
membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera
autoimun. Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi
pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.

2.5 Manifestasi Klinis


1)

Kelemahan otot mata dan waja(hampir selalu ditemukan)

Ptosis
Diplobia
Otot mimik
2)

Kelemahan otot bulbar

Otot-otot lidah
Suara nasal, regurgitasi nasal
Kesulitan dalam mengunyah
Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk dan tercekik saat minum
Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
3)

Kelemahan otot anggota gerak

4)

Kelemahan otot pernafasan

Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2 hipoventilasi


menyebabkan kedaruratan neuromuscular
Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas

KLASIFIKASI
KELOMPOK

KLINIS
I Hanya menyerang otot otot okular, disertai ptosis dan

MIASTENIA OKULAR diplopia. Sangat ringan, tak ada kasus kematian


KELOMPOK
MIASTENIA UMUM
MIASTENIA UMUM awitan (onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun
RINGAN

menyebar ke otot otot rangka dan bulbar


Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat
baik
Angka kematian rendah

MIASTENIA

UMUM Awitan bertahap dan sering disertai gejala gejala okular, lalu

SEDANG

berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot


otot rangka dan bulbar
Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata
dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot
otot pernapasan tidak terkena
Respons terhadap terapi obat : kurang memuaskan dan
aktifitas klien terbatas, tetapi angka kematian rendah

MIASTENIA

UMUM
1. Fulminan akut:

BERAT

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot otot rangka dan


bulbar dan mulai terserangnya otot otot pernapasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan
Respons terhadap obat buruk
Insiden krisis miastonik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi
Tingkat kematian tinggi
2.

Lanjut :

Miastenia gravis berat timbul paling sedikit dua tahun setelah


awitan gejala gejala kelompok I atau II
Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan atau tiba
tiba
Respons terhadap obat dan prognosis buruk
KRISIS MIASTENIA Miastenia dg kelemahan yg progresif dan terjadi gagal nafas
mengancam jiwa
Kelanjutan dari mistenia generalisata berat
Onset terjadi tiba2 dan biasanya dipicu oleh infeksi saluran
pernafasan atas yg berkembang menjadi bronkhitis atau
pnemoni,pekerjaan fisik yg berlebihan, melahirkan,
2.6 Pemeriksaan diagnostic
1) Laboratorium
Anti-acetylcholine receptor antibody
85% pada miastenia umum
60% pada pasien dengan miastenia okuler
Anti-striated muscle
Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
Interleukin-2 receptor
Meningkat pada MG
Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit
2) Imaging
X-ray thoraks
Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai massa mediatinum
anterior
CT scan thoraks
Identifikasi timoma
MRI otak dan orbita
Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan secara rutin
3) Pemeriksaan klinis
Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata selama 30
dettk, akan terjadi ptosis
Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita suara apabila
suara hilang
Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi berbaring

Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengn mempertahankan posisi saat mengangkat kaki
dengan sudut 45 pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan
diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
4) Tes tensilon (edrophonium chloride)
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan (-)
dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi bila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan
berakhir 4-5 menit
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5) Tes kolinergik
6) Tes Prostigmin (neostigmin):
Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya seperti nausea, vomitus,
berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir
dalam 2-3 jam
7)

Pemeriksaan EMNG:

Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10%
antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%, MG sedang sampai berat
dapat sampai 80%
8) Pemeriksaan antibodi AChR
Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG okular. Kadar
ini tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit
9) Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnormal, terbanyak berupa hiperplasia,
sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi
pada timus hiperplasia hasil CT sering normal
10) Pengobatan
Mestinon
Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4
jam. Dosis optimal bervariasi tigkat kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg
tiap 3 jam dapat menimbulkan Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi,
hipersalivasi, emesis, diare
Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4 jam
Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) dinaikkan pelan-pelan sampai
respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan

mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan), turunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis
pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat
Imunosupresan
Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama prednisone
Obat lain: Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil
Intravenous Imunoglobulin

Dosis: 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut

Pada MG berat

Plasmapharesis
Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang beredar dalam serum
penderita
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan
oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat
bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka
juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut
neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap hari untuk mencegah
keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.

4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan jika
perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda sampaikadar
toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun diatasi
secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua gangguan
tersebut.
2.8 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot
yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan
gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu
pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak,
aspirasi makanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien
termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada
cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional.
1.
2.
3.
4.
5.

Gagal nafas
Disfagia
Krisis miastenik
Krisis cholinergic
Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama:
Osteoporosis, katarak, hiperglikem
Gastritis, penyakit peptic ulcer
Pneumocystis carinii
2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otototot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20%
mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami
atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian

berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi
spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis.

BAB 3
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Miastenia Gravis
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dann status
2. Keluhan utama: kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat ada jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik:
B1(breathing): dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
B2(bleeding): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata atau
dipoblia
B4(bladder): menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih
B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun, hipersalivasi,
hipersekresi
B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis, dipoblia

3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal


4. Gangguan aktivitas hidup berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan
kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil:

Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal


Bunyi nafas terdengar jelas
Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi
1. Kaji Kemampuan ventilasi

Rasionalisasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum tampak
gejala klinik.

2. Kaji kualitas, frekuensi, dan


kedalaman
pernapasan,laporkansetiap perubahan
yang terjadi.

3. Baringkan klien dalam posisi yang


nyaman dalam posisi duduk

Dengan

mengkaji

kualitas,

frekuensi,
dan
kedalaman
pernapasan, kita dapatmengetahui
sejauh mana perubahan kondisi
klien.

Penurunan diafragma memperluas


daerah dada sehingga ekspansi paru

bisa maksimal
4. Observasi
(nadi,RR)

tanda-tanda

vital

Peningkatan

RR

dan

takikardi

merupakan
indikasi
penurunan fungsi paru

adanya

2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoblia


Tujuan: Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil:

Adanya perubahan kemampuan yang nyata


Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Intervensi
1. Tentukan kondisi patologis klien

Rasional

untuk mengetahui tipe dan lokasi


yang mengalami gangguan.

2. Kaji gangguan penglihatan terhadap


perubahan persepsi

untuk mempelajari kendala yang


berhubungan dengan disorientasi
klien.

3. Latih klien untuk melihat suatu


obyek dengan telaten dan seksama

agar klien tidak kebingungan dan


lebih berkonsentrasi.

4. Observasi respon perilaku klien,


seperti
menangis,
bahagia,
bermusuhan, halusinasi setiap saat.

5. Berbicaralah dengan klien secara


tenang dan gunakan kalimat-kalimat
pendek.

untuk mengetahui keadaan emosi


klien

memfokuskan

perhatian

klien,

sehingga setiap masalah dapat


dimengerti.

3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil:

Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.

Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi

Rasionalisasi

1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan


melakukan aktivitas
intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki
kemampuan
kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien harus
belajar
tentang
fakta-faakta
dasar
mengenai agen-agenan tikolinesterase,
kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktua dalah
ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas Menilai singkat keberhasilan dari terapi
motorik
yang boleh diberikan
4. Gangguan aktivitas hidup berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan
Tujuan: Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inflamasi dan
memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak
memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru normal, dapat berbahaya bagi
klien dengan PPOM
Kriteria hasil:

Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit


Kemampuan batuk efektif dapat optimal
Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi

Rasionalisasi

1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan


melakukan aktivitas
intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki
kemampuan
kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien harus
belajar
tentang
fakta-faakta
dasar
mengenai agen-agenan tikolinesterase,
kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktua adalah
ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas Menilai singkat keberhasilan dari terapi
motorik
yang boleh diberikan
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil:

Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi

Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi
1. Kaji komunikasi verbal klien.

Rasionalisasi

Kelemahan otot-otot bicara klien


krisis miastenia gravis
berakibat pada komunikasi

2. Lakukan metode komunikasi yang


ideal sesuai dengan kondisi klien

Teknik

untuk

dapat

meningkatkan

komunikasi meliputi mendengarkan


klien, mengulangi apa yang mereka
coba komunikasikan dengan jelas
dan
membuktikan
yang
diinformasikan, berbicara dengan

klien terhadap kedipan mata mereka


dan atau goyangkan jari-jari tangan
atau kaki untuk menjawab ya/tidak.
Setelah periode krisis klien selalu
mampu
mengenal
kebutuhan
mereka.
3. Beri peringatan bahwa klien di
ruang ini mengalami gangguan
berbicara, sediakan bel khusus bila
perlu
4. Antisipasi dan bantu kebutuhan
klien

Untuk

kenyamanan

yang

berhubungan
dengan
mampuan komunikasi

ketidak

Membantu menurunkan frustasi oleh


karenak
ketergantungan
atau
ketidakmampuan berkomunikasi

5. Ucapkan langsung kepada klien


dengan berbicara pelan dan tenang,
gunakan pertanyaan dengan jawaban
ya atau tidak dan perhatikan
respon klien
6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli
terapi bicara

Mengurangi

kebingungan

atau

kecemasan terhadap banyaknya


informasi. Memajukan stimulasi
komunikasi ingatan dan kata-kata.

Mengkaji

kemampuan

verbal

individual, sensorik, dan motorik,


serta
fungsi
kognitif
untuk
mengidentifikasi
defisit
dan
kebutuhan terapi
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan: Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :

Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi


dan perubahan yangsedang terjadi

Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi

Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi

Rasionalisasi

1. Kaji perubahan dari gangguan


persepsi danhubungan dengan derajat
ketidakmampuan

2. Identifikasi arti dari Kehilangan


atau disfungsi pada klien.

Menentukan

bantuan

individual

dalam menyusun rencana perawatan


atau pemilihan intervensi.

Beberapa klien dapat menerima dan


mengatur beberapa fungsi secara
efektif dengan sedikit penyesuaian
diri,
sedangkan
yang
lain
mempunyai
kesulitan
membandingkan mengenal dan
mengatur kekurangan.

3. Bantu dan anjurkan perawatan


yang
baik
dan
memperbaiki
kebiasaan

4. Anjurkan orang yang terdekat


untuk mengizinkan klien melakukan
hal
untuk
dirinya
sebanyakbanyaknya

5. Kolaborasi: rujuk pada ahli


neuropsikologi dan konseling bila
ada indikasi.

3.4 Implementasi Keperawatan

Membantu meningkatkan perasaan


harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehidupan

Menghidupkan kembali

perasaan

kemandirian
dan
membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi

Dapat

memfasilitasi

perubahan

peran
yang
penting
perkembangan perasaan

untuk

1. Mengkaji kemampuan Ventilasi


2. Mengobservasi respon perilaku klien,seperti menangis,bahagia,bermusuhan,halusinasi
setiap saat.
3. Mengkaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
4. Mengkaji komunikasi verbal klien.
5. Mengkaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat
ketidakmampuan

3.5 Evaluasi Keperawatan


1. Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi,pola pernafasan klien kembali
efektif .
2. Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
3. Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
4. Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
5. Klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yang sedang terjadi.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi
orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita
sebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan

myastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan
masalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia
gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara
lain; Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama
akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot
wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain
itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id/asuhan+keperawatan+miastenia+gravis
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
http://copyaskep.wordpress.com/2011/09/13/asuhan-keperawatan-pasien-dengan myastheniagravis/
http://www.scribd.com/doc/76131269/Asuhan-Keperawatan-Myasthenia-Gravis
http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-fahrunnurr-5-1mengenal-a.pdf
Diposkan 27th April 2013 oleh Kembar
0

Tambahkan komentar

menarik

Klasik

Kartu Lipat

Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis

Asuhan Keperawatan Miastenia Gravis

Asuhan Keperawatan Miastenia Gravis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali
lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan

bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan,

bicaracadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda. Myasthenia gravis
dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para
wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan
jarang terjadi selama masa kanak-kanak. Miastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun,
perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia
yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa yang lebih tua.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan,
tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan
sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma
adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki

antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda. Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot
mata terlebih dahulu terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang,
hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh
terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering
terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi
lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?
1.3 Tujuan penulisan
1. Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis
1.5 Manfaat penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis

BAB 2
Tinjauan Teoritis
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan
otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20
kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan

dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan
pada pria sampai 40 tahun.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Autoimun : direct mediated antibody


Virus
Pembedahan
Stres
Alkohol
Tumor mediastinum
Obat-obatan :
Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin:
B-blocker (propranolol)
Lithium
Magnesium
Procainamide
Verapamil
Chloroquine
Prednisone
2.3 Anatomi Fisiologi
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi
normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal
bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujungujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular (Howard, 2008; Newton, 2008). Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada
bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat
di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang

merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang
didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)
(Howard, 2008; Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel
asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps
dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik
2.4 Patofisisologi
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan
batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya
dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf
bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan
antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot
dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat
pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan
neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot
yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan
vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis
dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut
membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir
motorik serabut otot. Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk
ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat
menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan
mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial

aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan
asetil kolin yaitu asetil kolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zat gelatin, dan melalui
gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetil kolin akan dilepaskan dalam celah
sinaps. Asetil kolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetil kolin
pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium danp engeluaran ion
kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial
lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam
membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera
autoimun. Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi
pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.

2.5 Manifestasi Klinis


1)

Kelemahan otot mata dan waja(hampir selalu ditemukan)

Ptosis
Diplobia
Otot mimik
2)

Kelemahan otot bulbar

Otot-otot lidah
Suara nasal, regurgitasi nasal

Kesulitan dalam mengunyah


Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk dan tercekik saat minum
Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor

3)

Kelemahan otot anggota gerak

4)

Kelemahan otot pernafasan

Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2 hipoventilasi


menyebabkan kedaruratan neuromuscular
Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas

KLASIFIKASI
KELOMPOK

KLINIS
I Hanya menyerang otot otot okular, disertai ptosis dan

MIASTENIA OKULAR diplopia. Sangat ringan, tak ada kasus kematian


KELOMPOK
MIASTENIA UMUM
MIASTENIA UMUM awitan (onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun
RINGAN

menyebar ke otot otot rangka dan bulbar


Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat
baik
Angka kematian rendah

MIASTENIA

UMUM Awitan bertahap dan sering disertai gejala gejala okular, lalu

SEDANG

berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot


otot rangka dan bulbar
Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata
dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot
otot pernapasan tidak terkena
Respons terhadap terapi obat : kurang memuaskan dan
aktifitas klien terbatas, tetapi angka kematian rendah

MIASTENIA
BERAT

UMUM
1. Fulminan akut:
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot otot rangka dan
bulbar dan mulai terserangnya otot otot pernapasan.

Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan


Respons terhadap obat buruk
Insiden krisis miastonik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi
Tingkat kematian tinggi
2.

Lanjut :

Miastenia gravis berat timbul paling sedikit dua tahun setelah


awitan gejala gejala kelompok I atau II
Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan atau tiba
tiba
Respons terhadap obat dan prognosis buruk
KRISIS MIASTENIA Miastenia dg kelemahan yg progresif dan terjadi gagal nafas
mengancam jiwa
Kelanjutan dari mistenia generalisata berat
Onset terjadi tiba2 dan biasanya dipicu oleh infeksi saluran
pernafasan atas yg berkembang menjadi bronkhitis atau
pnemoni,pekerjaan fisik yg berlebihan, melahirkan,
2.6 Pemeriksaan diagnostic
1) Laboratorium
Anti-acetylcholine receptor antibody
85% pada miastenia umum
60% pada pasien dengan miastenia okuler
Anti-striated muscle
Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
Interleukin-2 receptor
Meningkat pada MG
Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit
2) Imaging
X-ray thoraks
Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai massa mediatinum
anterior
CT scan thoraks
Identifikasi timoma
MRI otak dan orbita
Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan secara rutin
3) Pemeriksaan klinis

Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata selama 30
dettk, akan terjadi ptosis
Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita suara apabila
suara hilang
Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi berbaring
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengn mempertahankan posisi saat mengangkat kaki
dengan sudut 45 pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan
diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
4) Tes tensilon (edrophonium chloride)
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan (-)
dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi bila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan
berakhir 4-5 menit
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5) Tes kolinergik
6) Tes Prostigmin (neostigmin):
Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya seperti nausea, vomitus,
berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir
dalam 2-3 jam
7)

Pemeriksaan EMNG:

Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10%
antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%, MG sedang sampai berat
dapat sampai 80%
8) Pemeriksaan antibodi AChR
Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG okular. Kadar
ini tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit
9) Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnormal, terbanyak berupa hiperplasia,
sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi
pada timus hiperplasia hasil CT sering normal
10) Pengobatan
Mestinon
Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4
jam. Dosis optimal bervariasi tigkat kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg

tiap 3 jam dapat menimbulkan Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi,
hipersalivasi, emesis, diare
Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4 jam
Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) dinaikkan pelan-pelan sampai
respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan
mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan), turunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis
pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat
Imunosupresan
Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama prednisone
Obat lain: Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil
Intravenous Imunoglobulin

Dosis: 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut

Pada MG berat

Plasmapharesis
Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang beredar dalam serum
penderita
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan
oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat
bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka
juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.

2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut


neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap hari untuk mencegah
keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan jika
perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda sampaikadar
toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun diatasi
secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua gangguan
tersebut.
2.8 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot
yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan
gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu
pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak,
aspirasi makanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien
termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada
cuaca yang panas), kehamilan, dan stress emosional.
1.
2.
3.
4.
5.

Gagal nafas
Disfagia
Krisis miastenik
Krisis cholinergic
Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama:
Osteoporosis, katarak, hiperglikem
Gastritis, penyakit peptic ulcer
Pneumocystis carinii
2.9 Prognosis

Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang
dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otototot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20%
mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami
atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian
berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi
spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miastenia gravis.

BAB 3
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Miastenia Gravis
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dann status
2. Keluhan utama: kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat ada jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik:
B1(breathing): dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
B2(bleeding): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata atau
dipoblia
B4(bladder): menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih
B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun, hipersalivasi,
hipersekresi
B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis, dipoblia
3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
4. Gangguan aktivitas hidup berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan
kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil:

Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal


Bunyi nafas terdengar jelas
Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi
1. Kaji Kemampuan ventilasi

Rasionalisasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum tampak
gejala klinik.

2. Kaji kualitas, frekuensi, dan


kedalaman
pernapasan,laporkansetiap perubahan
yang terjadi.

Dengan

mengkaji

kualitas,

frekuensi,
dan
kedalaman
pernapasan, kita dapatmengetahui

sejauh mana perubahan kondisi


klien.
3. Baringkan klien dalam posisi yang
nyaman dalam posisi duduk

Penurunan diafragma memperluas


daerah dada sehingga ekspansi paru
bisa maksimal

4. Observasi
(nadi,RR)

tanda-tanda

vital

Peningkatan

RR

dan

takikardi

merupakan
indikasi
penurunan fungsi paru

adanya

2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoblia


Tujuan: Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil:

Adanya perubahan kemampuan yang nyata


Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Intervensi
1. Tentukan kondisi patologis klien

Rasional

untuk mengetahui tipe dan lokasi


yang mengalami gangguan.

2. Kaji gangguan penglihatan terhadap


perubahan persepsi

untuk mempelajari kendala yang


berhubungan dengan disorientasi
klien.

3. Latih klien untuk melihat suatu


obyek dengan telaten dan seksama

agar klien tidak kebingungan dan


lebih berkonsentrasi.

4. Observasi respon perilaku klien,


seperti
menangis,
bahagia,
bermusuhan, halusinasi setiap saat.

untuk mengetahui keadaan emosi


klien

5. Berbicaralah dengan klien secara


tenang dan gunakan kalimat-kalimat
pendek.

memfokuskan

perhatian

klien,

sehingga setiap masalah dapat


dimengerti.

3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil:

Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.

Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi

Rasionalisasi

1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan


melakukan aktivitas
intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki
kemampuan
kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien harus
belajar
tentang
fakta-faakta
dasar
mengenai agen-agenan tikolinesterase,
kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktua dalah
ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas Menilai singkat keberhasilan dari terapi
motorik
yang boleh diberikan
4. Gangguan aktivitas hidup berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan
Tujuan: Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inflamasi dan
memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak
memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru normal, dapat berbahaya bagi
klien dengan PPOM

Kriteria hasil:

Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit


Kemampuan batuk efektif dapat optimal
Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi

Rasionalisasi

1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan


melakukan aktivitas
intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki
kemampuan
kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien harus
belajar
tentang
fakta-faakta
dasar
mengenai agen-agenan tikolinesterase,
kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktua adalah
ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas Menilai singkat keberhasilan dari terapi
motorik
yang boleh diberikan
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil:

Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi

Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi
1. Kaji komunikasi verbal klien.

Rasionalisasi

Kelemahan otot-otot bicara klien


krisis miastenia gravis
berakibat pada komunikasi

2. Lakukan metode komunikasi yang

Teknik

untuk

dapat

meningkatkan

ideal sesuai dengan kondisi klien


komunikasi meliputi mendengarkan
klien, mengulangi apa yang mereka
coba komunikasikan dengan jelas
dan
membuktikan
yang
diinformasikan, berbicara dengan
klien terhadap kedipan mata mereka
dan atau goyangkan jari-jari tangan
atau kaki untuk menjawab ya/tidak.
Setelah periode krisis klien selalu
mampu
mengenal
kebutuhan
mereka.
3. Beri peringatan bahwa klien di
ruang ini mengalami gangguan
berbicara, sediakan bel khusus bila
perlu
4. Antisipasi dan bantu kebutuhan
klien

Untuk

kenyamanan

yang

berhubungan
dengan
mampuan komunikasi

ketidak

Membantu menurunkan frustasi oleh


karenak
ketergantungan
atau
ketidakmampuan berkomunikasi

5. Ucapkan langsung kepada klien


dengan berbicara pelan dan tenang,
gunakan pertanyaan dengan jawaban
ya atau tidak dan perhatikan
respon klien
6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli
terapi bicara

Mengurangi

kebingungan

atau

kecemasan terhadap banyaknya


informasi. Memajukan stimulasi
komunikasi ingatan dan kata-kata.

Mengkaji

kemampuan

verbal

individual, sensorik, dan motorik,


serta
fungsi
kognitif
untuk
mengidentifikasi
defisit
dan
kebutuhan terapi
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan: Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :

Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi


dan perubahan yangsedang terjadi

Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi

Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi

Rasionalisasi

1. Kaji perubahan dari gangguan


persepsi danhubungan dengan derajat
ketidakmampuan

2. Identifikasi arti dari Kehilangan


atau disfungsi pada klien.

Menentukan

bantuan

individual

dalam menyusun rencana perawatan


atau pemilihan intervensi.

Beberapa klien dapat menerima dan


mengatur beberapa fungsi secara
efektif dengan sedikit penyesuaian
diri,
sedangkan
yang
lain
mempunyai
kesulitan
membandingkan mengenal dan
mengatur kekurangan.

3. Bantu dan anjurkan perawatan


yang
baik
dan
memperbaiki
kebiasaan

4. Anjurkan orang yang terdekat


untuk mengizinkan klien melakukan
hal
untuk
dirinya
sebanyakbanyaknya

5. Kolaborasi: rujuk pada ahli


neuropsikologi dan konseling bila
ada indikasi.

Membantu meningkatkan perasaan


harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehidupan

Menghidupkan kembali

perasaan

kemandirian
dan
membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi

Dapat

memfasilitasi

perubahan

peran
yang
penting
perkembangan perasaan

untuk

3.4 Implementasi Keperawatan


1. Mengkaji kemampuan Ventilasi
2. Mengobservasi respon perilaku klien,seperti menangis,bahagia,bermusuhan,halusinasi
setiap saat.
3. Mengkaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
4. Mengkaji komunikasi verbal klien.
5. Mengkaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat
ketidakmampuan

3.5 Evaluasi Keperawatan


1. Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi,pola pernafasan klien kembali
efektif .
2. Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
3. Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
4. Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
5. Klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yang sedang terjadi.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi
orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita
sebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan
myastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan
masalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia
gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara
lain; Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama
akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot
wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain
itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id/asuhan+keperawatan+miastenia+gravis
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
http://copyaskep.wordpress.com/2011/09/13/asuhan-keperawatan-pasien-dengan myastheniagravis/
http://www.scribd.com/doc/76131269/Asuhan-Keperawatan-Myasthenia-Gravis
http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-fahrunnurr-5-1mengenal-a.pdf
Diposkan 27th April 2013 oleh

You might also like