You are on page 1of 37

Asma Pada Anak

Merie Octavia
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna, Jakarta Barat
www.ukrida.ac.id
I.Pendahuluan
Asma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka
terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari kepekaan
yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran nafas secara menyeluruh. Asma pada anak
terjadi pada bayi (kurang dari 1 tahun), pada anak usia dibawah 4-10 tahun dan pada anak
usia 10-14 tahun.
Penyakit Asma banyak ditemukan pada anak-anak, terutama yang tinggal di daerah perkotaan
dan industri. Kejadian asma hampir meningkat diseluruh dunia, baik negara maju maupun
negara berkembang termasuk Indonesia. Kirakira sembilan juta anak Amerika Serikat
dibawah 18 tahun menderita asma dan empat juta mengalami sekurang-kurangnya sekali
serangan asma setiap tahun. Penelitian menunjukkan bahwa hanya 50%-nya telah diagnosis,
dengan beberapa statistik yanng menyatakan bahwa jutaan anak penderita asma telah
mengalami salah diagnosis dan dinyatakan mengalami bronkitis berulang atau pneumonia.1
Berdasarkan data kesehatan dunia (WHO) sebanyak 300 juta orang didunia mengidap
penyakit asma dan 225 ribu meninggal karena penyakit asma pada tahun 2005. Di Indonesia
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner International
Study on Asthma and Alergies in Children (ISAAC) pada tahun 1995 menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit asma masih 2,1% meningkat tahun 2003 menjadi 5,2 %.
Asma adalah salah satu penyakit kronis yang sering menyerang anak-anak sekitar 10% dari
anak-anak dan remaja menderita penyakit ini yang ditandai mulai dari batuk-batuk, rasa berat
di dada, bunyi mengi dan sesak nafas. Selain menjadi masalah kesehatan, penyakit asma juga
memiliki dampak sosial budaya. Banyak anak yang divonis menderita asma menjadi rendah
diri karena banyaknya larangan yang ditetapkan orangtuanya seperti tidak boleh berolah raga,
tidak boleh capek-capek bermain dengan temannya, dan banyak orang tua yang malu

mempunyai anak yang menderita asma, sehingga anak menjadi semakin terisolir dari temantemannya. Masalah yang ditimbulkan asma pada anak juga masih banyak yang tidak
terdiagnosis (underdiagnosed) dan setelah terdiagnosis pun belum tentu mendapat
pengobatan yang baik.1,2
Pada penderita asma dapat terjadi perubahan baik fisik maupun psikologi. Setiap perubahan
dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang mempengaruhi konsep diri anak. Perubahan
fisik yang terjadi akibat penyakit asma yang berulang yaitu dada berbentuk barrel, bahu
meninggi, tulang zigomatik mendatar, lingkaran disekeliling mata, hidung mengecil dan gigi
atas menonjol. Gejala klinis yang terjadi pada anak asma berupa batuk kering, sesak nafas,
bunyi mengi (dapat terdengar), rasa lelah dan berbicara dengan frase yang singkat, terpatahpatah, dan terengah-engah. Perubahan fisik tersebut dapat menyebabkan perubahan gambaran
diri dan peran pada anak yang menderita asma dalam keluarga maupun masyarakat karena
kemampuan untuk beraktifitas atau bekerja yang merupakan bagian penting dalam konsep
diri.
Penyakit asma juga menimbulkan masalah psikologis seperti merasa minder, masalah
keuangan, perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, perasaan terkekang atau tidak dapat
bergerak dan hidup dengan bebas dan wajar. Hal tersebut dapat menyebabkan anak merasa
kehilangan harga diri. Perubahan fisik dan psikologis yang dialami anak penderita asma dapat
menyebabkan perubahan konsep diri yaitu citra tubuh, identitas diri, harga diri, ideal diri dan
gangguan peran seseorang krisis yang mengancam konsep diri ini terjadi ketika seseorang
tidak dapat mengatasi hambatan dan metode pemecahan masalah dan adaptasi yang lazim
digunakan.
II Pembahasan
Definisi
Pedoman Nasional Asma Anak menggunakan definisi yang praktis dalam bentuk definisi
operasional, yaitu : Mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik, yaitu
timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta
adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan keluarganya.1
Definisi asma baru

Definisi asma yang lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar
mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA.
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya
pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas
terhadap berbagai rangsangan.
Definisi di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk anak kurang
praktis. Karena itu, para perumus konsensus internasional dalam pernyataan ketiganya tetap
menggunakan definisi lama yaitu wheezing berulang dan/atau batuk persisten, yang dalam
hal ini asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah
disingkirkan.2
Pengertian kronik dan berulang mengacu pada kesepakatan UKK Pulmonologi pada
KONIKA V di Medan 1981 tentang batuk kronik berulang (BKB) yaitu batuk yang
berlangsung lebih dari 14 hari dan/atau tiga atau lebih episode dalam waktu tiga bulan
berturut-turut.
Anamnesis
Anamnesis pada penyakit asma diawali dari identitas anak. Dalam hal ini yang dimaksud
antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, serta tinggi badan. Hal ini penting diketahui
karena derajat penyakit dan serangan asma terkait dengan karakteristik fisik anak.
Setelah didapatkan data identitas anak maka anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan
keluhan utama anak.
Keluhan utama ketika datang ke dokter :
Wheezing ( ketika serangan ) dan / atau batuk kronik berulang ( BKB ). Untuk memudahkan
asma dengan manifestasi klinik khas batuk, sesak dan wheezing disebut sebagai asma klasik
dan yang manifestasi terutama BKB disebut asma non klasik.

BKB dapat merupakan manifestasi awal dari perjalanan asma anak. Pada penyelidikan jangka
panjang anak dengan BKB ternyata mempunyai resiko 4 kali lebih banyak untuk menjadi
asma. Keluhan lainnya keluhan berupa sesak nafas, sakit pada dada atau kecenderungan sulit
melakukan aktifitas seperti anak normal.2,3
Untuk anak 6 thn sebaiknya dilakukan Pemeriksaan Faal Paru yang sederhana dengan
spirometer, pemeriksaan ini mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu :
1. Variabilitas (Perbedaan nilai PFR dalam 1 hari) pada PFR > 15 %
2. Reversibilitas (Perbedaan nilai PFR setelah pemberian bronkodilator) pada PFR >15%
3. Penurunan > 20 % volume ekspirasi paksa pada detik pertama setelah provokasi bronkus
dengan metakolin atau histamine
Uji tuberkulin perlu dilakukan pada kelompok yang di duga asma maupun yang tidak .
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Hasil yang didapat tergantung stadium serangan, lamanya serangan dan jenis asmanya. Pada
asma yang ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan. Pada inspeksi
terlihat pernapasan sukar dan cepat, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-kadang
terdapat suara wheezing (mengi), ekspirium memanjang, pada inspirasi terlihat retraksi
daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium, dan sela iga. Pada asma kronik terlihat
bentuk toraks emfisematus, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior
toraks bertambah. Pada perkusi terdengar suara hipersonor di seluruh toraks, terutama bagian
bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
Pada auskultasi mula-mula bunyi napas kasar/mengeras, tapi pada stadium lanjut suara napas
melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Dalam keadaan
normal, fase ekspirasi - dari fase inspirasi, pada waktu serangan fase ekspirasi
memanjang. Terdengar ronki kering dan ronki basah serta suara lendir bila banyak sekresi
bronkus. 1,2,3
Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin juga hubungannya dengan tinggi
badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat
perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat.

Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena perbaikan
akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. Bentuk toraks perlu
diperhatikan untuk melihat adanya dada burung atau sulkus Harisson sebagai tanda obstruksi
jalan napas yang lama. Tanda ini hanya ditemukan pada asma berat dan menahun dengan
pengelolaan asma yang tidak adekuat sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang
(1) Uji faal paru
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan pengelolaannya.
Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai nilai provokasi bronkus,
menilai nilai pengobatan, dan mengikuti perjalanan penyakit. Uji faal paru tidak selalu mudah
dilaksanakan, terutama pada anak di bawah 5-6 tahun. Sebaiknya tiap anak dengan asma di
uji faal pada tiap kunjungan. Peak flow meter adalah yang paling sederhana, sedangkan
dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap
Spirometri : Untuk mengukur kecepatan aliran udara dan volume paru selama FEV1 dan
digunakan sebagai gold standar dalam mengukur aliran udara pada penyakit asma.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, PEV1, PVC, FEV1/FVC.
Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC
berkurang > 15% dari nilai normalnya
Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC
hanya berkurang sedikit
Inflasi berlebihan yang biasanya terlihat secara klinis akan terlihat dengan meningginya isi
total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu.3
Di luar serangan, faal paru tersebut umumnya akan kembali normal kecuali pada asma
serangan, faal paru tersebut umumnya, akan kembali normal kecuali pada asma yang berat.
Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan
adanya hiperreaktivitas bronkus, yang dapat dilakukan dengan : (1)histamin, (2)methacholin,
(3)beban lari, (4)udara dingin, (5)uap angin, (6)alergi. Yang sering dilakukan adalah cara 1, 2,
3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan
setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah

rendah dan diberi bronkodilator naik >15%yang berarti hiperreaktivitas positif dan uji
provokasi tidak perlu.
(2) Foto rontgen toraks
Pemeriksaan ini perlu dilakukan dan pada foto akan tampak corakan paru yang meningkat.
Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Atelektasis juga sering
ditemukan. Setiap anak penderita asma yang berkunjung pertama kalinya perlu dibuat foto
rontgen parunya. Foto ini dibuat terutama untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
penyakit lain. Foto perlu diulang bila ada indikasi, misalnya dugaan adanya pneumonia atau
pneumotoraks. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol.
(3) Pemeriksaan darah, eosinofil, dan uji tuberkulin
Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis
asma. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi, sekret hidung dan sputum. Dalam sputum
ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan
didapatkan pula leukositosis polimorfonukleus. Uji tuberkulin penting bukan saja karena di
Indonesia masih banyak tuberkulosis, tetapi juga karena kalau ada tuberkulosis dan tidak
diobati, asmanyapun mungkin sukar dikontrol.
(4) Uji kulit alergi dan imunologi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Pemeriksaan IgE dapat
memperkuat diagnosis dan pengelolaannya, tetapi bila tidak ditemukan kelainannya diagnosis
asma belum dapat disingkirkan.
Diagnosis
Definisi asma bermacam-macam tergantung kriteria mana yang dianut. GINA mendefinisikan
asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya
pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan.3,4

Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan. Konsensus Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi
berulang dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin,
sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Perbedaan di atas sebenarnya
hanya pada segi praktisnya saja. Definisi asma menurut GINA cukup lengkap namun kurang
praktis bila digunakan di lapangan, sehingga untuk lapangan definisi yang sering digunakan
adalah definisi Konsensus Internasional. Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan
operasionalnya menyepakatinya kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada
penderita atau keluarganya.
Baik GINA, Konsensus Internasional, maupun PNAA menekankan diagnosis asma didahului
batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan
diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa\ batuk dan/atau mengi yang berulang
(episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada
penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.
Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru
atau pemberian obat bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons
pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus dengan histamin
atau metakolin. Akhir-akhir ini banyak yang berpendapat bahwa untuk menegakkan diagnosis
asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai
adanya wheezing. Hal itu disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang
hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia
di bawah tiga tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing
yang dijumpai pertama kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk
kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas,
tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma.2,3,4
Gambaran Klinis Pada Anak
Dengan mengetahui gambaran klinis pada anak, maka dapat dilihat luas permasalahan dan
seberapa jauh perlu dikerjakan upaya untuk mencegah serangan asma.
(1) Asma episodik jarang

biasanya terdapat pada anak umur 3-6 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi
saluran napas bagian atas. Banyaknya serangan 3-4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan
paling lama beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang
timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi (wheezing) dapat berlangsung sekitar 3-4
hari. Sedangkan batuk-batuknya dapat berlangsung 10-14 hari. Tumbuh kembang anak
biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan. Waktu remisi berminggu-minggu
sampai berbulan-bulan. Golongan ini merupakan 70-75% dari populasi asma anak.
(2) Asma episodik sering
pada golongan ini, serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan,
serangan berhubungan dengan infeksi saluran napas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi
serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan
udara, adanya alergen, aktivitas fisik, dan stres. Banyak kasus yang tidak jelas pencetusnya.
Banyaknya serangan 3-4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai
beberapa minggu. Frekuensi serangan paling tinggi pada umur 8-13 tahun. Pada golongan
lanjut kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten.
Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat
mengganggu tidur.
(3) Asma kronik atau persisten
pada 25% anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum anak berumur 6 bulan, 75%
sebelum anak berumur 3 tahun. 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama
dan 50% sisanya serangan episodik. Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadinya
obstruksi saluran napas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari. Pada
malam hari sering terganggu oleh batuk dan mengi. Aktivitas fisik sering menyebabkan
mengi. Dari waktu ke waktu terjadi serangan fisik yang berat dan sering memerlukan
perawatan rumah sakit.3,4
Terdapat juga golongan yang jarang mengalami serangan berat, hanya sesak sedikit dan
mengi sepanjang waktu. Setelah mendapat penanganan yang tepat biasanya baru disadari
bahwa ada perbedaan dibandingkan sebelum mendapatkan penanganan. Anak dan orang tua
baru menyadari mengenai asma pada anak serta permasalahannya. Obstruksi jalan napas
mencapai puncaknya pada umur 8-14 tahun, setelah biasanya terjadi perubahan.
Derajat Penyakit Asma

Tabel 1. Derajat asma. Sumber : Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PF IDAI. Konsensus
Nasional Penanganan Asma Pada Anak. Solo. 2001.
No.

Parameter klinis

Asma

Asma

Asma

kebutuhan obat, dan

episodik jarang

episodik sering

Persisten

1.

faal paru.
Frenkuensi

3 4 x per tahun

2.

serangan
Lama serangan

Sebentar

3.
4.
5.

Intensitas serangan
Di antara serangan
Tidur dan aktivitas

beberapa hari
Biasanya ringan
Tanpa gejala
Tidak terganggu <

6.

3 x / minggu
> 3x / minggu
minggu
Pemeriksaa fisis di Normal
(tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
luar serangan

7.

Sering 1 x / bulan

atau Beberapa hari s/d 1 Hampir sepanjang tahun

ditemukan

kelainan)
pengendali Tidak perlu

Obat

1 x / bulan

minggu
Biasanya sedang
Sering ada gejala
Sering terganggu

atau tidak ada remisi


Biasanya berat
Gejala siang dan malam
Sangat terganggu > 3 x /

(ditemukan
kelainan)
Perlu, non steroid Perlu,

steroid

inhalasi

anti inflamasii

atau steroid inhalasi dosis 400 g/1 hari

Uji faal paru (di luar PEF /FEV >80%

dosis 100 200 g


PEV /FEV 60-80%

PEV / FEV <60%

serangan)
Variabilitas

faal Variabilitas 20%

Variabilitas 30%

Variabilitas 2030%
Variabilitas 50%

paru

ada

(bila

serangan)
Tabel 2. Derajat Asma. Sumber : Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop
Report. 2002.
Parameter Klinis,

Asma

Asma

Asma

Kebutuhan obat, dan

Periodik Jarang

Periodik Sering

Persisten

< 1x/bulan

> 1x/bulan

Sering

> 1 minggu

Hampir sepanjang

Faal paru
Frekuensi serangan
Lama Serangan

< 1minggu

tahun, tidak ada remisi


Intensitas serangan

Biasanya ringan

Biasanya sedang

Biasanya berat

Di antara serangan

Tanpa gejala

Sering ada gejala

Gejala siang dan

malam
Tidur dan aktivitas
Pemeriksaan fisis di
luar serangan
Obat pengendali (anti

Tidak terganggu

Sering terganggu

Sangat terganggu

Normal (tidak

Mungkin terganggu

Tidak pernah normal

ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan)


Tidak perlu

perlu

Perlu

PEF/FEV1 > 80%

PEF/FEV1 60-80%

PEF/FEV1 < 60%

inflamasi)
Uji faal paru (di luar
serangan)
Variabilitas fal paru

variabilitasnya 20-30%
> 15%

> 30%

> 50%

(bila ada serangan)


Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi 4, yaitu asma
intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, asma persisten berat. Dasar
pembagiannya adalah gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk
mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF dan FEV1
untuk penilaiannya.1,4
Konsensus Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan keadaan
klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu asma episodik jarang (75% populasi anak asma),
asma periodik sering (20% populasi anak asma), dan asma persisten (5% populasi anak
asma). Konsensus Nasional Asma Anak membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan
keadaan klinis, kebutuhan obat dan faal paru menjadi 3, yaitu Asma episodik jarang, Asma
episodik sering, dan Asma persisten.
Derajat Serangan Asma Menurut KNAA dan penentuan derajat serangan asma
Seorang anak penderita asma jika mengalami serangan akan dibawa mencari pertolongan ke
rumah sakit yang kemungkinan datang ke Klinik Rawat Jalan atau IGD. Pasien asma yang
datang dalam keadaan serangan,langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi
sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan
uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian
penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan
alat tersebut belum memasyarakat.

Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan, yang terbagi atas
serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan di sini antara derajat penyakit asma
dengan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya bisa saja seorang pasien yang tergolong asma
episodik jarang (asma ringan) mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman
henti napas yang dapat menyebabkan kematian.2,4
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien
memberi respons yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat,
atau pasien berisiko tinggi.
Tabel 3. Derajat Serangan Asma . Sumber : KNAA
Parameter klinis,

Ringan

Sedang

Berat

fungsi paru, lab


Sesak

Ancaman henti
nafas

Berjalan

Berbicara

Istirahat

Bayi :

Bayi:

Bayi

Menangis

Tangis pendek

Tidak mau

Keras

dan lemah

minum atau

Kesulitan

makan

menetek
Lebih suka

Dusuk

duduk

bertopang

(bresthless)

Posisi

Bisa berbaring

Bicara

Kalimat

Penggal

lengan
Kata-kata

Kesadaran

Mungkin

Kalimat
Biasanya

Biasanya

Kebingungan

Sianosis
Wheezing

iritable
Tidak ada
Sedang, serig

Iritable
Tidak ada
Nyaring

Iritable
Ada
Sangat nyaring

Nyata
Sulit / tidak

hanya pada

sepanjang

mendengar

Penggunaan otot

akhir ekspirasi

ekspirasi dan

Biasanya tidak

inspirasi
Biasanya ya

Ya

bantu respiratorik
Retraksi

Gerakan
paradok torako

Dangkal,

Sedang,

Dalam,

abdominal
Dangkal /

retraksi

ditambah

ditambah nafas

hilang

interkostal

retraksi

cuping hidung

Frekuensi Nafas
Frekuensi Nadi
Pulsus

Takipnu
Normal
Tidak ada

suprasternal
Takipnu
Takikardi
Ada

paradoksus

< 10 mmHg

10-20 mmHg

Takipnu
Takikardi
Ada

Bradipnu
Bradikardi
Tidak
ada,

>20mmHg

tanda kelelahan
otot respiratorik

PEFR atau FEV1

(%nilai dugaan) (%nilai terbaik)

Pra

>60%

40-60%

<40%

>80%

60-80%

<60%

>95%
Normal

91-95%
> 60mmHg

<90%
>80 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

Bronkodil
ator

Pasca
Bronkodil

ator
SaO2%
PaO2

(biasanya tidak
PaCO2

perlu diperiksa)
<45 mmHg
Usia

Frekuensi Nafas normal

<2 bulan

<60/menit

2-12 bulan

<50/menit

1-5 tahun

<40/menit

6-8 tahun

<30/menit

3 hal yang berperan dalam tercetusnya asma

Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak berumur 2 tahun. Secara klinis asma
dibagi dalam 3 stadium :1,5
Stadium 1
- Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk kering.
- Sputum yang kental dan mengumpul merupakan merupakan benda asing yang merangsang
batuk
Stadium 2
- Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa.
- Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak nafas dan berusaha nafas lebih dalam.
Ekspirium memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot napas tambahan turut
bekerja.
- Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium, dan mungkin juga sela iga
- Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau
kursi
- Anak tampak gelisah, pucat, dan sianosis di sekitar mulut
- Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan
- Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi suprasternal,
dan interkostal
Stadium 3
- Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara nafas
hampir tidak terdengar
- Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan
- Batuk seperti ditekan
- Pernapasan dangkal, tidak teratur, dan frekuensi nafas mendadak tinggi
Diagnosis Banding
1.Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang merupakan
percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus.
Bronkiolitis biasanya menyerang anak yang berumur di bawah 2 tahun.2,5

Penyebabnya adalah RSV (respiratory syncytial virus). Virus lainnya yang menyebabkan
bronkiolitis adalah parainfluenza, influenza dan adenovirus. Virus ditularkan melalui percikan
ludah. Meskipun pada orang dewasa RSV hanya menyebabkan gejala yang ringan, tetapi
pada bayi bisa menyebabkan penyakit yang berat.
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis: Usia kurang dari 6 bulan, Tidak pernah mendapatkan
ASI, Prematur, dan Menghirup asap rokok. Gejalanya berupa:
- batuk
- wheezing (bunyi nafas mengi)
- sesak nafas atau gangguan pernafasan
- sianosis (warna kulit kebiruan karena kekurangan oksigen)
- takipneu (pernafasan yang cepat)
- retraksi interkostal (otot di sela iga tertarik ke dalam karena bayi berusaha keras untuk
bernafas)
- pernafasan cuping Hidung (cuping Hidung kembang kempis)
- demam (pada bayi yang lebih muda, demam lebih jarang terjadi).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada pemeriksan
dengan stetoskop terdengar wheezing dan ronki. Pemeriksaan lainnya adalah rontgen dada
dan analisa gas darah. Kadang tidak perlu diberikan pengobatan khusus. Terapi suportif
terdiri dari : Pemberian oksigen, Udara yang lembab, Drainase postural atau menepuk dada
untuk mengeluarkan lendir, Istirahat yang cukup, dan Pemberian cairan. Kadang bayi
menjadi lelah dan mengalami serangan apneu (henti nafas). Jika hal ini terjadi, dilakukan
intubasi dan pemasangan ventilator. Pada bayi yang sangat muda dan sakit berat, kadang
diberikan obat anti-virus ribavirin. Obat ini dapat mengurangi beratnya penyakit dan Agar
efektif harus diberikan pada awal penyakit.4,5
Setelah 1 minggu, biasanya infeksi akan mereda dan gangguan pernafasan akan membaik
pada hari ketiga. Angka kematian kurang dari 1%. Masa paling kritis adalah 48-72 jam
pertama. Jarang terjadi bronkiolitis ulang.

Beberapa tindakan pencegahan pada bronkiolitis: Jangan membawa bayi berumur kurang dari
tiga bulan ke tempat umum, terutama jika banyak anak-anak dan Penderita infeksi saluran
pernafasan harus mencuci tangan atau menggunakan masker jika berdekatan dengan bayi.
2. Fibrosis Kistik
Fibrosis Kistik adalah suatu penyakit keturunan yang menyebabkan kelenjar tertentu
menghasilkan sekret abnormal, sehingga timbul beberapa gejala; yang terpenting adalah yang
mempengaruhi saluran pencernaan dan paru-paru. Fibrosis kistik merupakan suatu kelainan
genetik. Sekitar 5% orang kulit putih memiliki 1 gen cacat yang berperan dalam terjadinya
penyakit ini. Gen ini bersifat resesif dan penyakit hanya timbul pada seseorang yang memiliki
2 buah gen ini. Seseorang yang hanya memiliki 1 gen tidak akan menunjukkan gejala.
Gen ini mengendalikan pembentukan protein yang mengatur perpindahan klorida dan natrium
melalui selaput sel. Jika kedua gen ini abnormal, maka akan terjadi gangguan dalam
pemindahan klorida dan natrium, sehingga terjadi dehidrasi dan pengentalan sekresi. Fibrosis
kistik menyerang hampir seluruh kelenjar endokrin (kelenjar yang melepaskan cairan ke
dalam sebuah saluran). Pelepasan cairan ini mengalami kelainan dan mempengaruhi fungsi
kelenjar penghasil lendir di dalam saluran udara paru-paru menghasilkan lendir yang kental
sehingga mudah terjadi infeksi paru-paru menahun.5
Pada saat lahir, fungsi paru-paru penderita masih normal, gangguan pernafasan baru terjadi
beberapa waktu kemudian. Lendir yang kental pada akhirnya menyumbat saluran udara kecil,
yang kemudian mengalami peradangan. Lama-lama dinding bronkial mengalami penebalan,
sehingga saluran udara terisi dengan lendir yang terinfeksi dan daerah paru-paru mengkerut
(keadaan ini disebut atelektasis) disertai pembesaran kelenjar getah bening. Semua perubahan
tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan paru-paru untuk memindahkan oksigen ke
dalam darah. Sekitar separuh anak-anak yang menderita fibrosis kistik memiliki gejala
berikut: batuk terus menerus, bunyi nafas mengi (bengek), dan infeksi saluran pernafasan.
Batuk seringkali disertai oleh tersedak, muntah, dan sulit tidur. Lama-lama dada akan
berbentuk seperti tong (barrel-shaped) dan kekurangan oksigen menyebabkan jari tangan
berbentuk seperti pentungan dan kulit berwarna kebiruan. Bisa ditemukan polip hidung dan
sinus terisi dengan cairan yang kental.
Fibrosis kistik bisa mengenai organ lainnya, sehingga dilakukan pemeriksaan lainnya untuk
membantu menegakkan diagnosis:

1. Pemeriksaan lemak tinja


Jika kadar enzim pankreas berkurang, maka analisa tinja bisa menunjukkan adanya
penurunan atau bahkan tidak ditemukan enzim pencernaan tripsin dan kromotripsin atau
kadar lemaknya tinggi.
2. Tes fungsi pankreas
Jika pembentukan insulin berkurang, maka kadar gula darahnya tinggi
3. Tes fungsi paru bisa menunjukkan adanya gangguan pernafasan
4. Rontgen dada.
5. Tes DNA.
Keluarga lain (selain dari orang tua penderita) yang ingin mengetahui apakah anak mereka
memiliki kemungkinan untuk menderita penyakit ini, bisa menjalani pemeriksaan genetik.
Jika salah satu dari orang tua tidak memiliki gen ini, maka anaknya tidak akan menderita
fibrosis kistik. Jika kedua orang tua memiliki gen ini, maka setiap kehamilan memiliki
peluang sebesar 25% untuk melahirkan anak dengan fibrosis kistik. 3,4,5
Beratnya penyakit pada setiap penderita berlainan dan tergantung kepada luasnya daerah
paru-paru yang terkena. Penurunan fungsi paru-paru tidak dapat dihindari, dan bisa
menyebabkan kelemahan bahkan kematian. Penderita biasanya meninggal karena kegagalan
pernafasan setelah terjadinya penurunan fungsi paru-paru selama bertahun-tahun. Sejumlah
kecil penderita meninggal karena penyakit hati, perdarahan ke dalam saluran udara atau
komplikasi dari pembedahan.
3. Refluks Gastrointestinal
Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE) atau gastroesophageal reflux disease (GERD)
adalah ketika RGE menimbulkan komplikasi. Keadaan ini jarang terjadi, dan meningkat pada
anak dengan palsi serebral (cerebral palsy), sindroma Down, fibrosis kistik (cystic fibrosis),
dan kelainan anatomi saluran cerna atas (fistula trakeoesofagus, hernia hiatus, stenosis
pilorum).

Komplikasi RGE antara lain: esofagitis (radang esofagus), gagal tumbuh (failure to thrive),
perdarahan saluran cerna akibat iritasi mukosa (selaput lendir), dan aspirasi (masuknya
cairan/isi lambung ke dalam saluran napas) yang menyebabkan sesak napas. 12
Gejala PRGE adalah muntah dengan: rewel terus-menerus, tidak mau makan, berat badan
turun atau persentil menurun (pada tabel pertumbuhan/growth chart), muntah darah
(hematemesis), batuk kronik, mengi, dan apnea (henti napas sesaat) berulang.
4. Aspirasi benda asing
Terdapat 5 tanda-tanda klinis yang penting yaitu :
a) Wheezy bronchitis (asma)
Batuk-batuk, wheeze dan demam adalah gejala yang umum pada penderita terinhalasi benda
asing. Diagnosis wheezy bronchitis haruslah dipertanyakan lebih dalam pada anak-anak, bila
hal ini terjadi tiba-tiba tanpa didahului oleh gejala selesma, atau bila sebelumnya tidak ada
serangan seperti ini, atau tidak terdapat riwayat alergi serta bila rhonkhi pada inspirasi dan
ekspirasi yang tidak menyeluruh pada kedua paru.
b) Resolusi yang gagal dari infeksi akut
Bila benda asing tidak segera diambil, maka infeksi saluran nafas yang akut terjadi di bagian
distal dari obstruksi. Infeksi ini manifestasinya seperti pneumonia, tetapi pada beberapa kasus
dapat sebagai infeksi saluran nafas yang tidak spesifik.
c) Batuk khronis yang disertai dengan hemoptisis
Batuk khronis atau berulang dengan disertai hemoptisis pada anak-anak tanpa penyakit paru
suppurativa yang khronis, sangat mungkin disebabkan oleh benda asing, lebih-lebih bila
terdapat juga atelektasis pada segmen atau lobus.13
d) Batuk khronis disertai dengan gambaran atelektasis
Pada anak-anak dengan batuk khronis yang disertai gambaran atelektasis segmen atau lobar,
haruslah waspada terhadap adanya benda asing. Bila perbaikan secara klinis maupun
radiologis tidak nyata sesudah pengobatan dengan antibiotika dan drainase postural, maka
pemeriksaan bronkhoskopi harus dilakukan.
e) Kegagalan pernafasan

Beberapa penderita keadaan penyakitnya berlanjut menyebabkan kegagalan pernafasan akut.


Secara anamnestis diperoleh keterangan tentang kegagalan pengobatan infeksi saluran nafas
yang akut, di mana terdapat juga benda asing di dalamnya.
5. TB pada anak
Pada stadium lanjut akan ditemukan gejala batuk, dispnea, mengi, nyeri abdomen/tulang,
diare, anoreksia, BB turun, demam, dan malaise
6. BKB dan pneumonia
Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi
tumbuh kembang secara optimal. 5,6
Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah :
(1) pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga
(2) gejala tidak timbul siang maupun malam hari
(3) uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok
(4) kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan
(5) efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak
(6) mencegah timbulnya serangan ulang
Sebelum memberikan pengobatan spesifik, beberapa prinsip umum pengobatan harus
ditegakkan terlebih dahulu
(1) asma adalah suatu keadaan menahun yang mengalami eksaserbasi. Pengobatan yang
diberikan harus berkesinambungan, mampu menghilangkan keluhan, dan mencegah
kekambuhan serta mampu menekan timbulnya proses peradangan menahun pada saluran
napas
(2) mencegah timbulnya eksaserbasi akut merupakan prinsip pengobatan yang amat penting,
menghindari faktor pencetus bagi penderita yang alergi. Bagi kelompok yang toleransinya

rendah terhadap latihan jasmani, serangan asma malam hari yang berulang, terutama
penderita asm aringan sampai sedang, pemberian obat anti asma secara teratur merupakan hal
yang mutlak, terutama obat-obatan yang mempunyai sifat anti radang
(3) pengobatan asma harus didasarkan pada mekanisme patofisiologi yang menyebaban
timbulnya serangan asma, yang ditekankan pada bagaimana timbulnya peradangan saluran
pernapasan tersebut. Bila demikian, maka pengobatan ini harus mampu menekan komponenkomponen keradangan yang menyebabkan timbulnya keluhan penderita. Jadi, yang
diharapkan

ialah

bagaimana

pengobatan

tersebut

dapat

menekan

timbulnya

hyperresponsiveness saluran pernapasan dan mencegah timbulnya obstruksi yang tidak dapat
pulih kembali (irreversible airway obstruction)
(4) berkeyakinan bahwa pengobatan tersebut dapat menyembuhkan serangan eksaserbi akut
sehingga dapat menghindari penyempitan saluran pernapasan lebih lanjut
(5) pengobatan asma merupakan tindakan yang melibatkan banyak hal, antara lain
penyuluhan (edukasi) penderita, pengawasan lingkungan, dan pemakaian obat-obatan guna
mengawasi secara objektif perjalanan penyakit tersebut. 3-6
Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu secara medikamentosa dan nonmedikamentosa. Secara optimal, pengobatan non-medikamentosa harus dilakukan pada
penyakit asma, dan tindakan tersebut meliputi :
(1) penyuluhan mengenai penyakit asma kepada keluarga
(2) menjauhi bahan-bahan yang dapat menimbulkan serangan asma dan faktor pencetus
timbulnya asma
(3) imunoterapi berdasarkan kelayakan
Penderita asma, sesuai dengan batasannya mempunyai kepekaan yang berlebihan pada
saluran pernapasan. Oleh sebab itu, menjauhi paparan bahan iritan adalah mutlak. Bahan
iritan

dan

alergen

dapat

menimbulkan

keluhan

akut

dan

juga

meningkatkan

hyperresponsiveness saluran pernapasan. Gas iritan yang tidak spesifik meliputi asap rokok,
debu, bau yang berlebihan, polusi bahan pabrik dan polusi yang berasal dari lingkungan. Pada
orang alergi, bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan asma dan cara pencegahan yang
paling baik ialah menghindari kontak dengan bahan-bahan tersebut. Pengobatan imunoterapi
dapat diberikan.1,7

Tujuan pengobatan medikamentosa adalah menghilangkan obstruksi saluran napas. Obatobatan yang dipergunakan meliputi bronkodilator dan anti keradangan atau keduanya. obat
anti inflamasi dapat mencegah terjadinya proses peradangan lebih lanjut. Bronkodilator
bekerja dengan cara mengendurkan kontraksi otot polos bronkus.
Obat anti inflamasi meliputi :
kortikosteroid
sodium cromolyn atau cromolyn-like compound (Anti Inflamasi Non Steroid)
anti inflamasi lainnya
Obat bronkodilator meliputi :
beta adrenergik agonis
metilsantin
antikolinergik
Bronkodilator dan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parenteral atau inhalasi.
Kortikosteroid
Merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan obstruksi jalan napas yang reversibel.
Meskipun mekanismenya belum seluruhnya jelas, namun dalam percobaan ternyata
kortikosteroid dapat mempercepat katabolisme imunoglobulin (termasuk IgE). Di samping
itu, kortikosteroid menghalangi kerja enzim fosfolipase yang mampu mengubah fosfolipid
membran sel menjadi mediator yang berpotensi tinggi menimbulkan bronkospasme, dan yang
terpenting kortikosteroid dapat :
menghalangi metabolisme asam arakhidonat dan menghambat pembentukan leukotrien dan
prostaglandin
menghalangi pergerakan dan aktivitas sel-sel radang secara langsung
meningkatkan respon reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek. Hasilnya cukup baik untuk mengurangi
lama dan seringnya serangan eksaserbasi akut. Pemberian kortikosteroid oral sedini mungkin

pada serangan eksaserbasi akut dapat menghambat beratnya penyakit, mengurangi timbulnya
kasus darurat paru, mengurangi seringnya masuk RS, dan apabila masuk RS lama raawatnya
jadi lebih pendek. 2,5,7
Pada pemberian kortikosteroid per oral, obat mulai bekerja 3 jam setelah pemberian,
mencapai puncak setelah 6-12 jam. Pengobatan asma akut jangka pendek yang memakai
kortikosteroid per oral dosis tinggi (1-2 mg/kg BB pada anak-anak) dapat diberikan 5-10 hari,
kemudian

dosis

obat

diturunkan

perlahan-lahan.

Sedangkan

dosis

pemeliharaan

(maintenance) diberikan bila Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) stabil dan mendekati nilai
normal.
Kortikosteroid aerosol per inhalasi merupakan cara pengobatan pertama untuk asma sedang
maupun asma berat sesuai dengan patogenesis adanya keradangan dan hyperresponsiveness
saluran napas.
Sodium kromolin
Merupakan obat anti-inflamasi non-steroid untuk asma yang dianggap cukup penting dan
baik. Mekaniasme kerja obat ini belum sepenuhnya diketahui, namun teori daasarnya adalah
sebagai stabilisator sel mast dan mencegah pelepasan mediator. Pemakaian sodium kromolin
untuk profilaksis dapat mencegah reaksi cepat atau lambat yang dapat menimbulkan
penyempitan saluran napas setelah terpapar dengan alergen atau setelah latihan jasmani,
ataupun setelah menghirup udara dingin.6,7
Sodium Nedokromil
Obat ini merupakan modifikasi dari kromolin, berbentuk tablet dan pemberiannya per oral,
susunan molekulnya lebih sederhana daripada kromolin. Bekerja sebagai stabilisator
membran yang bekerja 40x lebih baik daripada sodium kromolin.
Ketotifen
Obat ini mempunyai anti histamin dan dapat dipakai untuk pengobatan asma ringan.
Pengaruh sampingannya adalah sebagai zat penenang.
Bronkodilator
Spasme otot polos bronkus merupakan faktor utama yang menimbulkan obstruksi pada asma.
Obat-obatan beta-adrenergik agonis teofilin dan antikolinergik terbukti dapat mengendorkan

spasme otot polos tersebut. Karena setiap obat tadi mempunyai mekanisme kerja yang
berbeda, maka pemakaian obat-obatan secara gabungan akan menambah efek masing-masing
obat tersebut. Obat-obatan tersebut meliputi :
Adrenergik : suatu bronkodilator yang spesifik
Epinefrin (Adrenalin)
Epinefrin sangat poten, kerjanya cepat secara parenteral. Efek terapeutiknya pendek, kecuali
kalau larutannya digabungkan dengan suspensi lain yang mengandung aluminium. Epinefrin
merupakan gabungan alfa dan beta adrenergik agonis. Pemberian subkutan dengan dosis 0,01
mg/kg BB, menghasilkan bronkodilator cepat, tetapi dengan adanya alfa adrenergik yang
mempunyai aktivitas kuat, pemakaian epinefrin harus dibatasi pada penderita tua, terutama
yang menderita penyakit jantung iskemik. Karena obat ini dapat menimbulkan efek samping
seperti iskemi miokard, aritmia, dan hipertensi sistemik. Kontra indikasi ini tidak berlaku
pada semua penderita yang mengalami eksaserbasi.3,8
Efedrin
Obat ini merupakan suatu bronkodilator ringan. Sering dikombinasikan dengan aminofilin
dan sedatif, tetapi penggunaannya terbatas pada serangan asma ringan
Isoproterenol
Obat ini diberikan secara inhalasi dengan menggunakan nebulizer dan dalam dosis kecil.
Kerja obat baru tampak setelah 5 menit pemberian dan waktu kerja obat sangat pendek, yaitu
kurang dari 2 jam. Penderita yang mengalami serangan asma berat dapat diberikan per
injeksi. Hati-hati pemberian obat pada penderita sakit jantung.
Beta-adrenergik Agonis Selektif
Obat ini bekerja selektif sebagai bronkodilator pada reseptor beta 2 otot polos bronkus,
sehingga terjadi pelebaran saluran napas serta memperlambat terlepasnya mediator sel mast
dan basofil. Bila diberikan per oral lama kerjanya 4-6 jam, namun bila diberikan secara
aerosol efek obat lebih lama sekitar 12-18 jam. Pemberian aerosol juga dapat mengurangi
pengaruh sampingan berdebar-debar, cemas, gemetar dibandingkan dengan pemberian per
oral atau parenteral dan pemberian secara inhalasi lebih rasional, baik untuk pencegahan
maupun eksaserbasi akut, karena asma merupakan penyakit saluran napas

Non Adrenergik Bronkodilator


Teofilin
Teofilin dan derivatnya merupakan obat asma kelompok pertama yang sering dipakai. Untuk
pengobatan asma akut tersedia dalam bentuk tablet tipis dengan kerjanya yang cepat, namun
tidak dipakai sebagai maintenance drug karena cepat pula dimetabolisir,. Untuk pemakaian
long acting tersedia dalam bentuk tablet sustained-release yang efek bronkodilatornya 12-24
jam, sehingga dapat dipakai 2x sehari. Teofilin menghambat enzim fosfodiesterase , sehingga
5-cAMP tidak terbentuk dan konstriksi bronkus tidak terjadi. Teofilin juga bekerja melawan
adenosin yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi, meningkatkan pelepasan katekolamin
dalam tubuh., mempengaruhi aliran kalsium dalam sel, mempercepat terjadinya ikatan cAMP
dengan protein menjadi cAMP-protein dan mengurangi kelelahan otot diafragma. Teofilin
bebas dapat menembus plasenta, sehingga kadar teofilin di dalam janin pada waktu lahir
sama dengan kadar teofilin dalam serum ibunya. Namun, sampai saat ini tidak menyebabkan
kelainan kongenital walaupun bayi mengalami keracunan teofilin. 1,5,6,7
Obat-obat antikolinergik
Atropin, prototipe kolinergik, digunakan sebagai obat asma terbatas karena efek samping
yang sering terjadi. Atropin diserap tubuh melalui mukosa. Namun obat sintetiknya banyak
dipakai pada pengobatan penderita penyakit paru obstruktif menahun, yakni ipratropium
bromida, dan merupakan obat yang mempunyai kemampuan bronkodilatasi 2x lipat dengan
waktu kerja yang jauh lebih lama dibandingkan dengan atropin itu sendiri. Kombinasi anti
kolinergik dengan obat golongan adrenergik akan menghasilkan relaksasi otot polos bronkus,
dengan cepat dan lebih lama.
Kelompok obat asma
Obat asma dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller).
Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini
digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat tidak digunakan lagi atau diberikan
hanya bila perlu. Jenis obat pereda yang biasa digunakan, yaitu :
- Bronkodilator : terdiri dari simpatomimetik, santin, dan antikolinergik

- Simpatomimetik contohnya adrenalin, ephedrin, 2 Agonis


- Santin contohnya teofilin, aminofilin
- Antikolinergik contohnya iptropium bromide
- Kortikosteroid. Contohnya : kortison, hidrokortison, prednison, kenacort
- Mukolitik. Contohnya : obat batuk putih (OBP), obat batuk hitam (OBH), bisolvon
Obat pengendali yang disebut juga obat pencegah atau obat profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Dengan demikian
pemakaian obat ini terus-menerus diberikan walaupun sudah tidak ada gejalanya. Lama
pengobatan tergantung keadaan asma dan tujuannya. Pemberiannya diturunkan pelan-pelan
yaitu 25% setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6-8 minggu. Jenis obat
pengendali yang biasa digunakan : bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik, ketotifen. 7,8
Tatalaksana serangan asma
Pengobatan Medikamentosa pada derajat serangan pada dasarnya selalu diawali dengan
tatalaksana awal berupa :
pemberian nebulisasi - agonis dengan penambahan garam fisiologis, yang dapat diulang 1
3 x selang 20 menit
pada pemberian ketiga nebulisasi ditambah antikolinergik
pada serangan berat, langsung berikan nebulisasi agonis dikombinasikan dengan
antikolinergik
pada pasien dengan serangan berat yang diserai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin
akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap
nebulisasi agonis cukup diberikan 1x nebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
Kemudian, tatalaksana disesuaikan dengan derajat serangan :
(1) serangan asma ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respon yang baik (complete response),
berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 12 jam, jika respons tersebut

bertahan berarti serangan telah berakhir, pasien dapat dipulangkan dan dibekali obat agonis
(hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4 6 jam. 8
Jika pencetus serangannya adalah virus dapat ditambahkan steroid oral dalam jangka
pendek (3 5 hari)
(2) serangan asma sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi 2 -3 kali , pasien hnaya menunjukkan respon parsial
(incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai
ulang derajatnya.
Steroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kg BB/hari selama 3-5 hari
Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain dapat digunakan spacer
yang dihubungkan dengan obat inhaler ( MDI = Matered Dose Inhaler ) . pada serangan asma
ringan dan sedang , metode ini sama efektifnya dengan pemberian nebulisasi, sedangkan pada
serangan berat nebuliser masih lebih unggul.
Dengan bantuan spacer, deposit obat di paru paru akan lebih besar dibandingkan dengan
MDI tanpa spacer.3,8
(3) serangan asma berat
Bila dengan tiga kali nebulisasi berturut- turut pasien tidak menunjukkan respon buruk ( poor
response ), yaitu tanda dan gejala serangan masih ada ( pemakaian ulang sesuai pedoman )
maka pasien harus dirawat diruang inap. Dalam derajat ini Pasien harus segera ditangani
denagn pemberian oksigen. Oksigen 2- 4 L / menit diberikan sejak awal harus diberikan
termasuk saat nebulisasi.. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak
penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan satu kali
langsung dengan agonis dan antikolinergik ( Ipratropium bromida ). Dahulu keadaan ini
disebut dengan status asmatikus.
Pada keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan tatalaksana yang biasanya adalah keadaan
dehidrasi, asidosis dan adanya gangguan ventilasi akibat atelektasis.
Terapi non-medikamentosa serangan asma :

Oksigen 4 L/menit, Mencegah anak terpapar zat / allergen/ kondisi ( cuaca ) yang dapat
memacu timbulnya serangan asma, Edukasi kepada pihak keluarga anak yang menderita
asma mengenai derajat penyakit dan derajat serangan asma, Diet yang bergizi, cukup istirahat
atau Berenang. 1,9
Kasus yang perlu segera dirujuk ke Rumah Sakit terdekat adalah ketika pasien menunjukkan
gejala dan tanda henti napas. Di IGD RS harus segera dilakukan foto toraks untuk mendeteksi
sedini mungkin adanya komplikasi pneumotoraks/ pneumomediastinum, meskipun menurut
data statistik yang didapatkan komplikasi ini jarang terjadi.
Cara pemberian obat asma
1. Peroral
2. Perinhalasi/aerosol
Umur

Alat Inhalasi

< 2 tahun

Nebuliser

MDI
dengan
spacer
Aerochamber, Babyhaler

5-8 tahun

Nebuliser

MDI dengan spacer

DPI : Diskhaler,Turbuhaler

Nebuliser

MDI dengan spacer

DPI

MDI tanpa spacer

> 8 tahun

Intramukuler
5. Intravena
Terapi medikamentosa jangka panjang
Asma episodik jarang

3.
Subkutan
4.

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator agonis
hirupan kerja pendek (short acting 2 agonis) atau golongan santin kerja cepat bila perlu,
yaitu jika ada gejala atau serangan. Anjuran pemakaian tidak mudah dilakukan mengingat
obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu, pemakaian
obat hirupan memerlukan teknik penggunaan yang benar. 1,4,5
Asma episodik sering
Jika penggunaan obat pereda sudah lebih dari 3x perminggu atau serangan sedang/berat
terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali
sudah terindikasi. Berarti derajat asmanya sudah termasuk episodik sering atau pasien sejak
semula menunjukkan gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan kriteria episodik sering.
Anti-inflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat , dengan dosis minimum 10
mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya.
Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjasi 2-3 kali perhari.
Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan efek
sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan obat satu
golongan dengan kromoglikat namun lebih poten dan tidak menyebabkan batuk. Dapat
diberikan pula obat pencegahan berupa steroid hirupan dosis rendah 100-200 g/1 hari.8
Asma persisten
Jika setelah 6-8 minggu pemberian steroid hirupan dosis rendah gagal dan obat serangan
tetap diperlukan 3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk asma persisten. Sebagai
obat pengendali atau pencegahan pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan dosis 200400 g/1 hari yang masih termasuk dosis rendah. Steroid hirupan biasanya efektif dengan
dosis rendah sampai medium yaitu 100-400 g. Diatas 400 g/hari dilaporkan adanya
pengaruh efek sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 g/hari agaknya mulai
berpengaruh terhadap poros hipotalamus-pituitary-adrenal sehingga dapat berdampak
terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan
alat pmberi jarak berupa perenggang ( spacer ) yang akan mengurangi deposisi didaerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan
klinis yang mantap selama 1-3 bulan, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap ( step

down ) sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara
itu penggunaan obat pelega/obat serangan tetap diberikan bila perlu saja.9
Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma.
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan pada sebagian besar anak dengan asma. Di
samping itu, hiperaktivitas saluran napas merupakan faktor yang penting. Bila tingkat
hiperreaktifitas bronkus tinggi, diperlukan jumlah alergen yang sedikit untuk menimbulkan
serangan asma, dan sebaliknya. 7,9
Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergenik sehingga
berhubungan dengan umur.
Pada bayi dan anak kecil berhubungan dengan isi debu rumah, misalnya tungau, serpih atau
bulu binatang, dan spora jamur yang terdapat di dalam rumah
Dengan bertambahnya umur, makin banyak jenis alergen pencetusnya
Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebabnya biasanya virus
respiratory sinsitial dan virus parainfluenza. Kadang-kadang dapat juga oleh bakteri,

misalnya pertusis dan streptococcus hemolyticus. Jamur, misalnya aspergillus. Parasit,


misalnya ascaris
Iritan
Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi, Udara kering juga
merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani, atau Asap rokok, bau tajam dari cat,
udara dingin, dan air dingin
Cuaca
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin, dan kelembaban dihubungkan
dengan percepatan dan terjadinya serangan asma
Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat, misalnya berlari dan naik sepeda dapat menimbulkan serangan
pada anak dengan asma, termasuk tertawa dan menangis. Pada anak dengan faal paru di
bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani
Infeksi saluran napas bagian atas
Sinusitis kronik dapat memudahkan terjadinya asma, atau Rhinitis alergi dapat memberatkan
asma melalui mekanisme iritasi atau refluks. 10
Refluks gastroesofagus
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak
Psikik
Tidak adanya perhatian atau tidak mau mengakui persoalan yang ada yang berhubungan
dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau bahkan
menggagalkan usaha pencegahan , Takut terhadap serangan asma , atau Pembatasan aktivitas
anak, seringnya anak tidak masuk sekolah, seringnya bangun malam
Epidemiologi
Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma meningkat, baik pada anakanak maupun dewasa. Di negara-negara maju, peningkatan berkaitan dengan polusi udara
dari industri maupun otomotif, interior rumah, gaya hidup, kebiasaan merokok, pola

makanan, penggunaan susu botol dan paparan alergen dini. Asma mempunyai dampak negatif
pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak sering tidak
masuk sekolah dan total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak).
Terdapat variasi prevalensi, angka perawatan, dan mortalitas asma, baik regional maupun
lokal, perbedaaan tersebut belum jelas apakah prevalensi memang berbeda atau karena
perbedaan kriteria diagnosis.
Untuk mengatasi hal tersebut telah dilaksanakan penelitian multisenter di beberapa negara
menggunakan definisi asma yang sama, dengan menggunakan kuesioner standart. Salah satu
penelitian multisenter yang dilaksanakan yaitu International Study of Asthma and Allergy in
Children (ISAAC).
Telah dilakukan penelitian ISAAC fase I pada tahun 1996, yang dilanjutkan dengan ISAAC
fase III pada tahun 2002. Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara, meliputi
155 senter, pada anak usia 6 -7 tahun dan 13 - 14 tahun. Penelitian ISAAC menggunakan
kuesioner standar dengan pertanyaan : Have you (your child) had wheezing or whistling in
the chest in the last 12 months? Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun
yang terendah di Indonesia (1,6%) dan yang tertinggi di Inggris, sebesar 36,8%. 9,10
Survey mengenai prevalens asma di Eropa telah dilakukan di 7 negara (Asthma insights &
Reality in Europe = AIRE) meliputi 73.880 rumah tangga, yang berjumlah 213.158 orang.
Hasil survei mendapatkan prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%. Penelitian
mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa pusat pendidikan, namun
belum semuanya menggunakan kuesioner standar.
Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya kunjungan penderita asma dibawah usia 5 tahun di
Instalasi Rawat Darurat pada tahun 1997 adalah 239 anak dari 8994 anak ( 2,6 %), pada tahun
2002 adalah 472 anak dari14.926 anak ( 3,1 %).
Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, antara lain
umur, gender, ras, sosio-ekonomi

dan faktor

lingkungan.

Faktor-faktor tersebut

mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, derajat
asma dan kematian karena penyakit asma.
Patofisiologi

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak
dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya
gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah
untuk mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan
dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan
reaktivitas saluran napas.Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik.
Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala. Pada banyak
kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi
melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikaan
kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa. 8,10
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan
fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc
reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen
serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel
mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin
D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot
bronkus, hipersekresi kelenjar, oedema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil.
Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih
kembali( serangan asma hilang) dengan pengobatan. Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses
selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3,
IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan
mengaktifkan sel-sel radangn: eosinofil, basofil, monosit dan limfosit.
Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam
produksi sitokin.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th1 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat . Masing- masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi.
Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein
(ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator

inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4,
PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag mensekresi IL8,
platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T cell expression and
presumably secreted (RANTES) .Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi
tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi,
kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada
rangsangan spesifik maupun non spesifik.Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,
penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel
bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat. 1,5,9
Remodeling Saluran Napas
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi
saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair.
Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti
eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan
kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan
mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia.
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth
Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening),
hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan
semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen
bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus
yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma
ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan
bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.

Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita
telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling. 7,10
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara
yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang
dihubungkan dengan gejala khas pada asma ; batuk, sesak dan wheezing dan disertai
hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan
terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang
ditemukan.
Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema
dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks membungkuk ke depan dan
memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung
menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi
bentuk dada burung dara (pektus karinatum/piegon chest) dan tampak sulkus Harrison. Bila
sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah atelektasis. Bila
atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiaktasis, dan bila ada infeksi akan
terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus-menerus dan berlangsung beberapa hari
serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan, yang biasa disebut status asmatikus,
bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan pernapasan,
dan kegagalan jantung.8,9
Keadaaan rujukan :
Respons bronkodilator tidak segera , ada tapi kurang dari 3 jam, Setelah pemberian
kortikosteroid tidak ada perbaikan dalam 2-6 jam, Pulsus paradoksus > 155 mmHg, Saturasi
O2 < 91 %, Dispnea berat, Sianosis, atau Kesadaran menurun
Pencegahan
Upaya pencegahan asma pada anak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pada anak yang
asmanya belum bermanifestasi dan yang telah bermanifestasi.

Tindakan pencegahan pada anak yang belum bermanifestasi :


Mensegah terjadinya sesitisasi pada anak ; walau faktor genetic merupakan faktor penting,
tetapi manifestasinya dipengaruhi faktor lingkungan. Penghindaraan terhadap makananmakanan yang mempunyai tingkat alerginitis tinggi baik pada ibu hamil dan yang menyusui
maupun sang anak, Orang tua, terutama ibu dianjurkan tidak merokok, Pencegahan terjadinya
infeksi saluran nafas dan akibatnya, atau Pemberian asi eksklusif akan memberikan
kekebalan dan efek imunologis pada anak. 11
Tindakan pencegahan pada anak yang telah bermanifestasi ;
Menghindarkan faktor pencetus ; alergan makanan, inhalan, bahan iritan, infeksi
virus/bakterial, hindari latihan fisik yang berat, perubahan cuaca dan emosi sebagai faktor
pencetus, atau Penggunaan obat-obatan, untuk mengatasi serangan asma.
Hal-hal yang harus diperhatikan pda asma anak
Hindari makan makanan yang mengandung kola, bersoda, kacang-kacangan, minuman
dingin/es, goreng-gorengan.
Hindari tungau debu yang sering terdapat pada debu kasur dan bantal kapuk, selimut, lantai,
karpet gordin , perabot rumah . sebaiknya laci / rak dibersihkan dengan lap basah, gordin dan
selimut dicuci setiap 2 minggu , karpet, majalah, mainan , buku dan pakaian yang jarang
dipakai diletakkan di luar kamar tidur dan lantai dipel setiap hari.
Hindarkan zat-zat yang mengiritasi ; obat semprot rambut, minyak wangi, asap rokok, asap
obat nyamuk , bau cat yang tajam, bau bahan kimia, udara yang tercemar,udara dan air
dingin.
Sebelum melakukan aktivitas fisik sebaiknya jangan melakukan aktivitas fisik yang berat,
sebelum melakukan aktivitas fisik sebaiknya melakukan pemanasan terlebih dahulu, dan jika
perlu pemberian obat sebelum beraktivitas.
Prognosis
Prognosis jangka panjang asma pada anak umumnya baik. Sebagian asma anak hilang atau
berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang
pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. 20%
asma episodik sering sudah tidak timbul pada masa akil balik, 60% tetap sebagai asma

episodik sering, dan sisanya sebagai asma episodik jarang. Hanya 5% dari asma
kronik/persisten yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik
sering, hampir 60% tetap menjadi asma kronik/persisten, dan sisanya menjadi asma episodik
jarang. Secara keseluruhan, dapat dikatakan 70-80% asma anak bila diikuti sampai umur 21
tahun asmanya sudah menghilang. 9,11
Faktor yang dapat mempengaruhi prognosis anak adalah
- Umur ketika serangan timbul, seringnya serangan asma, berat-ringannya serangan asma,
terutama pada 2 tahun sejak mendapat serangan asma
- Banyak sedikitnya faktor atopi pada diri anak dan keluarganya
- Menderita/pernah menderita eksema infantil yang sulit diatasi
- Lamanya minum ASI
- Usaha pengobatan dan penanggulangannya
- Apakah ibu/bapak atau teman sekamar atau serumah. Polusi udara yang lain di rumah atau
di luar rumah juga dapat mempengaruhi
- Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan pada waktu meneteki
- Jenis kelamin, kelainan hormonal
3. Kesimpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses inflamasi yang
disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu yang
berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang,
asma episodik sering, dan asma persisten. Pada asma episodik jarang hanya diberikan obat
reliever saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering dan persisten diperlukan
terapi jangka panjang (controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan
kortikosteroid dosis rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi
kortiksteroid dosis rendah dan LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi
tersebut dapat memperbaiki uji fungsi paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada
akhirnya meningkatkan kualitas hidup anak asma. Dengan kombinasi di atas, dosis

kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek samping terhadap tumbuh kembang anak dapat
dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan suatu harapan baru dalam tatalaksana asma.
4. Daftar Pustaka
1. Rusepno Hassan, Husein Alatas. Ilmu kesehatan anak .Edisi 3. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2007 : 1203-1228.
2. Alpers, Ann. Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi 20. Jakarta : EGC 2006 : 517-526
3. Richard Behrman. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi 15. Vol 1. Jakarta : EGC 2002 : 775791
4. Hasan S. Pedoman nasional asma anak. Edisi 2. Jakarta : UKK Pulmonologi PP Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2004 : 225-232
5. David Hull. Dasar-dasar pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC 2008 : 322-330
6. Markum,AH. Ilmu kesehatan anak. Jakarta : Balai penerbit FK UI 2006 : 92-101
7. Alfrina Hany. Panduan belajar keperawatan pediatriks. Edisi 3. Jakarta : EGC 2005 : 113118
8. Bambang Supriyatno. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Vol 55 (3).
Jakarta : Majalah Kedokteran Indonesia 2005 : 235-240
9. Staff Pengajar FK UI. Ilmu kesehatan anak. Edisi 4. Jakarta : Info Medika 2003 : 47-55
10. Crefton, Douglass. Respiratory diseases. Edisi 2. Jakarta : EGC 2005 : 379-387.
11. Williams, Phelan. Respiratory illness in children. Volume 3. Jakarta : EGC 2008 : 252259
12. Gastroesophageal reflux in children and adolescents diunduh dari :
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerinchildren/index.htm.Diakses tanggal 20 Juli
2011
13. Kugelman A, Shaoul R. Persistent cough and failure to thrive: A presentation of foreign
body aspiration in a child with asthma. 2006. Pediatrics.;117;1057-1060

You might also like