You are on page 1of 22

PAJAK DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

Totok Harjanto, SE.,M.Tp.


Dosen Tetap FE Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

ABSTRAKSI
Proses pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan pemerintah
orde baru sejak tahun 1969 talah merubah struktur perekonomian Indonesia.
Struktur ekoni sudah bergeser dari strktur ekonomi berbasis pertanian menjadi
struktur ekonomi berbasis industri. Peran pada tahun 1969 sektor pertanian
terhadap PDB bergeser dari 46,9% pada tahun 1969 menjadi 13,8% pada tahun
2010. Sektor industri bergeser dari 8,3 menjadi 26,2%. Hal yang sama juga
terjadi pada tingkat pendapatan perkapita yang sudah berubah dari US$ 100
pada tahu 1969 menjadi US$3000 pada tahun 2011.
Perubahan struktur perekonomian ini terntaya belum dapat diimbangi
dengan peranan masyarakat dalam membiayai program pembangunan melalui
pembayarn pajak. Rasio pajak pada tahun 1969 sebesar 6% telah berubah
menjadi 12% pada tahun 2010. Masih rendahnya rasio pajak ini tentunya akan
menjadi penghambat dalam upaya mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
nasional yang rata rata tumbuh diatas 6 % pertahun. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan tingkat rasio pajak masih dibawah rasio ideal 15% dari PDB yaitu
rendahnya basis pajak, manipulasi pajak, korupsi pajak dan penyelewengan oleh
aparat pajak.

KATA KUNCI: Pajak, dan Pembangunan Ekonomi Nasional.


Pendahuluan
Sejak dilaksanakannya program pembangunan nasional pada tahun
1969, secara bertahap kondisi perekonomian nasional semakin lama semakin
meningkat. Hal ini ditandai dengan peningkatan GDP perkapita masyarakat
kurang dari US$ 100 menjadi sekitar US$ 3000 pada tahun 2011. PDB
Indonesia pada tahun 2011 sekitar US$ 854 milyar. Peningkatan GDP perkapita
yang sangat signifikan ini tentunya harus disertai dengan tersedianya dana
untuk pembangunan ekonomi sehingga proses pembangunan ekonomi dapat
berlangsung secara berkelanjutan. Pada sisi lainnya laju pertumbuhan ekonomi
nasional tercatat rata -rata tumbuh di atas 6 % pertahun, laju ini sempat
mengalami penurunan pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998 yang
menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. Perubahan sistem
politik pada tahun 1999 menyebabkan adanya perubahan dalam kebijakan
ekonomi makro yang menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi
H a l a m a n | 44
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

kembali di atas 6 % pertahun. Prestasi ekonomi tersebut menempatkan


Indonesia menjadi negara anggota G 20 dan saat ini akan menjadi kelompok
negara Industri bersama Brasil, India, China dan Rusia.
Pada awal pembangunan ekonomi sumber dana pembangunan banyak
bertumpu pada sektor migas sebagai penyumbang anggaran pembangunan
nasional. Hal ini terlihat pada tahun 1980 yang tingkat sumbangan sektor migas
mencapai 13% dari PDB. Ketersediaan cadangan migas yang terus berkurang
menyebabkan sumbangan sektor migas mengalami penurunan . Untuk menjaga
proses pembangunan ekonomi maka sektor pajak harus mampu menjadi sumber
pembiayaan pembangunan nasional. Pada awal pembangunan peranan sektor
pajak masih sekitar 6 % dari PDB nasional jumlah tersebut semakin lama
semakin meningkat sehingga mencapai 13% dari PDB pada tahun 2010. Rasio
pajak tersebut masih dapat ditingkatkan menjadi 15% dari PDB. Untuk itu
diperlukan perubahan dalam sistem perpajakan dan berbagai kebijakan yang
tujuannya menekan tingkat kebocoran dari sektor pajak sebagai akibat dari
sistem pemungutan maupun peraturan hukum yang masih lemah. Jumlah wajib
pajak masih rendah, penyalahgunaan kewenangan aparat pajak, manipulasi
pajak , korupsi dan beragam kejahatan pajak lainnya menunjukkan bahwa
tingkat penarikan pajak masih jauh dibawah 15% dari PDB nasional.
Sementara dari jenis pungutan pajaknya dapat dibedakan menjadi pajak
yang dipungut oleh pemerintah pusat dan pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah. Pajak dari pemerintah pusat meliputi; PPH, PPN, PBB, Pajak ekspor,
Bea Masuk, Cukai, serta beberapa pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
seperti PKB, Pajak reklame, Pajak Hotel dan restoran. Fokus utama dalam
penulisan ini adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Secara garis
besarnya pajak yang dipungut pemerintah pusat terdiri dari pajak langsung dan
pajak tidak langsung (Sadono Sukirno 1997).

KAJIAN TEORI
Pengertian pajak
Ada beberapa definisi mengenai pajak, menurut Rochmat Soemitro
(1977) pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving
yang merupakan sumber utama untuk membiayai investasi publik. Sementara
Djayadiningrat (1965) mendefinisikan pajak sebagai suatu kewajiban untuk
menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu
keadaan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa balik
dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum. Sementara
Adriani mendefinisikan pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
H a l a m a n | 45
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi


kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., &
Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke
sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya
dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran
bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama,
berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk
kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan
keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan
kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk
memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang
dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya
kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib
pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian
secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat
dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang."
H a l a m a n | 46
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang


dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar
pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya
dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila
wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas
negara/anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi
dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua
jenis yaitu:
Pajak Nasional
Sering disebut juga pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Pusat yang terdiri dari:
Pajak Penghasilan, diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun
2008.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali
dengan UU No. 42 Tahun 2009.
Bea Materai , UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
Bea Masuk, UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang
Kepabeanan.
Cukai, UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang
Cukai.
Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut
jenis-jenis pajak daerah:
Pajak Provinsi terdiri dari:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.

H a l a m a n | 47
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:


a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Secara umum ada beberapa undang undang yang mengatur tentang pajak
yang berlaku di Indonesia. Undang -undang tersebut adalah;
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan stdd Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah stdd Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2009.
4. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan stdd
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai stdd UndangUndang Nomor 39 Tahun 2007.
Pajak dapat dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak
langsung, pajak langsung berarti jenis pungutan pemerintah secara langsung
dikumpulkan dari pihak yang wajib membayar pajak. Setiap individu yang
bekerja dan perusahaan yang menjalankan kegiatan dan memperoleh
keuntungan wajib membayar pajak. Pajak yang dipungut dan dikenakan atas
pendapatan pendapatan mereka dinamakan pajak langsung, yaitu pajak yang
secara langsung dipungut dari orang yang berkewajiban untuk membayar pajak.
Sementara pajak tak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dipindah
pindahkan ke pihak lain. Biasanya , pada akhirnya yang akan menanggung
beban pajak tersebut adalah para konsumen ( Soekirno 1997) . Selanjutnya
dikatakan bentuk pungutan pajaknya terdiri dari pajak regresif, pajak
proposional dan pajak progresif.
Menurut Partadiredja (1983) penerimaan dalam negeri terdiri dari pajak
langsung dan penerimaan bukan pajak. Pajak langsung adalah pajak yang
dipungut secara periodic menurut kohir dan pajak tidak langsung adalah pajak

H a l a m a n | 48
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

yang hanya dipungut pada suatu ketika terdapat suatu peristiwa atau perbuatan,
pajak ini tidak dipungut dengan surat ketetapan pajak jadi tidak ada kohirnya.
Secara umum sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia adalah
1. Official assessment system.
2. Semi self assessment system.
3. Full self assessment system.
Pajak dan penerimaan Negara lainnya menjadi sumber penerimaan
pemerintah untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah. Pengeluaran
pemerintah dalam bentuk APBN ini yang kemudian akan mendorong kegiatan
ekonomi nasional.
Pemungutan pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu
rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar
tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
persyaratan yaitu:
Pemungutan pajak harus adil, Seperti halnya produk hukum pajak pun
mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak.
Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat
sebagai wajib pajak
3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan
berat ringannya pelanggaran
Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang Undang, Sesuai dengan
Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU
tersebut harus dijamin kelancarannya
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara
umum
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian, Pemungutan pajak
harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi
perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan
pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat
lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.

H a l a m a n | 49
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Pemungutan pajak harus efisien, Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam


rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang
diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena
itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam
pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana, Bagaimana pajak dipungut
akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang
sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang
harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak
untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika
sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu
10%
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang
berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
Asas Pemungutan Pajak
Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli
yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain:
Adam Smith, pencetus teori The Four Maxims
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang
terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan
dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif
terhadap wajib pajak.
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum.
Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak
lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2. Asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

H a l a m a n | 50
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan
yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecilkecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak
sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut:
Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan,
pajak untuk barang-barang mewah
Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana
harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya)
dan besarnya biaya pajak.
Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada
orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai
keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan
yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk
keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat
menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasardasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas
dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk
pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh
negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut
merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
H a l a m a n | 51
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam


kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan
dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut
asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan
menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep
pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu
maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept).
2. Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan
pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu
diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan
dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak
menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan
yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan
pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari
negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh
pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle): Dalam asas ini,
yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan
dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas
ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan
dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem
pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan
cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak
atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau
kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak,
dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang
disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara
untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan
pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau
berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara
(dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi
objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber,
yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek
yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status
dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan
tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama,
H a l a m a n | 52
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja


(world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang
dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan
yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang
bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi
mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas
sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan
ketiganya sekaligus.
Misalnya di Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur
mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.
Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus
dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk
orang pribadi.
Sementara di Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan
penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili, di mana
berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak
penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang
diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan
penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri
berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang
diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Sedangkan di Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun
swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh
penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu,
untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari
sumber yang ada di Australia.
Teori pemungutan
Menurut R. Santoso Brotodiharjo , dalam bukunya Pengantar Ilmu
Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak,
yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk
melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan
tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi
diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap

H a l a m a n | 53
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang


karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah
adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk
kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat
kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus
dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya
bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi
daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan
lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi:
1. Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung kepada
wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
2. Pajak tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang harus
dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang secara tidak
langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan
sebagainya.
Berdasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi:
1. Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan
dan laba dari usaha seseorang, perseroan terbatas/unit lain.
2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya
penjualan barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
3. Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha
seperti perusahaan bank dan sebagainya.
Pajak berdasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi:
1. Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan yang
dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan
kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan
daerah sendiri.
2. Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan/badan usaha
lain yang modalnya/bagiannya terbagi atas sahamsaham.
3. Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi/pajak gelap dan
merupakan sumber korupsi.
4. Pajak transit adalah pajak yang dipungut di tempat tertentu yang harus
dilalui oleh pengangkutan orang/barang dari suatu tempat ke tempat
lain.
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan sering dirumuskan sebagai proses perubahan yang
terencana dari situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain (Kazt
1971). Sementera Mubyarto (1993) menyatakan bahwa pembangunan adalah
proses perbaikan . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan
H a l a m a n | 54
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

merupakan proses perubahan yang terencana dari situasi yang satu ke situasi
lain yang lebih baik. Sukirno (1985) menyatakan pembangunan ekonomi dapat
didefinisikan sebagai suatu proses peningkatan pendapatan perkapita penduduk
suatu masyarakat dalam jangka panjang. Program pembangunan di Negara kita
sudah dimulai sejak tahun 1948 yang dikenal dengan rencana Hatta dan
kemudian diikuti dengan rencana Kasimo. Pada tahun 1951 disusun Rencana
Urgensi Untuk Pembangunan Industri yang dikenal Soemitro Plan. Tujuan
program ini adalah industrialisasi perekonomian Indonesia yang dikenal dengan
program Banteng. Kemudian diikuti dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun I tahun 1955-1959 (RLPT I) yang diikuti dengan PNSB 1960-1969.
Program pembangunan ekonomi nasional ini mengalami kegagalan sehingga
menimbulkan krisis ekonomi ( Harjanto 2000)
Perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru maka terjadi perubahan
kebijakan dengan menjalankan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Program pembangunan ekonomi dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu
25 tahun yang dikenal sebagai PJP I. Menurut Asmara (1986) dalam
pelaksanaan pembangunan ini digunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi
sebagai strategi dalam mencapai tujuan nasional. Strategi ini menekankan
bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya dapat dilakukan dengan
melakukan pembangunan ekonomi nasional untuk meningkatkan pendapatan
perkapita penduduk. Dengan pendapatan perkapita penduduk yang tinggi maka
kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan.

METODOLOGI PENELITIAN
Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder , data
data tersebut diperoleh dari data APBN dari periode tahun 1970 sampai tahun
2010 yang diperoleh dari BKF Kementrian Keuangan, BPS dan Bank
Indonesia. Data ditabulasikan dalam bentuk tabel-tabel tersebut kemudian di
diskripsikan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh peranan pajak
dalam pembangunan ekonomi nasional.
Metoda Pengumpulan Data
Data ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari data-data yang
diterbitkan oleh BPS maupun departemen keuangan. Data di kumpulkan dari
penerbitan laporan APBN dari periode 1970 sampai 2010. Berdasarkan jenisnya
data diklasifikasikan dalam beberapa kelompok data sesuai dengan fungsi data
bagi penelitian.
Analisa Data
Penelitian ini adalah penelitian diskriptif yang tujuannya memberikan
gambaran secara komprehensif mengenai pajak dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Dengan mengetahui gambaran tersebut maka dapat
H a l a m a n | 55
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

diketahui peran dari pajak dalam mendukung kesinambungan pembangunan


ekonomi nasional . Data data disajikan dalam bentuk table table yang
selanjutnya dianalisa menurut perkembangan waktu dan komposisi dari
komponen pajak.

HASIL PENELITIAN
Fungsi Pajak Dalam Ekonomi
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgetair) , Sebagai sumber pendapatan negara, pajak
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan,
negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti
belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin.
Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai
kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini
terutama diharapkan dari sektor pajak.
2. Fungsi mengatur ( regulated ), Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan
ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak
bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam
rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar
negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam
rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea
masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas, Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain
dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan, Pajak yang sudah dipungut oleh negara
akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk
juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka
kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.

H a l a m a n | 56
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Perkembangan Ekonomi Indonesia


Dalam penelitian ini tujuan utamanya adalah memberikan gambaran
secara komprehensif perkembangan pajak selama kurun waktu 1970-2010
dalam kaitanya dengan pembangunan ekonomi nasional. Selama kurun waktu
tersebut telah terjadi perubahan struktur perekonomian Indonesia dari
perekonomian agraris menjadi ekonomi industry. Perubahan struktur ekonomi
tersebut tentu akan mempengaruhi struktur pendapatan masyarakat. Dalam
masyarakat dengan ekonomi industry jumlah lapaisan masyarakat yang
berpendapatan menengah ke atas jauh lebih banyak dibandingkan dengan awal
pembangunan ekonoi Indonesia.
Pada awal pembangunan ekonomi peranaan sector pertanian sebesar
46,9 % dari PDB, sector pertambangan 9,4%, sektor Industri sebesar 8,3 % dari
PDB , sektor Listrik dan gas sebesar 0,4%, sektor bangunan 2,4%, sektor
pengangkutan dan komunikasi 3,3 % dan sektor perdagangan dan jasa- jasa
sebesar 29,3 % dari PDB. Dominasi yang besar di sektor pertanian pada tahun
1970 menimbulkan beragam masalah dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Tingkat kemiskinan cukup tinggi karena luas tanah pertanian yang sempit dan
banyaknya buruh tani mengakibatkan hasil yang di dapat dari usaha pertanian
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat petani. Dengan
banyaknya masyarakat yang bekerja disektor ini maka banyak terjadi fenomena
under employment dan pengangguran terselubung. Dengan demikian tingkat
pendapatan penduduk menjadi rendah karena pekerja tidak mampu bekerja
secara penuh waktu.
Pemerintah orde baru yang menggantikan pemerintahan orde lama
melakukan program pembangunan ekonomi secara besar-besaran yang
didukung dengan investasi asing dan hutang luar negeri. Hasil dari program
pembangunan nasional dapat dirasakan adanya perubahan dalam struktur
ekonomi. Dalam kurun waktu sekitar 40 tahun terjadi perubahan komposisi
PDB Indonesia berdasarkan sektor ekonomi. Pada tahun 2010 peranan sektor
pertanian turun menjadi 13,6 % dari PDB , Sektor pertambangan 8,3 %, sektor
Industri menjadi 26,2 %, sektor listrik dan gas sebesar 0,8 % , sektor bangunan
sebesar 6,4 %, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 8,8% dan sektor
perdagangan dan jasa-jasa menjadi 35,6 %.
Penurunan peranan sektor pertanian dari 46% menjadi 13,6 %
merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi yang dibiayai dengan modal
asing dan hutang luar negri. Peranan sector industri dalam perekonomian
nasional meningkat tajam dari 8,3 % menjadi 26,2 %, hal ini juga terjadi dalam
sector bangunan dan sector pengangkutan yang meningkat masing masing
menjadi 6,4% dan 8,8%. Artinya selama proses pembangunan ekonomi telah
terjadi pergeseran dari perekonomian dengan dominasi sektor pertanian menjadi
perekonomian yang didominasi oleh sektor industri, bangunan dan
H a l a m a n | 57
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

pengangkutan. Perubahan ini tentunya merupakan hasil dari pertumbuhan


ekonomi selama proses pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama ini rata rata tumbuh lebih dari 6 %. Pertumbuhan ekonomi
tersebut telah merubah Indonesia dari negara miskin dengan pendapatan
perkapita kurang dari US$ 100 pada tahun 1970 menjadi sekitar US$ 3000 pada
tahun 2010. (lihat tabel 1).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak lepas dari program kerja
pemerintahan orde baru yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan yaitu;
1. Pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya.
2. Pertumuhan ekonomi yang tingg.i
3. Stabilitas nasional yang dinamis.
Dengan melaksanakan program tersebut secara konsisten harus diakui
bahwa pemerintah orde baru memang berhasil meningkatkan taraf hidup
masyarakat Indonesia dari negara dengan predikat miskin menjadi negara
dengan pendapatan menengah. Memang keberhasilan dalam pembangunan
ekonomi tersebut tidak menafikan bahwa tingkat kebebasan dalam
mengemukakan pendapat dan organisasi sangat dibatasi. Demikian juga dengan
keberadaan partai politik yang tidak berfungsi secara efektif sehingga tidak ada
pengawasan dan control yang efektif dari partai mengakibatkan banyaknnya
penyimpangan dalam proses pembangunan ekonomi. Hali ini mengakibatkan
munculnya ekonomi biaya tinggi yang menghasilakan inefisiensi dalam proses
pembangunan ekonomi. Tinggginya tingkat korupsi dan birokrasi yang panjang
menybabkan daya saing Indonesia dengan negara negara lain menjadi kurang
kompetitif.
Tabel 1. PDB Indonesia Menurut Lapangan Usaha ( Dalam Persen )
Sektor Usaha
Tahun
1969 19741) 1983 19862) 2005 3) 2010
1 Pertanian, kehutanan dan 46,9 38,7 24,01 23,87
perikanan
14.5
13.6
2 Pertambangan
dan 9,4 11,8 18,95 17,67
penggalian
9.4
8.3
3 Industri pengolahan
8,3 10,4 11,14 13,53 28.1
26.2
0,5
0,71
0,77
4 Listrik, gas dan air 0,4
minum
0.7
0.8
5 Bangunan
2,4
4,4
6,24
5,45
5.9
6.4
6 Pengangkutan
dan 3,3
4,0
5,40
5,51
komunikasi
6.2
8.8
7 Perdagangan,
lembaga 29,3 30,2 33,55 33,2
keuangan,
dan
jasa
35.2
35.9
H a l a m a n | 58
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

lainnya
8 PDB
100.0 100.0 100.0
1) Harga konstan 1973
2) Harga konstan 1983
3) Harga Konstan 2000
Sumber : APBN , BPS, Laporan BI diolah

100.0

100.0

100.0

Sementara dilihat dari Neraca Pembayaran Indonesia telah terjadi


perubahan yang sangat signifikan dalam kegiatan ekspor dan impor. Pada awal
orde baru melakukan program pembangunan jumlah cadangan devisa masih
sangat terbatas dengan jumlah ekspor sekitar 1,2 milyar dollar Amerika.
Jumlah ekspor Indonesia terus meningkat tajam sehingga mencapai lebih dari
119 milyar dollar pada tahun 2009 dan terus meningkat menjadi 200 milyar
dollar. Pencapaian kinerja ekspor ini banyak ditunjang oleh ekspor non migas
yang cenderung meningkat menggantikan posisi sector migas. Masalahnya
tingginya laju pertumbuhan ekspor ini ternyata dibarengi dengan laju
pertumbuhan impor sehingga cadangan devisa Indonesia menjadi rendah.Pada
awal pembangunan ekonomi jumlah impor masih sekitar 1,2 milyar US dollar
dengan transaksi berjalan yang massif defisit. Pada tahun 2011 jumlah impor
melonjak menjadi 166 milyar US dollar yang kemudian meningkat lagi menjadi
176 milyar dollar pada tahun 2012. Pada tahun ini juga terjadi defisit dalam
neraca pembayaran Indonesia setelah mengalami surplus selama lebih dari 10
tahun. Peningkatan impor barang dan jasa inilah yang menyebabkan nilai tukar
rupiah terhadap US$ cenderung terus merosot karena banyaknya kebutuan
impor dan transaksi jasa yang masih banyak menggunakan jasa perusahaan
asing.
Kondisi NPI yang cenderung defisit dalam 12 bulan terakhir ini tentu
akan menimbulkan masalah dalam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Nilai kurs valuta asing sudah merosot menjadi sekitar RP 11.000 per 1 US$ ,
nilai ini jauh diatas nilai batas kurs pada tahun 2009/10 yang masihpada kisaran
RP 9000 per 1 US$. Nilai kurs valuta sing ini akan merosot jika perlaku impor
dan peraturan lalulintas devisa tidak dikendalikan pemerintah. Diperlukan
kebijakan yang jelas dan twgas dalam kegiatan ekspor dan impor yang dewasa
ini cenderung liberal. Pengaturan lalulintas devisa perlu agar jumlah devisa dari
hasil impor dapat masuk ke dalam system perbankan nasional demikian pula
kegiatan impor harus dikendalikan sesuai degan kebutuhan ekonomi nasional.
Jika kebijakan ini dijalankan pasar valas akan cenderung stabil karena jumlah
pasokan valas dan permintaannya dapat diketahui secara jelas. ( lihat tabel NPI
Indonesia).

H a l a m a n | 59
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Pajak Dalam Pembangunan


Agar supaya proses pertumbuhan ekonomi terus berlangsung dengan
tingkat pertumbuhan di atas 6 persen pertahun maka diperlukan investasi dalam
jumlah yang sangat besar. Salah satu sumber investasi itu adalah dari sector
perpajakan. Pada awal periode pembangunan ekonomi pernanan ektor pajak
sekitar 6 % dari PDB dengan jumlah pajak sebesar Rp 174 milyar, PDB
Indonesia pada masa itu masih pada kisaran Rp 2,7 trilyun. Pada tahun 1975
peranan sector pajak meningkat menadi 7 % dari PDB dan terus meningkat
pada tahun 1990 menjadi 9%. Pada waktu bonanza minyak pada periode 19801990 peranan sector ini sempat menurun menjadi 5 % dari PDB. Era kejayaan
minyak dengan cepat menyusut sebagai akibat dari tingginya konsumsi minyak
domestic dan melambatnya tingkat produksi minyak domestic.Hal ini tentu
berimplikasi pada pendapatan pemerintah yang masih mengandalkan sector
migas sebagai sumber pembiayaan pembangunan.
Pada tahun 1984 pemerintah melakukan perubahan UU pajak lama
dengan UU pajak baru yang menerapkan system full assessment yang mampu
meningkatkan pendapatan pajak negara. Jumlah penerimaan pajak meningkat
cepat dari sekitar 7 % dari PDB menjadi 9% dari PDB pada tahun 1989. Secara
bertahap tingkat penerimaan paja terus mengalami peningkatan menjadi 11%
dari PDB pada tahun 1995 sampai tahun 2000. Setelah tahiun 2000 tingat rasio
pajak relative konstan pada kisaran 12 sampai 13 persen dari PDB . Sebagai
gambarannya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Data Pajak Dan Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
Pajak
(trilyun
Pertumbuhan
Tahun
rupiah )
Tax rasio Ekonomi
1969/70
0.174
6%
7.5
1974/75
0.729
7%
5.0
1979/80
2.24
7%
9.9
1984/85
4.79
5%
2.5
1989/90
1995/96
1999/00
2000
2001
2002
2003
2004
2005

15.42
48.69
125.90
108.90
185.50
210.10
242.00
280.90
346.80

9%
11%
11.1%
11.0%
12.8%
13.0%
13.5%
12.2%
12.7%

7.2
6,5
0.8
4.9
3.6
4.5
4.8
5.0
5.7
H a l a m a n | 60

JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

2006
409.20
12.3%
5.5
2007
491.00
12.4%
6.3
2008
609.20
13.6%
6.0
2009
725.80
13.6%
4.6
2010
742.00
12.4%
6.2
Sumber APBN diolah
Persoalan mendasar dari rendahnya tingkat tax rasio lebih banyak
disebabkan oleh perilaku aparat pajak dan system administrasi pajak yang tidak
transparan. Berbagai kasus penyelewengan dan korupsi dari aparat pajak
mengindikasikan buruknya moral sebagian aparat pajak dan lemahnya
pengawasan dari pimpinan dan masyarakat.
Dari sisi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional selama periode yang
sama terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pada tingkat
rata rata 6 sampai 10 persen pertahun. Pertumbuhan ekonomi pernah
mengalami penurunan bahkan sampai minus pada waktu krisis ekonomi tahun
1998. Setelah dilakukan restrukturisasi laju pertumbuhan ekonomi terus
mengalami peningkatan menjadi 4 persen dan kemudian meningkat menjadi 6,2
persen pada tahun 2010. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini menjadikan
Indonesia negara yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi tinggi selain
China dan India selama satu decade terakhir.

KESIMPULAN
Proses pembangunan ekonomi memerlukan investasi dalam jumlah yang
sangat besar dan berkeseinambungan. Dalam awal pembangunan ekonomi pada
tahun 1970 sebagian besar dana tersebut didapat dari hutang luar negri dan hasil
ekspor minyak. Pada tahun 1980 an harga minyak terus merosot sehingga
diperlukan dana untuk pembangunan ekonomi dari sumber lain yaitu dari sektor
pajak. Untuk itu pemerintah membuat UU pajak yang baru yang lebih
sederhana sehingga jumlah penerimaan pajak dapat meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya.
Perubahan UU pajak tersebut memang terasa dengan meningkatnya
jumlah pendapatan yang diperoleh dari sektor ini. Sebelum UU pajak tahun
1984 diamandemen tax rasio masih pada kisaran 6 %, setelah perubahan UU
pajak maka tax rasio meningkat menjadi 9 % dan terus meningkat sampai pada
kisaran 12 % sampai 13%. Tingkat tax rasio ini cenderung konstan selama
beberapa tahun yang mengindikasikan ada beberapa kelemahan dalam
penarikan pajak oleh Dirjen pajak. Secara umum dapat diklasifikasikan dalam
masih rendahnya basis pajak, manipulasi pajak, korupsi pajak dan
penyelewengan oleh aparat pajak.
Pembangunan ekonomi sejak tahun 1969 telah menghantarkan Indonesia
dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah. Jumlah PDB
H a l a m a n | 61
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Indonesia telah mencapai 870 milyar dollar pada tahun 2011. Nilai PDB ini
menjadikan Indonesia menjadi kelompok negara 20 besar (G 20 ) yang
menguasai ekoomi dan PDB dunia. Dengan nilai PDB yang tinggi ini
menjadikan pendapatan perkapita meningkat mnjadi US$ 3000.
Permasalahannya tingkat rasio pajak ternyata masih kurang dari rasio ideal
sebesar 15% dari jumlah PDB nasional. Hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi
sebagian besar masyarakat, apakah sistem pajak yang sudah diperbaharui
dengan UU pajak no 28
tahun 2007 ternyata tingkat pemungutan pajak
masih pada kirasan 12 persen sampai 13 persen dari PDB. Apakah ini karena
faktor sebagaimana tersebut di atas atau ada faktor cultural dan faktor lainnya
sehingga tingkat pemungutan pajak masih rendah. Tentunya ini menjadi bahan
kajian bagi semua pihak untuk memberikan solusi yang komprehensif dalam
masalah pajak ini.

DAFTAR PUSTAKA
Asmara Hendra, Politik Prencanaan Pembangunan, theory , kebijaksanaan dan
prospek, Gramedia, Jakarta, 1986
Bank Indonesia , Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2009, BI, Jakarta ,
tahun 2010
Djajadiningrat, Hukum Pajak dan Keadilan, Eresco, Bandung , 1965
Griffin Ricky W dan Michael W Pustay, Bisnis Internasional, PT Indeks,
Jakarta, tahun 2006
Harjanto, Totok , Perubahan Struktur Perekonomian di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Media Studi Ekonomi, 2000
Harjanto,Totok, Peranan Pajak Dalam Pembiayaan Negara, Jurnal Untag
Jakarta, No 9 Juli-September 1997.
Partadiredja, Ace, Pengantar Ekonomika, BPFE, Yogyakarta, 1983
Rochmat Soemitro, Dasar Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Eresco,
Jakarta, 1977.
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung , tahun 1980.
Soekirno, Sadono, Makro Ekonomi, Teori Pengantar, PT Radjagrafindo
Persada, Jakarta, 2007.
CD ROM APBN tahun 1970 sd 2010.

H a l a m a n | 62
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Lampiran1:
NERACA PEMBAYARAN INDONESIA
Sektor Usaha
2004
2009

2010

2011

2012

1. Transaksi Berjalan

1,564

10,582

5,643

1,685

(24,431)

A. Barang

20,152

35,197

30,628

34,783

8,618

Expor

70,767

119,513

158,074

200,788

188,496

Impor

(50,615)

(84,316) (127,447) (166,005) (179,878)

B. Jasa Bersih

(8,811)

(14,155) (9,324)

(10,632)

(10,331)

C. Pendapatan

(10,917)

(15,331) (20,291)

(26,676)

(26,748)

D. Tranfers Berjalan
1,139
2. Transaksi Modal
1,852
dan Finansial

4,871

4,630

4,211

4,029

3,673

26,201

13,767

25,148

A. Modal

96

50

33

37

B. Finansial

1,852

3,577

26,151

17,734

25,111

Investasi Langsung

(1,512)

2,313

10,706

11,728

13,982

Investasi portofolio

4,409

10,103

13,202

3,806

9,206

Investasi Lainnnya

(1,045)

(8,838)

2,243

(1,801)

1,922

3. Jml 1 dan 2

3,415

14,255

31,844

15,452

717

4 . Selisih Perhitungan

(3,106)

(1,749)

(1,559)

(3,595)

(503)

12,506

30,285

11,587

215

(12,506) (30,285)

(11,587)

(215)

(12,506) (30,285)

(11,587)

(215)

5.
Neraca
309
Keseluruhan
6. Cadangan Devisa
(309)
terkait
Perubahan
Cadangan
Devisa
674
Pinjaman IMF

H a l a m a n | 63
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

(983)

Cadangan Devisa

36,320

66,105

95,207

110,123

112,781

Bulan impor

5.70

6.50

7.00

6.50

6.10

Transaksi berjalan/PDB

0.60

1.90

0.79

0.20

(2.77)

Lampiran 2:
NERACA PEMBAYARAN INDONESIA
1971 * 1980 *
2004
1. Transaksi
Berjalan
(457)
2,754
1,564

2009

2010

2011

2012

10,582

5,643

1,685

(24,431)

A. Barang

81

9,067

20,152

35,197

30,628

34,783

8,618

Expor

1,307

21,573

70,767

119,513

158,074

200,788

188,496

Impor

(1,226) (12,510) (50,615) (84,316) (127,447) (166,005) (179,878)

B. Jasa Bersih

(200)

(2,041)

(8,811)

C. Pendapatan
D.
Tranfers
Berjalan
2. Transaksi
Modal
dan
Finansial
A.
Modal
(SDR)

(199)

(3,048)

(139)

B. Finansial
Investasi
Langsung
Investasi
portofolio
Investasi
Lainnnya

(10,632)

(10,331)

(10,917) (15,331) (20,291)

(26,676)

(26,748)

(1,220)

1,139

4,871

4,630

4,211

4,029

495

1,480

1,852

3,673

26,201

13,767

25,148

28

65

96

50

33

37

1,852

3,577

26,151

17,734

25,111

(1,512)

2,313

10,706

11,728

13,982

4,409

10,103

13,202

3,806

9,206

2,045

(1,045)

(8,838)

2,243

(1,801)

1,922

4,234

3,415

14,255

31,844

15,452

717

150

317

3. Jml 1 dan 2 38
4 . Selisih

(630)

(14,155) (9,324)

H a l a m a n | 64
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

Perhitungan
(95)
5.
Neraca
Keseluruhan
(LLM)
57
6. Cadangan
Devisa terkait
Perubahan
Cadangan
Devisa
Pinjaman IMF
Cadangan
Devisa

(1,898)

(3,106)

(1,749)

(1,559)

(3,595)

(503)

(2,336)

309

12,506

30,285

11,587

215

(309)

(12,506) (30,285)

(11,587)

(215)

674

(12,506) (30,285)

(11,587)

(215)

(983)

36,320

66,105

95,207

110,123

112,781

6.50

7.00

6.50

6.10

1.90

0.79

0.20

(2.77)

Bulan impor
5.70
Transaksi
berjalan/PDB
0.60
* ada perbedaan metoda pencatatan
1.Statistik ekonomi BI 1981 - 2009

H a l a m a n | 65
JURNAL EKONOMI

ISSN: 2302-7169

Vol. 6 Edisi 4 September-Desember 2013

You might also like