You are on page 1of 20

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis, baik di desa maupun kota masih memiliki tingkat
insidensi penyakit demam berdarah dengue yang tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor
lingkungan, agent, host, maupun vektor yang ada. Penyakit demam berdarah dengue ini perlu
mendapat perhatian karena angka kesakitan dan kematian karena penyakit ini masih cukup
tinggi. Penyakit ini sering menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya
cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Maka dari itu perlu dilakukan
penanganan dan pencegahan yang tepat pada penyakit ini.1
Teknik penemuan penderita
Penyelidikan epidemiologi DBD merupakan kegiatan pelacakan penderita/tersangka lainnya dan
pemeriksaan

jentik

nyamuk

penular

penyakit

demam

berdarah

dengue

di

rumah

penderita/tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter,


serta tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penyebaran penyakit lebih lanjut.
Syarat PE/penyelidikan epidemiologi:
1.

Dalam radius 100 meter dari rumah penderita DBD terdapat 2 kasus DBD lainnya.

2.

Dalam radius 100 meter dari rumah penderita DBD ditemukan ada kasus demam tanpa
sebab jelas.

3.

Dalam radius 100 meter dari rumah penderita DBD ditemukan 1 kasus meninggal karena
penyakit DBD.
Biasanya metode pencarian kasus ini dengan cara active case finding, passive case

finding atau survey. Active Case Finding (ACD) umumnya dilaksanakan dengan cara kunjungan
dari rumah ke rumah oleh petugas kesehatan biasanya setiap 1 dan 2 bulan. Semua rumah yang
memiliki risiko terinfeksi DBD harus dikunjungi dan dilakukan pemeriksaan. ACD ini umumnya
dilakukan di daerah non endemis DBD. Pada pencarian kasus dengan Passive Case Finding
(PCD) si penderita dengan gejala DBD datang ke rumah sakit, puskesmas, ataupun poliklinik
untuk berobat, kemudian dilakukan pemeriksaan hingga didiagnosa DBD. PCD biasanya
diperuntukan untuk daerah endemis.

Teknik Menentukan Endemisitas Daerah Demam Berdarah Dengue


Kejadian luar biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan atau kematian
yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan
merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan
daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Penyelidikan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan pada suatu KLB atau adanya
dugaan KLB untuk memastikan adanya KLB, mengetahui penyebab, gambaran epidemiologi,
sumber sumber penyebaran dan faktor -faktor yang memengaruhi serta menetapkan cara-cara
penanggulangan yang efektif dan efisien.
Kriteria KLB ditegakkan berdasarkan kriteria WHO yaitu peningkatan kejadian kesakitan
2 kali atau lebih jumlah kasus DBD di suatu wilayah, dalam kurun waktu 1 minggu/ 1 bulan
dibandingkan dengan minggu/ bulan sebelumnya atau bulan yang sama pada tahun lalu.1
Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang dilaporkan oleh David
Byfon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) atau disebut juga
sebagai demam sendi (knokkel koorts). Hal ini disebabkan demam ini terjadi dan menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu
infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit
dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini
menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968
penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat


kompleks yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana & tidak
terkendali, tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis serta peningkatan
sarana transportasi.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain
status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi)
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan
virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran
penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh
propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence
rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100.000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda
untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.2
A. Distribusi
Wabah DBD telah terjadi di Filipina, Kaledonia Baru, Tahiti, Cina, Vietnam, Laos, Kamboja.
Maldives, Kuba, Venezuela, French Guiana, Suriname, Brasil, Kolombia. Niakaragua dan Puerto
Rico. Indonesia merupakan wilayah endemis DBD dengan yang penyebarannya telah ada di
seluruh Indonesia. KLB terbesar dilaporkan di Vietnam pada tahun 1987, pada saat itu kira-kira
370.000 kasus telah dilaporkan.
Semenjak pertama kali kasus DBD ditemukan di Indonesia (Surabaya dan Jakarta) pada
tahun 1968, jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas,
sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 2006
selama periode Januari-September telah tercatat 3 provinsi mengalami KLB yaitu Jawa Barat,
Sumatera Barat dan Kalimantan Barat di 8 kabupaten/kota dengan jumlah kasus 1.323 orang, 21
3

orang diantaranya meninggal (CFR=1,59%). Jumlah KLB pada tahun 2006 ini menurun tajam
dibandingkan jumlah KLB pada tahun 2005 yang terjadi 12 propinsi di 35 kab/kota dengan
jumlah kasus 3.336 orang, 55 orang diantaranya meninggal (CFR=1,65%).3
B. Faktor Determinan
Beberapa faktor determinan yang berperan dalam penyakit DBD antara lain agent, host, vektor,
reservoir, dan lingkungan.
Agent. Virus penyebab demam dengue adalah flavivirus dan terdiri dari 4 serotipe yaitu
serotipe 1,2,3 dan 4. Virus yang sama menyebabkan demam berdarah dengue (DBD). Semua
serotipe dengue dapat menyebabkan demam berdarah dengue pada unitan menurun menurut
frekuensi penyakit yang ditimbulkan tipe 2. 3, 4 dan 1.
Host. Faktor intrinsik yang sangat dipengaruhi oleh genetik yang berhubungan dengan
meningkat atau menurunnya kepekaan individu terhadap penyakit tertentu. Faktor pejamu yang
merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit adalah genetik, umur, jenis kelamin, keadaan
fisiologi, kekebalan, penyakit yang diderita sebelumnya dan sifat-sifat manusia.
Vektor. Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran
nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus). Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan
bintik-bintik putih terutama pada kakinya. Morfologinya khas yaitu mempunyai gambaran
lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya (mesonotum). Telur Ae.aegypti mempunyai
dinding yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kasa. Larva Ae.aegypti mempunyai
pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.4
Reservoir. Virus dengue yang melalui siklus nyamuk Aedes aegypti - manusia terdapat di
daerah perkotaan negara tropis; sedangkan siklus monyet - nyamuk menjadi reservoir di Asia
Tenggara dan Afrika Barat.
Lingkungan. Merupakan agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi. Secara umum lingkungan ini
dibedakan atas dua macam yakni lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik. Lingkungan fisik
4

merupakan lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar manusia. Lingkungan fisik ini terdiri dari
banyak macam, misalnya cuaca, musim, keadaan geografis dan struktur geologi. Pada kasus
DBD dapat berupa tempat perindukan Ae. aegypti yang merupakan tempat-tempat berisi air
bersih yang letaknya berdekatan dengan rumah penduduk (500m) dan udara yang lembab.
Tempat perindukan buatan manusia seperti tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum,
bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang terdapat di halaman rumah; juga
berupa tempat perindukan alamiah; seperti kelopak daun tanaman, tempurung kelapa, dan lubang
pohon yang berisi air hujan. Lingkungan non-fisik adalah lingkungan yang muncul sebagai
akibat adanya interaksi antar manusia. Yang termasuk kedalam lingkungan non-fisik ini termasuk
faktor sosial budaya, norma, nilai dan adat istiadat. Peranan lingkungan dalam menyebabkan
timbul atau tidaknya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah sebagai
reservoir bibit penyakit (environmental reservoir). Reservoir bibit penyakit ini penting karena
sebagai tempat hidup bibit penyakit tersebut.5

C. Cara Transmisi
Demam berdarah dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk yang infektif terutama Aedes
aegypti. Nyamuk ini merupakan spesies nyamuk yang menggigit pada siang hari dengan
peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum
matahari tenggelam. Nyamuk tersebut mendapat virus dari orang yang dalam darahnya terdapat
virus itu. Orang itu (carrier) tidak harus orang yang menderita demam berdarah. Sebab orang
yang mempunyai kekebalan, tidak tampak sakit atau bahkan sama sekali tidak sakit, walaupun
dalam darahnya terdapat virus dengue. Dengan demikian orang ini dapat menularkan penyakit
kepada orang lain. Virus dengue akan berada dalam darah manusia selama kurang lebih 1
minggu. Orang dewasa biasanya kebal terhadap virus dengue.
Tempat-tempat yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya penularan demam
berdarah ialah tempat umum (rumah sakit, puskesmas, sekolah, hotel/tempat penginapan) yang
kebersihan lingkungannya tidak terjaga, khususnya kebersihan tempat-tempat penampungan air
(bak mandi. WC, dsb).
5

Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang melainkan melalu perantara nyamuk.
Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia yaitu sejak beberapa saat sebelum
panas sampai saat masa demam berakhir, biasanya berlangsung selama 3-5 hari. Nyamuk
menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita viremia dan tetap infektif selama
hidupnya.1,2
Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat (public health surveillance) adalah suatu kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus berupa pengumpulan data secara sistematik, analisis dan
interpretasi data mengenai suatu peristiwa yang terkait dengan kesehatan untuk digunakan dalam
tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya mengurangi angka kesakitan dan kematian, dan
meningkatkan status kesehatan. Data yang dihasilkan oleh sistem surveilans kesehatan
masyarakat dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan segera untuk kasuskasus penting kesehatan masyarakat, mengukur beban suatu penyakit atau terkait dengan
kesehatan lainnya, termasuk identifikasi populasi resiko tinggi, memonitor kecenderungan beban
suatu penyakit atau terkait dengan kesehatan lainnya, termasuk mendeteksi terjadinya outbreak
dan pandemik, sebagai pedoman dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program,
mengevaluasi kebijakan-kebijakan publik, memprioritaskan alokasi sumber daya kesehatan , dan
menyediakan suatu dasar untuk penelitian epidemiologi lebih lanjut.
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu surveilans pasif dan
surveilans aktif. Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara
anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan,
sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.
Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung jawab utama.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke
lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik,
6

dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut
penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif,
lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan
untuk menjalankan tanggung jawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi
outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan dari pada
surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community
surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas
oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan.
Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus
mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat
lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi
laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu.
Pelaporan penderita dan pelaporan kegiatan sesuai dengan ketentuan/sistem pelaporan
yang berlaku. Pelaporan penderita demam berdarah dengue menggunakan formulir W1/laporan
KLB (wabah), W2/laporan mingguan wabah, SP2TP: LB 1/laporan bulanan data kesakitan, LB
2/laporan bulanan data kematian. Sedangkan untuk pelaporan kegiatan menggunakan formulir
LB3/laporan bulanan kegiatan Puskesmas (SP2TP).
Penderita demam berdarah/suspect demam berdarah perlu diambil specimen darahnya
(akut dan konvalesens) untuk pemeriksaan serologis. Specimen dikirim bersama-sama ke Balai
Laboratorium Kesehatan (BLK) melalui Dinas Kesehatan Dati II setempat.6
Peran Puskesmas dalam Penanggulangan DHF
Promosi Kesehatan
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan,
yaitu gerakan pemberdayaan, bina suasana, dan advokasi.
Gerakan pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar
sasaran tersebut berubah dari tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi
mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan
(aspek practice). Sarasan utama pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok
masyarakat.

Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat agar mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan
terdorong untuk melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di
rumah, orang yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, masyarakat
umum, dll) memiliki opini positif terhadap perilaku tersebut. Terdapat tiga pendekatan bina
suasana antara lain bina suasana individu, kelompok, dan masyarakat. Bina suasana individu
ditujukan kepada individu-individu tokoh masyarakat. Dengan pendekatan ini diharapkan
mereka akan menyebarkan opini yang positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan
seperti gerakan 3M. Di samping itu diharapkan mereka juga bersedia memperkenalkan atau
mau mempraktekkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut (misal seorang pemuka agama
rajin melakukan 3M yaitu menguras, mengubur dan menutup). Bina suasana kelompok ditujukan
kepada kelompok masyarakat seperti Kepala Lingkungan, majelis pengajian, majelis gereja,
organisasi pemuda dan lain-lain. Pendekatan ini dilakukan bersama tokoh masyarakat sehingga
mereka perduli dan mau mendukung perubahan perilaku yang sedang diperkenalkan dan
menyetujui untuk mempraktekkan perilaku yang sedang diperkenalkan yaitu 3M tersebut. Bina
suasana masyarakat umum dilakukan terhadap masyarakat umum dengan membina dan
memanfaatkan media-media komunikasi seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet dan
lain-lain, sehingga dengan media komunikasi tersebut diharapkan media-media massa tersebut
peduli dan mendukung perubahan perilaku yang diperkenalkan. Dengan demikian media massa
tersebut dapat menjadi mitra dalam rangka penyebarluasan informasi dan akhirnya diharapkan
terbentuklah sebuah opini publik yang positif terhadap perubahan perilaku baru yang
diperkenalkan dan akhirnya mereka masyarakat mau melaksanakan perilaku baru tersebut dalam
kehidupannya.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis atau terencana untuk mendapatkan
komitmen adan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Advokasi diarahkan
untuk mendapatkan dukungan yang berupa kebijakan (misal dalam bentuk perundangundangan), dana, sarana, dan lain-lain sejenisnya. Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh
masyarakat formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan
penyandang dana pemerintah. juga dapat berupa tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain yang
umumnya berperan sebagai penentu kebijakan di bidangnya.
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Tujuan
8

pembangunan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas adalah meningkatkan kesadaran,


kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah
kerjanya, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, dalam rangka mencapai visi
Indonesia Sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Puskesmas harus menyelenggarakan tiga
fungsi, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,

pusat

pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama.7


Pada DBD promosi kesehatan penyakit tidak sekedar membuat leaflet atau poster saja
melainkan suatu komunikasi perubahan perilaku dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui
pesan pokok 3M PLUS, merupakan suatu kegiatan yang terencana sejak dari tahap analisa
situasi, perencanaan kegiatan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Saat ini kegiatan diintensifkan
menjadi sub program peran serta masyarakat dalam PSN dan telah diterbitkan buku panduan
untuk ini. Diharapkan setiap wilayah memilih daerah uji coba untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam PSN DBD. Contoh salah satu kota yang telah berhasil dalam penggerakkan
peran serta masyarakat bekerja sama dengan PKK dan LSM Rotary adalah Purwokerto.
Pelaksana kegiatan tidak hanya sektor kesehatan tapi melibatkan semua pihak yang terkait anak
sekolah, pramuka Saka Bhakti Husada, mahasiswa, kader-kader, tokoh masyarakat, petugas
sektoral, pemilik bangunan/ pertokoan dll.
Penyuluhan dan penggerakan masyarakat untuk PSN (pemberantasan sarang nyamuk).
Penyuluhan/informasi tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan melalui jalur- jalur
informasi yang ada:
1. Penyuluhan kelompok: PKK, organisasi sosial masyarakat lain, kelompok agama, guru,
murid sekolah, pengelola tempat umum/instansi, dll.
2. Penyuluhan perorangan:
a) Kepada ibu-ibu pengunjung Posyandu
b) Kepada penderita/keluarganya di Puskesmas
c) Kunjungan rumah oleh Kader/petugas Puskesmas
3. Penyuluhan melalui media massa: TV, radio, dll (oleh Dinas Kesehatan Tk. II, I dan
pusat). Menggerakkan masyarakat untuk PSN penting terutama sebelum musim
penularan (musim hujan) yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala wilayah
setempat. Kegiatan PSN oleh masyarakat ini seyogyanya diintegrasikan ke dalam
kegiatan di wilayah dalam rangka program kebersihan dan keindahan kota. Di tingkat
Puskesmas, usaha/kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) demam berdarah ini
seyogyanya diintegrasikan dalam program sanitasi lingkungan.
9

Penyuluhan kelompok dapat dilaksanakan di kelompok Dasawisma, pertemuan arisan


atau pada pertemuan Warga RT/RW, pertemuan dalam kegiatan keagamaan atau pengajian, dan
sebagainya. Langkah-langkah dalam melakukan penyuluhan kelompok yaitu usahakan agar
setiap peserta pertemuan dapat duduk dalam posisi saling bertatap muka satu sama lain, misalnya
berbentuk huruf U, O atau setengah lingkaran, mulailah dengan memperkenakan diri dan
perkenalan semua peserta, kemudian disampaikan pentingnya membicarakan demam berdarah
dengue, antara lain bahayanya, dapat menyerang sewaktu-waktu pada semua umur terutama
anak-anak, jelaskan materi yang telah disiapkan sebelumnya secara singkat dengan
menggunakan gambar-gambar atau alat peraga misalnya lembar balik (flipchart) atau
leaflet/poster, setelah itu beri kesempatan kepada peserta untuk berbicara atau mengajukan
pertanyaan tentang materi yang dibahas, pada akhir penyuluhan, ajukan beberapa pertanyaan
untuk mengetahui sejauh mana materi yang disampaikan telah dipahami.
Informasi Penanggulangan Demam Berdarah
Mengingat demam berdarah merupakan penyakit yang tergolong baru dan berbahaya maka
menjadi salah satu masalah kesehatan yang harus ditangani di Indonesia. Apalagi hal itu
dihubungkan dengan adanya kenyataan, sampai dewasa ini belum ditemukan vaksin untuk
mengatasi virus demam berdarah. Thomas Suroso dalam Sumarno et al mengatakan bahwa
penyakit

ini

mengakibatkan

banyak

kematian

terutama

pada

anak-anak,

selain

penyebarannyapun luas. Untuk itu, berbagai usaha dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan memberikan informasi penanggulangan demam
berdarah kepada masyarakat luas. Sebagai perbandingan misalnya, di Singapura telah
dilaksanakan suatu sistem tepadu untuk menanggulangi demam berdarah. Hal ini, dilakukan
dengan melaksanakan sistem terpadu penyuluhan, peraturan pemerintah dan pengamatan dalam.
Penanggulangan demam berdarah ini harus dilakukan oleh semua lapisan masyarakat
secara terpadu. Karena itu secara umum informasi penanggulangan demam berdarah ialah
informasi yang berhubungan dengan gejala dan tanda penyakit, ciri nyamuk pembawa virus, cara
pemberantasan nyamuk, upaya pencegahan panyakit, pertolongan dini serta tindakan
penanggulangan terhadap penderita demam berdarah. Selain itu, masyarakat perlu tahu
bagaimana tanda-tanda dan gejala kasus demam berdarah antara lain : demam tinggi, perdarahan
(terutama perdarahan kulit), hepatomegali dan kegagalan peredaran darah.

Hal ini harus

diketahui sejak awal, terutama sejak anak demam tinggi, nyeri kepala dan berbagai bagian tubuh,
10

rasa menggigil, anoreksi dan malaise. Jika tanda-tanda tersebut ada, anak harus segera dibawa
ke rumah sakit untuk memperoleh pengobatan dan perawatan. 8
Preventif
Secara garis besar kegiatan ini meliputi pembersihan jentik dan pencegahan gigitan nyamuk.
Pembersihan jentik meliputi program pemberantasan sarang nyamuk (PSN), larvasidasi,
menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat). Pencegahan gigitan nyamuk meliputi
menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), tidak melakukan kebiasaan
berisiko (tidur siang, menggantung baju), penyemprotan.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD seperti juga penyakit menular lainnya
didasarkan pada usaha pemutusan rantai penularannya. Pada penyakit DBD yang merupakan
komponen epidemiologi adalah terdiri dari virus dengue, nyamuk Aedes aegypti dan manusia.
Oleh karena sampai saat ini belum terdapat vaksin atau obat yang efektif untuk virus dengue,
maka pemberantasan ditujukan terutama pada manusia dan vektornya. Yang sakit diusahakan
agar sembuh guna menurunkan angka kematian, sedangkan yang sehat terutama pada kelompok
yang paling tinggi terkena resiko, diusahakan agar jangan mendapatkan infeksi penyakit DBD
dengan cara memberantas vektornya.
Menurut Harmadi Kalim, sampai saat ini pemberantasan vektor masih merupakan pilihan
yang terbaik untuk mengurangi jumlah penderita DBD. Strategi pemberantasan vektor ini pada
prinsipnya sama dengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO dengan diadakan
penyesuaian tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi tersebut terdiri atas
perlindungan perseorangan, pemberantasan vektor dalam wabah dan pemberantasan vektor untuk
pencegahan wabah, dan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Untuk mencapai sasaran sebaikbaiknya perlu diperhatikan empat prinsip dalam membuat perencanaan pemberantasan vektor,
yaitu mengambil manfaat dari adanya perubahan musiman keadaan nyamuk oleh pengaruh alam,
dengan melakukan pemberantasan vektor pada saat kasus penyakit DBD paling rendah,
memutuskan lingkaran penularan dengan cara menahan kepadatan vector pada tingkat yang
rendah untuk memungkinkan penderita-penderita pada masa viremia sembuh sendiri,
mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah dengan potensi penularan tinggi, yaitu
daerah padat penduduknya dengan kepadatan nyamuk cukup tinggi, mengusahakan
pemberantasan vektor di pusat-pusat penyebaran seperti sekolah, Rumah Sakit, serta daerah

11

penyangga sekitarnya. Pemberantasan vektor dapat dilakukan pada stadium dewasa maupun
stadium jentik.
Pemberantasan vektor stadium dewasa
Pemberantasan vektor penyakit DBD pada waktu terjadi wabah sering dilakukan fogging atau
penyemprotan lingkungan rumah dengan insektisida malathion yang ditujukan pada nyamuk
dewasa. Caranya adalah dengan menyemprot atau mengasapkan dengan menggunakan mesin
pengasap yang dapat dilakukan melalui darat maupun udara. interval 1 minggu. Pada
penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infektif)
dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru
diantaranya akan mengisap darah penderita viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan
terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan siklus kedua.
Penyemprotan yang kedua dilakukan satu minggu sesudah penyemprotan yang pertama agar
nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengasapan rumah dengan malathion
sangat efektif untuk pemberantasan vektor. Namun kegiatan ini tanpa didukung dengan aplikasi
abatisasi, dalam beberapa hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk dewasanya, karena jentik
yang tidak mati oleh pengasapan akan menjadi dewasa, untuk itu dalam pemberantasan vektor
stadium dewasa perlu disertai aplikasi abatisasi.
Pemberantasan vektor stadium jentik
Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam Berdarah (PSN DBD).
1. Fisik
Menurut Erik Tapan, untuk mencegah dan membatasi penyebaran penyakit Demam
Berdarah, setiap keluarga perlu melakukan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (PSNDBD) dengan cara 3M yaitu:
a. Menguras dengan menyikat dinding tempat penampungan air (tempayan,drum, bak
mandi, dan lain-lain) atau menaburkan bubuk abate/altosid bila tempat-tempat tersebut
tidak bisa dikuras.
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak dapatmasuk dan
berkembang biak di dalamnya.
c. Mengubur/membuang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan misalnya
ban bekas, kaleng bekas, tempat minuman mineral dan lain-lain.
12

Gerakan 3 M Plus adalah kegiatan yang dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat
untuk memutuskan rantai kehidupan (daur hidup) nyamuk Aedes aegypti penular
penyakit. Daur hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari telur, jentik, kepompong hidup
dalam air yang tidak beralaskan tanah dan akan mati bilaairnya dibuang. Agar telur, jentik
dan kepompong tersebut tidak menjadi naymuk,maka perlu dilakukan 3M Plus secara
teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali dengan gerakan 3M Plus. Yang dimaksud
Plus yaitu mengganti air vas bunga,tempat minum burung, atau tempat tempat
lainnyasejenis seminggu sekali, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak
lancar/rusak, menutup lubang lubang pada potongan bambu / pohon dan lain lain
(dengantana san lain lain), menaburkan bubuk larvasida , misalnya ditempat tempat yang
sulit dikurasatau didaerah yang sulit air, memelihara ikan pemakan jentik di kolam / bak
bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung
pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai,
menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
2. Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik
(larvasida) ini antara lain dikenal istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara
lain adalah bubuk abate (temephos). Formulasi temephos yang digunakan adalah granules
(sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10gram ( 1 sendok makan rata) untuk
setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain
itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator. Teknik penggunaan temefos
yaitu aplikasi I dilakukan 2 bulan sebelum musim penularan di suatu daerah atau pada
daerah yang belum pernah terjangkit DBD, aplikasi II dilakukan 2-21/2 bulan berikutnya
(pada masa penularan/populasi Aedes yang tertinggi), aplikasi III dapat dilakukan 2-21/2
bulan setelah aplikasi II. Menggunakan Altosid 1,3 G (bahan aktif: Metopren 1,3%)
Takaran penggunaan Altosid 1,3 G adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan
2,5 gram bubuk Altosid 1,3 G atau 5 gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran khusus yang
sudah tersedia dalam setiap kantong Altosid 1,3 G. Bila tidak ada - alat penakar, gunakan
sendok teh, satu sendok teh peres (yang diratakan atasnya) berisi 5 gram Altosid 1,3 G.
Selanjutnya tinggal membagikan atau menambahkannya sesuai dengan banyaknya air.
Takaran tidak perlu tepat betul. Menggunakan Sumilarv 0,5 G (DBD) (bahan
aktif:piriproksifen 0,5%) Takaran penggunaan Sumilarv 0,5 G (DBD) adalah sebagai
13

berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan 0,25 gram bubuk Sumilarv 0,5 G (DBD) atau 0.5
gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran khusus yang tersedia (sendok kecil ukuran kurang
lebih 0,5 gram). Takaran tidak perlu tepat betul.
3. Biologi
Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi,ikan
cupang/tempalo dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringensisvar, Israeliensis.9

Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan
(strength) kepada masyarakat, peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi,
bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakat secara bertanggung
gugat demi perbaikan kehidupannya.
Juru Pemantau Jentik (JUMANTIK)
Salah satu bentuk langsung peran serta masyarakat adalah kegiatan Pemantauan Jentik Berkala
(PJB) yang dilakukan oleh masyarakat melalui Juru Pemantau jentik (Jumantik). Kegiatan
Jumantik sangat perlu dilakukan untuk mendorong masyarakat agar dapat secara mandiri dan
sadar untuk selalu peduli dan membersihkan sarang nyamuk dan membasmi jentik nyamuk
Aedes Aegypti. Tujuan Umum rekrutmen Jumantik adalah menurunkan kepadatan (populasi)
nyamuk penular demam berdarah dengue (Aedes Aegypti) dan jentiknya dengan meningkatkan
peran serta masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN
DBD), melalui penyuluhan yang dilakukan secara terus menerus. Tugas pokok seorang Jumantik
adalah melakukan pemantauan jentik, penyuluhan kesehatan, menggerakkan pemberantasan
sarang nyamuk secara serentak dan periodik serta melaporkan hasil kegiatan tersebut kepada
Supervisor dan Petugas Puskesmas sehingga akan dapat dihasilkan sistem pemantauan jentik
berkala yang berjalan dengan baik. Untuk itu peran Jumantik akan dapat maksimal apabila
masyarakat dapat membantu kelangsungan kegiatan dengan kesadaran untuk memberikan
kesempatan kepada Jumantik memantau jentik dan sarang nyamuk di rumahnya.8
Jumantik adalah petugas yang berasal dari masyarakat setempat atau petugas yang
ditunjuk oleh unit kerja (pemerintah atau swasta) yang secara sukarela mau bertanggung jawab
melakukan pemantauan jentik secara rutim, maksimal seminggu sekali di wilayah kerja serta
14

melaporkan hasil kegiatan secara berkesinambungan ke kelurahan setempat. Jumantik tidak


hanya terdiri dari petugas pusat kesehatan masyarakat tetapi juga dari masyarakat sekitar dan
anak-anak sekolah. Memantau jentik tidaklah terlalu sulit jika kita sudah mengenal cirri-ciri
jentik nyamuk Aedes aegypti. Jentik nyamuk ini memiliki cirri yang khas yaitu selalu bergerak
aktif di dalam air. Gerakannya berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas,
kemudian turun kembali ke bawah untuk mencari makanan dan seterusnya. Pada waktu istirahat,
posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada disekitar dinding tempat
penampungan air. Setelah 6-8 hari jentik itu akan berkembang/berubah menjadi kepompong.
Bentuk kepompong adalah seperti koma, gerakannya lamban dan sering berada di permukaan air.
Setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk baru.
Pemeriksaan jentik dilakukan dengan memeriksa tempat penampungan air di sekitar
rumah. Jika tidak ditemukan jentik di permukaan, tunggu selama kurang lebih 1 menit karena
untuk bernafas jentik akan muncul ke permukaan. ocokkan ciri jentik dengan ciri-ciri
jentik aedes aegypti. Jika sudah dipastikan jentik tersebut adalah jentik Aedes aegypti, maka
dilakukan abatisasi dan pencatatan.
Abatisasi yaitu memberikan abate pada tempat penampungan air di mana jentik
ditemukan untuk membunuh jentik yang ada. Sedangkan pencatatan yang dilakukan meliputi
tanggal pemeriksaan, kelurahan tempat dilakukan pemantauan jentik, nama dan alamat keluarga,
jumlah semua penampungan air yang diperiksa, serta jumlah container yang di temukan jentik.
Data tersebut akan digunakan untuk menghitung angka bebas jentik. Hasil pencatatan ini
dilaporkan ke Puskesmas setempat dan kemudian diserahkan ke Dinas Kesehatan. 8
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Merupakan salah satu indikator keberhasilan program pemberantasan vector penularDBD. Angka
Bubas Jentik kubagai tolak ukur upaya pemberantasan vector melalui gerakanPSN-3M
menunjukan tingkat partisipaki masyarakat dalam mencegah DBD. Apabila angka bebas jentik
suatu daerah rendah, maka kemungkinan penduduk daerah tersebut untuk terkena demam
berdarah adalah lebih besar dibanding daerah lain yang angka bebas jentiknya lebih besar. ABJ
yang diharapkan adalah >95%. Cara menghitung Angka Bebas Jentik (ABJ): 10
ABJ =

Jumla h bangu nan diperiksa tidak ada jentik


100
Jumla h seluru h bangunan yang diperiksa
15

Management Program DHF di Puskesmas


Setiap puskesmas dengan penuh tanggung jawab harus melaksanakan pencatatan pelaporan
sesuai dengan sistem yang berlaku dengan bimbingan petugas tingkat kabupaten, melaksanakan
tindakan sesuai dengan arahan yang diberikan dalam alternatif tindakan berdasarkan hasil
pemantauan.
Dalam penanggulangan DBD, menurut WHO, suatu panitia pengorganisasian atau
pengkoordinasian harus dibuat dan harus terdiri atas administrator, ahli epidemiologi, praktisi,
ahli entomologi, dan pekerja dari laboratorium virus. Tanggung jawab dari panitia yang dibuat
ini biasanya ditetapkan surat keputusan menteri kesehatan. Panitia tersebut harus menyusun dan
mendistribusikan protokol untuk diagnosis klinis dan pengobatan DBD/DSS, menyiapkan dan
menyebarkan DBD/DSS untuk petugas perawatan kesehatan, masyarakat, dan media massa,
merencanakan dan menerapkan program pelatihan untuk petugas perawatan kesehatan dan
pembantunya (misalnya staf rumah sakit, peserta didik kedokteran, perawat, teknisi
laboratorium), mengkaji kebutuhan terhadap cairan intravena, obat-obatan, produk darah,
peralatan perawatan intensif, materi penyuluhan dan peralatan untuk memindahkan pasien,
mengawasi penggunaan suplai dan hasil program perawatan klinis (setiap hari bila perlu),
mengkoordinasikan penelitian klinis tentang DBD/DSS selama wabah.
Hasil dari penerapan tindakan diatas, maka suatu program pemberantasan dan
penanggulangan dapat dibuat untuk selanjutnya dilaksanakan oleh organisasi kesehatan yang
berurusan langsung dengan masyarakat, di Indonesia dikenal sebagai puskesmas.
Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan
kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok. Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan tanggungjawab atas
pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Menurut Kepmenkes RI No.
128/Menkes/SK/II/2004 puskesmas merupakan Unit Pelayanan Teknis Dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja.
Manajemen puskesmas dapat digambarkan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang
bekerja secara senergik, sehingga menghasilkan keluaran yang efisien dan efektif. Manajemen
puskesmas tersebut terdiri dari perencanaan (untuk mencapai tujuan dan sasaran), pelaksanaan,

16

pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Seluruh kegiatan diatas merupakan


satu kesatuan yang saling terkait dan berkesinambungan.8
Bentuk manajemen program oleh PUSKESMAS dalam menanggulangi Demam Berdarah
Dengue adalah sebagai berikut:3
1. Tujuan
a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD
b. Mencegah dan menanggulangi KLB
c. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam pemberantasan sarang nyamuk
(PSN)
2. Sasaran
Sasaran nasional (2000):
a. Morbiditas di kecamatan endemic DBD < 2 per 10.000 penduduk
b. CFR < 2,5%
3. Strategi
a. Kewaspadaan dini
b. Penanggulangan KLB
c. Peningkatan keterampilan petugas
d. Penyuluhan
4. Kegiatan
a. Pelacakan penderita (pemyelidikan epidemiologis, PE) yaitu kegiatan mendatangi rumahrumah daru kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain dan
memeriksan angka jentik dalam radius 100 m dari rumah indeks.
b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain . jika terdapat
tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk
ke unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat
c. Abatisasi selektif (AS) atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau
menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes
d. Fogging focus (FF), yaitu kegiataan menyemprot dengan insektisida (malation, losban)
untuk membunuh naymuk dewasa dalam radius 1 RW pet 400 rumah per 1 dukuh
e. Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan regular tiga bulan sekali, dengan cara
mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan
dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah ditengan sebagai pusatnya) atau
metode zig-zag. Dengan metode ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI
(house index)
f. Pembentukan kelompok kerja (pokja) DBD di semua level administrasi, mulai dari desa,
kecamatan sampai pusat

17

g. Penggerakan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dengan 3M (menutup dan menguras


tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan membersihkan tempat yang
berpotensi bagi perkembangbiakan nyamuk) di daerah endemic dan sporadic
h. Penyuluhan tentang gejala awal penyakit
5. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi :
a. Pembersihan jentik :
Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Larvasidasi
Menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat)
b. Pencegahan gigitan nyamuk
Menggunakan kelambu
Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju)
Penyemprotan
6. Monitoring dan evaluasi
a. Indikator pemerataan
1. Penyelidikan epidemiologis (PE) =
2. Fogging focus =

Jumlah penduduk dengan PE


Jumlah penderita yang dilaporkan

Jumlah foggingPenderita
x 100%atau tersangka DBD
Jumlah penderita
b. Indikator efektivitas perlindungan =
Cakupan rumah dengan FF/AS/PSN
x 100%
Penyelidikan
Jumlah rumah yang
seharusnyaepidemiologi
tercakup dalam FF/AS/PSN
c. Indikator efisiensi program

1. Angka kepadatan jentik (HI) =


Jumlah
yang positif
terdapat
x 100%
DBD lain atau ada jentik dan
adarumah
penderita
demam
tanpajentik
sebab
yang jelas pada hari itu atau seminggu sebelu
Jumlah rumah yang diperiksa
2. Angka kesakitan DBD =

Jumlah kesakitan DBD


Jumlah penduduk

x 100%

3. Angka kematian DBD =Ya

Angka kematian DBD


x 100%
Tidak
Jumlah penderita

7. Pengelolaan
Penyuluhan
PSN
Pengasapan radius 200 m

Penyuluhan
PSN

18

Gambar 1. Pengelolaan DHF di Puskesmas


Sumber : Dinkes Prov. Jateng; Protap Penanggulangan KLB, Semarang, 2004.

Kesimpulan
Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan
kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok. Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas
pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Menurut Kepmenkes RI No.
128/Menkes/SK/II/2004 puskesmas merupakan unit pelayanan teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja. Pada program puskesmas dalam pemberantasan penyakit demam berdarah
dengue, penting bagi para petugas puskesmas untuk melakukan pendekatan sistem dan
membandingkan antara cakupan dengan target yang telah ditetapkan. Pemberantasan DBD
dibandingkan dengan target variabel yang dinilai: jumlah penderita DBD, pemeriksaan jentik
19

berkala, kegiatan penyuluhan DBD, pemberantasan vector yaitu: kegiatan fogging, abatisasi dan
gerakan 3M, gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Untuk itu masyarakat harus
mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik tentang penyakit DBD dan PSN DBD.
Daftar Pustaka
1. Simanjuntak S, Kinteki N, Suaedah I, Siregar R, Djuwitasari U, Sitompul R, et al. Pedoman
penanggulangan klb-dbd bagi keperawatan di rs dan puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan; 2006.h.1-2, 6.
2. Departemen Kesehatan RI. Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2001.h.2.
3. Chin J. Manual pemberantasan penyakit menular. Edisi 17. Jakarta: Departemen Kesehatan;
2000.h.144-9.
4. Departemen Parasitologi FKUI. Parasitologi kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2008.h.265-7.
5. Azwar A. Pengantar epidemiologi. Jakarta: Binarupa Askara; 2000.h.34-5.
6. Chandra B. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC; 2007.h.6-18.
7. Karmila. Peran Keluarga Dan Petugas Puskesmas Terhadap Penanggulangan Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD). Sumatera Utara : USU, 2008. h. 34-6.
8. World Health Organization. Demam Berdarah Dengue: Diagnosis, pengobatan, pencegahan
dan pengendalian. Jakarta : EGC; 2004. h.72-105.
9. Widiyanto T. Kajian manejemen lingkungan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD). Semarang : UNDIP, 2007. h. 39 -42.
10. Widoyono. Penyakit tropis: Epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya.
Jakarta : Erlangga; 2008.h.59-66.

20

You might also like