You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Dari semua trauma yang ada di Unit Gawat Darurat, 10 % diantaranya merupakan
cedera sistem urogenital. Kebanyakan dari trauma tersebut terabaikan dan sulit untuk
didiagnosis dan memerlukan keahlian diagnosis yang baik. Diagnosis awal sangat perlu
untuk mencegah komplikasi lanjut dan gejala sisa jangka panjang yang serius. Pasien
dengan kelainan striktur uretra sekunder akibat peristiwa traumatik jika tidak dikelola
dengan baik, cenderung memiliki masalah berkemih yang signifikan dan berulang serta
membutuhkan intervensi lebih lanjut.
Pria dan wanita yang mengalami trauma traktus urinarius bagian bawah biasanya
dengan cara yang berbeda. Pada wanita sering berhubungan dengan kasus obstetri, jarang
karena trauma fisik. Sedangkan trauma traktus urinarius bagian bawah pada pria biasanya
karena trauma fisik dan dapat menyebabkan berbagai macam ruptur, seperti : (A) ruptur
buli intraperitoneal, (B) ruptur buli ekstraperitoneal, (C) ruptur uretra posterior, (D)
ruptur uretra pars membranosa, (E) ruptur uretra pars bulbosa, dan (F) ruptur penil uretra.
Uretra pars prostatika terlindungi oleh prostat sehingga jarang ruptur.
Trauma tumpul pada abdomen bagian bawah dapat menyebabkan ruptur buli
intraperitoneal . Fraktur pelvis dapat menyebabkan ruptur buli ekstraperitoneal, ruptur
uretra posterior, dan ruptur uretra pars membranosa. Trauma pada perineum dan uretra

dapat menyebabkan ruptur uretra pars membranosa, ruptur uretra pars bulbosa, dan
ruptur penil uretra. Pria dapat mengalami lebih dari satu organ yang ruptur, sering terjadi
kombinasi ruptur buli ekstraperitoneal dan ruptur uretra posterior. Luka tembus dapat
menyebabkan trauma di setiap bagian traktus urinarius.
Sebagian besar trauma uretra berhubungan dengan peristiwa yang dapat dideteksi
dengan baik, termasuk trauma tumpul berat seperti yang disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor atau karena jatuh. Luka tembus di daerah uretra juga dapat
menyebabkan trauma uretra. Straddle injury dapat menyebabkan masalah jangka pendek
maupun jangka panjang. Trauma iatrogenik ke uretra akibat trauma pemasangan kateter,
prosedur transuretral juga sering dijumpai.
Secara klinis trauma uretra dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori besar
berdasarkan lokasi anatomi trauma menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra
posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma,
tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya. Trauma uretra posterior terletak di uretra
pars membranosa dan uretra pars prostatika. Trauma ini paling sering berhubungan
dengan trauma tumpul besar seperti tabrakan kendaraan bermotor dan jatuh, dan sebagian
besar kasus tersebut disertai dengan patah tulang panggul. Trauma pada uretra anterior
terletak di distal uretra pars membranosa.Kebanyakan trauma uretra anterior disebabkan
oleh trauma tumpul ke perineum (straddle injury), dan banyak yang manifestasinya
tertunda, muncul beberapa tahun kemudian sebagai striktur uretra. Trauma tembus
eksternal ke uretra jarang terjadi, tetapi luka iatrogenik cukup umum di kedua segmen
uretra. Kebanyakan berhubungan dengan kateterisasi uretra yang sulit.

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini untuk

melaporkan

kasus dengan

gambaran
radiologis ruptur parsial uretra anterior pada pemeriksaan uretrografi yang sesuai
dengan referensi.

BAB II
TENTANG PENYAKIT

2.1 Definisi
Trauma buli-buli atau vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang
memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat,peritonitis dan sepsis secara anatomic
buli-buli terletak dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga jarang
mengalami cidera.
Cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi.
Kemungkinan cedera kandung kemih bervariasi menurut isi kandung kemih, sehingga
bila kandung kemih penuh akan lebih mungkin untuk menjadi luka daripada saat kosong.
Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsang
peritoneum termasuk defans muskuler dan sindrome ileus paralitik.
Ruptur ekstraperitoneal saluran kemih dapat menimbulkan gejala dan tanda infiltrasi urin
retroperitoneal yang mudah menimbulkan septisemia.

Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan
kerja yang menyebabakan fragmen patah tulang pelvis mncederai buli-buli. Ruptur
kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ruptur kandung
kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur ulang pelvis pada
dinding depan kandung kemih yang penuh. Kateter urin merupakan suatu tindakan

dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu
mengeluarkan urin.
Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa,
khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi.
Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain, yaitu:
untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil,
untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat

aliran urin, untuk menghasilkan

drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau
menyediakan cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit
berat.
Smith (2003) melaporkan pemasangan kateter dilakukan lebih dari lima ribu
pasien setiap tahunnya, dimana sebanyak 4 % penggunaan kateter dilakukan pada
perawatan rumah dan sebanyak 25 % pada perawatan akut. Sebanyak 15 -25% pasien di
rumah sakit menggunakan kateter menetap untuk mengukur haluaran urin dan untuk
membantu pengosongan kandung kemih (The Joanna Briggs Institute, 2000). Tindakan
pemasangan kateter membantu pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau
pasien yang mengalami obstruksi. Namun tindakan inibisa juga menimbulkan masalah
lain seperti infeksi, trauma pada uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih.
Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat peasangan kateter dalam waktu yang
lama mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada
akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila hal ini terjadi dan kateter
dilepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat
mengontrol pengeluaran urinnya.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang


dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu
untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar
tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang
menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas
hidup.
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk dunia mengalami inkontinensia urin.
Di Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 persen
diantaranya perempuan. Jumlah ini sebenarnya masih sangat sedikit dari kondisi
sebenarnya, sebab masih banyak kasus yang tidak dilaporkan(PDPERSI, 2001). Di
Indonesia sekitar 5,8 persen penduduk Indonesia menderita inkontinensia urin. Jika
dibandingkan dengan Negara - negara Eropa, angka ini termasuk kecil. Hasil survey yang
dilakukan di rumah sakit -rumah sakit menunjukkan, penderita inkontinesia di seluruh
Indonesia mencapai 4,7 persen atau sekitar 5 -7 juta penduduk dan enam puluh persen
diantaranya adalah wanita. Meski tidak berbahaya, namun gangguan ini tentu sangat
mengganggu dan membuat malu, sehingga menimbulkan rasa rendah diri atau depresi
pada penderitanya (PDPERSI, 2002).Universitas Sumatera Utara Inkontinensia

urin

yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien,
seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka
pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi
pengontrolan keluarnya urin.

Penanganan inkontinensia urin sebagian besar tergantung kepada penyebabnya.


Salah satu usaha untuk mengatasi kondisi ini berupa program latihan kandung kemih atau
bladder training (Long, 1996). Bladder training atau latihan kandung kemih merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah kejadian ini. Bladder training atau
latihan kandung kemih merupakan upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang
mengalami gangguan, ke keadaan normal atau fungsi optimalnya sesuai dengan
kondisinya semula.
Penelitian yang dilakuka n oleh Fantl (1991) mengenai efektivitas bladder training
didapatkan, bahwa sebanyak 50 % dari sampel percobaan menjadi mampu mengontrol
kencing, dan 12 % menjadi total kontinen. Sedangkan penelitian yang dilakukan Hariyati
(2000) mengenai pengaruh bladder training dengan proses pemulihan inkontinensia urin
pasien stroke diperoleh lama inkontinensia urin rata - rata 13,11 hari pada pasien yang
diberi bladder training sedangkan di ruangan kontrol 22,7 hari. Melihat akibat yang dapat
ditimbulkan, maka peneliti tertarik untuk melihat pengaruh bladder training terhadap
minimalisasi terjadinya inkontinensia urin pada pasien post kateter urin.

2.2 Patogenesis
trauma vesika urinaria terbanyak karena kecelakaan lalu lintas/kecelakaan kerja yang
menyebabkan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-bui. Trauma vesika urinaria
tumpul dapat menyebabkan rupture buli-buli terutama bila kandung kemih penuh atau
terdapat kelainan patologis seperti tuberculosis, tumor atau obstruksi sehingga

menyebabkan ruptur. Trauma vesika urinaria tajam akibat luka tusuk atau luka tembak
lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah suprapubic ataupun transperineal dan
penyebab lain adalah instrumentasi urologic. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan
kontusio atau rupture kandung kemih, pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada
dinding buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasase. Ruptur kandung kemih ekstra
peritoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding depan
kandung kemih yang penuh

2.3 Diagnosa
1. Rupture kandung kemih
2. Hematokrit menurun
3. cystografi menunjukkan ekstravasase urine, vesika urinaria dapat pindah atau tertekan

2.4 tatalaksana (pengobatan)


a) Istirahat baring sampai hematuri makroskopik hilang
b) Minum banyak air meningkatan diuresis. Bila penderita miksi dengan
lancar berarti tidak ada ruptur buli-buli ataupun uretra.
c) Bila hematuria berat dan menetap sampai 5-6 hari pasca trauma, buat
sistogram untuk mencari penyebab lain.
d) Obat-obatan : antibiotic ampicillin 4 kali 250-500 mg/hari peroral. Asam
tranexamat Per oral.
e) Pemeriksaan kandung kemih :
Pemeriksaan fisik trauma kandung kemih Inspeksi:
Perhatikan abdomen bagian bawah, kandung kemih adalah organ berongga

yang mampu membesar untuk mengumpulkan dan mengeluarkan urin


yang dibuat ginjal

Perkusi:
a)

Pasien dalam posisi terlentang

b)

Perkusi dilakukan dari arah depan

c)

Lakukan pengetukan pada daerah kandung kemih, daerah

suprapubis

Palpasi:
Lakukan palpasi kandung kemih pada daerah suprapubis.
A. Normalnya kandung kemih terletak di bawah simfibis pubis tetapi
setelah membesar meregang ini dapat terlihat distensi pada area
suprapubis
B. Bila kandung kemih penuh akan terdengar dullness atau redup
C. Pada kondisi yang berarti urin dapat dikeluarkan secara lengkap pada
kandung kemih. Kandung kemih tidak teraba. Bila ada obstruksi urin
normal maka urin tidak dapat dikeluarkan dari kandung kemih maka akan
terkumpul. Hal ini mengakibatkan distensi kandung kemih yang bias di
palpasi di daerah suprapubis.
Pemeriksaan pembantu
Tes buli-buli :
a)

Buli-buli dikosongkan dengan kateter, lalu dimasukkan 500 ml

larutan garam faal yang sedikit melebihi kapasitas buli-buli.


b)

Kateter di klem sebentar, lalu dibuka kembali, bila selisihnya

cukup besar mungkin terdapat rupture buli-buli.


i. Kekurangan dari tes ini adalah:
ii. Hasil negatif palsu bil daerah ruptura tertutup bekuan darah, usus
atau omentum.
iii. Hasil positif palsu bila muara kateter terlalu tinggi atau kateter
tersumbat bekuan darah sehingga selisih cairan tak bisa keluar.
iv. Sukar membedakan jenis ekstraperitoneal dengan intraperitoneal
v. Bahaya infeksi dan peritonitis bila ada ruptur jenis intraperitoneal.

Ruptur buli-buli
Pada jenis ekstraperitoneal akan timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi di
daerah suprapubik akibat masuknya urin ke kavum Retzii. Benjolan ini sukar dibedakan
dari hematom akibat patah tulang pelvis yang sering menyertai. Patah tulang pelvis dapat
diketahui bila terasa nyeri waktu diadakan penekanan pada kedua krista iliaka.
Bila dalam 24 jam nyeri di daerah suprapubik makin meningkat di samping adanya anuri,
diagnnosa ruptura buli-buli ekstraperitoneal dapat dibuat. Pada jenis intraperitoneal, urin
masuk ke rongga perut sehingga perut makin kembung dan timbul tanda rangsang
peritoneum. Mungkin juga terdapat nyeri suprapubik, tetapi tak terdapat benjolan dan
perkusi pekak.

BAB III
Tentang Obat Yang Digunakan

3.1 sifat fisiko kimia dari rumus kimia obat

AMPICILLIN
ampicillin adalah antibiotic penisilin yang mengandung 500mg sulbactam setiap sau
gramnnya. Mekanisme kerjanya yaitu menghambat biosintesis dinding sel ,stabil
terhadap asam karena itu dapat digunakan secara oral. Ampicillin berbentuk anhidrat atau
trihidrat mengandung tidak kurang dari 900gram tiap milligram C16H19N3O4S
dihitung terhadap zat anhidrat. Secara komersial, sediaan ampicillin tersedia dalam
bentuk trihidrat untuk sediaan oral dan garam natrium untuk sediaan injeksi. Potensi
ampicillin trihidrat dan natrium penicillin dihitung berdasarkan basi anhydrous.
Ampicillin trihidrat berwarna putih, praktis tidak berbau, serbuk Kristal, dan larut dalam
air. Ampicillin trihidrat mempunyai kelarutan dalam air sekitar 6 mg/ml pada suhu 200C
dan 10mg/ml pada suhu 40C. Ampicillin sodium berwarna hampir putih, praktis tidak
berbau, serbuk Kristal, serbuk hidroskopis, sangat larut dalam air, mengandung 0,9%
natrium klorida. Pelarutan natrium ampicillin dengan larutan yang sesuai, maka 10mg
ampicillin per ml memiliki pH 8-10. Jika dilarutkan secara langsung ampicillin trihidrat
oral suspensi memiliki pH antara 5-7,5.

ASAM TRANEXAMAT
Asam tranexamat : serbuk Kristal berwarna putih. Larut baik dalam air dan dalam asam
asetat glasial, stuktur kimia : C7H15N02.

3.2 farmakologi umum


AMPICILLIN
ampicillin : absorbsi : oral: 50%

distribusi : empedu, dan plasma jaringan; menembus ke jaringan serebrospinal terjadi


hanya ketika terjadi inlamasi meningitis.
Ikatan protein : 15-25%
T1/2 eliminasi : anak-anak dan dewasa 1-1,8 jam. Anuria/ ARF: 7-20 jam.
Tmax: oral: 1-2 jam.
Ekskresi : urin (90% bentuk utuh) dalam 24 jam.
Dialisis : moderat dialisis melalui hemo atau peritoneal dialisis : 20-50%

ASAM TRANEXAMAT
Asam tranexamat diabsorbsi dari saluran cerna dengan konsentrasi plasma puncak
tercapai setelah 3 jam. Asam tranexamat bioavailabilitasnya sekitar 3050%, di distribusikan hampir ke seluruh permukaan tubuh dan mempunyai
ikatan protein yang lemah; berdifusi ke placenta dan air susu. Waktu paruh
eliminasi adalah 3 jam, diekskresikan dalam urin sebagai obat tidak
beubah.

3.3 farmakodinamik
Ampicillin
khasiat dan kegunaan terapi : antibiotic spectrum luas, infeksi saluran kencing, saluran
pernafasan, pencernaan.
Kontra indikasi : hipersensitifitas terhadap penisilin.
Adona AC-17

Khasiat dan kegunaan terapi : tendensi pendarahan yang disebabkan menurunnya


resistensi kapiler dan meningkatnya permeabilitas kapiler; pendarahan dikulit mukosa
membrane pendarahan ginjal dan metrorrhagia.
Kontra indikasi : penderita yang hipersensitif terhadap komponen obat.

ASAM TRANEXAMAT
Khasiat dan kegunaan terapi :
Kontra indikasi : pasien tromboembolik
3.4 farmakokinetik
Ampicillin
Pola ADME
Absorpsi

: absorpsi ampicillin relative lambat, laju absorpsi sekitar 50%. Kadar


darah maksimum dicapai setelah kira-kira 2 jam. waktu paruh plasma
sekitar 1-2jam. Ampicillin mengalami sirkulasi entero hepatic, kadar
dalam empedu jauh lebih besar daripada kadar dalam plasma.

Distribusi

: secara luas distribusi kedalam asites, pleural dan cairan sendi

(konsentrasi terapi peraradangan), CSF, Empedu (konsentrasi tinggi), melewati placenta


dan air susu (konsentrasi kecil). Protein-binding 20%.
Metabolisme : dikonpersi menjadi derivate penisiloic acid mengalami metabolisme di
hati.
Ekskresi

: terjadi melalui ginjal dalam bentuk semula, dan terjadi melalui sekresi
tubulus.

Waktu paruh : waktu paruh plasma sekitar 1-2jam. Ampicillin mengalami sirkulasi entero
hepatic, kadar dalam empedu jauh lebih besar daripada kadar dalam
plasma.
Ikatan protein : menghambat inding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih penicillin
(PBPs- Protein binding penisilins) sehingga menyebabkan penghambatan
pada tahap akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel
bakteri akibatnya biosintesis dinding sel terhambat dan sel bakteri menjadi
pecah (lisis)
Bioavailabilitas : 40% (oral)

Asam tranexamat
Pola ADME
ABSORBSI
Distribusi

: di saluran cerna
: di distribusikan hampir ke seluruh tubuh dan mempunyai ikatan protein
yang lemah.

Metabolisme
Cara kerja

: hanya sebagian kecil dari obat dimetabolisme (kurang dari 5%).


: asam tranexamat merupakan inhibitor fibrinolitik sintetik bentuk trans
dari asam karboksilat sikloheksana aminometil. Secara in vitro, asam
tranexamat 10 kali lebih poten dari asam aminokaproat. Asam tranexamat
merupakan competitive inhibitor dari activator plasminogen dan
penghambat

plasmin.

Plasmin

sendiri

berperan

menghancurkan

fibrinogen, fibrin dan factor pembekuan darah lain, oleh karena itu asam

tranexamat dapat digunakan untuk membantu mengatasi perdarahan akibat


fibrinolisis yang berlebihan.
Ekskresi

: diekskresikan dalam urin sebagai obat tidak beubah.

Waktu paruh

: eliminasi 3 jam.

Ikatan protein : Protein plasma mengikat asam traneksamat adalah sekitar 3% pada
tingkat plasma terapi dan tampaknya sepenuhnya dijelaskan oleh apa yang
mengikat plasminogen (tidak mengikat albumin serum).

Bioavailabilitas: asam tranexamat bioavailabilitasnya sekitar 30-50%, di distribusikan


hampir ke seluruh permukaan tubuh dan mempunyai ikatan protein yang
lemah; berdifusi ke placenta dan air susu. Waktu paruh eliminasi adalah 3
jam, diekskresikan dalam urin sebagai obat tidak beubah.

BAB IV
KESIMPULAN

Trauma buli-buli atau vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang
memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat,peritonitis dan sepsis secara anatomic
buli-buli terletak dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga jarang
mengalami cidera.

Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan
kerja yang menyebabakan fragmen patah tulang pelvis mncederai buli-buli. Ruptur
kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ruptur kandung
kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur ulang pelvis pada
dinding depan kandung kemih yang penuh. Kateter urin merupakan suatu tindakan
dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu
mengeluarkan urin.

Cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi. Kemungkinan
cedera kandung kemih bervariasi menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung
kemih penuh akan lebih mungkin untuk menjadi luka daripada satu kosong (arif muttaqin
: 211)
Klasifikasinya rupture ekstaperitoneal kandung kemih, rupture kandung kemih
intraperitoneal, kombinasi rupture intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Komplikasi yang
akan terjadi perdarahan, shock, sepsis, ekstravasasi (penyebaran darah ke jariangan).

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. Dkk. 2005. MIMS Indonesia Penunjuk Konsultasi.CMB Medika


Nursalam, (2007). Askep pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perizalium. Jakarta:
Salemba Medika
Muttaqin, Arif.

2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:

Salemba Medika
Mutschler, Ernst. 1999. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi Edisi 5. Bandung: ITB
Rohman, Abdul. 2004. Analisis Obat dan Makanan. Pustaka Pelajar
IAI,TIM. 2012. ISO Indonesia volume 6. ISFI Indonesia
Smeltzer, Suzane. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC
Trisanti, dkk. (2009). Askep Gawat Darurat. Jakarta: TIM

You might also like