You are on page 1of 21

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF)

A. Definisi
Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
B. Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun
1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak
dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi
kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh provinsi di
Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan
kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3%
pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun
1991.
C. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype

terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk
Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering
ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau
tempat penampungan air sekitar rumah.
D. Patogenesis
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigenantibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Secondary heterologous dengue infection


Replikasi virus

Anamnestic antibody

Kompleks virus antibody


Agregasi trombosit

Aktivasi

koagulasi

Aktivasi

komplemen
Penghancuran
trombosit oleh RES

Pengeluaran

Aktivasi faktor Hageman

platelet faktor III

Anafilatoksin
Trombositopenia

Koagulopati

Sistem kinin

konsumtif
Gangguan

Kinin

Peningkatan
fungsi trombosit

penurunan faktor

permeabilitas
pembekuan
kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif
syok
Gambar 1. Patogenesis Perdarahan pada DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat

KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,


perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
E. Diagnosis
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,
nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut
dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:


o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)


sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemi.

WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 :


a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti
mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar
mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur
F. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang
mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung
2-7 hari. Naik turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik.
Demam biasanya menurun pada hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda
anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba dingin dan
lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38-40 C) dengan
gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti , anoreksi,
lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat. Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada

campak, demam chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie,


purpura, ekomosis, epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesisi melena.
Uji tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8
cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai
ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga
2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak
sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati
berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan
ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk. Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan
denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang
dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan tekanan darah kurang dari 80
mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis
pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji
serologi hemaglutnasi
3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.
4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)

7) Natrium rendah (hiponatremia)


8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria)
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan
dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites
dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat
menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya
dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
Ig G dan Ig M
H. Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi
bakteri virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid,campak, influenza
hepatitis, demam, chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan
penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD,

DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih


pendek,

suhu

lebih

tinggi,

hamper

selalu

disertai

ruam

makulopapular,injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi.


Proporsi uji tourniquet positif, petekie epistaksis hampir sama dengan
DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis,
sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan
tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai
dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada hitung jenis)
pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri
dengan virus. Pada meningitis meningokokus, jelas terdapat gejala
rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
d. Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demamdisertai perdarahan dibawah
kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan
penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai
leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran
kekanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombositlebih cepat kembali normal daripada ITP
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis.

Pemeriksaan

darah

tepi

dan

sumsum

tulang

akan

memperjelasdiagnosis leukemia. Pada anemia aplastik akan sangat anemic,


demam timbul karena infeksi sekunder. Pada pemeriksaan darahditemukan
pansitopenia (leukosit, hemoglobin, trombosit menurun).

Pada pasien

dengan perdarahan hebat pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi
pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.

I.

Penatalaksanaan
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan
DBD derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 1 dan 2)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan
peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 3)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV.
(Bagan 4)

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD


Tersangka
DBD
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu
Ada kedaruratan
Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit
<100.000/l

Tidak ada kedaruratan


Periksa uji torniquet
Uji torniquet (+)
(Rumple Leede)

Jumlah trombosit
>100.000/l

Tatalaksana
hilang
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)

Uji torniquet (-)


(Rumple Leede)

Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam

Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan
Minum banyak 1,5 liter/hari
Parasetamol

Nilai tanda klinis &


jumlah trombosit, Ht
bila
masih

demam
Kontrol tiap hari
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali

hari sakit ke-3

Perhatian untuk orang tua


Pesan bila timbul tanda syok:
gelisah, lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, BAB hitam,
BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik
Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit

10

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II


tanpa peningkatan hematokrit[2]
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum
Beri minum banyak 1-2 liter/hari
Atau 1 sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman; air putih, teh manis,
Sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu >39oC beri parasetamol
Bila kejang beri obat antikonvulsi
Sesuai berat badan
badan

Pasien tidak dapat minum


Pasien muntah terus menerus

Pasang infus NaCl 0,9%:


dekstrosa 5% (1:3)
tetesan rumatan sesuai berat
Periksa

Ht,

Hb

tiap

jam,trombosit
Tiap 6-12 jam
Monitor gejala klinis dan laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Perbaikan klinis dan laboratoris
4)

Ht naik dan atau trombosit turun

Infus ganti RL
(tetesan disesuaikan, lihat Bagan

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/l
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

11

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan


hematokrit >20%[2]
DBD derajat
I atauIIIatau
dengan
peningkatan
hematokrit
DBD derajat
II dengan
peningkatan
hematokrit >20%
>20%
Cairan awal
RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%
+D5
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan
perbaikan
Tidak gelisah
Gelisah
Nadi kuat
pernafasan
Tek.darah stabil
Frek.nadi naik
Diuresis cukup
Ht tetap tinggi/naik
(12 ml/kgBB/jam)
<20 mmHg
Ht turun
</tidak ada
(2x pemeriksaan)

Tidak ada

Distress

Tanda vital memburuk


Ht meningkat

Tek.nadi
Diuresis

Tetesan dikurangi

Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan

5 ml/kgBB/jam
Evaluasi
12-24 jam
Tanda vital tidak
stabil
Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan
Ht turun
Ht naik

3ml/kgBB/jam
Tek.nadi < 20 mmHg

IVFD stop setelah 24-48 jam


Apabila tanda vital/Ht stabil dan
Transfusi darah segar
diuresis cukup
ml/kgBB

Koloid
20-30 ml/kgBB

10

12

Indikasi Transfusi
pd
Anak
- Syok yang
belum teratasi
Perbaikan

- Perdarahan

masif
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV (Sindrom
Syok Dengue/SSD)[6,2]

DBD derajat III & IV


1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit
2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid
isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 15 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan
intravena
Syok teratasi
tidak teratasi
Kesadaran membaik
menurun
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi >20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
pernafasan/sianosis
Ekstrimitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
dingin

Syok
Kesadaran
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi <20 mmHg
Distress
Kulit dingin dan lembab
Ekstrimitas
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan


Lanjutkan cairan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
koloid/plasma
Tanda perdarahan
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit

1.
15-20 ml/kgBB/jam
2.

Tambahkan
Dekstran/FFP

3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

13

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
belum teratasi
Ht stabil dalam 2x
Pemeriksaan
tinggi/naik

Syok
Syok teratasi
Ht turun

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Ht

tetap

Transfusi darah segar


10 ml/kgBB
Koloid
20

ml/kgBB
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi

dapat diulang sesuai


kebutuhan

HEPATITIS B
A. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan
peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati
atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6
bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak
menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi
anatomi selama 6 bulan.
B. Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA
terkecil berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae
berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan
rata-rata 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core.
C. Penularan
Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan
menembus membran mukosa, terutama berhubungan seksual. Penanda
HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang
yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal,
asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan
saliva) telah diketahui infeksius.

14

Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah


secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau
horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual,
iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat
dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi
tertinggi pada serum.
D. Patofisiologi
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B.
Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran
sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar.
Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan
nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan
menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses
selanjutnya adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk
protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah,
terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon
imunologik penderita terhadap infeksi.
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap
sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan
kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap antigen virus
merupakan faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses
klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan
semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon
seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke
permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted
CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB setelah mengalami proses
intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul Major
Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan
penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+.
E. Manifestasi klinis

15

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut


cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka
pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan
intensitas yang lebih berat .

16

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:


1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus.
Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 6090 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum,
mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia.
Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan
menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan
aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang
menjadi fulminant.
F. Diagnosis

17

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali
riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning
sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan
penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi
hepar. Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan
biokimia, serologis, dan molekuler. Pemeriksaan USG abdomen tampak
gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar dapat menunjukkan
gambaran peradangan dan fibrosis hati.

G. Terapi
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas.
Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa
lebih baik. Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama
diberikan pada pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika
malam hari.
18

Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk


mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat
mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau
mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati,
menghilangkan DNA VHB (dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada
pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan
setelah akhir pengobatan.
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare
yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis
dan/atau

HCC

(Hepato

Cellular

Carcinoma),

dan

pada

akhirnya

memperpanjang usia. Terapi antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk


Hepatitis B kronik adalah Interferon, Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan
Entecavir.

BAB III
PEMBAHASAN

19

1.

Pada pasien DHF mengalami fase demam selama 2-7 hari yang
diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada saat pasien MRS sudah mengalami fase
demam hari ke 5 dan pada saat pemeriksaan (hari ke 9) demam sudah tidak

didapatkan.
2.
Dari anamnesis terdapat keluhan lemas, pusing, dan nyeri di ulu hati.
Ini merupakan beberapa manifestasi klinis dari DHF.
Trombositopenia merupakan keadaan dimana trombosit berada

3.

dibawah nilai normal yaitu < 150.000. Umumnya trombositopenia terjadi pada
hari ke 3 sampai ke 8. Pada pasien ini mengalami trombositopenia pada saat
MRS hingga saat pemeriksaan.
Pada pemeriksaan serologi Ig G anti DHF dan Ig M anti DHF

4.

didapatkan hasil yang positif ini menandakan adanya infeksi virus dengue pada
tubuh pasien.
Pada saat pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda tanda

5.

perdarahan spontan sehingga dapat dikategorikan DHF derajat 1.


6.
HBsAg positif pada pasien merupakan indikator bahwa terdapat
virus hepatitits B yang menginfeksi tubuh pasien namun pada pemeriksaan
SGPT didapatkan hasil yang normal dan tidak terdapat tanda tanda klinis pada
pasien.
7.

Peningkatan SGOT dan DBIL mengindikasi adanya kelainan pada


hati.

DAFTAR PUSTAKA

20

1) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue


di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3.
Jakarta. 2004.
2) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
3) Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta, Agustus 2002.
4) Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2. Jakarta.
1998.
5) Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. PubMed Central
Journal
List.
Terdapat
di:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601. Diakses
pada: 2009, Desember 29.
6) Gubler DJ, Clark GG. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever: The Emergence
of a Global Health Problem. National Center for Infectious Diseases
Centers
for
Disease
Control
and
Prevention
Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160.
Diakses
pada:
2009,
Desember 29.
7) Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease.
Terdapat di: http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada:
2009, Desember 29.
8) World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat
di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 2009,
Desember 29.
9) Arief, Sjamsul. 2012. Hepatitis Virus. Dalam: Juffriee, Mohammad. Buku
Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Badan Penerbit IDAI, Jakarta: 296-7.
10) Dienstag, Jules L. 2008. Drug Therapy Hepatitis B Virus Infection. The New
England Journal of Medcine 359;14: 1486-1500.
11) Ganem, Don., Prince, Alfred M. 2004. Mechanism Of Disease Hepatitis B
Virus Infection-Natural History and Clinical Consequences. The New England
Journal of Medcine 350; 11.
12) Gerlich, Wolfram H. 2013. Medical Virology of Hepatitis B. Virology
Journal,
Vol. 10:239.

21

You might also like