Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata ajaran Keperawatan Medikal Bedah III
oleh :
bandung
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban
tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who)
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti india dan vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940 dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab
lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar.
Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980 penyakit
ini pun mampu ditangani kembali.
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf
tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang
bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah.
Oleh karena itu penulis membuat makalah tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan Morbus Hansen.
B.
Tujuan
Tujuan umum:
Tujuan khusus.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
C.
Metode penulisan
a.
Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 4 bab yaitu : bab I
Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metode
Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II Tinjauan Teortis yang berisi
mengemukakan teori dan konsep dasar Morbus Hansen yang meliputi : Anatomi dan
fisiolog, Pengertian, Penyebab, Proses Terjadinya, Gejala, Pemeriksaan diagnostik,
dan Asuhan Keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A.
Sistem integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang
menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit.
Kulit merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling
luar sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme
serta mudah dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh
darah, saraf, dan kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk
terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari
berat badan. Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.
1.
LAPISAN EPIDERMIR
Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung
pembuluh darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan
kaki tebalnya 1.5 mm. Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah
menjadi paling luar 30 hari.
1. Stratum corneum
Adalah lapisan tanduk yang berada paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel
gepeng yang mati dan tidak berinti dan mengandung zat keratin.
2.
Stratum lucidum
Adalah lapisan yang terdapat langsung dibawah laisan korneum, merupakan lapisan
selgepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang
disebut eleidin.
3.
Stratum Granulosum
4.
Stratum Spinosum
5.
Stratum basale
merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel berbentuk
kubus (kolumnar) yang berbaris seperti pagar (palisade). Didalam lapisan ini
terdapat melanosit, sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel berwarna
muda mengandung pigmen-pigmen melanosom.
2. LAPISAN DERMIS
Adalah lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a.
yaitu bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah yang menyokong dan member nutrisi pada epidermis. Lapisan
papila hampir tidak mengandung jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang tipis.
Lapisan ini dikenal dengan lapisan subepitel karena dibawah lapisan epitel
epidermis. Lapisan ini disebut juga lapisan papila karena terdapat papila (kecil,
seperti jari-jari) yang berikatan dengan epidermis. Kebanyakan papila mengandung
kapiler untuk memberi nutrisi pada epidermis. Papila dengan serabut dobel
ditelapak tangan dan kaki membentuk sidik jari.
b.
Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang kasar dan
berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring. Garis-garis
serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses pembedahan.
Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh daripada yang
paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak mengandung pembuluh
darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel adiposa(lemak), kelenjar minyak
dan akar rambut, reseptor untuk tekanan dalam. Bagian terbawah lapisan ini
mengandung serabut otot polos (khususnya didada dan putting susu genital) dan
folikel rambut.
Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan
leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. di
samping itu, di dalam lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar
keringat.
w Kelenjar ekrin, yang berukuran kecil, terletak di bagian dangkal dermis dengan
secret yang encer. Kelenjat ini langsung bermuara di permukaan kulit. kelenjat ini
terdapat di seluruh permukaan kulit, terbanyak pada bagian dahi, tangan, kaki, dan
aksila.
w kelenjar apokrin, yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih
kental. kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenargi, terdapat di aksila, aerola
mammae, pubis, labia minora dan saluran telinga luar.
w Rambut lanugo, denagn ciri pendek, tidak berpigmen, halus, dan akarnya di
dalam dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut yang ada pada tubuh
bayi (biasnya akan hilang setelah lahir).
w Rambut terminal, dengan cirri lebih panjang, lebih kasar, berpigmen, berkumpul
di daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis. rambut ini memiliki siklus
pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per bulan (mis, rambut kepala).
3. LAPISAN SUBKUTIS
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan
kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis,
batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada bagian yang banyak bergerak
jaringan hipodermis kurang, pada bagian yan melapisi otot atau tulang
mengandung anyaman serabut yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai
bantalan (payudara dan tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi
lemak pada lapisan ini banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh
terutama pada wanita.
FUNGSI KULIT
b. Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat
membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain
fungsi perlindungan pasif, lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan
limfosit yang di produksi oleh sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk
menyerang berbagai mikroorganisme penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini
merupakan peran aktif dalam perlindungan tubuh.
c. Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas
dari tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam
kata lain lemak menghambat pengeluaran panas dari tubuh. . Kecepatan aliran
darah ke kulit menyebabkan konduksi panas sangat efisien. Konduksi panas ke kulit
diatur oleh sistem syaraf simpatis. Syaraf simpatis mengatur kecepatan lairan darah
dengan menstimulasi vaso konstriksi dan vaso dilatasi.
B.
PENGERTIAN
Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)
Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
C.
ETIOLOGI
D.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu
2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi
basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.
4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orangorang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan
hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat
permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan yang
5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan
berkembangnya virus M.Leprae.
E.
MANIFESTASI KLINIS
1.
2.
Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki dan mata.
3.
F.
Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit
PATOFISIOLOGI
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki
bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan
dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC
(Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+
akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang
makrofag bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor)
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself
sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non
professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti
sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan
menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati
rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau
lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok.
Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si
penderita cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul
(benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang
atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan
benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta
dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu
mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama sama akan menyebabkan kebutaan
G.
KLASIFIKASI LEPRA
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif,
permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah
lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan
berbatas jelas.
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang
dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium
lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies
leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar
limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang
luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
G.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.
Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh
diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,
penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2.
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa
raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin
dalam tabung reaksi (rasa suhu).
3.
Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus,
n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan
adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak
saat saraf diraba.
4.
Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan
pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil
tinta.
1. Bercak (makula)
a.
Jumlah
b.
Ukuran
c.
Distribusi
d.
Permukaan
e.
Batas
f.
Gangguan sensitibilitas
g.
2. Infiltrat
a.
Kulit
b.
3. Nodulus
5.
Deformitas (cacat)
6.
Sediaan apus
7. ciri-ciri khusus
1-5
Tegas
Tidak ada
Tidak ada
BTA negatif
Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut
Kadang-kadang ada
Terjadi pada yang lanjut, biasanya lebih dari satu dan simetris
BTA positif
punched
Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)
Lesi kulit
Kerusakan saraf
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
>5
Hilangnya sensasi
5.
Pemeriksaan Bakteriologis
Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan lesi di tempat lain
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
a.
b.
a.
b.
c.
Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila
sediaan apus kulit negative
d.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung lebih
dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain
a.
b.
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat
d.
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin
ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular
(granulates), globus, dan clamps.
6.
+1
+2
+3
7.
+4
+5
+6
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk
mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM
sebagai berikut :
Lokasi pengambilan
Kepadatan
Solid
Fragmented/granulated
Paha kiri
Bokong kanan
5+
4+
4+
4+
95
94
97
96
17 +
18
382
H.
PENATALAKSANAAN
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan
DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka
putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Tipe PB
1)
2)
Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah
3)
Klofazimin :
Harian
50 mg/2 kali/minggu
DDS :
Rifampisin :
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta
tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin
600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan
RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis
dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
Putus Obat
Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
I.
Indikasi Rujukan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
Indikasi social
J.
KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
K.
PENATALAKSANAAN MEDIS
1.
Prinsip pengobatan
a.
Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorukuin, prednisolon sebagai anti
inflamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
Aspirin
Klorukuin
3 x 150 mg/hari
Prednisone
30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan
atau dapat juga diberikan secara dosis terbagi misalnya: 4 x 2 tablet/hari,
berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respons maksimal.
Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis. Bila
tidak ada perbaikan maka dosis prednisone yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4
minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg jadi 20 mg sehari). Setelah
ada perbvaikan dosis diturunkan.
b.
Istirahat/imobilisasi
c.
Obat yang digunakan sebagai analgetik adalah aspirin, parasetamol, dan antimony.
Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri
(aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgetik). Menurut WHO (1998),
parastamo juga dapay digunakan sebagai analgetik. Sedangkan antimony yang
digunakan pada reaksi tipe II ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang
kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksik. Dosis obat yang digunakan
sebagai berikut :
Aspirin
Parasetamol
Antimony
2.
a.
Aspirin dan talidomid biasa digunakan untuk reaksi ringan. Bila dianggap perlu
dapat diberikan klorokuin selama 3-5 hari.
b.
Istirahat/imobilisasi
c.
d.
3.
Pada reaksi berat diberikan prednisone dalam dosis tunggal atau terbagi
Istirahat/imobilisasi
Imobilisasi local pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan
pasien dirawat inap di rumah sakit.]
Rehabilitasi
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Kaji biodata pasien untuk melengkapi rekamedis pasien dan untuk
memudahkan dalam melakukan asuhan keperawatan. Usia dan jenis kelamin
merupakan data dasar yang penting. Tempat tinggal pasien sangat penting karena
kusta paling sering terjadi daerah dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan
insidennya meningkat pada daerah tropis / sub tropis. Kaji pula secara lengkap jenis
pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi, resiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.
2.
Keluhan utama. Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan
keluhan adanya bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari jari
3.
Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji
kapan timbulnya, dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun
keluhan lainnya. Pada beberapa kasus ditemukan keluhan lainnya gatal, nyeri,
panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah mengalami pemeriksaan
laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami
penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles atau
diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan perubahan
warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan apakah keluhan ini
pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah obat apa yang pernah diminum? Teratur
atau tidak?
4.
Riwayat penyakit dahulu. Salah satufaktor penyebabpenyakit kusta adalah
daya tahan tubuh yang menurun. Akibatny M leprae dapat masuk kedalam tubuh.
Oleh karena itu perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain .
5.
Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika
anggota keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta. Resiko tinggi kkusta bisa
terjadi. Kaji juga apakah ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang
sama? Baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal.
6.
Riwayat psikososial, kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu perlu dikaji juga konsep diri serta respon masyarakat terhadap
klien.
7.
Kebiasaan sehari hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola
kebiasaan sehari hari.perawat perlu mengkaji status gizi pola makan / nutrisi klien
karena mempengaruhi sistem imun. Jika sudah ada deformitas atau kecacatan,
maka aktivitas akan terganggu. Kaji juga terhadap adanya dampak anstesi/
8.
Pemeriksaan fisik, harus diperiksa kelenjar regional karena dapat
ditemukannya pembesaran dari beberapa limfe.
Inspeksi
Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse otot yang ditandai
dengan kelumpuhan otot otot.
Diikutui adanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow hand, drop
foot, dan drop hand. Kaji juga adanya osteomilitis serta pemendekan kerusakan
tulang. Kaji pula kelainan mata akibat kelumpuhan. Inspeksi mata kering kereatitis
ulkus kornea iritis iridoksiklitik dan berakhir dengan kebutaan. Kaji adanya
ginekomastia.
Palpasi
Temukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika, pada tipe T, dan
makula non anastetika pada tipe L. Serta permukaan yang kering dan kasar.
Lakukan pemeriksaan sederhana, untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit
kusta serta untuk mengetahui adanyaanastesia pada lesi.
a.
Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga semua
petugas dapat melakukannya, penggunaan jarum untuk untuk mengetahui adanya
asa sakitdilakukan dengan meminta pasien menyebutkan area yang lbih terasa
nyeri. Serta kaji adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika disentuh kapas
atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu,
c.
Uji lepromin, untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta. Tipe
1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negatif.
Gangguan citra tubuh bd lesi pada kulit, perubahn bentuk wajah, kerontokan
rambut.
B.
Diagnosa Medis
1.
Resiko cedera b.d anestesi atau hilang rasa sakit akibat neuritis
2.
3.
4.
5.
6.
DK : Resiko cedera berhubungan dengan anestesi atau hilang rasa akibat neuritis.
1.
Klien dapat menidentifikasi faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko
cedcera pada dirinya.
2.
Rencana keperawatan
1)
Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang tentang penyebab ansietas
atau hilang rasa serta akibat yang ditimbulkan.
2)
3)
4)
a)
b)
Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran
c)
Kaji suhu air mandi.jika menggunakan air hangat gunakan termometer mandi.
d)
e)
f)
5)
1)
Klien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang perilaku sehat yang
diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhannya.
2)
Klien atau keluarga dapat menjelaskan proses terjadinya penyakit.penyebab,
faktor penyebab, serta pendukungnya,juga aturan dalam pengobatannya.
Rencana keperawatan
Kurang percaya
Kurang pengetahuan
Jelaskan tentang penyakit proses penyakit dan resiko yang terjadi jika tidak
diobati
Lam pengobatan
Hal hal yang timbul sama pengobatan seperti efek sampin dan reaksi yang
ditimbulkan
Pentingnya nutrisi.
Diagnosa
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
evaluasi warna sisi luka perhatikan ada atau tidak adanya penyembuhan.
ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan luka. serta cara mencegah
penularan.
diet TKTP dapat membantu dalam proses pembentukan jaringan dan sel baru.
No
Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat
Tunjukan cara pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti
jadwal.
Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi . bila bilateral, tiap mata
dapat berlanjut pada laju yang berbeda.
Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
2.
Berikan waktu untuk berbicara dengan pasien selama dan diantara aktivitas
perawatan. Tetap memberi dukungan, mengusahakan verbalisasi. Perlakukan
dengan penuh penghargaan dan menghormati perasan pasien.
3.
Batasi atau hindari penggunaan master, baju dan sarung tangan jika
memungkinkan, misalnya jika berbicara dengan pasien
5.Dorong kunjungan terbuka, hubungan telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat
yang memungkinkan
1.Isolasi sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut penolakan atau reaksi
orang lain
3.Mengurangi perasaan pasien akan isolasi fisik dan menciptakan hubungan sosial
yang positif, yang dapat meningkatkan rasa percaya diri
4.Jika pasien mendapatkan bantuan dari orang terdekat, perasaan kesepian dan
ditolak akan berkurang
Diagnosa
Kriteria Hasil
intervensi
Rasional
Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali denagn pasif
kemudian aktif.
Instruksikan dan bantu dalam mobilitas, contoh tongkat, walker, secara tepat
Dorong partisipasi pasien dalam semua aktivitas sesuai dengan kemampuan
individual.
Memampukan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien
dan memberikan terapi lebih konstan/konsisten.
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Rasional
Klien menilai keadaan dirinya terhadap hal-hal yang realistic tanpa menyimpang.
Hindari mengkritik.
Agar pasien merasa nyaman ketika berhubungan social dengan orang lain.
Agar pasien merasa nyaman dan tidak terbebani karna masalah kesehatanya.
BAB III
A.
Kesimpulan
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa
pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Cet. 2, Ed.3 . Jakarta : FKUI.
Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Integumen Cet. 1. Jakarta : EGC.
hidayat2.wordpress.com/2009/05/26/askep-lepra
kuliah+keperawatan+kebidanan+asuhan+keperawatan+lepra
ads.masbuchin.com/search/askep%20lepra