You are on page 1of 87

ASUHAN KEPERAWATAN STIKES BORROMEUS

PAIAN TUA PAKPAHAN

KLO MAU YANG LAINNYA LIAT AJA DI "ARSIP BLOG

Minggu, 17 Oktober 2010

ASKEP MORBUS HENSEN

ASKEP MORBUS HENSEN

MAKALAH

disusun untuk memenuhi tugas mata ajaran Keperawatan Medikal Bedah III

oleh :

KELAS SANTA TERESA

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

Sekolah tinggi ilmu kesehatan santo borromeus

bandung

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar belakang

Kusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban
tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who)
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti india dan vietnam.

Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940 dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab
lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar.
Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980 penyakit
ini pun mampu ditangani kembali.

Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf
tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang
bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah.

Oleh karena itu penulis membuat makalah tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan Morbus Hansen.

B.

Tujuan

Tujuan umum:

Agar mahasiswa STIKes St. Borromeus D III Keperawatan tingkat 2 semester 4


dapat memahami askep pada klien dengan gangguan Morbus Hansen

Tujuan khusus.

1.

Dapat memahami anatomi dan fisiologi dari system integument.

2.

Dapat memahami pengertian Morbus hansen

3.

Dapat memahami penyebab terjadinya Morbus Hansen

4.

Dapat memahami proses terjadinya Morbus Hansen

5.

Dapat memahami gejala dari Morbus Hansen

6.

Dapat memahami asuhan keperawatan Morbus Hansen

C.

Metode penulisan

Kami menggunakan metode diskusi, konsultasi serta mengambil beberapa teori


yang yang bersangkutan dari beberapa buku dan mengumpulkan beberapa teori
yang kami ambil dari internet untuk dapat menyusun makalah ini.

a.

Sistematika penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 4 bab yaitu : bab I
Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metode
Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II Tinjauan Teortis yang berisi
mengemukakan teori dan konsep dasar Morbus Hansen yang meliputi : Anatomi dan
fisiolog, Pengertian, Penyebab, Proses Terjadinya, Gejala, Pemeriksaan diagnostik,
dan Asuhan Keperawatan.

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A.

ANATOMI FISIOLOGI INTEGUMEN

Sistem integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang
menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit.
Kulit merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling
luar sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme
serta mudah dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh
darah, saraf, dan kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk
terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari
berat badan. Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.

1.

LAPISAN EPIDERMIR

Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung
pembuluh darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan
kaki tebalnya 1.5 mm. Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah
menjadi paling luar 30 hari.

Bagian-bagian lapisan epidermis:

1. Stratum corneum

Adalah lapisan tanduk yang berada paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel
gepeng yang mati dan tidak berinti dan mengandung zat keratin.

2.

Stratum lucidum

Adalah lapisan yang terdapat langsung dibawah laisan korneum, merupakan lapisan
selgepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang
disebut eleidin.

3.

Stratum Granulosum

Merupakan lapisan epidermis yang mempunyai fungsi penting dalam


pembentukan protein dan ikatan kimia stratum korneum. selnya gepeng,berinti dan
protoplasma berbutir besar.

4.

Stratum Spinosum

Adalah lapisan yang mengalami prose mitosis. Protoplasmanya jernih karena


mengandung glikogen dan inti selnya di tengah-tengah. Sel bentuk dan besarnya
berbeda karena proses mitosis.

5.

Stratum basale

merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel berbentuk
kubus (kolumnar) yang berbaris seperti pagar (palisade). Didalam lapisan ini
terdapat melanosit, sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel berwarna
muda mengandung pigmen-pigmen melanosom.

2. LAPISAN DERMIS

Adalah lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:

a.

Pars Papilaris (Stratum Papilar)

yaitu bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah yang menyokong dan member nutrisi pada epidermis. Lapisan
papila hampir tidak mengandung jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang tipis.
Lapisan ini dikenal dengan lapisan subepitel karena dibawah lapisan epitel
epidermis. Lapisan ini disebut juga lapisan papila karena terdapat papila (kecil,
seperti jari-jari) yang berikatan dengan epidermis. Kebanyakan papila mengandung
kapiler untuk memberi nutrisi pada epidermis. Papila dengan serabut dobel
ditelapak tangan dan kaki membentuk sidik jari.

b.

Pars Retikularis (Stratum Retikularis),

Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang kasar dan
berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring. Garis-garis
serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses pembedahan.
Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh daripada yang
paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak mengandung pembuluh
darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel adiposa(lemak), kelenjar minyak
dan akar rambut, reseptor untuk tekanan dalam. Bagian terbawah lapisan ini

mengandung serabut otot polos (khususnya didada dan putting susu genital) dan
folikel rambut.

Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan
leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. di
samping itu, di dalam lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar
keringat.

Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu:

w Kelenjar ekrin, yang berukuran kecil, terletak di bagian dangkal dermis dengan
secret yang encer. Kelenjat ini langsung bermuara di permukaan kulit. kelenjat ini
terdapat di seluruh permukaan kulit, terbanyak pada bagian dahi, tangan, kaki, dan
aksila.

w kelenjar apokrin, yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih
kental. kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenargi, terdapat di aksila, aerola
mammae, pubis, labia minora dan saluran telinga luar.

Manusia memiliki dua jenis rambut, yaitu:

w Rambut lanugo, denagn ciri pendek, tidak berpigmen, halus, dan akarnya di
dalam dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut yang ada pada tubuh
bayi (biasnya akan hilang setelah lahir).

w Rambut terminal, dengan cirri lebih panjang, lebih kasar, berpigmen, berkumpul
di daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis. rambut ini memiliki siklus
pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per bulan (mis, rambut kepala).

3. LAPISAN SUBKUTIS

Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan
kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis,
batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada bagian yang banyak bergerak
jaringan hipodermis kurang, pada bagian yan melapisi otot atau tulang
mengandung anyaman serabut yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai
bantalan (payudara dan tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi
lemak pada lapisan ini banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh
terutama pada wanita.

FUNGSI KULIT

Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya dalah:

a. Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya

b. Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat
membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain
fungsi perlindungan pasif, lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan

limfosit yang di produksi oleh sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk
menyerang berbagai mikroorganisme penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini
merupakan peran aktif dalam perlindungan tubuh.

c. Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas
dari tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam
kata lain lemak menghambat pengeluaran panas dari tubuh. . Kecepatan aliran
darah ke kulit menyebabkan konduksi panas sangat efisien. Konduksi panas ke kulit
diatur oleh sistem syaraf simpatis. Syaraf simpatis mengatur kecepatan lairan darah
dengan menstimulasi vaso konstriksi dan vaso dilatasi.

d. Ekskresi: Melalui perspirasi/berkeringat, membuang sejumah kecil urea.

e. Sintesis: Konversi 7-dehydrocholesterol menjadi Vit D3(cholecalciferol) dengan


bantuan sinar U.V. Kekurangan UV dan Vit D mengakibatkan absorpsi Ca dari
intestinal ke darah menurun.

f. Sensori persepsi: mengandung reseptor terhadap panas, dingin, nyeri, sentuhan


/raba, tekanan. Juga mengandung ujung-ujung syaraf bebas yang berfungsi sebagai
homeostatis.

B.

PENGERTIAN

Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)

Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan


disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)


Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

C.

ETIOLOGI

Mycrobacterium Lepra yang merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat


intraseluler yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah diri
Mycrobacterium leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan
kuman lain, yaitu 12-21 hari masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40
tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung, melalui saluran pennapasan
(inhalasi) dan kulit (kontak langsung dengan penderita yang lama dan erat). Kuman
tersebut dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat,septum dan air susu
ibu

D.

FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA PENYAKIT

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu

1. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh


bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk
kuman yang telah hancur akibat pengobatan.

2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi
basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.

3. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan


hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh.

4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orangorang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan
hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat
permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan yang

5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan
berkembangnya virus M.Leprae.

E.
MANIFESTASI KLINIS

1.

Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa

2.
Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki dan mata.

3.

F.

Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit

PATOFISIOLOGI

Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman Mycobacterium


Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai
sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf
tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf
pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta,
dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.

Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki
bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan
dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC
(Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+

akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang
makrofag bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor)
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself
sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non
professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti
sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan
menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati
rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau
lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok.
Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si
penderita cacat seumur hidup.

Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul
(benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia.

Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan


hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini
dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh
testis.

Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang
atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan
benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta
dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu
mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama sama akan menyebabkan kebutaan

G.

KLASIFIKASI LEPRA

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif,
permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah
lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan
berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang
dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium
lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies
leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar
limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang
luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

G.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1.
Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh
diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,
penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).

2.
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa
raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin
dalam tabung reaksi (rasa suhu).

3.
Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus,
n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan
adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak
saat saraf diraba.

4.
Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan
pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil
tinta.

Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP

Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan bakteriologis

Tipe Pause Basiler

Tipe Multi Basiler

1. Bercak (makula)

a.

Jumlah

b.

Ukuran

c.

Distribusi

d.

Permukaan

e.

Batas

f.

Gangguan sensitibilitas

g.

Kehilangan kemampuan berkeringat, bulu rontok pada bercak

2. Infiltrat

a.

Kulit

b.

Membrana mukosa (hidung tersumbat pendarahan di hidung)

3. Nodulus

4. Penebalan syaraf tepi

5.

Deformitas (cacat)

6.

Sediaan apus

7. ciri-ciri khusus

1-5

Kecil dan besar

Unilateral atau bilateral asimetris

Kering dan kasar

Tegas

Selalu ada dan jelas

Bertcak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak

Tidak ada

Tidak pernah ada

Tidak ada

Lebih sering terjadi dini, asimetris

Biasanya asimetris terjadi dini

BTA negatif

Central healing penyembuhan di tengah

Banyak

Kecil-kecil

Bilateral, simetris

Halus, berkilat

Kurang tegas

Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut

Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok

Ada, kadang-kadang tidak ada

Ada, kadang-kadang tidak ada

Kadang-kadang ada

Terjadi pada yang lanjut, biasanya lebih dari satu dan simetris

Terjadi pada usia lanjut

BTA positif

punched

Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)

Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995)

Tipe Pause Basiler

Tipe Multi Basiler

Lesi kulit

(macula datar, papul yang meninggi, nodus)

Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang


terkena)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf

>5

Distribusi lebih simetris

Hilangnya sensasi

Banyak cabang saraf

Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995)

5.

Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :

Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif


Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan lesi di tempat lain

Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul

Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :

a.

Cuping telinga kiri/kanan

b.

Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain

Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :

a.

Tidak menyenangkan pasien

b.

Positif palsu karena ada mikobakterium lain

c.
Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila
sediaan apus kulit negative

d.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung lebih
dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain

a.

Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :

Semua orang yang dicurigai menderita kusta

b.

Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta

c.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat

d.

Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali

Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu


Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.

Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin
ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular
(granulates), globus, dan clamps.

6.

Indeks Bakteri (IB)

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB


digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut :

bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

+1

Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

+2

Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

+3

Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

7.

+4

Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+5

Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+6

Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk
mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM
sebagai berikut :

Lokasi pengambilan

Kepadatan

Solid

Fragmented/granulated

Daun telinga kiri

Daun telinga kanan

Paha kiri

Bokong kanan

5+

4+

4+

4+

95

94

97

96

17 +

18

382

H.

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta


dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan
DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka
putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai


berikut

Tipe PB

Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :

1)

Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas

2)
Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah

3)

DDS 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai


minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat
kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteti positif.
Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan
dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak

Klofazimin :

umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan

Harian

Umur 11-14 tahun

50 mg/2 kali/minggu

bulanan 100 mg/bulan

Harian 50 mg/3 kali/minggu

DDS :

1-2 mg/jkg berat badan

Rifampisin :

10-15 mg/kg berat badan

Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta
tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin
600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan

RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis
dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

Putus Obat

Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

I.

Indikasi Rujukan

a.

Memastikan diagnosis penyakit kusta

b.

Neuritis akut dan subakut

c.

Reaksi reversal berat

d.

Reaksi ENL berat

e.

Komplikasi pada mata

f.

Reaksi terhadap antikusta

g.

Tersangka resisten terhadap antikusta

h.

Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic

i.

Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat

j.

Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi

k.

l.

Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi

Luka lebar dan dalam pada anggota gerak

m.

Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic

n.

Pasien yang memerlukan protese

o.

Indikasi social

J.

KOMPLIKASI

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

K.

PENATALAKSANAAN MEDIS

1.

Prinsip pengobatan

a.

Pemberiaan obat antireaksi.

Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorukuin, prednisolon sebagai anti
inflamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :

Aspirin

600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Klorukuin

3 x 150 mg/hari

Prednisone
30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan
atau dapat juga diberikan secara dosis terbagi misalnya: 4 x 2 tablet/hari,
berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respons maksimal.

Untuk melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunakan


talidomid. Dosis talidomoid 400 mg/hari yang berangsur-angsur diturunkan sampai
50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomoid bersifat
teratogenik.

Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis. Bila
tidak ada perbaikan maka dosis prednisone yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4
minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg jadi 20 mg sehari). Setelah
ada perbvaikan dosis diturunkan.

Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin.


Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin
ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3 x 100 mg/hari
selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan
menjadi 2 x 100 mg/ hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/hari
selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50
mg/hari.

b.

Istirahat/imobilisasi

c.

Pemberian analgetik dan sedative.

Obat yang digunakan sebagai analgetik adalah aspirin, parasetamol, dan antimony.
Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri
(aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgetik). Menurut WHO (1998),
parastamo juga dapay digunakan sebagai analgetik. Sedangkan antimony yang
digunakan pada reaksi tipe II ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang
kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksik. Dosis obat yang digunakan
sebagai berikut :

Aspirin

Parasetamol

Antimony

600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari.

300-1000 mg yang diberikan 4-6 kali sehari (dewasa).

2-3 ml diberikan secara selang-seling, maksimum 30 ml.

d. Obat-obatan kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.untuk semua tipe


reaksi, bila tidak ada kontraindikasi, semua obat antikusta dosis penuh harus tretap
diberikan.

2.

Pengobatan reaksi ringan

a.

Pemberian obat antireaksi

Aspirin dan talidomid biasa digunakan untuk reaksi ringan. Bila dianggap perlu
dapat diberikan klorokuin selama 3-5 hari.

b.

Istirahat/imobilisasi

Berobat jalan dan istirahat di rumah.

c.

Pemberian analgetik dan sedative

Pemberian analgetik dan obat penenang bila perlu.

d.

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.

3.

Pengobatan reaksi berat

Pemberian obat antireaksi

Pada reaksi berat diberikan prednisone dalam dosis tunggal atau terbagi

Istirahat/imobilisasi

Imobilisasi local pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan
pasien dirawat inap di rumah sakit.]

Pemberian analgetik dan sedative

Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.

Rehabilitasi

Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha


medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi.
Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan
semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan
teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.

Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien sehingga


menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan peralatan
kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.

ASUHAN KEPERAWATAN

A.

Pengkajian

1.
Kaji biodata pasien untuk melengkapi rekamedis pasien dan untuk
memudahkan dalam melakukan asuhan keperawatan. Usia dan jenis kelamin
merupakan data dasar yang penting. Tempat tinggal pasien sangat penting karena
kusta paling sering terjadi daerah dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan
insidennya meningkat pada daerah tropis / sub tropis. Kaji pula secara lengkap jenis
pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi, resiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.

2.
Keluhan utama. Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan
keluhan adanya bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari jari

3.
Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji
kapan timbulnya, dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun
keluhan lainnya. Pada beberapa kasus ditemukan keluhan lainnya gatal, nyeri,
panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah mengalami pemeriksaan
laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami
penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles atau
diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan perubahan
warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan apakah keluhan ini
pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah obat apa yang pernah diminum? Teratur
atau tidak?

4.
Riwayat penyakit dahulu. Salah satufaktor penyebabpenyakit kusta adalah
daya tahan tubuh yang menurun. Akibatny M leprae dapat masuk kedalam tubuh.
Oleh karena itu perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain .

5.
Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika
anggota keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta. Resiko tinggi kkusta bisa

terjadi. Kaji juga apakah ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang
sama? Baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal.

6.
Riwayat psikososial, kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu perlu dikaji juga konsep diri serta respon masyarakat terhadap
klien.

7.
Kebiasaan sehari hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola
kebiasaan sehari hari.perawat perlu mengkaji status gizi pola makan / nutrisi klien
karena mempengaruhi sistem imun. Jika sudah ada deformitas atau kecacatan,
maka aktivitas akan terganggu. Kaji juga terhadap adanya dampak anstesi/

8.
Pemeriksaan fisik, harus diperiksa kelenjar regional karena dapat
ditemukannya pembesaran dari beberapa limfe.

Inspeksi

Kaji adanya ruam, hipo pigmentasi atau hiprpigmentasi sert eritematosa.dengan


permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang kurang jelas. Pada tipe
tuberkuloid dapat ditemukan gangguan saraf kulit. Yang disrtai dengan penebalan
syaraf, adanya nyeri tekan akibat adanya jarinagn fibrosa, anhidrisi, dan kerontokan
rambut.pada tipe lepromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah singa.

Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse otot yang ditandai
dengan kelumpuhan otot otot.

Diikutui adanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow hand, drop
foot, dan drop hand. Kaji juga adanya osteomilitis serta pemendekan kerusakan
tulang. Kaji pula kelainan mata akibat kelumpuhan. Inspeksi mata kering kereatitis
ulkus kornea iritis iridoksiklitik dan berakhir dengan kebutaan. Kaji adanya
ginekomastia.

Palpasi

Temukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika, pada tipe T, dan
makula non anastetika pada tipe L. Serta permukaan yang kering dan kasar.
Lakukan pemeriksaan sederhana, untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit
kusta serta untuk mengetahui adanyaanastesia pada lesi.

a.
Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga semua
petugas dapat melakukannya, penggunaan jarum untuk untuk mengetahui adanya
asa sakitdilakukan dengan meminta pasien menyebutkan area yang lbih terasa
nyeri. Serta kaji adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika disentuh kapas
atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu,

b. Uji keringat, biasanya akan ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar


keringat, uji ini dilakukan dengan menggores lesi dengan pinsil tinta mulai dari
beberapa cm dari arah dalam keluar. Hasilnya akan terjadi perubahan warna ungu
sedangkan di area lesi tidak.

c.
Uji lepromin, untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta. Tipe
1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negatif.

Diagnosis dan intervensi.

Diagnosis keperawatan yang mungkin mungkin muncul adalah:

Gangguan citra tubuh bd lesi pada kulit, perubahn bentuk wajah, kerontokan
rambut.

Resiko cedera bd anastesia atau hilang rasa akibat neuritis.

Penatalaksanaan program terapetik: ketidak efektifan bd rumitnya program


pengobatan.

Gangguan persepsi pengelihatan bd dengan kelumpuhan m orbicularis,

Gangguan peran bd terbatasnya aktivitas sebagai dampak dari mutilasi ansorpsi


tulang dan otot.

B.

Diagnosa Medis

1.

Resiko cedera b.d anestesi atau hilang rasa sakit akibat neuritis

2.

Kerusakan intergritas kulit b.d adanya lesi

3.

Perubahan gangguan persepsi visual b.d penurunan penglihatan

4.

Isolasi sosial b.d perubahan bentuk tubuh

5.

Gangguan aktivitas b.d kelumpuhan otot

6.

Gangguan konsep diri b.d perubahan penampilan fisik

DK : Resiko cedera berhubungan dengan anestesi atau hilang rasa akibat neuritis.

Hasil yang diharapkan:

1.
Klien dapat menidentifikasi faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko
cedcera pada dirinya.

2.

Klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.

Rencana keperawatan

1)
Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang tentang penyebab ansietas
atau hilang rasa serta akibat yang ditimbulkan.

2)

Kaji faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera.

3)

Kurangi atau hilangkan faktor penyebab jika mungkin.

4)

Ajari cara pencegahan:

a)

Gunakan selalu alas kaki.

b)

Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran

c)

Kaji suhu air mandi.jika menggunakan air hangat gunakan termometer mandi.

d)

Gunakan pelindung tangan saat mengangkat kompor,.

e)

Jangan gunakan baju panjang ketika sedang memasak.

f)

Hati hati dan waspada selau jika beraktifitas di dapur.

5)

Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan di rumah.

DK penatalaksanaan aturan terapetik: ketidak efektifan bd rumitnya program


pengobatan,

Hasil yang diharapkan

1)
Klien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang perilaku sehat yang
diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhannya.

2)
Klien atau keluarga dapat menjelaskan proses terjadinya penyakit.penyebab,
faktor penyebab, serta pendukungnya,juga aturan dalam pengobatannya.

Rencana keperawatan

Identifikasi faktor penyebab ketidak efektifan penatalaksanaan

Kurang percaya

Kurang pengetahuan

Kurangnya sumber sumber pendukung

Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga.

Jelaskan tentang penyakit proses penyakit dan resiko yang terjadi jika tidak
diobati

Beri penyuluhan tentamng perawatan tentang penderira kusta tentang penyakit,


sebelum pengobatan selam pengobatan, setelah pengobatan.

Perlunya pengobatan yang teratur,.

Cara makan obat

Lam pengobatan

Hal hal yang timbul sama pengobatan seperti efek sampin dan reaksi yang
ditimbulkan

Program tindak lanjut setelah RFT

Perawatan luka dirumah

Perubahan gaya hidup

Pentingnya nutrisi.

Diagnosa

Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Kerusakan intergritas kulit b.d adanya lesi

Lesi tidak menyebar

Pasien merasa nyaman

Kaji/catat ukuran warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan


kondisi sekitar luka.

berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan control infeksi.

evaluasi warna sisi luka perhatikan ada atau tidak adanya penyembuhan.

lakukan advis dokter untuk memberikan obat sesuai dosis.

lakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nitrisi TKTP.


ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan luka. serta cara mencegah
penularan.

memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penanaman kulit dan


kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi pada area graft.

menyiapkan jaringan untuk penanaman dan menurunkan resiko infeksi.

mengevaluasi keefektifan sirkulasi dan mengidentifikasi terjadinya


komplikasi.

terapi dibutuhkan pasien dalam proses penyembuhan.

diet TKTP dapat membantu dalam proses pembentukan jaringan dan sel baru.

membantu mempermudah serta mengarahkan keluarga dan pasien dalam


perawatan luka, juga dalam mencegah terjadinya penularan ke jaringan lain atau
pada keluraga.

No

Diagnosa Keperawatan

Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Gangguan sensori perceptual : penglihatan b/d hilangnya reflex berkedip

Klien berpartisipasi dalam program pengobatan

Mempertahankan penglihatan tanpa kehilangan leih lanjut.

Klien bisa mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap


perubahan

Klien bisa mengidentifikasi /memperbaiki potensial bahaya dalam lingkingan

Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat

Pastikan drajat/tipe kehilangan penglihatan klien

Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan tentang kehilangan/


kemungkinan kehilangan penglihatan


Tunjukan cara pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti
jadwal.

Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain diareanya.

Observasi tanda-tanda dan gejala-gejala disorientasi : pertahankan pagar


tempat tidur.

Letakan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan

Berikan obat sesuai indikasi

Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi . bila bilateral, tiap mata
dapat berlanjut pada laju yang berbeda.

Mempengaruhi harapan masa depan pasien dan pilihan intervensi

Sementara intervensi dini mencegah kebutaan, pasien menghadapi


kemungkinan atau mengalami pengalaman kehilangan penglihatan sebagian atau
total. Meskipun kehilangan pengelihatan telah terjadi tak dapat di perbaiki
(meskipun dengan pengobatan), kehilangan lanjut dapat dicegah

Mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut.

Memberi peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan, menurunkan cemas.

Terbangun dalam lingkungan yang tak dikenal dan mengalami keterbatasan


penglihatan dapat mengakibatkan bingung. Menurnkan resiko jatuh pada saat
terbangun.

Memungkinkan pasien menggapai objek yang lebih mudah dan memudahkan


panggilan untuk pertolongan bila diperlukan

Untuk membantu/mencegah ke keadaan kehilangan penglihatan lebih lanjut.

Diagnosa Keperawatan

Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Isolasi sosial b.d perubahan bentuk tubuh

Menunjukkan peningkatan perasaan harga diri

Berpartisipasi dalam aktivitas/progam pada tingkat kemampuan

1.

Tentukan presepsi pasien tentang situasi

2.
Berikan waktu untuk berbicara dengan pasien selama dan diantara aktivitas
perawatan. Tetap memberi dukungan, mengusahakan verbalisasi. Perlakukan
dengan penuh penghargaan dan menghormati perasan pasien.

3.
Batasi atau hindari penggunaan master, baju dan sarung tangan jika
memungkinkan, misalnya jika berbicara dengan pasien

4. Identifikasi sistem pendukung yang tersedia bagi pasien, termasuk


adanya/hubungan dengan keluarga kecil dan besar

5.Dorong kunjungan terbuka, hubungan telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat
yang memungkinkan

6.Dorong adanya hubungan yang aktif dengan orang terdekat

7.Kembangkan perencanaan tindakan dengan pasien

8. Rujuk pada sumber sumber pelayanan sosial, konselor dan organisasi

1.Isolasi sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut penolakan atau reaksi
orang lain

2.Pasien mungkin akan mengalami isolasi fisik

3.Mengurangi perasaan pasien akan isolasi fisik dan menciptakan hubungan sosial
yang positif, yang dapat meningkatkan rasa percaya diri

4.Jika pasien mendapatkan bantuan dari orang terdekat, perasaan kesepian dan
ditolak akan berkurang

5.Partisipasi orang lain dapat meningkatkan rasa kebersamaan

6.Membantu memantapkan partisipasi pada hubungan sosial. Dapat mengurangi


kemungkinan upaya bunuh diri

7.Memiliki rencana yang dapat meningkatkan kontrol terhadap kehidupan sendiri


dan beri pasien sesuatu untuk memandang kedepan/melakukan penyelesain.

8.Adanya sistem pendukung yang dapat mengurangi perasaan terisolasi

Diagnosa

Kriteria Hasil

intervensi

Rasional

Gangguan aktivitas b.d kelumpuhan otot

memepertahankan dan bila mungkin meningkatkan kekuatan dan ketahanan pada


ekstremitas.

Pantau TTV klien


Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali denagn pasif
kemudian aktif.

Jadwalkan penobatan dan aktivitas perawtan untuk memberikan periode


istirahat tak terganggu.

Instruksikan dan bantu dalam mobilitas, contoh tongkat, walker, secara tepat

Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang terdekat pada latihan tentang


gerak.


Dorong partisipasi pasien dalam semua aktivitas sesuai dengan kemampuan
individual.

Toleransi terhadap peningkatan aktivitas tergantung pada kemammpuan


klien untuk beradaptasi pada kebutuhan fisiologis dari peningkatan aktivitas.

Adaptasi memerlukan fungsi kardiovaskular, neurologis dan muskuloskleal


optimal.

Meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/sendi dan menurunkan kehilangan


kalsium dari tulang

Meningkatkan toleransi pasien terhadap aktivitas.

Meningkatkan keamanan ambulasi.


Memampukan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien
dan memberikan terapi lebih konstan/konsisten.

meningkatkan kemandirian, meningkatkan harga diri, dan membantu proses


perbaikan.

Diagnosa Keperawatan

Kriteria yang diharapkan

Intervensi Keperawatan

Rasional

Gangguan konsep diri B.d perubahan penampilan fisik

Klien mengatakan dan menunjukan peneimaan atas penampilanNya.

Menunjukan keinginan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.

Klien dapat mengidentifikasi aspek positif diri

Klien menilai keadaan dirinya terhadap hal-hal yang realistic tanpa menyimpang.

Bina hubungan saling percaya antara perawat-klien.

Dorong klien untuk mengajukan pertanyaan mengenai masalah kesehatan,


pengobatan, dan kemajuan pengobatan dan kemungkinan hasilnya.

Dorong klien untuk menyatakan perasaannya, terutama tentang cara ia


merasakan, berfikir dan memandang dirinya.

Hindari mengkritik.

Jaga privasi dan lingkungan individu.

Tingkatkan interaksi social klien.

Berikan informasi yang dapat dipercaya dan kejelasan informasi.

Dorong klien dan keluarga untuk menerima keadaan.

Untuk menjalin rasa percaya.

Agar pasien merasa ada harapan yang kuat untuk sembuh.

Supaya pasien tidak terbebani sendiri dengan keadaan yang dialaminya.

Agar pasien tidak minder sewaktu bersosialisasi.

Agar pasien merasa nyaman.

Agar pasien merasa nyaman ketika berhubungan social dengan orang lain.

Agar klien mengerti tidakan untuk menanggulangi masalah kesehatanya.

Agar pasien merasa nyaman dan tidak terbebani karna masalah kesehatanya.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa
pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak

seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan


anggota tubuh yang begitu mudah.

B.

Saran

Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan


makalah ini, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi penyempurnaan mkalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Cet. 2, Ed.3 . Jakarta : FKUI.

Price, Sylvia Anderson.2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit.Jakarta : EGC.

Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Integumen Cet. 1. Jakarta : EGC.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta :


EGC.

hidayat2.wordpress.com/2009/05/26/askep-lepra
kuliah+keperawatan+kebidanan+asuhan+keperawatan+lepra

ads.masbuchin.com/search/askep%20lepra

You might also like