You are on page 1of 11

TENTANG APOTEK RAKYAT

Apotek

merupakan

tempat

tertentu,

tempat

dilakukannya

pekerjaan

kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya


kepada masyarakat. (Kepmenkes 1332 tahun 2002 pasal 1 ayat 1). Pekerjaan
kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi,

pengamanan,

pengadaan,

penyimpanan

dan

pendistribusian

obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional (PP 51 tahun 2009). Didalm pekerjaan
kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian utama karena apoteker
merupakan tenaga kefarmasian yang mempunyai keahlian dan wewenang sebagai
penanggung jawab dalam pekerjaan kefarmasian di apotek.
Saat ini, perubahan pekerjaan kefarmasian di apotek telah berpindah fokus
yang semula hanya penyaluran obat-obatan kea rah fokus yang lebih terarah pada
kepedulian terhadap pasoen disebut sebagai asuhan kefarmasian (pharmaceutical
care) yang meliputi pemberian informasi, edukasi, konseling sampai dengan
monitoring obat kepada pasien guna meningkatkan penggunaan obat

secara

rasional untuk dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.


Berbeda dengan Apotek Rakyat, Apotek Rakyat menurut Peraturan Menteri
Kesehatan

no.284/MENKES/PER/III/2007

adalah

sarana

kesehatan

tempat

dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukannya penyerahan obat dan


perbekalan kesehatan dan tidak melakukan peracikan serta tidak boleh menyimpan
dan menyerahkan narkotika dan psikotropika. Apotek Rakyat ini merupakan
gabungan paling banyak 4(empat) Pedagang Eceran Obat yang dipimpin oleh
1(satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab dan dapat dibantu oleh asisten
apoteker.
Pada tanggal 8 Maret 2007 telah ditandatangani oleh Menteri Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan no.284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek Rakyat,
beberapa hal yang dapat disampaikan adalah :
A. APOTEK ADALAH SARANA PELAYANAN KESEHATAN
Menurut pasal 6 da 7 UU no.23 tahun 1992 tentang kesehatan, disebutkan
bahwa

pemerintah

penyelenggaraan

bertugas

upaya

mengatur,

kesehatan;

serta

membina,

dan

mengawasi

menyelenggarakan

upaya

kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Upaya kesehatan


adala setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang

dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Sarana kesehatan adalah


tempat untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut pasal 36, apotek
adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan. Tugas dan fungsi apotek
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah no. 26 tahun 1965 pasal 2 yaitu
sebagai berikut:
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melakukan peracikan obat, pengubahan betuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat
yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
Hal-hal terkait dengan apotek diatur dalam ketentuan-ketentuan muai dari
UU obat keras tahun 1949; reglement DVG tahun 1949, Permenkes no.26
tahun 1982 beserta Kepmenkes no. 278, 279, dan 280; Permenkes no. 244
tahun 1990, Permenkes no. 922 tahun 1993; Kepmenkes no. 1332 tahun
2002, dan Kepmenkes no. 1027 tahun 2004. Ketentuan-ketentuan yang ada
tersebut mengatur hal-hal yang mendukung tugas dan fungsi apotek tersebut
di atas.
Apotek sampai saat ini dipahami sebagai suatu institusi yang
ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan sebagai sarana pelaksanaan tugas
pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
khususnya menyalurkan obat kepada masyarakat. Obat dalam hal ini adalah
obat yang memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam hal jaminan
keabsahan, mutu, khasiat, dan keamanannya. Narkotika dan

psikotropika

adalah bagian dari perbekalan farmasi yang dibutuhkan oleh masyarakat,


demikian

juga

peracikan,

kegiatan

inipun

diperlukan

dalam

rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Di apotek


rakyat kegiatan peracikan, penyerahan narkotika dan psikotropika dilarang,
sehingga apotek bkan lagi sebagai tempat dimana masyarakat dapat
memperoleh obat apapun sesuai kebutuhannya.
Dalam hal kefarmasian, di konsideran menimbang butir a dari
peraturan

tentang

apotek

rakyat

disebutkan

bahwa

dalam

rangka

meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat


dan untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian perlu dibuka kesempatan

pengembangan Pedagan Eceran Obat menjadi Apotek Rakyat. Pengubahan


bentuk dari Pedagang Eceran Obat menjadi Apotek rakyat tidak menjamin
perluasan akses terhadap obat, untuk obat keras mungkon betul karena
awalnya Pedagang Eceran Obat tidak boleh mengelola obat keras, tetapi
apabila dikaitkan denga peningkatan pelayanan kefarmasian maka mestinya
Pedagang

Eceran

Obat

menjadi

apotek

dan

bukan

apotek

rakyat.

Dibandingkan dengan ketentuan tentang apotek rakyat, ketentuan tentang


apotek lebih dapat menjamin bahwa pelayanan kefarmasian yang sesuai
sehingga tujuan peningkatan kualitas hidup pasien dapat diupayakan secara
optimal. Apabila konsep apotek memang diharapkan masih seperti yang telah
ada saat ini, mestinya apotek rakyat tidak menggunakan kata apotek.
B. PERMASALAHAN YANG MUNCUL TERKAIT DENGAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN YANG BERLAKU
Isi naskah dalam Peraturan Apotek Rakyat maknasnya terkesan bias
dan

banyak

sekali

menyimpang

dari

peraturan

perundang-undangan

sebelumnya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:


I.
Pada Bagian Menimbang
Butir a: Apotek Rakyat berasal dari Toko Obat Berijin yang telah
ada sebelumnya. Dari sini terlihat tujuan adanya program ini adalah
untuk pengembangan Pedagang Eceran Obat ( sama dengan Toko Obat
Berijin

sesuai

dengan

Permenkes No.

167/Kab/B.VII/1972

juncto

Kepmenkes No. 1331/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedagang Eceran


Obat), bukan untuk membuat baru suatu apotek rakyat. Di pasal 3 ayat
(1) dikatakan bahwa, Semua orang atau badan usaha dapat
mendirikan Apotek Rakyat. Dalam hal ini semestinya orang atau
badan usaha tersebut adalah orang atau badan usaha pemilik
Pedagang Eceran Obat yang telah ada kemudian mengembangkannya
menjadi apotek rakyat. Dalam lampiran (FORM APR 1) permenkes ini
terlihat bahwa permohonan izin apotek rakyat diajukan oleh seseorang
yang memiliki Surat Ijin Kerja atau Surat Penugasan bukan oleh orang
ata badan usaha, maka apotek rakyat ini seperti halnya apotek adalah
milik apoteker karena dialah yang diberi izin apotek rakyat (FORM APR
4); pemilik toko obat berijin/pedagang eceran obat hanya bertindak
sebagai pemilik sarana apotek saja. Sebagai pembanding dapat dilihat

pada lampiran arti dari kepmenkes no.1332 tahun 2002 tentang


ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek.
Butir b1: tulisan Apotek Rakyat disini tidak konsisten, di awal
tulisan Apotek dengan huruf e dan dibelakang dengan huruf I.
Perbedaan satu huruf dalam satu kata dapat menimbulkan makna
yang berbeda. Dalam penulisan kata Apotek Rakyat seharusnya selalu
II.

sama apalagi dalam satu naskah peraturan seperti ini..


Pada Bagian Menetapkan :
1. Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa Apoteker adalah sarjana farmasi
yang setelah lulus pendidikan

profesi dan telah mengucapkan

sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku


dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
sebagai Apoteker. Jadi artinya seorang Apoteker berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian. Pada pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa
Apotek Rakyat dilarang menyediakan Narkotika dan Psikotropika,
meracik obat, dan menyerahkan obat dakam jumlah besar.
Hal ini berarti seorang Apoteker tidak berhak meracik obat. Kedua
pasal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang telah berlaku, antara lain:
a. Reglement D.V.G (ST. 1882 no. 97) pasal 56 yang menyebutkan
Menjalankan peracikan obat yaitu oembuatan atau penyerahan
obat-obatan dengan maksud-maksud pengobatan. Yang berhak
menjalankan peracikan obat hanyalah Apoteker dan Asisten
Apoteker dengan persyaratan tertentu.
b. Permenkes No. 992/MENKES/PER/1993 pasal 10 (a) Pengelolaan
apotek

meliputi

pengubahan

pembuatan,

bentuk,

pengolahan,

pencampuran,

peracikan,

penyimpanan,

penyerahan obat atau bahan obat.


c. Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004

bab

II

dan

tentang

Pelayanan sediaan farmasi ( dalam hal ini sediaan farmasi


termasuk

obat)

meliputi

perencanaan,

pengadaan,

penyimpanan, dan pelayanan. Pada bab III tentang Pelayanan


Resep termasuk di dalamnya adalah Peracikan merupakan
kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas,
dan memberikan etiket pada wadah.

Jika melihat peraturan perundang-undangan sebelumnya maka


pada peraturan mengenai Apotek Rakyat dapat dikatakan bahwa
peran Apoteker di dalam Apotek Rakyat tidak ada karena tidak
boleh melakukan dan berarti apoteker tidak berhak melakukan
pekerjaan kefarmasiannya, yang meliputi pengendalian mutu,
pengamanan
informasi

mutu,

obat.

pengamanan

Jika

begitu

pengadaan,

seorang

dan

apotekertidak

pelayanan
memiliki

kompeensi dalam hal ini meracik obat, oadahal ini merupakan salah
satu pekerjaan kefarmasian dimana profesi lain tidak dapat
melakukannya (sesuai dengan PP No.51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian pasal 1 poin 1 yang berbunyi, Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan
pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat

atas

resep

dokter,

pelayanan

informasi

obat,

serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.


2. Pasal 1 ayat (6) dikatakn bahwa pelayanan kefarmasian adalah
salah satu bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi
apoteker

dalam

pelayanan

kefarmasian

untuk

meningkatkan

kualitas hidup pasien. Pada pasal ini kurang relevan karena


pelayanan
kefarmasian.

kefarmasian
Hal

ini

juga

tidak

1027/MENKES/SK/IX/2004

yang

diartikan

sesuai

dalam

dengan

mengatakan

pelayanan

Kepmenkes
bahwa

No.

pelayanan

kefarmasian adalah salah satu bentuk pelayanan dan tanggung


jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengertian pekerjaan
kefarmasian ini dapat dilihat pada UU Kesehatan di atas ( nomor 1
poin 1).
Tabel Perbedaan Sarana dan Prasarana Apotek dengan
Apotek Rakyat menurut Lampiran Form Apt-3 Kepmenkes
No. 1332 tahun 2002 dan Lampiran PerMenKes no. 284
tahun 2007
Sarana dan Prasarana Apotek

Sarana dan Prasarana Apotek Rakyat

Apoteker

pengelola

Apotek

harus

menunjuk Apoteker pendamping apabila


sedang

berhalangan

Tidak mensyaratkan adanya Apote


pendamping

melakukan

tugasnya.
Ruang Peracikan da penyerahan resep.

Tidak memiliki ruang peracikan kare

apotek rakyat hanya menyerahkan ob

keras, obat bebas terbatas, dan ob


Ruang administrasi.

bebas.
Tidak mensyaratkan
administrasi

adanya

walaupun

rua

dal

Sumber air harus memnuhi persyaratan

pengelolaan ada kegiatan administrasi


Tidak mensyaratkan adanya sumber

kesehatan.
Alat pemadam kebakaran dengan fungsi

karena tidak melakukan peracikan.


Tidak
mensyaratkan
adanya

baik sekurangnya 2 buah.


Ventilasi dan sanitasi yang baik serta

pemadam kebakaran.
Tidak
mensyaratkan

memenuhi persyaratan hygiene.

sanitasi

serta

ventilasi

higienitas,

sedangk

hanya mensyaratkan bebas dari hew


pengerat dan serangga.
3. Pasal 1 ayat (7) menyebutkan yang dimaksud dengan Dinas
Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota terkait
dengan kewenangannya dalam memberikan izin apotek. Apakah
dengan batasan tersebut Dinas Kesehatan Provinsi juga memiliki
kewenangan yang sama , tetapi dalam lampiran keputusan ini
hanya tertulis Dinas Keputusan Kabupaten/Kota dan tidak ada yang
menyebutkan Dinas Kesehatan Provinsi, begitu juga pada pasal 3
ayat (1).
4. Pasal 2 ayat (2) dam pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa Apotek
rakyat dapat didirikan oleh setiap orang atau badan usaha yang
artinya apoteker hanya sebagai penanggung jawab teknis dan
terkesan bahwa apotek rakyat berdiri atau didirikan karena
keinginan perseorangan atau badan usaha, dan bukan karena ada
apoteker maka apotek dapat berdiri. Disini peran apoteker hanya
sebagai penanggung jawab teknis yang berarti peranan apoteker

kembali seperti 42 tahun uang lalu yaitu seperti PP No. 26 tahun


1965 pasal 4 ayat (1) Penanggung jawab teknis farmasi, sesuai
dengan UU no. 7 tahun 1963 daripada sebuah apotek terletak pada
seorang apoteker, dan juga tidak sesuai dengan PP No. 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Hal ini juga tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yaitu Permenkes no. 922 tahun 1993 ( pasal 1 ayat c) tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek, yang menyebutkan
bahwa Surat Ijin Apotek / SIA adalah surat ijin yang diberikan oleh
menteri pada Apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan
pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek pada suatu tempat
tertentu. Jika Permenkes tentang apotek rakyat ini benar-benar
dilaksanakan maka dengan mudahnya individu atau badan usaha
mendirikan apotek dengan apoteker sebagai alatnya.
5. Pasal 4 ayat (2) dijelaskan bahwa pedagang eceran obat dapat
satu/gabungan dari paling banyak empat pedagang eceran obat.
Hal ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab dan beban kerja
dari apoteker semakin besar tetapi tidak sebanding dengan hasil
dan resiko yang didapat. Ini berarti pelayanan yang diberikan
apoteker

tidak

bias

optimal

karena

apoteker

tidak

dapat

memberikan pelayanan kefarmasian di beberapa tempat yang


berbeda dalam waktu yang bersamaan. Dalam hal ini menunjukkan
bahwa fungsi dari pelayanan apoteker seperti yang dilontarkan oleh
ISFI ( Tidak ada apoteker, tiada pelayanan) akan sulit atau bahkan
tidak tercapai dalam apotek rakyat ini.
6. Pasal 4 ayat (3b) dikatakan bahwa letak lokasi pedagang eceran
obat sebaiknya berdampingan untuk memudahkan pengelolaan,
tetapi tidak dijelaskan secara mendetail berapa jarak atau lokasi
yang berdampingan itu. Apakah bias terletak bersebelahan, tidak
dibatasi ruang, bertemu dinding samping, berhadap-hadapan, atau
satu lokasi tetapi tidak berdampingan ?

7. Pasal

ayat

(1)

menyatakan

bahwa

apotek

rakyat

harus

mengutamakan obat generik. Perlu diingat bahwa obat generic


( obat yang dijual dalam nama umum dan bukan nama dagang)
bukan selalu obat yang paling murah dan ketersediaannya untuk
semua

jenis

obat

tidak

selalu

ada.

Target

dari

pelayanan

kefarmasian sebenarnya agar pasien mendapatkan obat yang


rasional. Obat rasional adalah obat yang paling baik untuk pasien
yang bersangkutan dan memiliki harga nominal terendah dengan
manfaat yang sama. Kedua hal tersebut merupakan salah satu
aspek kerasionalan pemakaian obat.
8. Pasal 5 ayat (2) dijelaskan mengenai larangan apotek rakyat untuk
menyerahkan obat dalam jumlah besar, tetapi tidak disebutkan
seberapa besar batasannya. Dalam hal ini dapat memungkinkan
dokter atau bidan untuk membeli obat secara bebas dan untuk
melakukan dispensing, padahal ini tidak sesuai dengan UU No. 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 35 ayat (1j) yaitu
dokter atau dokter gigi dapat meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien bagi yang praktek di daerah terpencil dan tidak ada
apotek.

Selain itu juga dapat diartikan bahwa pembelian dapat

dilakukan dalam jumat kecil tetapi bagaimana keluarnya obat


tersebut tidak dijelaskan (menggunakan resep dokter atau dalam
bentuk pembelian obat bebas/obat bebas terbatas saja).
9. Pasal 5 ayat (2) menjelaskan bahwa apotek rakyat dilarang
menyediakan narkotika dan psikotropika, yang artinya peraturan ini
membatasi pekerjaan kefarmasian dan peran dari apoteker yang
telah diberi kewenangan untuk menyerahkan psikotropika dan
narkotika. Peraturan ini bertentangan dengan :
a. UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
Pasal 12
1) Penyaluran
psikotropika
dalam
rangka

peredaran

sebagaimana dimakasud dalam pasal 8 hanya dapat


dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah.

2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada


ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh :
a) Pabrik obat kepada pedagang
apotek,

sarana

penyimpanan

besar

farmasi,

sediaan

farmasi

pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian


dan/atau lembaga pendidikan.
b) Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar
farmasi

lainnya,

apotek,

sarana

penyimpanan

sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan


lembaga penelitiann dan/atau lembaga pendidikan.
c) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas dan
balai pengobatan pemerintah.
Pasal 14
1) Penyerahan
dilakukan
puskesmas,

Psikotropika
kepada
balai

oleh

apotek

apotek

lainnya,

pengobatan,

hanya

dapat

rumah

sakit,

dokter

dan

kepada

pengguna/pasien.
2) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumash sakit,
puskesmas,

dan

balai

pengobatan,

puskesmas

sebagaimana dimaksud pada butir a) dilaksanakan


berdasarkan resep dokter.
b. UU Narkotika No. 35 tahun 2009
Pasal 43
1) Penyeraan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh :
a. Apotek;
b. Rumah sakit;
c. Pusat kesehatan masyarakat;
d. Balai pengobatan; dan
e. Dokter.
2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada :
a. Rumah sakit;
b. Pusat kesehatan masyarakat;
c. Apotek lainnya;
d. Balai pengobatanl;
e. Dokter; dan
f. Pasien.
3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan
balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter.

10.Pada pasal 6 (1) disebutkan bahwa setiap apotek rakyat harus


memiliki satu orang apoteker sebagai penanggung jawab. Peraturan
ini masih lemah karena tidak menegaskan bahwa apoteker harus
ada jika apotek buka, dan apakah apoteker harus digantikan jika
berhalangan hadir. Padahal pada PerMenKes No. 1332 tahun 2002
pasal 19 disebutkan bahwa apoteker harus ada di apotek dimana
apabila apoteker pengelola apotek / apoteker penanggung jawab
berhalangan melakukan tugasnya dapat digantikan oleh apoterker
pendamping/ apoteker pengganti. Dan pada Permenkes ini tidak
disebutkan mengenai apoteker pendamping.
11.Peraturan ini juga tidak menjelaskan jam buka apotek padahal
apotek rakyat hanya memiliki satu apoteker yang artinya jika
apoteker berhalangan hadir tidak ada yang menggantikan. Hal ini
dapat

memicu

sekehendak

ketidaktertiban

hatinya,

sehingga

apotek

rakyat

pelayanan

untuk

kesehatan

buka
kepada

masyarakat menjadi kurang optimal karena ketika apotek buka


kemungkinan tidak ada apotekernya.
12.Pasal 9 dijelaskan mengenai sanksi bagi pelaggaran yang dilakukan
oleh apotek rakyat dimana akan dikenakan tindakan administrative
berupa teguran lisan, tertulis, sampai dengan pencabutan izin. Hal
ini

sangat menguntungkan

bagi apotek

rakyat dibandingkan

dengan apotek biasanya karena terkait tindakan pidana apabila


melakukan penjualan secara illegal seperti penjualan obat palsu,
obat kadaluarsa, obat tanpa nomor registrasi serta obat ASPAL,
tidak dikenakan tindakan pidana seperti yang tercantum dalam UU
no.

Tentang

menyebutkan
dan/atau

Perlindungan

bahwa

Konsumen

Pelaku

memperdagangkan

usaha

barang

pasal

dilarang

dan/

jasa

(1a)

yang

memproduksi
yang

tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan


dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilanjutkan
dengan pasal 62 (1) dimana pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8. Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda

paling banyak 2.000.000.000,00 . Sedang pada UU kesehatan no.


36 tahun 2009 pasal 196 menyatakan bahwa Setiap orang yang
dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).
13.Pada pasal 10 menyatakan bahwa pedagang eceran obat yang
statusnya sudah menjadi apotek sederhana dianggap telah menjadi
apotek rakyat. Hal ini semakin membingungkan karena pada
peraturan ini tidak dijelaskan mengenai apotek sederhana itu apa
atau siapa.

You might also like