Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAKS
Proses distribusi bantuan pada saat terjadinya bencana alam seperti, gunung meletus, gempa dan
banjir menjadi faktor penting yang harus diperhatikan Pemerintah dan masyarakat yang terkait.
Seringkali proses distribusi bantuan tidak direncanakan dengan baik, sehingga memunculkan
beberapa masalah seperti pendistribusian bantuan yang tidak merata. Pada kasus meletusnya
Gunung Merapi, didapati banyak pengungsi yang tidak mendapatkan bantuan padahal pasokan
barang bantuan di gudang logistik masih tersedia cukup. Melihat kenyataan tersebut, proses
pendistribusian bantuan perlu direncanakan dengan baik agar distribusi dapat berjalan dengan
efisien dan setiap pengungsi mendapatkan bantuan sesuai kebutuhannya.
Penelitian ini membahas tentang pengembangan model distribusi bantuan bencana dari gudang
pemasok ke lokasi pengungsian. Tahapan penelitian diawali dengan melakukan karakterisasi
sistem. Tahapan selanjutnya adalah proses pengembangan model matematis. Setelah model
dikembangkan maka selanjutnya dikembangkan cara pencapaian solusi model. Tahap terakhir dari
penelitian ini adalah analisis model dan penarikan kesimpulan.
Model yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan distribusi
bantuan saat bencana yang meliputi: jumlah distribusi barang dari gudang pemasok ke barak
permanen, jumlah distribusi barang dari barak permanen ke barak sementara dan alokasi
pengungsi dari lokasi bencana ke barak sementara.
Kata Kunci: Distribusi Bantuan, Evakuasi, Gunung Merapi, Barak Permanen, Barak Sementara
1. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana karena
secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng IndoAustralia, lempeng Euro-Asia, dan lempeng Pasifik yang bergerak dan saling bertumbukan
sehingga menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif(BNPB, 2010). Secara
historis letusan gunung api merupakan bencana yang menyebabkan timbulnya korban jiwa
terbesar kedua di Indonesia setelah gempa bumi dan tsunami.
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia
karena siklus meletusnya antara 2 sampai 7 tahun sekali. Gunung yang terletak di perbatasan
Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta ini memiliki potensi bahaya yang besar ketika meletus.
Tercatat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada erupsi merapi tahun 2010 jumlah
korban meninggal sebanyak 374 jiwa dan jumlah pengungsi sebanyak 279.702 jiwa. Bencana
tersebut juga menyebabkan aktivitas warga yang terdampak letusan Merapi menjadi lumpuh dan
menerima kerugian materi yang sangat besar.
Perencanaan mitigasi yang efektif sangat diperlukan untuk meminimalisasi kerugian yang
terjadi saat bencana Gunung Merapi.Mitigasi, menurut Undang - Undang Penanggulangan
Bencana Nomor 24 Tahun 2007, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi dan mencegah risiko kehilangan
jiwa serta perlindungan terhadap harta benda.
Upaya perencanaan mitigasi pada letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 tidak berjalan
baik pada lokasi yang terdampak letusan Merapiterutama di wilayahKawasanRawanBencana III
(KRB III) di Kabupaten Klaten seperti Desa Balerante, DesaPanggang, Desa Sidorejo, Desa
Tlogowatu dan Desa Tegalmulyo. Upaya perencanaan mitigasi tersebut tidak berjalan baik
dikarenakan adanya distribusi bantuan logistik yang belum memenuhi kebutuhan korban bencana
letusan Gunung Merapi. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketidak merataan distribusi bantuan
terutama pada barak yang berlokasi di Bawukan dan sekitarnya. Jika hal ini terus berlanjut dan
tidak terselesaikan maka akan timbul permasalahan seperti kelaparan dan penyakit.
Dari permasalahan di atas perlu dibuat perencanaan mitigasi bencana yang sesuai untuk
dapat memenuhi kebutuhan korban bencana letusan Merapi. Dalam usaha memenuhi kebutuhan
korban bencana juga diperlukan adanya alokasi bantuan yang tepat dan sesuai agar distribusi
merata dan tidak menumpuk di barak tertentu dengan criteria meminimalkan biaya evakuasi dan
distribusi.
Penelitian-penelitian yang terkait dengan aktivitas perencanaan mitigasi bencana di
antaranya adalah penelitian Balcik dan Beamon (2008)denganmengembangkan model yang
bertujuan memaksimasi manfaat yang bisa diberikan kepada individu yang terkena dampak
bencana dengan menentukan jumlah dan lokasifasilitas. Azlia (2010) mengembangkan model
yang bertujuanuntuk menentukan lokasi fasilitas gudang kesiapsiagaan untuk persiapan
menghadapi bencana alam dengan mempertimbangkan kerentanan suatu wilayah terhadap
bencana, pusat distribusi, serta jumlah persediaan tiap-tiap pusat distribusi yang didirikan.Nugraha
dan Halim (2012) mengembangkan model untuk menentukan lokasi barak pengungsian, lokasi
gudang pemasok barang bantuan serta cakupan pelayanannya dengan kriteria meminimumkan
total biaya.
Untuk menjawab solusi permasalahan yang ada, maka perlu dikembangkan model untuk
menentukan alokasi evakuasi pengungsi dan distribusi bantuan ke lokasi barak pengungsian
dengan criteria meminimalkan total biaya evakuasi dan distribusi sesuai dengan tingkatan status
GunungMerapi. Pada penelitian ini akan mengembangkan model dasar dari Nugraha dan Halim
(2012). Pada penelitian Nugraha dan Halim (2012) menghasilkan model untuk menentukan lokasi
barak pengungsian, lokasi gudang pemasok barang bantuan serta cakupan pelayanannya dengan
kriteria meminimumkan total biaya. Padap enelitian tersebut belum menyampaikan model yang
sesuai dengan tingkatan aktivitas Gunung Merapi. Tingkatan Gunung Merapi dibagi menjadi 4
yaitu normal, waspada, siaga, dan awas. Status normal menandakan Gunung Merapi tidak ada
gejala
aktivitas
magma.
Status
waspada
menandakan
adanya
kenaikan
aktifitasGunungMerapidiatas level normal. Status siaga menandakan Gunung Merapi sedang
bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana sedangkan status awas menandakan Gunung
Merapi segera atau sedang meletus. Penanggulangan bencana letusan Gunung Merapi melibatkan
dua tingkatan aktivitas Gunung Merapi yaitu pada tingkatan awas dan siaga serta pasca bencana
karena ketiga situasi tersebut terjadi aliran distribusi logistic dan evakuasi pengungsi.
Pengembangan model pada penelitian ini akan diterapkan pada tingkatan aktivitas gunung berapi
siaga dan awas serta pasca bencana.
2. STUDI LITERATUR
a) Humanitarian Logistics
Humanitarian logistics atau emergency logistics menurut Thomas dan Kopczak (2005)
dapat diartikan sebagai proses perencanaan, penerapan, pengawasan, pengendalian dan pengaliran
maupun penyimpanan berbagai barang dan material maupun informasi yang efektif maupun
efisien dari sisi biaya, dari titik asal hingga sampai ke titik penggunaan (oleh para korban
bencana), dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para pengguna tersebut. Kebutuhankebutuhan riil berikut ini di dalam kaitannya dengan logistik bencana:
1. Penentuan lokasi pusat distribusi bantuan maupun lokasi pengungsian sementara
2. Penentuan skema alokasi bantuan (baik berupa barang maupun tenaga medis/
paramedis) secara efektif dan efisien
3. Perancangan jaringan distribusi bantuan yang mampu meningkatkan kinerja
pemberian bantuan di masa mendatang
4.
(1)
dimana
: Probabilitas kejadian dari skenario bencana s
Ps
dsk
: Demand barang jenis k yang dibutuhkan pada skenario bencana s
wk
: Berat kritis dari barang jenis k
lk
: Tingkat cakupan berat
fsjk
: proporsi permintaan barang jenis k yang sesuai dengan pusat distribusi j dalam
skenario bencana s
Penelitian lain dilakukan oleh Nugraha dan Halim (2012) dengan mengembangkan
model adalah untuk menentukan lokasi barak pengungsian, lokasi gudang pemasok barang
bantuan serta cakupan pelayanannya dengan kriteria meminimumkan total biaya. Dengan
fungsi tujuan sebagai berikut :
=
+
+
(2)
dimana
Vk
: Jumlah penduduk pada lokasi bencana k (orang)
Pi
: Kapasitas gudang pemasok i (unit)
Raij
: Jarak antara lokasi gudang pemasok i ke barak pengungsian j (km)
Rbkj
: Jarak antara lokasi bencana k ke barak pengungsian j, (km)
: Biaya untuk mendistribusikan 1 unit bantuan dari gudang pemasok i ke barak
Ha
pengungsian j (Rp/unit per km)
Hb
: Biaya untuk mengevakuasi 1 orang pengungsi dari lokasi bencana k ke barak
pengungsian j (Rp/orang per km)
Fj
: Biaya untuk mendirikan barak pengungsian pada lokasi j (Rp)
Uj
: Kapasitas barak pengungsian yang akan didirikan pada lokasi j (orang)
B
: Kebutuhan bantuan untuk 1 orang pengungsi (1 unit/orang)
Dengan variabel keputusan
1
jika barak pengungsian didirikan pada lokasi j
Zj =
0
jika tidak
jika tidak
jika tidak
Xij =
Ykj =
Dengan Pembatas
!, # $
(3)
= 1
# $
(4)
=
!
(5)
* 0
!
(6)
( ( )) . . /
0
!, # $, 0
!, # $, 0
!, # $, 0
!, # $, 0
c)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
Gambaran Sistem
Sistem pada manajemen bencana letusan Gunung Merapi sangat ditentukan oleh tingkatan
status Gunung Merapi. Tingkatan status Gunung Merapi di bagi menjadi 4. Tingkatan yang
pertama yaitu status normal dimana tidak ada gejala aktivitas tekanan magma dan penduduk masih
bisa beraktivitas di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi. Tingkatan yang kedua yaitu
status waspada, status initerdapat kenaikan aktivitas Gunung Merapi dengan adanya peningkatan
aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya. Pada status waspada Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) akan memberikan sosialisasi terhadap penduduk yang berada di
kawasan rawan bencana agar penduduk mengetahui adanya peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
Tingkatan yang ketiga yaitu status siaga. Status siaga menandakan Gunung Merapi sedang
bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) pada kondisi ini diwajibkan untuk menyiapkan sarana darurat seperti barak sementara
untuk pengungsi. BPBD juga memberikan penyuluhan dan ajakan untuk mengungsi ke barak
sementara yang sudah disiapkan agar resiko kerugian seperti kehilangan jiwa dan harta benda
dapat berkurang. Tingkatan yang terakhir yaitu status awas menandakan Gunung Merapi segera
atau sedang meletus. Letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap dan letusan berpeluang
terjadi dalam waktu 24 jam. Tindakan yang dilakukan oleh BPBD adalah mengosongkan Kawasan
Rawan Bencana terutama Kawasan Rawan Bencana III dan II karena kawasan tersebut sangat
berpeluang menerima lava pijar dan awan panas. Selain itu BPBD juga memberikan koordinasi
kepada pengungsi yang berada di Kawasan Rawan Bencana III dan II agar mengungsi ke barak
permanen yang berada di luar kawasan rawan bencana. Untuk yang berada di kawasan rawan
bencana I diharapkan untuk menjauh dari sungai agar tidak terkena banjir lahar dingin.
Aliran distribusi bantuan logistik dan evakuasi juga dipengaruhi dari tingkatan status
Gunung Merapi. Pada penelitian ini,distribusi bantuan logistik dan evakuasi difokuskan pada
status siaga dan awas.
Pada Tingkatan status Gunung Merapi siaga aliran distribusi bantuan logistik berawal dari
sumbangan organisasi pemerintah, LSM, Masyarkat individual, perusahaan, dan luar negeri
diterima dan dicatat oleh Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai gudang
pemasok. Kemudian BPBD mengirimkan bantuan logistik ke barak permanen yang berada di luar
kawasan rawan bencana. Barak permanen akan menyimpan sebagian dari bantuan logistik tersebut
sebagai stok dan sebagian mengirimkan ke barak sementara yang berada di kawasan rawan
bencana I. Barak permanen tersebut dapat mengirimkan bantuan logistik ke berbagai lokasi barak
sementara dengan memperhatikan kriteria jarak antar barak permanen dengan barak sementara
yang paling dekat dan kapasitas bantuan logistik maksimal yang disesuaikan dengan kapasitas
manusia dari barak sementara. Aliran evakuasi pada tingkatan status Gunung Merapi siaga berawal
dari lokasi-lokasi bencana yang berada di kawasan rawan bencana III dengan penyuluhan dan
sosialisasi dari BPBD maka diharapkan penduduk mengungsi ke barak sementara agar mengurangi
resiko kerugian yang timbul dari bencana Gunung Merapi. Penduduk dapat memilih barak
sementara dengan kriteria jarak terpendek antara tempat tinggal penduduk yang berada di lokasi
bencana dengan barak sementara yang telah disiapkan dan kapasitas manusia maksimal yang bisa
ditampung dalam barak sementara. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
3. PENGEMBANGAN MODEL
Penelitian ini mengembangkan model berdasarkan hasil dari penelitian Nugraha dan Halim
(2012) yaitu dengan menambahkan satu tahap distribusi dan evakuasi dengan adanya barak
permanen dan barak sementara. Barak permanen merupakan tempat penampungan akhir bagi
pengungsi saat tingkatan Gunung Merapi pada status awas. Barak permanen berlokasi di daerah
non KRB, didirikan oleh petugas BPBD berupa gedung beserta fasilitas yang berguna bagi
pengungsi saat terjadinya letusan Gunung Merapi. Sedangkan barak sementara merupakan tempat
penampungan sementara bagi pengungsi saat tingkatan Gunung Merapi pada status siaga dan
pasca bencana.Barak sementara sebagian besar berlokasi di KRB III, didirikan oleh petugas BPBD
berupa tenda-tenda penampungan yang memiliki sedikit fasilitas. Pada penelitian ini tingkatan
status Gunung Merapi yang diamati adalah pada status siaga dan awas.
a) Pengembangan Model pada Status Siaga
Dilihat dari tingkatan Gunung Merapi pada status siaga. Formulasi awal untuk menentukan
minimasi total biaya evakuasi dan distribusi adalah dengan menjumlahkan biaya evakuasi dari
lokasi bencana ke barak sementara, biaya distribusi gudang pemasok ke barak permanen, dan
biaya distribusi barak permanen ke barak sementara.
1) Biaya Evakuasi dari Lokasi Bencana ke Barak Sementara
Biaya evakuasi pada status siaga diperoleh berdasarkan perkalian antara Biaya untuk
mengevakuasi 1 orang pengungsi dari lokasi bencana ke barak sementara (Rp/orang per km),
jarak tempuh terpendek yang dilalui pengungsi dari lokasi bencana ke barak sementara (km)
dan jumlah pengungsi yang berevakuasi ke barak sementara (orang). Jika diketahui titik
lokasi bencana adalah l dan titik lokasi barak sementara adalah k sedangkan jumlah
penduduk pada lokasi bencana l adalah Vl , jarak antara lokasi bencana l ke barak sementara
k dan biaya evakuasi 1 orang pengungsi dari lokasi l ke barak sementara k adalah Hclk,
maka kapasitas pengungsi yang dapat ditampung di barak sementara adalah :
* 0
= 60,17
Dimana :
Uk
K
# $
(12)
9 :
(13)
( ))
(14)
jika tidak
Xjk=
Variabel keputusan Xjk ini juga harus menyesuaikan dari jumlah penduduk yang mengungsi
ke masing-masing barak sementara.Sehingga dibutuhkan pembatas untuk menunjukan bahwa
kebutuhan distribusi perunit harus sesuai dengan jumlah penduduk yang mengungsi ke barak
sementara dan tidak boleh melebihi kapasitas barak permanen.
( ( )) . . /
dimana :
Pj
B
3)
!
(15)
!, # $, 9 :
(16)
Zij =
0
jika tidak
Batasan untuk menunjukan bahwa kebutuhan distribusi perunit harus sesuai dengan jumlah
penduduk yang mengungsi ke barak permanen dan tidak boleh melebihi kapasitas gudang
pemasok adalah:
0
(17)
dengan
2 ( )). Dimana merupakan jumlah penduduk yang mengungsi
ke barak sementara dan Wkjmerupakan variabel keputusan untuk menentukan barak
permanen j dipilih untuk mengevakuasi orang dari lokasi barak sementara k.
1
jika barak permanen j dipilih untuk mengevakuasi
Wkj=
orang dari lokasi barak sementara k
0
Jika tidak
Dari ketiga komponen yang menyusun total biaya evakuasi dan distribusi digabungkan ke
dalam satu fungsi tujuan.
Min total biaya = biaya evakuasi dari lokasi bencana ke barak sementara + biaya distribusi
barak permanen ke barak sementara + biaya distribusi gudang
pemasok ke barak permanen
Fungsi Tujuan
=
+
( ))
+
(18)
Pembatas
* 0
# $
0
( ( )) . . /
!
0 , !, # $, 9 :
(19)
Wkj=
0
Jika tidak
Kapasitas pengungsi yang bisa di tampung di masing-masing barak permanen adalah :
2 ( ) * 0
!
(20)
Zij =
0 jika tidak
Pembatas untuk menunjukan bahwa kebutuhan distribusi perunit harus sesuai dengan
jumlah penduduk yang mengungsi ke barak permanen dan tidak boleh melebihi kapasitas
gudang pemasok adalah:
( ( 2 ( ))) . . /
0
(21)
Pembatas
2 ( ) * 0
!
0
0 ,# $ ,9 :
> +
(22)
Pembatas dari fungsi tujuan yang menyusun total biaya evakuasi dan distribusi pada status
siaga menjadi :
* 0
# $
> . /
!
? . /
0
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
0, !, # $, 9 :
!, # $, 9 :
!, # $, 9 :
0, !, # $, 9 :
0, !, # $, 9 :
Dengan pembatas
* 0
!
10
(23)
? . /
0
Jarak Barak
Sementara
dari lokasi
Bencana (km)
Kepurun
Bawukan
Dompol
Keputran
Jumlah Jiwa
Balerante
10.3
8
13.3
12.8
1665
Sidorejo
15.4
13.7
6.9
9.6
3977
Lokasi Bencana
Panggang Tlogowatu Tegalmulyo
4.7
14.1
16.4
2.3
12.4
14.7
7.5
6.7
8
6.9
8.6
10.6
1440
3463
2157
Sumber : BPBD Klaten, 2012
Demak Ijo
9.4
Barak
Sementara
Kepurun
Bawukan
Dompol
Keputran
Demak Ijo
10.1
11.8
7.9
7.1
Barak Permanen
Menden
Kebondalem Lor
1.7
8.9
3.2
11.1
1.7
14.1
0.7
11.4
Pada Status awas pengungsi dari barak sementara akan mengungsi ke barak permanen,
sedangkan distribusi bantuan hanya dikirim dari gudang pemasok ke barak permanen. Dengan
asumsi bantuan yang diterima di barak sementara sudah habis. Diketahui biaya evakuasi adalah
sebesar Rp 1500/km/orang dan biaya distribusi sebesar Rp 1500/km/unit.
Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada Status Siaga menggunakan software
Excel Solver adalah seperti pada Gambar 3. Sehingga diperlukan total biaya evakuasi dan
distribusi minimum sebesar Rp548.465.700,00. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada
11
Status Siaga menggunakan software Excel Solver adalah seperti pada Gambar 4. Hal ini
memerlukan total biaya evakuasi dan distribusi minimum sebesar Rp374.106.900.
Gambar 3. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada Status Siaga
Gambar 4. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada Status Awas
12
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Diperoleh model alokasi distribusi dan evakuasi pengungsi dengan mempertimbangkan 2
stage aliran distribusi yaitu dari gudang pemasok ke barak permanen dan dari barak
permanen ke barak sementara dan 2 stage aliran evakuasi yaitu dari lokasi bencana ke
barak sementara dan barak sementara ke barak permanen tergantung dari tingkatan status
gunung Merapi
b. Berdasarkan kasus letusan Gunung Merapi Tahun 2010, model menghasilkan total biaya
distribusi dan evakuasi pada status siaga sebesar Rp548.465.700 dan pada status awas
sebesar Rp374.106.900.
PUSTAKA
Azlia, W., 2010, Model Penentuan Lokasi Fasilitas Gudang Kesiapsiagaan untuk Bencana
Alam dengan Mempertimbangkan Faktor Kerentanan Wilayah. Tesis Magister.
Fakultas Teknologi Industri Institut Sepuluh November Surabaya.
Balcik, B.M. & Beamon, B. , 2004, Facility Location in Humanitarian Relief. International
Journal of Logistics:Research and Applications Vol. 11, No. 2, April 2008, 101121
Cozzolino, A., 2012, Chapter 2 :Humanitarian Logistics and Supply Chain Management,
SpringerBriefs in Business.
Hillier, F. S. and Lieberman, G. J. (2001). Introduction to Operations Research. McGraw-Hill, 8th
edition.
Nugraha, I.S dan Halim, A. H., 2012, Model Penentuan Lokasi Barak Pengungsian dan Gudang
Pemasok Dalam Penanggulangan Bencana Alam. Prosiding Seminar Sistem Produksi X,
Bandung.
Smith, J.C. dan Taskin, Z.C. (1999). A Tutorial Guide to Mixed-Integer Programming Models and
Solution Techniques. Department of Industrial and Systems Engineering, University of
Florida, Gainesville, FL 32611
Thomas, A. & Kopczak, L., 2005, From logistics to supply chain management: The path forward
in the humanitarian sector, white paper, Fritz Institute, San Francisco, CA.
Tondobala, L., 2011, Pemahaman Tentang kawasan Rawan Bencana Dan Tinjauan Terhadap
Kebijakan dan Peraturan Terkait. Jurnal sabua Vol. 3, no.1, Mei 2011, 58-63
UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana
13