You are on page 1of 13

Diagnosis dan Tatalaksana Demam tifoid

Ferina Evangelin
102012101
Ferina.evangelin@civitas.ukrida.ac.id

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No.06 Jakarta Barat 11510
www.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena
tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa
penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya
pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien
(auto-anamanesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis).1
Anamnesis sendiri terdiri dari beberapa pertanyaan yang dapat mengarahkan kita
untuk dapat mendiagnosa penyakit apa yang diderita oleh pasien. Pertanyaan tersebut
meliputi Identitas yaitu menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi
(misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi; Keluhan utama; Riwayat
penyakit sekarang (RPS) yaitu meminta penjelasan tentang penyakitnya berdasarkan kualitas,
kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa
yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan, intermitten.
1

Informasi harus dalam susunan yang kronologis, termasuk test diagnostik yang dilakukan
sebelum kunjungan pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan apakah ada demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk dan epistaksis. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD); Riwayat Keluarga termasuk
kesehatan keluarga dan Riwayat psychosocial yaitu Stressor (lingkungan kerja atau sekolah,
tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan).1

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah,panas, pucat,
mual, perut tidak enak, anoreksia. Konjungtiva anemia, lidah kotor, ditepi dan ditengah
merah. Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan. Pada system kardiovaskuler biasanya pada
pasien dengan typhoid yang ditemukan tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa
didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh. System integument kulit
bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak.2 Pada pasien typhoid kadang-kadang
diare atau konstipasi, produk kemih pasein bisa mengalami penurunan. Tingkat kesadaran
pasien ada enam yaitu:
1.

Compos Mentis: Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap


lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.

2.

Apatis : kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat acuh tak acuh
terhadap sekelilingnya.

3.

Delirium: penurunan kesadaran disertai kekacauanmotorik dan siklus tidur bangun


yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.

4.

Somnolen : keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi
bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.

5.

Sopor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna
dan tidak dapat membrikan jawaban verbal yang baik.

6.

Semi koma: penurunan ranagsangan yang tidak memberikan respon terhadap


rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks pupil dan
kornea masih baik.

7.

Coma : tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga.2,3

Pemeriksaan Laboratorium
2

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang hasil anamnesis kita terhadap


pasien. Pemerikasaan laboratorium juga dapat digunakan sebagai bukti penguat diagnosis
kita. Pemeriksaan labotarorium terbagia atas:
o Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat
ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada tifoid
dapat meningkat.SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.2
o UJi widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman s.thypi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
Agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan c agglutinin Vi (
simpai kuman).2,3
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan
tetap tinggi selam beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul O, kemudian
diikuti aglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedang agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh
karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1) pengobatan dini
dengan antibiotic. 2) gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid.
3) waktu pengambilan darah. 4) daerah endemic atau non endemic. 5) riwayat
vaksinasi. 6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibaat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. 7) factor teknik
pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain salmonella yang
3

digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai
titer agglutinin yang bermakna diagnostic.2
o Uji tubex
Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa meni) dan
mudah untuk di kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetic latex. Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
salmonella serogroup D walau tidak spesifik menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh
S.paratyphi akan member hasil negative.2
o Uji Typidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 23 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan
IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
o Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti
gen lipopolisakarida (LPS) s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi
yang mengandung anti IgM yang dilekati dengan lateks berwarna, vairan membasahi
strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien , tabung uji. Komponen
perlengkapan ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada suhu 4-25 0 C di tempat
kering tanpa paparan sinar matahari.
o Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tfoid, karena mungkin sisebabkan beberapa hal
sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negative. 2) volume darah yang kurang (diperlukan
kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka hasil negative. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke dalam media cair
empedu untuk pertumbuhan kuman. 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
4

menimbulkan antibody dalam darah pasien. Antibody (agglutinin) dapat menekan


bakteremia hingga biakan darah dapat negative. 4) saat pengambilan darah setelah
minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.3,4
Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4
per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% . Insiden demam
tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah
rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedang di daerah urban ditemukan 760810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan
persediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan
sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.2
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1.08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tinggi.2,3
Patogenesi
Masuknya kuman salmonella thypi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
,asuk dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oelh
sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam
makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama)
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit

dan kemudian

berkembakbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan desertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.2

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vascular, gangguan mental, dan koagulasi.2
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(s.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembangbhingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Gambaran Klinis Demam Tifoid
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung
ditegakkan. Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya
sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu
setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk,
dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada
penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis
dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika
penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di
atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya
terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.
Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua
ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada
bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang
difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.5
6

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu
badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan
relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu,
saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia
semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium, somnelon,
stupor, koma dan psikosis. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak
kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan
diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran.
Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.2,5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu
jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan
inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat
meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar
bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan.
Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita
demam tifoid pada minggu ketiga. 5
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini
dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.5
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam
waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam
tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.4
Komplikasi

Terdapat dua jenis komplikasi yaitu Komplikasi Intestinal meliputi Perdarahan usus,
Perforasi usus, Ileus paralitik. Yang kedua Komplikasi Ekstra Intestinal meliputi Komplikasi
Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis; Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan /atau
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitik; Komplikasi
paru : Pneumonia, empiema, dan pleuritis; Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis
dan kolesistitis; Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis;
Komplikasi

tulang

osteomielitis,

periostitis,

spondilitisdan

Artritis;

Komplikasi

Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillainbarre, psikosis dan sindrom katatonia.6
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji darah yang mengandung bakteri
Salmonella dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 yang pertama
dari penyakit. Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan
titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2
hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer aglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan
diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua
dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis
dengan ditemukannya Salmonella. Gambaran darah juga dapat membantu menentukan
diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari
kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi
lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi
usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita
waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis
karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa
ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman
S.typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa
terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung
menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan
daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit
yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh
manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng.7

Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih di anut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Istirahat dan perawatan.
Dengan tirah baring dan perawatan profesinal bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perklengkapan pakaian yang di pakai.
2. Diet dan terapi penunjang.
Makanan yang kurang akan menurukan keadaan umum dan gizi penderita akan
semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Beberapa peneliti
menunjukkan dengan makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (menghindari sementara sayuran berserat) dapat di beri dengan aman
pada pasien demam tifoid.2,5
3. Pemberian antimikroba.
Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan,ialah :

Kloramfenikol. Merupakan obat pilihan utama untuk demam typhoid. Belum


ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat
dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 x 500 mg sehari
diberikan dalam bentuk oral atau intervena, sampai 7 hari bebas demam.
Dengan penggunaan kloramfenikol, demam typhoid turun rata-rata setelah 5
hari.2

Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg perhari dalam bentuk oral atau
intervena sampai 7 hari bebas demam. Komplikasi hematologis pada
penggunaan timfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan
tiamfenikol demam pada typhoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.2

Kotrimoksazol. Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan


kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2x2 tablet sehari, digunakan sampai
7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg
sulfametoksazol) dengan kotrimoksazol demam pada tifoid turun rata-rata
setelah 5-6 hari.

Ampisilin dan amoksisilin. Efektivitas ampisilin dan ampksisilin lebih kecil


dibandingkan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah pasien
demam typhoid dengan leucopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Demam
pada typhoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
9

Kombinasi obat anti mikroba atau lebih diindikasi hanya pada keadaan
tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic,
yang pernah terbukti ditemukan dua macam organisme didalam kultur darah
selain kuman salmonella. Pada wanita hamil obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksilin, dan sefriakson selainnya dikawatirkan dapat terjadi partus
premature, kematian fetus intrauterine dan grey sindrom pada neonates. Penurun
panas yang sering diberikan adalah paracetamol. Kortikosteroid dapat diberikan
pada demam tifoid berat.2
Diagnosis Banding
Ada beberapa jenis penyakit yang mempunyai gejala yang mirip dan hampir serupa
dengan demam tifoid. Oleh karena itu maka kita harus jeli memperhatikan gejala yang
tampak pada pasien. Berikut adalah jenis-jenis penyakit yang hampir serupa dengan demam
tifoid.
Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)
DBD diesebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam virus flavivirus
family dari flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe
virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan
demam berdarah dengue. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada
hewan mamalia seperti tikus, kucing, anjing, danb primata. Penelitian pada arthropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites.
Manifestasi klinik Pada DBD mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diabetes haemorragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (penumpukan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh.3,5

Malaria

10

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium


yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam
darah.
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi
manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia.
Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidale. Plasmodium ini pada manusia
menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit.
Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina. Secara
keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang.
Manifestasi malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi
infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium. Malaria
mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali.
Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise,
sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang,
demam ringan , anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin.7
Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai
zoonosis. Leptospirosis

disebabkan

bakteri

patogen

berbentuk spiral

genus

Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales.


Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti
influensa, meningitis, hepatitis,demam dengue, demam berdarah dengue dan demam
virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Keluhan-keluhan khas yang
dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya,
mual, muntah,nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning
dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha. Penyakit ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis,
dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang, dimana
kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama. pembuangan sampah. 2
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden
leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas.
Prognosis
11

Prognosis demam tifoid baik jika tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.2
Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak
tertular oleh bakteri Salmonella. Pencegahan dilakukan secara umum dan khusus/imunisasi.
Demam tifoid dapat dicegah dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. Beberapa
petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid secara umum diantaranya:
1. Cuci tangan dengan teratur merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. 2
2. Hindari minum air yang tidak dimasak. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau
kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum membukanya. Minum
tanpa menambahkan es di dalamnya. 3,5
3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah
mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak. Untuk
menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak.
4. Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan
disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Walaupun
tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli
makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
5. Vaksinasi. Vaksin ini berlandaskan identifikasi gen bakteri dan mekanisme imunologi
dari daya tahan ke penyakit. Penggunaan vaksin ini merupakan pencegahan khusus
yang dilakukan oleh negara Indonesia, untuk menanggulangi terjadinya demam tifoid
pada anak, sehingga anak menjadi memiliki kekebalan tubuh yang baik, meskipun
kadang dirasakan efek sampingnya. Vaksin ini sering dilakukan pada anak-anak
dengan rentang waktu tertentu serta komposisi tertentu sesuai dengan usia pada anak
tersebut.2

12

Penutup
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia,
Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong
penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Pemeriksaan penunjang
yang mudah untuk dilakukan adalah dengan uji widal. Obat utama yang dapat digunakan
adalah golongan antibiotik. Insiden demam tifoid berfariasi ditiap daerah dan biasanya
terkaid dengan sanitasi lingkungan. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat
dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h.181-3.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2773-9, 2797-805.
3. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2003.h. 37-46
4. Darmowandoyo W. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 2002.h. 367-75
5. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika;
2002.h.1-43.
6. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: departemen
farmakologi dan terapeutik FKUI; 2009.h.666-9
7. Santoso M. Kapita selekta ilmu penyakit dalam. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004.h.1-17.

13

You might also like