You are on page 1of 7

Asumsi Dasar Makro Ekonomi

1. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika (US$)


Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Pemerintah juga
harus mempertimbangkan nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dollar Amerika (US$). Menurut
Frank and Modigliani:1996, nilai tukar didefinisikan sebagai jumlah satu mata uang yang
dapat ditukar per unit dari mata uang lain, atau harga satu unit mata uang dalam bagian dari
mata uang lain.
Angka asumsi dasar nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang digunakan di dalam
APBN adalah angka rata-rata nilai tukar tengah, yaitu nilai nilai tukar rata-rata dari nilai nilai
tukar beli dan nilai nilai tukar jual harian selama tahun berjalan (dari bulan Januari sampai
dengan bulan Desember). Terdapat beberapa jenis nilai tukar/nilai tukar yang lazim
digunakan sebagai indikator, antara lain:
a. Nilai tukar beli adalah nilai tukar yang diberlakukan ketika bank membeli mata uang
asing.
b. Nilai tukar jual adalah nilai tukar yang diberlakukan ketika bank menjual mata uang
asing.
c. Nilai tukar tengah adalah nilai tukar rata-rata antara nilai tukar beli dan nilai tukar jual.
Kegunaan nilai tukar tengah adalah untuk menganalisis naik turunnya nilai mata uang
asing di bursa.
d. Rata-rata nilai nilai tukar bulanan adalah jumlah rata-rata nilai nilai tukar tengah dalam
jangka waktu satu bulan.
e. Rata-rata nilai nilai tukar tahunan adalah jumlah rata-rata nilai nilai tukar tengah bulanan
selama 1 tahun dengan dibagi dengan periode waktu 12 bulan.
Nilai Tukar Mata Uang
Nilai tukar mata uang dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Nilai tukar nominal, yaitu nilai tukar yang ditulis dengan angka nominal. Misal US$ 1 =
Rp1.000,00, nilai tukar kedua mata uang tersebut disebut nilai tukar nominal.
b. Nilai tukar riil, yaitu nilai relative yang diperoleh dari perdagangan antara barang-barang
antara dua negara. Nilai tukar riil di antara dua negara dihitung dari nilai tukar nominal
dan tingkat harga di kedua negara. Apabila nilai tukar riil tinggi, maka harga barang di
luar negeri relative murah. Sebaliknya, apabila nilai tukar riil rendah berarti harga barang
di luar negeri relative mahal dan harga barang domestic relative murah.

Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar


Terdapat beberapa faktor penentu yang turut mempengaruhi pergerakan nilai tukar (Madura:
1993) (Triyono 2008), antara lain:
a. Faktor fundamental
Faktor fundamental ini berkaitan dengan indikator ekonomi, seperti: inflasi, suku bunga,
perbedaan relatif antar negara, ekspektasi pasar dan intervensi bank sentral.
b. Faktor teknis
Faktor teknis ini berkaitan dengan kondisi permintaan dan penawaran devisa pada saat
tertentu. Apabila terjadi kelebihan permintaan, sementara jumlah penawaran tetap, maka
harga valuta asing akan terapresiasi. Sebaliknya, apabila terjadi kekurangan permintaan,
sementara penawaran bersifat tetap maka nilai tukar valuta asing akan terdepresiasi.
c. Sentimen pasar
Sentimen pasar ini lebih banyak dipengaruhi oleh adanya rumor atau berita politik yang
bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valuta asing terapresiasi atau
terdepresiasi secara tajam dalam jangka waktu pendek. Apabila rumor atau berita tersebut
telah berlalu, maka nilai tukar valuta asing akan kembali normal.
Sistem Nilai Tukar Mata Uang
Menurut Triyono (2008), terdapat lima jenis system nilai tukar mata uang yang berlaku di
dunia yaitu:
a. Sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate)
Nilai tukar ditentukan dengan mekanisme pasar dengan atau tanpa adanya campur tangan
pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui kebijakan moneter.
b. Sistem nilai tukar tertambat (pegged exchange rate)
Suatu negara menambatkan nilai tukar mata uangnya dengan sesuatu atau sekelompok
mata uang negara lain yang merupakan negara mitra dagang utama dari negara yang
bersangkutan. Hal ini berarti mata uang negara tersebut bergerak mengikuti mata uang
dari negara yang menjadi tambatannya.
c. Sistem nilai tukar tertambat merangkak (crawling pegs exchange rate)
System ini dilakukan dengan cara negara melakukan sedikit perubahan terhadap mata
uangnya secara periodik dengan tujuan untuk bergerak ke arah suatu nilai tertentu dalam
rentang waktu tertentu. Keuntungan utama dari sistem ini adalah negara dapat mengukur
penyelesaian nilai tukarnya dalam periode yang lebih lama jika dibanding dengan sistem
nilai tukar terambat.
d. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies)

System ini dilakukan dengan cara menyebar mata uangnya ke dalam sekeranjang mata
uang. Nilai ditentukan oleh besarnya peranannya dalam membiayai perdagangan tertentu.
e. Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate)
Dalam system ini, negara menetapkan dan mengumumkan suatu nilai tukar tertentu atas
mata uangnya dan menjaga nilai tukar dengan cara membeli atau menjual valuta asing
dalam jumlah yang tidak terbatas dalam nilai tukar tersebut. Bagi negara yang memiliki
ketergantungan tinggi terhadap sektor luar negeri maupun gangguan seperti sering
mengalami gangguan alam, menetapkan nilai tukar tetap merupakan suatu kebijakan
yang beresiko tinggi.
Sejarah Perkembangan Nilai Tukar Indonesia
Berdasarkan sejarah, negara Indonesia telah menerapkan tiga system nilai tukar, yaitu:
a. Sistem nilai tukar tetap/fixed exchange rate (1970-1978)
Sistem nilai tukar tetap adalah penentuan nilai tukar valuta asing yang telah ditetapkan
oleh pemerintah. Dalam system ini, pemerintah melakukan berbagai langkah dan
kebijakan untuk mengatur nilai tukarnya dalam harga tertentu. Fluktuasi pergerakan
harga yang akan terjadi akan diredam oleh pemerintah. Intervensi yang dilakukan
pemerintah adalah dalam bentuk pembelian mata uang asing apabila terdapat kelebihan
penawaran. Sebaliknya apabila terjadi kelebihan permintaan, maka pemerintah akan
menjual cadangan devisa yang dimiliki.
Pemerintah Indonesia pernah menerapkan system ini dengan menerbitkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa. Pada masa
tersebut, Pemerintah Indonesia menetapkan nilai tukar rupiah sebesar Rp250,00 per 1
US$, sementara nilai tukar mata uang asing lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang
ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
b. Sistem mengambang terkendali/managed floating rate (1978-Juli 1997)
Dalam system ini, nilai tukar mata uang diserahkan pada mekanisme pasar namun
pemerintah akan melakukan intervensi dengan tujuan untuk menhindari gejolak fluktuasi
yang terlalu tajam. Pemerintah akan melakukan intervensi ketika nilai tukar mata uang
telah mencapai batas-batas tertentu. Intervensi ini dilakukan dengan cara:
Dirty floating, yaitu pemerintah akan melakukan intervensi dengan cara menjual atau
membeli valuta asing, atau

Clean floating, yaitu pemerintah akan melakukan intervensi secara tidak langsung,
seperti mengatur tingkat suku bunga bank.

Pemerintah Indonesia pernah menerapkan system ini. Pada masa itu, nilai tukar rupiah
didasarkan pada kebijakan sekeranjang mata uang (basket of currencies). Kebijakan ini
diterapkan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi rupiah di tahun 1978. Dengan
system ini, Bank Indonesia menetapkan nilai tukar indikasi (pembatas) dan membiarkan
nilai tukar bergerak dengan rentang tertentu. Bank Indonesia akan melakukan intervensi
apabila nilai tukar bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari rentang tersebut.
c. Sistem nilai tukar mengambang/floating exchange rate (14 Agustus 1997-sekarang)
Dalam system ini, besarnya nilai tukar rupiah diserahkan pada mekanisme pasar tanpa
adanya campur tangan dari pemerintah. Tinggi rendahnya nilai tukar mata uang
ditentukan oleh besarnya tingkat permintaan dan penawaran terhadap mata uang itu
sendiri. Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika semakin
melemah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah memutuskan untuk menghapus
rentang intervensi (system nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menerapkan
system nilai tukar mengambang bebas. Hal ini dilakukan Pemerintah dalam rangka
mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang dan dimaksudkan untuk
mengurangi kegiatan intervensi Bank Indonesia terhadap rupiah dan memantapkan
pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.
2. Harga Minyak Mentah Indonesia
Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) merupakan basis harga
minyak mentah yang digunakan dalam APBN. ICP merupakan harga rata-rata minyak
mentah Indonesia di pasar internasional yang dipakai sebagai indicator perhitungan bagi
hasil minyak. ICP ditetapkan setiap bulan dan dievaluasi setiap semester.
Sesuai dengan karakteristik dan kualitasnya, sampai dengan dengan saat ini terdapat 50
jenis minyak mentah Indonesia yang masing-masing mempunyai harga berbeda. 50 jenis
ICP tersebut pada dasarnya terbagi atas tiga kelompok, yaitu:
a. 8 jenis minyak mentah (SLC, Cinta, Widuri, Duri, Attaka, Belida, Arjuna, dan
Senipah Condensate): harganya berdasarkan formula ICP yang mengacu pada
publikasi APPI, RIM, dan PLATTS.

b. 1 jenis minyak mentah (Bontang Return Condensate/BRC): harganya dihitung


berdasarkan Publikasi MOPS Naphta.
c. 41 jenis minyak mentah lainnya: harganya dihitung berdasarkan formula yang
mengacu pada 8 jenis ICP yang tersebut pada huruf (a).
Perkembangan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) tidak hanya
berpengaruh pada komponen penerimaan negara namun juga berpengaruh pada komponen
belanja negara. Hal ini disebabkan karena adanya subsidi energi. Pendapatan negara yang
terkait dengan hasil eksplorasi, eksploitasi, dan penjualan minyak bumi merupakan
komponen di dalam postur APBN yang besarannya telah ditentukan oleh perkembangan
harga minyak dunia, baik itu pada penerimaan pajak penghasilan minyak dan gas (migas)
maupun penerimaan bukan pajak dari sektor migas. Semakin tinggi ICP maka akan
semakin tinggi pula pendapatan negara dan begitu pula sebaliknya apabila ICP menurun
akan diikuti dengan penurunan penerimaan negara.
Sementara itu, dari sisi belanja negara, belanja subsidi energi (listrik dan BBM) merupakan
komponen belanja negara yang paling sensitif dipengaruhi oleh pergerakan ICP karena ICP
menjadi acuan harga impor BBM. Tidak hanya subsidi, ICP juga mempengaruhi besarnya
transfer ke daerah sebagai akibat dari perubahan penerimaan penerimaan migas yang
dibagihasilkan ke daerah. Berdasarkan hubungan yang terjadi antara ICP dan komponen
pendapatan maupun belanja negara maka peningkatan ICP secara keseluruhan tidak serta
merta menguntungkan bagi postur APBN, sebab apabila terjadi peningkatan penerimaan
karena peningkatan ICP akan diikuti dengan peningkatan belanja negara untuk subsidi
energi dan transfer ke daerah. Sebagaimana kita ketahui, porsi subsidi BBM dalam sepuluh
tahun terakhir meningkat cukup signifikan sehingga peningkatan ICP lebih kuat menekan
postur APBN ke arah defisit.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ICP
ICP dipengaruhi oleh kondisi pasar minyak internasional. Faktor yang mempengaruhi
kondisi pasar yang dimaksud, yaitu:
a. Factor fundamental, yaitu factor yang dipengaruhi mekanisme penawaran
(produksi, stok, kondisi kilang, fasilitas pipa dan kebijakan produksi) dan

permintaan (tingkat pertumbuhan ekonomi, kebutuhan, musim, dan ketersediaan


sumber tenaga alternative)
b. Factor non fundamental, yaitu factor lain di luar mekanisme penawaran dan
permintaan, seperti: kekhawatiran pasar akibat gangguan politik, keamanan, dan
aksi spekulasi di pasar minyak.
Dalam pelaksanaannya, formulasi ICP harus memenuhi 4 prinsip utama:
a. Fairness & transparency (jelas, obyektif dan tranparan)
b. International Competitiveness (dapat bersaing dengan harga minyak mentah dari
kawasan atau negara lain)
c. Stability (formula relatif stabil dan ICP yang dihasilkan dari formula tidak
berfluktuatif)
d. Continuity (diberlakukan dalam periode yang cukup panjang selalu mengikuti
perkembangan harga pasar minyak mentah internasional, dan formula ICP
akan dievaluasi secara berkala).
Untuk memenuhi 4 prinsip yang dimaksud, formula ICP mengacu pada publikasi yang
diterbitkan oleh lembaga independen internasional, seperti: APPI, RIM, dan PLATTS.
Formula ICP diberlakukan sejak April 1989 dalam perkembangannya terus dievaluasi untuk
dilakukan penyesuaian. Penyesuaian formulasi harga tersebut dilakukan dengan tujuan:
a. Merefleksikan perkembangan pasar
b. Mengoptimalkan penerimaan negara
c. Kelancaran operasional
Sedangkan penyesuaian existing ICP minyak mentah/kondensat, dapat dilakukan jika terjadi:
a. Perubahan spesifikasi
b. Adanya pencampuran dengan minyak mentah/kondensat lainnya yang mengakibatkan
perubahan spesifikasi
c. Perubahan nilai serap pasar (premium/diskonto)
Untuk menjaga akurasi dari ICP agar dapat mencerminkan harga sebenarnya, setiap 6 bulan,
tim harga melakukan evaluasi kinerja dari hasil publikasi-publikasi yang dijadikan acuan
pada formulasi ICP dengan publikasi-publikasi lainnya serta membandingkan dengan
perbandingan harga minyak tertentu dari beberapa publikasi yang ada.
Pengaruh Harga Minyak Mentah terhadap Anggaran Publik

Dalam jurnalnya yang berjudul Impact of Fluctuations in Crude Oil Prices on The
Jordanian Public Budget for Period of 1995-2003, Bash menyimpulkan bahwa terdapat
beberapa pengaruh harga minyak mentah terhadap anggaran public, antara lain:
a. Penurunan harga minyak mentah akan menyebabkan pendapatan masyarakat menurun.
Hal tersebut akan menyebabkan anggaran sector public menjadi deficit.
b. Peningkatan harga minyak mentah juga akan menyebabkan peningkatan pengeluaran
public yang akan meningkatkan deficit pada anggaran sector public.
c. Fluktuasi harga minyak mentah dan fluktuasi deficit anggaran sector public adalah
menuju satu arah yang sama.
d. Terdapat dampak yang signifikan secara statistic antara harga minyak mentah dengan
anggaran sector public di Yordania. Hal ini berarti bahwa peningkatan harga minyak
mentah akan berkontribusi pada peningkatan deficit anggaran sector public Yordania.

Referensi:
2. Bash, M. H. (2015). "IMPACT OF FLUCTUATIONS IN CRUDE OIL PRICES ON THE
JORDANIAN PUBLIC BUDGET FOR THE PERIOD OF 1995-2013." European
Scientific Journal 11(19).
3. Frank, F. and F. Modigliani (1996). Capital Markets, Prentice Hall.
4. Howe, J. S., et al. (1993). "International listings and risk." Journal of International Money
and Finance 12(1): 99-110.
5. Triyono, T. (2008). "Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar
Amerika."publikasiilmiah.ums.ac.id
6.

You might also like