You are on page 1of 30

REFERAT OBGYN

ENDOMETRIOSIS

Disusun Oleh:
Aristo Rinaldi Pangestu
07120120086

Pembimbing:
dr. Dyana Safitri Velies, Sp.OG, M.Kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT OBGYN


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FALKUTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 1 AGUSTUS 9 OKTOBER 2016

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB 1. PENDAHULUAN 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4
2.1 Epidemiologi4
2.2 Patogenesis dan Patofisiologi.. 4
2.3 Manifestasi Klinis...11
2.4 Evaluasi Diagnostik14
2.5 Klasifikasi...15
2.6 Tatalaksana.16
BAB 3. PENUTUP...22
DAFTAR PUSTAKA...23

BAB 1

PENDAHULUAN
Endometriosis adalah penyakit inflamasi, kronik, estrogen dependen yang didefenisikan
sebagai kondisi terdapatnya kelenjar dan stroma jaringan endometrium diluar dari
uterus. Jaringan endometrium ektopik umumnya melekat pada organ pelvik dan
peritoneium. Kelenjar dan stroma dari jaringan endometrium ektopik secara fungsional
responsive terhadap stimulus hormonal.3
Endometriosis adalah masalalah utama bagi wanita, dimana angka kejadian
endometriosis adalah 6-10 % pada wanita usia reproduktif, dan 35 -50 % pada wanita
dengan nyeri pelvik dan infertilitas.8 Endometriosis tidak memunyai tanda dan gejala
yang khas sehingga sulit untuk didiagnosis. Penanganan endometeriosis masih bersifat
kontroversial, pengobatan dapat meredakan keluhan nyeri dan memperbaiki infertilitas,
namun tidak dapat menyembuhkan penyakit. Histerektomi dan adneksektomi ganda
adalah satu-satunya metode pembedahan yang dapat mengobati endometriosis, namun
dikontraindikasikan pada wanita muda atau wanita yang masih menginginkan
kehamilan. Terapi konservatif laparotomi yang dikombinasikan dengan terapi hormonal
masih bersifat kontroversial.5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Epidemiologi
Angka kejadian endometriosis adalah 6-10% pada populasi umum wanita, sedangkan
pada perempuan dengan keluhan nyeri pelvik, infertilitas, atau keduanya, prevalensi
endometriosis adalah 35 50%. Sekitar 25 50 % wanita dengan infertilitas menderita
endomteriosis, dan 30 50 % wanita dengan endometerosis mengalami infertilitas.
Menurut penelitian terbaru, angka kejadian endomteriosis tidak meningkat dalam 30
tahun terakhir, berkisar 2,37-2,49/ 1000 penduduk / tahun, dimana sama dengan
perkiraan prevalensi 6-8%.8
2. Patogenesis dan patofisiologi
Teori pasti mengenai asal dari endometriosis masih bersifat elusif. Beberapa teori
bermunculan untuk menjelaskan bagaimana endometriosis dapat terjadi dan faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan endometriosis.
Menstruasi retrograd
Endometriosis diduga terjadi akibat adanya aliran retrograd dari sel endometrium dan
debris yang terlepas melalui tuba Fallopi menuju kavitas pelvis saat menstruasi. Teori ini
adalah teori yang pertama kali dikemukan untuk mejelaskan terjadinya endometriosis.
Pada penelitian yang dilakukan pada babun dengan cara inokulasi jaringan endometrial
menstruasi

ke

ruang

peritoneum,

ditemukan

adanya

perkembangan

menjadi

endometriosis pada 46 % percobaan setelah satu kali inokulasi, dan 100 % percobaan
setelah dua kali siklus inokulasi. Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan
jaringan endometrium peritoneal yang sama dengan jaringan endometrium uterus. Pada
penelitian terbaru, ditemukan pada kasus deep nodular endometriosis, implantasi
endometrial melibatkan lapisan basalis dalam perkembangan lesi ektopik. Lapisan
basalis endometrium memunyai kemampuan untuk melakukan regenerasi pada lapisan
fungsionalis yang luruh saat menstruasi. Teori menstruasi retrograd ini juga didukung
oleh hasil penelitian observasi dimana pada kelainan kongenital yang mengganggu
aliran menstruasi seperti himen imperforata dan stenosis serviks ditemukan
meningkatnya angka kejadian menstruasi retrogard dan resiko endometriosis. Lokasi lesi
4

endometriosis superficial paling sering terjadi pada aspek posterior dan sisi kiri dari
pelvis, dikarenakan oleh efek gravitasi pada produk menstruasi dan posisi anatomis dari
kolon sigmoid. Teori menstruasi retrograd ini mulai diragukan dikarenakan tidak dapat
menjelaskan terjadinya endometriosis pada perempuan prapubertas dan laki-laki.1,3,6
Metaplasia
Teori metaplasia menyebutkan bahwa endometriosis berasal dari sel ekstra uterine yang
secara

abnormal

mengalami

transdifferensiasi

atau

transformasi

menjadi

sel

endometrium. Teori coelomic epithelium metaplasia ini menyatakan bahwa sel yang
terdapat pada lapisan mesotelium peritoneum visceral dan abdominal. Faktor hormonal
dan imunologikal diduga menstimulasi sel peritoneum yang normal menjadi jaringan
yang mirip dengan endometrium. Teori metaplasia ini kemungkinan dapat menjelaskan
terjadinya endometriosis pada perempuan prapubertas. Jaringan endometrium ektopik
yang ditemukan pada fetus diduga dapat pula disebabkan oleh kelainan embryogenesis.
Menurut teori ini, sisa sel embrionik dari duktus Wolffian dan Mullerian menetap dan
berkembang menjadi jaringan endometrium yang responsif terhadap estrogen. Teori ini
kurang dapat diterima dikarenakan pada beberapa kasus ditemukan lesi endometriosis di
luar dari jalur duktus Mullerian.1,2,6
Hormonal
Hormon steroid memainkan peranan penting dalam pembentukan endometriosis
dikarenakan endometriosis umumnya ditemukan pada wanita usia reproduktif dan tidak
sering dijumpai pada wanita menopause tanpa terapi hormonal. Sama halnya dengan
jaringan endometrium eutopik, pertumbuhan dari lesi ektopik juga diregulasi oleh
hormon steroid ovarian. Estrogen adalah hormon utama dalam proliferasi endometrium
dan lesi ektopik diduga memunyai tingkat responsivitas yang tinggi terhadap estrogen.
Jaringan endometrium ektopik memiliki kandungan estradiol yang lebih tinggi,
dikarenakan aromatisasi lokal androgen menjadi estradiol oleh sel stroma endometrium,
serta penurunan konversi estradiol menjadi estrone yang kurang potent dikarenakan
berkurangnya ekspresi dari enzim 17-hydroxysteroid-2. Progestron, yang memunyai
efek anti-mitosis dan menekan efek estrogen pada saat fase sekretori, mengalami
penurunan responsivitas pada jaringan endometrium ektopik, dikarenakan penurunan
jumlah reseptor progesteron pada jaringan ektopik.1,2

Stress Oksidatif dan Inflamasi


Peningkatan oksidasi dari lipoprotein dikaitkan dengan patogenesis endometriosis,
dimana reactive oxygen species (ROS) menyebabkan peroksidasi yang menyebabkan
kerusakan DNA pada sel endometrium. Air dan elektrolit pada volum cairan peritoneum
yang meningkat pada pasien endometriosis diduga sebagai sumber dari ROS. Pada
rongga perioneum ditemukan peningkatan kadar besi akibat degradasi hemoglobin yang
menyebabkan reaksi redoks. Reaksi inflamasi yang terjadi selanjutnya akan merekrut
limfosit dan makrofag yang teraktivasi, menghasilkan sitokin yang menginduksi
oksidasi enzim yang mempromosikan pertumbuhan endotel. Akumulasi dari ROS
diduga berperan dalam propagasi dan maintenance dari jaringan endometrosis. 3
Pada wanita dengan endometriosis ditemukan peningkatan jumlah makrofag yang
terakvitasi dan sitokin pro inflamasi. Protein inflamasi diduga terikat pada makrofag,
mengurangi kapasitas fagositosis, dan meningkatkan kadar IL-6. Sitokin lainnya yang
ditemukan meningkat konsentrasinya adalah TNF-, IL-1, IL-8, Regulated On
Activation,

Normal

Expressed

And

Secreted

(RANTES),

dan

Monocyte

Chemoattractant Protein-1 (MCP-1). MCP adalah protein kemoatraktan, yang


menfasilitasi rekruitmen makrofag. Pada penderita endometriosis, ditemukan kadar
prostaglandin yang tinggi pada cairan peritoneum. Makrofag peritoneum dari wanita
dengan endometriosis menunjukkan peningkatan cyclo-oxygenase-2 (COX-2) dan
pelepasan kadar prostaglandin yang signifikan dari makrofag. TNF- dan IL-1
menfasilitasi produksi PGE2 dan PGF2 oleh sel endometrium. PGE2 akan mengaktivasi
streidogenic acute regulatory (StAR) dan aromatase yang berperan dalam menciptakan
lingkungan estrogenik. Kadar estrogen yang cukup tinggi selanjutnya akan
meningkatkan sintesis dari PGE2 yang membentuk positive-feedback loop yang
meningkatkan kadar bioavaibilitas estradiol. Keadaan resistensi progesterone yang
bersifat anti-inflamasi akan menfasilitasi keparahan proses inflamasi. IL-6 disekresikan
makrofag dan epitel sel endometrium, yang selanjutnya akan menstimulasi ekspresi dari
enzim aromatase.6

Disfungsi immun
Hasil observasi yang menunjukkan umunya penyakit autoimun pada pasien
endometriosis mendukung kemungkinan pathogenesis endometriosis yang diakibatkan
6

respon imun yang terganggu. Perempuan dengan endometriosis memunyai kadar


makrofag aktif yang tinggi, berkurangnya imunitas sesular, dan represi fungsi NK sel.
Regurgitasi dari sel endometrium ke dalam peritoneum memicu respon inflamasi,
disertai dengan perekrutan lokal makrofag yang teraktivasi dan leukosit. Refleks
inflamasi yang timbul tersebut diikuti oleh berkurangnya immune clearance oleh sistem
imun sehingga jaringan sisa menstruasi tersebut tidak dapat dieliminasi dengan baik. 3,5
Walaupun terjadi peningkatan jumlah makrofag lokal, naum terjadi penurunan fungsi
dari makrofag sehingga terjadi penurunan clearance dari sel endometrium ektopik.
Terganggunya fungsi dari sel NK kemungkinan disebakan akibat pelepasan intracellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel stroma endometrium. 6 Resistensi jaringan
endometrium terhadap cell-mediated lysis diduga akibat efek masking dari sel ektopik
yang mengekspresikan molekul HLA kelas I. Sel imun dan sel endometrium
mensekresikan sitokin dan factor pertumbuhan, yang selanjutnya memicu proliferasi sel
dan angiogenesis, mendukung implantasi dan pertumbuhan lesi ektopik.3,6
Supresi Apoptosis
Sel sel endometrium ektopik

mengekspresikan factor-faktor antiapoptotik yang

memperpanjang masa hidup dari sel tersebut. Perbandingan antara endometrium eutopik
dan lesi ekktopik menunjukkan adanya peranan enzim telomerase memainkan peranan
penting dan perubahan fenotipe sel tersebut. Upregulasi dari gen anti-apoptosis BCL-2
ditemukan pada perempuan dengan endometriosis. Endomterium sangat rentan untuk
mengalami masalah atau error dalam rekombinasi genetik. Hilangnya heterozigositas
dan mutasi somatik dari tumor suppressor gene PTEN ditemukan pada 56% kasus kista
endometrial ovarium. 3,6

Gambar 1. Patogenesis Endometriosis


Genetik
Adanya peranan genetik dalam patogenesis endometriosis didasarkan pada tingginya
kasus endometrosis pada first-degree relative, dan peningkatan signifikan angka
kejadian endometriosis pada saudara kembar. Endometriosis memiliki penurunan yang
bersifat poligenik, yang melibatkan multipel lokus dan beberapa region kromosom yang
berhubungan dengan fenotipe endometriosis. Gen yang terlibat dalam endometriosis
berperan dalam detoksifikasi enzim, polimorfisme reseptor estrogen, dan yang berperan
pada sistem imun. Mutasi genetik memicu perubahan perilaku dari sel endometrium,
dimana sel lebih cenderung melakukan adhesi dan pertumbuhan ekstra uterina. 3,6
Stem Cells
Regenerasi bulanan pada endometrium setelah pendarahan menstruasi, reepitelisasi
endometrium setelah partus dan kuret, mendukung adanya stem cell pada lapisan basalis
endometrium, yang tidak ikut luruh saat terjadi menstruasi. Stem cell adalah sel yang
belum berdiferensiasi, dikarakteristikkan dengan kemampuan untuk melakukan
pembaruan sendiri dan berdifferensiasi menjadi sel sel yang bersifat spesifik dan special.
Proses differensiasi terjadi akibat perubahan ekspresi gen, membuat sel tersebut
memiliki fungsi yang special. Keterlibatan dari stem cell dalam pembentukan
endometriosis terjadi akibat translokasi abnormal dari lapisan basalis endometrium
melalui menstruasi retrograd. Beberapa dari sel ini dapat melekat dan bertahan pada

rongga peritoneum setelah aliran retrograd dan dapat tereaktivasi ketika mendapat
paparan dari hormon ovarian. Penelitian yang dilakukan oleh Leyendecker menyatakan
bahwa wanita dengan endometriosis secara abnormal melepaskan atau meluruhkan
lapisan endometrium basalis, yang memicu deposit endometrium setelah menstruasi
retrograd. Hasil observasi pada babun dengan cara implantasi lapisan basalis yang kaya
akan stem cell di rongga pelvis menimbulkan endometriosis pada 100 % percobaan.3
Berdasarkan teori lainnya, stem cell dapat ditransportasikan melalui jalur limfatik atau
vaskular menuju lokasi ektopik. Teori ini didukung bahwa beberapa stem cell
endometrium memiliki kesamaan dengan stem cell yang berasal dari sumsung tulang.
Teori stem cell ini memiliki kelemahan dikarenakan pada keadaan normal stem cell akan
berdiferensiasi menjadi sel dewasa sesuai dengan lingkungannya, sehingga stem cell
yang bersifat multipotensial pada rongga peritoneum tersebut seharusnya berdiferensiasi
menjadi sel peritoneum. Ada kemungkinan bahwa deposit jaringan endometrium
mengandung stem cell endometrium dan niche cell, yang mendukung proliferasi menjadi
jaringan endometrium, dikarenakan proses signaling yang diterima oleh stem cell dari
niche cell disekelilingnya. Jaringan endometrium memproduksi beberapa kemokin dan
sitokin angiogeneik, sehingga terjadi neurovaskularisasi pada lesi ektopik. Kemungkinan
selanjutnya dari keterlibatan stem cell adalah transdifferensiasi dari stem cell peritoneum
atau ovarium menjadi jaringan endometrium. Rongga peritoneum berhubungan langsung
dengan uterus dan terdapat aliran sitokin dan kemokin diantara dua kavitas tersebut.
Koneksi langsung ini dapat menyebabkan proses signaling yang memicu proses
transdiferensiasi menjadi jaringan endometrium. 2,3

Gambar 2. Teori Stem Cell dalam Patogenesis Endometriosis

Perlekatan sel endometrium dan invasi


Meskipun endomteriosis adalah suatu kelainan non-kehanasan, namun proses bagaimana
sel endometrium menempel dan menginvasi permukaan memiliki kesamaan dengan
keganasan. Sel stroma endometrium memiliki peranan utama dalam interaksi jaringan
endometrium dengan lapisan mesothelium yang melapisi peritoneum. Mesotelium yang
intak berfungsi sebagai pertahanan protektif melawan implantasi dari jaringan
endometrium yang mengalami regurgitasi. Penelitian in vitro menunjukkan fragmen
endometrium hanya menempel pada lapisan mesotelium dimana membrane basal dan
matriks ekstraselular terekspos akibat kerusakan lapisan mesothelium. Jaringan dan
kandungan menstruasu memiliki efek yang merusak pada mesotelium, dimana dapat
secara autologous memicu kerusakan local yang mendukung proses implantasi. Ekspresi
gen pada peritoneum penderita endometriosis menunjukkan upregulasi

Matrix

Metalloproteinase-3 (MMP-3), ICAM-1, TNF- , dan IL-6. TNF- berperan dalam


menginduksi invasi sel endometrium pada peritoneum. IL-6 berperan dalam
pertumbuhan dan ekspresi mediator inflamasi pada sel endometrium yang telah
terimplantasi. MMP adalah suatu kolegenase yang berfungsi menghancurkan matriks
ekstraselular yang berperan dalam proses invasi dari jaringan endometrium. MMP-7
pada keadaan normal disupresi oleh progesterone, sehingga pada keadaan endometriosis
dimana terjadi resistensi dari progesteron, terjadi peningkatan dari MMP-7.6
Neuroangiogenesis
Suplai vaskularisasi sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dari lesi
endometrium ektopik, terutama di lingkungan peritoneum yang relative avascular
dibandingkan dengan endometrium. Neoangiogenesis dan rekruitmen kapiler dikaitkan
pada penemuan lesi laparoskopik, terutama pada lesi endometriosis yang berwarna
merah. Pertumbuhan serabuts saraf biasanya ikut menyertai pertumbuhan pembuluh
darah, yang menyebabkan rasa nyeri. IL-8 dan TNF- berperan dalam proliferasi dan
adhesi sel endometrium serta angiogenesis, sehingga tingginya kadar sitokin tersebut
menfasilitasi pertumbuhan dan neurovaskularisasi lokal. VEGF secara konsisten
ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam cairan peritoenum pada penderita
endometriosis, dengan konsentrasi yang berkorelasi dengan keparahan penyakit. VEGF
banyak

diekspresikan

pada

kompartemen

kelenjar

pada

implan

peritoneum,

endometrioma, dan disekresikan secara aktif oleh makrofag peritoneum. VEGF adalah
faktor angiogeneik utama disamping angiogenin, platelet-derived endothelial growth

10

factor, dan migration inhibitory factor. Faktor pertumbuhan yang diduga berperan dalam
pertumbuhan dan differensiasi jaringan endometrium ektopik adalah Epidermal Growth
Factor, Insulin-like Growth Factor, dan Fibroblast Growth Factor.5,6
3. Manfiestasi Klinis
Nyeri
Nyeri pelvik kronik dan infertilitas merupakan keluhan yang umum didapatkan pada
pasien endometriosis. Nyeri pelvik kronik yang berkaitan dengan endometriosis dapat
berupa dismenore, dyspareunia, dan nyeri pelvik non siklik. Bentuk nyeri lain seperti
diskezia, dysuria, dan nyeri dinding abdomen, walaupun jarang, dapat ditemukan pada
beberapa kasus.1 Keluhan paling sering yang menjadi alasan konsultasi penderita
endometriosis adalah nyeri pada satu atau kedua fossa iliaka, yang diperburuk pada saat
ovulasi. Penderita endometriosis juga dapat datang dengan keluhan nyeri perut yang
akut dan tiba-tiba, saat atau setelah menstruasi dikarenakan ruptur dari endometrioma
yang selanjutnya menyebabkan iritasi peritoneum.5
Penyebab nyeri pada endometriosis adalah rangsangan sitokin proinflamasi dan
prostaglandin yang dilepaskan oleh jaringan endometrium ektopik. Adanya pertumbuhan
saraf pada implan endometrium juga berperan dalam pembentukan rasa nyeri.
Variabilitas dari lokasi implant jaringan endometrium menyebabkan adanya perbedaan
manifestasi nyeri yang dikeluhkan pasien endometriosis. 1,5
Dismenorea pada pasien endometriosis biasa mendahului menstruasi satu sampai dua
hari. Dibandingkan dengan dismenorea, nyeri dideskripsikan lebih berat dan kurang
responsif terhadap NSAID dan kontrasepsi oral. Dispareunia pada endometriosis sering
dihubungkan dengan implantasi pada septum retrovaginal, ligament uretrosakral, dan
penyakit pada posterior cul-de-sac. Meskipun beberapa wanita dengan endometriosis
mengeluhkan gejala dyspareunia sejak cointarche, dyspareunia akibat endometriosis
biasa dicurigai bila nyeri berkembang setelah periode bebas nyeri selama berhubungan.1
Nyeri pelvik kronik adalah gejala endometriosis yang cukup sering dikeluhkan. Sekitar
33 persen wanita dengan nyeri pelvik kronik ditemukan endometriosis pada pemeriksaan
laparoskopi. Fokus dari nyeri kronik dapat bervariasi, dimana jika septum retrovaginal
dan ligament uterosakral terlibat, maka nyeri dapat menjalar menuju rectum dan
11

punggung bagian bawah. Nyero dapat menjalar hingga ke tungkai bawah dan
menyebabkan nyeri skiatik siklik yang menandakan keterlibatan dari saraf skiatika.1
Infertilitas
Penelitian yang dilakukan DHooghe menunjukkan wanita dengan infertilitas
menunjukkan angka kejadian endometriosis yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang
fertile ( 13-33% dan 4-8 %). Salah satu penjelasan terjadinya infetilitas adalah proses
ahesi yang mengganggu transport oosit oleh Tuba Fallopi. Selain itu, beberapa gangguan
juga dapat ditemukan. Adanya gangguan dalam perkembangan folikel, fungsi sperma,
kualitas embrio, dan implantasi. Pada endometriosis stadium III dan IV, struktur tuba
dan ovarium sering terganggu sehingga infertilitas dapat terjadi. 1,3
Gejala berdasarkan lokasi implantasi
Lesi Rektosigmoid
Nyeri pada saat defekasi dapat muncul pada pasien endometriosis dengan lokasi
implantasi pada kolon rektosigmoid. Keluhan dapat bersifat kronik atau sesuai siklus,
dan dapat disertai oleh konstipasi, diare, dan hematokezia siklik. Gejala dapat
disebabkan karena fiksasi rektum terhadap struktur anatomis sekitar dan inflamasi
dinding rektum. Gejala juga dapat muncul dari DIE pada saluran gastrointestinal, dengan
lokasi predominan pada kolon rektosigmoid, dan pada kasus yang lebih jarang pada usus
halus, sekum, dan appendiks. Lesi biasanya terdapat pada lapisan submukosa dan lamina
propia sehingga pemeriksaan kolonoskopi menunjukkan sensitivitas diagnostic yang
rendah. Pada kasus yang lebih jarang, lesi dapat melibatkan dinding usus secara
transmural sehingga menyebabkan obstruksi dan gambaran klinis menunjukkan
keganasan. Diagnosis DIE rectum dapat ditegakkan dengan transvaginal sonography
dengan sensivitas sebesar 80 %. Pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk menilai
tingkat keparahan invasi. Pemeriksaan laparoskopi diperlukan untuk diagnosis defenitif.
Tatalaksana pada sebagian besar kasus bersifat pembedahan, namun tanpa adanya gejala
obstruksi, pasien dapat ditatalaksana dengan terapi hormonal. 1,2
Lesi saluran kemih (urinary tract)
Endometriosis dapat dicurigai jika gejala saluran kemih menetap disertai dengan hasil
kultur urin negative. Gejala pada saluran kemih dapat dibedakan menjadi gejala kandung
kemih dan gejala ureter. Gejala pada kandung kemih menujukkan gejala nonspesifik
12

seperti dysuria, nyeri suprapubik, frekuensi, urgensi, dan hematuria. Nyeri costovertebral
menunjukkan endometriosis ureteral dengan obstruksi dan hidronefrosis yang dapat
berkembang menjadi gagal ginjal. Angka kejadian DIE pada saluran kemih adalah 2.6
%. Penelitian yang dilakukan Exacoustos menunjukkan pada 31 pasien, 12 memiliki
endometriosis kandung kemih, 15 memiliki endometriosis ureter, dan 4 pasien memiliki
keduanya. Transvaginal sonography menunjukkan tingkat akurasi yang baik untuk DIE
kandung kemih, tapi kurang sensitive untuk penyakit ureteral. Pemeriksaan sistokopi
dengan biopsy dapat membantu diagnosis. Tatalaksana dapat bersifat konservatif dan
terapi pembedahan, terutama sistektomi parsial bila endometriosis terdapat pada
kandung kemih. Pembedahan pada ureter dapat berupa uterolisis, reanastomosis, dan
uteroneosistotomi. 1,2
Dinding anterior abdomen
Pada beberapa individual dengan nyeri abdominal dapat ditemukan endometrioma
dinding abdomen. Pada sebagian besar kejadian, lesi berkembang pada luka parut
abdomen setera operasi uterus atau section cesaria. Implantasi biasa ditemukan pada
lapisan subkutan, dapat dipalpasi, dan melibatkan fascia sekitar, dengan sebagian kecil
kasus menyebabkan infiltrasi pada rektus abdominis. Pemeriksaan pencitraan dapat
menggunakan sonografi dinding abdomen, CT-Scan, MRI, dan fine needle aspiration.
Pada sebagian besar kasus, tatalaksana menggunakan terapi pembedahan berupa terapi
eksisi untuk meredakan nyeri dan diagnosis. 1
Lesi rongga toraks
Endometeriosis toraks adalah suatu endometriosis dengan lokasi implant pada rongga
toraks yang menyebabkan gejala bersifat siklus, disebut juga katamenial. Gejala dapat
berbentuk nyeri dada dan bahu yang bersifat siklik, hemoptysis, atau pneumothorax. CTScan dada adalah pemeriksaan pencitraan utama. Tatalaksana dapat berupa terapi
konservatif dan pembedahan. Pada pneumothorax, pembedahan toraskopik dapat
dilakukan diikuti dengan pemberian GnRH.1

13

4. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan fisik
Pada sebagian besar kasus, endometriosis adalah penyakit yang terdapat pada rongga
pelvis, sehingga sulit dilakukan inspeksi dari luar. Pengecualian pada kasus
endomteriosis di dalam luka parut bekas bedah Pfannenstiel atau episiotomy. Pada kasus
yang jarang, endomteriosis dapat spontan muncul pada region perineum atau perianal.
Pemeriksaan speculum padat menunjukkan lesi menyerupai luka bakar berserbuk
berwarna biru atau merah pada serviks atau forniks posterior. Pada pemeriksaan
bimanual, palpasi organ pelvis dapat menunjukkan abnormalitas anatomis. Nodul dan
nyeri tekan pada ligament uterosakral dapat terjadi akibat luka parut sepanjang ligament.
Pembesaran massa kistik adnexal dapat merupakan endomterioma ovarian, yang mobile
atau menempel pada struktur pelvis lainnya. Uterus yang terfiksir, nyeri penekanan, dan
keras juga dapat ditemukan. Nodul pada pelvik akibat endometriosis lebih mudah
dideteksi dengan pemeriksaan bimanual pada saat menstruasi. Pemeriksaan rektum
dapat menunjukkan nodul dan nyeri tekan pada septum rektovaginal.1,4
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri
pelvis yang lain. CBC, pemeriksaan HCG, urinalisis, dan kultur urin, kultur vagina, dan
swab serviks dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi dan komplikasi
kehamilan. Jika endometriosis saluran kemih dicurigai, pemeriksaan fungsi ginjal dapat
dinilai dengan kreatinin. CA-125 adalah glikoprotein yang ditemukan pada epitel tuba
fallopi, endometrium, serviks, pleura, dan peritoneum. Selain digunakan dalam evaluasi
kanker endometrium, peningkatan kadar CA-125 juga berkorelasi dengan tingkat
keparahan dari endomteriosis. CA-125 kurang sensitif dalam mendeteksi endomteriosis
ringan, namun menunjukkan peningkatan sensitivitas pada endometriosis stadium III
dan IV. 1,2,4
Pemeriksaan Imaging
Pada pasien endometriosis dengan keluhan utama nyeri pelvis kronis, transvaginal
sonography adalah pemeriksaan pencitraan yang pertama kali dilakukan, dengan tingkat
keakuratan yang baik dalam mendeteksi endometrioma dan membantu eklusi penyebab
lain dari nyeri pelvis. Endomterioma dapat didiagnosis dengan transvaginal sonography
dengan sesnitivitas yang cukup baik jika berukuran lebih dari 20 mm atay lebih.
14

Sensivitas dan spesifitas transvaginal sonography dalam pemeriksaan endomterioma


berkisar antara 64-90 % dan 24-100 %. Endometrioma dideskripsikan sebagai kista yang
homogeny, echo internal rendah, yang dideskripsikan sebagai ekogenisitas ground
glass. Meskipun endometrioma bersifat unilokus, satu sampai empat septasi dapat
ditemukan. MRI dapat digunakan untuk menklarifikasi struktur anatomis berdasarkan
pemeriksaan sonografi. Pemeriksaan CT-Scan dada dapat digunakan dalam membantu
diagnosis endometriosis toraks.1
Laparoskopi
Laparoskopi adalah pemeriksaan utama dalam diagnosis endometriosis. Penemuan
secara pembedahan dapat bervariasi berdasarkan bentuk dan warna lesi. Lesi biasanya
ditemukan pada lapisan serosa organ pelvis, dan peritoneum pelvis. Lesi endomteriosis
dapat berupa penggelembungan halus pada lapisan peritoneum, lubang atau defek pada
peritenoum, endomterioma, adhesi, dan lesi stelata yang dikelilingi jaringan parut.
Warna lesi dapat bervariasi dari merah, putih, dan hitam. Lesi merah dan putih
menunjukkan gambaran histologi jaringan endometrium dengan lesi berwarna merah
lebih menunjukkan jaringan yang memiliki lebih banyak vaskularisasi. Lesi berwarna
hitam dikarenakan pigmentasi oleh deposit hemosiderin dapari sisa jaringan menstryasi
yang

terperangkap.

Visualisasi

laparoskopik

pada

endometrima

menunjukkan

sensitivitas dan spesifitas sebesar 97% dan 95 %. Pemeriksaan laparoskopi dapat diikuti
dengan pemeriksaan biopsi dan evaluasi histologic. Diagnosis histologis membutuhkan
penemuan kelenjar endometrium dan stroma yang ditemukan diluar uterus. 1,2
5. Klasifikasi
American Society of Reproductive Medicine pada tahun 2007 menklasifikasikan
endometriosis secara pembedahan menjadi empat stadium, stadium I-IV. Endometriosis
pada daerah peritoneum, ovarium, tuba fallopi, dan cul-de-sac dinilai saat pembedahan.
Pada daerah ini dinilai luas permukaan area, derajat invasi, morfologi, dan adhesi.
Apabila nilai skoring 1-5 maka dikategorikan stadium I (minimal), 6-15 dikategorikan
stadium II (ringan), 16-40 dikategorikan stadium III (berat), dan lebih dari 40 poin
dikategorikan stadium IV (berat). 1,2

15

Gambar 3. Klasifikasi Endomteriosis (Revised American Society for Reproductive Medicine)

Klasifikasi stadium hanya menilai penampakan lesi secara fisik, bukan berdasarkan
tingkat keparahan gejala nyeri atau infertilitas. Pengeculian pada stadium IV dimana
telah terjadi gangguan strukrural pada tuba fallopi dan ovarium sehingga infertilitas
sangat mungkin terjadi. Penderita endometriosis stadium I dapat memiliki lesi yang
minimal namun gejala nyeri yang hebat, sedangkan pada endometriosis stadium IV, lesi
dapat luas dengan invasi yang dalam tapi disertai gejala nyeri ringan. Kelemahan lain
dari sistem klasifikasi ini adalah implantasi pada ureter, usus, dan daerah ekstrapelvik
tidak dinilai. Sistem staging ENZIAN dapat mensuplementasikan skoring American
Society of Reproductive Medicine melalui deskripsi Deep Infiltrating Endometriosis
(DIE), struktur retroperitoneal, dan organ lainnya. 1,2,4
6.Tatalaksana
Tatalaksana endometriosis tergantung dari gejala yang dikeluhkan penderita, tingkat
keparahan, lokasi dari lesi ektopik, dan keinginan untuk mempertahankan fertilitas.
Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien endometriosis adalah nyeri dan infertilitas.
Jika nyeri merupakan gejala prominen dan tidak ada keinginan mempertahankan
konsepsi maka terapi medikamentosa menjadi pilihan utama. Agen yang menjadi pilihan
terapi adalah NSAID, hormone steroid, agen GnRH, dan inhibitor aromatase. Secara
umum regimen awal yang digunakan adalah NSAID sendiri, atau kombinasi dengan
kontrasepsi oral atau dengan progestin.1 Society of Obstetric and Gynaecologist of
Canada (SOGC) menjadikan kontrasespsi oral sebagai pilihan terapi utama. 7 Regimen
ini dapat diberikan bila endometriosis dicurigai pada perempuan dengan nyeri pelvik
kronik atau mengikuti tindakan laparoskopi diagnostik. Bila terapi awal gagal maka
regimen medikamentosa dapat diganti atau dapat dilakukan laparoskopi. Tujuan terapi
adalah memicu atrofi dari endometrium ektopik dan meredakan proses inflamasi. Bila
keluhan utama adalah infertilitas, maka terapi tanpa supresi ovulasi menjadi pilihan
utama. 1

16

Gambar 4. Algoritma Penanganan Endometriosis (Williams Gynecology, 3rd edition)


Terapi medikamentosa terhadap penanganan nyeri
Endometriosis adalah suatu gangguan yang bergantung pada keadaan estogen sehingga
terapi supresi hormonal merupakan pendekatan yang menarik dalam mengobati penyakit
dan gejala endometriosis. Kebanyakan dari agen hormonal efektif dalam meredakan
gejala endomteriosis, namun tidak semua keluhan nyeri pada endomteriosis respon
terhadap terapi hormonal. Kontrasepsi hormonal, progestagens, anti-progestagens,
GnRH agonists and aromatase inhibitor adalah agen hormonal yang dapat digunakan
dalam penanganan endomteriosis. Pemelihan dari agen hormonal tergantung pada
pertimbangan biaya, ketersediaan, efektivitas, dan efek samping. 9
Kontrasepsi hormonal
European Society of Human Reproductive and Embriology (ESHRE) menyatakan
bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal dapat dipertimbangkan untuk meredakan
dyspareunia, dismenorea, dan nyeri non menstrual pada pasien endomteriosis.
Penggunaan kontraseptif yang kontinyu disarankan pada pasien endometriosis yang
mengeluhkan dismenorea berat. Penggunaan kontrasepsi oral memiliki kelebihan berupa
proteksi kontrasepsi, keamanan jangka panjang, dan pengendalian dari siklus
menstruasi.9

17

Berdasarkan tatalaksana endometriosis yang dibuat oleh Society of Obstetric and


Gynaecologist of Canada (SOGC) penggunaan kontrasepsi oral yang menkombinasikan
estrogen dan progestin merupakan terapi lini pertama dalam penanganan nyeri pelvik
akibat endometriosis. Terapi kontrasepsi oral dapat diberikan secara siklik atau kontinu.
Pemberian secara kontinu memberikan hasil yang lebih baik dalam meredakan nyeri
dibandingkan dengan pemberian siklik. Hal ini didasarkan pada pasien dengan
endometriosis memiliki resiko tinggi untuk terjadinya menstruasi retrograd, sehingga
adanya pendarahan withdrawal akibat penggunaan siklik dapat menyebabkan aliran
retrograde darah darah yang mengandung sitokin dan protein pro inflamasi lainnya yang
disekresikan oleh endometriu yang luruh dan mengalami iskemik. Kontrasepsi oral pada
sebagian besar kasus bila diberikan sebagai solo regimen tidak efektif dalam meredakan
nyeri , dikarenakan penurunan dari reseptor progesterone yang menyebabkan penurunan
efek progestin. 1,7
Progestagen dan antiprogestagen
Agen progestasional digunakan untuk mengantagoniskan efek dari estrogen terhadap
endometrium, menyebabakan desidualisasi dan atrofi endometrium. Progestin dapat
diberikan dalam bentuk pill oral, depot medroxyprogesterone acetate (DMPA),
norethindrone acetate (NETA), atau levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNGIUS).

NETA dengan dosis 5-20 mg/hari efektif pada sebagian besar kasus dalam

meredakan dismenorea dan nyeri pelvik kronik, ditambah dengan adanya efek positif
terhadap metabolisme kalsium. Dienogest dengan dosis per hari 2 mg meredakan nyeri
pelvik dan dismenorea akibat endometriosis lebih baik terhadap placebo, dan sama
efektifnya dengan GnRH agonist. DMPA yang diberikan secara intramuscular memunyai
efektivitas yang sama dengan leuprolide acetate. Kelemahan dari DMPA adalah adanya
kecendrungan penundaan dari keberlangsungan ovulasi sehingga tidak disarankan
penggunaannya pada wanita yang ingin hamil kembali. Indikasi ideal penggunaan
DMPA adalah pada endomteriosis residual setelah histerektomi dengan atau tanpa
bilateral salfingoooforektomi ketika konsepsi di masa depan tidak lagi diinginkan.
Penggunaan DMPA pada jangka lama dapat menurunkan BMD. Penggunaan LNG-IUS
memiliki keuntungan dikarenakan pemakaian secara kontinu selama 5 tahun tanpa
dibutuhkan pergantian, adanya masalah dengan pemakaian dapat diatasi dengan
pengeluaran preparat. Tingginya konsentrasi di pelvis dan rendahnya progrestin yang
disekresikan ke sirkulasi sistemik membuat resiko efek samping sistemik lebih kecil.
18

Kerugian dari pemakaian LNG IUS adalah resiko untuk infeksi pelvis sebesar 1.5 % dan
pembentukan endometrioma. 1,7
Danazol, androgen lemah yang dapat mensupresi sekresi gonadotropin dan memicu
amenorea, mulai digunakan pemakaiannya. Walaupun efektif dalam sebagian besar
kasus nyeri pelvik pada endometriosis, danazol dikaitkan dengan efek samping
androgenic seperti penambahan berat badan, akne, hirsutisme dan atrofi payudara. Selain
itu beberapa penelitian menyebutkan danazol mengganggu metabolism lipid dan
peningkatan resiko kanker ovarium.7
European Society of Human Reproductive and Embriology (ESHRE) menyatakan
penggunaan progestagen dan antiprogestagen, termasuk levanogestrel releasing
intrauterine system, efektif dalam meredakan nyeri pada pasien dengan endometriosis.
Prostagen yang dapat digunakan adalah medroxyprogesterone acetate, cytoproterone
acetate,

medroxyprogesterone

acetate,

desogestrel

dan

dienogest,

sedangkan

antiprogestagen yang disarankan adalah gestrinone. Pemberian terapi danazol tidak


disarankan bila tersedia terapi medikamentosa yang lain dikarenakan efek samping yang
berat seperti akne, edem, bercak pada vagina, penambahan berat badan, dan kram otot.9

GnRH agonis
Pada wanita yang tidak responsif terhadap kontrasepsi oral dan progestin, atau
mengalami rekurensi gejala setelah perbaikan awal, pengobatan GnRH agonis dengan
addback theraphy dapat dipertimbangkan. GnRH agonis tidak boleh diberikan tanpa
terapi hormonal tambahan. Pelepasan GnRH endogen yang pulsatil oleh hipotalamus
merangsang pituitaru anterior

untuk mensekresikan gonadotropin yang memicu

terjadinya steroidogenesis ovarium dan ovulasi. Namun penggunaan GnRH agonis yang
kontinu, nonpulsatil akan menyebabkan desentisisasi pada pituitary sehingga tidak
terjadi ovarian steroidogenesis. Berkurangnya produksi estradiol ovarian akan
menciptakan lingkungan hipoestrogen yang akan mengurangi stimulasi pada implant
endometriosis. GnRH agonist juga selanjutnya akan menekan COX-2 , mengurangi
inflamasi pada endometriosis. Pemakaian GnRH akan menciptakan lingkungan

19

hipoestrogen sehingga dapat menimbulkan gejala seperti menopause seperti hot flushes,
insomnia, berkurangnya libido, kekeringan vagina, dan sakit kepala. Selain itu
penggunaan GnRH setelah lebih dari 6 bulan akan menyebabkan pengurangan BMD.
Oleh karena itu terapi hormonal tambahan estrogen harus ditambahkan untuk mencegah
kehilangan tulang, disebut juga dengan add back theraphy. Penambahan terapi estrogen
bertujuan untuk menciptakan konsentrasi estrogen yang cukup rendah untuk
menstimulasi endometrium namun cukup tinggi untuk mencegah komplikasi
hipoestrogenisme. 1,7
Hasil penelitian yang membandingkan GnRH agonis pada dosis yang berbeda, regimen
berbeda, dan rute pemberian yang berbeda, dengan prostagen intrauterine, placebo, dan
analgesik dalam meredakan nyeri pada pasien endomteriosis menunjukkan bahwa GnRH
agonis lebih superior dibandingkan placebo namun lebih inferior dibadingkan LNG-IUS.
GnRH juga menghasilkan efek samping yang paling berat. Tidak ada perbedaan
signifikan pada perempuan yang diterapi selama 3 bulan atau 6 bulan dengan GnRH
agonis, namun dyspareunia lebih membaik pada pemberian yang lebih singkat. Tidak
ada perbedaan efektivitas pada rute pemberian intramuscular, subkutan, atau intranasal.
Efek samping dari GnRH agonis adalag efek samping hipoestrogenik, sehingga
penambahan estrogen dengan/atau profestagen (add-back theraphy) diberikan atas dasar
teori threshold, dimana estrogen dalam level rendah dibutuhkan untuk melindungi tulang
dan fungsi kognitif, menghindari gejala menopause seperti hot flushes, gangguan tidur,
perubahan mood, dan menghindari pengaruh hormon yang dapat mengaktivasi
endometrium. Pemberian GnRH agonis merupakan salah satu pilihan dalam meredakan
nyeri pada endometriosis, walaupun belum ada bukti yang cukup mengenai durasi dan
dosis pemberian. Pertimbangan yang cukup dibutuhkan dalam pemberian kepada wanita
muda dan remaja dikarenakan pada kelompok usia tersebut, densitas tulang maksimum
belum tercapai. 9
Aromatase Inhibitor
Penggunaan aromatase inhibitor untuk pengobatan medikamentosa endomteriosis masih
bersifat

eksperimental

dan

berdasarkan

observasi

bahwa

lesi

endometriosis

mengekspresikan enzim aromatase dan dapat memproduksi estrogen sendiri, bahkan


dalam keadaan absensi dari stimulasi gonadotropin. Endometriosis yang resisten
terhadap terapi konvensional mungkin terjadi akibat enzim aromatase yang terus
20

memproduksi estrogen. Terapi hormonal konservatif hanya menargetkan produksi


estrogen ovarian, sedangakan aromatase inhibitor memblok aromatase dan produksi
estradiol pada ovariu dan letak ekstra ovarian. Efek samping dari aromatase inhibitor
adalah efek samping hipoestrogen dan pembentukan kista ovarium dikarenakan dengan
menghambat konversi androgen ke estrogen pada sel granulosa ovarium, aromatase
inhibitor mengurangi negative feedback pada axis pituitary-hipotalamis, sehingga
meningkatkan sekresi dari GnRH. Hasilnya dalah peningkatan LH dan FSH yang
meningkatkan pembentukan folikel ovarium. Kombinasi antara aromatase inhibitor dan
terapi hormonal dapat menekan efek samping tersebut. 1,7
Aromatase inhibitor generasi ketiga seperti letrozole dan anastrozole adalah inhibitor
reversibel pada enzim aromatase, berkompetisi dengan androgen pada binding site
aromatase. Efek samping adalah efek samping hipoestogenik berupa kekeringan vagina,
hot flushes, dan berkurangnya densitas tulang. Dikarenakan efek samping yang berat,
aromatase inhibitor hanya diberikan pada wanita yang refrakter pada pengobatan
medikamentosa lainnya. 9
Analgesik
Meskipun banyak digunakan sebagai lini pertama penanganan nyeri pada penderita
endometeriosis, belum ada bukti yang cukup mengenai efektivitas NSAID dalam
meredakan nyeri endometriosis. Penelitian terbaru menunjukkan NSAID memunyai efek
yang baik terhadap dismenorea primer. 9
Baik COX-1 dan COX-2 adalah enzim yang mensintesis prostaglandin, yang berpean
dalam gejala nyeri dan inflamasi endometriosis. Jaringan endometriosis juga
mengekspresikan COX-2 yang lebih tinggi dibandingkan endometrium eutopik. Terapi
yang bertujuan menurunkan level prostaglandin memainkan peran dalam meredakan
nyeri, sehingga NSAID sering menjadi pilihan lini pertama penanganan nyeri pada
endometriosis. Pemberian NSAID juga bertujuan untuk meredakan nyeri pada awal
siklus dikarenakan terapi hormonal membutuhkan setidaknya satu siklus unyuk
meredakan nyeri. 1,7
Terapi pembedahan terhadap penanganan nyeri
Terapi pembedahan pada endometriosis diindikasikan pada (1) pasien dengan nyeri
pelvik yang tidak respon, menolak, atau memiliki kontraindikasi terapi medikamentosa,

21

(2) pasien dengan adanya gejala akut adneksa seperti torsi adneksa dan ruptur kista
ovarium, (3) memiliki lesi invasive melibatkan usus, vesika urinaria, ureter, atau saraf
pelvis, (4) pasien yang dicurigai atau memiliki endomterioma ovarian. Pada pasien
asimtomatik yang ditemukan lesi endometriosis ssecara incidental pada saat
pembedahan tidak membutuhkan penanganan. Evaluasi preoperative dapat berupa
pemeriksaan serum CA-125 ketika adanya massa adneksa yang belum terdiagnosis,
ultrasonografi pelvis, terutama transvaginal ketika ditemukan massa adneksa pada saat
pemeriksaan fisik. Sonografi transrektal, kolonoskopi, barium enema radiografim dan
MRI berguna untuk mendeteksi DIE pada usus dan septum rektovagina pada pasien
dengan diskezia dan dyspareunia dengan nodul pada pemeriksaan. Sistoskopi dilakukan
bila terdapat gejala vesika urinaria siklik seperti hematuria. 7
Terapi pembedahan dapat bersifat konservatif atau definitif. Terapi pembedahan
konservatif memiliki tujuan mengembalikan struktur normal anatomi dan meredakan
nyeri. Pendekatan ini dilakukan pada wanita usia reproduktif yang masih ingin memilki
keturunan di masa depan dan menghindari menopause di usia muda. Terapi pembedahan
konservatif dapat berupa ablasi langsung, lisis, eksisi, interupsi jalur persarafan,
membuang endometrioma ovaria, dan eksisi lesi yang menginvasi organ sekitar. Terapi
definitif melibatkan bilateral ooforektomi untuk menginduksi menopause dan
melibatkan pengangkatan uterus dan tuba fallopi, serta eksisi dari lesi endometriosis
yang terlihat. Terapi ini dipertimbangkan pada wanita yang mengeluhkan nyeri
signifikan yang tidak membaik dengan medikamentosa, tidak menginginkan kehamilan
lebih lanjut, dan diharuskan dilakukan histerektomi akibat kondisi pelvik lain, seperti
fibroid atau menoragia. Laparoskopi adalah rute yang diprioritaskan pada terapi
pembedahan endometriotis, dikarenakan visualisasi yang lebih baik dan keadaan pasien
yang lebih cepat pulih dan kembali ke aktivitas normal dibandinkan dengan laparotomi.
Eksisi pada lesi DIE menghasilkan efektivitas yang lebih besar dalam meredakan nyeri
dibanding eksisi pada lesi superficial. Pada endometrioma ovarian, terapi pembedahan
lebih diutamakan eksisi dibanding drainase dikarenakan peredaan nyeri yang lebih baik,
reduksi kemungkinan rekuren, dan diagnosis histopatologis. Diameter endometrioma
lebih dari 3 cm pada wanita dengan nyeri pelvik harus dieksisi bila memungkinkan.
Neurektomi presakral dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pembedahan pada
penanganan gejala nyeri endometriosis. 7

22

Laparotomi dan laparoskopi


Laparotomi dan laparoskopi memunyai efektivitas dalam penanganan nyeri pasien
endometriosis. Laparoskopi operatif lebih efektif dalam penanganan nyeri pelvik pada
semua stadium pelvis, dibandingkan dengan laparoskopi diagnostic saja. Laparaskopi
lebih menghasilkan nyeri yang lebih ringan, rawat inap yang lebih singkat, waktu pulih
yang lebih cepat, dan kosmetik yang lebih baik. Ketika endometrisosi diidentifikasi,
klinisi direkomendasikan untuk mengobati endometrosis secara surgical.
Ablasi dan eksisi endometriosis
Ablasi dan eksisi penyakit peritoneum memunyai efektivitas yang sama dalam
penanganan nyeri pasien endometriosis. Eksisi dari lesi lebih dipilih dikarenakan sampel
eksisi bisa diambil untuk pemeriksaan histologik. Teknik ablasi tidak cocok untuk
bentuk lanjut dari endomteriosis dengan deep endometriosis.
Interupsi surgikal saraf pelvis
Berdasarkan hasil penelitian dari Cochrane, Laparoscopic Uterosacral Nerve Ablation
(LUNA) tidak dianjurkan sebagai prosedur tambahan terapi bedah konservatif untuk
meredakan nyeri endometriosis. Presacral neurectomy efektif sebagai terapi tambahan
bedah konservatif untuk mengurangi nyeri endometriosis pada daerah midline, namun
membutuhkan keterampilan yang tinggi dan meningkatkan resiko efek samping berupa
pendarahan dan konstipasi.
Terapi bedah dalam penanganan nyeri endometrioma ovarian
Kistektomy lebih superiori dibandingkan drainase dan koagulasi pada wanita dengan
endometrioma ovarian berukuran >3cm. Kistektomi mungkin lebih efektif dibandingkan
vaporisasi laser karbon dioksida, dikarenakan kemungkinan rekurensi yang lebih rendah.
Terapi bedah dalam penanganan nyeri pada endometriosis dalam
Endometriosis dalam (deep endometriosis) dapat meluas sampai di bawah peritoneum
dan dapat melibatkan ligamen uterosakral, dinding samping pelvik, septum rektovaginal,
vagina, usus, kandung kemih, dan ureter. Eksisi nodul dilakukan ketika terapi bedah
dipilih. Keterlibatan kolorektal sering terjadi pada endometriosis dalam, dan penanganan
berupa superficial shaving, reseksi discoid, dan reseksi segmental dari usus untuk
membuang nodul endomteriosis dalam. Gejala nyeri dan kualitas hidup meningkat post
23

pembedahan, dengan kemungkinan komplikasi 0-3 % dan kemungkinan rekurensi 5-25


%. Reseksi segmental usus untuk endometriosis dengan keterlibatan kolorektal
merupakan pilihan utama. Laparoskopi sama efektifnya dengan laparotomy dalam
reseksi kolorektal. Komplikasi bedah intraoperative adalah 2.1% dan komplikasi
postoperative adalah 13.9 %. Kemungkinan rekurensi pada 2 tahun post operasi adalah
5-25 %. Terapi bedah pada endometriosis kandung kemih adalah eksisi lesi dan
penutupan dinding kandung kemih. Lesi ureteral dieksisi setelah dilakukan sten ureter.
Histerektomi dalam penanganan endometriosis
Histerektomi dapat dipertimbangkan pada pengangkatan ovarium dan lesi endometriosis
yang visible, pada wanita yang tidak ingin memunyai keturunan lagi dan tidak respon
terhadap terapi konservatif. Pada beberapa kasus setelah perbaikan gejala nyeri pasca
histerektomi. Terapi pembedahan histerektomi dapat menyebabkan regresi dari lesi
endometriosis yang tertinggal. Pada histerektomi dengan terapi konservatif pada
ovarium ditemukan 6 kali resiko nyeri rekuren dan 8 kali resiko operasi ulang.
Pencegahan adhesi setelah pembedahan endometriosis
Beberapa studi telah meneliti beberapa agen barrier, cairan, dan farmakologikal untuk
mencegah adhesi pasca pembedahan ginekologis. Penelitian oleh Cochrane yang
menganalisis studi mengenai efektivitas adhesi barrier menunjukkan pemasangan
oxidized regenerated cellulose setelah operasi laparaoskopik pada pasien endomteriosis
menunjukkan reduksi pada angka kejadian adhesi dibandingkan pasien yang tidak
dilakukan pemasangan oxidized regenerated cellulose. Penggunaan icodextrin tidak
efektif dalam mencegah formasi adhesi setelah bedah laparoskopi endometrosis.
Polytetrafluroethylene surgical membrane dan produk asam hyaluronik terbukti efektif
untuk prevensi adhesi pada pembedahan pelvik, namun belum terbukti secara spesifik
pada wanita dengan endometrosis.
Terapi hormonal sebagai terapi pre dan post operatif.
Terapi hormonal preoperative tidak menunjukkan keuntungan terhadap outcome
pembedahan, namun pemberian GnRH aginus dapat menfasilitasi pembedahan dengan
cara mengurangi inflamasi, vaskularisasi endometriosis dan adhesi. Terapi hormonal
postoperatif dapat diberikan pada dua kondisi: meningkatkan outcome terapi
pembedahan penanganan nyeri, dan pencegahan sekunder, dimana didefinisikan sebagai
24

pencegahan rekurensi nyeri dan penyakit jangka panjang ( lebih dari 6 bulan pasca
operasi). Pemberian terapi hormonal untuk meningkatkan outcome pembedahan dalam
penanganan nyeri dalam 6 bulan pasca bedah tidak menunjukkan manfaat. Pada
perempuan dengan endometrioma 3 cm, sistektomi lebih dianjurkan dibanding
drainase dan elektrokoagulasi, dan bila pasien belum menginginkan konsepso maka
pemberian kontrasepsi oral dapat dipertimbangkan. Penggunaan LNG-IUS atau
pemberian kontrasepsi oral dapat diberikan selama 8-24 tahun sebagai pilihan terapi
pencegahan sekunder terhadap gejala dispareunia.
Penanganan nyeri endometrosis ekstragenital
Endometriosis dapat ditemukan pada hamper setiap jenis jaringan di tubuh. Gejala
tergantung dari lokasi dimana implantasi. Pada kebanyakan kasus, gejala bersifat siklik,
terutama pada fase awal, dimana mungkin hanya gejala yang menandakan diagnosis
endometriosis. Diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan histologis, dimana penting
untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain, terutama keganasan. Penatalaksaan
tergantung dari lokasi lesi. Jika eksisi komplit memungkinkan, maka eksisi komplit
adalah terapi pilihan utama. Bila tidak memungkinkan, maka terapi medikamentosa
jangka panjang menjadi pilihan. Terapi medikamentosa endometriosis ekstragenital
sama dengan terapi endometriosis pelvik. Endomteriosis appendix diobati dengan
apendektomi. Terapi pembedahan pada endometriosis kandung kemih dapat berupa
eksisi lesi dan penutupan dinding kandung kemih. Lesi ureter dapat dieksisi setelah
stenting ureter. Endometriosis dinding abdomen dan perineal ditatalaksana dengan eksisi
komplit

nodul.

Endometriosis

torakal

ditatalaksana

dengan

medikamentosa,

pembedahan, atau gabungan. Penangaan akut pneumotorak atau hematorak adalah


dengan insersi drainase chest tube. Terapi hormonal dapat efektif pada sebagian besar
kasus. Pada kasus rekurensi, pleurektomi dan ablasi pleural dapat dipertimbangkan
Penanganan infertilitas pada pasien endometriosis
Penanganan infertilitas yang diakibatkan oleh endometriosis dapat dilakukan dengan
cara pengangkatan pembedahan jaringan endometrium dengan adesiolisis dengan tujuan
mengembalikan struktur anatomi normal, dan mengoptimalkan ovarium dan integritas
tuba. Pendekatan dengan laparoskopi lebih disarankan dibanding laparotomi. Terapi
pembedahan menggunakan prinsip mikrosurgeri, seperti diligent hemostasis, reduksi
fulgurasi, dan pengaplikasian jahitan yang terbatas. Terapi medikamentosa berupa
25

supresi hormonal tidak efektif dalam meningkatkan kemungkinan kehamilan pada


pasien endometriosis. Penggunaan agonist GnRH selama 3-6 bulan sebelum siklus in
vitro fertilization dapat meningkatkan kemungkinan hamil dan kelahiran hidup pada
pasien endometriosis. 1,7
Pada wanita dengan endometriosis, pemberian terapi hormonal untuk meningkatkan
fertilitas tidak dianjurkan dikarenakan tidak memberikan manfaat menurut studi yang
ada. Pada wanita dengan endometriosis stadium I/II yang mengalami infertilitas,
laparoskopi operatif dengan adhesiolisis lebih meningkatkan kemungkinan hamil
dibanding hanya dengan laparoskopi diagnostik. Pada wanita infertile dengan
endometriosis stadiuam III/IV operatif laparoskopi lebih dianjurkan dibandingkan
managemen ekspektan. Pada wanita dengan endometrisosis yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laparoskopi, kemungkinana kehamilan spontan pada pengobatan ekspektan
hanya berkisar 30 % untuk endometriosis sedang dan 0 % untuk endometriosis berat.
Pada operatif laparoskopi kemungkinan kehamilan spontan adalah 57-69% untuk
endometriosis sedang dan 52-68 % untuk endometriosis berat. Pada pasien dengan
endometrioma yang menerima terapi pembedahan, eksisi dari kapsul endometrioma
meningkatkan kemungkinana kehamilan spontan post operatif, dibandingkan dengan
drainase dan elektrokoagulasi pada dinding endometrium. Kedua teknik memunyai
resiko untuk mengurangi massa ovarium, baik melalui pengangkatan jaringan normal
ovarium saat eksisi atau akibat kerusakan thermal pada korteks ovarian saat ablasi.
Pemberian terapi hormonal sebagai terapi adjuvant pre dan post operasi tidak dianjurkan
dikarenakan tidak memunyai manfaat dalam meningkatkan kemungkinan hamil. Pada
perempuan infertile dengan endometrisiosis stadium I/II, inseminasi intrauterine disertai
stimulasi ovarian menunjukkan peningkatan angka kelahiran hidup 5 kali lipat dibanding
terapi ekspektan dan inseminasi tanpa disertai kontrol ovarian. Penggunaan Assisted
Reproductive Technology dipertimbangkan pada infertilitas akibat endometriosis,
terutama jika terdapat kelainan fungsi tuba, infertilitas faktor pria, dan terapi lain gagal.
Lesi endometriosis yang ditemukan pada laparoskopi dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan bedah eksisi komplit sebelum Assisted Reproductive Technology, dikarenakan
meningkatkan angka kelahiran hidup. Pada wanita infertile dengan endometrioma lebih
dari 3 cm, tidak ada bukti bahwa kistektomi sebelum Assisted Reproductive Technology
meningkatkan kemungkinan hamil, namun dapat dipertimbangkan untuk mengurangi
gejala nyeri akibat endometrisois. 9

26

BAB 3
PENUTUP
Endometriosis adalah suatu penyakit kronik, estrogen dependen yang menimbulkan
keluhan nyeri pelvik dan infertilitas. Diagnosis endometriosis didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, pencitraan, dan laparoskopi baik dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologis. Penangananan endometriosis berifat simtomatik, dapat
berdasarkan keluhan utama berupa nyeri atau infertilitas. Secara garis besar tatalaksana
endometriosis menjadi tatalaksana terapi pembedahan dan terapi medikamentosa.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffmann BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JL, Corton
MM. Williams Gynecology, 3rd ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2016.
2. Berek JS. Berek & Novaks Gynecology, 15th ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2012.
3. Sourial S, Tempest N, Hapangama DK. Theories on the Pathogenesis of
Endometriosis. International Journal of Reproductive Medicine 2014; 17(9): 1-9.
4. Baldi A, Campioni M, Signorile P. Endometriosis: Pathogenesis, diagnosis,
theraphy and association with cancer. Oncology Reports 2008; 19(8): 843-846.
5. Acien P, Velasco I. Endometriosis: A Disease That Remains Enigmatic. ISRN
Obstetric and Gynecology 2013; 13(5): 1-12.
6. Agarwal N, Subramanian A. Endometriosis Morphology, Clinical Presentations
and Molecular Pathology. J Lab Physicians 2010; 2(1): 1-9.
28

7. Leyland N, Casper R, Laberge P, Singh SS. Endomteriosis: Diagnosis and


Treatment. Journal of Obstetrics and Gynecology Canada 2010; 32(7): 1-36.
8. Bulleti C, Coccia ME, Battistoni S, Borini A. Endometriosis and Infertility. J
Assist Reprod Genet 2010; 27(8): 441-447.
9. Dunselman GA, Vermuelen N, Becker C, Calhaz-Jorge C, DHooghe T, De Bie
B et al. ESHRE guideline: management of women with endometriosis. Hum
Reprod 2014; 29(3): 12-400.

29

30

You might also like