Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak
2.1.1 Bagian-bagian Otak
Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SSP dilindungi
oleh tulang-tulang yaitu sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas tulang belakang dan otak
dilindungi oleh tengkorak. Sebagian besar otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel
pendukung. Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20% curah jantung, memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400
kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi
dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa
(Price & Wilson, 2006).
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis. Arteri karotis
interna terdiri dari arteri karotis kanan dan kiri, yang menyalurkan darah ke bagian depan otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai
darah pada struktur-struktur seperti nuklues kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian kapsula
interna dan korpus kalosum, serta bagian lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks
somestetik dan korteks motorik. Bila arteri serebri anterior mengalami sumbatan pada cabang
utamanya, maka akan terjadi hemiplegia kontralateral yang lebih berat di bagian kaki
dibandingkan bagian tangan dan terjadi paralisis bilateral dan gangguan sensorik bila terjadi
sumbatan total pada kedua arteri serebri anterior (Muttaqin, 2008). Arteri serebri media
menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri, serta
membentuk penyebaran pada permukaan lateral yang menyerupai kipas. Apabila arteri serebri
media tersumbat di dekat percabangan kortikal utamanya dapat menimbulkan afasia berat bila
terkena hemisfer serebri dominan bahasa, kehilangan sensasi posisi dan diskriminasi taktil dua
titik kontralateral serta hemiplegia kontralateral yang berat terutama ekstremitas atas dan wajah
(Muttaqin, 2008).
Arteri vertebrobasiler yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan
sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi (Muttaqin, 2008). Aliran
vena otak meninggalkan otak melalui sinus dura mater yang besar dan kembali ke sirkulasi
umum melalui vena jugularis interna. Aliran vena otak tidak selalu paralel dengan suplai darah
arteri.
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem (batang otak),
dan limbic system (sistem limbik).
a. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama
cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan
berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus
parietal, lobus occipital dan lobus temporal.
1) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan cerebrum. Lobus
ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
2
gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh. Apabila terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan
gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi
(Price dalam Muttaqin, 2008).
c. Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini
mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,
mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight
(lawan atau lari) saat datangnya bahaya (Puspitawati, 2009). Batang otak terdiri dari tiga bagian,
yaitu:
1) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang
menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon berfungsi untuk mengontrol
respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh, dan
fungsi pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju
bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla oblongata mengontrol fungsi
involuntary otak (fungsi otak secara tidak sadar) seperti detak jantung, sirkulasi darah,
pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang menghubungkan
kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan midbrain disebelah atas dengan medula
oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf
kranial V (trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis) terdapat pada bagian ini.
d. Limbic System (sistem limbik)
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup komponen
serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem limbik berkaitan dengan halhal sebagai berikut.
1) Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah laku individu
2) Suatu respon sadar terhadap lingkungan
3) Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar dan
memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan
4) Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali simpanan memori yang
diperlukan
2.2 Stroke Infark Trombotik
2.2.1 Definisi
Stroke infark trombotik adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya oklusi
pembuluh darah yang disebabkan oleh karena adanya trombosis.3
2.2.2 Etiologi
Trombus adalah pembentukan bekuan platelet atau fibrin di dalam darah yang dapat
menyumbat pembuluh vena atau arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal.
Trombus ini bisa terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut tromboemboli. Trombosis
dan tromboemboli memegang peranan penting dalam patogenesis stroke iskemik. Lokasi
trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang ditimbulkannya, misalnya trombosis arteri
dapat mengakibatkan infark jantung, stroke, maupun claudicatio intermitten, sedangkan
trombosis vena dapat menyebabkan emboli paru.6
4
Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen utama hemostasis
yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah, permukaan vaskuler, dan konstituen
seluler, terutama platelet dan sel endotel. Trombosis arteri merupakan komplikasi dari
aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak aterosklerosis yang pecah.6
Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen
dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah
yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya glikoprotein dan
proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat
vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan
berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit
dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam
granula-granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung
lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan
jaringan kolagen pembuluh darah.6
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi
protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan
akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke trombotik.6
2.2.3 Faktor Resiko
Tabel 1. Faktor Resiko Stroke1,2
Bisa dikendalikan
Hipertensi
Penyakit Jantung
Fibrilasi atrium
Endokarditis
Stenosis mitralis
Infark jantung
Merokok
Dyslipidemia
Penggunaan alkohol
Inaktifitas fisik
Obesitas
5
Umur
Jenis kelamin
Herediter
Ras dan etnis
Geografi
2.2.4 Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah
aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan
juga melalui mekanisme emboli. Terjadinya ateroskerosis diawali dari terbentuknya fatty streak
yang kemudian berkembang progresif sampai terjadi lesi sebagai akibat dari gangguan aliran
darah dan atau tebentuknya trombus yang menyebabkan iskemik pada organ target. 7
Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permiabilitas endotel, perubahan sel endotel
atau perubahan hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat dibawahnya. Sel endotel dapat
terlepas sehingga terjadi hubungan langsung antara komponen darah dan dinding arteri.
Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor yang akan merangsang masuknya
monosit ke lapisan intima pembuluh darah. Demikian pula halnya lipid akan masuk kedalam
pembuluh darah melalui transport aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh darah akan
berubah menjadi makrofag akan memfagosit kholesterol LDL, sehingga akan terbentuk foam sel.
7
Monosit berubah menjadi makrofag oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF)
yang ekspresinya disebabkan oksidasi LDL dan faktor nuclear kappa B (NFkB). Kemampuan MCSF merangsang pengambilan dan degradasi modified lipoprotein oleh scavenger receptor akan
menyebabkan pembentukan sel busa yang akan menjadi fatty streak (prekusor plak
aterosklerosis) dan selanjutnya akan menjadi plak fibrosa. Platelet Derived Growth Factor
(PDGF) yang dihasilkan sel vaskular dan lekosit yang menginfiltrasi akan mempengaruhi
migrasi dan proliferasi sel otot polos dari tunika media ke intima. Sel otot polos dengan matrik
ekstraseluler akan membentuk kapsula fibrosa yang memisahkan inti lipid dengan aliran darah.
Transforming growth factor (TGF)-beta akan menghambat proliferasi sel otot polos dan
merangsang produksi matrik ekstraseluler. Pembentukan kapsula fibrosa plak aterosklerosis
tergantung keseimbangan kedua hal tersebut. 7
Proses tersebut berlanjut dengan terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia
ke tunika intima akibat adanya pelepasan platelet derived growth factor (PDGF) oleh makrofag,
sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos tersebut yang kontraktif akan
berproliferasi dan berubah menajdi fibrosis. Makrofag, sel endotel, sel otot polos maupun
limfosit T (terdapat pada stadium awal plak aterosklerosis) akan mengeluarkan sitokin yang
memperkuat interaksi antara sel-sel tersebut. 7
6
Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai adanya fibrosis maka akan
terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut, sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi
nekrosis dan terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar kedalam tunika media
dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menebal dan terjadi penyempitan
lumen. Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami akan menyebabkan
kerusakan endotel pembuluh darah sehingga terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi
trombosit, yang mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang dan
menempel pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak aterotrombotik. 7
Tempat tersering terjadinya fatty streak adalah di daerah bifurkasio dengan aliran darah
yang turbulen. Arteri serebral plak sering terjadi pada bifurkasio arteri karotis dimana arteri
carotis interna berasal. Aterosklerosis pada arteri serebri media (MCA) mempengaruhi bagian
pertama (M1 segmen) dimana meluas dari tempat arteri berasal sampai bifurkasio pada fisura
sylvian. Pada sistem vertebrobasiler plak sering ditemukan pada tempat asal arteri vertebral dan
arteri basilar. Dengan bertambahnya usia fatty streak berubah menjadi plak fibrosa, sering
ditemukan pada usia pertengahan dan orang tua. Plak ini terdiri dari inti seluler debris, free
ekstraselular lipid, dan krista dari foam cells, otot polos yang berubah, limfosit dan connective
tissue. Aterosklerosis berkembang menjadi complicated lesion, dimana terjadi kalsifikasi, deposit
hemosiderin, dan gangguan permukaan lumen pembuluh darah.7
Aterosklerosis dapat menyebabkan stroke iskemik dengan cara trombosis yang
menyebabkan tersumbatnya arteri-arteri besar terutama a. karotis interna, a. serebri media atau a.
basilaris, dapat juga mengenai arteri kecil yang mengakibatkan terjadinya infark lakuner.
Sumbatan juga dapat terjadi pada vena-vena atau sinus venosa intra kranial. Dapat juga terjadi
emboli, dimana stroke terjadi mendadak karena arteri serebri tersumbat oleh trombus dari
jantung, arkus aorta atau arteri besar lainnya.7
2.2.5 Manifestasi Klinik
Gambaran klinis stroke iskemik tergantung pada area otak yang mengalami iskemik.3
Lokasi Oklusi
b. Stroke
pada
inferior
arteri
media
kontralateral lesi
Gangguan visospasial, termasuk hilangnya kewaspadaan
terhadap kelainan yang diderita (anosognosia), neglek dan
gangguan untuk mengenal ekstremitas kontralateral, dressing
apraxia dan konstruksional apraxia bila yang terlibat adalah
hemisfer dominan, afasia wernicke dapat pula terjadi.
trifurcasio
serebri media
d. Oklusi
pada
arteri yang mengenai wajah dan lengan lebih berat dari pada tungkai,
homonym hemianopsia dan bila terkena pada hemisfer
arteri media
Arteri karotis Interna
kallosum.
Infark kedua hemisfer arteri serebri posterior menyebabkan
kebutaan kortikal, gangguanmemori, prosopagnosia (gangguan
mengenal wajah yang familiar), juga beberapa gangguan
a. Cabang
prilaku.
pedunkulus Sindroma weber: kelemahan wajah dan ekstremitas
paramedian
serebri posterior
Cabang arteri basilaris
a. Cabang distal arteri Hemiparese kontralateral, parese N XII ipsilateral, gangguan
vertebralis
sensorik kontralateral
b. PICA (posterior inferior Sindrom Wellenberg:
cerebellar arteri)
cerebellar arteri)
2.2.6 Diagnosis
Secara umum untuk membedakan apakah stroke perdarahan atau strok iskemik dapat
dilakukan dengan menghitung siriraj skor berikut:
Gejala/tanda
Indeks
Derajat
Kesadaran
Vomitus
Nyeri kepala
Tekanan darah
Ateroma
Skor >1
X 2,5
X2
X2
X 0,1
X3
: Perdarahan Supratentorial
: Infark Serebri
CT scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke hemoragik.
Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan diagnosis stroke.3,6,8
10
Angiografi: dapat dilakukan bila ada kecurigaan stenosis pembuluh darah balik ekstra cranial
maupun intracranial
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi
dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit
karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan
torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan
saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks,
koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah
NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of
evidence B).
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
11
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
Class V, GCP).
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
C).
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen
seperti glukosa).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk
memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan
nutrisi.
Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah.
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat
vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama
12
evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
i.
Tinggikan posisi kepala 200 300
ii.
Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii.
Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv.
Hindari hipertermia
v.
Jaga normovolernia
vi.
Osmoterapi atas indikasi:
o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam
dengan target 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
vii.
viii.
osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal
dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class
III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau
pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih
baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan
13
kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau
ix.
x.
xi.
fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
B.
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan
vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada
penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti
bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik
diperkirakan
>6
minggu,
sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke
akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST:
International Stroke Trial 2002.
Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped relationship)
(U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun hemoragik) dengan
16
kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada
level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian besar
pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan
penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar
dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS)
>220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke
iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga
TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105
mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah
labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial. Tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral 60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
17
e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan
tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke perdarahan intraserebral.
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol),
penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya
diatas.
h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan
tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko
terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada
pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam
mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung
pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskular.
j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila
vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini
terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan
dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.
l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah
dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya
diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90
mmHg dalam 6 jam pertama.
D.
dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau
recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa
tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam
terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik
akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki aliran
darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan kondisi
neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat. ((AHA/ASA, Class III, Level of
evidence B).
11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat mengakibatkan
risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovascular belum
menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence C).
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif, sehingga
sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). Namun,
citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan
citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan
dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS
(International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang
dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada
66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada
penderita stroke akut berupa perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index.
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui sebesar 80%.
Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian The International Study On
Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko
terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%),
infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%),
gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan
(7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cedera
20
Prosedur Aplikasi Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut.
Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara keuntungan dan
kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan
keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Pemberian
fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam pemberian
intraarterial).
1. Kriteria inklusi
a. Usia > 18 tahun
b. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas
c. Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam, AHA guideline 2007 atau <4,5 jam,
ESO 2009)
d. Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT-Scan
e. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan resiko yang mungkin
timbul dan harus ada persetujuan secara tertulis dari penderita atau keluarga untuk
dilakukan terapi rTPA
2. Kriteria eksklusi
a. Usia>80 tahun
b. Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau perburukan defisit neurologi
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
yang berat
Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan
Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir
Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri
Kejang pada saat onset stroke
Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal
Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya
Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik
Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu sebelumnya
21
sebelumnya
Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg
Glukosa darah <50 mg/dl atau > 400 mg/dl
Gejala perdarahan subarachnoid
Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal dalam 1
p.
q.
r.
s.
t.
u.
minggu sebelumnya
Jumlah platelet <100.000/mm3
Mendapat terapi heparin dalam 48 jam yang berhubungan dengan peningkatan aPTT
Gambaran klinis adanya perikarditis pascainfark miokard
Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya
Wanita hamil
Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral atau bila sedang dalam terapi
22
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni.
2011.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2011.
3. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University
Press. 2011.
4. B.M. Gund, et all. Stroke: A Brain Attack. IOSR Journal of Pharmacy. Volume 3, Issue 8
Pp 01-23. 2013.
5. Adam HP, et all. Classification of Subtype of Acute Ischemic Stroke. Available from
http://stroke.ahajournals.org. 2012.
6. Jan, S. Trombosis of Cerebral Vein and Sinuses. N Engl J Med. 352:1791-8. 2005.
7. Alireza Atri. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of Localization, vol. 13.
2009.
8. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; p29-31. 2008
24