Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sistem persarafan terdiri atas otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Struktur
ini bertanggung jawab mengendalikan dan menggordinasikan aktivitas sel
tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls tersebut
berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras. Secara langsung dan
terus menerus. Perubahan potensial elektrik menghasilkan respons yang
akan mentransmisikan sinyal-sinyal ( Batticaca, F., 2008 ).
Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti kontraksi otot,
peristiwa viseral yang berubah dengan cepat, menerima ribuan informasi
dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikannya untuk
menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh. Membran sel bekerja
sebagai suatu sekat pemisah yang amat efektif dan selektif antara cairan
ektraselular dan cairan intraselular antara cairan ektraselular dan cairan
intraselular . Didalam ruangan ekstra selular ektraselular, disekitar neuron
terdapat cairan dengan kadar ion natrium dan klorida, sedangkan dalam
cairan intraselular terdapat kalium dan protein yang lebih tinggi. Perbedaan
komposisi dan kadar ion-ion didalam dan diluar sel mengakibatkan
timbulnya suatu potensial membran ( Syaifuddin, 2006).
Tugas pokok sistem saraf meliputi: 1) Kontraksi otot rangka seluruh tubuh. 2)
Kontraksi otot polos dalam organ internal. 3) Sekresi kelenjar eksokrin dan
endokrin dalam tubuh ( Syaifuddin, 2006 ).
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
kranium(adakalanya disebut kalvaria) terdiri atas delapan tulang, dan
kerangka wajah terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak
mempunyai permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya
dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah ( Pearce, E., 2002 ).
ditemukan pada usia 15-24 tahun. Dan dua kali lebih besar pada pria
dibandingkan pada wanita ( Hudak, C. M., 2010 ).
Penyebab dari cidera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan
industri , kecelakaan olahraga dan luka pada persalinan. Adapun mekanisme
dari cedera kepala adalah dapat diakibatkan oleh tiga tipe kekuatan yaitu: a)
Perubahan bentuk tengkorak kepala. b) Percepatan dan perlambatan,
dimana tengkorak kepala bergerak lebih cepat dari pada masa otak dan
mengakibatkan perubahan tekanan. c) Pergerakan kepala yang
menyebabkan rotasi dan distorsi dari jaringan otak. Kekuatan ini dapat
menyebabkan kompresi, ketegangan dan kerusakan pada jaringan otak
( Widagdo, W., 2008 ).
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi luasnya cidera pada kepala
yaitu: a) Lokasi dari tempat benturan langsung. b) Kecepatan dan energi
yang dipindahkan. c) Daerah permukaan energi yang dipindahkan. d)
Keadaan kepala saat benturan. Bentuk cedera sangat bervariasi dari luka
pada kulit kepala yang kecil hingga kontusio dan fraktur terbuka dengan
kerusakan berat pada otak ( Widagdo, W., 2008 ).
Komplikasi yang ditakutkan pada cedera kepala adalah terjadinya hematoma
subdural atau epidural, yang dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan
batang otak yang berakibat fatal (Weiner, H. L., 2001).
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan keparahan,
yaitu: 1) Berdasarkan mekanisme: adanya penetrasi durameter. a) trauma
tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan mobil) dan kecepatan rendah (terjatuh,
dipukul) b) trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2) Berdasarkan keparahan cedera: a. Ringan: gcs 14-15 b.sedang: gcs 9-13
c.berat: gcs 3-8 ( Mansjoer, A., 2000 ).
Menilai tingkat keparahan yaitu: 1) Cedera kepala ringan ( kelompok risiko
rendah) adalah skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif,
orientatif), tidak ada kehilangan kesadaran misalnya konkusi, tidak ada
intoksikasi, alkohol, atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma
3(3,35%) pasien yang pulang paksa dan 7(8.3%) pasien yang meninggal
akibat post kraniotomi.
Masalah keperawatan yang mungkin timbul pasca operasi pada kraniotomi
adalah perubahan perfusi jaringan serebral, nyeri, perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri, risiko tidak
efektifnya jalan nafas, gangguan persepsi sensori, defisit volume cairan,
resiko injuri, gangguan mobilitas fisik ( Doengoes, 2000 ).
Penatalaksanaan pada pasien dengan post kraniotomi berdasarkan prioritas
masalah adalah menurunkan nyeri, mempercepat proses penyembuhan dan
mencegah infeksi dan untuk mengurangi rasa nyeri dengan terapi obatobatan, ganti verban setiap hari dan buka benang heating bila luka sudah
kering. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat analgetik yang
dapat menghilangkan nyeri, awasi tanda-tanda vital, memberikan makanan
yang tinggi kalori, protein, vitamin, mengatur posisi tidur pasien ( Doengoes,
2000 )
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam bab II ini, penulis membahas dan menguraikan tentang Asuhan
Keperawatan pada Tn.M dengan kasus Post Kraniotomi diruang Rawat Bedah
Pria Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh yang dilaksanakan 3 hari mulai tanggal 20 Juni 2011 sampai 22
Juni 2011,untuk lebih jelas penulis memaparkannya melalui langkah-langkah
proses keperawatan pada pasien sebagai berikut:
2.1.Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistemetis dalam pengumpulan data dan berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien
(Nursalam,2001).
Berdasarkan hasil pengkajian tanggal 20 Juni 2011 diperoleh data sebagai
berikut:pasien bernama Tn.M berumur 23 tahun,jenis kelamin lakilaki,agama islam,suku Aceh,kebangsaan Indonesia,bahasa Aceh,pendidikan
SD,pekerjaan swasta/kerja bangunan,status belum kawin,alamat kecamatan
Simpang Tiga kabupaten Pidie,tanggal masuk Rumah Sakit Umum Daerah
Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 11 Juni 2011 dengan diagnose
medic Post Kraniotomi.
Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial.Prosedur ini dilakukan untuk
meghilangkan tumor,mengurangi tekanan intakranial,mengevaluasi bekuan
darah dan mengontrol hemoeragi (Brunner&Suddarth, 2002).
Pada keluhan utama pasien mengatakan sakit kepala dengan skala nyeri 6
(nyeri sedang).Menurut Carpenito,Lj,(2001), nyeri merupakan keadaan
dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam
berespons terhadap suatu rangsangan yang berbahaya.Menurut
Hidayat,A.A., (2006), nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak
menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda
pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya.
Carpenito, Lj,(2001),mengatakan nyeri yang dirasakan baik pre operasi ataupun
post operasi merupakan jenis nyeri akut, yaitu: keadaan dimana individu
mengalami dan merasa tidak nyaman yang hebat atau sensasi yang tidak
menyenangkan selama 6 bulan atau lebih.
Menurut Doengoes (2000),nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis,nyeri tersebut dapat diukur dengan skala nyeri yaitu 0 = tidak
nyeri,1-3=nyeri ringan, 4-7=nyeri sedang dan 8-10=nyeri berat.
Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara kasus dan teoritis dimana
pada teori menyatakan nyeri biasa terjadi pada saat pre dan post operasi
sedangkan pada kasus ini pasien mengalami nyeri dikepala dengan skala
nyeri 6(sedang).
Dari riwayat penyakit sekarang pasien mengatakan awal kejadian kecelakaan
terjadi ketika pasien mau berkunjung ketempat saudaranya, pada saat
bepergian pasien tidak memakai helm.Pada jam 18.00 wib tanggal 10 Juni
2011 sepeda motor yang dikendarainya menabrak orang yang sedang
menyeberang jalan, akibatnya motor yang di kendarai pasien jatuh dan
kepala pasien terbentur aspal kemudian pasien langsung di bawa ke Rumah
Sakit Umum Sigli oleh warga yang melihat kejadian tersebut.Tiba di Rumah
Sakit Umum Sigli pasien di pasang Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) RL 30
tetes / menit dan di lakukan heating dan pada ke esokan harinya pada
tanggal 11 Juni 2011 jam 08.00 wib pasien di rujuk ke Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Zainoel Abidin ( RSUZA ) Banda Aceh. Pasien tiba di Instalasi
Gawat Darurat ( IGD ) RSUZA pada jam 10.15 wib pasien langsung di
tangani oleh dokter. Pada tanggal 12 Juni 2011 pasien di lakukan operasi
pembedahan kepala dan setelah di lakukan operasi pasien di rawat di
Intensive Care Unit ( ICU ) dewasa selama 2 hari dan pasien di berikan
terapi: Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) RL / NaCl 0,9 % 20 tetes /
menit,injeksi cefriaxone 2 gr / 24 jam,novalgin 1 ampul / 8 jam,ranitidine 1
ampul / 8 jam,fenitoin 1 ampul / 8 jam ( di encerkan dengan NaCl ),injeksi
chlorpromazine 1 ampul / 12 jam, atas intruksi dokter, pasien di pindahkan
keruang rawat bedah pria. Pasien mengatakan nyeri di kepala yang di
rasakannya saat ini,nyeri seperti di ketok ketok dengan skala nyeri 6, nyeri
yang berat sering terjadi di malam hari dan berkurang pada saat siang hari,
dirasakannya tiba tiba dan lama di rasakan 30 menit.Diruang rawat
bedah pria pasien di berikan terapi : Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) Rl /
NaCl 0,9 % 20 tetes / menit, Intravena Fluied Drainase ( IVFD ) tutofusin 5
% /hari,injeksi fenitoin 1 ampul / 8 jam,injeksi chlorpromazine l ampul / 12
jam, asam mefenamat 3 x 500 mg, sahobion 1x1.
Menurut asumsi penulis ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana teori
menyatakan tindakan kraniotomi dilakukan pada pasien karena kecelakaan
lalu lintas sementara pada kasus ini pasien dilakukan tindakan kraniotomi
karena kecelakaan lalu lintas.
Pada riwayat penyakit yang lalu pasien mengatakan tidak pernah mengalami
kecelakaan sebelumnya serta tidak pernah mengalami penyakit
infeksi,seperti tipes,malaria dan penyakit infeksi lainnya. Pasien hanya
pernah mengalami penyakit biasa seperti:flu,batuk dan demam dan sembuh
dengan berobat ke Puskesmas.
Dari riwayat penyakit keluarga Pasien mengatakan didalam keluarga pasien
tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit alergi,penyakit
menular dan penyakit keturunan lainnya seperti
hemofilia,hipertensi,diabetes mellitus dan penyakit keturunan lainnya.
Menurut asumsi penulis tidak ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana
teori menyatakan, kraniotomi bukan suatu penyakit keturunan, melainkan
tindakan operasi dan dikeluarga pasien juga tidak ada anggota keluarga
pasien yang mengalami post kraniotomi.
Pada pengkajian pola kebiasaan sehari hari pasien mengatakan sebelum sakit
pasien makan 3x sehari disertai ikan, sayur sayuran dan buah buahan,
selama sakit pasien diberikan dengan diet makanan biasa (MB),tetapi pasien
tidak mau makan dengan keluhan tidak selera makan, pasien hanya
menghabiskan roti unibis sebanyak 2 (dua) potong di tambah 1 (satu) buah
jeruk.
Tarwoto&Wartonah, (2006) mengatakan perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh adalah keadaan dimana intake nutrisi kurang dari
kebutuhan metabolisme tubuh.
Pada pasien pasca operasi perlu diberikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein (TKTP) agar mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya
komplikasi, (Brunnert&Suddarth,2002).
Menurut asumsi penulis tidak ada kesamaan antara kasus dan teori,dimana
teori menyatakan pada pasien pasca operasi perlu diberikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein (TKTP) agar mempercepat proses penyembuhan
simetris, mukosa bibir basah, gigi masih utuh, adanya bau mulut, adanya
karies gigi. Palpasi : tidak ada nyeri tekan. Leher,inspeksi :bentuk simetris,
leher dapat bergerak dengan bebas, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid.Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Thorak,inspeksi : bentuk simetris, tidak
ada pembekakan dan tidak ada lesi.Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Perkusi
:bunyi resonan. Auskultasi : bunyi jantung I > bunyi jantung II dan irama
jantung reguler. Abdomen, inspeksi : bentuk simetris, tidak ada lesi dan
tidak ada pembekakan. Palpasi : tidak ada nyeri tekan.Perkusi : tidak ada
distensi. Auskultasi : peristaltik usus 10 x / menit (normal). Genetalia dan
anus : tidak dilakukan pemeriksaan. Kulit, inspeksi : kulit berwarna hitam,
berbulu dan adanya bekas jahitan di wajah dan dikepala. Palpasi : turgor
kulit baik. Ekstremitas atas,inspeksi :dikedua tangan tidak ada lesi, tangan
sebelah kiri terpasang IVFD, tangan kiri dan kanan dapat bergerak dengan
bebas, tidak ada udem. Palpasi : tidak ada nyeri tekan. Ekstremitas bawah,
inspeksi : di kedua kaki tidak ada lesi, kaki kiri dan kaki kanan berbentuk
sama dan dapat bergerak dengan bebas. Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
Brunner dan Suddarth (2002), mengatakan pada pengkajian segera
pada klien bedah adalah kepatenan, kedalaman dan frekuensi nafas, tanda
tanda vital, tingkat resonan, keadaan luka, kondisi balutan, tipe nyeri dan
lokasi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan padaTn.M adalah pemeriksaan
laboratorium ( pemeriksaan darah) dan radiologi (ST-Scan). Dari hasil
pemeriksaan darah tanggal 11 Juni 2011 diperoleh data sebagai berikut :
Hemoglobin 10,4 gr/dl dengan batas normal 13 17 gr/dl, leokosit 18,5
1000/ul dengan batas normal 4,1 10,5 1000/ul, trombosit 218 1000/ul
dengan batas normal 150 400 1000/ul. Hasil pemeriksaan radiologi (STScan) pada tanggal 16 Juni 2011 di dapat hasil : Frakture Maxillo Facialis
dengan Frakture OsFrontalis serta Hematosinos Maxilaris, Frontalis,
Ethomoidalis Bilateral.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) pemeriksaan diagnostik pada
pasien kraniotomi meliputi pemeriksaan darah dan ST- Scan kepala. Tujuan
pemeriksaan darah meliputi Hemoglobin dan leukosit dapat menurun karena
pasien mengalami frakture maxillo facialis dengan frakture Os frontalis.
Trombosit penting pada proses pembekuan darah.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui kemungkinan
hemoglobin menurun yang menunjukkan adanya pendarahan atau
penurunan yang menunjukkan adanya anemia, leukosit menurun adanya
infeksi (Hidayat, 2005).
Menurut asumsi penulis terdapat kesamaan antara kasus dengan
tinjauan teoritis dimana pada Tn.M dilakukan pemeriksaan darah dan
radiologi (ST-Scan). Pemeriksaan diagnostik ini dilakukan sesuai dengan
instruksi dokter bedah berdasarkan kondisi pasien.
Adapun terapi medis yang diberikan pada Tn. M pada tanggal 20 Juni
2011 adalah obat oral yaitu : asam mefenamat 3x500 sebagai pengurang
rasa nyeri, sahobion 1x1 sebagai penambah darah. Obat parenteral yaitu :
fenitoin 1 ampul/8 jam sebagai mengatasi kejang, chlorpromazine 1
ampul/12 jam sebagai penenang atau rileks (ISO, 2009)
Menurut Doengoes (2000), pemberian terapi analgetik sesuai indikasi
dapat menghilangkan nyeri, memberikan kenyamanan pada pasca operasi.
Dari pengkajian yang telah penulis dapatkan pada tanggal 20 Juni 2011,
maka di dapat beberapa data subjektif dan objektif yang semua itu akan
dikumpulkan menurut masalah keperawatan yang timbul dengan prioritas
keperawatan berdasarkan keluhan pasien.
Pada analisa data pertama data subjektif pasien mengatakan sakit
kepala. Dan data objektifnya adalah skala nyeri 6 ( nyeri sedang ), adanya
bekas jahitan operasi dikepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm,
ekspresi wajah meringis. Etiologinya adalah post op kranial dan masalah
keperawatannya adalah nyeri.
Adapun yang termasuk data subjektif pada analisa data kedua adalah
pasien mengatakan tidak selera makan dan data objektifnya adalah makan
2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera Ikterik, konjungtiva pucat, Hb :
10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama dirawat, tanda tanda vital
(Tekanan darah : 100 / 60 mmhg, denyut nadi : 62 x / menit, pernafasan : 20
x / menit, suhu : 36.4C). Etiologinya adalah Anorexia dan masalah
keperawatannya adalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada analisa data ketiga, data subjektifnya adalah pasien mengatakan
semua aktivitas dibantu oleh keluarga dan data objektifnya adalah keadaan
umum : lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga
bila melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur
di tempat tidur, tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan
pengawasan). Etiologinya adalah kelemahan fisik, dan masalah
keperawatannya adalah intoleransi aktifitas.
Dalam hal ini terdapat kesamaan antara kasus dan teoritis, dimana
diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada Tn.M adalah nyeri
berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik.
2.3. Intervensi
Perencanaan adalah meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah masalah yang
diidentifikasi pada diagnosa keperawatan, tahap ini dimulai setelah
menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana
dokumentasi (Nursalam, 2001).
Dalam mencapai tujuan yang diharapkan maka rencana keperawatan
harus sesuai dengan masalah yang terjadi. Berdasarkan diagnosa
keperawatan yang ditegakkan maka perencanaan yang dapat diberikan
sesuai dengan teoritis adalah sebagai berikut, pada diagnosa keperawatan :
nyeri berhubungan dengan post op kranial, ditandai dengan pasien
mengatakan sakit kepala, skala nyeri 6 ( nyeri sedang ), adanya bekas
jahitan operasi kepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, ekspresi
wajah meringis,tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan
pengawasan). Adapun tujuan nyeri berkurang (terkontrol), dengan kriteria
hasil pasien mengatakan nyeri hilang, skala nyeri 0. Adapun intervensi yang
dilakukan yaitu, kaji keluhan nyeri dan intensitas nyeri dengan skala
numerik (0 10), rasionalnya nyeri merupakan pengalaman subjektif dan
harus dijelaskan oleh pasien, untuk memudahkan intervensi yang cocok dan
untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan lebih, posisikan
kepala tinggi, rasionalnya meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
sehingga akan mengurangi kongesti dan edema, ajarkan tehnik distraksi
dan relaksasi, rasionalnya mengalihkan pikiran dan memberikan rasa
nyaman, kolaborasi dengan tim medis untuk obat anti nyeri, rasionalnya
memberikan obat anti nyeri yang berguna untuk mengurangi rasa nyeri,
berikan perawatan luka (ganti balutan) dengan tehnik steril, rasionalnya
mencegah terjadinya infeksi (Doengoes, 2000).
BAB III
PENUTUP
3.1.2. Pada saat pengkajian didapat data pada Tn.M sebagai berikut : data
subjektif , pasien mengatakan sakit dikepala, pasien mengatakan tidak
selera makan, pasien mengatakan semua aktivitas dibantu oleh keluarga.
Data objektifnya adalah skala nyeri 6 (sedang), adanya bekas jahitan
operasi dikepala, adanya nyeri tekan, panjang jahitan 17 cm, exspresi wajah
meringis, adalah makan 2 potong roti unibis dan 1 buah jeruk, skelera
Ikterik, konjungtiva pucat, Hb : 10,4 gr / dl, pasien BAB baru 1 x selama
dirawat, Tanda tanda vital (Tekanan darah : 100 / 60 mmhg, denyut nadi :
62 x / menit, pernafasan : 20 x / menit, suhu : 36.4c), keadaan umum :
lemah, pasien selalu meminta bantuan pada perawat atau keluarga bila
melakukan aktifitas (misalnya : makan dan minum), pasien hanya tidur di
tempat tidur, tingkat ketergantungan 2 (memerlukan bantuan dan
pengawasan).
3.1.3. Diagnosa keperawatan yang didapat pada Tn.M dengan post kraniotomi
adalah nyeri berhubungan dengan post op kranial, perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia dan intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.1.4. Intervensi direncanakan : kaji keluhan nyeri dan intensitas nyeri dengan
skala numerik (0 10), posisikan kepala tinggi, ajarkan tehnik distraksi dan
relaksasi, kolaborasi dengan tim medis untuk obat anti nyeri, berikan
perawatan luka (ganti balutan) dengan tehnik steril, berikan makan dalam
jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur, jaga kebersihan
mulut pasien, berikan pendidikan kesehatan tentang cara diet, sesuai
dengan tindakan keperawatan berhubungan nutrisi, selingi makan dengan
minum, kolaborasi dengan tim medis, Kaji tanda-tanda vital, intervensinya
kaji tingkat ketergantungan aktivitas, kelemahan saat aktivitas, anjurkan
keluarga untuk membantu pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari,
dekatkan segala kebutuhan pasien dengan tempat tidur, lakukan istirahat
yang adekuat setelah latihan dan aktivitas.
3.1.5. Implementasi keperawatan : mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan
pasien dengan menggunakan skala nyeri numerik ( 0-10) dimana 0= tidak
ada nyeri 1-3= nyeri ringan 4-7= nyeri sedang 8-10= nyeri berat dan di
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Baughman, Diane L. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku Dari Brunner
Dan Suddarth. Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Carpenito, Lj. 2001. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Doengoes, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC.
Gibson, John. 2002. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat, Edisi 2.
Jakarta : EGC.