You are on page 1of 6

SERING SALAH INTERPRETASI HASIL LABORATORIUM ?

Demam tifus adalah penyakit yang sering dikelirukan dengan DBD. Seringkali
seseorang didiagnosis DBD bersamaan dengan penyakit tifus. Penyebab pitfall atau
kekeliruan tersebut adalah kerancuan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan Widal atau
uji laboratorium untuk mendiagnosis demam tifus. Ternyata seringkali pada penderita hasil
pemeriksaan widal juga meningkat, padahal belum tentu mengalami infeksi tifus.
Pemeriksaan widal adalah mendeteksi antibodi atau kekebalan tubuh terhadap tifus, bukan
mendeteksi adanya kuman atau berat ringannya penyakit tifus. Pada penyakit tifus
pemeriksaan widal biasanya meningkat saat minggu ke dua. Bila saat minggu pertama hasil
pemeriksaan widal tinggi maka mungkin harus dicurigai adanya false positif, atau
kesalahan hasil positif yang diakibatkan faktor lain. Ternyata pada pada beberapa penelitian
pendahuluan didapatkan beberapa penyakit infeksi virus atau infeksi DBD, dapat
meningkatkan reaksi tes widal. Manifestasi ini sering terjadi pada penderita hipersensitif atau
penderita yang sering mengalami riwayat alergi.
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
sangat lebar, dari asimtomatik atau gejala saluran cerna seperti nyeri mual, muntah, diare dan
sulit BAB.Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Perbedaan sederhana dan mudah dilihat adalah pola kenaikkan demamnya. Pada infeksi
virus atau DBD seringkali demam mendadak tinggi dalam 2 hari awal dan akan menurun
pada hari ke 3-5. Sedangkan sebaliknya pada demam tifus, demam akan semakin meningkat
sangat tinggi setelah hari ke 3-5. Berbagai pengalaman dan manifestasi klinis penyakit yang
menyerupai DBD tersebut menjadi pelajaran terbaik bagi para klinisi dan masyarakat.
Kecermatan dan ketelitian sangat diperlukan dalam mencurigai penyakit yang mirip DBD.
Manifestasi klinis yang khas pada DBD adalah memperhatikan secara cermat pola
demamnya. Pola demam DBD saat hari pertama dan kedua demam sangat tinggi, hari ketiga
turun disusul hari ke 4-5 demam naik tetapi tidak setinggi.awal demam. Gejala lain yang khas
adalah saat hari ke 3-5 penderita tampak lemas, loyo, digendong terus, tidak mau bermain
atau berbaring dan tidur sepanjang hari.
Hal paling penting untuk membedakannya adalah adanya pemeriksaan darah yang
menunjukkan trombosit menurun (trombositopenia) dan hematokrit (PCV/HCT) yang
meningkat (hemokonsentrasi). Tetapi repotnya, perubahan hasil laboratorium tersebut hanya
terjadi setelah hari ketiga fase demam. Sebaiknya dalam pemeriksaan darah dilakukan saat
hari ke 3, pada hari pertama dan kedua hasil normal tidak menyingkirkan adanya DBD.

Pemeriksaan widal (untuk mendiagnosis tifus) sebaiknya dilakukan saat awal minggu kedua.
Saat demam minggu pertama bila curiga demam tifus dapat digunakan IgM Tifoid. Meskipun
spesifitas dan sensitifitas pemeriksaan ini juga belumlah terlalu baik.
WASPADAI TES WIDAL YANG SERING MENGACAUKAN
o

Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan


diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering
menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian
penulis didapatkan infeksi virus atau infeksi DBD yang sering menjadi penyebab
demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal
yang tinggi pada minggu pertama meski anak tidak mengalami penyakit tifus.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang
tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan
follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun
bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai
widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up
pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal
seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat.
Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6

tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita
menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan
antibiotika dan mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.
o

Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami


diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita
atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami
infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah
penderita alergi. Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita
demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara
240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut
menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika
membaik.

Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita
tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita
alergi pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami
infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga
mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita
alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut
tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa
peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus.
Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler
dan imunopatofisiologi.

Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi overdiagnosis


tifus. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang
padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima
adalah penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain
yang terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang
kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya
berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat
efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak
diberikan.

PERBEDAAN DEMAM TIFUS DAN DEMAM KARENA INFEKSI VIRUS DAN DBD
Demam tifus atau karena bakteri bila tidak cermat sulit dibedakan, tetapi kalau melihat pola
demam relatif mudah dibedakan
o

DEMAM KARENA VIRUS atau DBD


1-2 HARI AWAL MENDADAK SANGAT TINGGI, KEMUDIAN PADA HARI
KETIGA TURUN, HARI KE 4-5 NAIK TAPI TIDAK SETINGGI HARI 1-2 (POLA
PENURUNAN ANAK TANGGA , DBD POLA PELANA KUDA)

DEMAM KARENA TIFUS


DEMAM AWALNYA TIDAK TERLALU TINGGI, TETAPI HARI BERIKUTNYA
SEMAKIN TINGGI DAN SEMAKIN TINGGI (POLA KENAIKKAN ANAK
TANGGA)

SIGN IMMITATOR :
Gejala tifus juga mirip beberapa penyakit lainnya, beberapa gejala yang sering mengecoh
sehingga membuat overdiagnosis tifus sering terjadi.
BEBERAPA GEJALA DAN TANDA UMUM YANG BUKAN HANYA ADA
PENYAKIT TIFUS :
o

LIDAH KOTOR, pada anak dengan sensitif saluran cerna ATAU GANGGUAN
FUNGSI SALURAN CERNA (PENDERITA ALERGI/GER yang sebelumnya dalam
keadaan sehatpun juga sering mengalami gangguan lidah putih dan kotor) ternyata bila
demam juga menimbulkan gangguan warna putih pada lidah, hanya saja pada tifus
lidah putih sangat tebal dengan tepi kemerahan

GANGGUAN PENCERNAAN :
o

NYERI PERUT, MUNTAH, DIARE, SULIT BAB. Pada anak dengan sebelumnya
punya riwayat sensitif saluran cerna atau gangguan fungsi saluran cerna (alergi, GER,
nyeri perut berulang, konstipasi berulang dll) Ternyata pada saat demam gangguan
saluran cerna ini juga seringkali timbul

DEMAM MALAM HARI, pada anak tertentu ternyata juga mempunyai pola demam
terjadi pada malam hari bila terkena infeksi. Hal ini sering terjadi pada penderita
alergi. Mungkin karena pengaruh hormon sirkadial, hal ini juga yang menjelkaskan
kenapa gejala alergi lebih berat pada malam hari

KONDISI DAN KEADAAN YANG HARUS DIWASPADAI PADA PENDERITA YANG


SERING MENGALAMI OVER DIAGNOSIS TIFUS
Terdapat beberapa kondisi dan keadaan yang harus diwaspadai pada penderita penderita yang
telah divonis tifus yang dapat berakibat over diagnosis tifus. Dalam penelitian tersebut di
atas terdapat beberapa karakteristik penderita yang sering mengalami overdiagnosis tifus,
diantaranya adalah :
o

Hasil pemeriksaan widal yang sangat tinggi pada hari ke 3-5 saat demam.

Dalam lingkungan satu rumah terdapat penderita demam tinggi dalam waktu yang
hampir bersamaan (dalam waktu kurang dari 3-5 hari).

Penderita divonis gejala tifus atau tifus ringan

Demam disertai gejala batuk dan pilek pada awal penyakit hari ke 2-5 . Pada
penderita tifus gejala batuk atau bronkitis terjadi pada minggu ke dua

Penderita yang sering mengalami infeksi berulang (sering demam, batuk dan pilek)

Penderita alergi (batuk lama, pilek lama, sinusitis, asma) yang disertai GER
(gastrooesephageal refluks) atau sering muntah.

Penderita tifus berulang atau penderita yang divonis tifus lebih dari sekali

Peningkatan nilai widal H, (widal H bukan merupakan petanda infeksi tifus)

Penderita demam berdarah

Penderita berusia kurang dari 2 tahun

Bila penderita mengalami hal tersebut maka sebaiknya harus cermat dalam menerima
diagnosis tifus. Penyakit demam yang disebabkan karena infeksi virus atau DBD disertai
kondisi tersebut di atas sering mengalami terjadi peningkatan nilai widal, padahal tidak
mengalami infeksi tifus. Diagnosis tifus ditegakkan bukan hanya berdasarkan hasil
laboratorium tetapi harus mengamati perjalan penyakit dan manifestasi klinis secara
cermat. Tidak harus dengan cara mengobati hasil laboratorium tanpa memperhatikan
tanda klinis
BAGAIMANA MENYIKAPINYA
o

Mengingat akurasi pemeriksaan widal tidak tinggi dan sering mengakibatkan bias
dengan penyakit lainnya maka masyarakat dan klinisi harus cermat dalam
menyikapinya. Dalam penegakaan diagnosis demam tifus diperlukan data yang
lengkap dan jelas meliputi riwayat perjalanan penyakit, tanda dan gejala klinis serta
hasilmpemeriksaan laboratorium. Selanjutnya untuk memastikan diagnosis kerja

diperlukan interpretasi klinis yang cermat dan mendalam dianatara ketiga faktor
tersebut. Bukan sekedar mengandalkan hasil laboratorium tanpa memperhatikan
kondisi klinis penderita.
o

Mengingat seringnya kerancuan yang diakibatkan oleh pemeriksaan widal, maka


sebaiknya pemeriksan widal dilakukan pada penderita saat minggu ke dua demam
bukan saat minggu pertama. Penting harus diketahui bahwa tinggi rendahnya nilai
widal bukan merupakan ganbaran berat ringannya penyakit tifus.

Dokter sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam masalah overdiagnosis ini
sebaiknya harus lebih mawas diri. Berbagai tindakan medis yang dilakukan harus
berdasarkan kemampuan profesional khususnya dalam menginterpretasi hasil
laboratorium. Kepentingan kesehatan penderita harus diutamakan di atas segalanya.
Tindakan medis dilakukan bukan karena pertimbangan kepentingan lainnya.
Pendidikan dokter berkelanjutan dan komunikasi dengan pakar tampaknya merupakan
salah satu sarana untuk meningkatkan profesionalitas dokter khususnya dalam
mengurangi kesenjangan pemahaman klinis yang sering terjadi.

Orangtua penderita sebagai penerima layanan medis berhak mengetahui informasi


penyakit penderita secara lengkap dan jelas. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat
dalam masalah ini dapat mengurangi kejadian overdiagnosis tifus yang masih banyak
terjadi. Bila dalam keadaan seperti di atas penderita masih divonis demam tifus perlu
mendiskusikan dengan baik dan menanyakan lebih jauh terhadap dokter yang
merawat.

Bila meragukan dapat dilakukan pemeriksaan widal seminggu kemudian, bila terjadi
peningkatan nilai widal sebanyak 4 kali menunjukkan konfirmasi diagnosis. Bila
menurun, tetap atau peningkatan tidak terlalu tinggi dibandingkan nilai widal
sebelumnya maka diagnosis tifus patut diragukan. Kalau perlu diusulkan untuk
melakukan pemeriksaan kultur darah gall untuk memastikan diagnosis tifus. Bila
masih meragukan terutama penderita yang berulangkali divonis tifus sebaiknya
melakukan second opinion atau pendapat kedua dengan dokter lainnya

Jangan Obati Hasil Laboratorium, Hasil laboratorium Positif Palsu Tifus sering terjadi
pada Infeksi Virus Saluran Napas, DBD atau infeksi dengue lainnya

You might also like