You are on page 1of 29

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga.
Selain sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai
generasi penerus bangsa. Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang
menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami
kejang demam.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling
sering dijumpai pada anak.
Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian
atas disusul infeksi saluran pencernaan.
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak
umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di
bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih
sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut
disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih
cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000)
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan
mengakibatkan kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di
kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik, mental atau
sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan
pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat
sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang
diakibatkan

bangkitan

kejang

yang

sering.

Untuk

itu

tenaga

perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi


keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada
keluarga dan penderita, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang
klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual.

Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah:


Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari
trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang
positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit,
prognosis dan kebutuhan penanganannya. Berdasarkan hal-hal tersebut
kami tertarik membuat Asuhan Keperawatan Pada Anak R dengan
kejang demam di ruang sedap malam RSUD Ulin Banjarmasin.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kejang demam?
2. Apa saja etiologi kejang demam?
3. Bagaimana patofisiologi kejang demam?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari kejang demam?
5. Komplikasi apa saja yang terjadi pada penderita kejang demam?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis kejang demam?
7. Bagaimana penerapan Asuhan Keperawatan pada klien dengan
kejang demam?
C. Tujuan
1. Umum
Untuk memperoleh

gambaran

secara

nyata

tentang

Asuhan

Keperawatan pada pasien dengan kejang demam.


2. Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah:
a. Dapat melakukan pengkajian pada An.R dengan kejang demam di
ruang perawatan sedap malam RSUD Ulin Banjarmasin.
b. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada An.R dengan
kejang demam di ruang perawatan sedap malam RSUD Ulin
Banjarmasin.
c. Merencanakan tindakan keperawatan pada An.R dengan kejang
demam

di

ruang

perawatan

sedap

malam

RSUD

Ulin

Banjarmasin.
d. Melakukan implementasi sesuai keadaan pasien.
e. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada An.R dengan
kejang demam di ruang perawatan RSUD Ulin Banjarmasin.
D. Manfaat
1. Untuk Klien
Memberikan pengetahuan dan ketrampilan pada keluarga tentang
perawatan anak dengan kejang demam.
2. Untuk Mahasiswa
a. Untuk menambah pengetahuan
b. Mahasiswa mampu mengaplikasikan teori

c. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan dengan


kejang demam
3. Untuk Rumah Sakit
Dapat menjadi sumber informasi dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada klien dengan kejang demam.
4. Untuk Institusi
Menjadi sumber referensi baru dalam meningkatkan pengembangan
ilmu pengetahuan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang
terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu
gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan
menyerang sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah
usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan
frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan.
Kejang demam jarang terjadi setelah usia 5 tahun. (L.Wong, 2008)
Kejang Demam adalah kejang yang didahului oleh demam yang
lebih dari 38,5 C, bersifat umum (tonik, klonik, tonik-klonik, atau atonik),
berlangsung kurang dari 15 menit, hanya sekali dalam 24 jam, tanpa bukti
adanya infeksi intrakranial atau gangguan metabolik berat. Terjadi pada
anak dengan neurologi normal yang berusia antara 6 bulan sampai 5
tahun. (FKUI, 2002)
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang
demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi
antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi
tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.
Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi yang berumur kurang
dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
(Mansjoer, 2000)
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonikklonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul
mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Price, Wikson, 1995)
Kejang Demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang

disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Serta merupakan kelainan


neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada
golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. (Ngastiyah, 1997)
B. Etiologi
Sebesar 10% - 20% tidak dapat ditemukan etiologinya dan
sebaliknya tidak jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada
neonatus.
1. Gangguan vaskuler
Perdarahan berupa petekia akibat anaksia dan asfiksia yang dapat
terjadi intraserebral atau intraventrikel, sedangkan perdarahan akibat
trauma langsung yaitu berupa perdarahan di subaraknoidal atau
subdural, terjadi thrombosis, adanya penyakit perdarahan seperti
defisiensi vitamin K, sindrom hiperviskositas disebabkan oleh
meningginya jumlah eritrosit dan dapat diketahui dari peningkatan
kadar hematokrit. Gejala kliniknya antara lain plethora, sianosis,
letargia, dan kejnag.
2. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme
hipoglikemia,

defisiensi

meliputi
dan

hipokalsemia,

ketergantungan

hipomagnesia,

akan

piridoksin,

aminoasiduria, hiponatremia, hipernatremia, hiperbilirubinemia.


3. Infeksi
Kejang demam disebabkan oleh infeksi meliputi : Meningitis sapsis,
ensefalitis, toksoplasma kongenital, penyakit-penyakit cytomegalic
inclusion.
4. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital meliputi : Porensefali, hidransefali, agnesis
(sebagian dari otak)
5. Lain-lain
Disebabkan oleh narotic withdrawal, neoplasma.
(dr. Rusepto, 2005)

Penyebab kejang demam belum dapat dipastikan. Pada sebagian


besar anak, tingginya suhu tubuh, bukan kecepatan kenaikan suhu tubuh,
menjadi faktor pencetus serangan kejang demam. Biasanya suhu demam
lebih dari 38C dan terjadi saat suhu tubuh naik dan bukan pada saat
setelah terjadinya kenaikan suhu yang lama. (L.Wong, 2008)
Penyebab kejang mencakup faktor-faktor perinatal, malformasi
otak kongenital, faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis),
penyakit demam, gangguan metabolisme, trauma, neoplasma, sirkulasi,
dan penyakit degeneratif sususnan syaraf. Kejang disebut idiopatik bila
tidak dapat ditemukan penyebabnya. (Betz dan Sowden, 2002)
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi patologis,
termasuk tumor otak, trauma, bekuan darah pada otak, meningitis,
ensefalitis, gangguan elektrolit, dan gejala putus alkohol dan obat
gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan dan anoksia
serebral.

Sebagian

kejang

merupakan

etiologinya).
1. Intrakranial
a. Asfiksia
b. Trauma (perdarahan)
c. Infeksi
d. Kelainan bawaan

idiopatik

(tidak

diketahui

: Ensefolopati hipoksik iskemik


: Perdarahan subaraknoid, subdural,
atau intra ventrikular
: Bakteri, virus, parasit
: Disgenesis korteks serebri,
Sindrom zelluarge, Sindrom Smith
Lemli Opitz (SLOS atau
kekurangan reduktase 7dehydrocholesterol) merupakan
kesalahan bawaan sintesis
kolesterol.

2. Ekstrakranial
a. Gangguan metabolik

: Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomognesemia, gangguan

b. Toksik

elektrolit (Na dan K).


: Intoksikasi anestesi lokal, sindrom

c. Kelainan yang diturunkan

putus obat.
: Gangguan metabolisme asam
amino, ketergantungan dan
kekurangan produksi kernikterus.

3. Idiopatik

Kejang neonatus fanciliel benigna, kejang hari ke-5.


C. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah gukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskuler.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan
air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat
sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainya, kecuali ion klorida
(CL). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan kosentrasi
Na rendah,sedang diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan kosentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini diubah oleh :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada seseorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran
tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan

listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel


maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
Neurotransmiter dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang
seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 38 C sedang anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru
terjadi bila suhu mencapai 40 C atau lebih.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu memperhatikan pada
tingkat suhu beberapa pasien penderita kejang. Kejang demam yang
berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih
dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas
otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
Hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. (Hasan dan Alatas,
1985 dan Ngastiyah, 1997)
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP.
Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat selsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10-15 %, sehingga dengan adanya peningkatan
suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.
Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan
termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus kreb normal,

satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada


keadaan hipoksia jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molekul
glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan
hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan menggangu fungsi normal
pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh selglia. Ke dua hal tersebut
mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan
asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+
sehingga semakin meningkatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel.
Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam,
sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap
membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial memban sel neuron
sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu
demam dapat merusak

neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi

terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
demam mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran
dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang
kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul
bangkitan kejang demam. Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi
pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9C-39,9C (40-56%). Bangkitan
kejang terjadi pada suhu tubuh 37C-38,9C sebanyak 11% pendenta dan
sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas
40C. Tidak diketahui secara pasti saat timbul bangkitan kejang, apakah
pada waktu terjadi kenaikan suhu tubuh ataukah pada waktu demam
sedang berlangsung. Kesimpulan dan berbagai basil penelitian dan
percobaan binatang menyimpulkan bahwa kejang terjadi tergantung dari
kecepatan waktu antara mulai timbul demam sampai mencapai suhu
puncak (onset) dan tinggiya suhu tubuh. Setiap kenaikan suhu 0,3C
secara cepat akan menimbulkan discharge di daerah oksipital. Ada
discharge di daerah oksipital dapat dilihat dari hasil rekaman EEG.
Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan

suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam


glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh
kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator. Sedangkan
GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh
mendadak. Kesimpulan dan uraian tersebut di atas menunjukkan apabila
kejang demam pertama terjadi pada kenaikan suhu tidak mendadak
dengan puncak tidak terlalu tinggi (berkisar 38C - 40C) serta jarak
waktu antara mulai demam sampai timbul bangkitan kejang singkat
(kurang dari satu jam), merupakan indikator bahwa penderita tersebut
mempunyai nilai ambang terhadap kejang rendah. Nilai ambang kejang
rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam.
D. Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan
bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang
disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat; misalnya tonsillitis,
otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik,
fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf. (Ngastiyah, 1997)
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan
kurang dari 8 % berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang
berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologist. Kejang dapat
diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangsung
beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat
diikuti

oleh

hemiparesis

yang

menetap.

Bangkitan

kejang

yang

berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
(Mansjoer, 2000)
Menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul
pertanyaan sifat kejang atau gejala yang manakah yang mengakibatkan

10

anak menderita epilepsi. Untuk itu Livingston membuat kriteria dan


membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple fibrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off fever)
Di Sub bagian Anak FKUI-RSCM Jakarta, kriteria Livingstone
tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat
diagnosis kejang demam sederhana yaitu :
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum, artinya seluruh badan kaku atau kelojotan
bukan hanya tangan atau kaki saja, tidak berulang, dan setelah
kejang anak menangis atau sadar, maka kejang seperti itu kurang
berbahaya.
4. Timbulnya kejang di dalam 16 jam sesudah suhu mulai meningkat.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah penyakit
berlalu tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari
tujuh kriteria tersebut (modifikasi Livingstone) digolongkan pada epilepsi
yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai
suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan
demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
Telah diketahui bahwa kejang demam adalah kejang yang terjadi
pada saat anak menderita suhu tinggi, dapat sampai hiperpireksia.
Kejang demam dapat disebabkan karena adanya infeksi ekstrakranial
misalnya OMA. Berbeda dengan meningitis atau ensefalitis, tumor otak
mempunyai kelainan pada otak sendiri. Perlu diingat bahwa kejang
demam hanya terjadi pada anak usia tertentu. Tetapi epilepsi yang
diprovokasi oleh demam juga menyebabkan kejang, oleh karena itu
anamnesis yang teliti sangat diperlukan. (Ngastiyah, 1997)
Jika kejang terjadi segera setelah demam atau jika suhu tubuh
relatif rendah, maka besar kemungkinannya akan terjadi kembali kejang
demam. Kejang demam bisa membuat orang tua cemas, tetapi
sebetulnya

tidak

berbahaya.

Selama

kejang

berlangsung,

ada

11

kemungkinan bahwa anak akan mengalami cedera karena terjatuh atau


tersedak makanan maupun ludahnya sendiri.
Menurut Ngastiyah (1997), klasikfikasi kejang demam adalah :
1. Kejang demam sederhana
Kejang demam sederhana yaitu kejang berlangsung kurang dari 15
menit dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang
demam sederhana dapat diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :
a. umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
b. kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari
ketujuh kriteria Livingstone. Menurut Mansyur (2000) biasanya dari
kejang kompleks ditandai dengan kejang yang berlangsung lebih
dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali dalam 24 jam).
Anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau
riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

12

E. Komplikasi
Menurut Lumbantobing (1995) dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan
Anak FKUI (1985) komplikasi kejang demam umumnya berlangsung lebih
dari 15 menit yaitu :
1. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif
sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA
(M Metyl D Asparate) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk
ke sel otak yang merusak sel neuron secara irreversible.
2. Retardasi mental
Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam neonatus.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji laboratorium
a. Fungsi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinal terutama
dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
b. Hitung darah lengkap untuk menyingkirkan infeksi sebagai
penyebab dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat
mengevaluasi hematokrit dan jumlah trombosit.
c. Panel elektrolit serum elektrolit, Ca total dan magnesium serum
sering diperiksa pada saat pertama kali kejang.
d. Skrinning toksik dari serum dan urin digunakan

untuk

menyingkirkan kemungkinan keracunan.


e. Pemantauan kadar obat antiepileptic digunakan pada fase awal
penatalaksanaan.
2. Elektroensefalografi
Untuk membantu menetapkan jenis dan focus dari kejang atau
memperlihatkan gambaran interektal EEG. Pemeriksaan EEG segera
setelah kejang dalam 24 48 jan atau sleep deprivation dapat
memperlihatkan berbagai macam tekanan.
3. Neuroimaging
a. Pemeriksaan foto rontgen kepala dapat memperlihatkan adanya
fraktur tulang kepala, tetapi mempunyai nilai diagnostic yang
minimal. Kenaikan jaringan otak pada trauma kepala dapat dilihat
dengan menggunakan gambaran CT Scan kepala.
b. MRI lebih superior disbanding CT Scan dalam mengevaluasi lesi
epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah
yang tertutup oleh struktur tulang, missal: sereblum atau batang
otak. (Erny, Drto, 2007)

13

G. Pathway
Infeksi intrakranial

Infeksi ekstrakranial

Faktor risiko kejang

Pelepasan pirogen
Sirkulasi ke hipotalamus
Peningkatan sintesis prostaglandin E2 (PGE2)
Perubahan set point pengaturan suhu tubuh
Peningkatan suhu tubuh
Hipertermi

Metabolisme meningkat
Kebutuhan O2 meningkat
Perubahan keseimbangan sel neuron
Perubahan keseimbangan potensial membran sel neuron
Membran sel dalam keadaan depolarisasi
Meluas ke seluruh sel maupun membran sel dengan bantuan
neurotransmiter
Risiko
cedera
Refleks menelan
menurun

Kesadaran menurun
Penumpukan sekret

Resiko
Aspirasi

Spasme otot
pernapasan

Menurunkan nilai ambang kejang


Kejang
KDS:

Ansietas
(orang tua)
Suplai darah ke otak menurun
Risiko kerusakan sel neuron
otak
Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral

Kejang
berlangsung
singkat, < 15 menit
Bersihan jalan
Kejang umum tonik dan
napas tidak efektif
atau klonik
Umumnya
berhenti
H. Penatalaksanaan Medis sendiri
Tujuan penanganan kejang adalah untuk menghentikan kejang
Tanpa gerakan fokal
sehingga defek pernafasan
danberulang
hemodinamik
atau
dalam dapat diminimalkan.
1. Pengobatan saat terjadi kejang
a. Baringkan pasien24dijam
tempat yang rata, kepala dimiringkan dan
pasangkan sudip lidah yang telah dibungkus kassa atau bila ada
guedel lebih baik.
b. Singkirkan benda-benda yang ada disekitar pasien, lepaskan
pakaian yang mengganggu pernapasan (mis, ikat pinggang,
gurita, dll).

14

c. Isap lendir sampai bersih, berikan O2 boleh sampai 4 liter atau


menit jika pasien jatuh apnue lakukan tindakan pertolongan
d. Bila suhu tinggi berikan kompres dingin secara intensif
e. Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat (berbeda
f.

dengan pasien tetanus yang jika kejang tetap sadar).


Jika dengan tindakan ini kejang tidak segera berhenti, hubungi

dokter apakah perlu pemberian obat penenang


g. Pemberian diazepam supositoria pada saat kejang sangat efektif
dalam menghentikan kejang. Dosis pemberian: 5 mg untuk anak
<3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak >3 tahun, atau 5 mg untuk
BB <10 kg dan 10 mg untuk anak dengan BB> 10 kg,
h. Diazepam intravena juga dapat diberikan dengan dosis sebesar
0,2-0,5 mg/kgBB. Pemberian secara perlahan-lahan dengan
kecepatan 0,5-1 mg per menit untuk menghindari depresi
pernafasan. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, hentikan
penyuntikan. Diazepam dapat diberikan 2 kali dengan jarak 5
menit bila anak masih kejang. Diazepam tidak dianjurkan
i.

diberikan per IM karena tidak diabsorbsi dengan baik.


Bila tetap masih kejang, berikan fenitoin per IV sebanyak 15
mg/kgBB perlahan-lahan. Kejang yang berlanjut dapat diberikan

pentobarbital 50mg IM dan pasang ventilator bila perlu.


2. Setelah kejang berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup
dilanjutkan dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak
demam untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang
diberikan berupa:
a. Antipiretik
1) Parasetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB/kali diberikan
4 kali atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah danpertimbangkan
efek samping berupa hiperhidrosis.
2) Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali
b. Antikonvulsan
1) Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam
pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang,
atau
2) Diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB/hari sebanyak 3 kali
perhari
3. Bila kejang berulang

15

Berikan pengobatan rumatan dengan fenobarbital atau asam


valproat dengan dosis asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis, sedangkan fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Indikasi untuk diberikan pengobatan rumatan adalah:
a. Kejang lama >15 menit
b. Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang misalnya hemiparese, cerebral palsi, hidrosefalus.
c. Ada keluarga sekandung yang mengalami epilepsi
I.

Asuhan Keperawatan
1.

Pengkajian
a. Biodata terdiri dari biodata pasien dan identitas penanggung
jawab.
b. Riwayat kesehatan keperawatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien kejang demam yaitu kejang yang
terjadi dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 390C atau
lebih.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pada pasien kejang demam adanya faktor pencetus yang
dapat menimbulkan kejang (misalnya: demam, infeksi), jatuh
yang

menyebabkan

trauma

kepala,

ansietas,

keletihan

aktivitas (misal: hiperventilasi), kejadian-kejadian di lingkungan


(misal: pemanjanan pada stimulasi kuat seperti sinar terang,
sinar berkilau atau suara yang keras).
3) Riwayat kesehatan dahulu
Pada pasien kejang demam berkaitan dengan kejadian
pranatal, perinatal dan neonatal contoh adanya infeksi, apnea,
kolik

atau

menyusu

yang

buruk,

informasi

mengenai

kecelakaan atau penyakit serius sebelumnya.


4) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada
saudara kandung dan orangtua, menunjukkan kecenderungan
genetik.
c. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

16

1)

Aktivitas

istirahat

keletihan,

kelemahan

umum,

perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter.


2)
Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak
normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
3)
Integritas ego : stressor eksternal / internal yang
berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka
rangsangan.
4)
Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan
kandung kemih dan tonus spinkter.
5)
Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual
dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang,
kerusakan jaringan lunak / gigi.
6)
Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat truma
kepala dan infeksi serebra.
7)
Riwayat jatuh / trauma
d. Pemeriksaan Fisik
Pada kejang demam, ditemukan pada pemeriksaan fisik yaitu:
1) Aktivitas motorik
Perawat harus mencatat bagian tubuh yang terlibat
menentukan apakah kedua sisi kanan dan kiri terkena. Pada
bagian tubuh mana kejang dimulai, bagian kemajuannya
apakah kaku, berkedut atau renjatan.
2) Mata dan lidah
Perawat harus mencatat apakah ada penyimpangan pada
mata dan lidah pada salah satu sisi atau lainnya.
3) Status kesadaran
Kebangkitan adalah penting, apakah pasien dapat disadarkan
selama kejang atau segera setelah kejang selesai. Apakah
terjadi ketidaksadaran durasi dari periode tersebut harus
dicatat. Apakah terjadi kebingungan atau kesadaran dan
ingatan yang jelas tentang kejadian kejang setelah itu.
4) Pupil
Perawat harus mencatat setiap perubahan pupil, ukuran,
bentuk atau ekualitas pupil dan reaksinya terhadap cahaya
atau setiap penyimpangan dari salah satu sisi.
5) Gigi
Perawat harus mengamati apakah gigi pasien terkunci atau
terbuka.
6) Pernafasan

17

Frekuensi, kualitas atau adanya suara nafas tambahan serta


adanya sianosis harus diamati.
7) Aktivitas tubuh
Inkontinensia, muntah, hipersaliva dan perdarahan dari mulut
atau lidah harus dilaporkan.
8) Distraktibilitas
Perawat harus menentukan apakah pasien memberikan
respons terhada lingkungan selama kejang seperti ketika ia
dipanggil namanya.
9) Setelah kejang
Kadang setelah kejang terjadi analisis transien, kelemahyan,
kebas, semutan, disfasia, cedera lain, periode postikal atau
amnesia mengenai kejang dan peristiwa sebelum dan setelah
kejang.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi b.d proses penyakit.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d spasme jalan nafas, akumulasi
sekret
3. Risiko Cedera dengan faktor resiko hipoksia jaringan.
4. Ansietas (orang tua, anak) b.d ancaman perubahan status kesehatan,
krisis situasional.
5. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d ketidakseimbangan ventilasi
dengan aliran darah, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.
6. Risiko aspirasi b.d penurunan tingkat kesadaran.
7. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar dengan sumber informasi.

18

K. Intervensi keperawatan
No
1.

Diagnosa
Keperawatan
Hipertermi b.d
peningkatan laju
metabolik

Tujuan

Intervensi

NOC
Termoregulasi
Setelah dilakukan
tindakan perawatan
selama 3 X 24 jam suhu
badan klien
normal, dengan kriteria :
a. Suhu kulit dalam
rentan yang
diharapkan (36,537,5)
b. Tidak ada sakit kepala
c. Tidak ada nyeri otot
d. Tidak ada perubahan
warna kulit
e. Nadi, respirasi
dalam batas normal
f. Hidrasi adekuate
g. Pasien
menyatakan nyaman
h. Tidak menggigil
i. Tidak iritabel / kejang

NIC
Mengatur Demam
1. Monitor suhu sesuai
kebutuhan
2. Monitor tekanan darah,
nadi dan respirasi
3. Monitor suhu dan warna
kulit
4. Monitor dan laporkan
tanda dan
gejala hipertermi
5. Anjurkan intake cairan
dan nutrisi yang adekuat
6. Ajarkan klien bagaimana
mencegah panas
yang tinggi
7. Berikan antipiretik
sesuai advis dokter
Mengobati Demam
1. Monitor suhu sesuai
kebutuhan
2. Monitor suhu dan warna
kulit
3. Monitor tekanan darah,
nadi dan respirasi
4. Monitor derajat
penurunan kesadaran
5. Monitor kemampuan
aktivitas
6. Monitor intake dan output
7. Dorong peningkatan
intake cairan
8. Berikan cairan intravena
9. Tingkatkan sirkulasi
udara dengan kipas
angin
10. Dorong atau lakukan oral
hygiene
11. Berikan obat antipiretik
untuk mencegah klien
menggigil kejang
12. Berikan obat antibiotic
untuk mengobati
19

penyebab demam
13. Berikan oksigen
14. Kompres hangat
diselangkangan, dahi
dan aksila.
15. Anjurkan klien untuk
tidak memakai selimut
16. Anjurkan klien
memakai baju berbahan
dingin, tipis dan
menyerap keringat
Manajemen Lingkungan
1. Berikan ruangan sendiri
sesuai indikasi
2. Berikan tempat tidur dan
kain / linen yang
bersih dan nyaman
3. Batasi pengunjung

Bersihan jalan
nafas tidak efektif
b.d. spasme jalan
nafas, akumulasi
sekret

NOC
Status Respirasi:
Kepatenan jalan nafas
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 X 24 jam
bersihan jalan nafas klien
efektif, dengan kriteria:
a.
Demam tidak
terjadi
b.
Kecemasan tidak
terjadi
c.
Tersedak tidak
terjadi
d.
Ritme nafas
dalam rentang yang
diharapkan (drh)
e.
Mengeluarkan
sputum dari jalan nafas
f.
Bebas dari suara
nafas tambahan

NIC
Manajemen Jalan Nafas
1. Buka jalan nafas,
gunakan teknik teknik
Chin Lift dan Jaw Thrust
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi kebutuhan
aktual/potensial pasien
terhadap alat bantu
pernafasan
4. Pasang jalan nafas
buatan melalui oral atau
nasofaringeal, sesuai
kebutuhan
5. Keluarkan sekret dengan
batuk atau suksion
6. Anjurkan nafas dalam
dan batuk
7. Ajarkan bagaimana cara
batuk efektif
8. Bantu penggunaan
spirometer

20

9. Auskultasi suara nafas,

10.

11.
12.

13.
14.
15.
16.

17.
18.

Risiko Cidera
dengan faktor
resiko hipoksia
jaringan

NOC
Kontrol Resiko
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 X 24 jam tidak
terjadi cidera, dengan
kriteria :
a. Mengakui adanya
risiko
b. Monitor faktor risiko
lingkungan
c. Mengembangkan
strategi kontrol risiko
yang efektif.
d. Menghindari eksposur
yang mengancam
kese-hatan.
e. Mengenali perubahan

catat area penurunan


atau tidak adanya
ventilasi, dan adanya
suara tambahan
Bantu suction
endotracheal atau
nasotracheal
Berikan bronkodilator
Ajarkan pasien
terhaadap penggunaan
inhaler
Berikan pengobatan
dengan aerosol
Berikan perawatan
nebulizer ultrasonik
Berikan pelembab udara
atau oksigen
Berikan intake cairan
untuk mengoptimalkan
keseimbangan cairan
Posisikan pasien untuk
mencegah sesak nafas
Monitor status respiratori
dan oksigenasi

NIC
Manajemen Lingkungan
1. Diskusikan tentang
upaya-upaya mencegah
cedera, seperti
lingkungan yang aman
untuk klien,
menghindarkan
lingkungan yang
berbahaya
2. Memasang pengaman
tempat tidur
3. Memberikan
penerangan yang cukup
4. Menganjurkan keluarga
untuk menemani klien
Manajemen kejang

21

status kesehatan

1. Tunjukkan gerakan yang


dapat mencegah injury.
2. Monitor hubungan antara
kepala dan mata selama
kejang.
3. Longgarkan pakaian
klien
4. Temani klien selama
kejang
Pencegahan kejang
1. Sediakan tempat tidur
yang bisa diatur rendahtinggi, bila perlu.
2. Instruksikan keluarga /
orang terdekat untuk
melaporkan medikasi
dan aktivitas kejang
yang terjadi.
3. Ajarkan pada klien
tentang medikasi dan
efek sampingnya.
4. Monitor tingkat obat
antiepilepsi, bila perlu
5. Sediakan suction,
ambubag,
nasopharyngeal airway
disamping tempat tidur.
6. Pasang side rail tempat
tidur.
7. Ajarkan orang tua untuk
mengenali faktor
pemicu.

Perfusi jaringan
serebral tidak
efektif b.d.
ketidakseimbanga
n ventialsi dengan
aliran darah,
penurunan
konsentrasi Hb
dalam darah

NOC
Perfusi jaringan:
serebral
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x24 jam perfusi
jaringan serebral efektif
dengan kriteria hasil:
a.
kesadaran baik
b.
Fungsi
neurologis tidak
terganggu

NIC
Peningkatan Perfusi Serebral
1. Konsultasikan dengan
dokter untuk menentukan
parameter hemodinamik,
dan
mempertahankannya
tetap dalam rentang
normal
2. Rangsang hipotensi
dengan pemberian
volume expander atau

22

c.

Tak ada sakit


kepala
d.
Tidak ada
agitasi, gelisah
e.
fungsi motorik
dan sensorik kembali
baik
f.
tanda vital stabil
g.
tidak ada tanda
peningkatan TIK

3.
4.

5.
6.

agen inotropik atau


vasokonstriktif, sesuai
yeng diresepkan untuk
mempertahankan
parameter hemodinamik
dan mengoptimalkan
cerebral perfusion
pressure (CPP)
Berikan dan titrasikan
obat vasoaktif
Berikan agen reologik
seperti manitol atau
dekstran
Posisikan pasien untuk
perfusi yang optimal
Monitor status neurologis

Manajemen Syok
1. Observasi tanda dan
gejala ketidakadekuatan
perfusi (kepucatan,
sianosis, pengisian
kapiler yang lamban,
penurunan kesadaran)
2. Monitor status cairan
3. Monitor AGD
4. Posisikan pasien untuk
perfusi yang optimal
5. Monitor tanda dan gejala
kegagalan respirasi
5

Risiko aspirasi
b.d penurunan
tingkat kesadaran

NOC
Kontrol Aspirasi
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 X 24 jam tidak
terjadi aspirasi, dengan
kriteria :
a.
Identifikasi faktor
risiko
b.
Mencegah faktor
risiko
c.
Memposisikan

NIC
Pencegahan Aspirasi
1. Monitor tingkat
kesadaran, refleks batuk,
refleks gag, dan
kemampuan menelan
2. Monitor status pulmoner
3. Monitro jalan nafas
4. Posisikan meninggi 900
5. Pertahankan suction
tersedia di tempat
6. Berikan makan dalam
23

diri duduk untuk


makan/minum
Mempertahankan
konsistensi cairan
dan makanan

Ansietas (orang
tua, anak) b.d.
ancaman
perubahan status
kese-hatan, krisis
situasional

NOC
Mengontrol cemas
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 X 24 jam
kecemasan orang tua
berkurang / hilang,
dengan kriteria :
a. Klien/keluarga
mampu
mengidentifikasi dan
mengungkapkan
gejala cemas.
b. Mengidentifikasi,
mengungkapkan,
dan menunjukkan
teknik untuk
mengontrol cemas
c. Vital sign (TD, nadi,
respirasi) dalam
batas normal
d. Postur tubuh,
ekspresi wajah,
bahasa tubuh, dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.
e. Menunjukkan
peningkatan
konsentrasi dan
akurasi dalam

porsi kecil

7. Cek residu dari tube


sebelum memberikan
mkanan
8. Cegah pemberian makan
jika residu tinggi/banyak
9. Berikan makanan atau
cairan yang dapat
diberikan secara bolus
10. Pertahankan kepala
tempat diur dielevasi 30
sampai 45 menit setelah
pemberian makan
NIC
Menurunkan Cemas
1.
Gunakan pendekatan
dengan konsep
atraumatik care
2.
Jangan memberikan
jaminan tentang
prognosis penyakit
3.
Jelaskan semua
prosedur dan dengarkan
keluhan klien/keluarga
4.
Pahami harapan
pasien/keluarga dalam
situasi stres
5.
Temani pasien/keluarga
untuk memberikan
keamanan
dan mengurangi takut
6.
Bersama tim kesehatan,
berikan
informasi mengenai
diagnosis, tindakan
prognosis
7.
Anjurkan keluarga untuk
menemani anak dalam
pelaksanaan tindakan
keperawatan
8.
Lakukan massage pada
leher dan punggung, bila
perlu
9.
Bantu pasien mengenal
penyebab kecemasan

24

berpikir

Defisit
pengetahuan b.d
kurang terpapar
dengan sumber
informasi

NOC
Knowledge : Diease
proses
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 X 24 jam
keluarga mengerti
tentang kondisi pasien,
dengan Kriteria hasil:
a.
Keluarga menyatakan
pemahaman tentang
penyakit kondisi
prognosis dan
program pengobatan
b.
Keluarga mampu
menjelaskan faktor
resiko penyakit anak
c.
Keluarga mampu
menjelaskan tanda
dan gejala penyakit
anak
d.
Keluarga mampu
melaksanakan
prosedur yang
dijelaskan secara
benar
e.
Keluarga mampu
menjelaskan kembali
apa yang dijelaskan
perawat/ tim
kesehatan lainya

10.

Dorong
pasien/keluarga untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi tentang
penyakit

NIC
Teaching : Diease process
1.
Berika
n penilaian tentang
penyakit pengetahuan
pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
2.
Jelask
an patofisiologi dari
penyakit dan bagaimana
hal ini berhubungan
dengan anatomi fisiologi
dengan cara yang tepat
3.
Gamba
rkan tanda dan gejala
yang biasa muncul pada
penyakit, dengan cara
yang tepat
4.
Identifi
kasikan kemungkinan
dengan cara yang tepat

25

BAB 3
TINJAUAN KASUS

26

BAB 4
PEMBAHASAN
Setelah melakukan asuhan keperawatan kepada An.R dengan
Kejang Demam Sederhana (KDS) di Ruang Perawatan Anak (Tulip II A)
RSUD Ulin Banjarmasin. Maka disini kami buat perbandingan antara teori
dan asuhan keperawatan yang kami buat.
1. Dalam tahap pengkajian, kami tidak mengalami kesulitan dalam
mengkaji pasien, karena ibu pasien sangat kooperatif dalam
berkomunikasi, sehingga kami sangat mudah dalam mengkaji pasien.
2. Dalam diagnosa keperawatan, kami mengambil 3 (tiga) diagnosa
yang ditegakkan, yaitu :
a. Hipertermi
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
c. Ansietas
Disini kami tidak menemukan kesenjangan dengan teori, karena
dalam asuhan keperawatan yang kami tegakkan menggunakan
diagnosa yang sama.
3. Dalam perencanaan (intervensi), kami buat sesuai dengan kondisi
yang dialami oleh pasien, sehingga tidak ada kesenjangan teori dalam
penegakan asuhan keperawatan yang kami buat.
4. Dalam implementasi, kami melakukan tindakan yang sesuai dengan
yang direncanakan sebelumnya, sehingga pada tahap ini juga tidak
terdapat kesenjangan dengan teori yang ada.
5. Dalam tahap evaluasi, kami mendapatkan hasil yaitu masalah teratasi
sepenuhnya dari ketiga diagnosa tersebut.

27

BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian kasus dengan kejang demam sederhana ditemukan pada
teori, serta kasus dan semua data ditemukan secara kooperatif dari keluarga
maupun tim medis. Pada diagnosa keperawatan tidak ditemukan adanya
kesenjangan

dengan teori dalam kasus ini. Asuhan keperawatan dapat

terlaksana dengan baik dan mandiri ataupun berkolaborasi dengan tim


kesehatan. Hasil yang didapat menunjukkan masalah teratasi sepenuhnya.
B. Saran
Kejang demam sederhana yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit
dan umum. Perlunya penyuluhan kesehatan bagi orang tua untuk
mengetahui gejala yang mungkin muncul, proses penyakit, prognosis serta
kebutuhan penanganannya.

28

DAFTAR PUSTAKA
Bobak , L. 2004. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Doenges, M., dkk.2001.Rencana perawatan maternal bayi.EGC: Jakarta.
Hassan Ruspeno, et all. 2007.Kejang Demam. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid II. Ed.11.Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta: Media Action.
Lumbantobing SM. 1989. Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak,
Gaya Baru. Jakarta.
Lynda juall C. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.
Penerjemah Monika Ester. EGC. Jakarta.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. S., & Setiowulan, W., 2008.
Kapita selekta kedokteran. Media Aesculapius: Jakarta.
Manuaba, I. B. G. 1998, Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan
keluarga berencana untuk pendidikan bidan, EGC, Jakarta.
Manuaba, I. B. G. 2008. Operasi kebidanan kandungan dan keluarga
berencana untuk dokter umum. EGC: Jakarta.
Marilyn E. Doengos 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Penerjemah
Kariasa I Made. EGC. Jakarta
McCloskey, & Bulechek. 2006. Nursing interventions classifications, 2nd
edition. Mosby-Year book.Inc, New York.
Nelson.2000. Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
Ngastiyah,1997,Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Saifuddin A.B. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal. Jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo.

29

You might also like