You are on page 1of 13

1.

Persatuan merupakan kata yang penting di dalam Indonesia yang beragam


dalam hal agama, suku, etnis dan bahasa. Pentingnya persatuan sebagai
landasan berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu pada
perangkat keras seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan teritorial,
dan iklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak berupa
eksistensi kebudayaan nasional. Bahwa persatuan memerlukan apa yang
disebut Soekarno sebagai identitas nasional, kepribadian nasional, dan
berkepribadian dalam kebudayaan.
Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang
menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan
pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran
semacam itu sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda
namun satu jua) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang
sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika
ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi
kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain pada tercapainya cita-cita
akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme
Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara bhineka tunggal ika mencerminkan bahwa
meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam
keikaan dan kesatuan. Namun, realitas sosial-politik saat ini, terutama setelah
reformasi, menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan: konflik dan kekerasan
berlangsung hanya karena persoalan-persoalan yang sebetulnya tidak
fundamental tapi kemudian disulut dan menjadi isu besar yang melibatkan etnis
dan agama.[6]
Kini, setelah enam puluh enam tahun setelah Pancasila dikemukakan secara
publik saat ini merupakan momentum reflektif bagi bangsa Indonesia untuk
meradikalkan Pancasila agar bisa beroperasi dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila haruslah dijadikan dasar kehidupan bersama karena di dalamnya
mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersama, multikulturalisme, persatuan,
demokrasi, keadilan sosial dan penghormatan terhadap kelompok-kelompok
minoritas. Pancasila haruslah menjadi perekat bangsa, menjadi landasan
persatuan dan kesatuan Indonesia.

Keadilan Sosial
Tak ada persatuan tanpa keadilan. Dengan kata lain, persatuan haruslah
dibangun atas dasar keadilan dan kesejahteraan sosial. Mustahil, negara bisa
membangun persatuan jika tidak ditopang keadilan dan kesejahteraan
masyarakatnya. Karena itu, sila ketiga dan sila kelima dalam Pancasila
memiliki keterkaitan erat. Hal ini terumus dalam pembukaan Undang Undang
Dasar 1945 bahwa ketika negara sudah terbentuk maka kekayaan negara
dieksplorasi demi kemaslahatan warga negara Indonesia. Sehingga tidak adil
jika hanya satu daerah yang menikmati hasil pembangunan.
Namun setelah melewati sekian lama masa reformasi, dengan munculnya
idiologi baru, semisal NII dan juga lainnya, maka memunculkan kesadaran
baru, bahwa ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI
dianggap penting untuk digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap
sebagai alat pemersatu bangsa yang tidak boleh dianggap sederhana hingga
dilupakan. Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu, karena berisi cita-cita
dan gambaran tentang nilai-nilai ideal yang akan diwujudkan oleh bangsa ini.
Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, terdiri atas berbagai agama, suku
bangsa, adat istiadat, bahasa daerah,

menempati wilayah dan kepulauan

yang sedemikian luas, maka tidak mungkin berhasil disatukan tanpa alat
pengikat. Tali pengikat itu adalah cita-cita, pandangan hidup yang dianggap
ideal yang dipahami, dipercaya dan bahkian diyakini sebagai sesuatu yang
mulia dan luhur.
Memang setiap agama yang ada pasti memiliki ajaran tentang gambaran
kehidupan ideal, yang masing-masing berbeda-beda. Perbedaan itu tidak akan
mungkin dapat dipersamakan. Apalagi, perbedaan itu sudah melewati dan
memiliki sejarah panjang. Akan tetapi, masing-masing pemeluk agama lewat
para tokoh atau pemukanya, sudah berjanji dan berekrar akan membangun
negara kesatuan berdasarkan Pancasila itu.
Memang ada sementara pendapat, bahwa agama akan bisa mempersatukan
bangsa. Dengan alasan bahwa masing-masing agama selalu mengajarkan
tentang persatuan, kebersamaan dan tolong menolong, sebagai dasar hidup
bersama. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit konflik yang terjadi
antara penganut agama yang berbeda. Tidak sedikit orang merasakan bahwa

perbedaan selalu menjadi halangan untuk bersatu. Maka Pancasila, dengan


sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, merangkum dan sekaligus
menyatukan pemeluk agama yang berbeda itu. Mereka yang berbeda-beda
dari berbagai aspeknya itu dipersatukan oleh cita-cita dan kesamaan idiologi
bangsa ialah Pancasila.
Itulah

sebabnya,

maka

melupakan

Pancasila

sama

artinya

dengan

mengingkari ikrar, kesepakatan, atau janji bersama sebagai bangsa, yaitu


bangsa Indonesia. Selain itu, juga dem ikian, manakala muncul kelompok
atau sempalan yang akan mengubah

kesepakatan itu, maka sama artinya

dengan melakukan pengingkaran sejarah dan janji yang telah disepakati


bersama. Maka, Pancasila adalah sebagai tali pengikat bangsa yang harus
selalu diperkukuh dan digelorakan pada setiap saat. Bagi bangsa Indonesia
melupakan Pancasila, maka sama artinya dengan melupakan kesepakatan dan
bahkan janji bersama itu.
Oleh sebab itu, Pancasila, sejarah dan filsafatnya harus tetap diperkenalkan
dan diajarkan kepada segenap warga bangsa ini, baik lewat pendidikan formal
maupun non formal. Pancasila memang hanya dikenal di Indonesia, dan tidak
dikenal di negara lain. Namun hal itu tidak berarti, bahwa bangsa ini tanpa
Pancasila bisa seperti bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki sejarah, kultur,
dan sejarah politik yang berbeda dengan bangsa lainnya. Keaneka-ragaman
bangsa Indonesia memerlukan alat pemersatu, ialah Pancasila.
Realitasnya,

kesenjangan

sosial

masih

terjadi

di

era

reformasi

ini,

sebagaimana yang terjadi di wilayah perbatasan. Bangunan demokrasi yang


ditegakkan pascareformasi memang ditantang untuk menjawab harapan
masyarakat yang begitu besar. Para pengambil kebijakan dituntut untuk
membuktikan bahwa pilihan demokrasi yang memakan biaya cukup mahal
bukanlah pilihan yang keliru. Jawaban yang diberikan tidak cukup dengan
pemberian ruang kebebasan yang lebih besar, tetapi juga kehidupan ekonomi
yang lebih baik.
Itulah cita-cita hakiki demokrasi Indonesia yang terkandung dalam Pancasila,
yakni cita-cita yang tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di
bidang politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Hal ini
seturut dengan tesis yang mengatakan bahwa dasar pendirian sebuah negara,

apapun

ideologinya,

adalah

bagaimana

membawa

warganya

kepada

kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Kemerdekaan nasional, tegas


Soekarno saat sidang pertama RIS tahun 1949, bukanlah tujuan akhir bagi
kita semua. Bagi kita kemerdekaan nasional Indonesia hanyalah syarat untuk
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dalam arti jasmani dan
rohani. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan kita bersama.
Polemik kistimewaan Yogyakarta, yang dibiarkan mengambang dan tidak jelas
oleh pemerintah pusat, pada dasarnya merupakan suatu ketidakadilan yang
menjadi kesalahan pemerintah dan akan menjadi bara api dalam sekam atau
bom waktu yang dapat menjadi sangat liar.
Perbaikan ekonomi bangsa dan pewujudan kesejahteraan rakyat memang
bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga
memerlukan bantuan dan partisipasi warga masyarakat, pelaku ekonomi dan
bisnis, negarawan, politikus, akademisi, dan elemen organisasi pemerintah.
Selanjutnya, kebijakan politik harus memberi kerangka insentif berbasis
meritokrasi, bagi inteligensia yang mencurahkan talenta-talenta terbaiknya
dalam berbagai bidang profesi. Oleh karena itu, marilah kita bersama
merevitalisasi nilai dan pelaksanaan Pancasila secara kongkret. Kita telah
diingatkan oleh Bung Karno wahai Pemuda! Indonesia akan kembali menjadi
bangsa terhormat, atau bahkan menjadi kuli yang terhina di rumah sendiri (Dan
Sejarah akan menulis di sana, di antara benua Asia dan Benua Australia, di
antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang
mula-mula mentjoba untuk hidup kembali sebagai sebuah bangsa, akhirnja
kembali mendjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, kembali mendjadi een
natie van koelis, en een koelie onder de naties Sukarno, Tahun Vivere
Pericoloso (Tahun-tahun nyrempet bahaya), 17 Agustus 1964). Dirgahayu
kemerdekaan RI yang ke-63
2. 1) RINGKASAN Konflik sosial masih sering terjadi yang penanganannya
kerap dilakukan secara represif Penanganan konflik sosial lebih melibatkan
peran komunitas melalui pendekatan kesejahteraan Rekomendasi kebijakan
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan golongan di Indonesia merupakan
modal dan faktor yang memberikan kontribusi berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, namun sekaligus juga bisa menjadi potensi terjadinya

segresi sosial yang bisa memicu munculnya konflik vertikal maupun


horizontal. Kemungkinan pecahnya konflik akan semakin besar apabila terjadi
ketimpangan pembangunan, ketidakadilan serta kesenjangan sosial dan
ekonomi, kemiskinan serta dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa di Indonesia sampai saat ini masih
sering terjadi konflik sosial dalam berbagai bentuk di berbagai wilayah dengan
berbagai sebab. Konflik tersebut mengakibatkan hilangnya rasa aman,
menciptakan rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, korban jiwa dan trauma psikologis dendam, kebencian dan perasaan
permusuhan, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Terhadap berbagai konflik yang terjadi tersebut, berbagai kebijakan
penanganan konflik telah dilakukan oleh Pemerintah baik yang bersifat
pencegahan, penghentian maupun pemulihan pascakonflik. Kebijakan
penanganan konflik sosial pada umumnya dilakukan sepihak oleh pemerintah
dengan lebih mengedepankan pendekatan keamanan karena didasarkan
pada anggapan bahwa konflik umumnya bersifat vertikal yang dapat
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hal ini tindakan
penanganan konflik didominasi oleh peran POLRI dan TNI. Pada era
demokrasi saat ini di mana hak asasi manusia sangat dijunjung tinggi,
penanganan konflik secara represif sebaiknya tidak dilakukan lagi. Dalam
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang saat ini sedang belajar
berdemokrasi, pendekatan keamanan justru akan menimbulkan konflik baru
antara masyarakat dengan alat negara. Sebagai gantinya, konflik dapat
ditangani dengan lebih melibatkan partisipasi komunitas melalui pendekatan
kesejahteraan yang dilakukan secara sinergis, sistemik, terarah, dan
terkoordinasi sehingga minimalisasi terhadap penyebab pecahnya konflik dan
dampaknya dapat dilakukan secara lebih baik. Penanganan konflik dengan
mengedepankan pendekatan kesejahteraan telah memiliki payung hukum
yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial. Sebagai kebijakan nasional yang masih bersifat umum, UndangUndang tersebut masih perlu pejabaran lebih detail agar dapat dilaksanakan.
Untuk itu perlu disusun kebijakan operasional yang mengatur tentang
tindakan yang perlu dilakukan pada saat pencegahan, penghentian dan
pemulihan pascakonflik yang meliputi pokok-pokok substansi sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-Undang dengan memberikan penekanan pada:


koordinator penanganan konflik sosial di tingkat nasional secara definitif;
penempatan desa/kelurahan sebagai pelaku utama dalam perwujudan
masyarakat

inklusif

secara

terencana,

terarah,

terkoordinasi

dan

berkelanjutan; melindungi dan memperjuangkan hak dasar korban konflik dan


keluarganya;

serta

penguatan

kepranataan

tingkat

dasar

untuk

kesiapsiagaan, operasi sosial, pemulihan sosial, dan harmonisasi. 0


2) Konflik sosial masih sering terjadi yang penanganannya kerap
dilakukan secara represif Indonesia adalah negara dengan pluralisme
struktur sosial yang demikian besar. Terdapat lebih dari 17.000 pulau,
berbagai agama dan aliran kepercayaan, ribuan ras/keturunan dan golongan,
ribuan budaya serta didukung dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih
dari 250 juta jiwa. Kondisi ini menjadi modal sosial dan faktor kekuatan
bangsa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan
kontribusi positif bagi upaya tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun disisi lain dapat menjadi potensi terjadinya segregasi sosial yang
berdampak buruk bagi stabilitas nasional jika tidak dikelola dengan kebijakan
nasional redistributif yang mampu mencegah terjadinya ketimpangan
pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan,
ketidakstabilan kehidupan politik yang tidak terkendali, anomi sosial, dan
sebagainya. Pada spektrum lebih luas, Indonesia tidak dapat terlepas dari
pengaruh situasi regional dan internasional. Indonesia saat ini terkepung
dalam situasi ketidakstabilan regional, terutama Asia Tenggara. Dinamika
yang terjadi di poros Malaysia, Singapura, Australia, Brunei dan Papua Nugini
sebagai pengikat negara commonwealth yang berafiliasi dengan Inggris,
Timor Leste yang berafiliasi dengan Portugal, serta situasi sejumlah negara
Asia Tenggara lainnya akan berpengaruh terhadap Indonesia. Transisi
demokrasi dalam tatanan regional dan global semakin membuka peluang
percepatan dinamika sosial, termasuk faktor pengaruh asing. Posisi tersebut
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara rawan konflik sosial, baik
konflik horisontal maupun vertikal. Intensifikasi konflik sosial terjadi sejak awal
reformasi pada tahun 1998 dan berlangsung massal sebagai bentuk dinamika
kehidupan sosial masyarakat pascakekuasaan pemerintahan Orde Baru.

Situasi tersebut telah terbukti membawa pengaruh secara signifikan terhadap


tatanan sosial masyarakat terutama dalam merajut integrasi sosial yang
berlandaskan livehood, brotherhood togetherness. Selain modal sosial (social
capital) mengalami kehancuran, konflik sosial yang terjadi telah berakibat
terhadap hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma
psikologis

dendam,

kebencian

dan

perasaan

permusuhan

sehingga

menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Dalam spektrum lebih luas,


konflik sosial yang terjadi telah mengakibatkan segregasi sosial yang kian
tajam, eksklusi sosial dan ketidakstabilan sosial yang dapat berujung pada
goyahnya ketahanan nasional. Konflik sosial yang terjadi tidak terlepas dari
perbedaan ideologis yang kian tajam antara pendatang dengan masyarakat
setempat, ketertinggalan budaya (cultural lag) masyarakat setempat dengan
pendatang, kesenjangan budaya, ketidakadilan dalam penguasaan 1
3) sumber daya, perbedaan kepentingan dan faktor struktural berupa
sejumlah kebijakan nasional yang dapat memicu konflik sosial yang
kesemuanya bermuara pada kristalisasi eksklusi sosial berupa ikatan
primordialistik berbasis suku, agama, ras, dan golongan. Pada masa lalu
berbagai kebijakan nasional penanganan konflik telah dilakukan oleh
Pemerintah namun pada umumnya lebih mengedepankan pendekatan
keamanan dan tidak terlalu banyak melibatkan peran komunitas. Dalam hal
demikian tindakan represif lebih kuat dengan dominasi sektoral pada peran
TNI/POLRI. Pendekatan tersebut bukan hanya digunakan pada konflik yang
bersifat vertikal saja, tetapi juga diterapkan jika terjadi konflik horisontal.
Berlarut-larutnya

penanganan

konflik yang

tidak

berkesudahan

telah

memperparah kondisi kesejahteraan masyarakat karena jumlah angka


kemiskinan di daerahdaerah pascakonflik semakin bertambah. Oleh karena
itu, upaya dan strategi yang sistematis, terencana dan terpadu pada
pencegahan konflik sangatlah penting untuk dilakukan. Pada konteks yang
demikian, terdapat sejumlah kebijakan nasional yang justru berpotensi
memicu konflik yang terkonfigurasi dalam sejumlah ketentuan negara yang
dianggap kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat, baik di sektor
industri, pemanfaatan sumber daya alam, pembentukan provinsi atau

kabupaten/kota

baru,

serta

sektor-sektor

lainnya.

Tanggap

terhadap

permasalahan tersebut, berbagai kebijakan penanganan konflik terus


diupayakan penyusunan dan penetapannya. Kebijakan nasioal terbaru dalam
rangka penanganan konflik adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun
2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Kedua
peraturan penanganan konflik tersebut sayangnya belum dapat dilaksanakan
secara komprehensif dan integratif karena belum bersifat operasional,
mengakar di masyarakat, integratif dan sistemik baik pada pencegahan,
penghentian, dan pemulihan pascakonflik. Oleh karena itu perlu disusun
kebijakan yang implementatif sekaligus dapat dijadikan payung hukum bagi
pelaksana di lapangan agar tidak ragu dalam melaksanakan penanganan
konflik sosial. Dalam perumusan kebijakan operasional penanganan konflik
perlu didasarkan pada analisis terhadap terjadinya berbagai konflik yang telah
terjadi selama ini. Berdasarkan fakta di lapangan, sejumlah konflik sosial
tejadi antara pendatang dan pribumi di banyak wilayah, terutama di daerahdaerah di mana terjadi konsentrasi pemukiman kelompok pendatang. Eforia
keterbukaan sejak tahun 1998 membawa transisi perilaku sosial masyarakat
yang kian tidak terkendali karena kurang kuatnya penegakkan hukum.
Pelanggaran HAM hampir terjadi pada setiap hari
4) lingkungan masyarakat. Pola konflik sosial yang terjadi mengerucut pada
konflik budaya (Dayak dengan Madura), konflik ideologi (ajaran Ahmadiyah,
sempalan Jaringan Islamiah, kelompok liberal, pengungsi eks Timor Leste,
neo Marxis dengan kedok kerakyatan), konflik penguasaan sumber-sumber
ekonomi (konflik Masuji, Lampung), konflik kepentingan yang meluas menjadi
konflik antar-agama (Maluku, Maluku Utara, Poso), serta konflik karena faktor
ketidakadilan (konflik sosial di Lampung Selatan, Kalimantan Barat, Papua,
Aceh dan sebagainya). Isu Jawanisasi sebagai bagian dari stereotipe
masyarakat pribumi terhadap pendatang juga telah menjadi potensi konflik di
sejumlah daerah (Sumatera Utara, Papua, dan Aceh). Pola konflik di berbagai
wilayah tersebut tidak berdiri sendiri namun saling berkaitan dengan isu lain.
Beberapa kejadian konflik tidak dapat dipisahkan dari konflik yang terjadi
sebelumnya dan umumnya kembali terulang. Konflik tersebut sesungguhnya

memiliki akar persoalan yang lebih dalam dari sekadar perseteruan dua
kelompok. Dari data yang tersedia, konflik sosial antara pendatang dengan
pribumi telah menghasilkan pengungsian besar-besaran pada periode tahun
1999-2006 yang mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa, ribuan jiwa terbunuh,
hilangnya hak dasar korban, harta benda dan rusaknya infrastruktur.
Demikian juga modal sosial berupa norma, nilai, kepercayaan, keberfungsian
institusi lokal dan jaringan sosial ketetanggaan yang berlandaskan hidup
berdampingan secara damai, persaudaraan sejati, komitmen bersama
menjadi runtuh. Bahkan sampai saat ini, jumlah mereka yang belum kembali
ke rumah masih cukup besar tersebar di sejumlah wilayah. Konflik di
Indonesia tidaklah tunggal dan bisa mengalami transformasi kausatif atau
berpindah dari penyebab yang satu ke penyebab yang lain. Secara umum
potensi konflik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Kebijakan
pembangunan yang kadang cenderung berpihak pada salah satu kelompok
tertentu. 2) Legitimasi dan institusi sosial politik kurang berjalan dengan baik
yang menimbulkan reaksi masyarakat dalam bentuk kekecewaan dan
ketidakpercayaan. Hal ini mendorong potensi konflik yang laten menjadi
muncul ke permukaan. Seiring dengan kenyataan tersebut, maka pada
realitas di masyarakat pilihan untuk menggunakan kekerasan dari berbagai
pihak

muncul

sebagai

pendekatan

penyelesaian

permasalahan.

3)

Penggunaan kekerasan dalam mewujudkan tertib sosial. Kekerasan atau


tindakan represif yang dilakukan oleh masyarakat maupun elit kadang
sengaja dilakukan untuk mewujudkan tertib sosial secara cepat. Kesadaran
atas tindakan yang manusiawi dianggap lambat dalam mewujudkan sistem
sosial yang tertib, aman, dan sejahtera.3
5) Pelanggaran hak asasi manusia. 5) Isu agama yang muncul karena ajaran
agama mendapatkan konteks penafsiran yang luas dan beraneka ragam
serta tergantung pada ideologi kelompok sosial keagamaan tertentu. Pemeluk
agama yang memakai isuisu agama yang tidak toleran berpotensi
menimbulkan konflik-konflik sosial dengan pemeluk agama lain, pemeluk
agama yang sama dan pemeluk kepercayaan yang dianggap tidak beragama.
6) Tindak kekerasan militer dan pertentangan elit dalam menyelesaikan
konflik. Konflik sosial yang ada cenderung diselesaikan dengan jalan

kekerasan yang diharapkan dapat segera tuntas namun ternyata menyimpan


potensi konflik yang baru. 7) Melemahnya mekanisme tradisional dan
memudarnya identitas budaya asli. Perhitungan sosial-ekonomi yang rasional
telah menggantikan modal sosial dalam mekanisme tradisional menjadi modal
keuangan. Dalam pengertian sempit berupa pertimbangan untung-rugi.
Akibatnya, mekanisme tradisional yang berlandaskan nilainilai lingkungan
setempat pudar bersamaan dengan pudarnya identitas budaya asli sehingga
menimbulkan krisis identitas. Krisis identitas, dalam arti tidak relevannya nilainilai lama dan belum kokohnya nilai-nilai baru, mendorong elit dan
masyarakat tidak percaya sepenuhnya untuk mentransformasikan mekanisme
tradisional dan identitas budayanya dalam konteks identifikasi/deteksi dini
konflik-konflik sosial (early warning system). Bila tidak diolah dengan tepat di
ruang publik maka keduanya justru menjadi kendala dalam menyelesaikan
konflik dan sekaligus sebagai potensi konflik sosial yang sulit untuk ditangani
secara

singkat.

8)

Intervensi

Asing.

Adanya

keterbatasan

dalam

mengeksplorasi sumber-sumber vital perekonomian dan menuntut adanya


peran serta asing. Hal ini dapat bernilai positif namun ada juga sisi negatifnya
karena bisa saja pihak asing tersebut melakukan intervensi di lokasi rawan.
Hal inilah bisa menjadi potensi konflik antar-masyarakat, karena terdapat
masyarakat yang telah mendapatkan keuntungan dengan kehadiran pihak
asing dan ada juga yang tidak tersentuh dan tidak mengalami peningkatan
kesejahteraan. Selanjutnya bisa menimbulkan kecemburuan dan membawa
pada tindakan kekerasan untuk menyelesaikannya. Pada semua faktor
penyebab konflik di atas perlu dilakukan analisis dari berbagai dimensi untuk
sampai pada kesimpulan kebijakan apa yang harus dibuat. 4
6) Penanganan konflik sosial lebih melibatkan peran komunitas melalui
pendekatan kesejahteraan Dari dimensi sosial bisa dinyatakan bahwa
masingmasing warga memiliki intuisi yang sama untuk saling memperkuat
harmonisasi dalam proses interaksi secara dialogis sebagai bagian dari homo
homini socious. Watak dan karakter berbeda tidak menghambat kedua
kelompok berintegrasi satu dengan lainnya, dengan pola segregasi,
amalgamasi atau asimilasi. Nilai dasar yang demikian menjadi kekuatan dan
sekaligus peluang untuk dilkembangkan dalam kehidupan masyarakat yang

beragam. Tatanan sosial yang memperjuangkan persamaan hak dan


kewajiban, egalitarian dalam kesempatan, meruntuhkan ketidakadilan dan
sikap toleransi menjadi faktor konsensus untuk membangun masyarakat
multikultur yang berbasiskan Bhineka Tunggal Ika. Komitmen nasional yang
tinggi menjadi faktor kekuatan dalam menciptakan harmonisasi, namun
sayangnya

hanya

implementasinya,

sedikit

masih

ketentuan

ditemukan

yang

sejumlah

mengaturnya.
kebijakan

yang

Dalam
masih

diskriminatif dalam penerapannya, penegakan hukum yang masih lemah,


otonomi daerah yang tidak memperhatikan penguatan modal sosial
masyarakat sehingga disharmonisasi sosial tetap bermunculan pada saat ini.
Dalam konteks kebudayaan, keragaman budaya yang ada dapat menjadi
faktor kekuatan dan peluang untuk mencegah konflik sosial jika dilakukan
proses penetrasi budaya dalam bentuk pembauran dan persemaian budaya
antara lain inkulturasi, akulturasi atau lintas budaya antar-kedua kedua
kelompok, atau segregasi budaya dengan didukung toleransi antara satu
dengan lainnya. Perbedaan kebudayaan antar kedua belah pihak tidak akan
bermasalah jika masing-masing pihak saling menghargai dan menghormati,
tidak saling menganggu dan meresahkan. Dalam konteks kebudayaan, konflik
sosial terjadi karena masih terdapat sebagian warga yang melakukan
kecongkakan

budaya,

etnosentrisme,

primordialistik

kedaerahan,

mempertahankan budaya lokal namun tidak dalam konteks keindonesiaan


dan ego lainnya sehingga mempolakan sistem perilaku ke arah prasangka,
sterotipe, penguasaan atas budaya lainnya dan sikap intoleran. Akibatnya
tabrakan budaya dan benturan budaya tidak terelakkan. Ini semua adalah
faktor kelemahan yang perlu dikikis dalam rangka memperkuat keberagaman
masyarakat kearah multikultur. Manusia adalah homo homini economicous di
mana setiap warga negara memiliki hak dan peluang yang sama untuk
memperoleh

hak-hak

ekonomi

sesuai

kemampuannya.

Kesamaan

kesempatan dalam berusaha menjadikan kemampuan kompetitif merupakan


faktor penting bagi kelompok yang memiliki kemampuan daya saing tinggi
yang akhirnya cenderung akan menguasai sumber-sumber ekonomi.
Kelompok masyarakat yang lebih ulet berusaha untuk mempertahankan
hidupnya

melalui kerja keras, menabung

memperoleh sumber

dan hemat agar mampu

7) sumber ekonomi sesuai dengan kemampuannya. Hal ini menjadi


kekuatan kunci untuk bersaing sehingga yang unggul adalah kelompok yang
tekun dan tidak mudah putus asa dan berjuang terus untuk meraih
kesuksesan. Di sisi lain terdapat kelompok yang kontradiktif dengan kelompok
tadi sehinga menyebabkanmunculnya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan
bagi kelompok yang tidak siap dengan kemampuan berkompetisi. Sejumlah
kebijakan nasional memang telah diarahkan melalui berbagai program
nasional seperti Raskin, BLSM, KUBE-FM, LKM, penguatan ekonomi
kerakyatan, namun belum menyentuh faktor redistribusi atas sumber
ekonomi. Faktor ini adalah kelemahan dan sekaligus bisa menjadi pemicu
munculnya konflik sosial. Berdasarkan pengamatan secara empirik maka
terdapat korelasi antara dinamika sistem politik dengan dinamika konflik.
Dalam hal ini sistem politik represif dapat menekan frekuensi terjadinya
konflik karena semua orang takut melawan aparat yang bisa saja
menggunakan senjata untuk menghentikan konflik. Berbeda halnya dengan
sistem politik yang memberi ruang kebebasan di mana hal tersebut justru bisa
meningkatkan frekuesi konflik. Kemudian sistem politik desentralisasi yang
luas menumbuhkan primordialisme kedaerahan yang sempit karena suatu
daerah menguatkan rasa kedaerahannya masing-masing sehingga muncul
egoprimodial. Hal ini terdapat korelasinya dengan sistem politik yang
dibangun saat ini yang kurang berhasil dalam pembangunan wawasan
kebangsaan dan terjebak dalam pragmatisme politik. Dari segi hukum dapat
disimak bahwa pada masa lalu institusi dan mekanisme hukum komunitas
kurang

mendapat

tempat

dalam

penanganan

konflik

sosial

karena

pendekatan yang digunakan adalah represif sepihak oleh penguasa. Pada


era Orde Baru misalnya tidak banyak upaya membuat produk hukum untuk
mengelola konflik sosial. Pada saat itu penanganan konflik menggunakan
cara-cara represif sehingga semua orang takut apabila berbuat konflik. Hal ini
telihat tenang di permukaan namun sebenarnya memendam masalah yang
sewaktu-waktu

dapat

memicu

konflik

yang

lebih

besar

dan

sulit

penanganannya. Rekomendasi kebijakan Undang-Undang Nomor 7 tahun


2012 tentang Penanganan Konflik Sosial perlu segera dibuatkan peraturan
pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah yang memuat tentang
tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban konflik, penggunaan

kekuatan TNI dalam penghentian konflik, peran serta masyarakat dalam


penanganan

konflik,

penatausahaan,

serta

perencanaan,

pelaporan,

dan

penganggaran,

pertanggungjawaban

penyaluran,
pengelolaan

pendanaan penanganan konflik sesuai dengan yang diamanatkan oleh


Undang- Undang.
8) Selain itu peraturan pemerintah yang akan disusun juga perlu
memasukkan

hal-hal

sebagai

berikut:

1)

Perlu

adanya

koordinator

penanganan konflik sosial di tingkat nasional yang ditetapkan secara definitif.


2) Penempatan desa/kelurahan sebagai media utama dalam perwujudan
masyarakat

inklusif

secara

terencana,

terarah,

terkoordinasi,

dan

berkelanjutan. 3) Pelindungan dan upaya memperjuangkan hak dasar korban


konflik dan keluarganya. 4) Penguatan kepranataan tingkat dasar untuk
kesiapsiagaan, operasi sosial, pemulihan sosial, dan harmonisasi

You might also like