Professional Documents
Culture Documents
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan
inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Diskusi PBL Sistem Neuropsikiatri modul
lumpuh anggota gerak tepat pada waktunya sesuai jadwal yang ditentukan.
Adapun tujuan pembuatan laporan ini sebagai hasil diskusi kelompok 3 mengenai
berbagai penyakit pada sistem Neuropsikiari pada kehidupan sehari-hari khususnya tentang
penyakit terkait dengan lumpuh pada anggota gerak pada sistem Neuropsikiatri.
Tentunya laporan ini pun masih ada kekurangannya,maka dari itu kritik dan saran yang
membangun sangatlah penulis butuhkan demi kesempurnaan laporan yang telah penulis buat
ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
tutor pembimbing dr.Farsida,MPH yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada penulis dalam menyelesaikan laporan diskusi ini. Dan tak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada segenap pihak yang telah banyak membantu baik secara moril maupun materil
hingga laporan ini dapat terselesaikan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membaca.
Jakarta,2
2016
Penulis
Maret
BAB I
PENDAHULUAN
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan bermacam-macam
gejala lumpuh anggota gerak yang kemungkinan disertai dengan gangguan kejiwaan yang
dapat menyertainya, meliputi diagnosis, penanganan, dan rehabilitasi penderita dengan
gangguan lumpuh anggota gerak.
yang ada
2.3.2. Menguraikan struktur histologis dari sel pada cornu anterior, posterior
maupun lateral.
2.3.3. Menguraikan struktur histologis dari susunan saraf otonom pada spinal.
2.3.4. Menguraikan struktur histologis dari reseptor saraf perifer.
2.4. Menjelaskan fisiologi susunan saraf pusat yang ada hubungannya dengan gangguan
lumpuh anggota gerak
2.4.1. Menjelaskan dasar biolistrik/transmitter dalam tubuh sehubungan dengan
lumpuh anggota gerak.
2.4.2. Menjelaskan proses transmisi sinaptik dan otot dalam kaitannya dengan
lumpuh anggota gerak.
2.4.3. Menjelaskan sistem saraf
anggota gerak.
2.4.4. Menjelaskan fungsi motorik korteks serebri dan ganglia basalis dalam
kaitannya dengan lumpuh anggota gerak.
2.4.5. Menjelaskan fungsi intelektual otak, memori dan proses belajar dalam
kaitannya dengan lumpuh anggota gerak.
2.4.6. Menjelaskan
dengan kecemasan.
2.4.7. Menjelaskan neurofisiologis tidur dan bangun dalam kaitannya dengan
lumpuh anggota gerak.
2.5. Menjelaskan fisiologi susunan saraf perifer yang ada hubungannya dengan
gangguan lumpuh anggota gerak
2.5.1. Menjelaskan dasar biolistrik/transmitter dalam tubuh sehubungan dengan
lumpuh anggota gerak.
2.5.2. Menjelaskan proses transmisi sinaptik dan otot dalam kaitannya dengan
lumpuh anggota gerak.
2.5.3. Menjelaskan sistem saraf
anggota gerak
2.5.4. Menjelaskan fungsi motorik pada cornu anterior-posterior serta lateral
dalam kaitannya dengan lumpuh anggota gerak.
2.6. Menjelaskan tentang substansi biokimia yang berperan dalam lumpuh anggota
gerak.
2.7. Menjelaskan gambaran hisopatologis susunan saraf dan mekanisme lumpuh pada
penyakit-penyakit dengan lumpuh anggota gerak.
2.7.1. Menjelaskan dan menggambarkan histo-patologi susunan saraf pusat
maupun perifer.
2.7.2. Menjelaskan dan menggambarkan histo-patologi susunan saraf otonom
pada penyakit-penyakit dengan lumpuh anggota gerak.
3. Menjelaskan cara diagnosis penyakit-penyakit dengan lumpuh anggota gerak :
3.1.
3.2.
Menjelaskan tentang pemeriksaan fisik yang dilakukan utnuk diagnosis penyakitpenyakit dengan lumpuh anggota gerak; tanda UMN dan LMN.
3.3.
3.4.
3.4.2.
4.2.
6. Memahami etika, moral dan profesionalisme dalam menanggulangi penyakit dengan gejala
lumpuh.
6.1.
6.2.
6.3.
6.4.
Mengenali dan menghadapi perilaku yang tidak professional dari anggota lain.
dalam tim pelayanan kesehatan untuk menangani penyakit dengan gejala lumpuh.
SKENARIO 3
Seorang laki-laki umur 50 tahun datang ke poliklinik jam 8 pagi dengan keluhan tadi pagi kirakira jam 7 pagi saat bercermin penderita merasa muka sebelah kanan seperti tertarik kesebelah
kiri. Disamping itu mata kanan penderita tidak dapat ditutup dengan sempurna seperti mata
kiri. Penderita datang sendiri ke poliklinik karena khawatir menderita serangan stroke.
Penderita 10 tahun menderita hipertensi. Akan tetapi teratur minum obat dan diit sesuai anjuran
dokter saat control terakhir 1 minggu yang lalu tensi 130/85. Malam sebelum kejadian
penderita sampai malam menonton wayang dan muka sebelah kanan ditiup kipas angina. Pagi
ini penderita merasa pegal sekitar telinga kanan
KATA SULIT :
KATA/KALIMAT KUNCI:
1
Laki-laki 50 tahun
MIND MAP:
BAB II
PEMBAHASAN
1.Jelaskan anatomi sistem syaraf yang berkaitan dengan skenario!
Anatomi nervus fasialis
Nervus fasialis (N.VII) merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi
wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata
dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi
eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan
sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1) Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae
(n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah).
2) Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3) Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4) Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
os.petrosum melalui Meatus Astcuticus Internus (MAI), sampai ke cavum timpani bergabung
dengan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari
ganglion ini N.VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum yang
menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis.
N.fasialis keliuar dari tengkorak melalaui foramen stilomstoideus memberikan cabang untuk
mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.frontalis sampai M.platisma.
Arteri serebeli inferior anterior yang memberi perdarahan pada saraf pada fossa
posterior. Cabang pembuluh darah ini, yaitu arteri auditori interna, memberi darah
pada nervus fasialis di dalam kanalis auditori interna. Ujung dari cabang-cabang
arteri ini memberikan aliran darah pada saraf sampai ganglion genikulatum.
Cabang petrosal dari arteria meningea media memasuki kanalis falopii pada
ganglion geniculatum dan bercabang menjadi cabang-cabang ascendens dan
descendens. Cabang descendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen
Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Otot-Otot Wajah Beserta Fungsinya
No
Nama Otot
Fungsi
Persarafan
M.Frontalis
Mengangkat alis
N. Temporalis
M.Corrugator supercili
N. Zigomatikum dan
1
2
N.Temporalis
M.Procerus
3
N. Zigomatikum,
alis
N.Temporalis,
N. Buccal
M. Orbicularis Oculli
N.Fasialis, N.Temporalis,
N. Zigomatikus
M. Nasalis
Mengembang
N. Fasialis
5
Kan cuping hidung
M. Depresor anguli oris
N. Fasialis
6
M. Zigomaticum mayor dan Tersenyum
7
N. Fasialis
M. Zigomatikum minor
M. Orbicularis oris
Bersiul
N. Fasialis
8
N. Zigomatikum
M. Buccinator
N. Fasialis,
9
N. Zigomatikum,
N. Mandibular,
N. Buccal
M. Mentalis
Mengangkat dagu
N. Fasialis dan
10
N. Buccal
M. Platysma
N. Fasialis
11
Sekitar 90% sel-sel di dalam SSP bukanlah neuron tetapi sel glia atau neuroglia.Walaupun
jumlahnya besar, sel glia hanya menempati separuh dari volume otak karena sel-sel ini tidak
memiliki cabangcabang ekstensif seperti neuron.Tidak seperti neuron sel glia tidak memulai
atau menghatarkan impuls saraf.Namun sel-sel ini penting untuk viabilitas SSP, yaitu sebagai
jaringan ikaat SSP dan membantu menunjang neuron baik secara fisik ataupun
metabolik.Terdapat empat jenis sel glia di SSPyaitu astrosit, oligodendrosit, sel ependimal, dan
microglia.Astrosit memiliki fungsi yang penting yaitu sebagai perekat utama yang menyatukan
neuron-neuron dalam hubungan spatial yang sesuai.Oligodendrosit berfungsi membentuk
sarung myelin insulatif yang mengelilingi akson pada SSP. Sel ependimal berfungsi membatasi
rongga-rongga internal SSP. Mikroglia adalah penyapu SSP. Sel-sel ini sebagai sel fagositik
yang berasal dari darah dan masuk ke jaringan saraf pusat.
Jaringan saraf pusat sangatlah lembut(lunak). Sifat ini ditambah dengan kenyataan bahwa sel
saraf yang rusak tidak dapat digantikan karena neuron tidak mampu membelah diri,
meyebabkan jaringan yang rapuh dan tidak tergantikan ini harus terlindungi dengan baik.
Terdapat empat keistimewaan yang melindungi SSP yaitu: 1) SSP terbungkus oleh struktur
tulang yang keras seperti cranium yang melindungi otak dan kolumna vertebralis yang
mengelilingi korda spinalis, 2) terdapat tiga membrane yang melindungi dan mengandung zat
makanan, yaitumenings yang terletak antara tulang penutup dan jaringan saraf yang terdiri
atas durameter(lapisan luar) yaitu selaput keras yang berasl dari jaringan ikat tebal dan kuat, di
bagin tengkorak terdiri dari selapu tulang tengkorak dan durameter propia di bagian
dalam, arakhnoid yaitu
selaput
halus
yang
memisahkan
durameter dengan
piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf
sentral, yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid
melalui struktur-strutur jaringan ikat yang disebut trabekel. Di dalam piameter terdapat
cairan serebrospinalis yaitu
cairan
yang
bersifat
alkali
bening
mirip
plasma
dan
dihasilkan pleksus coroideus yang ditemukan di daerah-daerah tertentu rongga ventrikel otak
dan medula spinalis.Cairan ini berfungsi untuk memberi kelembapan pada otak dan medula
spinalis, melindungi alat-alat dalam medulla spinalis dan otak dari tekanan, serta melicinkan
alat-alat dalam medulla spinalis dan otak.
Sitem saraf pusat terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang.
1.1 Otak Manusia
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting dan vital bagi manusia yaitu untuk mengatur
segala pusat aktivitas manusia. Otak terletak dalam rongga cranium berkmbang dari ssebuah
tabung yang mulanya memperlihatkan tiga pembesaran otak awal yaitu: (1) otak depan menjadi
hemisfer serebri, corpus serebri korpus striatum thalamus serta hipotalamus. Fungsi menerima
dn mengintegrasikan informasi mengenai kesadran dan emosi, (2) otak tengah mengkoordinir
otot yang brhubungan dengan penglihatan dan pendengara. Otak ini menjadi tegmentum, krus
serebrium, korpus kuadrigeminus, (3) otak belakang (pons), bagian otak yang menonjol
kebanyakan tersusun dari lapisan fiber dan masuk sel yang mengontrol sistem pernapasan.
Otak dilindungi oleh kulit kepala, rambut, tulang tengkrak, columna vertebralis dan
meningen.Kapiler otak dikelilingi oleh tonjolaan-tonjolan astrosit yang bertanggung
jawab secara fisik membentuk sawar darah otak. Walaupun banyak zat dalam darah yang tidak
pernah benar-benar berkontak dengan jaringan otak, otak melebihi jaringan lain, yang dapat
menggunakan sumber bahan bakar yang lain untuk menghasilkan energy sebagai pengganti
glukosa. Dalam keadaan normal otak hanya menggunakan glukosa tetapi tidak menyimpan zat
ini.Dengan demikian otak bergantung pada pasokan oksigen dan glukosa yang adekuat serta
kontinu. Otak merupakan suatu keseluruhan fungsi yang tersusun atas beberapa daerah yang
berbeda yaitu:
1.1.1
Batang Otak
Batang otak merupakan daerah paling tua dan paling kecil di otak, bersambungan dengan korda
spinalis.Bagian ini mengatur dan mengontrol banyak prosses untuk mempertahankan hidup,
misalnya bernapas, sirkulasi dan pencernaan. Proses-proses diatas disebut dengan proses
vegetative. Batang otak merupakan struktur pada bagian posterior (belakang) otak. Batang otak
merupakan
sebutan
untuk
kesatuan
dari
tiga
struktur
yaitu medulla
kendalikan oleh otak kiri dan bagian tubuh kiri dikendalikan oleh otak kanan.Batang otak
merupakan tempat melekatnya seluruh saraf kranial, kecuali saraf I dan II yang menempel
pada cerebrum (otak besar). Batang otak terdri dari:
a.
Diensepalon, yaitu bagian otak paling atas, trletak diantara serebelum dengan
mesensepalon, yaitu kumpulan sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis ddan
terdapat kapsula interna yang menghadap ke samping. Fungsi dari diensepalon yaitu, a) vaso
kontruktor yaitu mengecilkan pembuluh darah, b) respiratori yaitu membantu proses
pernapasan, c) mengontrol gerakan reflek, d) membantu pekerjaan jantung.
b.
Mesensepalon terdiri atas 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 disebelah atas yang disebut
Medula Oblongata atau sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari
medula spinalis menuju ke otak. Medulla oblongata merupakan bagian dari batang otak yang
paling bawah yang menghubungkan vons varoli dengan medulla spinalis Sumsum sambung
juga mempengaruhi jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume
dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan. Selain itu,
sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.
d.
Pons Varoli berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian kiri dan kanan,
juga menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang. Jembtan varol terletak di depan
serebelum diantara otak tengah dan medulla oblongata. Pada jembatan parol terdapat
premotoksid yang mengatur gerakan pernapasan dan reflek.
1.1.2 Otak Besar
Otak besar atau serebrum merupakan bagian terbesar dari otak manusia, dibagi menjadi dua
belahan yaitu hemisfer sereberum kiri dan kanan. Keduanya dihubungkan satu sama lain
oleh korpus kalosum, suatu pita tebal yang mengandung sekitar 300 juta akson saraf melintang
diantara kedua hemisfer. Setiap hemisfer terdiri dari sebuah substansia grisea (bahan abu-abu)
atau korteks sereberum yang menutupi bagian tengah yang lebih tebal yaitu substansia alba
(bahan putih). Jauh di sebelah dalam substansia alba terdapat substansia grisea yang lain yaitu
nucleus-nukleus basal. Di seluruh SSP, substansia grisea terdiri dari badan-badan sel saraf ang
terkemas rapat dengan dendrit-dendrit mereka dan sel-sel glia. Berkas atau traktus serat-serat
saraf bermielin membentuk substansia alba. Substansia alba berpenampakan putih yang
disebabkan oleh komposisi lemak myelin.
Korteks serebrum terorganisasi menjadi enam lapisan berbatas tegas berdasarkan distribusi
badan sel yang bervaariasi dan serat-serat terkait lain dari beberapa jenis sel tertentu. Lapisanlapisan ini tersusun atas kolom-kolom fungsional, yang berjalan tegak lurus dari permukaan ke
bawah menelusuri kedalaman korteks sampai substansia alba yang mendasarinya. Daerahdaerah korteks bertanggung jawab terhadap persepsi indera-indera memiliki lapisan 4 yang
berkembang, suatu lapisan yang kaya akan sel stelata, yang berperan dalam pengolahan awal
masukan sensorik ke koorteks. Sebaliknya daerah korteks yang mengontrol keluaran ke otot
rangka mempunya 5 laisan yang menebal, yang sangat banyak mengandung sel piramida
besar.Sel-sel ini mengirim serat-serat korda spinalis dari korteks untuk berakhir di berbagai
neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka.
Pada otak besar ditemukan 4 lobus yaitu:
a.
Lobus frontalis
Terletak di korteks bagian depan bertanggung jawab terhaddap 3 fungsi utama yaitu: (1)
aktivitas motorik volunteer, (2) kemampuana berbicara, (elaborasi pikiran). Daerah di lobus
frontalis belakang tepat di depan sulkus sentralis akhir di neuron-neuron motorik eferen yang
mencetuskan kontraksi otot rangka di sisi kanan tubuh. Stimulasi daerah-daerah yang berlainan
di korteks motorik primer yanh menyebabkan timbulnya gerakan di bagian-bagian tubuh yang
berbeda.Seperti homonkulus motorik yang melukiskan lokasi dan jumlah relative korteks
motorik yang diabdikan sebagai keluaran ke otot-otot tiap-tiap bagian tubuh.
b.
Lobus parietalis
Terletak di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco oksipitalis yang berjalan ke
bawah di bagian tengah permukaan lateral tiap-tiap hemisfer. Lobus parietalis menerima kesan
indra yang berbeda dari seluruh tubuh dan dapat merasakan "sakit" atau bug merangkak pada
satu lengan, kaki, atau wajah. Fungsi lobus parietalis: lobus parietalis menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum, lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya,
kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan, kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk
melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah
kiri-kanan, kerusakan yang luar bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk
yang sebelumnya dikenal dengan baik. Lobus parietalis juga dianggap sebagai "lobus tangan"
dan menerima sensasi sensoris dari tulang, tendon, otot, dan kulit tangan.
c.
Lobus Temporalis
Lobus temporalis berada di bawah sylvian fissure dan di anterior korteks oksipital dan
parietal. Fungsi Lobus Temporal: dalam lobus temporalis terdapatprimary auditory cortex, the
secondary auditory, dan visual cortex, limbic cortex, dan amygdala. Tiga fungsi basis dari
korteks temporal adalah memprosesinput auditori, mengenali objek visual, dan penyimpanan
jangka lama dari input sensori, ditambah dengan fungsi amigdala, yaitu nada afeksi (emosi)
pada input sensori dan memori.
d.
Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis adalah bagian korteks serebri yang terletak di belakang dan berhubungan
dengan penafsiran rangsangan visual. Korteks visual primer, yang menerima dan menafsirkan
informasi dari retina mata, terletak di lobus oksipitalis.Kerusakan pada lobus ini dapat
menyebabkan masalah penglihatan seperti kesulitan mengenali objek, ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi warna, dan kesulitan mengenali kata-kata.
Selain terdiri atas empat lobus otak besar juga memiliki area khusus. Somatic sensoryadalah
area yang menerima impuls dari reseptor sensory tubuh. Primary motor area adalah yang
mengirim impuls ke otot skeletal. Brocaas area adalah terlibat dalam kemampuan bicara.
1.1.3
Otak Kecil
Otak kecil atau cerebellum terletak dalam fosa cranial posterior, dibawah tentorium
cerebellum bagian posterior dari pons varoli dan meula oblongata.Cerebelum mempunyai 2
hemisfer yang dihubungkan oleh fermis. Otak kecil terdiri atas dua belahan dan permukaanya
berlekuk-lekuk.Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur sikap atau posisi tubuh,
keseimbangan, dan koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar.Jika terjadi cedera pada
otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot.Gerakan
menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke
dalam mulutnya.
1.2.1 Medula Spinalis
Medulla spinalis atau yang sering disebut dengan korda spinalis yang terbentang dari foramen
magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus
terminalis atau conus medullaris..Pada medulla spinais juga terdapat substansia grisea.
Berlainan dengan substansa yang ada pada oak, substansia grisea yang ada pada medulla
spinalis berbentuk seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba.
Sama halnya seperti otak, substansia pada medulla spinalis tersusun atas badan-badan sel saraf
beserta dendritnya, antar neuron pendek dan sel-sel glia. Substnsi alba tersusun menjadi traktus
yaitu berkas-berkas serat saraf dengan fungsi serupa. Sebagian besar adalah traktus asendens
(korda ke otak), dan traktus desndens (dari otak k). Substansi abu-abu membentuk seperti huruf
H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan Comissura abu-abu. Bagian
Posterior sebagai input /afferent, anterior sebagai Output/efferent, comissura abu-abu untuk
refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin.
Korda spinalis memiliki fungsi sebagai penghubung untuk menyalurkan informasi antara otak
dan bagian tubuh lainnya, serta mengintegrasikan aktivitas reflek antara masukan aferen dan
keluaran eferen tanpa melibatkan otak, untuk pernapasan, gerakan menelan, dan berperan
dalam muntah.
2.
Sistem saraf perifer terdiri dari serat-serat saraf yang membawa informasi antara SSP di
bagian-bagian lain tubuh.Sistem saraf perifer terdiri atas sisten saraf cranial dan sistem saraf
spinal. Sistem saraf cranial terdiri atas 12 saraf yaitu:
Nama Saraf Tipe
Fungsi
Olfaktori
Sensorik
Penciuman
Optik
Sensorik
Penglihatan
Okulomotor Motorik
Troklear
Motorik
Trigeminal
Abdusena
Motorik
Fasial
Sensorik
Aksesori
Motorik
Hipoglossal Motorik
Sistem
saraf
otonom
dapat
dibagi
sistem
sarafparasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada
posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang
belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion
pendek,sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang panjang karena
ganglion menempel pada organ yang dibantu. Sistem saraf ini seringkali memiliki aksi
antagonistic.Sebagai contohnya, sistem saraf parasimpatik menyebabkan konstraksi pupil mata,
menstimulasi pengeluaran saliva, dan memperlambat denyut jantung, sistem saraf simpatik
memiliki efek yang berlawanan. Keadaan tubuh yang normal ( di suatu tempat di antara
ekstrem eksitasi dan plasiditas vegetative) dipertahankan oleh keseimbangan di antara kedua
sistem ini. Fungsi-fungsi saraf otonom dapat dibedakan menjadi tabel berikut ini :
Parasimpatik
mengecilkan pupil
membesarkan bronkus
Reflek adalah respon yang tidak berubah terhadap rangsangan yang terjadi di luar
kehendak.Rangsangan ini merupakan reaksi organisme terhadap perubahan lingkungan, baik
dalam maupun luar organisme.Reflek dapat berupa peningkatan atau penurunan kegiatan
misalnya kontraksi otot atau relaksasi otot.
Jalur-jaur saraf yang berperan dalam pelaksanaan aktivitas rfleks disebut lengkung reflek.
Komponen-komponen yang dilalui reflek adalah reseptor rangsangan sensoris yang peka
terhadap suatu rangsangan misalnya kulit, neuron aferen atau sensoris yang dapat
mnghantarkan impus menuju ke susunan saraf pusat yaitu medulla spinais, pusat saraf atau
pusat sinaps yang merupakan tempat integrasi di mana masuknya sensoriss dan dianalisis
kembali ke neuron eferen, neuron eferen atau motorik yang menghantarkan impuls ke perifer,
dan alat efektor yang merupakan tempat terjadinya reaksi yang diwakili oleh suatu serat otot
atau kelenjar.
Jenis reflek dikelompokan ke dalam beberapa bagian diantaranya:
1.
Jenis reflek berdasarkan letak reseptor yaitu: reflek ekstroseptif yang timbul karena
rangsangan pada reseptor permukaan tubuh, reflek interoreseptif timbul karena rangsangan
yang timbul pada alat dalam tubuh atau pembuluh darah, dan reflek proreseptif timbul karena
rangsangan pada otot, tendo, dan sendi untuk keseimbangan.
2.
Jenis reflek berdasarkan bagian saraf pusat yaitu: reflek spinal melibatkan neuron di
medulla spinalis, reflek bulbar melibatkan neuron di medulla oblongata, reflek kortikal
melibatkan neuron korteks serebri.
3.
Jenis reflek berdasarkan timbulnya yaitu: reflek tak bersyarat, reflek yang dibawa sejak
lahir dan bersifat menetap, reflek bersyarat adalah reflek yang di dapat saat pertumbuhan yang
berdasarkan pengalaman hidup.
4.
Jenis reflek berdasarkan jumlah neuron yaitu: reflex monosinaps yang melaui proses satu
sinaps
dan
dua
neuron
yang
langsung
berhubungan
dengan
saraf
pusat, reflek
polisinaps melalui beberapa interneuron yag menghubungkan aferen dengan eferen, reflek
patologis biasanya terjadi pada anak bayi
HUBUNGAN NYA DENGAN SKENARIO
Nervus fasialis
Nervus facialis bersifat somatomotorik, viseromotorik, dan somatosensorik. Serat-serat
Upper Motor Neuron (UMN) dan N.facialis (N.VII) berasal dari korteks serebri hingga nukleus
N.fasialis. daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis, serat-serta
ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsula interna (sebagai traktus pontes) ke basis
pedunkuli dan berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari N.VII yang menginervasi
bagian atas wajah berasal dari korteks yang kontralateral saja. Daerah motorik kedua, terletak
di lobus temporalis.
Serat-serat Lower Motor Neuron (LMN) berasal dari nukleus N.VII ke bawah. Serabut
N.fasialis meninggalkan batang otak bersama N.Oktavus dan N.Intermedius masuk ke dalam
os.petrosum melalui MAI, sampai ke cavum timpani bergabung dengan ganglion genikulatum
sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini N.VII bercabang ke
ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum yang menghantarkan impuls sekretomotorik
untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis. N.fasialis keliuar dari tengkorak melalaui
foramen stilomstoideus memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari
M.frontalis sampai M.platisma.
3.Jelaskan mengapa wajah kanan tiba-tiba terasa seperti tertarik kearah kiri?dan adakah
hubungannya dengan mata sulit menutup?
Nucleus komponen motoric nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral tegmentum
pontis.neuron nucleus motoric ini analog dengan sel-sel kornu anterius medulla spinalis,tetapi
secara embriologi berasal dari lengkung brankhialis kedua.Serabut radiks nucleus ini memiliki
perjalanan yang rumit.Di dalam batang otak serabut ini berjalan memutari nucleus
abdusens(membentuk yang disebut genu internum nervus fasialis),sehingga membentuk
penonjolan kecil di dasar ventrikel keempat(kolikulus fasialis).Kemudian serabut ini
membentuk berkas yang padat,yang berjalan di ventrolateral menuju ujung kaudal pons dan
kemudian keluar batang otak,menembus ruang subrakhnoid di cerebellopontine angle,dan
kemudian memasuki meatus akustikus internus bersama dengan nervus intermedius dan nervus
kranialis VIII.Di dalam meatus,nervus fasialis dan nervus intermediusterpisah dari nervus
kranialis VIII dan berjalan kea rah lateral di kanalis fasialis.Setinggi ganglion,kanalis fasialis
menurun curam(genu eksternum nervus fasialis).Pada bagian ujung bawah kanalis
fasalis,nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum.Masing-masing
serabut motoriknya kemudian di distribusikan ke seluruh region wajah(beberapa di antaranya
ada yang berjalan melalui glandula parotidea terlebih dahulu).Serabut-serabut tersebut
mempersarafi semua otot ekspresi wajah yang berasal dari lengkung brankhialis kedua,yaitu
m.orbikularis oris dan m.orbikularis okuli,m.businator,m.oksipitalis,m.frontalis dan otot-otot
yang lebih kecil di daerah ini dan juga m.stapedius,m.platisma,m.stilohideus,dan venter
posterior m.digastrikus.
Traktus
sampai sacral. Serabut-serabut spinalis yang melalui piramide modula oblongata membentuk
traktus piramidalis. Serabut - serabut saraf dalam traktus kortikospinalis merupakan penyalur
gerakan voluntary, terutama gerakan halus, disadari, dan mempunyai ciri tersendiri.
LMN mencakup sel-sel motoric nuclei nervus kranialis dan aksonnya serta sel-sel
kornu anterior medulla spinalis dan aksonnya. Serabut-serabut motorik keluar melalui radiks
anterior atau motorik medulla spinalis, dan mempersarafi otot-otot. Lesi pada UMN dan LMN
menyebabkan perubahan-perubahan khas pada respon otot. Pengetahuan mengenai perbedaan
kelemahan otot akan mempermudah menentukan letak lesi neurologis tersebut.
Perbedaan antara Kelemahan UMN dan LMN.
UMN : kehilangan kontrol volunter, peningkatan tonus otot, spastisitas otot, tidak ada atropi otot, reflek
hiperaktif dan abnormal.
LMN : kehilangan kontrol volunter, penurunan tonus otot, paralysis flaksid otot, atropi otot, tidak ada atau
penurunan reflek.
Upper Motoneuron,
Tanda-tanda kelumpuhan UMN :
1
2
3
Hiperefleksia
Merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan ekstra pirimidal
tidak dapat disampaikan kepada motoneuron.
Klonus
Hiperefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot reflektorik,
yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.
5
6
7
Reflex patologik
Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Reflex automatisme spinal
Lower Motoneuron,
Tanda-tanda kelumpuhan LMN :
Seluruh gerakan, baik yang voluntary maupun yang reflektotik tidak dapat
Karakteristik
Jenis dan distribusi kelemahan
UMN
LMN
Lesi di otak : distribusi Bergantung
piramidalis
distal
yaitu
terutama
LMN
yang
di
medulla
spinalis
Tonus
tungkai
Hanya sedikit
Refleks
disuse atropi
Meninggi : Babinski positif
Tidak
Seringkali ada
Babinski negative
Ada
Tidak ada.
Fasikulasi
Klonus
6. Apa hubungan terkena angin selama berjam-jam di malam hari dengan penyakit pada
skenario!
Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold,
nervus fasialis bisa sembab. Karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan tersebut dinamakan Bellss Palsy .
Bagian atas dan bawah dari otot wajah semuanya lumpuh. Dahi tidak dapat kerutkan. Fissure
palpebral tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam ke atas terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak dapat diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan plastima
tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmus, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
karena tertimbun disitu.
( Source: Neurologi Klinis Dasar)
Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis
atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
( Source: bells-palsy-referat.html )
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
Mengerutkan dahi
Memejamkan mata
Mengembangkan cuping hidung
Tersenyum
Bersiul
Mengencangkan kedua bibir
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Dua
Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian,
pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila
terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar
lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan
Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya
kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas
normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Pemeriksaan Penunjang
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis
dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis
tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien
yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi
sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras
saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor
kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi
intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai
nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial
EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive- value (PPV)
100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi
saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1
ipsilat- eral.11 Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.
Abnor- malitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan
dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat
juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari
4.
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan
faradisasi.
Pasien juga diajarkan untuk melatih gerakan-gerakan didepan kaca seperti : mengangkat
alis dan mengerutkan dahi keatas, menutup mata,tersenyum, bersiul, menutup mulut dengan
rapat, mengangkat sudut bibir ke atas dan memperlihatkan gigi-gigi, mengembangkempiskan
cuping hidung, mengucapkan kata-kata labil a,i,u,e,o minimal 4x sehari selama 5-10 menit.
Manifestasi
klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tu- mor yang
menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen.
Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter pelayanan primer agar tata
laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis banding yang mungkin
didapatkan.
Etiologi dan Patofisiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas
sebagai etiologi penyakit ini.
Manifestasi Klinis
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda.Bila lesi di foramen
stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi
wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells
phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis
yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan
dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air
liur keluar dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga ante- rior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri ter- hadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan
menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapanyang
dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan
makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur
keluar dari sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid
ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga ante- rior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri ter- hadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan
menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.
Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini
akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta
menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan
terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang
membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah
tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas
dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang
lumpuh. Pemeriksaan Penunjang
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
2. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal,
otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI
dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
3. Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai
positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%.
Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound
Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada
pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.
Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini
rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
Tata Laksana
Terapi Non-farmakologis
1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur),
kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan
bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).Masase dari otot yang lemah dapat
dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan
melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan
saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14
hari onset.
2. Rehabilitasi
fasial
meliputi
edukasi,
pelatihan
neuro-muskular,
masase,
Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringansedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah
dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,
namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan
disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah
yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di
depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar
visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama
prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi
hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon
(maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka
panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan
dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa
penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy, adalah
(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh
atau beberapa muskulus fasialis
(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama
dengan stimuli normal)
(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau
pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa
bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata
pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial
spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada
satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak
terjadi bersamaan).
Prognosis
Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60%
kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten,
dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Diagnosis klinik
Diagnosis klinis
Viral infection
Diagnosis topis
Diagnosis patofisiologis
Diagnosis
Inflamasi
Bells falsy kanan DD/ Hemifaresis Dextra Suspect Stroke
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik
(kausal):
a. Berdasarkan manifestasi klinik:
i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.
b. Berdasarkan Kausal:
i. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di otak.
Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang
kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang
diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga
diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein
(LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah
ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan
merupakan indikator penyakit aterosklerosis.
ii. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang
lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah
tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.
Gejala Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung
pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah
terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan
atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
ix. Gangguan pendengaran.
x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
i. Koma
ii. Hemiparesis kontra lateral.
iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia).
iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua yaitu,
Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran
melalui perkataannya sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara
orang lain tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti
pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan
lancar, walau sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya
kerusakan otak.
ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan
dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal alexia adalah
ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah
ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi
ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak.
iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah
terjadinya kerusakan otak.
v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat
kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan yang
sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering
bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari
yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan
jarang terjadi pada anak yang usianya dibawah 6 tahun. Selain itu SRH juga dikatakan menjadi
penyebab dari Bells Palsy sebanyak 20% dari kasus yang ada.
ETIOLOGI
Virus Herpes Zoster (sejenis dengan virus cacar air) mengenai saraf kulit sesisi tubuh. Virus ini
umumnya menyerang manusia dan menyebabkan demam yang sangat berat. Virus Varicella
Zoster juga menyebabkan dua penyakit lain, yaitu penyakit ruam saraf (suatu infeksi atau
peradangan yang mempengaruhi saraf, disebut juga "dorsal roots" dan terjadi pada batang
otak) dan chicken pox (suatu penyakit yang ditandai oleh satu ruam yang gatal, biasanya pada
anak-anak).
Virus varisela zoster, yang dorman pada sel ganglion radiks dorsalis setelah infeksi cacar air
sebelumnya, dapat tereaktivasi sebagai herpes zoster. Pasien mengalami nyeri local dan gatal
sebelum munculnya ruam bervesikel pada kulit. Beberapa varian dari herpes zoster salah
satunya adalah Sindrom Ramsay Hunt (SRH), dengan palsi fasialis unilateral tipe LMN dan
vesikel pada kanalis auditorius eksternus. Dapat terjadi nyeri telinga hebat dan kadang disertai
dengan vertigo, tinnitus, dan tuli (zoster otikus).
Virus Varicella Zoster menyebabkan dua jenis penyakit, SRH dan penyakit lain yang
menyebabkan paralysis fasial, yaitu Bell's Palsy. Virus ini diyakini menginfeksi saraf fasial
dekat labirin, yang pada kondisi tertentu mengakibatkan peradangan lokal berupa iritasi dan
bengkak. Gejala-gejala yang timbul menggambarkan tingkat keparahan dari inflamasi saraf
yang terjadi.
PATOGENESIS
Pada tahap awal virus varisela zoster masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas atas dan
mukosa konjungtiva, kemudian bereplikasi pada kelenjar limfe regional dan tonsil. Virus
kemudian menyebar melalui aliran darah dan berkembang biak di organ dalam. Fokus replikasi
virus terdapat pada system retikuloendotelial hati, limpa dan organ lain. Pada saat titer tinggi,
virus dilepaskan kembali ke aliran darah (viremia kedua) dan membentuk vesikel pada kulit
dan mukosa saluran nafas atas. Kemudian berkembang dan menyebar melalui saraf sensoris
dari jaringan kutaneus, menetap pada ganglion serebrospinalis dan ganglion saraf kranial.
Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus varisela zoster yang menetap pada ganglion
genikulatum dan proses ini disebut dengan ganglionitis. Ganglionitis menekan selubung
jaringan saraf, sehingga menimbulkan gejala pada nervus VII. Peradangan dapat meluas
sampai ke foramen stilomastoid. Gejala kelainan nervus VIII yang juga dapat timbul akibat
infeksi padaganglion yang terdapat di telinga d alam atau penyebaran proses peradangan dari
nervus VII. Lokasi ruam bervariasi dari pasien ke pasien, seperti halnya wilayah dipersarafi
oleh nervus intermedius (yaitu, bagian sensorik dari CN VII). Daerah ini mungkin termasuk
anterior dua pertiga dari lidah, langit-langit lunak, kanal auditori eksternal, dan pinna.
GEJALA KLINIS
SRH dapat terjadi pada segala usia, tetapi sebagian besar terjadi antara umur 40 dan 60 tahun.
Eritema dan vesikel-vesikel dapat dilihat di telinga bagian luar dan saluran telinga
bagian luar.
Vertigo dan kehilangan keseimbangan terjadi pada 40% kasus dengan nistagmus ke
arah sisi yang sehat.
DIAGNOSIS
Diagnosis SRH ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Pemeriksaan fungsi
nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan dan evaluasi
pengobatan. Pemeriksaan meliputi fungsi motorik otot wajah, tonus otot wajah, gustatometri
dan tes Schimer.
Dari dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat terkena penyakit
cacar air.Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal berupa nyeri kepala, nyeri telinga,
lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di telinga luar dan sekitarnya,
kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah yang eritema, edema dan disertai rasa
nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler). Gejala-gejala yang
biasanya dikeluhkan adalah nyeri telinga paroksismal, ruam pada telinga atau mulut (80% pada
kasus yang ada, ruam bisa menjadi awal dari adanya paresis), ipsilatereal lower motor neuron
paresis wajah (N. VII), vertigo, ipsilateral ketulian (50% kasus), tinnitus, sakit kepala,
diastrhia, gait ataxia, cervical adenopathy. Nyeri telinga sering kali nyeri menjalar ke luar
telinga sampai ke daun telinga. Nyeri bersifar konstan, difus, dan tumpul. Nyeri muncul
biasanya beberapa jam sampai beberapa hari setelah muncul ruam.
Pemeriksaan dan otoscopy menunjukkan vesikel-vesikel di dalam saluran atau di membrana
tympani. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan
sistim House-Brackmann selain itu derajad dapat digunakan untuk evaluasi.
Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis
dengan tes Schirmer dan tes gustometri. Pemeriksaan N. VII dimulai dari fungsi saraf motorik
dengan cara menggerakkan otot-otot wajah utama di muka, mulai dari mengankat alis (m.
frontalis), mengerutkan alis (m. soucilier), mengakat serta mengeruktan hidung ke atas (m.
piramidalis), memejamkan mata kuat-kuat (m. orbicularis okuli), tertawa lebar sambil
memperlihatkan
gigi
(m.
zygomatikus),
memoncongkan
mulut
ke
depan
sambil
memperlihatkan gigi (m. relever komunis), meggembungkan kedua pipi (m. businator), bersiul
(m. orbicularis oris), menarik kedua sudut bibir ke bawah (m. triangularis), dan
memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan ( m. mentalis). Setiap gerakkan yang
dilakukan dibandingkan kanan dan kiri. Penilaiain yang diberikan adalah angka 3 jika gerakkan
normatl serta simetris, angka 1 jika sedikit ada gerakkan, angka 2 gerakkan yang berada
diantara angka 3 dan 1, angka 0 jika tidak ada gerakkan sama sekali. Tes gustatomeri ini
digunakan untuk menilai n.corda timpani, dengan cara membandingkan ambang rasang antara
sisi lidah kanan dan kiri. Tes Schrimer digunakan untuk mengetahui fungsi serabut serabut
pada simpatis dari N.VII yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor setinggi
genikulatum, dengan cara meletekkan kertas lakmus pada bagian inferior konjungtiva dan
dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis.
Berdasarkan gejala klinis, klasifikasi SRH dibagi menjadi 4 yaitu (1) penyakit yang menyerang
bagian sensoris nervus VII, (2) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus
VII, (3) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII, disertai gejala
gangguan pendengaran, (4) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII,
disertai gejala gangguan pendengaran dan keseimbangan.
Diagnosa:
Klinis: Ramsay Hunt Syndrome
Topis: nn. Cranialis VII.
Etiologis: ganglionitis ec infeksi varicella zoster
PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu pengobatan infeksi virus
akut, pengobatan rasa sakit akut yang berkaitan dengan penyakit tersebut, dan pencegahan
terhadap neuralgia pascaherpes.
Penatalaksanaannya yaitu dengan pengobatan antiviral, seperti acyclovir atau famciclovir yang
direkomendasikan selama 7-10 hari, beserta steroid (seperti prednison) selama 3 -5 hari.
Acyclovir merupakan suatu antivirus yang mencegah sintese DNA dari tipe I dan II HSV
seperti juga pada varicella-zoster virus. Penatalaksanaan selanjutnya sebagian besar
simptomatik dengan obat analgesik, vitamin B kompleks, dan electrotherapy saraf fasial untuk
mencegah atropi.
Evaluasi dari pengobatan SRH ini sendiri dengan melakukan pemeriksaan N.VII secara serial
dan dengan pemeriksaan yang sama selain dari apa yang dikeluhkan oleh pasien. Selain terapi
medikamentosa juga diperlukan edukasi kepada pasien bahwa mungkin saja hilangnya
pendengaran ataupun paralisis wajah yang terjadi adalah menetap meskipun sudah dilakukan
pengobatan.
KOMPLIKASI
Paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau tidak sempurnanya kesembuhan dan
berpotensi untuk menjadi paralysis fasial yang permanen dan synkinesis. Adakalanya, virus
dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke otak dan jaringan saraf dalam tulang
punggung, menyebabkan sakit kepala, sakit punggung, kebingungan, kelesuan, dan
kelemahan.Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan.Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun.
Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita diatas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang
bervariasi. Makin tua penderita makin tinggi persentasenya. Sepertiga kasus diatas usia 60
tahun dikatakan akan mengalami komplikasi ini, sedang pada usia muda hanya terjadi pada 10
% kasus. Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan
akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks. Vesikel sering menjadi ulkus dan jaringan nekrotik.
Paralisis motorik dapat terjadi pada sebagian kecil penderita (1 5 % kasus), terutama bila
virus juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis. Terjadinya biasanya 2
minggu setelah timbulnya erupsi. Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus.
PROGNOSIS
Prognosis SRH dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus, hipertensi dan pemberian terapi yang
cepat. Herpes Zoster Oticus (HZO) memiliki prognosis yang buruk daripada Bells Palsy.
Sekitar setengah dari jumlah pasien SRH masih memiliki gangguan motorik nervus fasial,
hanya sebagian kecil pasien dengan gangguan paralisis komplit. Hasil pemulihan akan lebih
baik jika perawatan dimulai pada hari ke tiga setelah gejala timbul. Kesembuhan yang
sempurna akan tercapai pada 70% kasus jika pengobatan dimulai pada saat ini. Namun, jika
pengobatan tertunda lebih dari 3 hari, kesempatan untuk mencapai kesembuhan sempurna akan
turun sekitar 50
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut hasil diskusi kelompok kami maka kami mengambil Bell palsy sebagai
Working diagnosis.karena gejala yang dikeluhkan oleh pasien merupakan suatu tanda gejala
yang khas yang dapat dijumpai pada penderita Bell palsy,dan tentunya diagnose kami ini akan
diperkuat
diagnosis kami.
REFRENSI:
Frotscher,M.,Baehr,M.2010.Diagnosistopic neurologi Duus:anatomi,fisiologi,tanda,gejala,edisi
4.Jakarta:EGC
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1118/1104
Ginsberg, Lionel. 2011. Lecture Notes Neurology. Jakarta: Erlangga Medical Series
Notoatmodjo, Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan Rineka Cipta, Jakarta,2005.
Arikunto, S, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,2006.
Pujarini LA. Dislipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito
Jogjakarta. Yogyakarta. 2007
Soebroto L. Hubungan Antara Kadar LDL Kolesterol Pada Penderita Stroke di Rumah Sakit
Dr. Moewardi Surakarta. USM. Surakarta. 2010
Darmawan A. Hiperglikemia dan Aterosklerosis Arteri Karotis Interna pada Penderita Pasca
Stroke Iskemik. UNDIP. Semarang.
2010.http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4511117_0126-1762.pdf
(2 februari 2012)
Sudoyo AW. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FUI. Jakarta. 2006