Professional Documents
Culture Documents
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP TRADITIONAL KNOWLEDGE DI MADURA
(Studi Perlindungan Ramuan Asli Madura)
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh :
Moh. Saleh, SH.
B4A 007 093
Pembimbing :
Dr. Budi Santoso, SH., MS.
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP TRADITIONAL KNOWLEDGE DI MADURA
(Studi Perlindungan Ramuan Asli Madura)
Disusun Oleh :
Moh. Saleh, SH.
B4A 007 093
Pembimbing
Magister Ilmu Hukum
Mengetahui
Ketua Program
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem IPR (Intellectual Property Rights) yang telah dibangun oleh
negara-negara maju dan menjadi perjanjian internasional melalui
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs Agreement) yang merupakan Annex 1C dari Ageement
Establishing The World Trade Organizations (WTO) ternyata telah
melahirkan beberapa pertentangan kepentingan antara negara-negara
maju yang menguasai science and technology and capital dengan negaranegara berkembang terkait dengan pemberian perlindungan terhadap
Traditional Knowledge.
Pertentangan kepentingan tersebut terjadi karena disatu sisi sistem
IPR melindungi terhadap invensi negara-negara maju yang bersumber
dari obat tradisional. Akan tetapi di sisi lain, sistem IPR tidak melindungi
terhadap
obat tradisional yang banyak terdapat di negara-negara
berkembang.
Bangsa Indonesia yang kaya akan TK bidang obat tradisional
sebagai warisan budaya dan menjadi indentitas masyarakat lokal telah
banyak dieksploitasi secara komersial dan diklaim sebagai hasil
intellectual property dari negara-negara maju, di antaranya adalah :
1.
Dari 45 jenis obat penting yang terdapat di Amerika Serikat berasal
dari tumbuh-tumbuhan, dan 14 jenis di antaranya berasal dari
Indonesia, seperti tumbuhan tapak dara yang berfungsi sebagai obat
kanker.1
2.
Banyak pemberian hak paten di Jepang atas obat-obatan yang
bahan bakunya bersumber dari biodiversity dan TK Indonesia dan hasil
kompilasi berjumlah 41 paten.2
3.
36 Paten yang didaftarkan oleh perusahaan Kosmetika dan
Farmasi Jepang di Kantor Paten Eropa adalah berasal dari sumber
daya hayati (genetic resources) dan TK masyarakat Indonesia.3
1
Agus Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT.
Alumni, Bandung, hal. 3
Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 101-102
Kholis Roisah, 2008, Hak Kekayaan Intelektual HKI dan Issu Perlindungan HKI
Berbasis TK dan TCe di Indonesia, Makalah Seminar Internasional A Comparative
Legal Study on Some specific Issues in Malaysia and Indonesia, FH Undip,
Semarang Hal. 9
Perumusan Masalah
Bagaimanakah sistem paten memberikan perlindungan hukum
terhadap TK, khususnya di bidang Ramuan Asli Madura ?
2.
Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah di Madura dalam melindungi TK di bidang Ramuan Asli Madura
?
C.
1.
Tujuan Penelitian
Untuk melakukan analisis konseptual yuridis terhadap sistem paten
bagi perlindungan hukum terhadap TK, khususnya di bidang Ramuan
Asli Madura.
2.
Untuk melakukan analisis terhadap upaya yang dapat dilakukan
oleh Pemerintah Daerah di Madura dalam melindungi TK di bidang
Ramuan Asli Madura.
D.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis empiris4.
2.
Spesifikasi Penelitian
Melihat permasalahan di atas, maka spesifikasi yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis 5.
3.
Jenis dan Sumber Data
a.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dan bersumber langsung dari
masyarakat yang termasuk sampel dalam penelitian ini dan merupakan
hasil dari analisis yang dilakukan sendiri 6.
b.
Data Sekunder
Adapun yang dimaksud dengan data sekunder ini adalah data yang
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam data sekunder ini
terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu 7 :
1)
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari beberapa perjanjian
Internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional, di antaranya
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights 1994
dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten serta
beberapa perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
2)
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder ini memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang berasal dari beberapa literatur dan tulisan ilmiah
lainnya yang dapat menjelaskan terhadap permasalahan penelitian ini.
3)
Bahan Hukum Tersier
Sedangkan yang dimaksud dengan bahan hukum tersier adalah bahan
yang memberika penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang dapat berasal dari kamus hukum,
ensiklopedia dan sebagainya.
4.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Penelitian
Kepustakaan dan Dokumentasi (library and documentation research) dan
Penelitian Lapangan (field research)
5.
Populasi dan Sampling
Populasi adalah seluruh objek, seluruh gejala, seluruh unit yang akan
diteliti dalam penelitian ini. Oleh karena populasi itu sangat besar dan
sangat luas dan tidak memungkinkan untuk diteliti secara keseluruhan,
sehingga populasi tersebut hanya cukup diambil sebagian saja untuk
4
Soerjono Soekarto & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
5
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal. 10
6
Soerjono Soekarto, Sri Mamudji, op. cit., hal. 12
7
Ibid., hal. 12-13
diteliti sebagai sampel untuk memberikan gambaran yang tepat dan benar
dalam penelitian ini8.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik Non Random Sampling dengan metode Purposive
Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara memilih
atau mengambil subjek-subjek yang didasarkan pada beberapa tujuan
dalam penelitian ini.9
Adapun beberapa responden yang ditentukan sebagai sampel dalam
penelitian ini adalah terdiri dari :
a.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur di Surabaya.
b.
Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Surabaya.
c.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan di empat Kabupaten
di Madura.
d.
Para Peramu dan Pemilik Perusahaan Ramuan Asli Madura di
empat Kabupaten di Madura sebanyak 12 orang.
6.
PERLINDUNGAN HUKUM
MADURA MELALUI SISTEM PATEN
TERHADAP
RAMUAN
ASLI
1.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalis
Indonesia, Jakarta, hal. 36
Ibid.
11
No
12
13
14
15
Formula adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat dan bahan
tambahan (Pasal 1 angka 17 Peraturan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran).
Komposisi adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan berkhasiat dalam obat
tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Formula adalah susunan kualitatif
dan kuantitatif bahan berkhasiat dan bahan tambahan (Pasal 1 angka 16 Peraturan
Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran).
5
6
7
8
9
10
11
Dalima (Keputihan)
Galian Sehat (Montok)
Pegal Linu
Selokarang
Harumita (Empot Super)
Galian Singset (Susut Perut)
Remaja Puteri
16
17
18
19
20
21
22
13
Hasil wawancara dengan H.Moh. Sholeh, peramu dan pemilik Perusahaan Jamu
dan Kosmetik SUMBER MADU Bangkalan pada tanggal 27 Januari 2009.
Hasil wawancara dengan Ny. Hidayati, peramu dan pemilik Perusahaan Jamu
MADURA AYU Sampang pada tanggal 29 Januari 2009.
4.
Hasil wawancara dengan para pemilik dan peramu Ramuan Asli Madura di empat
Kebupaten di Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten
Pamekasan dan Kabupaten Sumenep (2009).
10
1.
11
Konsep perlindungan Paten terhadap individual rights ini sesuai dengan ketentuan d
dalam konsideran paragraf keempat TRIPs Agreement, yang menyatakan bahwa
IPR adalah untuk melindungi terhdap hak-hak pribadi.
12
Yang dimaksud dokumen Paten adalah dokumen permohonan yang sudah diberi
paten dan telah diumumkan, dokumen tersebut diperlukan untuk mempermudah dan
mempercepat penilaian terhadap sifat kebaruan (novelty) dan langkah inventif dari
Invensi (Penjelasan Pasal 28 ayat ayat (2) huruf b UU Paten).
13
20
21
14
Farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang
dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti
penggunaan obat yang dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakait. Dahulu
farmakologi mengcakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisika,
komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mikanisme kerja, absortsi, distribusi,
biotransformasi, ekspresi dan penggunaan obat. Namun dengan berkembangnya
pengetahuan, beberaa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi ilmu
tersendiri,
di
antaranya
Farmakognosi,
Biofarmasi,
Farmakokinetika,
Farmakodinamika, Toksikologi, Farmakoterapi. Sedangkan cabang ilmu farmakologi
yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
disebut Farmakognosi (Bagian Formakologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2005, Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-4, Cet. 5, Gaya Baru, Jakarta,
hal.1).
15
16
secara jelas dan lengkap sebagaimana struktur dalam deskripsi paten dan
menurut sudut pandang farmakologi. Sebagai solusi atas masalah ini
adalah seorang Apoteker yang menjadi penanggung jawab teknis dalam
proses pembuatan Ramuan Asli Madura harus juga diberikan tugas untuk
bisa mengungkapkan invensi dari Ramuan Asli Madura di dalam deskripsi
paten atau dengan cara meminta bantuan dari Konsultan HKI untuk bisa
mengungkapkan invensi dari Ramuan Asli Madura tersebut dalam
Dokumen Deskripsi Permohonan Pendaftaran Paten.
7.
24
Bunyi Pasal 10 UU Hak Cipta adalah : (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2) Negara
memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik
bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan,
koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3) Untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara
Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam
masalah tersebut.
Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh
kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial
dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara
turun temurun, termasuk: a. cerita rakyat, puisi rakyat; b. lagu-lagu rakyat dan musik
instrumen tradisional; c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional; d. hasil seni antara
lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan
tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional (Penjelasan Pasal 10 ayat (2)
UU Hak Cipta).
17
26
27
Di dalam Pasal 3 ayat (2) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hak Cipta atas
Folklor yang Dipegang oleh Negara dikatakan bahwa yang dimaksud dengan instansi
yang terkait dalam Pasal 10 ayat (2) UU Hak Cipta adalah Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual.
Penerapan pengalihan collective ownership kepada negara sebagai pemegang hak
atas ekspresi folklor tersebut sesuai dengan konsep yang diberikan di Dalam WIPO
Report on Fact Finding Mission on Intellectual Property and Traditional Knowledge
(1998-1999), WIPO sebagai salah organisasi Internasional di bidang IPR telah
memberikan ketentuan bahwa negara dapat menjadi pemegang hak atas TK
(Afrillyanna Purba, et. al., op. cit., hal. 41).
Pengaturan mengenai negara sebagai pemegang hak atas TK bidang obat
tradisional melalui perubahan atas UU Paten sebenarnya bukanlah jalan satu-
18
Pihak Asing
Izin Pemanfaatan
Kepada Pemerintah
Pemanfaatan TK
Bidang Obat
Tradisional
Prior Informed
Consent of
Indigenous Peoples
Keterangan :
1.
Sebelum melakukan kegiatan pemanfaatan atas TK
bidang obat tradisional, pihak asing harus terlebih dahulu
mendapatkan izin pemannfaatan dari instansi Pemerintah yang
ditentukan.
2.
Izin Pemanfaatan atas TK bidang obat tradisional
oleh pihak asing tersebut harus berdasarkan persetujuan dari
masyarakat lokal setempat (prior informed consent of indigenous
peoples).
28
satunya, tetapi masih terdapat jalan yang lebih mudah dan mempunyai landasan
hukum yang jelas di dalam UU Paten, yaitu melalui pembentukan Peraturan
Pemerintah. Landasar hukum atas pembentukan Peraturan Pemerintah itu di
dasarkan pada ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) huruf e UU Paten yang
menyebutkan bahwa pengalihan paten itu dapat dilakukan karena sebab lain yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan salah satu yang
dimaksud dengansebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
di dalam penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU Paten adalah ........peralihan paten
didasarkan atas peraturan di bawah undang-undang, peraturan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang ini. Pengaturan khusus melalui Peraturan
Pemerintah itu yang jelas tidak bertentangan dengan UU Paten karena UU Paten
memang tidak mengaturnya. Pengalihan hak kepada negara atas TK bidang obat
tradisional dapat dilakukan karena tidak perlu menyertakan dokumen asli paten yang
memenag tidak ada dalam TK bidang obat tradisional. Dengan demikian, pengalihan
itu cukup dengan menentukan dalam rumusan Pasalnya disertai dengan ketentuan
mengenai prosedur perizinan atas pemanfaatan TK bidang obat tradisional.
Persoalan krusial mengenai pengaturan negara sebagai pemegang hak atas TK
bidang obat tradisional sebenarnya bukan hanya terkait dengan persyaratan dan
prosedur perizinan. Akan tetapi, juga mengenai adanya pihak yang berhak mewakili
dalam forum penyelesaian sengketa terkait kepemilikan dan pemanfaatan TK bidang
obat Tradisional.
19
20
Bagan 2
Konsep Kepemilikan atas TK Bidang Obat Tradisional
TK BIDANG OBAT
TRADISIONAL
PUBLIC DOMAIN
TRADITIONAL SHARING
PEMERINTAH SEBAGAI
PEMEGANG HAK
INVENTOR SEBAGAI
PEMEGANG HAK
LINDUNGI DENGAN
SISTEM PATEN
Keterangan :
29
. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Sardjono bahwa sampai
sekarang belum ada permohonan paten dari dalam negeri atas suatu invensi yang
dihasilkan dari proses pengembangan atas TK bidang obat tradisional melalui
kegiatan R & D. Jamu yang diproduksi oleh PT. Sido Muncul diperoleh dari resep
atau ramuan jamu yang sudah diketahui oleh masyarakat umum. Begitu pula halnya
dipabrik Jamu Jago. Jamu yang dibuat dalam perusahaan Jamu Jago tersebut masih
didasarkan pada ramuan yang dibuat oleh nenek moyangnya (kakeknya Jaya
Suprana) pendiri perusahaan itu (Agus Sardjono, 2006, op. cit., hal. 200).
Sedangkan menurut Mantan Direktur Jenderal BPOM, Sampurno bahwa sampai
saat sekarang hanya terdapat satu penelitian terhadap obat tradisional yang tengah
dalam proses mendapatkan hak paten, yaitu penelitian terhadap tanaman kladi tikus
yang
berkhasiat
sebagai
obat
anti
kanker
(http://pdpersi.co.id/showdetailnews&kode-247&tbl-cakrawala, diakses pada tanggal 27 Februari 2009).
21
1.
Di dalam UU Paten sebenarnya sudah terdapat rumusan Pasal yang dapat dijadikan
dasar yuridis mengenai pengaturan Persyaratan Dokumen Tambahan dalam
Peraturan Pemerintah itu, yaitu pada Pasal 24 ayat (2) UU Paten yang berbunyi
Ketentuan lebih lanjut tentang cara pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Akan tetapi, anehnya sejak diberlakukannya UU Paten tanggal 1
Agustus 2001 sampai sekarang, Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum pernah
dilakukan perubahan, yaitu tetap menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten. Sehingga Peraturan Pemerintah
tersebut tidak dapat mengatur dan melindungi kepentingan dari masyarakat lokal.
Dengan demikian, untuk mengatur masalah persyaratan Dokumen Tambahan dalam
permohonan pendaftaran paten itu sebenarnya tidak usah dengan merubah UU
Paten atau dengan membuat undang-undang sui generis tersendiri, tetapi cukup
dengan membuat Peraturan Pemerintah yang baru tentang cara pengajuan
permohonan paten.
22
(termasuk yang berasal dari Ramuan Asli Madura) yang dapat merugikan
kepentingan masyarakat lokal. Ketentuan ini berlaku tidak hanya terhadap
pemohon dari luar negeri melalui hak prioritas, tetapi juga berlaku
terhadap pemohon dari dalam negeri.
Pemberlakukan persyaratan tambahan terhadap pemohon dari luar
negeri maupun terhadap pemohon dari dalam negeri ini dimaksudkan
untuk tidak melanggar prinsip national treatment31 sebagaimana diatur
dalam Article 3 TRIPs Agreement dan prinsip MFN32 sebagaimana diatur
dalam Article 4 TRIPs Agreement. Di samping itu juga, agar masyarakat
lokal tidak dirugikan dengan adanya paten atas invensi yang dihasilkan
dari pemanfaatan TK bidang obat tradisional melalui kegiatan R & D.
Khusus terhadap pemohon dari dalam negeri dimaksudkan juga untuk
memberikan pengakuan terhadap adanya potensi khusus yang berupa TK
bidang obat tradisional yang dimiliki oleh suatu daerah yang merupakan
kewenangan daerah yang bersifat pilihan 33. Melalui penyertaan dokumen
tambahan ini akan dimungkinkan adanya benefit sharing antara
masyarakat lokal di daerah yang bersangkutan sebagai pemilik TK bidang
obat tradisional dengan bioprospector dari dalam negeri.
Jika suatu permohonan pendaftaran paten ditolak karena tidak
memenuhi persyaratan dokumen tambahan tersebut, maka negara
Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap paten tersebut dalam wilayah yurisdiksi negara
Indonesia. Negara Indonesia hanya berkewajiban memberikan
perlindungan hukum terhadap suatu Invensi yang sudah terdaftar dan
mendapatkan Sertifikat Paten di Indonesia, baik terhadap invensi yang
berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Argumen
itu di dasarkan pada prinsip teritorial di dalam TRIPs Agreement, bahwa
titik tolak pelaksanaan sistem IPR tetap bernaung dalam kedaulatan dan
yurisdiksi masing-masing negara anggota WTO34.
Di antara persyaratan dokumen tambahan yang harus ditentukan oleh
Pemerintah Indonesia dalam dokumen permohonan pendaftaran paten
tersebut adalah :
1)
Dokumen
Tambahan
Keterangan
Dalam
Disclosure Requirements (Persyaratan Pengungkapan)
31
Prinsip ini tidak menghendaki perlakukan yang berbeda tehadap perlindungan paten
dari warga negeranya sendiri dengan warga negara asing. Pengecualian hanya
dimungkinkan sepanjang hal itu telah diatur dalam Paris Convention. Dalam article 3
Paris Convention bila dikontruksikan secara a contrario, maka perlindungan yang
berbeda dapat diterapkan kepada invensi yang negaranya tidak menjadi peserta
dalam Paris Convention.
32
Prinsip ini menghendaki agar setiap negara peserta tidak memberikan perlakuan
yang diskriminatif. Bila suatu negara peserta memberikan perlakukan khusus kepada
suatu negara tertentu, maka perlakukan yang sama dengan serta merta juga harus
diberikan kepada negara-negara peserta konvensi lainnya. Terkadang prinsip ini juga
disebut prinsip non dikriminatif.
33
Lihat Pasal 14 ayat (2) UU Pemda
34
Achmad Zen Umar Purba, op. cit., hal. 26
23
35
Dalam article 29 TRIPs Agreement itu dikatakan bahwa "Anggota harus mewajibkan
pemohon paten untuk membeberkan penemuannya dengan cara yang cukup jelas
dan lengkap agar penemuan tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di
bidang yang bersangkutan, dan dapat mewajibkan pemohon untuk memberitahukan
cara yang terbaik untuk melaksanakan penemuan tersebut yang diketahuinya pada
tanggal permohonan diajukan atau, dalam hal diajukan hak proritas, pada tanggal
prioritas dari permohonan.
24
37
Kontrak menurut Subekti adalalah perjanjian dalam arti sempit dan perjanjian
tersebut dibuat secara tertulis (Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta,
hal. 1). Kontrak (overeenskomst) di Indonesia berpedoman pada Pasal 1233 KUH
Perdata tentang perikatan, yaitu "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang. Sedangkan definisi perjanjjan terdapat
dalam psal1313 KUH Perdata, yaitu "Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya. Secara umum yan menjadi dasar hukum bagi berlakunya kontrak di
Indonesia adalah asas kebebasan berkontrak s ebagaimana terdapat di dalam Pasal
1338 KUH Perdata, yaitu "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Untuk suatu kontrak itu harus
memenuhi syarat sahnya kontra sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, yaitu "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu
hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Terdapat tiga mekanisme dalam pembuatan
kontrak, pertama tahap pra kontraktual yaitu tahap penawaran dan penerimaan
(negotiation). Kedua, tahap kontraktual yaitu berisi substansi dari kontrak yang
disepakati oleh para pihak. Ketiga, tahap post kontraktual yaitu tahap pelaksanaan
dari kesepakatan kontrak (Etty Susilowati, op. cit., hal 18)
Agus Sardjono, op. cit., hal. 263, dikutip dari Steven M. Rubin & Stanwood C. Fish,
Biodiversity Prospecting : Using Innovative Contractual Provitions for Foster
Ethnobotanical Knowledge, Technology and Conservation, Colorado Journal of
International and Environment Law and Policy, Vol. 5, 1994, p. 37 ). Maksud dari
bioprospecting di sini adalah kegiatan pengembangan TK bidang obat tradisional
melalui research and development (R & D) berdasarkan sebuah kontrak dengan
pemberian keuntungan (benefit sharing) terhadap masyarakat lokal (disarikan dari
Muhammad Ahkam Subroto & Suprapedi, op. cit., hal. 107). Jika suatu bioprospecting
contract dibuat antara Pemerintah Indonesia selaku provider dengan pihak asing
sebagai recipient, maka bioprospecting contract itu dikategorikan kontrak
internasional. Menurut Sudargo Gautama bahwa kontrak internasional adalah kontrak
nasional yang terdapat unsur luar negerinya (foreign elemnet)m karena bidang hukum
kontrak ini pada hakikatnya adalah tunduk pada hukum perdata nasional. Kontrak
internasional ini hanya terbatas dalam bidang komersial atau perniagaan (Huala Adolf,
2008, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.
3-7). Menurut Erman Radjagukguk bahwa terdapat beberapa prinsip dalam kontrak
internasional, yaitu penggunaan istilah, sahnya suatu kontrak, prinsip penawaran atau
penerimaan (persesuaian kehendak), iktikat baik, peralihan resiko, pembayaran, ganti
kerugian, keadaan darurat (force majeur), wanprestasi, perubahan kontrak,
pemutusan kontrak, pilihan hukum, dan penyelesaian sengketa (Erman Radjagukguk,
1998, Kontrak Dagang Internasional Dalam Praktik di Indonesia, ELIPS, hal. Hal. 123129).
25
Bioprospector
Bioprospecting
Contract
Invensi
Permohonan Paten
Prior Informed
Consent
Keterangan :
1.
Bioprospecting contract dibuat antara Pemerintah
Indonesia sebagai provider dengan bioprospector sebagai recipient
pada saat akan melakukan bioprospecting. Meskipun demikian, kalusul
dalam bioprospecting contract yang akan dibuat oleh Pemerintah
Indonesia haruslah tetap didasarkan pada persetujuan dari masyarakat
lokal melalui suatu lembaga perwakilan tertentu (Prior Informed
Consent of Indigenous Peoples Agency).
26
2.
27
28
1.
40
Di dalam alih teknologi (Technology transfer) ini terdapat empat tahapan yang harus
menjadi sasaran kebijakan dalam pelaksanaan pemanfaatan TK bidang obat
tradisional. Sasaran kebijakan alih teknologi (Technology transfer) ini dimaksudkan
untuk lebih menfokuskan perolehan teknologi bagi pengembangan TK bidang obat
tradisional tersebut oleh masyarakat lokal. Di antara keempat tahapan tersebut
adalah Pertama, tahap penggunaan teknologi yang telah ada dari recipient. Kedua,
tahap transportasi atau integrasi berbagai teknologi yang telah ada untuk melakukan
research and devolepment sendiri. Ketiga, tahap pengembangan teknologi itu sendiri
untuk menciptakan teknologi baru dalam kegiatan research and devolepment.
Keempat, tahap pelaksanaan secara besar-besaran penelitian dasar untuk lebih
mengembangkan invensi di bidang obat tradisional dari teknologi baru tersebut ((B.J.
Habibie, op. cit., hal. 44).
Agus Sardjono, op. cit., hal. 24
29
30
d.
e.
f.
31
dalam ketentuan berikutnya, Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU
Pemda, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota diberi
kewenangan lain yang bersifat pilihan yang merupakan potensi khusus
yang terdapat dalam suatu daerah otonom42.
Adapun bunyi dari ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2)
UU Pemda adalah :
Pasal 13 ayat (2) :
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pasal 14 ayat (2) :
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemda
ini merupakan dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus obat tradisional. Berdasarkan paradigma otonomi daerah,
Pemerintah daerah harus memberikan jaminan atas adanya perlindungan
hukum terhadap obat tradisional yang merupakan potensi daerah untuk
dioptimalkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
Melalui dasar pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah
bersama masyarakat daerah dapat mengatur dan mengurus
obat
tradisional untuk meningkatkan kapasitas masyarakat daerah,
pengembangan kemampuan inovasi, peningkatan produktivitas dalam
rangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistem otonomi daerah
haruslah dipandang oleh pemerintah daerah beserta dengan masyarakat
daerah sebagai peluang atau kesempatan bagi pengelolaan dan
pendayagunaan aset daerah secara lebih optimal sesuai dengan potensi
dan karakteristik daerah dan masyarakat setempat, termasuk
pengembangan dan pelindungan terhadap obat tradisional.
2.
Daerah otonom yang dimaksud dalam UU Pemda adalah menunjuk kepada daerah
provinsi, daerah kabupaten/kota, dan desa. Hal ini sebagaimana pengertian daerah
otonom di dalam Pasal 1 angka 6 UU Pemda, yaitu Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
32
a.
45
33
34
Madura. Untuk itu, maka dokumentasi atas Ramuan Asli Madura tersebut
dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama antar Pemerintah Daerah dari
keempat Kabupaten di Madura, misalnya dengan membentuk kelompok
kerja sistem dokumentasi dengan anggota yang terdiri dari unsur
Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Perwakilan
Masyarakat Industri Ramuan Asli Madura dari keempat Kabupaten di
Madura tersebut.
Meskipun Pemerintah Daerah Kabupaten di Madura mempunyai
tanggung jawab terhadap sistem dokumentasi Ramuan Asli Madura yang
telah menjadi public domain, akan tetapi mereka tidak dapat menjadi
pemegang hak atas pengetahuan Ramuan Asli Madura tersebut. Hal ini
disebabkan karena pengetahuan dan pemanfaatan atas Ramuan Asli
Madura itu lintas daerah kabupaten dan tidak diketahui asal muasalnya.
Jadi, Pemerintah Daerah Kabupaten di Madura tersebut tidak dapat
mengklaim terhadap suatu pengetahuan Ramuan Asli Madura. Atas dasar
itulah, maka sebagai pemegang hak atas pengetahuan Ramuan Asli
Madura ini tetap berada pada Pemerintah Pusat 47, sebagaimana juga
diberlakukan terhadap ekspresi folklore dalam Pasal 10 UU Hak Cipta.
Pemegang Hak atas pengetahuan Ramuan Asli Madura oleh
Pemerintah itu dimaksudkan agar terdapat lembaga resmi yang berhak
untuk memberikan izin atas pemanfaatan pengetahuan Ramuan Asli
Madura dan sebagai provider dalam bioprospecting contract yang
didasarkan pada persetujuan dari masyarakat lokal di Madura. Di samping
itu, sebagai wakil dari masyarakat lokal di Madura untuk menyelesaikan
sengketa mengenai kepemilikan dan pemanfaatan pengetahuan Ramuan
Asli Madura. Sedangkan dokumentasi menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah di Madura dimaksudkan agar terdapat dokumen prior
art yang lengkap dan jelas serta selalu dilakukan pembaharuan sehingga
dapat dipergunakan untuk mencegah adanya pendaftaran paten atas
suatu invensi yang berasal dari tindakan misappropriation atas
pengetahuan Ramuan Asli Madura.
Dari sini kemudian dapat ditemukan mengenai konsep pembagian
tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait
upaya perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional, yaitu
Pemerintah Pusat diberikan tanggung jawab sebagai pemegang hak atas
TK bidang obat tradisional dan harus diatur melalui perubahan UU Paten
atau memalui undang-undang sui generis maupun cukup dengan dibentuk
Peraturan Pemerintah. Sedangkan Pemerintah Daerah diberi tanggung
jawab dalam sistem dokumentasi TK bidang obat tradisional 48.
47
48
35
b.
36
Beberapa bentuk benefit sharing dapat dilihat dalam kasus berikut : pertama, The
Regional Research Laboratory (RRL) dan The Tropical Botanical Garden and
Research Institute (TBGRI) di India melakukan analisis terhadap senyawa-senyawa
kimia yang ada dalam buah Thricopus zeylanicus yang oleh suku kani di India
ditemukan sifat-sifat anti lelah. Dalam penelitian RRL dan TBGRI dapat dibuktikan
klaim yang dibuat suku kani dan kemudian dikembangkan sebagai obat anti letih yang
dinamakan Jeevani. Invensi ini telah dipatenkan oleh TBGRI dan dilisensikan kepada
sebuah perusahaan farmasi yang memproduksinya. Dalam kontrak ditentukan bah
benefit sharing sebagai berikut : 50% dari nilai lisensi dan 2% royalti dari harga jual
pabrik akan diberikan terhadap keluarga-keluarga suku bani. Selain itu, TBGRI telah
mengatur penanaman Thricopus zeylanicus oleh 50 kepala keluarga suku bani
dengan jaminan pembelian dari perusahaan. Kedua, sebuah perusahaan farmasi,
Shaman Pharmaceuticals dari AS yang memfokuskan pada isolasi senyawa-senyawa
bioaktif dari tanaman tropis yang telah memiliki sejarah penggunaan sebagai obat
tradisional. Pada tahun 1990, dalam waktu 24 bulan Shaman telah berhasil
mendapatkan dua produk untuk memasuki tahap uji klinis. Berdasarkan invensi ini
Shaman telah mematenkan senyawa anti diabetes. Sebagai imbalan, Shaman telah
memberikan kompensasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang
37
d.
38
39
e.
40
masyarakat industri Ramuan Asli Madura di atas. Organisasi yang benarbenar sebagai wadah khusus bagi pelaku usaha Ramuan Asli Madura
hanya terdapat di Kabupaten Pamekasan dengan nama Paguyuban
Jamu Tradisional Madura Arek Lancor (PJTM Arek Lancor) 51. Paguyuban
ini dibentuk sejak tahun 2003 dan telah mempunyai Anggaran Dasar dan
Anggaan Rumah Tangga (AD ART) serta sampai tahun 2009 telah
mempunyai anggota sebanyak 25 pelaku usaha Ramuan Asli Madura di
Kabupaten Pamekasan.
Selain PJTM Arek Lancor, sebenarnya juga terdapat organisasi yang
mewadahi pelaku usaha Ramuan Asli Madura, yaitu di Kabupaten
Bangkalan dengan nama ASPIN (Asosiasi Pengrajin) Bangkalan. Akan
tetapi, keberadaan ASPIN itu bukan khusus untuk pengrajin Ramuan Asli
Madura, keberadaan ASPIN itu sebagai wadah untuk semua pengrajin
yang ada di Kabupaten Bangkalan, baik pengrajin Ramuan Asli Madura,
Pengrajin Batik, Pengrajin Ukiran, dan lain-lain.
Dengan demikian, keberadaan PJTM Arek Lancor di Kabupaten
Pamekasan dan ASPIN di Kabupaten Bangkalan tidak cukup untuk
berfungsi sebagaimana fungsi didirikannya lembaga perwakilan
masyarakat industri Ramuan Asli Madura dimaksud di atas. Oleh karena
itu, lembaga perwakilan itu menjadi kebutuhan yang sangat strategis
untuk dibentuk di setiap kabupaten di Madura.
51
Dalam Pasal 6 ayat (2) Anggaran Dasar PJTM Arek Lancor disebutkan mengenai
tujuan pendiriannya, yaitu : a. meningkatkan dan memelihara ikatan silaturahim yang
erat di antara pengusaha jamu tradisional Madura. b. meningkatkan kualitas SDM dan
produk para pengusaha jamu tradisional Madura. c. meningkatkan kemandirian dan
daya saing pengusaha jamu tradisional Madura.
41
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dalam
tesis ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bahwa perlindungan hukum terhadap TK bidang obat tradisional
melalui sistem paten, termasuk juga bidang Ramuan Asli Madura
terkendala dengan tidak adanya pengaturan mengenai pemegang hak
atas TK bidang obat tradisional dalam UU Paten dan tidak
terpenuhinya unsur kebaruan (novelty) oleh TK bidang obat tradisional
sesuai dengan persyaratan patentability. Oleh karena itu, negara
haruslah mengatur mengenai pemegang hak atas TK bidang obat
tradisional di dalam perubahan UU Paten. Sedangkan mengenai
pemenuhan unsur novelty tidak bisa dilakukan, kecuali TK bidang obat
tradisional tersebut dilakukan pengembangan (traditional sharing)
sehingga dapat memenuhi persyaratan patentability. Untuk tetap bisa
melakukan perlindungan hukum atas TK bidang obat tradisional dari
tindakan misappropriation melalui sistem paten, terdapat dua konsep
alternatif yang bisa dipergunakan oleh Pemerintah, yaitu pertama,
negara haruslah dijadikan sebagai pemegang hak atas TK bidang obat
tradisional sebagaimana juga diberlakukan terhadap ekspresi folklor di
dalam Pasal 10 UU Hak Cipta. Kedua, memberikan persyaratan
dokumen tambahan yang harus disertakan dalam permohonan
pendaftaran paten. Adapun persyaratan dokumen tambahan dimaksud
berupa Dokumen Tambahan Keterangan dalam disclosure
requirements (persyaratan pengungkapan) mengenai asal usul dari
suatu invensi yang akan dimohonkan paten dan Dokumen
bioprospecting contract sebagai institusi hukum untuk melindungi
kepentingan masyarakat lokal dalam memberikan prior informed
consent. Persyaratan dokumen tambahan ini diberlakukan bukan
hanya terhadap pemohon dari luar negeri, tetapi juga terhadap
pemohon dari dalam negeri. Hal ini dimaksdukan agar tidak melanggar
prinsip national treatment dan prinsip MFN di dalam article 3 dan
article 4 TRIPs Agreement. Di samping itu juga, agar masyarakat lokal
tidak dapat dirugikan dengan adanya hasil pengembangan dari TK
bidang obat tradisional yang akan dimohonkan paten.
2.
Bahwa Pemerintah Daerah di Madura haruslah tetap melakukan
berbagai upaya untuk melindungi Ramuan Asli Madura terkait dengan
adanya berbagai persoalan dalam pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap Ramuan Asli Madura di atas. Pemerintah Daerah mempunyai
kewenangan yang berfifat pilihan untuk melindungi Ramuan Asli
Madura tersebut. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 14 ayat (2)
UU Pemda bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai
kewenangan yang bersifat pilihan atas urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
42
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka terdapat tiga saran yang akan
disampaikan dalam tesis ini, yaitu :
a.
Adanya berbagai tindakan misapppropriation atas TK bidang
obat tradisional di Indoensia harusnya dijadikan pokok perhatian oleh
Pemerintah Indonesia untuk membuatkan pengaturan yang jelas yang
dapat memberikan perlindungan hukum terhadap TK bidang obat
tradisional. Tindakan yang dapat segera dilakukan oleh Pemerintah
adalah dengan melakukan perubahan atas UU Paten atau
membuatkan undang-undang sui generis atau bahkan cukup dengan
hanya dibuatkan Peraturan Pemerintah. Dua persoalan penting yang
harus diatur adalah terkait dengan negara sebagai pemegang hak atas
TK bidang obat tradisional dan pemberian persyaratan dokumen
tambahan dalam permohonan pendaftaran paten atas suatu invensi
yang dihasilkan dari pengembangan TK bidang obat tradisional,
termasuk juga pengembangan atas pengetahuan Ramuan Asli
Madura.
b.
Partisipasi aktif dari para pelaku usaha Ramuan Asli Madura
tersebut tidak akan optimal dalam melindungi Ramuan Asli Madura.
Untuk itulah, maka Pemerintah Daerah sebagai representasi dari
masyarakat lokal di Madura dan sebagai pemegang kekuasaan di
Madura juga haruslah segera melakukan berbagai upaya untuk
melindungi Ramuan Asli Madura tersebut. Di antara beberapa upaya
yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Madura adalah
membuat dokumentasi, membuat kesepakatan bersama antar
Pemerintah Daerah di Madura terkait dengan komitmen perlindungan
terhadap Ramuan Asli Madura, mengembangkan Ramuan Asli Madura
43
44
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adian, Donny Gahral, 2001, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra,
Jogyakarta
Adisusilo, Sutarjo, 2007, Sejarah Pemikiran Barat dari yang Klasik Sampai
yang Modern, Cetakan Ke-II, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
Adolf, Huala, 2005, Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
-----------, 2008, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, PT. Refika
Aditama, Bandung
Ansari, Endang Saifuddin, 1991, Agama dan Kebudayaan, Bina Ilmu,
Surabaya
Bagian formakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005,
Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-4, Cet. 5, Gaya Baru, Jakarta
Bakir, Herman, 2007, Filsafat Hukum : Desain dan Arsitektur Kesejarahan,
PT. Refika Aditama, Bandung
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Dharmaputera, Eka, 1988, Pancasila Identitas dan Moralitas : Tujuan Etis
Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Dimyati, Khudzaifah, 2004, Teorisasi Hukum : Studi tentang
Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990,
Muhammadiyah University Press, Surakarta
Djumhana, Muhamad & Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah,
Teori dan Prakteknya di Indonesia), Cetakan ke-III, PT. Citra
Adiyia Bakti, Bandung
Djumhana, Muhamad, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung
Endeshaw, Assafa, 2007, Hukum E-Commerce dan Internet dengan
Fokus di Asia Fasifik, Penerjemeh : Siwi Purwandari & Mursyid
Wahyu Hananto, Pustaka Pelajar, Yogjakarta
Jened, Rahmi, 2007, Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak
Eksklusif, Airlangga University Press, Surabaya
Habibie, B.J., 1986, Industrialisasi, Transportasi, teknologi dan
Pembangunan Bangsa, Prisma, LP3 ES
Hartono, Sri Redjeki, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayumedia,
Malang
Lawrence M. Friedmaan, 2001, American Law In Introduction (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar), Scond Edition, Penerjemah :
Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta
45
Linsey, Tim, et. al., 2006, Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar, PT.
Alumni, Bandung
Muhammad, Abdulkadir, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Kansil, C.S.T., 1990, Hak Milik Intelektual : Paten, Merek Perusahaan,
Merek Perniagaan, Hak Cipta, Bumi Aksara, Jakarta
Kansil, C.S.T. & Christine S.T. Kansil, 2005, Hukum Perusahaan Indonesia
(Aspek Hukum dalam Ekonomi), PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Kartajdoemena, 2002, GATT dan WTO : Sistem, Forum dan Lembaga
Internasional di bidang Perdagangan, UI-Press, Jakarta
Kesowo, Bambang, 1994, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas
Kekayaan Intelektual di Indonesi, Sekretariat Negara Republik
Indonesia
Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan.
Gramedia, Jakarta
Manan, Abdul, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media,
Jakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 1993, Pengaturan Hukum Terhadap
Perusahaan-Perusahaan Transnasional di Indonesia : Fungsi
UU Paten dalam Pengalihan Teknologi PerusahaanPerusahaan Transnasional di Indonesia, PPS Unair, Surabaya
Maulana, Insan Budi, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak
Cipta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Muller, Johannes, 2006, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Mustafa, Marni Emmy, 2007, Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan
Hukum Paten di Indonesia dikaitkan Dengan TRIPs WTO, PT.
Alumni, Bandung
Pamuntjak, Amir, 1994, Sistem Paten : Pedoman Praktik dan Alih
Teknologi, Djambatan, Jakarta
Priapanjta, Cita Citrawinda, 2003, Hak Kekayaan Intelektual : Tantangan
Masa Depan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Purba, Achmat Zen Umar, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs,
PT. Alumni, Bandung
Purba, Afrillyanna, et. al., 2005, TRIPs WTO & Hukum HKI Indonesia,
Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indoensia,
PT. Rineka Cipta, Jakarta
Purwaningsih, Endang, 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property
Rights : Kajian Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual
dan Kajian Komparatif Hukum Paten,, Ghalia Indonensia, Bogor
Radjagukguk, Erman, 1998, Kontrak Dagang Internasional Dalam Praktik
di Indonesia, ELIPS
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan ke-5, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
46
47
48
49
50