You are on page 1of 23

BORANG STATUS PORTOFOLIO KASUS PENYAKIT DALAM

No. ID dan Nama Peserta


No. ID dan Nama Wahana
Topik
Kejang Demam
Tanggal (kasus)
12 Februari 2016
Nama Pasien
Tn. D
No. RM
089993
Tanggal Presentasi
26 Februari 2016
Pendamping
Tempat Presentasi
Ruang Komite Medik RSUD Kota Pariaman
Objektif Presentasi
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia Bumil
Perempuan, usia 75 tahun, mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 3 bulan yang lalu,
Deskripsi
Tujuan
Bahan
Bahasan
Cara
Membahas

yang meningkat sejak 3 hari terakhir, disertia penurunan nafsu makan. Berak
berwarna hitam sejak 3 bulan yang lalu
Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Hernia Inguinalis
Tinjauan Pustaka

Riset

Diskusi

Presentasi dan Diskusi

Data Pasien

Nama : Ny. R

Nama RS :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :

Telp :

Kasus

Audit

E-mail
Pos
No.
Registrasi
:
063467
Terdaftar sejak :

1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Hernia Inguinalis


2. Riwayat Pengobatan : 3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya
4. Riwayat Keluarga : tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit seperti ini
5. Riwayat Pekerjaan : ibu rumah tangga
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : pasien tinggal bersama 3 orang keluarga (anak
dan cucu) di kawasan padat penduduk,
7. Lain-lain : Daftar Pustaka :
1. Tarigan, P. Tukak Gaster, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Editor
Aru. W Sudoyo, dkk. Interna Publising. 2009
2. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine
17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008
3. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simandibrata
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing.

Jakarta. 2010. P 523-8


4. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. 12th edition.
Asia: John Wiley & Sons, 2009. p. 921 950
5. Schafer, TW. Peptic Ulcer Disease. The American College of Gastroenterology,
Bethesda, Maryland. 2008.
6. Price, A Sylvia. Patofisiologi Edisi 6 Volume II. EGC. Jakarta. 2007 Hal 1388
7. Shyne, P. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. Departement of Emergency Medicine, Emory
University School of Medicine. 2009[diunduh 14 Januari 2013] diakses dari www.
Emedicine.org

8. Junqueira, Carlos. Histologi Dasar Teks dan Altas Edisi X. 2007. Jakarta: EGC. Hal
196-197; 213-216
9. Histologi bloom fawset
10. Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc Graw-Hill
Companies page 795-800
11. Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. Page
142-147
12. Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGrawHill
Companies. Page 918-919
13. Ryan, Kenneth J. Sherris Medical Microbiology an Introduce to Infection Disease 4 th
Edition. 2004. The McGrawHill Companies. Page 380-384
14. Modern pharmacology with Clinical Applications 425-428
15. Laurence, L. Bruton. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis of
Theurapeutics 11th edition. USA: The McGraw-Hill Companies. Page 967-972
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis Ulkus Peptikum
2. Tata laksana pasien Ulkus Peptikum
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif :

Nyeri ulu hati yang meningkat sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan sejak sekitar 3
bulan yang lalu. Nyeri terutama dirasakan saat perut kosong. Nyeri tidak terasa
menjalar.

Nafsu makan berkurang sejak 1 minggu yang lalu.

Badan terasa lemah dan lesu

Demam tidak ada.

Mual tidak ada, muntah tidak ada

Batuk tidak ada, pilek tidak ada

Sesak napas tidak ada

Buang air kecil jumlah dan warna biasa.

Buang air besar berwarna kehitaman sejak 3 bulan yang lalu. Konsistensi lunak.

Pasien tidak ada riwayat pengobatan terhadap keluhan ini

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

2. Objektif :
a. Vital sign

KU

: sakit sedang

Kesadaran

: CMC

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Frekuensi nadi : 98 x/menit

Frekuensi nafas : 24 x /menit

Suhu

: 36,8 0C

Berat badan

: 54 kg

Tinggi badan

: 154 cm

sianosis(-), pucat(+), ikterik(-)

b. Pemeriksaan sistemik

Kulit : Teraba hangat, tidak ikterik, tidak sianosis,

Kepala : Bentuk normal

Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm,
refleks cahaya +/+ Normal

Telinga : Kelainan bawaan (-), sekret (-), serumen (+), nyeri tekan (-), bengkak
daerah mastoid (-)

Hidung : Tidak ditemukan kelainan

Mulut: Mukosa mulut dan bibir basah

Tenggorok : Tonsil T1 T1 tidak hiperemis

Faring : tidak hiperemis

Leher : JVP 5-2 cmH2O


Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks
Paru : Inspeksi

: normochest

Palpasi

: fremitus kiri=kanan

Perkusi

: sonor

Auskultasi

: vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung : Inspeksi : iktus tidak terlihat


Palpasi

: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung dalam batas normal

Auskultasi: irama teratur, bising tidak ada

Abdomen
Inspeksi

: tidak membuncit

Palpasi

: distensi (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan + di epigastrium

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Alat kelamin : tidak ada diperiksa

Ekstremitas : Akral hangat, refilling kapiler baik, sianosis (-),

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin :
Hb

: 7 gr/dl

Leukosit : 7.400/mm3
Ht

: 36%

Trombosit : 329.000/mm3
GDR

: 82 mg/dl

Ur/Kr

: 20/1,1

3. Assesment (penalaran klinis) :


Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien perempuan berumur 75 tahun dengan
diagnosis kerja : Ulkus peptikum dan anemia post melena. Dasar diagnosis pada pasien
adalah dari anamnesis didapatkan riwayat nyeri ulu hati sejak 3 bulan yang lalu yang
dirasakan semakin meningkat 3 hari terakhir. Selain itu, terdapat riwayat berak berwarna
hitam sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas dan lesu. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, disertai adanya nyeri tekan pada region
epigastrium. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan penurunan hb yaitu 7,2 g/dl

Penatalaksanaan pasien ini ialah mengatasi perdarahan yang terjadi pada gaster
maupaun duodenum dengan pemberian obat-obatan, disertai transfui darah karena hb yang
rendah.
4. Plan :
Diagnosis : Ulkus peptikum + anemia post melena
Pengobatan :
Penanganan pasien di ruang rawatan
Diet DL II
IVFD RL 8jam/kolf
Inj. Pantoprazol 2x1 vial (IV)
Inj. Kalnex 3x1 amp (IV)
Inj. Vit K 3x1 amp (IV)
Sukralfat syr 3xC1 (PO)
Curcuma 3x1 tab (PO)
Transfusi PRC 2 unit

Rencana Pemeriksaan Selanjutnya :

Kontrol Keadaan Umum, Kesadaran, Vital Sign

Pendidikan :
Kepada pasien dan keluarga dijelaskan mengenai penyakit ulkus peptikum dan
komplikasi yang dapat terjadi. Pola diet sehari-hari sangat berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya ulkus peptikum. Selain itu, gejala adanya perdarahan seperti
berak hitam juga harus cepat disadari, karena jika dibiarkan terlalu lama bias
berakibat terjadinya kehilangan darah kronis yang berujung pada anemia seperti pada
pasien ini. Mengonsumsi obat secara teratur sangat diperlukan untuk mengembalikan
keutuhan lambung dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Konsultasi :
Perlu dilakukan konsultasi kepada spesialis apabila perdarahan tetap berlangsung
yang dapat diketahui dari buang air besar pasien. Pikirkan juga kemungkinan adanya
akut abdomen, karena hal ini dapat terjadi jika terjadi perforasi pada lambung.

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI ULKUS PEPTIKUM


Menurut The American Collage of Gastroenterology, ulkus peptikum berasal dari kata
ulcer yang berarti luka berlubang dan kata peptic yang mengacu pada masalah
yang disebabkan oleh asam lambung. Secara anatomis, ulkus peptikum merupakan
defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus lapisan muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat menyebabkan perforasi. Secara klinis,
ulkus adalah hilangnya epitel dengan diameter 5mm yang dapat diamati secara
endoskopu atau radiologi.6 terminologi ulkus harus dibedakan dengan erosi, erosi
adalah kerusakan mukosa yang tidak meluas hingga lapisan di bawah mukosa.
Ulkus Peptikum didefinisikan sebagai kerusakan intergritas mukosa pada gaster
dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi aktif.

Ulkus yang

mengenai mukosa gaster disebut Ulkus Gaster sedangkan ulkus yang terjadi pada
duodenum disebut sebagai Ulkus Duodenum yang masing-masing memiliki ciri khas
masing-masing.
B. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LAMBUNG
Secara anatomi, lambung dibagi menjadi empat bagian, yaitu cardia, fundus, corpus,
dan pylorus. Cardia merupakan bagian atas yang langsung berhubungan dengan
esofagus, tepat di bawah sphincter esofagus setinggi vertebrae torakal ke-10 dan
berada di bagian posterior yang menghadap ke costae ke-7. Bagian kiri cardia
yang disebut Fundus merupakan bagian kubah di daerah sinistra yang langsung
bersentuhan dengan diafragma dan letaknya setinggi sulcus inercostal ke-5. Corpus
merupakan bagian tengah dari lambung yang berukuran paling besar. Corpus
dibatasi oleh pankreas dan bagian descenden diafragma. Sementara pylorus
merupakan

bagian

berbentuk

saluran/

cerobong

pada

bagian

ujung

dari

lambung. Sphincter pylorus merupakan otot sirkular yang termodifikasi pada


ujung pylorus yang bersambungan dengan usus halus. Pylorus berada setinggi
vertebrae lumbal ke-1 dan 2,5 cm kanan dari midline. Persambungan ini
mengatur pergerakan chyme menuju usus halus dan menghambat aliran balik ke
arah lambung. Pylorus terbagi menjadi bagian antrum (menghubungkan corpus

dari gaster), canal (menghubungkan gaster ke duodenum), dan sphincter (otot


polos yang menghubungkan pylorus ke duodenum).
Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang menghasilkan
mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk mencegah terjadinya
autodigestive dari asam lambung. Mukosa lambung membentuk cekungan ke arah
dalam yaitu Faveola gastric/ gastric pits (sumur lambung) yang memperluas area
penghasil enzim dan zat lainnya.
Gaster memiliki Kelenjar Tubuloalveolar yang terdiri beberapa sel yang antaralain:
Sel Mukus (Sel leher/neck cell) menghasilkan mucus yang bersifat asam
Sel Parietal (Sel HCl) menghasilkan HCl dan faktor intrinsik vit. B12
Sel Zimogen (Chief Cell) menghasilkan pepsinogen yang akan diubah menjadi
pepsin di lumen lambung
Sel Arginafin (enteroendokrin) menghasilkan hormon pengatur yaitu sekretin,
gastrin dan kolesistokinin
Secara skematis, susunan kelenjar Tubuloalveolar dapat dilihat
pada

Gambar I.

Gambar 1. Gambaran skematis sel pada kelenjar Tubuloalveolar

Sel Parietal (Sel HCl / Oxytic cell) dalam keadaan tidak


terstimulasi, sitoplasmanya didominasi oleh vesikel tubular dan
kanalikuli intraselular dengan mikrovili yang pendek pada permukaan apikalnya.
Dalam keadaan terstimulasi, sel ini akan mengekpresikan H+,K+- ATPase pada
membran vesikel tubular dan kanalikuli intraselular akan bertranformasi dengan
membentuk mikrovili yang panjang. Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara sel
parietal pada keadaan istirahat dengan keadaan terstimulasi.

Gambar 2. Sel
Parietal dalam
keadaan
istirahat dan
terstimulasi
Hidroclorida (HCl) dan Pepsinogen merupakan produk dari sekresi gaster yang
mampu menginduksi kerusakan pada mukosa. Sekresi asam pada gaster terjadi dalam
dua keadaan yakni pada keadaan basal dan pada keadaan terstimulasi. Pada keadaan
basal, produksi asam dipengaruhi oleh irama sirkadian impuls kolinergik melalui
nervus vagus dan impuls histaminergik yang berasal dari sumber gaster itu sendiri.
Pada keadaan ini, asam lambung mencapai level puncak pada malam hari dan
menurun hingga level terendah pada pagi hari.
Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase antaralain fase sefalik,
fase gastrik dan fase intestinal. Bentuk, aroma dan rasa makanan merupakan
komponen dari fase sefalik yang mampu mempengaruhi sekresi gaster melalui
stimulasi nervus vagus. Fase gastrik teraktivasi ketika makanan mencapai lambung,
dimana komponen nutrient menstimulasi Sel Arginafin untuk mensekresikan gastrin
yang mampu menstimulasi aktivasi dari sel parietal. Fase intestinal diinisiasi ketika
makanan mencapai duodenum. Fase penghasilan asam ini dapat dihambat oleh
hormone somatostatin yang dihasilkan oleh sel endokrin pada mukosa gaster.
Somatostatin dapat menghambat secara langsung (menghambat kerja sel parietal) dan
secara tidak langsung (menurunkan produksi histamin dan pelepasan hormone gastrin
dari sel argifinin). Fase sekresi asam lambung secara skematis dijelaskan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Fase Sekresi Gaster

dan
Regulasinya

C. PERTAHANAN MUKOSA GASTRODUODENAL


Mukosa gaster dan duodenum memiliki peran penting untuk melindungi dari berbagai
zat agresif baik endogen (HCl, Pepsin, garam empedu) maupun eksogen (obat-obatan,
bakteri dan alkohol). sistem pertahanan mukosa terdiri dari 3 level, yaitu:
1. Pertahanan Pre-Mukosa
Pertahanan ini terdiri dari lapisan mucus bikarbonat yang melindungi mukosa dari
beberapa molekul salahsatunya H+. mucus dihasilkan oleh sel epitel permukaan,
dengan komposisi 95% air dan 5%

campuran antara lipid dan glikoprotein.

Bikarbonat disekresikan ke lapisan mucus untuk menciptakan gradient pH antara


1-2 pada lumen gaster dan 6-7 pada permukaan sel epitel. 2 bikarbonat dihasilkan
oleh sel epitel permukaan melalui stimulasi dari prostaglandin, pakreas dan juga
garam empedu. Bikarbonat juga berperan dalam menetralisir asam pada makanan
sebelum menuju duodenum karena proses di duodenum membutuhkan suasana pH
netral. Adapun reaksi bikarbonat adalah sebagai berikut:
HCO3-+ H+ CO2 + H2O
2. Pertahanan Mukosa
Mukosa memberikan pertahanan antaralain produksi mucus, transport ion untuk
menjaga pH intraselular, produksi bikarbonat, dan tight junction intraselular.
Ketika system pertahanan preepitel rusak, sel-sel epitel yang berbatasan dengan

daerah cidera akan bermigrasi dan mengganti sel daerah yang rusak. Proses ini
diikuti dengan pembelahan sel yang membutuhkan suasana pH basa, pembuluh
darah yang tidak terganggu serta melibatkan beberapa factor pertumbuhan (EGF,
TGF, FGF) guna memodulasi proses resusitasi. Untuk kerusakan dengan ukuran
yang lebih besar, dibutuhkan proses proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel.
Proses ini dimodulasi oleh prostaglandin dan factor pertumbuhan EGF, TGF.
Proses ini juga diikuti dengan proses angiogenesis dengan factor pertumbuhan
VEGF.
3. Pertahanan Submukosa
Sistem mikrovaskular pada lapisan submukosa merupakan komponen kunci dari
pertahanan

subepitel.

menetralkan H+

Mikrovaskular

memberikan

suplai

karbonat

yang

dari sel parietal, menyediakan nutrisi dan oksigen serta

mengeluarkan metabolik berbahaya.


Sistem pertahanan gastroduodenal yang kompleks di atas, diringkas secara skematis
pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Pertahanan Mukosa Gastroduodenal (Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas


of Pathophysiology. New York: Thieme)

D. PATOFISIOLOGI ULKUS PEPTIKUM


1. Infeksi Helicobater Pylori
Helicobater pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk basil. Bakteri ini
pertama kali dapat dikultur tahun 1982 di Perth Australia. Pada tahun 1993 nama
bakteri ini diganti menjadi Helicobacter Pylori.
Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang menyebabkan bakteri ini mampu
bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan 6% dari total protein bakteri.
Bakteri ini juga menghasilkan VacA (Vacuolating Cytotoxin) yang menyebabkan
apoptosis pada sel eukariotik dengan cara pembentukan vakuola sitoplasma
multipel berukuran besar.

Gambar 5. Reaksi enzim Urease yang menetralisir pH lambung


Helicobater pylori terkolonisasi pada sel gaster yang memproduksi mukus.
Gambar 6 merupakan gambaran mikroskop electron dari bakteri Helicobacter
pylori. Bakteri ini melekat pada glikoprotein yang terdapat di permukaan dari sel
epitel dengan menggunakan fimbriae. Selanjutnya bakteri akan berpindah ke
lapisan mukosa. Urease yang dihasilkan bakteri ini mampu memproduksi
ammonia, berperan dalam menciptakan suasana netral bagi pertumbuhan bakteri.
Ketika bakteri melakukan aktivitas pada lapisan mukosa gaster, mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi dengan adanya infiltrasi dari sel-sel mononuclear pada
lapisan lamina propria. Reaksi ini akan terus meningkat hingga mampu memicu
terjadinya inflamasi hebat dengan munculnya netrofil, limfosit serta terbentuknya
mikroabses. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan oleh efek dari urease dan
VacA. Selain itu, adanya bakteri ini pada mukosa mampu menstimulasi NAP
(Neutrophil Activating Protein).

Proses inflamasi yang terus menerus ini

mengakibatkan terjadinya kematian pada sel epitel dan memicu terjadinya ulkus.

Gambar 6. Helicobacter pylori pada mukosa gaster menggunakan mikroskop


electron
Infeksi primer Helicobacter Pylori tidak memberikan gejala spesifik. Gejala mual
dan nyeri abdomen bagian atas mulai dirasakan pada minggu kedua. Namun nyeri
abdomen bersifat intermitten dengan kualitas yang rendah. Dalam waktu 1 tahun,
nyeri semakin jelas, frekuensi dan intensitas meningkat, disertai dengan mual,
muntah, anoreksia dan nyeri epigatrium. Beberapa pasien bahkan tidak
mengeluhkan gejala apapun selama hampir satu decade. Infeksi bakteri ini mampu
menyebabkan terjadinya perforasi gaster dengan perdarahan serta menimbulkan
terjadinya peritonitis.
Penegakkan diagnosis paling sensitif untuk mengetahui keterlibatan dari
Helicobater pylori adalah dengan menggunakan endoskopi. Pada endoskopi
dilakukan biopsi dan kultur pada mukosa gaster. Metode non invasive adalah
dengan menggunakan pemeriksaan Urea Breath Test. Pada pemeriksaan ini pasien
diminta untuk mengkonsumsi 13C -14C yang telah dilabel urea. Jumlah urea pada
gaster akan dihitung sesuai dengan jumlah CO2 pada pernapasan.
2. Penggunaan NSAID
Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID) merupakan golongan obat yang
memiliki kegunaan klinis sebagai antipiretik, analgesic dan anti inflamasi. Obat
ini mampu menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam sehingga efektif sebagai
antipiretik. Obat golongan ini berguna untuk analgesic pada nyeri ringan hingga
sedang seperti myalgia, sakit gigi, dysmenorrhea dan sakit kepala. Berbeda

dengan analgesic opioid, obat ini tidak menimbulkan depresi SSP. Sebagai agen
anti inflamasi, NSAID digunakan secara luas dalam pengobatan nyeri kronik
seperti artritis rheumatoid, osteoarthritis, arthritis gout, dan ankhilosing
spondylitis.
NSAID bekerja dengan menghambat kerja dari COX (Cyclooxigenase) baik
COX-1 maupun COX-2. COX-2 adalah COX dominan yang memproduksi
prostaglandin selama proses inflamasi. Prostaglandin menimbulkan beberapa
manifestasi inflamasi local maupun sistemik seperti vasodilatasi, hyperemia,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, tumor dan dolor.

Prostaglandin

memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan perbaikan mukosa


gastroduodenal. Cidera pada mukosa terjadi karena adanya paparan dengan
NSAID. NSAID dalam lingkungan gaster yang asam bersifat lipofilik terionisasi,
sehingga mampu bermigrasi melintasi membran lipid sel epitel dan menimbulkan
kerusakan pada intraselular. NSAID yang berada pada gaster juga mampu
menimbulkan difusi kembali dari ion H dan Pepsin yang menyebabkan kerusakan
lebih lanjut.

Pada gambar di bawah ini, secara singkat faktor-faktor yang

berkaitan dengan pathogenesis ulkus peptikum.

3.

Faktor
pathogenesis
yang

tidak

berhubungan

dan Helicobater pylori

dengan NSAID
pada

Ulkus

Peptikum
Kebiasaan merokok memiliki keterlibatan dalam pathogenesis ulkus peptikum.
Pada perokok insidensi ulkus peptikum terjadi lebih sering dibandingkan pada
orang yang bukan perokok, menurunkan tingkat penyembuhan, mengganggu
respon terapi serta meningkatkan komplikasi. Beberapa hipotesis menyebutkan
rokok mampu menurunkan produksi bikarbonat pada duodenum proksimal,
peningkatan risiko infeksi Helicobater pylori dan menginduksi pembentukan
radikal bebas yang berbahaya terhadap mukosa.

Factor psikologis dipikirkan memiliki keterkaitan terhadap terjadinya ulkus


peptikum namun studi menunjukkan factor psikologis tidak memiliki hubungan
bermakna terhadap insiden ulkus. Factor psikologis ini lebih dikaitkan dengan
insiden Dyspepsia Non Ulcer.
Pola diet memiliki keterkaitan dengan terjadinya ulkus peptikum. Dari penelitian
didapatkan bahwa konsumsi alcohol dan kafein memiliki hubungan bermakna
dengan insidensi ulkus peptikum.

E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Nyeri abdomen adalah gejala umum yang ditemukan pada pasien dengan gangguan
pencernaan. Nyeri epigatrium pada ulkus peptikum dirasakan seperti terbakar atau
seperti digerogoti. Pola nyeri khas pada Ulkus duodenum yaitu nyeri muncul 90 3
jam setelah makan dan berkurang dengan makanan serta konsumsi antasida. Pada
Ulkus Gaster, nyeri dipicu oleh makanan dan mual serta ditemukan penurunan berat
badan. Nyeri yang terus menerus, menjalar hingga punggung tidak berkurang dengan
makanan atau antasida mengindikasikan adanya penetrasi ke pancreas. Nyeri yang
muncul tiba-tiba pada semua regio abdomen menunjukkan adanya perforasi. Pada
gejala nyeri yang disertai dengan muntah makanan yang belum tercerna
mengindikasikan adanya obstruksi lambung. BAB yang berwarna hitam menunjukkan
adanya perdarahan pada gaster.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan regio epigatrium. Pemeriksaan
fisik amat penting guna menegakkan adanya komplikasi dari ulkus. Takikardi
menunjukkan adanya dehidrasi sekunder akibat muntah atau kehilangan darah aktif
melalui saluran cerna. Nyeri tekan yang ditemukan pada semua regio abdomen
menunjukkan adanya perforasi lambung.
3. Diagnosis
Dengan gejala klinis yang tidak khas pada ulkus peptikum, dibutuhkan pemeriksaan
penunjang yang berperan dalam penegakkan diagnosis. Modalitas yang dapat
digunakan yaitu radiografi (barium enema) dan endoskopi. Radiografi dengan barium
paling umum digunakan untuk menegakkan ulkus peptikum. Tingkat sensitivitas
mencapai 90%. Sensitivitas ini menurun jika terdapat ulkus dengan ukuran < 0,5 cm,

adanya jaringan parut, atau pada pasien pasca operasi. Endoskopi lebih sensitif dan
spesifik dalam menilai gangguan gastrointestinal. Gambaran radiologi pada ulkus
peptikum dapat dilihat pada Gambar 8. Dengan endoskopi, memungkinkan untuk
melihat visualisasi langsung dari mukosa gaster dan duodenum, serta mampu
mengambil sampel jaringan untuk mengesampingkan kemungkinan keganasan.
Pemeriksaan endoskopi mampu mengidentifikasi lesi berukuran kecil yang tidak
dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi. Gambar 9 memperlihatkan adanya ulkus
peptikum pada gaster dan duodenum.

Gambar 8. Gambaran Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum (Harrison's Principles of


Internal Medicine 17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008)

Gambar 9. Gambaran ulkus Dueodenum dan Ulkus Gaster pada Ulkus


menggunakan Endoskopi
Untuk mendeteksi penyebab dari ulkus peptikum dapat menggunakan beberapa
modalitas. Deteksi infeksi Helicobater pylori dapat memanfaatkan tes serologi,
Urea Breath Test, dan Tes antigen Helicobater pylori fekal.
F. Terapi
I.
Non Farmakologi
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan asupan makanan.
Pola makan dengan jumlah besar harus mulai dihindari karena mampu membebani
lambung. Menghindari makan malam 3-4 jam sebelum tidur karena dapat memicu
pelepasan gastrin dan HCl yang lebih banyak. Pola makan yang diajurkan adalah
pola makan dengan jumlah kecil namun dengan intensitas yang ditingkatkan. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja gaster dan menurunkan sekresi asam
lambung yang mampu menimbulkan sensasi nyeri. Pasien diminta untuk
mengurangi konsumsi alcohol, kafein, kopi yang memiliki keterikatan dengan
II.

kejadian ulkus peptikum.


Farmakologi
Ada beberapa obat-obatan yang menjadi modalitas dalam pengobatan ulkus
peptikum antaralain:
1. Penetralisir Asam (Antasida)
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan HCl menghasilkan
garam dan air. Ia juga memiliki sifat protektif terhadap mukosa dengan
menstimulasi

produksi

prostaglandin.

Kemampuan

atau

kapasitas

netralisasi asam lambung bervariasi bergantung pada derajat disolusi (tablet


vs cairan), kelarutan dalam air, laju reaksi dengan asam, dan laju pengosongan
lambung.
Semua antasida menghambat penyerapan sejumlah obat seperti digoxin,
phenytoin, cimetidine,

fluoroquinolone.

Mekanismenya

adalah

dengan

berikatan pada obat tersebut atau meningkatkan pH lambung sehingga


mempengaruhi kelarutan obat (terutama obat-obat basa lemah atau asam
lemah).

Efek samping penggunaan antasida bervariasi sesuai dengan bentuk dan


sediaan dari antasida, antaralain:
Natrium bikarbonat (NaHCO3)
NaHCO3 + HCl CO2 + NaCl
Karbon dioksida menyebabkan distensi lambung dan sendawa. Senyawa
alkali ini langsung diserap tubuh sehingga berpotensi menyebabkan alkalosis
metabolik.
Kalsium karbonat (CaCO3)
CaCO3 + HCl CO2 + CaCl2
Kelarutan kalsium karbonat kurang dan reaksinya lebih lambat dari natrium
bikarbonat. Kalsium karbonat juga menyebabkan sendawa. Dosis berlebih
NaHCO3 atau CaCO3 ditambah dengan makanan kaya kalsium dapat
menyebabkan

hiperkalsemia,

insufisiensi

renal dan alkalosis metabolik

(milk-alkali syndrome).
Magnesium Hidroksida[Mg(OH)2]/ Aluminium hidroksida[Al(OH)3]
Mg(OH)2 + HCl MgCl2 + H2O
Al(OH)3 + HCl AlCl3 + H2O
Kedua senyawa ini bereaksi lama dengan HCl. Namun, tidak menyebabkan
sendawa karena tidak menghasilkan gas. Alkalosis metabolik juga jarang
terjadi. Hal ini

disebabkan garam

Mg

yang

tak

diserap

dapat

menyebabkan diare osmotik diimbangi dengan garam Al yang memberikan


efek konstipasi. Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi keduanya
menghasilkan efek netralisasi yang seimbang dan lama. Baik Mg maupun Al
akan diserap untuk kemudian dieksresi melalui ginjal maka dari itu tidak
dianjurkan pemberian jangka panjang pada pasien insufisiensi renal.
2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obat ARH2 adalah cimetidine, ranitidine, famotidine (paling poten), dan
nizatidine. Antagonis reseptor H2 diserap di lumen intestinal kecuali
nizatidine. Selanjutnya akan mengalami metabolisme first pass di hati
sehingga bioavailabilitasnya (F) menurun hingga 50%. Nizatidine hanya
sedikit mengalami metabolisme sehingga bioavailabilitasnya hampir 100%.
Waktu paruh di serum berkisar 1-4 jam, bergantung pada dosis yang
diberikan. Antagonis H2 dieliminasi melalui metabolisme hati, filtrasi
glomerulus, dan sekresi tubular. Obat ini dapat melewati plasenta dan juga
dapat disekresikan ke dalam ASI.

Manusia memiliki 4 jenis reseptor histamin dalam tubuh, yaitu reseptor H 1, H2,
H3 dan H4. Reseptor H2 di lambung salahsatunya berfungsi meningkatkan
sekresi gastrin yang pada akhirnya akan

menstimulus produksi asam

lambung. Antagonis H2 bekerja sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H2


di sel parietal sehingga menekan sekresi asam. Volume sekresi gastrin dan
pepsin juga ikut menurun.
Antagonis H2 sangat efektif menginhibisi sekresi asam pada malam hari,
sekitar 90%, yang mana sekresinya sangat bergantung terhadap histamin.
Namun pengaruhnya menurun menjadi sekitar 60-80% pada siang hari karena
sekresi asam di siang hari utamanya dipengaruhi oleh gastrin dan Asetilkolin
akibat adanya makanan yang masuk.
Sebaiknya obat ini tidak diberikan kepada wanita hamil dan menyusui bila
tidak mendesak. Antagonis H2 ini dapat melintasi plasenta dan disekresikan
ke dalam ASI. Walaupun belum ditemukan adanya data yang menyatakan
ARH2 berbahaya, kewaspadaan harus dipertahankan.
3. Proton Pump Inhibitors (PPI)
Yang termasuk obat-obat PPI adalah Omeprazole, esomeprazole, lansoprazole,
pantoprazole, dan rabeprazole. PPI merupakan prodrug yang membutuhkan
suasana asam untuk dapat teraktivasi. Dengan demikian, beberapa jenis PPI
diproduksi dengan lapisan pelindung untuk mencegah zat aktif yang berada di
dalamnya terdegradasi oleh pH asam lambung. Setelah masuk ke lumen
intestinum yang alkali,
enterosit dan

lapisan tersebut

akan larut. Prodrug diabsorpsi

mengalami metabolisme fase 1 di hati (first pass hepatic

metabolism) dan kemudian masuk ke sirkulasi sistemik. Obat ini


dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan
CYP3A4.
Waktu paruh PPI sekitar 1,5 jam, namun efek inhibisi asamnya berlangsung
hingga 24 jam. PPI sangat kuat berikatan dengan protein. Ia tidak mengalami
eliminasi di renal. PPI diberikan 30 menit sebelum makan. Obat ini dapat
pecah bersama makanan di lambung pecah di lambung kemudian akan
berikatan dengan berbagai gugus sulfihidril yang ada di makanan sehingga
bioavailabilitasnya akan menurun sampai 50%.

Dari sirkulasi sistemik, PPI berdifusi ke kompartemen asam sel

parietal

lambung. Di sini, prodrug terprotonasi (adisi proton atau H+) dan mengalami
aktivasi insitu menjadi sulfonamid tetrasiklik. PPI bekerja dengan memblokir
jalur akhir sekresi asam lambung. Bentuk aktif Sulfonamid akan berikatan
kovalen dengan gugus sulfihidril enzim H+/K+ ATPase (enzim

pompa

proton). Ikatan tersebut menyebabkan produksi asam lambung terhenti 8095%. Penghambatan bersifat ireversibel dan produksi asam baru dapat terjadi
kembali setelah 3-4 hari setelah pengobatan dihentikan.

Golongan Obat
Penekan Sekresi Asam
1. Antasida

Contoh Obat
Mylanta, Maalox

Dosis
100-140meq 1 3

jam setelah makan


2. Antagonis reseptor Cimetidin
400 mg
Ranitidin
300 mg
H2
Famotidin
40 mg
Nizatidine
300 mg
3. Penghambat
Omeprazol
20 mg/ hari
Pompa Proton
Lansoprazol
30 mg/ hari
Rabeprazol
20 mg/ hari
Pantoprazol
40 mg/ hari
Esomeprazol
20 mg/ hari
Agen Proteksi Mukosa
1. Sukralfat
Sukralfat
1 gram q/d
2. Prostaglandin
Misoprostol
200 pikogram q/d
Analog
Tabel I. Golongan Obat dan Dosis yang digunakan dalam Terapi pada Ulkus
Peptikum

4. Agen Protektif Mukosa


a. Sukralfat
Merupakan kompleks garam sukrosa dengan Al(OH)3 yang tersulfatasi.
Sukralfat dipecah menjadi sukrosa sulfat serta garam Al. Obat ini hampir
tak dapat diserap tubuh dan dikeluarkan bersama feses.
Di dalam lambung, sukralfat dan air akan membentuk pasta kental yang
melindungi ulkus atau erosi hingga 6 jam. Sukrosa sulfat yang bermuatan

sangat negatif akan berikatan dengan dasar ulkus/ erosi yang bermuatan
positif. Terbentuk barrier fisik sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut.
Barier ini akan memberi kesempatan sel dibawahnya untuk mensekresikan
Prostaglandin dan HCO3 untuk perbaikan mukosa.
Walaupun sukralfat dengan selektif menutupi ulkus, namun ia juga dapat
berikatan dengan berbagai obat lain, seperti, digoxin, phenytoin,
cimetidine, fluoroquinolone.
b. Analog Prostaglandin
Mukosa saluran cerna mensintesi sejumlah prostaglandin terutama PGE
dan PGF. Misoprostol adalah senyawa metil yang analog dengan PGE1.
Obat ini diserap dan dimetabolisasi menjadi bentuk metabolit yang aktif .
Waktu paruhnya sekitar 30 menit, sehingga butuh 3-4 kali minum per
hari. Walaupun Misoprostol dieksresikan melalui urin, tidak perlu
penurunan dosis pada pasien insufisiensi renal.
Misoprostol memiliki fungsi ganda, sebagai penghambat sekresi asam
sekaligus pelindung mukosa. Obat ini menstimulasi sekresi mukus dan
HCO3 dan meningkatkan laju darah di mukosa. Selain itu, obat ini juga
berikatan dengan reseptor Prostaglandin di sel parietal, menurunkan cAMP
yang distimulasi histamin, sehingga memberikan efek inhibisi asam
walaupun hanya sedikit.
Efek samping pada sejumlah pasien dilaporkan mengalami diare dan nyeri
abdomen. Prostaglandin juga memiliki fungsi lain seperti merangsang
kontraksi uterus, sehingga misoprostol

menjadi kontraindikasi pada

wanita hamil. Namun setelah melahirkan, obat ini dapat diberikan karena
mampu menghentikan perdarahan post-partum. Sampai saat ini belum
ditemukan adanya interaksi signifikan misoprostol dengan obat lain.

Gambar 10. Ringkasan Mekanisme Kerja Obat-obatan


pada Ulkus Peptikum
Selain obat-obatan di atas, untuk ulkus peptikum yang disebabkan oleh infeksi
Helicobater pylori digunakan beberapa antibiotic yang berfungsi mengeradikasi
bakteri tersebut. Penggunaan antibiotik tunggal pada infeksi memberikan hasil yang
lebih buruk dibandingkan dengan pemberian antibiotic kombinasi. Adapun antibiotic
yang digunakan antaralain metronidazole, tetrasiklin, klaritromisn, dan senyawa
Bismuth. Triple therapy yang digunakan diawal adalah penggunaan 2 antibiotik
ditambah dengan satu diantara PPI, Antagonis H2 memiliki tingkat keberhasilan yang
lebih baik. Penggunaan obat-obat yang menekan produksi asam bertujuan untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan proses eradikasi bakteri. Dalam pemilihan
antibiotic perlu diperhatikan beberapa faktor seperti efikasi obat, toleransi pasien serta
resistensi obat.
Meskipun Triple Therapy efektif dalam eradikasi Helicobater pylori, namun dapat
menimbulkan penurunan dari kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Terapi ini
harus dikonsumsi selama 14 hari, dua kali dalam sehari. Oleh sebab itu, edukasi
kepada pasien amat dibutuhkan agar tidak terjadi resistensi dan mampu mencapai
target eradikasi. tabel di bawah ini merupakan regimen yang direkomendasi untuk
eradikasi Helicobacter pylori.

Obat
Triple Therapy
1. Bismuth subsalisilat
plus
Metronidazol plus
Tetrasiklin
2. Ranitidin Bismuth
citrate plus
Tetrasiklin plus
Claritromisin
3. Omeprazole plus
Claritromisin plus
Metronidazol atau
amoksisilin
Quadruple Therapy
Omeprazol
Bismuth subsalisilat
Metronidazol
Tetrasiklin

Dosis
2 tablet 4x sehari
250 mg 4x sehari
500 mg 4x sehari
400 mg, 2x sehari
500 mg , 2x sehari
500 mg, 2x sehari
20 mg, 2x sehari
250-500 mg, 2x
sehari
500 mg , 2x sehari
1 gram, 2x sehari

20 -30 mg/hari
2 tablet 4x sehari
250 mg 4x sehari
500 mg 4x sehari

Tabel II. Regimen yang


direkomendasikan untuk
eradikasi Helicobater pylori

Untuk kasus ulkus peptikum yang diinduksi oleh NSAID, intervensi yang harus
dilakukan adalah menghentikan penggunaan NSAID yang menyebabkan ulkus. Jika
tidak mungkin, NSAID dapat diganti dengan rejimen lain yang lebih selektif terhadap
COX-2 (celecoxib, rofecoxib) yang digunakan secara bersamaan dengan misoprostol,
atau Antagonis H2 dosis tinggi.

You might also like