You are on page 1of 3

ENERGI ANGIN DAN MATAHARI

Feed in Tariff atau yang bisa kita sebut Pembayaran Energi Terbarukan
merupakan salah satu kebijakan yang digunakan untuk memercepat investasi
dalam teknologi energi terbarukan sehingga para investor pun merasa diuntungkan.
Dengan adanya Feed in Tariff, perusahaan listrik negara harus membayar sejumlah
harga kepada perusahaan pembangkit listrik dengan energi terbarukan dengan
harga yang ditentukan pemerintah setempat. Harga lisrik yang dibangkitkan dari
energi terbarukan biasanya memiliki harga per-kWh yang lebih murah daripada
harga listrik langsung. Salah satu tujuan dari penggunaan Feed in Tariff adalah
untuk meningkatkan pemakaian listrik dengan sumber energi terbarukan.
Indonesia masih memiliki potensi panas bumi yang tinggi. Namun, beberapa
tahun terakhir ini, usaha untuk mengembangkan energi listrik dari panas bumi
masih rendah. Selama ini, PLN tidak bisa membeli panas bumi dengan harga baik
karena sejumlah persoalan. Selain efisiensi, PLN harus dapat menghasilkan laba.
Maka dari itu, PLN membeli batubara yang memiliki harga yang lebih murah.
Namun, batubara mudah mencemari lingkungan sehingga negara seperti Tiongkok
telah menghentikan menggunakan batubara karena pencemaran yang parah.
Skema Feed in Tariff ini telah menjadi jalan keluar bagi sulitnya pengembangan
energi panas bumi di Indonesia. Indonesia memang memiliki banyak sekali kendala
dalam mengolah panas bumi, seperti lokasinya yang berada di pegunungan. Oleh
karena tariff ini, telah ditunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap
pengembangan energi terbarukan.
Pada tahun 2013, untuk mendorong PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu)
menjadi komersial, maka salah satu faktor yang penting adalah harga jual atau
Feed in Tariff tenaga listrik. Faktor ini dapat memikat para investor. Wind Hybrid
Power Generation atau dikenal dengan nama WHyPGen memfasilitasi pertemuan
stakeholder pemangku kepentingan bidang energi angin untuk mengusulkan harga
Feed in Tariff. Beberapa tokoh penting yang hadir adalah CEO PT. Viron Energy,
Bapak Poempida Hidayatullah, Direktur PT. Odira Group, Bapak Tonny Agus M,
Direktur PT. Ewind, Bapak Gurhadi K, Direktur Pengembangan PT. Binatek Reka
Energi, Bapak Don Johnson, PT Pertamina diwakili oleh Bapak Toto Nugroho selaku
New & Renewable Energy Business Development Manager dan Bapak Arif Hardoko
selaku Asisten Manajer. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) diwakili oleh
Bapak Ananada S. Ivannanto, dan Bapak M. Nashar sebagai perwakilan dari
Masyarakat Energi Angin Indonesia (MEAI). Dari Tim WHyPGen hadir Bapak Soeripno
selaku National Project Manager, Bapak Teguh Yunarso dan Nila Murti. Dengan
adanya pertemuan ini, FIT dari energi angin dapat ditentukan dengan
memerhitungkan initial cost dan capacity factor. WHyPGen akan mengulas kembali
perhitungan dari pertemuan tersebut dengan parameter financial sehingga
disepakati FIT tersebut. Pada tahun 2015, pemerintah akan menerbitkan Permen
mengenai Feed in Tariff PLTB. Pemerintah berharap dengan adanya Permen ini para
investor akan lebih tertarik untuk berinvestasi di sektor listrik.
Pada 12 Juli 2016, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said,
telah menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2016. Permen ini

mengatur tentang pembelian listrik dari PLTS dan PLN. Sudirman menetapkan Feed
in Tariff sebagai berikut :

DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur: US$ 14,5
sen/kWh

Bali: US$ 16 sen/kWh

Lampung: US$ 15 sen/kWh

Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu: US$ 15 sen/kWh

Aceh: US$ 17 sen/kWh

Sumatera Utara: US$ 16 sen/kWh

Sumatera Barat: US$ 15,5 sen/kWh

Riau dan Kepulauan Riau: US$ 17 sen/kWh

Bangka Belitung: US$ 17 sen/kWh

Kalimantan Barat: US$ 17 sen/kWh

Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah: US$ 16 sen/kWh

Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara: US$ 16,5/kWh

Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo: US$ 17/kWh

Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara: US$ 16 sen/kWh

NTB: US$ 18 sen/kWh

NTT: US$ 23 sen/kWh

Maluku dan Maluku Utara: US$ 23 sen/kWh

Papua dan Papua Barat: US$ 25 sen/kWh

Permen tersebut disambut dengan baik oleh Abdul Kholik selaku Ketua Asosiasi
Pabrikan Modul Surya Indonesia. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan PLN
akan keberatan dengan kebijakan tersebut. Hal inilah yang ditakutkan oleh Abdul
Kholik. Abdul meminta PLN tak memprotes aturan ini hanya karena harga listrik dari
PLTS jauh di atas rata-rata biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN yang hanya Rp

1.352/kWh. Abdul pun menambahkan agar tariff listrik ini tidak akan bertambah
sekitar 20 tahun ke depan.

Daftar Pustaka
https://energisurya.wordpress.com/2008/01/14/menanti-program-insentifpemerintah-dalam-memasyarakatkan-sel-surya-bagian-2-habis/ , diakses 4
September 2016.
http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2015/12/17/354041/penerapan-skema-feedtariff-menjadi-solusi , diakses 4 September 2016
http://whypgen-bppt.com/id/berita/item/742-pembahasan-rancangan-usulan-hargapenjualan-tenaga-listrik-feed-in-tariff-fit-dari-energi-angin.html , diakses 4
September 2016
http://finance.detik.com/read/2016/07/25/194730/3260986/1034/menteri-esdmterbitkan-aturan-baru-soal-tarif-listrik-tenaga-surya , diakses 4 September 2016

You might also like