Professional Documents
Culture Documents
Sufi terkenal
Beberapa sufi yang terkenal antara lain:
Al-Hallaj
Jalaluddin Rumi
Abu Nawas
ilmu yang dipelajari namanya tasawuf, orang yang mengamalkannya namanya salik (bisa
diartikan sebagai pejalan atau murid). Salah satu tahapan dalam perjalanannya dinamakan suluk.
Jalan yang dilaluinya namanya thoriqoh (di indonesia dikenal tarekat, dijawa dikenal tirakat)
memiliki akar tujuan yang sama, tetapi dalam perjalanannya ketiga kata ini diartikan berbeda.
Tarekat /thoriqoh bisa juga disebut sebagai sekelompok orang yang mempelajari tassawuf
dengan dipimpin seorang Mursyid . Pada beberapa tarekat, pengertian sufi adalah untuk salik
yang telah mencapai tahapan ma'rifat.
Sufisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tasawwuf)
Belum Diperiksa
1 Etimologi
2 Sejarah paham
4 Contoh paham
o
6 Kesenian sufi
7 Doa Sarmadiyah
8 Lihat pula
9 Catatan
10 Bacaan tambahan
11 Pranala luar
Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu
berasal dari Suf (), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang
dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian
dari wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf, yakni barisan dalam
sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (
), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati
dan jiwa.[2] Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu
ketuhanan.
Sejarah paham
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari
luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf
sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah
berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[3]. Dan orang-orang Islam baru di
daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang
memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam,
hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu
mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu
pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda
bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut
paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut
disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi
Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl alsuffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf
yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [4].
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam pada zaman
Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian
antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung
dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap
hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan
busuk. Mereka melakukan gerakan uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah
duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di
pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figur lain
seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabiah al-Adawiyah.[5]
Definisi Sufisme
Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr.
C.B. Van Haeringen).
Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:
Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para
muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama,
kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai
menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [6]
Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana
tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang
didekatkan kepada ALLAH).
Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dll
sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis
(bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna
sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu.
Adanya sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan
memperkuat status Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara
agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut
dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip
dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari ajaran Islam.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam:
Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol
pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi
dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam
ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang
ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2)
Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama
non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu
bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran
Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf
walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien
Jaiz, 1980)[8].
Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka
mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka
disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran
Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib
Radiyallahu anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah
berkata: Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan
juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang
terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat
berbeda dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah
melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia
Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia,
serta makhluk-makhluk pilihan Allah Taala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At
Tashawwuf Al Mansya Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi bin Sulaimi, Lc) [9].
Tokoh tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Hamzah Al-Fasuri,
Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, Syekh Yusuf Al-Makasari dan Shohibul Faroji
Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[10]
Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[1] diantaranya ialah Syekh Syarif
Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari
Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan
para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten
Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante,
Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain.[11]
Contoh paham
Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat
Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat,
ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari
kempat tingkatan spiritual tersebut.
Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan
berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah
mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa
meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukumhukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
Paham kesatuan wujud
Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah.
Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini
ditolak oleh Al Ghazali dan Ibnu Taymiah.
Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak
ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [2] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu
karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak
melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka
sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu
mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua
amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah
swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba
selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para
muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat
beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para
petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan
sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah
memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhannya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan
dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat
dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan
Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [3]
Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud)
itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid
termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, yaitu segala
ahli sufi yang sebenarnya, mereka dinamakan kaum wujudiyyah karena bicaranya dan
perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi
sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap
bahwa Allah tidak tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk, atau
bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud
pada kharij dan pada zaman dan makan, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan
seumpama tiada wujudku, hanya wujud Allah, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan
wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu
kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah
penganut-penganut di Aceh.
Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi.
Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa
wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu
segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu
memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah
muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan bahwa yang ada hanya
Allah dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni
terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan
tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.
Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa
esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahirNya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [4] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya
Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang
Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [5]
.
Tasawuf dan ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang pada zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan
filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru
memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung.
Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun
(agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen
dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana
menuju kehidupan yang hendak dicapai.[12]
Kesenian sufi
Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi,
Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup
karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah
Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti
Sama dan musik seperti Qawalli.
Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung,
Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon
terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut.
Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon
menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada
ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis
oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi
Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang
salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu
menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah
pada saat itu Mertasinga 2004.
Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang
selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [6]
tasawuf itu sulit didefinisikan agar dapat dipahami dengan mudah
Doa Sarmadiyah
DOA SARMADIYAH : Yang orang banyak menyebutnya dengan Doa Ilmu Cahaya Ilahi
merupakan amalan dari Syaikh Abu Hayyullah AL-Marzuki Al-Maliky yang di kutib dari
kitabJawahirul Lamaah, dia ini merupakan ulama ahli hikmah pada abad 7 Hijriah, bermazhab
Maliky. Sesuai dengan maksud isi doanya, Insy Allah dengan izinNya akan membukakan hijab
gerbang pintu makrifat dan kasyaf (terbukanya tirai) hati anda dan anda dapat dengan mudah
menyelami samudara pengertian-pengertian sir-sir ilmunya Allah yang maha agung dan luas.
Sufisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tasawwuf)
Belum Diperiksa
1 Etimologi
2 Sejarah paham
4 Contoh paham
o
6 Kesenian sufi
7 Doa Sarmadiyah
8 Lihat pula
9 Catatan
10 Bacaan tambahan
11 Pranala luar
Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu
berasal dari Suf (), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang
dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian
dari wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf, yakni barisan dalam
sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (
), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati
dan jiwa.[2] Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu
ketuhanan.
Sejarah paham
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari
luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf
sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah
berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[3]. Dan orang-orang Islam baru di
daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang
memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam,
hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu
mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu
pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda
bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut
paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut
disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi
Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl alsuffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf
yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [4].
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam pada zaman
Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian
antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung
dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap
hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan
busuk. Mereka melakukan gerakan uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah
duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di
pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figur lain
seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabiah al-Adawiyah.[5]
Definisi Sufisme
Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr.
C.B. Van Haeringen).
Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:
Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para
muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama,
kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai
menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [6]
Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana
tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang
didekatkan kepada ALLAH).
Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dll
sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis
(bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna
sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu.
Adanya sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan
memperkuat status Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara
agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut
dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip
dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari ajaran Islam.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam:
Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol
pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi
dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam
ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang
ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2)
Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama
non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu
bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran
Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf
walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien
Jaiz, 1980)[8].
Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka
mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka
disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran
Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib
Radiyallahu anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah
berkata: Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan
juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang
terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat
berbeda dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah
melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia
Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia,
serta makhluk-makhluk pilihan Allah Taala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At
Tashawwuf Al Mansya Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi bin Sulaimi, Lc) [9].
Tokoh tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Hamzah Al-Fasuri,
Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, Syekh Yusuf Al-Makasari dan Shohibul Faroji
Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[10]
Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[1] diantaranya ialah Syekh Syarif
Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari
Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan
para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten
Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin
Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante,
Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain.[11]
Contoh paham
Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat
Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat,
ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari
kempat tingkatan spiritual tersebut.
Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan
berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah
mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa
meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukumhukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
Paham kesatuan wujud
Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah.
Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini
ditolak oleh Al Ghazali dan Ibnu Taymiah.
Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak
ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [2] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu
karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak
melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka
sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu
mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua
amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah
swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba
selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para
muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat
beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para
petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan
sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah
memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhannya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan
dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat
dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan
Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [3]
Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud)
itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid
termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, yaitu segala
ahli sufi yang sebenarnya, mereka dinamakan kaum wujudiyyah karena bicaranya dan
perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi
sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap
bahwa Allah tidak tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk, atau
bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud
pada kharij dan pada zaman dan makan, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan
seumpama tiada wujudku, hanya wujud Allah, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan
wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu
kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah
penganut-penganut di Aceh.
Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi.
Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa
wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu
segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu
memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah
muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan bahwa yang ada hanya
Allah dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni
terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan
tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.
Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa
esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahirNya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [4] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya
Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang
Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [5]
.
Tasawuf dan ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang pada zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan
filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru
memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung.
Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun
(agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen
dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana
menuju kehidupan yang hendak dicapai.[12]
Kesenian sufi
Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi,
Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup
karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah
Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti
Sama dan musik seperti Qawalli.
Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung,
Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon
terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut.
Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon
menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada
ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis
oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi
Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang
salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu
menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah
pada saat itu Mertasinga 2004.
Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang
selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [6]
tasawuf itu sulit didefinisikan agar dapat dipahami dengan mudah
Doa Sarmadiyah
DOA SARMADIYAH : Yang orang banyak menyebutnya dengan Doa Ilmu Cahaya Ilahi
merupakan amalan dari Syaikh Abu Hayyullah AL-Marzuki Al-Maliky yang di kutib dari
kitabJawahirul Lamaah, dia ini merupakan ulama ahli hikmah pada abad 7 Hijriah, bermazhab
Maliky. Sesuai dengan maksud isi doanya, Insy Allah dengan izinNya akan membukakan hijab
gerbang pintu makrifat dan kasyaf (terbukanya tirai) hati anda dan anda dapat dengan mudah
menyelami samudara pengertian-pengertian sir-sir ilmunya Allah yang maha agung dan luas.