You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasyri samawi diturunkan dari Allah kepada para Rasul-Nya untuk memperbaiki
umat dibidang Aqidah, ibadah, dan muamalah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi
itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakan atas tauhid uluhiyah dan
rububiyah maka dakwah atau seruan para Rasul kepada Aqidah yang satu itu semuannya
sama. Allah berfirman:

Dan kami tidak mengutus seorang Rasul-pun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku. (Qs. Al-Anbiya [21]: 25).
Mengenai bidang ibadah dan muamalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama,
yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara selamatan dan masyarakat serta
mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan
kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk
satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping
itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan
perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga
hikmah tasyri pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri pada periode yang
lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syariat (musyarri) yaitu Allah, Rahmat
dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang-pun hanya
milik-Nya.

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
(Qs. Al-Anbiya[21]: 23)

Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri dengan tasyri lain
untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang
yang pertama dan yang kemudian.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Nasikh dan Syarat-syaratnya?
2. Apa yang menjadi dasar penetapan nasikh dan mansukh?
3. Apa saja dan jenis nasikh dalam Al-Quran?
4. Apa saja ruang lingkup Nasikh?
5. Bagaimana pedoman mengetahui nasikh dan Manfaatnya ?
6. Bagaimana pendapat tentang Nasikh dan dalil ketetapannya?
7. Apa saja pembagian nasikh?
8. Apa macam-macam nasikh dalam Al-Quran?
9. Bagaimana hikmah dari nasikh?
10. Apa yang dimaksud dari nasikh beperganti dan nasikh dan tidak berpengganti?
11. Bagaimana kekaburan nasikh?
12. Apa saja contoh-contoh Nasikh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Nasikh.
2. Untuk mengetahui dasar penetapan nasikh dan mansukh.
3. Untuk mengetahui dan jenis nasikh dalam Al-Quran
4. Untuk mengetahui ruang lingkup Nasikh.
5. Untuk mengetahui pedoman mengetahuan nasikh dan manfaatnya.
6. Untuk mengetahui pendapat tentang nasikh dan dalil ketetapannya.
7. Untuk mengetahui pembagian nasikh.
8. Untuk mengetahui macam-macam nasikh dalam Al-Quran.
9. Untuk mengetahui hikmah dari nasikh.
10. Untuk mengetahui nasikh beperganti dan nasikh tidak berpeganti.
11. Untuk mengetahui kekaburan nasikh.
12. Untuk mengetahui contoh-contoh nasikh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Naskh dan Syarat-syaratnya
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izlah (menghilangkan). Misalnya:
artinya, matahari menghiangkan bayang-bayang: dan
artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: artinya, saya
1Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Quran. Pustaka Litera AntarNusa:Bogor. 2013.
2

memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Quran dinyatakan:
(Al Jasiyah ayat 29). Maksudnya, kami memindahkan
(mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).
Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilangan
(izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang
menghilang, menggantikan, mengubah, dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu
yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan disebut mansukh.2
Adapun dari segi terminology, para ulama mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan
redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan rafu al-hukm asy-syarI
bi al-khitabasy-syari ( menghapuskan hokum syara dengan khitab syara pula) atau rafu
al-hukm bil al-dalil asy-syarI (menghapuskan hokum syara dengan dalil syara yang lain).
Terminology menghapuskan dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hokum
yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hokum itu sendiri.3
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara dengan dalil
hukum (khitab) syara yang lain. Dengan perkataan hukum, maka tidak termasuk dalam
pengertian naskh menghapuskan kebolehan yang bersifat asal (al-barah al-asliyah). Dan
kata-kata dengan khitab syara mengecuaikan pengangkatan (penghapusan) hukum
disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma atau qiyas.
Kata nsikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan Allah, seperti terlihat dalam:

(Al Baqarah ayat 106); dengan ayat atau sesuatu yang dengannya
naskh diketahui, seperti dikatakan:( ayat ini menghapus ayat anu); dan
juga dengan hukum yang menghapuskan hukum yang lain.
Manskh adalah hukum yag diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawrs atau hukum
yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan (nsikh) hukum wasiat
2 Quraisy Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992, hlm 143; Jalaludin As-Suyuthi, AlItqan fi Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid II, 20
3 Az-Zarqani, op. cit., hlm. 72.
3

kepada kedua orang tua atau kerabat (manskh) sebagaimana akan dijelaskan dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara.
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syari yang datang lebih kemudian
dari khitab yang hukumnya mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab
jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.
Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
Makki berkata4: Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan
waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah:
(Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya) (Al
Baqarah ayat 109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu.
Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.
B. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna Al-Qathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus). Ketiga dasar tersebut:5
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-nagl ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang berbunyi, Kuntu nahaitukum an ziyarat al-qubur ala fa zuruha (aku
dulu melarang kalian untuk berziarah kubur), sekarang berziarahlah.
2. Melalui kesepatakan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3. Melalui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan
ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qathan menambahkan bahwa nsikh tidak dapat ditetapkan melalui prosedur ijtihad
atau pendapat ahli tafsir karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari
lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.6
4 Ia adalah Makki bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar al-Qaisi al-Muqri, dengan nama panggilan
Abu Muhammad, berasal dari Qaraiwan. Ia mempunyai banyak karangan tentang ulumul Quran dan
bahasa Arab. Salah satu karyanya ialah an-Nsikh wal-Manskh. Tinggal di Cordova dan pergi ke Mesir
dua kali. Wafat pada 437 H.
5Al-Qaththan, op. cit., hlm. 234.
6 Ibid.
4

C. Jenis Nasikh dalam Al-Quran


Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat
macam, yaitu:
1. Nasikh Sharih, yaitu ayat secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Umpamanya ayat tentang perang (qital) pada surat Al-Anfal (8) 65 yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir.
Artinya:
Hai Nabi, kabarkanlah semanagat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar di anatra kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di anatara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.
Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus oleh ayat yang mengaharuskan satu orang
melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
Artinya:
Sekarang Allah telah meringankan kamu, dan mengetahui pada bahwa kamu memiliki
kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika di antara kamu terdapat seribu orang
yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.
2. Nasikh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu
turunya, maka ayat yang datang kemudian mengahpus ayat yang terdahulu. Contohnya,
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati terhadap
dalam ayat berikut:
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di anatara kamu kedatangan tanda-tanda
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta
karib-kerabatnys secara makruf. (Qs. Al-Baqarah:180)
Ayat ini menurut pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis la washiyyah li warits (tidak
ada wasiat bagi ahli waris).
3. Nasikh Kully, yaitu pengahapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya,
ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah 234 dihapus oleh
ketentuan iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4. Nasikh Juziy, yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagaian individu, atau pengahpusan hukum
yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali

bagi orang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur 4. Dihapus
oleh ketentuan lian, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh
pada ayat 6 dalam surat yang sama.
D. Ruang Lingkup Naskh
Dari uraian di atas diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik
yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita
(Khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak
berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah, sifat-sifat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika
dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syariat
ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (usl) semua
syariat adalah sama. Allah berfiman:

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah-belah tentangnya. (Asy Syura ayat 13).
Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu. (Al Baqarah ayat 183)
Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjaan kaki (Al Hajj ayat 27)
Dalam hal qisas Ia berfirman:

Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka dengan luka pun qisasnya. (Al Maidah ayat 45).
Dalam hal jihad, Ia berfirman:

Dan betapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut(nya) yang bertakwa. (Al Imran ayat 146)
Dan mengenai akhlak, Ia berfirman:
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. (Al Luqman ayat 18).
Naskh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan;
perintah atau larangan), seperti janji (al-wad) dan ancaman (al-wad).
E. Pedoman Mengetahui Naskh dan Manfaatnya
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para
ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak
menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak asr (perkataan sahabat dan atau
tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu
mengetahui yang nasikh dari yang mansukh? Tidak, jawab hakim itu. Maka kata Ali:
Celakalah kamu dan mencelakakan orang lain.
Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, Dan barang siapa yang diberi
hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak. (Al Baqarah ayat 269), yang
dimaksud ialah nasikh dan masukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan
muakhkharnya, serta halal dan haramnya.7
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
.
[ ] .
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.
(Hadits Hakim).
Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur
Manah, 8sebagaiman akan dijelaskan nanti, berkenaan dengan mereka turunlah
ayat Quran yang pernah kami baca sampai kemudian ia diangkat kembali.
2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif
sejarah.
7 Diriwayatkan Ibn Jarir, Ibnul Munzir dan Ibn Abi Hatim, dari Ibn Abbas.
8 Mereka adalah delegasi para sahabat Rasulullah yang dikirim kepada penduduk Nejd. Mereka berjalan
sampai ke sumur Maunah. Lalu Amir bin Tufail meminta bantuan kepada Usaiyah, Rahal dan Zakwan
dari kabilah Bani Sulaim untuk menyerang mereka. Maka kabilah-kabilah itu kemudian mengepung dan
membunuh mereka sampai semuanya mati.
7

Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan
dalil-dalil yang secara lahir Nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang
dari dua perawi.
F. Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketetapannya
Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya, naskh
mengandung konsep al-bad, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang
dimaksud mereka ialah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi
Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak Nampak. Ini
berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun
mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh
dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang
hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari
suatu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya
jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap
segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat
sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman
sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semua dihalalkan. Berkenaan dengan
mereka Allah berfirman:
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Yakub) untuk dirinya sendiri. (Al Imran ayat 93). Dan
firman-Nya:
Dan kepada orang-orang yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.
(Al Anam ayat 146).
Ditegaskan dalam kitab Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya.
Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas Musa, dan Musa
memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang
menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah ini dicabut kembali.
2. Orang Syiah Rfidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan
meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bad sebagai suatu hal yang mungkin
8

terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan
orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi
dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu.
Juga dengan firman Allah:

Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang Ia
kehendaki). (Ar Rad ayat 39).
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap
Quran. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang
dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya
mengandung maslahat. Di samping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam
banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan:

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatanperbuatan yang buruk. (Hud ayat 14). Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan
orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan
mereka. Hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan
bagi Allah. Tetapi Ia melakukan semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu
sebelum sesuatu itu terjadi.
3. Abu Muslim al-Asfahani.9 Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara. Dikatakan pua bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi naskh dalam Quran berdasarkan firman-Nya:

Yang tidak datang kepadanya (Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji. (Fussilat ayat 42), dengan pengertian bahwa hukum-hukum Quran tidak
dibatalkan untuk selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ia
takhsiskan.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut iaah,
bahwa Quran tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak
datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
9 Ia adalah Muhammad bin Bahr, terkenal dengan nama Abu Muslim al-Asfahani, seorang Mutazilah
yang termasuk tokoh mufassirin. Kitabnya yang terpenting ialah Jamiut-Tawil, tentang tafsir. Wafat
pada 322 H.
9

4. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal
dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara, berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain.
Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b. Nas-nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara
lain:
Firman Allah:

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain (An
Nahl ayat 101). Dan firman-Nya:

Apa saja ayat yang Kami naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding

dengannya. (Al Baqarah ayat 106).


Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibn Abbas r.a., Umar r.a. berkata: Yang
paling paham dan paling menguasai Quran di antara kami adalah Ubai.
Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia
mengatakan: Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang
pernah aku dengar dari Rasulullah s.a.w.. padahal Allah telah berfirman : Apa
saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya

(Al Baqarah ayat 106).


G. Pembagian Naskh
Naskh ada empat bagian:
Pertama, naskh Quran dengan Quran. Bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang
idah empat bulan sepuluh hari, sebagaiman akan dijelaskan contohnya.
Kedua, naskh Quran dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
a. Naskh Quran dengan hadits hd, sebab Quran adalah mutawtir dan menunjukkan
yakin, sedang hadits ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula
menghapuskan sesuatu yang malm (jelas diketahui dengan yang maznn (diduga).
b. Naskh Quran dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu
Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Alah berfirman:
, .
.

10

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (an Najm ayat 3-4),
dan firman-Nya pula:
.
Dan Kami turunkan kepadamu Quran agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (an Nahl ayat 44). Dan naskh
itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Dalam pada itu asy-Syafii, Ahli Zhir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. (Al
Baqarah ayat 106). Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Quran.
Ketiga, naskh sunnah dengan Quran. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah
masalah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Quran
tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinasakhkan olehh Quran dengan
firman-Nya:
.
Maka palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram. (Al Baqarah ayat 44).
Kewajiban puasa pada hari Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunnah, juga
dinasakhkan oleh firman Allah:

.
Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa (Al
Baqarah ayat 185). Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafii dalam salah satu
riwayatnya. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung pula oleh sunnah.
Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
Keempat, naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1)
naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) naskh hd dengan hd, 3) naskh hd dengan
mutawatir, dan 4) naskh mutawatir dengan hd. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang
pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Quran dengan hadits ahad,
yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma dengan ijma dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.
H. Macam-macam Naskh dalam Al-Quran

11

Naskh dalam Al-Quran ada tiga macam:


Pertama, Naskh Tilawah dan hukum. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan
yang lain, dari Aisyah, ia berkata:
.

.


( ) : .
Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu
menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini dinasakh oleh lima susuan yang maklum.
Maka ketika Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk ayat Al-Quran yang dibaca
(matlu).
Kata-kata Aisyah, lima susuan ini termasuk ayat Quran yang dibaca, pada lahirnya
menunjukkan bahwa tilawah-nya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak
terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud
dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.10
Yang jelas ialah bahwa tilawah-nya telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini
tidak sampai kepada semua orangkecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika
beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-intisar tentang suatu kaum yang megingkari
naskh macam ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak
boleh memastikan sesuatu itu adalah Quran atau menasakh Quran dengan dengan khabar
ahad. Khabar ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi
yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan.
Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan naskh adalah suatu hal sedang penetapan sesuatu
sebagai Quran adalah hal lain. Penetapan naskh cukup dengan khabar ahad yang zanni,
tetapi penetapan sesuatu sebagai Quran harus dengan dalil qati, yakni khabar mutawatir.
Pembicaraan kita di sini adalah mengenai penetapan naskh, bukan penetapan Quran,
sehingga cukuplah dengan khabar ahad. Dan andaikata dikatakan bahwa qiraah ini tidak
ditetapkan khabar mutawatir, maka ini adalah benar.
10 Diriwayatkan oleh Bukhari secara muallaq, dari Umar.
12

Kedua, naskh hukum, sedang tilawah-nya tetap. Misalnya naskh hukum ayat idah selama
satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak dikarang kitab-kitab
yang di dalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah
diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu
Bakar ibnul-Arabi.11
Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang
tilawahnya tetap?
Jawabannya ada dua segi:
1) Quran, di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena
ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah
karena hikmah ini.
2) Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk
mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah).
Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan

sejumlah contoh. Diantaranya ayat rejam:
(Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rejamlah keduanya itu
dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Dan antaranya pula ialah apa yang diriwayatkan dalam as-Sahihain, dari Anas tentang
kisah orang-orang yang dibunuh di dekat sumur Maunah, sehingga Rasulullah ber-qunut
untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: Dan berkenaan dengan
mereka turunlah (ayat) Quran yang kami baca sampai ia diangkat kembali, yaitu:

( Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami

telah bertemu Tuhan kami, maka ia rida kepada kami dan menyenangkan kami). Ayat ini
kemudian dinasakh tilawatnya.
Sementara itu sebagian Ahli Ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya
adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya Quran dan naskhnya
dengan khabar ahad. Ibnul-Hassar menjelaskan, naskh itu sebenarnya kembali ke nukilan
(kutipan keterangan) yang jelas dari Rasulullah, atau dari sahabat, seperti perkataan Ayat ini
11 Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Maarifi, salah
seorang fuqaha dan ulama Seville. Ia melawat ke Timur kemudian kembali lagi ke Barat. Wafat pada 544
H.
13

menasakh ayat anu. Naskh jelasnya lebih lanjut, dapat ditetapkan pula ketika terdapat
pertentangan pasti (tidak dapat dipertemukan) serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui
mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian. Disamping itu, naskh tidak dapat
didasarkan pada pendapat para musafir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para
mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh
mengandung arti penghapusan dan penetapan sesuatu hukum yang telah tetap pada masa
Nabi. Jadi, yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ray
dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada di antara dua sisi yang
saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan para
perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng
sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang musafir atau mujtahid. Dan yang benar
ialah kebalikan dari kedua pendapat ini.12
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukkannya adalah dua
hal yang saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian, jika
ayat dinasakh maka secara otomatis hukumny pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal
tersebut akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab, bahwa keterkaitan antara ayat dengan hukum tersebut dapat
diterima jika Syari (Allah, Rasul) tidak menegakkan dalil atas naskh tilawat dan ketetapan
hukumnya. Tetapi jika Syari telah menegakkan dalil bahwa sesuatu tilawah telah dihapuskan
sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan kekuburan pun akan
sirna dengan dalil syarI yang menunjukkan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.
I. Hikmah Naskh
1. Memelihra kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
J. Naskh Berpengganti dan Tidak Berpengganti

12 Lihat al-Itqan, jilid 2, halaman 24.


14

Naskh itu adakalanya dengan badal (pengganti) dan ada pula yang tanpa badal. Naskh
dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan (akhaff), sebanding (mumasil) dan
terkadang pula lebih berat (asqal).
1). Naskh tanpa badal. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum berbicara
denga Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firma Allah:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus


dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu, (al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya:

....
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kau memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah salat, tunaikan zakat (al-Mujadalah [58] :
13).
Sebagian golongan Mutazilah dan Zahiriyah mengingkari naskh macam ini. Menurut
mereka, naskh tanpa badal tidak dapat terjadi secara syara, karena Allah berfirman:

Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (al-Baqarah
[2]:106). Ayat ini menunjukkan keharusan didatangkannya, sebagai pengganti hukum yang
mansukh, hukum yang lain lebih baik atau yang sebanding dengannya.
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa jika Allah menghapuskan hukum suatu ayat tanpa
badal, hal itu sesuai dengan tututan hikmah-Nya dalam memelihara kepentingan hambahamba-Nya. Maka dengan demikian, ketiadaan hukum adalah lebih baik daripada eksistensi
hukum yang dihapuskan tersebut dari segi kemanfaatannya bagi manusia. Dan dalam

15

keadaan demikian dapatlah dikatakan, bahwa Allah telah menghapuskan hukum ayat
terdahulu dengan sesuatu yang lebih baik darinya, mengingat ketiadaan hukum tersebut
merupakan hal yang lebih baik bagi umat manusia.
2). Naskh dengan badal akhaff. Misalnya firman Allah:

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu (alBaqarah [2]:187)
Ayat ini menasakh firman-Nya
....
...
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (al-Baqarah[2]:183).
Karena maksud ayat 183 ini adalah agar puasa kita sesuai dengan ketentuan puasa orangorang terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum dan bercampur dengan istri apabila
mereka telah mengerjakan salat petang atau telah tidur, sampai dengan malam berikutnya,
sebagaimana disebutkan oleh para ahli.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Umar, katanya: Telah diturunkan ayat:

Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum


kamu Telah ditetapkan atas mereka, apabila salah seorang dari mereka telah mengerjakan
salat petang atau telah tidur, maka haram baginya makan, minum dan bercampur dengan istri
hingga malam berikutnya. Keterangan serupa diriwayatkan pula oleh Ahmad, Hakin dan lainlain. Dalam riwayat ini antara lain disebutkan, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan:

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu (alBaqarah [2]:187)
3). Naskh dengan badal mumasil. Misalnya penghapusan menghadap ke Baitul Makdis
(dalam salat) dengan menghadap ke Kabah, dalam firman Allah:

Maka palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram (al-Baqarah [2]:144)


4). Naskh dengan badal asqal. Seperti penghapusan hukuman penahanan di rumah, dalam
ayat:

16

.
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat
orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi
kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah. (an-Nisa [4]:15),
dengan hukuman dera, dalam ayat:
......
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina (an-Nur [24]:2), atau dengan
hukuman rejam sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
. . .
Orang tua laki-laki dan perempuan, apabila keduanya berzina maka rejamlah mereka
dengan pasti13
K. Kekaburan Naskh
Nasikh dan Mansukh mempunyai sejumlah contoh cukup banyak, namun sikap para
ulama dalam hal ini:
A. Ada yang berlebih-lebihan karena masalah ini kabur baginya, sehingga ia memasukkan
ke dalam kelompok naskh sesuatu yang sebenarnya tidak termasuk,
B. Ada yang berhati-hati, dengan mendasarkan masalah naskh ini hanya pada penukilan
yang sahih semata.
Sumber kekaburan tersebut bagi mereka yang berlebih-lebihan, cukup banyak. Yang
terpenting diantaranya adalah:
1. Menganggap takhsis (pengkhususan) sebagai naskh.
2. Menganggap bayan (penjelasan) sebagai naskh.
3. Menganggap suatu ketentuan yang disyariatkan karena sesuatu sebab yang kemudian
sebab itu hilang (dan secara otomatis ketentuan itu pun menjadi hilang), sebagai
13 Sebagian ulama menentang naskh macam ini, berlandaskan firman-Nya: Allah menghendaki
kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu (al Baqarah, ayat 185) dan firmanNya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu (an Nisa ayat 48). Pendapat ini dijawab, bahwa
badal asqal (pengganti yang lebih berat) ini sebenarnya mudah dilakukan oleh seorang mukallaf tanpa
mereka merasa kesulitan atau payah di samping di dalamnya pun terkandung sejumlah ekstra manfaat dan
pahala besar. Sedang sifat beratnya itu adalah jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya.
17

mansukh. Misalnya, perintah bersabar dan tabah terhadap gangguan orang kafir pada
masa awal dakwah ketika umat Islam masih lemah dan minoritas. Menurut mereka,
perintah itu dihapuskan dengan ayat-ayat perang. Padahal sebenarnya yang pertama,
yakni kewajiban bersabar dan tabah terhadap gangguan, berlaku di saat orang Islam
dalam keadaan lemah dan minoritas. Sedang dalam keadaan mayoritas dan kuat, umat
Islam wajib mempertahankan akidah melalui perang (jika perlu). Dan itulah hukum
yang kedua.
4. Menganggap tradisi jahiliyah atau syariat umat terdahulu yang dibatalkan Islam,
sebagai naskh. Misalnya pembatasan jumlah istri dengan empat dan legalisasi hukum
kisas dan diyat, sedang bagi Bani Israil hanya berlaku hukum kisas saja, sebagaimana
dikatakan Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari.

14

Hal seperti ini bukanlah

naskh, melainkan pembatalan al-baraah al-asliyah.


L. Contoh-contoh Naskh
As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandangnya
sebagai ayat-ayat mansukh. Berikut ini kami kemukakan sebagiannya untuk kemudian kami
komentari:
1. Firman Allah:

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. (al-Baqarah [2]:115) dinasakh oleh:
Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (al-Baqarah [2]:144). Telah
dikatakan, dan inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan
dengan salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam
14 Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Ibn Abbas, di kalangan Bani Israil terdapat hukum kisas tetapi
tidak terdapat hukum diyat. Maka kepada umat ini Allah berfirman: Diwajibkan atas kamu kisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh sampai dengan Maka barang siapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya (a Baqarah ayat 178). Pemaafan tersebut ialah diperbolehkannya
membayar diyat dalam pembunuhan sengaja, Maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendakah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang member maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmat jika
dibandingkan dengan hukum yang ditetapkan atas umat sebelum kamu. Barang siapa yang melampaui
batas sesudah itu, dikatakan: sesudah diterimanya diyat, maka baginya sangat pedih.
18

keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana
dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat fardu lima waktu.
Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang
ditetapkan dalam sunnah.
2. Firman Allah

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya (al-Baqarah[2]:180). Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang
kewarisan dan oleh hadis, Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.15
3. Firman Allah

Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah (al-Baqarah [2]:184). Ayat ini dinasaks oleh:

Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadan, hendaklah ia berpuasa (alBaqarah [2]:185). Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah
bin Akwa, Ketika turun Surah al-Baqarah [2]:184, maka orang yang ingin tidak berpuasa,
ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudanya yang menasakhnya.
Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak mansukh. Bukhari
meriwayatkan dari Ata, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca:Dan bagi mereka yang
kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, memberi makan
seorang miskin. Ibn Abbas mengatakan, ayat ini tidak di mansukh, tetapi tetap berlaku bagi
mereka yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa
dengan memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian,
maka makna

bukanlah

(sanggup menjalankannya). Tetapi maknanya ialah mereka

sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri.


Sebagian ulama berpendapat, ayat tersebut mengandung (huruf yang menyatakan tidak)
sehingga artinya ialah: (Dan wajib bagi orang-orang yang tidak sanggup berpuasa).
15 Hadis Abu Daud dan Tirmizi. Menurut Tirmizi, hadits ini hasan-sahih.
19

4. Firman Allah

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:


Berperang pada bulan itu adalah dosa besar. (al-Baqarah [2]:217). Ayat ini dinasakh oleh
ayat:

Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimanan mereka pun memerang
kamu semuanya. (at-Taubah[9]:36). Ada yang berpendapat, keumuman perintah berperang
dalam ayat ini harus diartikan sebagai perintah berperang diluar bulan-nulan haram. Karena
itu dalam hal ini tidak ada naskh.
5. Firman Allah

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya) (al-Baqarah[2]:240). Ayat ini dinasakh
oleh:

Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istriistri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari. (al-Baqarah[2]:234).
Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian
wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedang ayat
kedua berkenaan dengan masalah iddah. Dengan demikian maka tak ada pertentangan antara
kedua ayat itu.
6. Firman Allah:

Jika kamu melahrkan apa yang ada did alam hatimu atau kamu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu (alBaqarah [2]:284). Ayat ini di nasakh oleh firman-Nya: Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah [2]:286).
20

7. Firman Allah:

...
Dan apabila sewaktu pembagian pusaka itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) (an-Nisa[4]:8). Ayat ini
dinasakh oleh ayat mawaris. Namun ada yang berpendapat, dan inilah yang benar, ayat
tersebut tidak mansukh, dan hukumnya tetap berlaku sebagai anjuran.
8. Firman Allah:

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka elah
memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan
terhadap du orang yang melkukan perbuatan keji di antara kamu, berilah hukuman kepada
kedanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri maka biarkanlah
mereka. (an-Nisa[4]:15-16). Kedua ayat ini di nasakh oleh ayat dera bagi yang belum nikah
sebagaimana dijelaskan dalam ayat:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera. (an-Nur[24]:2), dan oleh hukuman dera bagi yang belum
nikah dan hukuman rejam bagi yang telah nikah seperti ditetapkan dalam sunnah, Perzinaan

21

antara bujang dengan perawan itu di dera seratus kali dan di asingkan selama satu tahun.
Sedang perzinaan antara duda dengan janda di dera seratus kali dan direjam.16
9. Firman Allah:

Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh (al-Anfal[8]:65). Ayat ini dinasakh oleh ayat
berikutnya:

Sekarang Allah telah meringankan epadamu dan ia mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang. (al-Anfal[8]:66).
10. Firman Allah:
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat (atTaubah[9]:41). Ayat ini di nasakh oleh firman-Nya: Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi
berjihad) atas orang-orang yang lemah dan atas orang-orang yang sakt(atTaubah[9]:91), dan oleh firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu
pergi semuanya (ke medan perang) (at-Taubah [9]:122).
Dalam hal ini ada yang berpendapat, ayat tersebut termasuk kategori takhsis, bukan
naskh. Dan contoh-contoh lainnya telah di kemukakan pada bagian muka.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izlah (menghilangkan). Misalnya:
artinya, matahari menghiangkan bayang-bayang: dan
artinya, angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: artinya, saya
16 Hadis Muslim dari hadis Ubadah bin Samit.
22

memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Quran dinyatakan:
(Al Jasiyah ayat 29). Maksudnya, kami memindahkan
(mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).
Adapun dari segi terminology, para ulama mendefinisikan nasikh, kendatipun dengan
redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan rafu al-hukm asy-syarI
bi al-khitabasy-syari ( menghapuskan hokum syara dengan khitab syara pula) atau rafu
al-hukm bil al-dalil asy-syarI (menghapuskan hokum syara dengan dalil syara yang lain).
Terminology menghapuskan dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hokum
yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hokum itu sendiri.17
Manna Al-Qathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus). Ketiga dasar tersebut:18
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-nagl ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang berbunyi, Kuntu nahaitukum an ziyarat al-qubur ala fa zuruha (aku
dulu melarang kalian untuk berziarah kubur), sekarang berziarahlah.
2. Melalui kesepatakan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3. Melalui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan
ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qathan menambahkan bahwa nsikh tidak dapat ditetapkan melalui prosedur ijtihad
atau pendapat ahli tafsir karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari
lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil. 2013. Studi Ilmu-ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa:
Shihab, Quraisy. 1992. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Marzuki, Kamaludin. 1994. Ulum Al-Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

17 Az-Zarqani, op. cit., hlm. 72.


18Al-Qaththan, op. cit., hlm. 234.
19 Ibid.
23

You might also like