You are on page 1of 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TRAUMA KEPALA DI RUANG

BEDAH F RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

A. Prinsip - Prinsip pada Trauma Kepala


 Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elastisitas
untuk mengatasi adanya pukulan.
 Bila daya/toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur.
 Berat/ringannya cedera tergantung pada :
1. Lokasi yang terpengaruh :
 Cedera kulit.
 Cedera jaringan tulang.
 Cedera jaringan otak.
2. Keadaan kepala saat terjadi benturan.
 Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
 TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
1. Volume darah /Pembuluh darah (± 75 - 150 ml).
2. Volume Jaringan Otak (±. 1200 - 1400 ml).
3. Volume LCS (± 75 - 150 ml).

Trauma kepala

Kulit Tulang kepala Jaringan otak

Fraktur - Komusio
 Fraktur linear. - Edema
 Fraktur comnunited - Kontusio
 Fraktur depressed - Hematom
 Fraktur basis

TIK meningkat
 Gangguan kesadaran
 Gangguan tanda-tanda vital
 Kelainan neurologis
B. Etiologi
1. Kecelakaan
2. Jatuh
3. Trauma akibat persalinan.

C. Patofisiologi

Cidera Kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

 Kontosio
 Laserasi Kerusakan sel otak Respon biologik

Sembuh Gangguan aliran darah otak TIK meningkat :


 Edema
 Hematom
 Metabolisme anaerobik
 Hipoximia

Respon biologik

Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2. Muntah proyektil.
3. Papil edema.
4. Kesadaran makin menurun.
5. Perubahan tipe kesadaran.
6. Tekanan darah menurun, bradikardia.
7. An isokor.
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.
Trauma Kepala

Gangguan auto regulasi

TIK meningkat Aliran darah otak menurun

Edema otak Gangguan metabolisme


 O2 menurun.
 CO2 meningkat.
Asam laktat meningkat

Metabolik anaerobik

Tipe Trauma kepala :


1. Trauma kepala terbuka.
2. Trauma kepala tertutup.

Trauma kepala terbuka :


Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan
melukai :
 Merobek duramater -----LCS merembes.
 Saraf otak
 Jaringan otak.

Gejala fraktur basis :


 Battle sign.
 Hemotympanum.
 Periorbital echymosis.
 Rhinorrhoe.
 Orthorrhoe.
 Brill hematom.
Trauma Kepala Tertutup :
1. Komosio
2. Kontosio.
3. Hematom epidural.
4. Hematom subdural.
5. Hematom intrakranial.

Komosio / gegar otak :


 Cidera kepala ringan
 Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
 Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
 Tanpa kerusakan otak permanen.
 Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
 Disorientasi sementara.
 Tidak ada gejala sisa.
 MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.
 Tidak ada terapi khusus.
 Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk ---
berdiri -- pulang.
 Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

Kontosio Cerebri / memar otak :


 Ada memar otak.
 Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.
 Gejala :
- Gangguan kesadaran lebih lama.
- Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
- Gejala TIK meningkat.
- Amnesia retrograd lebih nyata.

Hematom Epidural :
 Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
 Lokasi tersering temporal dan frontal.
 Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
 Katagori talk and die.
 Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
- Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit -
beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi,
pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

Hematom Subdural :
 Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
 Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.
 Akut :
- Gejala 24 - 48 jam.
- Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
- PTIK meningkat.
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

 Sub Akut :
- Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat ---
kesadaran menurun.

 Kronis :
-Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
-Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
-Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

Hematom Intrakranial :
 Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.
 Selalu diikuti oleh kontosio.
 Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi
mendadak.
 Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.
Pengaruh Trauma Kepala :
 Sistem pernapasan
 Sistem kardiovaskuler.
 Sistem Metabolisme.

Sistem Pernapasan :
TIK meningkat

Hipoksemia, hiperkapnia Meningkatkan rangsang simpatis

Peningkatan hambatan difusi O2 - Co2.

Edema paru Meningkatkan tahanan vask. sistemik dan tek darah

Meningkatkan tek, hidrostatik


Kebocoran cairan kapiler

Sistem pembuluh darah pulmonal tek. rendah.

Karena adanya kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan abnormal :
 Chyne stokes.
 Hiperventilasi.
 Apneu.

Sistem Kardivaskuler :
 Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tek.
Vaskuler.
 Perubahan saraf otonoom pada fungsi ventrikel :
-Disritmia.
-Fibrilasi.
-Takikardia.
 Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi penurunan kontraktilitas
ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan tahanan ventrikel kiri ---
edema paru.
Sistem Metabolisme :
 Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah
nitrogen.
 Dalam keadaan stress fisiologis.

Trauma

ADH dilepas

Retensi Na dan air

Out put urine menurun


Konsentrasi elektrolit meningkat

 Normal kembali setelah 1 - 2 hari.


 Pada keadaan lain :

Fraktur Tengkorak Kerusakan hipofisis


Atau hipotalamus

Penurunan ADH Diabetes Mellitus

Ginjal

Ekskresi air Dehidrasi

Hilang nitrogen meningkat ------------ respon metabolik terhadap trauma.

Trauma

Tubuh perlu energi untuk perbaikan

Nutrisi berkurang

Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama.

Pengaruh Pada G.I Tract. :


3 hari pasca trauma --- respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus vagal.
Lambung hiperacidi

Hipotalamus ------ hipofisis anterior

Adrenal

Steroid

Peningkatan sekresi asam lambung

Hiperacidi
Trauma

Stress Perdarahan lambung

Katekolamin meningkat.

Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis kelamin,
agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan,
hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll.
2. Riwayat Kesehatan :
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan
penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah,
dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise,
luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung
dan telinga, dan adanya kejang.
Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun
penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga,
terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat
dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti
karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
3. Pemeriksaan Fisik :
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi
orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai
tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan
didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus
rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan
ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian
sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar,
dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak
karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) :
memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus
II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan
gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang
pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi.
Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas
unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah
anterior lidah.
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya
pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X
(Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita
akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping
(cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan
yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah
satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan
intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian
takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu
dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan
terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari
kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu
cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas
ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan
suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap
hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau
hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan
fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar/lemah, aanya
mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.

Glasgow Coma Scale :


I. Reaksi Membuka Mata.
4. Buka mata spontan.
3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara.
2. Buka mata bila dirangsang nyeri.
1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun.

II. Reaksi Berbicara


4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.
3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person.
2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak membentuk kalimat.
1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.

III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai


6. Mengikuti perintah.
5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan.
4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

4. Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data
psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan
tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga
pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-
orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami
trauma kepala dan rasa aman.
5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup
pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila
tidak ada penurunan kesadaran.

6. Pemeriksaan Diagnostik :
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis
adalah:
➲ X-Ray tengkorak.
➲ CT-Scan.
➲ Angiografi.

7. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :


Obat-obatan :
➲ Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma.
➲ Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
➲ Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
➲ Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
➲ Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
➲ Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube
(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
➲ Pembedahan.
Prioritas Diagnosa Keperawatan :
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah
karena adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma).
2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan
kerusakan pusat pernapasan di medulla oblongata.
3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya
proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan
produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.
5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat
menurunnya kesadaran.
6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk
tirah baring.
7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan
sensoris.
8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui
jaringan atau kontinuitas yang rusak.
9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan
otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian
terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.

Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan
perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau
tindakan pembedahan.
2. Monitor GCS dan mencatatnya.
R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan
menentukan lokasi dari lesi.
3. Memonitor tanda-tanda vital.
R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral.
Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari
multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia
merupakan perkembangan dari gangguan batang otak.
4. Evaluasi pupil.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara
simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial.
5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski.
R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek
penglihatan merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan
merupakan reflek dari gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya
injuri pada otak piramidal.
6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme
dan O2 akan menunjang peningkatan ICP.
7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa.
R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan
diabetes insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH.
8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal.
Hindari penggunaan bantal yang banyak pada kepala.
R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage
pada vena cerebral dan meningkatkan ICP.
9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan
komulatif.
10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang
tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon
psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah.
11. Bantu pasien jika batuk, muntah.
R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan
dalam abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.
12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau
memberikan reflek nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatakan ICP.
13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten
jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.
Kolaborasi :
14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan
tolenransi/indikasi.
R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan
edema/resiko terjadi ICP.
15. Berikan cairan intra vena sesuai dengan yang dindikasikan.
R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral,
peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan ICP.
16. Berikan Oksigen.
R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan
volume darah dan menaikkan ICP.
17. Berikan obat Diuretik contohnya : mannitol, furoscide.
R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain
cells, dan mengurangi edema cerebral dan ICP.
18. Berikan Steroid contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
19. Berikan analgesik dosis tinggi contoh : Codein.
R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif
pada ICP tetapi dapat digunakan dengan sebab untuk mencegah.
20. Berikan Sedatif contoh : Benadryl.
R/ Mungkin digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi.
21. Berikan antipiretik, contohnya : aseptaminophen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa


Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.

Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada Kasus
Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak
dipublikasikan.

Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan).
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.

Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan

Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara.

Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC.

Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.

You might also like