You are on page 1of 43

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI ASI EKSLUSIF

ASI EKSLUSIF
Dalam upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif, yang terutama ditingkatkan adalah
Menyusui ASI Eksklusif. Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI
eksklusif adalah hanya ASI sampai bayi berumur 4 bulan dan diberikan kolostrum yang
diberikan kepada anak < 4 bulan. Untuk mengetahui anak/bayi tersebut menyusui ASI
eksklusif atau tidak, ditelusuri dari anak menyusu ASI/tidak menyusui. Dari anak yang
menyusu, ditelusuri anak yang hanya diberi ASI saja dan diberi makan/minum, kemudian
anak tersebut dalam 24 jam hanya diberi ASI.
Dari definisi ini, telah diperoleh gambaran bahwa bayi yang < 1 bulan, proporsi menyusu ASI
ekslusif justru lebih rendah dari bayi umur 1 bulan. Proporsi ini terjadi di daerah perkotaan
dan di pedesaan. Hal ini kemungkinan karena ibu-ibu dalam masa kini banyak melakukan
kegiatan untuk memperoleh tambahan pendapatan keluarga. Hal ini didasarkan pada hasil
analisis asosiasi bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif mempunyai hubungan dengan
kegiatan yang dilakukan oleh ibu.
Proporsi pemberian ASI eksklusif di perkotaan dan pedesaan untuk umur bayi < 13 bulan
cenderung tidak jauh berbeda. Hal ini kemungkinan terjadi karena para ibu di desa dan di
kota telah sama-sama terpapar oleh media, sehingga pengetahuan dan kepedulian mereka
terhadap bayi untuk menyusui cukup besar.
Jumlah anak umur 04 tahun dalam keluarga tampaknya mendukung pemberian ASI
eksklusif oleh para ibu. Hal ini didasarkan pada hasil uji regresi bahwa jumlah anak 12
dalam keluarga mempunyai pengaruh dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai
12 anak.
Berdasarkan umur, proporsi pemberian ASI eksklusif tampak cukup bervariasi dari umur < 1
bulan sampai umur 3 bulan. Hal ini yang menunjukkan bahwa bayi yang berumur 2 bulan
mempunyai kemungkinan untuk diberi ASI eksklusif 4 kali dibandingkan dengan yang tidak
berumur 2 bulan, tertinggi dibandingkan dengan kemungkinan pada umur 1 bulan dan 3 tiga
bulan.
Sementara itu, proporsi pemberian ASI eksklusif berdasarkan kategori lokasi (di perkotaan, di
pedesaan, di desa tertinggal, dan di desa tak tertinggal), tidak terjadi perbedaan yang cukup
tajam. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengaruh modernisasi di desa-desa sehingga para
ibu kurang menyadari pentingnya pemberian ASI eksklusif. Di samping itu, telah terjadi
peningkatan iklan susu buatan yang secara gencar memasarkan produk susunya sebagai
pengganti ASI.
Dalam pemberian ASI ekslusif, walaupun ada kecenderungan bahwa yang pengeluaran ratarata sebulannya tinggi, rata-rata pengeluaran untuk makan tinggi, dan penghasilan bersih dari
pekerjaan utama tinggi, tampaknya tidak mempunyai pengaruh langsung pada kemungkinan
pemberian ASI eksklusif. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pengaruh yang bermakna pada
menyusui ASI ekslusif dengan variabel pertolongan pertama/kedua waktu melahirkan,
terpaparnya dari media radio, TV, serta membaca koran. Oleh karena itu, tampaknya masih
diperlukan informasi dari sumber lain mengenai faktor-faktor yang menentukan ibu-ibu
dalam menyusui ASI, khususnya ASI eksklusif.
Kebijakan-kebijakan Pemerintah RI sehubungan penggunaan ASI Eksklusif
1. Inpres No.14/1975 Menko Kesra selaku koordinator pelaksana menetapkan bahwa
salah
satu program dalam usaha perbaikan gizi adalah peningkatan penggunaan ASI.

2. Permenkes No.240/1985 Melarang produsen susu formula untuk mencantumkan kalimatkalimat promosi produknya yang memberikan kesan bahwa produk tersebut setara atau lebih
baik mutunya daripada ASI.
3. Permenkes No.76/1975 Mengharuskan produsen susu kental manis (SKM) untuk
mencantumkan pada label produknya bahwa SKM tidak cocok untuk bayi, dengan warna
tulisan merah dan cukup mencolok.
4. Melarang promosi susu formula yang dimaksudkan sebagai ASI di semua sarana pelayanan
kesehatan.
5. Menganjurkan menyusui secara eksklusif sampai bayi berumur 4-6 bulan dan
menganjurkan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun.
6. Melaksanakan rawat gabung di tempat persalinan milik pemerintah maupun swasta.
7. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal PP-ASI sehingga petugas tersebut
terampil dalam melaksanakan penyuluhan pada masyarakat luas.
8. Pencanangan Peningkatan Penggunaan ASI oleh Bapak Presiden secara nasional pada
peringatan Hari Ibu ke-62 (22Desember1990).
9. Upaya penerapan 10 langkah untuk berhasilnya menyusui di semua rumah sakit, rumah
bersalin dan puskesmas dengan tempat tidur.
Kesimpulan
1. Pola pemberian ASI eksklusif pada bayi umur < 12 bulan relatif cukup tinggi,
sedangkan yang berumur 3 bulan relatif cukup rendah, baik secara keseluruhan
ataupun yang dibedakan menurut perkotaan dan pedesaan.
2. Proporsi pemberian ASI ekslusif pada bayi berumur 2 bulan relatif cukup besar, baik
di perkotaan maupun di pedesaan, dan mulai menurun pada umur tiga bulan.
3. Proporsi bayi yang menyusu ASI eksklusif mulai umur < 1 bulan sampai 2 bulan
relatif cukup besar, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan pedesaan dan
perkotaan, serta rendah proporsinya pada umur 3 bulan. Proporsi pemberian ASI
ekslusif pada bayi umur 3 bulan di perkotaan lebih rendah dibandingkan di pedesaan.
4. Berdasarkan hal ini adanya hubungan antara sosial ekonomi, semuanya
menggambarkan proporsi pemberian ASI eksklusif pada semua tingkatan yang relatif
cukup besar dibandingkan dengan yang tidak eksklusif.
5. Faktor sosial ekonomi, demografi, pelayanan kesehatan, dan paparan media, yaitu
umur bayi, tingkat pendidikan yang ditamatkan, dan jumlah anak 04 tahun dalam
keluarga.
Saran
1. Diperlukan penyuluhan yang intensif melalui komunikasi langsung oleh petugaspetugas kesehatan di desa: bidan desa, kader-kader Posyandu, dan dalam pertemuan
instrumen kelompok ibu-ibu tentang ASI eksklusif.
2. Diperlukan penyuluhan yang rinci tentang cara-cara menambah makanan tambahan
pada ibu-ibu untuk menjamin kecukupan gizi pada waktu menyusui.

3. Berhubung rendahnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi berumur kurang 1 bulan
dibandingkan yang berumur 1 bulan, diperlukan informasi lebih lanjut mengenai
penyebab terjadinya hal ini.

KEBIJAKAN TENTANG PENINGKATAN PEMBERIAN ASI PADA WANITA BEKERJA


Dalam kondisi pembangunan kearah industrialisasi dimana persaingan pasarsemakin ketat,
sangat diperlukan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Searahdengan hal tersebut kebijakan
pembangunan di bidang kesehatan ditujukan untukmewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi seluruh masyarakat, termasukmasyarakat pekerja.
Masyarakat pekerja mempunyai peranan & kedudukan yang sangat pentingsebagai pelaku
dan tujuan pembangunan, dimana dengan berkembangnya IPTEKdituntut adanya Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mempunyai produktivitas yang tinggi hingga
mampu meningkatkan kesejahteraan dan daya saing di era globalisasi.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, pekerja di Indonesia
mencapai100.316.007 dimana 64,63% pekerja laki-laki dan 35,37% pekerja wanita. Wanita
yang bekerja sesungguhnya merupakan arus utama di banyak industri. Merekadiperlakukan
sama dari beberapa segi, hanya dari segi riwayat kesehatan mereka seharusnya diperlakukan
berbeda dengan laki-laki dalam hal pelayanan kesehatan. Pekerja wanita dituntut untuk
meningkatkan kemampuan dan kapasitaskerja secara maksimal, tanpa mengabaikan
kodratnya sebagai wanita.
Sesuai dengan kodratnya, pekerja wanita akan mengalami haid, kehamilan,melahirkan dan
menyusui bayi. Untuk meningkatkan kualitas SDM, dimulai sejak janin dalam kandungan,
masa bayi, balita, anak-anak sampai dewasa. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada bayi
merupakan cara terbaik bagi peningkatan kualitasSDM sejak dini yang akan menjadi penerus
bangsa. ASI merupakan makanan yang paling sempurna bagi bayi. Pemberian ASI berarti
memberikan zat-zat gizi yang bernilai gizi tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat-zat kekebalan terhadap beberapa penyakit
dan mewujudkan ikatan emosional antara ibu dan bayinya.
Mengingat pentingnya pemberian ASI bagi tumbuh kembang yang optimal baikfisik maupun
mental dan kecerdasannya, maka perlu perhatian agar dapat terlaksana dengan benar. Faktor
keberhasilan dalam menyusui adalah denganmenyusui secara dini dengan posisi yang
benar ,teratur dan eksklusif. Oleh karena itu salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah
bagaimana ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif
sampai 6 (enam)bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2(dua) tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut telah ditetapkan dengan Kepmenkes RI
No.450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi
Indonesia. Program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif
mempunyai dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi.

Untuk mendukung Deklarasi Innocenti 1990 (Italia) tentang perlindungan, promosidan


dukungan terhadap pemberian ASI, telah dilaksanakan beberapa kegiatan penting, yakni
pencanangan Gerakan Nasional PP-ASI ole Bp. Presiden padatahun 1990, Gerakan Rumah
Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi yang telahmenghasilkan sekitar 50-70% rumah sakit
sayang bayi pada RS pemerintah dansekitar10 20% pada RS swasta.Pada Pekan ASI
Sedunia tahun 1993 diperingati dengan tema Mother FriendlyWorkplace atau Tempat Kerja
Sayang Bayi, menunjukan bahwa adanya perhatiandunia terhadap peran ganda ibu menyusui
dan bekerja. Menyusui adalah hak setiap ibu tidak terkecuali ibu yang bekerja, maka agar
dapatterlaksananya pemberian ASI dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai manfaat
dari ASI dan menyusui serta bagaimana melakukan manajemen laktasi. Selain itu diperlukan
dukungan dari pihak manajemen, lingkungan kerja dan pemberdayaan pekerja wanita sendiri.
Pemberian ASI di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Upaya meningkatkan perilaku
menyusui pada ibu yang memiliki bayi khususnya ASI eksklusif masih dirasa kurang.
Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI,
pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung PP-ASI,
gencarnya promosi susu formula dan ibu bekerja.
Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif masih 52%, pemberian ASI satu jam pasca
persalinan 8%, pemberian hari pertama 52,7%. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi
pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita.Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2002
oleh Nutrition & HealthSurveillance System (NSS) kerjasama dengan Balitbangkes dan
Helen KellerInternational di 4 perkotaan (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar) dan 8
perdesaan (Sumbar, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel),menunjukan bahwa
cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4%-12%,sedangkan dipedesaan 4%25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di perkotaan berkisar antara 1%-13% sedangkan di
pedesaan 2%-13%. Pada ibu yang bekerja, singkatnya masa cuti hamil/melahirkan
mengakibatkan sebelum masa pemberian ASI eksklusif berakhir sudah harus kembali
bekerja. Hal ini mengganggu uapaya pemberian ASI eksklusif. Dari berbagai penelitian
menunjukan banyak alasan untuk menghentikan ASI dengan jumlah yang bervariasi :13%
(1982), 18,2% (Satoto 1979), 48% (Suganda 1979), 28% (Surabaya 1992),47% (Columbia),
6% (New Delhi).
Selain itu gencarnya promosi susu formula dan kebiasaan memberikanmakanan/minuman
secara dini pada sebagian masyarakat, menjadi pemicu kurangberhasilnya pemberian ASI
eksklusif.
KEBIJAKAN DAN STRATEGI DEPKES TENTANG PENINGKATANPEMBERIAN
ASI PEKERJA WANITA
A. KEBIJAKAN
1. Peningkatan Pemberian ASI dilaksanakan sebagai upaya peningkatankualitas SDM
yang merupakan bagian integral dari pembangunan Nasional,khususnya dalam
peningkatan kualitas hidup.
2. Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) dilaksanakan secara lintas sektor dan terpadu
dengan melibatkan Peran Serta Masyarakat khususnyamasyarakat pekerja.

3. PP-ASI menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat dan keluarga untuk


mendukung ibu hamil dan ibu menyusui dalam melaksanakan tugassesuai kodratnya.
4. Membudayakan perilaku menyusui secara eksklusif kepada bayi sampaidengan usia 6
bulan. PP-ASI dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan di setiaptempat
kerja.
B. STRATEGI
1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pihak manajemen untuk meningkatkan
status kesehatan ibu pekerja dan bayinya.
2. Memantapkan tanggung jawab dan kerjasama dengan berbagai instansipemerintah
yang terkait , asosiasi pengusaha, serikat pekerja, LSM dalamprogram pemberian ASI
di tempat kerja dan meningkatkan produktivitas kerja
3. Mengupayakan agar setiap petugas dan sarana pelayanan kesehatan ditempat kerja
mendukung perilaku menyusui yang optimal melaluipenerapan 10 Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui yang merupakan standar interna-sional.
4. Mengupayakan fasilitas yang mendukung PP-ASI bagi ibu yang menyusuidi tempat
kerja dengan :

Menyediakan sarana ruang memerah ASI

Menyediakan perlengkapan untuk memerah dan menyimpan ASI.

Menyediakan materi penyuluhan ASI- Memberikan penyuluhan.

Mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan ASI eksklusif bagi pekerja wanita


melalui pembinaan dan dukungan penuh dari pihak pengusaha.

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
1. Mengembangkan KIE: Meningkatkan penyuluhan dan promosi dengan
mengembangkan KIE yangspesifik melalui metode dan media yang sesuai dengan
sasaran, antara lain :seminar/lokakarya, pelatihan, kampanye, siaran melalui media
elektronik,media cetak, dll.
2. Menggerakkan pengusaha: Advokasi dan sosialisasi kepada dunia usaha agar
memberikan dukungankepada pekerja wanita yang menyusui bayinya dengan
memberikan izinuntuk memerah susunya serta menyediakan ruang khusus untuk
memerasASI yang dilengkapi dengan tempat penyimpanan ASI sementara (ASI

dalamlemari es dapat bertahan selama 2 x 24 jam, sedangkan diluar lemari esbertahan


sampai 6-8 jam).
3. Meningkatkan keterpaduan, koordinasi dan integrasiKoordinasi dilakukan secara
lintas sektoral melalui kegiatan dalam tim baik ditingkat Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota
4. Mengembangkan dan membina Tempat Penitipan Anak (TPA).
5. Memantapkan Pemantauan dan EvaluasiDiperlukan system pencatatan dan pelaporan
secara berkala untuk menilaikeberhasilan program ASI eksklusif bagi pekerja wanita
baik dari segipelaksanaan maupun dampaknya pada peningkatan produktivitas
kerja,peningkatan status kesehatan dan gizi ibu maupun bayinya.
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG INISIASI MENYUSUI DINI
Inisiasi Menyusui Dini atau yang biasa disingkat IMD bukan hanya sekedar konsep biasa.
IMD juga memiliki konteks hukum sebab diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif tepatnya pada
Pasal 9. Apa yang dimaksud Inisiasi Menyusui Dini tak lain adalah tindakan dimana tenaga
medis meletakkan bayi di dada atau perut ibu sesaat setelah melahirkan. Hal ini dimaksudkan
agar sang bayi bisa mencari puting susu ibu dan memulai menyusu dengan inisiatifnya
sendiri. IMD bukan hanya sekedar ritual, tetapi ada alasan medis yang melatarbelakanginya.
Tak jarang ibu yang tidak mengetahui ritual inisiasi menyusui dini atau IMD. Karena itu,
merupakan sebuah kewajiba hukum bagi tenaga medis untuk melakukan IMD sesaat setelah
bayi dilahirkan. IMD menjadi penting dan digalakkan sebab berdasarkan penelitian klinis
ditemukan fakta bahwa kegiatan ini bisa menyukseskan ASI Eksklusif dan juga terbukti bisa
menyelamatkan nyawa bayi yang baru lahir dengan usia tak lebih dari 28 hari dengan potensi
sebesar 22%.
Banyak yang tidak memahami bahwa ternyata terdapat ikatan yang unik antara ibu dan bayi
yang baru saja dilahirkannya terutama di menit-menit pertama sang bayi lahir. Sang ibu dan
bayi sebaiknya melakukan kontak kulit sesaat setelah persalinan. Biasanya bayi akan
diletakkan dalam keadaan telanjang di bagian perut ibu dan dengan sendirinya ia akan
mencari puting susu dengan cara merangkak. Banyak pihak yang berpendapat bahwa
tindakan inisiasi menyusui dini ini sangat berbahaya sebab bayi bisa saja kedinginan. Namun
fakta medis berkata lain, kulit ibu memiliki kemampuan untuk mentransfer suhu dan
menghangatkan bayi hanya dengan melakukan kontak kulit. Dalam dunia medis hal tersebut
dikenal dengan istilah Thermal Syncrony.
Kontak antara kulit ibu dan sang bayi memiliki manfaat yang menakjubkan. Dengan kontak
tersebut, ibu dan bayinya akan merasa lebih tenang dan secara psikologis ikatan yang lebih
kuat akan terbentuk lebih dini. Bagi ibu, kontak kulit dengan bayi akan membantu pelepasan

hormone bernama oksitosin yang berfungsi merangsang keluarnya ASI dari payudara.
Sementara itu bagi bayi, dengan adanya kontak kulit akan menstabilkan sistem pernapasan
juga aliran darah. Selain itu, saat bayi diletakkan di kulit ibu, maka ia akan menjilati kulit dan
memungkinkan ia menelan bakteri yang baik yang terdapat di kulit ibu. Secara tidak langsung
ia akan membentuk koloni bakteri baik di ususnya yang akan menyaingi bakteri jahat.

Tahapan Pre-Feeding Behaviour


Sebelum bayi bisa menyusui, ia akan menjalani lima tahapan perilaku segera setelah ia
diletakkan di dada atau perut ibunya. Adapun tahapan tersebut antara lain:
1. 30 sampai 45 menit pertama. Pada tahap ini bayi cenderung diam dan siaga. Ia sedang
mengamati dan sedang menyesuaikan diri dari rahim ke lingkungan luar. Berdasarkan
penelitian, psikolog menemukan kecenderungan kepercayaan diri ayah dan ibu jauh
lebih meningkat saat melihat sang bayi dalam proses inisiasi menyusui dini tahap
pertama ini.
2. 45 sampai 60 menit pertama. Kurun waktu ini sang bayi mulai menggerakkan mulut
seperti hendak minum dan mencium. Terkadang juga si bayi mengeluarkan suara dan
menjilati bagian tangannya. Pada momen ini sang bayi akan mulai belajar membaui
cairan ketuban di tangannya. Bau ketuban kurang lebih sama denga bau ASI. Hal ini
yang akan membimbing dia menggerakkan badan menuju payudara ibu. Terkait hal
ini, setelah lahir, dianjurkan untuk tidak langsung membersihkan air ketuban di kedua
tangan sang bayi agar ia bisa mempelajari aromanya.
Tahap ke-tiga, bayi sudah mulai mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena ia sudah
mulai menyadari keberadaan makanan di sekitarnya.
3. Tahap ke-empat Inisiasi Menyusui Dini ditandai dengan pergerakan bayi secara
perlahan mencari payudara ibu. Ia bergerak dengan cara menekan kakinya ke perut
ibu. Ia juga akan mulai menjilati kulit ibunya, dan belajar menghentak kepala ke dada
ibu sembari menoleh ke kanan dan kiri. Setelah dekat dengan wilayah payudara, ia
akan menyentuh dan meremas areola atau puting payudara.
4. Tahap ke-lima ditandai dengan berhasilnya bayi menemukan puting dan mulai
menjilati dan membuka mulut lebar-lebar dan melekatkannya ke puting, mulai
mengulum dan kemudian menyusui.
Keberhasilan inisiasi menyusui dini tidak hanya dipegang oleh ibu dan bayi tetapi juga oleh
tenaga medis yang menangani persalinan. Rumah sakit wajib membekali tenaga medis
dengan pengetahuan yang cukup soal IMD.
PERKEMBANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN ASI
Mengulas PP ASI, Kenapa ASI Eksklusif Wajib Diberikan Selama 6 Bulan?

Peraturan terbaru menetapkan, ibu yang melahirkan wajib memberikan Air Susu Ibu (ASI)
secara eksklusif selama 6 bulan sejak anaknya lahir. Kenapa pemberian ASI eksklusif wajib
selama minimal 6 bulan?
Pemerintah menjamin perlindungan bagi para ibu yang akan melaksanakan kewajibannya
tersebut.
Kewajiban untuk memberikan ASI Eksklusif tercantum pada pasal 6 Peraturan Pemerintah
(PP) nomor 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif yang ditetapkan pada 1 Maret 2012.
Bunyinya adalah sebagai berikut, seperti ditulis Selasa (3/4/2012).
Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada bayi yang
dilahirkannya.
Kenapa harus minimal 6 bulan?
Pemerintah mengikuti rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyarankan ibu
menyusui bayinya selama 6 bulan penuh untuk menghindari alergi dan menjamin kesehatan
bayi yang optimal.
ASI Eksklusif perlu diberikan selama 6 bulan karena pada masa itu bayi belum memiliki
enzim pencernaan yang sempurna untuk mencerna makanan atau minuman lain. Terlebih
semua jenis nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi sudah bisa dipenuhi dari ASI.
Tujuan pemberian ASI Eksklusif seperti tertulis dalam penjelasan PP tersebut adalah
melindungi bayi dari risiko infeksi akut seperti diare, pneumonia, infeksi telinga,
haemophilus influenza, meningitis dan infeksi saluran kemih. ASI Ekslusif juga melindungi
bayi dari penyakit kronis di masa depan seperti diabetes melitus tipe 1.
Menyusui bayi juga berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan kolesterol serum
total, penurunan prevalensi diabetes melitus tipe 2 dan juga obesitas saat remaja dan dewasa.
Sementara bagi ibu, menyusui dapat menunda kembalinya kesuburan dan mengurangi risiko
perdarahan pasca melahirkan, kanker payudara, pra menopause dan kanker ovarium.
ASI Ekslusif diberikan selama 6 bulan pertama sejak bayi dilahirkan, tanpa diberi tambahan
makanan atau minuman apapun. Saat memasuki usia 6 bulan, bayi baru diperkenalkan pada

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sedangkan pemberian ASI tetap diteruskan hingga bayi
berusia 2 tahun.
Bila bayi diberi ASI eksklusif 6 bulan penuh, akan mengurangi kemungkinan ibu untuk hamil
lebih dini. Ibu yang menyusui dengan ASI biasanya juga lebih cepat mengembalikan postur
tubuhnya seperti sebelum hamil. Selain itu juga mengurangi kemungkinan kerapuhan pada
tulang ibu.
KEBIKAN TERKAIT PEMBERIAN ASI

Kajian Implementasi ASI Ekslusif. Sebelum tahun 2001, World Health


Organization (WHO) merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif
selama 4-6 bulan. Namun pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel
penelitian secara sistematik dan berkonsultasi dengan para pakar, WHO
merevisi rekomendasi ASI eksklusif tersebut dari 4-6 bulan menjadi 6
bulan.Hasil telaah artikel tersebut menyimpulkan bahwa bayi yang disusui
secara eksklusif sampai 6 bulan umumnya lebih sedikit menderita penyakit
gastrointestinal, dan lebih sedikit mengalami gangguan pertumbuhan.
Definisi ASI eksklusif bermacam-macam tetapi definisi yang sering digunakan
adalah definisi WHO yang menyebutkan ASI eksklusif adalah pemberian hanya
ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau
obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan. Beberapa studi
menggunakan definisi ASI ekslusif yang berbeda seperti sebagai pemberian
hanya ASI saja dalam 24 jam terakhir.
Penelitian Awal Sehat Untuk Hidup Sehat (ASUH) di 8 kabupaten di Jawa Barat
dan Jawa Timur menggunakan definisi tersebut.
Penelitian Healthy Starts di wilayah Jakarta Utara oleh Mercy Corps mengukur
prevalensi ASI eksklusif dengan beberapa definisi tersebut.
Walaupun definisi ASI eksklusif yang digunakan berbeda-beda, ada definisi
yang ketat dan ada pula yang longgar, namun cakupan ASI eksklusif yang
didapatkan tidak pernah tinggi. Prevalensi ASI ekslusif menurut data SDKI
hanya 32%, menurut penelitian Mercy Corps sebesar 7,4% (ASI predominan
pada bayi usia 0-5 bulan) dan 28,9% (ASI saja dalam 24 jam terakhir pada
bayi usia 0-5 bulan), dan penelitian Awal Sehat
Untuk Hidup Sehat sebesar 9,2%. Survei yang dilakukan oleh Helen Keller
International menyebutkan bahwa rata-rata bayi di Indonesia hanya
mendapatkan ASI eksklusif selama 1,7 bulan. Target pencapaian ASI eksklusif
6 bulan sebesar 80% yang ditetapkan Depkes RI tampak terlalu tinggi. Bila
melihat data-data hasil penelitian yang selama ini dicapai, apakah angka 80%
ini realistis? WHO merekomendasikan untuk memberikan hanya

ASI saja sampai 6 bulan untuk keuntungan yang optimal bagi ibu dan bayi.
Namun demikian ada beberapa rekomendasi dan catatan penting yang
diungkapkan dalam kajian tim pakar tersebut. Pertama rekomendasi
ini bisa dicapai bila masalah-masalah potensial seperti
status gizi ibu hamil dan laktasi, status mikronutrien (zat
besi, seng dan vitamin A) bayi dan pelayanan kesehatan
dasar rutin bagi bayi (pengukuran pertumbuhan dan
tanda klinis defisiensi mikronutrien) sudah berhasil
diatasi. Bila hal ini belum tercapai maka mungkin akan
timbul masalah seperti terjadinya
growth faltering
pada
bayi ibu laktasi yang memaksakan memberikan ASI
eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Kedua,
perlunya pemberian makanan pendamping ASI yang
tepat dan memperkenalkan makanan bergizi yang
adekuat dan aman dalam hubungannya dengan
pemberian ASI selanjutnya. Dalam hal ini perlu dikaji
makanan pendamping ASI yang tepat termasuk sesuai
dengan kondisi gizi dan umur bayi. Rata-rata pemberian
ASI eksklusif di Indonesia hanya 1,7 bulan maka perlu
diberikan petunjuk yang jelas mengenai makanan
pendamping apa saja yang dapat diberikan. Ketiga,
kondisi yang dibutuhkan untuk menerapkan kebijakan
ini adalah pemberian dukungan sosial dan gizi yang
adekuat untuk ibu yang sedang menyusui. Penerapan
ASI eksklusif 6 bulan harus didukung oleh berbagai
kebijakan seperti cuti untuk ibu menyusui, undangundang pemasaran susu formula, sanksi untuk iklan
susu formula, sanksi untuk bidan yang memberikan dan
mengenalkan susu formula ke
pada bayi, dan peningkatan
kualitas
ante-natal care
.
Kajian Implementasi IMD.
Edmond, dkk. menyebutkan
bahwa menunda inisiasi menyusu akan meningkatkan
kematian bayi.
1

Penelitiannya melaporkan bahwa dari


10.947 bayi yang lahir antara Juli 2003Juni 2004 dan
disusui, menyusu dalam 1 jam pertama akan menurunkan

angka kematian perinatal


sebesar 22% dan kemungkinan
kematian meningkat secar
a bermakna setiap hari
permulaan menyusu ditangguhkan.
Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling
berperan dalam melaksanakan IMD karena ibu tidak
dapat melakukan IMD tanpa bantuan dan fasilitasi dari
bidan. Penelitian kualitatif ASI eksklusif 6 bulan
terhadap kelompok ibu yang ASI eksklusif dan ASI
tidak eksklusif menunjukkan bahwa sebagian besar
informan ASI eksklusif difasilitasi IMD oleh bidan
sedangkan sebagian besar informan ASI tidak eksklusif
tidak difasilitasi IMD.
8

Dalam penelitian tersebut dari 7


informan yang tidak IMD, hanya 3 informan yang
alasannya karena hal yang sulit dihindari, yaitu ibu sakit
sehabis operasi caesar, bayi harus langsung masuk
inkubator, dan ibu mengalami perdarahan. Sedangkan 4
informan lainnya tidak IMD karena alasan yang
sebenarnya bisa dihindari yaitu bayi akan dibersihkan
dan dibedong terlebih dahulu.
Penelitian Anita, di salah satu rumah sakit pusat rujukan
di Jakarta Pusat menunjukkan hubungan yang signifikan
antara bidan yang mempunyai sikap positif terhadap
IMD dengan penerapan praktik IMD.
20

Artinya bidan
yang bersikap positif akan lebih besar kemungkinannya
dijelaskan definisi dari peristilahan yang dipakai dalam
Kepmenkes tersebut mencakup istilah pengganti air
susu ibu, makanan pendamping ASI, susu formula bayi,
susu formula lanjutan, bayi, botol, dot, pemasaran, dan
promosi. Bab II menegaskan bahwa pengganti ASI
hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan persetujuan
dari Ditjen POM Depkes RI.
24

Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label dan


Iklan Pangan adalah legislasi yang paling kuat
dibanding yang lain dan juga paling lengkap karena
sudah ada pembagian kewenangan/tugas meskipun
masih perlu dielaborasi dan ditindaklanjuti dengan
keputusan-keputusan di bawahnya yang mengatur aspek
teknis. Dari segi konten PP ini terdiri dari 8 bab dan 64
pasal. Bab pertama membahas mengenai ketentuan

umum, bab kedua mengenai label pangan, bab ketiga


mengenai iklan pangan, ba
b empat mengenai pengawasan, bab lima mengenai tindakan administratif, bab enam
mengenai ketentuan peralihan, bab tujuh mengenai
ketentuan khusus, dan bab delapan adalah ketentuan
penutup.
25

Secara umum, PP tersebut mengatur mengenai pelabelan


dan iklan makanan dan minum
an secara keseluruhan.
Aspek terkait ASI terutama secara eksplisit disebutkan
pada Bab III Pasal 47 Ayat 4 yaitu mengatur mengenai
pelarangan iklan pangan bagi bayi kurang dari satu
tahun di media massa kecuali media cetak khusus
kesehatan setelah mendapat persetujuan Menkes. Iklan
tersebut juga mewajibkan pencantuman peringatan
bahwa makanan tersebut bukanlah pengganti ASI.
Kepmenkes No. 450/2004 tentang Pemberian ASI
Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia terdiri atas lima
ketetapan termasuk penetapan mengenai pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai dengan
usia anak 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan
yang seusai. Juga ditetapkan bahwa tenaga kesehatan
agar menginformasikan kepada ibu mengenai anjuran
ASI eksklusif. Pemberian informasi dianjurkan untuk
mengacu pada 10 Langkah Menuju Keberhasilan
Menyusui (LMKM).
26

Jika ditinjau dari peraturan yang memuat mengenai


definisi peristilahan tampak bahwa definisi yang dipakai
merujuk pada definisi yang digunakan atau berlaku pada
saat keputusan tersebut dibuat. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan bahwa telah terjadi perubahanperubahan yang cukup cepat dalam hal pengertian dan
peristilahan. Misalnya saja, definisi ASI eksklusif pada
Kepmenkes No. 237/1997 masih merujuk pada durasi
pemberian ASI saja selama 4 bulan. Padahal sejak tahun
2002 WHO telah merekomendasikan durasi optimal
ASI eksklusif selama 6 bulan. Terlepas dari apakah ada
bukti yang cukup kuat untuk mengadopsi rekomendasi
WHO tersebut, tetapi
updating
terhadap situasi
keilmuan dan bukti di lapangan tetap harus dilakukan.

Perkembangan terakhir juga belum diakomodasi,


misalnya mengenai IMD. Dalam 10 LMKM, pengertian
IMD (yang juga belum disebut secara eksplisit sebagai

IMD) lebih merujuk pada pemberian ASI segera dalam


waktu 30 menit setelah melahirkan.
Dari segi kelengkapan, di antara ketiga peraturan
tersebut, yang paling komprehensif adalah PP No.
69/1999 mengenai Label dan Iklan Pangan. Hal ini
dapat disebabkan karena tingkat legislasinya yang lebih
tinggi dibandingkan dua peraturan lainnya yang hanya
setingkat keputusan menteri. Namun masalahnya PP
tersebut bukan PP yang khusus mengenai ASI eksklusif
dan IMD, tetapi PP yang mengatur mengenai makanan
secara keseluruhan dan pe
ngaturan pelabelan dan
iklannya. Perlu dicatat bahwa Kepmenkes No. 237/1997
dan Kepmenkes No. 450/2004 keduanya sangat ringkas
dan kurang lengkap sehingga masih perlu ditindaklanjuti dengan aturan-aturan teknis yang dalam
kenyataannya tidak terdokumentasi dengan baik.
Berbeda dengan PP, kedua Kepmenkes tersebut, tidak
memuat pendelegasian penuga
san dan wewenang kepada
instansi implementer serta tidak dilengkapi dengan
sanksi baik administratif, perdata, maupun pidana bagi
pelanggar keputusan tersebut.
Sampai sejauh ini, aspek evaluasi dan pemantauan
terhadap pelaksanaan peratura
n-peraturan tersebut belum
tersedia informasinya. Hal ini dapat disebabkan oleh
buruknya sistem pendokumentasian dan diseminasinya
bagi publik atau karena memang subsistem evaluasi dan
pemantauan tidak ada dalam sistem yang dimaksud
dalam peraturan. Hal ini merupakan kondisi yang
mengkhawatirkan karena dalam setiap implementasi
kebijakan, harus selalu ada tahap evaluasi implementasi
kebijakan tersebut.
15,16

Analisis konteks.
Ditinjau dari segi konteks, tampaknya
peraturan-peraturan yang dibahas dalam analisis ini
masih terlepas dari konteksnya baik konteks individu,
keluarga, masyarakat, maupun institusi. Dalam pelaksanaan di lapangan, faktor konteks atau lingkungan
memainkan peran yang sangat penting dan menentukan
keberhasilan pelaksanaan ASI eksklusif. Studi-studi

menunjukkan bahwa di samping faktor internal ibu,


situasi dan kondisi lingkungan eksternal juga penting
sebagai penentu keberhasilan pelaksanaan IMD dan ASI
eksklusif.
8,10

Dalam hal ini perlu diperhatikan pergeseran-pergeseran


yang terjadi pada ranah demografi dan sosial-ekonomi.
Pemberian ASI eksklusif bagi ibu pekerja, misalnya,
belum diakomodasi oleh peraturan yang ada. Padahal
tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat
terus persentasenya dari 48,63% di tahun 2006 menjadi
49,52% di tahun 2007 dan 51,25% di tahun 2008.
28

Dari
segi peraturan ketenagakerjaan (Undang-Undang
Ketenagakerjaan No.13/2003 Pasal 81),
29

lama cuti
hamil dan melahirkan hanya 3 bulan. ini tentu tidak
cukup bagi pelaksanaan ASI eksklusif 6 bulan kecuali
jika difasilitasi dengan instrumen penyimpan ASI baik
di rumah maupun di tempat kerja.
Situasi sosial-ekonomi masyarakat juga penting
mendapatkan perhatian. Terutama yang harus dicermati
fenomena pergeseran norma sosial dan kultural terkait
pemberian ASI eksklusif, fenomena massifikasi dan
kesetaraan pendidikan tinggi, dan variasi serta jurang
sosial-ekonomi pada berbagai kelompok masyarakat
baik di wilayah urban maupun pedesaan. Gencarnya
pemasaran susu formula melalui kampanye terselubung,
yaitu sebagai hadiah kepulangan ibu dan bayi dari
fasilitas persalinan dilaporkan masih marak terjadi.
1,8

Lebih lanjut, studi kualitatif tentang praktik


keberhasilan dan kegagalan ASI eksklusif di Jakarta
tahun 2009 menunjukkan bahwa yang sering menjadi
korban dari kampanye de
mikian adalah ibu-ibu
berpendidikan rendah.
8

Kesiapan sarana pelayanan kesehatan khususnya


pelayanan kehamilan dan persalinan, termasuk kesiapan
SDM-nya perlu diperhatikan juga apakah peraturanperaturan tersebut sudah menyentuh peran dan
mempertimbangkan situasinya. Jumlah rumah sakit

sayang bayi diperkirakan hanya sekitar 50-70% pada


rumah sakit pemerintah dan 10-20% pada rumah sakit
swasta.
30

Pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif sangat


bergantung pada tindakan yang diambil oleh tenaga
kesehatan dan fasilitas layanan kesehatan pada jam-jam
pertama. Berbagai studi menunjukkan peran vital tenaga
kesehatan penolong persalinan dalam keberhasilan
pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif.
8,10,21

Dalam
kenyataannya, tidak semua tenaga kesehatan penolong
persalinan baik bidan maupun dokter bebas dari peran
sebagai agen susu formula.
Mengenai hambatan dan kendala pelaksanaan ASI
eksklusif 6 bulan sebenarnya sudah mulai banyak
muncul pada dekade terakhir ini. Tetapi apakah yang ada
juga dijadikan bahan pertimbangan dalam mengadopsi
kebijakan yang bermula dari studi WHO tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan mengenai kesesuaian konteks
eksternal seperti telah diulas sebelumnya perlu dijawab
dan dicarikan penyesuaian-penyesuaian. Demikian juga
perlu kiranya diluncurkan studi yang mengkaji kesesuaian
rekomendasi WHO dengan realita situasi antropometri
dan fisiologis ibu hamil di Indonesia dengan prevalensi
Kurang Energi Kronis pada ibu hamil yang tinggi yaitu
masih sekitar 20%.
31

Terdapat kemungkinan munculnya


akibat gizi yang merugikan baik bagi ibu maupun bayi
jika dalam kondisi kekurangan gizi dipaksakan
melaksanakan ASI eksklusif selama 6 bulan.
Diperlukan studi yang komprehensif untuk mengkaji
situasi ini dan menguji pert
anyaan-pertanyaan realita
kontekstual seputar ASI eksklusif. Kebijakan,
selanjutnya, disusun berdasarkan bukti-bukti empirik
dan saintifik yang kuat sehingga tidak menyebabkan
kebijakan menjadi tidak realistis saat diterjemahkan
menjadi program atau malah menimbulkan dampak
negatif yang merugikan masyarakat.
Analisis proses.
Proses penyusunan kebijakan di

Indonesia melibatkan setidaknya dua pihak, yaitu pihak


eksekutif dan pihak legislatif. Pihak eksekutif diwakili
oleh kementrian teknis yang bersangkutan sedangkan
pihak legislatif adalah DPR-RI. Proses penyusunan
legislasi tidak selalu dibuka untuk publik sehingga
prinsip transparansi tidaklah selalu dapat dipatuhi.
Demikian juga dengan pendokumentasian yang tidak
dibuka untuk publik. Kalaupun ada, prosesnya tidak
tersosialisasi dengan baik. Dalam hal ini, peran media,
pers, dan jurnalistik menjadi sangat penting untuk dapat
menyampaikan informasi mengenai proses penyusunan
suatu kebijakan.
Di samping transparansi, hal lain yang tak kalah penting
dalam penyusunan kebijakan adalah pendekatan yang
digunakan apakah partisipatif secara inklusif dengan
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan (termasuk
rakyat atau dalam hal ini ibu hamil dan menyusui),
ataukah non-partisipatif dan eksklusif. Dalam banyak
penyusunan kebijakan, sering dikritik bahwa pemerintah
dan DPR tidak partisipatif, misalnya proses penyusunan
RUU Narkotika yang dikritik keras oleh
Indonesian
Coalition for Drug Policy Reform
karena tidak
melibatkan komunitas pengguna NAPZA.
32

Terkait
dengan sisi partisipasi ini, penting kiranya melibatkan
pihak akademisi dan ilmuwan yang obyektif dan netral
serta tidak berafiliasi pada kepentingan politik tertentu
(termasuk pemerintah dan DPR) untuk menyajikan
informasi, dan data mutakhir secara ilmiah.
Di sisi lain, meskipun bersifat partisipatoris, tidak
berarti kemudian penyusunan kebijakan harus berjalan
lamban. Proses penyusunan kebijakan di bidang ASI
yang terakhir, yaitu RPP Pemberian ASI (semula RPP
Pemasaran Susu Formula) berjalan sangat lambat dan
tersendat, Pembahasan dimulai sejak pertengahan
November 2006 dan sampai Januari 2010 belum juga
selesai.

Simpulan
Kajian ini menemukan bahwa pemberian ASI eksklusif
di Indonesia masih rendah dan fasilitasi IMD belum

optimal. Analisis kebijakan menunjukkan bahwa


kebijakan mengenai ASI eksklusif belum lengkap dan
belum komprehensif. Juga ditemukan bahwa IMD
belum secara ekskplisit dimasukkan dalam kebijakan.
Analisis kerangka kerja koalisi advokasi mengonfirmasi
lemahnya aspek sistem eksternal dan subsistem
kebijakan dalam penyusunan kebijakan ASI eksklusif.
Peraturan-peraturan yang dibahas dalam analisis ini
masih terlepas dari konteksnya baik konteks individu,
keluarga, masyarakat, maupun institusi. Dari segi proses,
penyusunan kebijakan terlihat kurang transparan, lambat
dan kurang partisipatoris. Belum ada pemetaan pemeran
(aktor) yang jelas terutama pengaturan kewenangan dan
tanggung jawab yang bersifat lintas sektoral dan lintas
level. Analisis kerangka kerja koalisi advokasi
mengonfirmasi temuan-temuan hasil analisis dengan
metode sebelumnya dengan tekanan pada lemahnya
aspek sistem eksternal dan subsistem kebijakan dalam
penyusunan kebijakan tentang ASI eksklusif. Kebijakan
yang ada agar segera diperbarui supaya relevan dari segi
konten, konteks, proses dan aktor dan kebijakan
mengenai ASI eksklusif harus memasukan unsur IMD.
Perlu ada desakan yang kuat dari berbagai komponen di
masyarakat untuk menyusun kebijakan ASI eksklusif
baru yang mutakhir berbasis evidensi, transparan dan
partisipatoris. Kebijakan yang disusun harus memasukkan unsur sanksi dan
reward
serta monitoring dan
evaluasi sebagai upaya penguatan implementasi
kebijakan di masyarakat. Perkembangan dan dinamika
kebijakan ASI eksklusif perlu terus menerus dicermati
agar dapat dilakukan pengawalan terhadap kebijakan
tersebut sehingga dapat
diimplementasikan secara
efektif
Kebijakan di bidang kesehatan merupakan Tindakan yang diambil

oleh pemerintah untuk menyelamatkan dan meningkatkan kesehatan

serta memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Adapun


kebijakan yang di berikan yaitu:
1. UU Nomor 36 tentang kesehatan yang diantaranya memuat beberapa pasal terkait pemberian
ASI pada Pasal 128 (1) Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Ekslusif sejak dilahirkan
selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis. (2) Selama pemberuan ASI, pihak keluarga,
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.
2. Setelah itu juga dikuatkan dengan disahkannya peraturan pemerintah
(PP) Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 mengenai pemberian ASI
Eksklusif telah disahkan. Kepmenkes RI 450/MENKES/SK/IV 2004 tentang
pemberian ASI secara eklusif bagi bayi di Indonesia sejak lahir sampai
usia 6 bulan dan dianjurkan sampai anak berusia 2 tahun. Yaitu dengan
pemberian makanan tambahan yg sesuai dan semua tenaga kesehatan
yang bekerja disarana kesehatan agar menginformasikan kepada semua
ibu melahirkan agar memberikan ASI eklusive dengan mengacu pada 10
langkah keberhasilan menyusui.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 ayat (2) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi
kelenjar payudara ibu.
2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang
diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa
menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.
3. Bayi adalah anak dari baru lahir sampai berusia 12 (dua belas) bulan.
4. Keluarga adalah suami, anak, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
dan ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
5. Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai
pengganti ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.


7. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
8. Tempat Kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak
atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja
untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber
bahaya.
9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsurpenyelenggara pemerintahan daerah.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk:
a. menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak
dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada
bayinya; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah,
dan Pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 ayat (2) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi
kelenjar payudara ibu.
2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang
diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa
menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.
3. Bayi adalah anak dari baru lahir sampai berusia 12 (dua belas) bulan.

4. Keluarga adalah suami, anak, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
dan ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
5. Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai
pengganti ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
7. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
8. Tempat Kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak
atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja
untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber
bahaya.
9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsurpenyelenggara pemerintahan daerah.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk:
a. menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak

dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan


memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada
bayinya; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah,
dan Pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif
BAB II
TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 3
Tanggung jawab Pemerintah dalam program pemberian ASI Eksklusif meliputi:
a. menetapkan kebijakan nasional terkait program pemberian ASI Eksklusif;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI Eksklusif;
c. memberikan pelatihan mengenai program pemberian ASI Eksklusif dan
penyediaan tenaga konselormenyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
tempat sarana umum lainnya;
d. mengintegrasikan materi mengenai ASI Eksklusif pada
kurikulum pendidikan formal dan nonformal bagi Tenaga Kesehatan;
e. membina, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan dan
pencapaian program pemberian ASI Eksklusifdi Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum,
dankegiatan di masyarakat;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan ASI
Eksklusif;
g. mengembangkan kerja sama mengenai program ASI Eksklusif dengan pihak
lain di dalam dan/atau luar negeri; dan

h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas


penyelenggaraan program pemberian ASI Eksklusif.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 4
Tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam program pemberian ASI
Eksklusif meliputi:
a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program pemberian ASI
Eksklusif;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI
Eksklusif dalam skala provinsi;
c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam skala provinsi;
d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
tempat sarana umum lainnya dalam skala provinsi;
e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan dan
pencapaian program pemberianASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum,
dan kegiatan di masyarakat dalam skala provinsi;
f. menyelenggarakan, memanfaatkan, dan memantau penelitian dan
pengembangan program pemberianASI Eksklusif yang mendukung
perumusan kebijakan provinsi;
g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas
penyelenggaraan pemberian ASI Eksklusif dalam skala provinsi.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 5
Tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program pemberian ASI
Eksklusif meliputi:
a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program pemberian ASI
Eksklusif;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI
Eksklusif dalam skala kabupaten/kota;
c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam skala kabupaten/kota;
d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
tempat sarana umum lainnya dalam skala kabupaten/kota;
e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan dan
pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum,
dan kegiatan di masyarakat dalam skala kabupaten/kota;
f. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan program pemberian ASI
Eksklusif yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota;
g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas
penyelenggaraan pemberian ASI Eksklusif dalam skala kabupaten/kota.
BAB III
AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi yang
dilahirkannya.

Pasal 7
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak berlaku dalam hal terdapat:
a. indikasi medis:
b. ibu tidak ada; atau
c. ibu terpisah dari Bayi.
Pasal 8
(1) Penentuan indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan
oleh dokter.
(2) Dokter dalam menentukan indikasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
(3) Dalam hal di daerah tertentu tidak terdapat dokter, penentuan ada atau
tidaknya indikasi medis dapat dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Inisiasi Menyusu Dini
Pasal 9
(1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
melakukan inisiasi menyusu dini terhadap Bayi yang baru lahir kepada ibunya
paling singkat selama 1 (satu) jam.
(2) Inisiasi menyusu dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara meletakkan Bayi secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga
kulit Bayi melekat pada kulit ibu.
Pasal 10
(1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
menempatkan ibu dan Bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung kecuali
atas indikasi medis yang ditetapkan oleh dokter.

(2) Penempatan dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memudahkan ibu setiap saat
memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi.
Bagian Ketiga
Pendonor Air Susu Ibu
Pasal 11
(1) Dalam hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan
oleh pendonor ASI.
(2) Pemberian ASI Eksklusif oleh pendonor ASI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan persyaratan:
a. permintaan ibu kandung atau Keluarga Bayi yang bersangkutan;
b. identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu
atau Keluarga dari Bayi penerima ASI;
c. persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas Bayi yang diberi ASI;
d. pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai
indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; dan
e. ASI tidak diperjualbelikan.
(3) Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
dilaksanakan berdasarkan norma agama dan mempertimbangkan aspek sosial
budaya, mutu, dan keamanan ASI.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ASI Eksklusif dari pendonor ASI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 12
(1) Setiap ibu yang melahirkan Bayi harus menolak pemberian Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya.

(2) Dalam hal ibu yang melahirkan Bayi meninggal dunia atau oleh sebab lain
sehingga tidak dapat melakukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penolakan dapat dilakukan oleh Keluarga.
Bagian Keempat
Informasi dan Edukasi
Pasal 13
(1) Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI Eksklusif secara optimal,
Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan informasi dan edukasi ASI Eksklusif kepada ibu dan/atau
anggota Keluarga dari Bayi yang bersangkutan
sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI
Eksklusif selesai.
(2) Informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mengenai:
a. keuntungan dan keunggulan pemberian ASI;
b. gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui;
c. akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial
terhadap pemberian ASI; dan
d. kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI.
(3) Pemberian informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan
pendampingan.
(4) Pemberian informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh tenaga terlatih.
Bagian Kelima
Sanksi Administratif
Pasal 14

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), atau Pasal 13 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal
10 ayat (1), atau Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat
yang berwenang berupa:
a. teguran lisan; dan/atau
b. teguran tertulis.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PENGGUNAAN SUSU FORMULA BAYI DAN PRODUK BAYI LAINNYA
Pasal 15
Dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak dimungkinkan berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bayi dapat diberikan Susu Formula Bayi.
Pasal 16
Dalam memberikan Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,
Tenaga Kesehatan harus memberikan peragaan dan penjelasan atas penggunaan
dan penyajian Susu Formula Bayi kepada ibu dan/atau Keluarga yang
memerlukan Susu Formula Bayi.
Pasal 17
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI

Eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


15.
(2) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 18
(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang memberikan Susu
Formula Bayi dan/atau produkbayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif kepada ibu Bayi dan/atau
keluarganya, kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menerima dan/atau
mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif.
(3) Dalam hal terjadi bencana atau darurat, penyelenggara
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menerima bantuan Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya untuk tujuan kemanusiaan setelah
mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
(4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang
menyediakan pelayanan di bidang kesehatan atas biaya yang disediakan oleh
produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya.
Pasal 19
Produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya dilarang
melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI
Eksklusif berupa:
a. pemberian contoh produk Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya
secara cuma-cuma atau bentuk apapun kepada penyelenggara

Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Kesehatan, ibu hamil,atau ibu yang


baru melahirkan;
b. penawaran atau penjualan langsung Susu Formula Bayi ke rumah-rumah;
c. pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun
atas pembelian Susu Formula Bayi sebagai daya tarik dari penjual;
d. penggunaan Tenaga Kesehatan untuk memberikan informasi tentang Susu
Formula Bayi kepada masyarakat; dan/atau
e. pengiklanan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak
maupun elektronik, dan media luar ruang.
Pasal 20
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dikecualikan jika
dilakukan pada media cetak khusus tentang kesehatan.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan:
a. mendapat persetujuan Menteri; dan
b. memuat keterangan bahwa Susu Formula Bayi bukan sebagai pengganti ASI.
Pasal 21
(1) Setiap Tenaga Kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
penyelenggara satuanpendidikan kesehatan, organisasi profesi di
bidang kesehatan dan termasuk keluarganya dilarang menerima hadiah dan/atau
bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang dapat menghambat
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
(2) Bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diterima hanya untuk tujuan
membiayai kegiatan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan
ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis.

Pasal 22
Pemberian bantuan untuk biaya pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan
ilmiah, dan/ataukegiatan lainnya yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. secara terbuka;
b. tidak bersifat mengikat;
c. hanya melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara
satuan pendidikan kesehatan, dan/atau organisasi profesi di bidang kesehatan;
dan
d. tidak menampilkan logo dan nama produk Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya pada saat dan selama kegiatan berlangsung yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 23
(1) Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada atasannya bahwa bantuan
tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
(2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menerima bantuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan
tertulis kepada Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak
menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
(3) Penyelenggara satuan pendidikan kesehatan yang menerima bantuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan
tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak
menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
(4) Pengurus organisasi profesi di bidang kesehatan yang menerima bantuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan


tertulis kepada Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak
menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 24
Dalam hal Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menerima bantuan biaya pelatihan,
penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya
yang sejenis maka penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya
dilarang memberikan hadiah dan/atau bantuan kepada Tenaga Kesehatan,
penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan
kesehatan, dan organisasi profesi di bidang kesehatan termasuk keluarganya
yang dapat menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif, kecuali
diberikan untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2).
(2) Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang melakukan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. nama penerima dan pemberi bantuan;
b. tujuan diberikan bantuan;
c. jumlah dan jenis bantuan; dan
d. jangka waktu pemberian bantuan.
Pasal 26
(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan
kesehatan, dan/atau organisasi profesi di bidang kesehatan yang menerima

bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c wajib memberikan


laporan kepada Menteri, menteri terkait, atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama pemberi dan penerima bantuan;
b. tujuan diberikan bantuan;
c. jumlah dan jenis bantuan; dan
d. jangka waktu pemberian bantuan.
Pasal 27
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 disampaikan kepada
Menteri, menteri terkait, atau pejabat yang ditunjuk paling singkat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal penerimaan bantuan.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Susu Formula Bayi dan
produk bayi lainnya diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (1),
dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara
satuan pendidikan, pengurus organisasi profesi di bidang kesehatan serta
produsen dan distributor Susu Formula Bayi dan/atau produkbayi lainnya yang
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4), Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 26 ayat (1) dikenakan sanksi

administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:


a. teguran lisan; dan/atau
b. teguran tertulis.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
TEMPAT KERJA DAN TEMPAT SARANA UMUM
Pasal 30
(1) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus
mendukung program ASI Eksklusif.
(2) Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di Tempat Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perusahaan antara pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja
bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
(3) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus
menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai
dengan kondisi kemampuan perusahaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas
khusus menyusui dan/atau memerah ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 31
Tempat Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri atas:
a. perusahaan; dan
b. perkantoran milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta.
Pasal 32

Tempat sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri atas:


a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. hotel dan penginapan;
c. tempat rekreasi;
d. terminal angkutan darat;
e. stasiun kereta api;
f. bandar udara;
g. pelabuhan laut;
h. pusat-pusat perbelanjaan;
i. gedung olahraga;
j. lokasi penampungan pengungsi; dan
k. tempat sarana umum lainnya.
Pasal 33
Penyelenggara tempat sarana umum berupa Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif dengan berpedoman
pada 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui sebagai berikut:
a. membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada
semua staf pelayanan kesehatan;
b. melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan
menerapkan kebijakan menyusui tersebut;
c. menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan
manajemen menyusui;
d. membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam puluh) menit
pertama persalinan;
e. membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu
dipisah dari bayinya;
f. memberikan ASI saja kepada Bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis;

g. menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu 24 (dua


puluh empat) jam;
h. menganjurkan menyusui sesuai permintaan Bayi;
i. tidak memberi dot kepada Bayi; dan
j. mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu
kepada kelompok tersebut setelah keluar dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 34
Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk
memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di
Tempat Kerja.
Pasal 35
Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib membuat
peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI
Eksklusif.
Pasal 36
Setiap pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum yang
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dan ayat (3), atau Pasal 34, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 37
(1) Masyarakat harus mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif baik
secara perorangan,kelompok, maupun organisasi.
(2) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui :
a. pemberian sumbangan pemikiran terkait dengan
penentuan kebijakan dan/atau pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif;
b. penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas terkait dengan

pemberian ASI Eksklusif;


c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif;
dan/atau
d. penyediaan waktu dan tempat bagi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif.
(3) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENDANAAN
Pasal 38
Pendanaan program pemberian ASI Eksklusif dapat bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan BelanjaNegara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur,
dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk:
a. meningkatkan peran sumber daya manusia di bidang kesehatan,
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan satuan pendidikan kesehatan dalam
mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif;
b. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga dan masyarakat untuk
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara

sarana umum untuk keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.


(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian ASI Eksklusif;
b. pelatihan dan peningkatan kualitas Tenaga Kesehatan dan tenaga terlatih;
dan/atau
c. monitoring dan evaluasi.
(4) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian,
gubernur, dan bupati/walikota dalam melaksanakan pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengikutsertakan
masyarakat.
Pasal 40
(1) Pengawasan terhadap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang melakukan kegiatan pengiklanan Susu
Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik,
dan media luar ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e
dilaksanakan oleh badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan obat dan makanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap produsen atau
distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan kepala badan yang
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pengurus Tempat Kerja dan/atau
penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan yang mengatur
tentang pemberian ASI Eksklusif dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 43
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 58
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

Asisten Deputi Perundang-undangan


Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pengurus Tempat Kerja dan/atau
penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan yang mengatur
tentang pemberian ASI Eksklusif dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 43
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 58
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

Kesimpulan
1. Pola pemberian ASI eksklusif pada bayi umur < 12 bulan relatif cukup tinggi,
sedangkan yang berumur 3 bulan relatif cukup rendah, baik secara keseluruhan
ataupun yang dibedakan menurut perkotaan dan pedesaan.
2. Proporsi pemberian ASI ekslusif pada bayi berumur 2 bulan relatif cukup besar, baik
di perkotaan maupun di pedesaan, dan mulai menurun pada umur tiga bulan.
3. Proporsi bayi yang menyusu ASI eksklusif mulai umur < 1 bulan sampai 2 bulan
relatif cukup besar, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan pedesaan dan
perkotaan, serta rendah proporsinya pada umur 3 bulan. Proporsi pemberian ASI
ekslusif pada bayi umur 3 bulan di perkotaan lebih rendah dibandingkan di pedesaan.
4. Berdasarkan hal ini adanya hubungan antara sosial ekonomi, semuanya
menggambarkan proporsi pemberian ASI eksklusif pada semua tingkatan yang relatif
cukup besar dibandingkan dengan yang tidak eksklusif.
5. Faktor sosial ekonomi, demografi, pelayanan kesehatan, dan paparan media, yaitu
umur bayi, tingkat pendidikan yang ditamatkan, dan jumlah anak 04 tahun dalam
keluarga.
Saran
1. Diperlukan penyuluhan yang intensif melalui komunikasi langsung oleh petugaspetugas kesehatan di desa: bidan desa, kader-kader Posyandu, dan dalam pertemuan
instrumen kelompok ibu-ibu tentang ASI eksklusif.

2. Diperlukan penyuluhan yang rinci tentang cara-cara menambah makanan tambahan


pada ibu-ibu untuk menjamin kecukupan gizi pada waktu menyusui.
3. Berhubung rendahnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi berumur kurang 1 bulan
dibandingkan yang berumur 1 bulan, diperlukan informasi lebih lanjut mengenai
penyebab terjadinya hal ini.

You might also like