You are on page 1of 18

Demam Tifoid, Gejala, dan Penanganannya

Andreino Adythia Pause


10.2010.020
Kelompok : B 3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Barat
Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11470
adythiapause@ymail.com

Pendahuluan
Permasalahan penyakit infeksi dalam era globalisasi saat ini, menjadi semakin kompleks dan
tidak mengenal batas dari suatu negara. Penyakit infeksi merupakan ancaman yang tidak akan
pernah surut terhadap masyarakat tanpa peduli usia, gender, gaya hidup, latar belakang etnik dan
status sosio-ekonominya. Penyakit infeksi menyebabkan penderitaan dan kematian serta
menyebabkan beban keuangan yang tidak kecil terhadap masyarakat.
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau
C(demam paratifoid). Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus
menerus bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan
kesadaran seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan lekopeni.1

Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (autoanamanesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis).
Identitas: menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien,
keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.
Keluhan utama: pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang sedang
dihadapinya.

Page | 1

Riwayat penyakit sekarang (RPS): jelaskan penyakitnya berdasarkan kualitas, kuantitas,


latar belakang, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa yang
membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan, intermitten.
Informasi harus dalam susunan yang kronologis, termasuk test diagnostik yang dilakukan
sebelum kunjungan pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan apakah ada demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk dan epistaksis.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pernahkah pasien mengalami demam tifoid sebelumnya.
Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah kesehatan pada
anggota keluarga.
Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat tinggal),
faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan).1
Anamnesis terarah dalam kasus :
Keluhan Utama :
Demam naik turun sejak 7 hari yang lalu (terutama malam hari).
Keluhan Tambahan:
Nyeri pada kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Belum BAB sejak 4 hari lalu.

Pemeriksaan Fisik
-

Tanda vital: Suhu (oral, rektal, axila atau telinga), nadi, respirasi, tekanan darah
(mencakup lengan kanan, lengan kiri, berbaring, duduk, berdiri), tingkat kesadaran.

Tingkat kesadaran pasien ada 5:


1. Compos Mentis : Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
2. Apatis : kurang memberikan respon terhadap sekelilingnya atau bersifat acuh tak acuh
terhadap sekelilingnya.
3. Delirium: penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun
yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.
4. Somnolen : keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi
bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
5. Sopor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna
dan tidak dapat membrikan jawaban verbal yang baik.
Page | 2

6. Semi koma: penurunan ranagsangan yang tidak memberikan respon terhadap


rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks pupil dan
kornea masih baik.
7. Coma : tidak sadar, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan apapun juga.1,2
- Demam, compos mentis, RR: 20 x/menit, N:80x/menit, TD: 110/80 mmHg, nyeri tekan
pada region epigastrium

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah pada tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus
UJi widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antobodi terhadap kuman S.thypi. pada uji widal terjadi
suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman S.thypidengan antibody yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
Agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman), dan c agglutinin Vi ( simpai
kuman). Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat
secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selam beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul O, kemudian diikuti aglutinin H. pada orang yang
telah sembuh agglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedang agglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.

Page | 3

Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu; 1) pengobatan dini dengan
antibiotic, 2) gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3) waktu
pengambilan darah, 4) daerah endemic atau non endemic, 5) riwayat vaksinasi. 6) reaksi
anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibaat infeksi
demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,7) factor teknik pemeriksaan laboratorium, akibat
aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum
ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic.
Uji tubex
Merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat(beberapa meni) dan mudah untuk di
kerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-Styphi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonkugasi pada partikel latex yang berwarna
dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji
tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D

walau tidak spesifik

menunjukkan pada S,typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan member hasil negative.
Uji Typidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane
luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50
KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap s.typhi pada specimen serum
atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung anti gen lipopolisakarida (LPS)
s.typhoid dan anti IgM(sebagai control), reagen deteksi yang mengandung anti IgM yang dilekati
dengan lateks berwarna, vairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum
pasien , tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untk disimpan selama dua tahun pada
suhu 4-250 C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Kultur Darah

Page | 4

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) telah
mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negative, 2) volume
darah yang kurang(diperlukan kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang dibikkan sedikit maka
hasil negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimaukkna ke dalam
media cair empedu untuk pertumbuhan kuman, 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibody dalam darah pasien. Antibody (aglutinin) dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negative ,4) saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada
saat agglutinin semakin meningkat.3,4

Penyebab/Etiologi
demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh
organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe
paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. kumankuman ini lebih dikenal dengan nama S.paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S.hirschfeldii. 4

Diferensial Diagnosis
Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
etiologi
DBD diesebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam virus flavivirus family dari
flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Dalam
laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kucing, anjing,
danb primata. Penelitian pada arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada
nyamuk Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.
manifestasi klinik

Page | 5

Pada DBD mempunyai keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diabetes haemorragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. 4,5

Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus
Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit
berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala
oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal. 3,4
Etiologi

Gambar 1. Plasmodium sp5


Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa. Terdapat empat
spesies Plasmodium pada manusia yaitu : Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax
(malaria tertiana ringan). Plasmodium falcifarum menimbulkan malaria falsifarum (malaria
tertiana berat), malaria pernisiosa dan Blackwater faver. Plasmodium malariae menimbulkan
malaria kuartana, dan Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale.2
Keempat

spesies

plasmodium

tersebut

dapat

dibedakan

morfologinya

dengan

membandingkan bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di dalam darah
perifer maupun bentuk pre-eritrositik dari skizon yang terdapat di dalam sel parenkim hati.
Gejala Klinik
Gejala yang klasik yaitu terjadinya trias malaria secara berurutan : periode dingin (15-60
menit) mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada
saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan
Page | 6

meningkatnya temperature, diikuti dengan periode panas : muka penderita merah, nadi cepat ,
dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian
periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa
sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi plasmodium vivax, pada plasmodium
falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada.4
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme
terjadinya malaria ialah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoesis sementara,
hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin.Splenomegali sering dijumpai pada
penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi
bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana plasmodium
dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limfosit. Penambahan sel-sel radang ini akan
menyebabkan limpa membesar.4
Gambaran Klinis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias terapi yang tepat dan
meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini penting unutk membantu
mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu di butuhkan pemeriksaan tambahan untuk
membantu menegakkan diagnosis.
Masa tunas demam tifoid berlansung anara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epiktasis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat deman adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
semakin jelas

berupa demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 1 0 C tidak diikuti

peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput ( kotor di tengah, tepid an ujung
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa

Page | 7

somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan

pada orang

Indonesia.
Epidemiologi
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan
perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup
umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi
penyebaran penyakit ini. 6
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan
1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% .
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedang di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan
erat dengan persediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1.08% dari seluruh kematian
di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas
tinggi.4

Patofisiologi
Masuknya kuman salmonella thypi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ,asuk
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag. Dan selanjutnya di bawa ke
plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
Page | 8

duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama) yang asimtomatik dan menyebar ke seluruh organ retikulo
endothelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembak biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan desertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan
koagulasi.
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(s.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai
jaringan limfoid plak Peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina propia, masuk aliran limfe
mencapai kelenjar limfemesenterial, dan masuk aliran darah melalui duktus torasikus. 4
Salmonella typhi lain dapat mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella
typhi bersarang di plak Peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.
Usus

Menembus sel Epitel tutama sel-M.

Endotoksin Salmonella typhiLambung


berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman

Respon imunitas humoral mukosa (IgA) kurang Msk


baik &
salmonella
berkembang
biak
bkmbang
biak ke Lamina
Propia

Makanan
kontaminasi
tersebut berkembang
biak.
Salmonellasalmonella
typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan

pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam. 4
Fagositosis oleh makrofag.
KGB
mesentarika
Plak
peyeri
Dukt.torasikus
Bkembang biak dlm makrofag.
Ileum distal

Page | 9

Seluruh organ
RE tutama hati,
limpa distal sel fagosit
Sirkulasi darah bakterimi
I
Meninggalkan
(asimptomatik)

Tanda sistemik

Bkembang biak di ekstraselular organ/sinusoid


Sirkulasi darah (bakterimi II)

Sel fagosit
Hati

hiperaktif

Makrofag
Sdh taktivasi

Kandung empedu (bkembang biak)

Menembus usus lagi

Lumen usus
Reaksi seperti semula

Reaksi hiperplasi plek


Melepas sitokinnyeri
reaksi inflamasi sistemik Rx.Hipersensitivitas tipe lambat

4
Gambar 2.Patogenesis Akumulasi
dan Patofisiologi
demam tifoid.
mononuclear
di radang usus

Penatalaksanaan

Gejala-gejala

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :

feses

Hyperplasi
Nekrosis penyebaran kuman. Antibiotik
1. Pemberian antibiotik untuk menghentikan
dan memusnahkan

yang dapat digunakan : 1, 4


a. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per
Erosatau
pemb.Darah
Perdarahan
oral
intravena. Diberikan sampai
dengan saluran
7 hari cerna
bebas panas. Penyuntikan

intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempatberjalan
suntikan terus
terasa nyeri.Menembus
Dari pengalamn
pengunaan&obat
Proses
lap.mukosa
ototini dapet menurunkan
perforasi deman
rata-rata 7,2 hari.Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjdi rata setelah hari
ke 5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002 sampai 2008 oleh moehario LH dkk
didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan terhadap antibiotic ini.
b. Tiamfinekol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia

Page | 10

aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x


500 mg, demam rata-rata turun pada hari ke 5 sampai ke 6.
c. Ampisilin/Amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kg
BB dan berikan selama 2 minggu.
d. Kotrimoksazol efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa 2x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin generasiIII. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang terbukti
efektif untuk demam tifoid adalah sefriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam paerinfus sekali sehari, diberikan
selama 3 sampai 5 hari.
f. Golongan fluorokuinolon. Golongan ini beberap jenis bahan dan sediaan dan aturan
pemberiannya:
Ceftriaxone 4 gr / hari selama 3 hari
Norfloxacin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
siprofloksacin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloxacin dosis 600 mg/hari selama 7 hari
Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari
2. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur,
pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Paien dengan kesadaran menurun, posisinya
perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang
air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin. 4
3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif). Pertama pasien diberi diet bubur saring,
kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk
rendah selulosa (pantang sayuran dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga
diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum
pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap
berfungsi dengan optimal. Jika pasien tidak dapat makan, Lakukan managemen cairanRL +
TRIOFUSIN 1000. Pemberian cairan RL + TRIOFUSIN 1000 mengandung 500 kalori.4
Page | 11

Pada kasus perforasi dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dan nutrisi parenteral
total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis
dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis
tidak begitu baiuk pada kedua keadaan di atas. 4

Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra Intestinal
Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik), miokarditis,

trombosis dan tromboflebitis.


Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan /atau Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitik
Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis
Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis
Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis
Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritisperifer,
sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia6

Komplikasi Intestinal
Pendarahan Intestinal
Pada plek peyeri yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi pendarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perporasi
usus dapat terjadi. Selain karena faktor luka, pendarahan juga dapat terjadi karenagangguan
koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita tifoid dapat
mengalami pendarahn minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Pendarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis pendarahan akut darurat bedah ditegakan
bila terjadi pendarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas normal.
Jika penangan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 20-32%, bahkan ada yang melaporkan
sampai 80%. Bila trnaspusi yang diberian tidak dapt mengimbangi pendarahan yang terjadi,
maka tindakan bedah perlu dipertimbangan.4
Page | 12

Perforasi Usus
Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ke 3 namun
dapat juga terjadi pada minggu pertama.selain gejala umum tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama didaerah
kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekana
darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokongadanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga
pertironium atau sub diafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentuan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkat kejadian
perforasi adalah umur(biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan,
beratnya penyakit dan mobilitas penderita.4

Komplikasi Ekstra-Intestinal
Komplikasi Hematologi
Kompliakasi hematologic berupa trombositopena, hipofibrino-genemia, peningkatan
prothrombin time,peningkatan partial thrombopliaston time peningkatan fibrin degradation
products sampai koagulasi intravascular deseminata(KID) dapat ditemukan pada kebanyakan
pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningktanya
detruksi trombosit di system retikuloendotelial. Obat-obat juga memengang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukanan
adalah endotoksin mengaktifkan beberapa system biologic, koagulasi dan fibrinolisis.pelepasan
kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkanvasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh
darah dan selanjutnya mengakitbatkan perangsangan mekanisme koagulasi, baik KID
kompensata, maupun dekompensata.4

Page | 13

Bila terjadi dekompensata dapat diberikan transfuse darah, substitusi tombosit dan/atau faktorfaktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tida sependapat tentang manfaat
pemberian heparin pada demam tifoid.4
Hepatitis Tifosa
Pembekakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasusdengan demam tifoid
dan lebih banya dijumpai karena S. typhi daripada S. paratyphi. Untu membedakan apakah
hepatitis inioleh karena tifoid, virus malaria, atau amoba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. pada demam tifoid enaikan enzim
transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan hepatitis oleh
karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadipada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang
kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.4
Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pda demam tifoid. Pancreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro imflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
Pemeriksaan enzim emilase dan lipase serta ultrasonograafi/CT-Scan dapat membantu diagnosis
pennyakit ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pangkretitis tifosa sam seperti penanganan pangkreatitis pada umumnya;
antibiotic yang diberikan adalah antibiotic intravena seperti seftriakson, atau kuinolon.4
Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5%

penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya
tanpa gejala kardiofaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif,
aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi, perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini
disebabkan kerusakan miokardium oleh uman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab
kematian. biasanya dijumpai pada pasien sakit berat, keadaan akut dan fulminan.4
Manifestasi Neuropsiklatrik/ Tipoid Toksik

Page | 14

Manifestasi neuropsiklatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma
atau koma, Parkison rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksi, mania akut, hipomania, esefalomielitis, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut(kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor, atau koma)
dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih
dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberap peniti disebut tifoid toksik,
sedangkan penulislainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati,
atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaandan kepercayaaan(adat)
yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan
angka kematian.4

Pencegahan
Pencengahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadapat penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid,
menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara, mendatangkan devisa yang berasal
dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnyapredikat Negara endemic dan hiperendemik
sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.4
Preventif dan control penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek , mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai
agen penyakit dan faktor penjamu(host) serta faktor lingkungan.4
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan trnasmisi tifoid, yaitu
1. Identifikasi dan eradikasi Salminella typhi baik pada deman tifoid maupun pada kasus karier
tifoid
2. Pencengahan trnsmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karrier
3. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi
Indentifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan akut
Page | 15

Tindakan identifikasi atau penyaringan penyakit kuman S. typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya cuku besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara
pelaksanaannya dapar secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada
penerimaan pegawa di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada papulasi
tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran,
hotel, pabrik beserta distributornya. Sasaran lainya adalah yang terkait dengan pelayanan
masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
Pencengahan langsung transmisis dari penderita terinfeksi S. typhi akut maupun
karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit , klinik maupun di rumah maupun lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau nonendemis, tingat resiko tertular yaitu berdasarkan tingat hubungan perorang atau jumlah
frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan imunoompromais maupun
golngan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
a. Daerah non endemic. Tanpa ada ejadian outbreak atau epidemi.
b. sanitasi air dan kebersihan lingkungan
c. penyaringan pengelola pembuatan/distributor/ penjual maan-minuman
d. pencarian dan pengobatan kasus tifoid karrier
Bila ada kejadian epidemic tifoid
a. pencarian dan eliminasi sumber penularan
b. pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c. penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum dan daerah tersebut.
Bila daerah endemik
a. masyarakat pengelola bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar
prosedur kesehatan (perebusan >5700 C, iodisasi, dan klorimisasi)
b. pengujung di daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi
makanan segar (sayur/buah)
Page | 16

c. vaksinasi secara menyeluruh kepada masyarakt setempat maupun pengunjung


Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat.4,6
Vaksinasi
Indikasi vaksinasi :
1. Hendak mengunjungi daerah endemic, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk

daerah berkembang
2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
3. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
JeniS vaksin :
Vaksin oral : -Ty2 1 a (vivotif berna). Belum ada di Indonesia.
Vaksin Parenteral : - ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida.4

Prognosis
Prognosis untuk penderita demam enterik tergantung pada terapi segera, usia penderita,
keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab, dan munculnya komplikasi. Di
negara maju, dengan terapi antimikroba yang tepat, angka mortalitas dibawah 1%. Di negara
yang sedang berkembang, angka mortalitas lebih tinggi daripada 10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan. Bayi umur sebelum 1 tahun
dan anak-anak dengan gangguan dasar yang melemahkan berada pada risiko yang lebih tinggi.
Salmonella typhi menyebabkan penyakit yang lebih berat, dengan angka komplikasi dan
kematian yang lebih tinggi, daripada serotip lain. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
saluran pencernaan atau perdarahan berat, meningitis, endokarditis dan pneumonia disertai
dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Relaps sesudah respons klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan
antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi klinis
relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan menyerupai penyakit
akut. Namun relaps, biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Dapat terjadi relaps berulang.
Individu yang mengekskresi S. typhi 3 bulan atau lebih lama sesudah infeksi biasanya
pengekskresi 1 tahun dan ditetapkan sebagai pengidap kronis. Risiko menjadi pengidap rendah
pada anak dan bertambah pada semakin tua; dari semua penderita dengan demam tifoid, 1-5%
menjadi pengidap kronis. Insiden penyakit saluran empedu lebih tinggi pada pengidap kronis

Page | 17

daripada populasi umum. Walaupun pengidap saluran kencing kronis juga dapat terjadi, pengidap
ini jarang dan ditemukan terutama pada individu dengan skistosomiasis.4

Kesimpulan
Demam yang diderita pasien merupakan demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih,
yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya
penyakit ini. Pemeriksaan penunjang yang mudah untuk dilakukan adalah dengan uji widal. Obat
utama yang dapat digunakan adalah golongan antibiotik.Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk
mencegah penyakit.

Daftar Pustaka
1. Abdurrahman, dkk. Anamnesis & pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h.11-20.
2.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V(jilid I). Jakarta: Internal Publishing; 2009. h.25-30.

3.

Soedarmo SPS, Garna K, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar


infeksi dan pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h.33845.

4.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V(jilid III). Jakarta: Internal Publishing; 2009. h.2797-805.

5.

Gambar

demam

tifoid.

Diunduh

dari:

http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc: 18 November 2012.


6.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani, Setiowulan. Kapita


selekta kedokteran. Edisi ke-3 (jilid 1). Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001. h.421-425.

Page | 18

You might also like