Professional Documents
Culture Documents
Kanal CIFOR
Bloggers
Berlangganan
Arsip
English
Franais
B.Indonesia
Espaol
Perubahan iklim
Penghidupan
Energi
Jender
Ketahanan pangan
Perdagangan
Konservasi
Fitur
o Doha Pertemuan tingkat tinggi perubahan iklim PBB (2012)
o Durban Pertemuan Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (2011)
o Konferensi Hutan Indonesia (2011)
Makna tradisional konservasi selama ini terkait dengan penyerobotan lahan di mana sejumlah
kegiatan manusia secara tegas dipantau atau dibatasi suatu benteng konservasi. Saat ini masih
terdapat dukungan kuat bagi konservasi keanekaragaman hayati melalui penyelenggaraan
kawasan lindung, dimana biaya sosial dan ekonomi pelarangan dianggap sebagai sarana yang
penting untuk melindungi keanekaragman hayati demi manfaat global yang lebih besar. Namun
demikian, dukungan tersebut juga telah mendorong adanya perdebatan sengit dan saling
bertentangan tentang dampak kawasan lindung bagi masyarakat setempat, di mana isu-isu seperti
hak-hak asasi manusia, peniadaan keadilan sosial dan ekonomi sering kali dikedepankan.
Apakah imbal balik yang terjadi dari mengabaikan masyarakat dari lahan mereka, serta biaya
sosial dan ekonomi yang timbul merupakan harga yang pantas untuk mencapai konservasi
keanekaragaman hayati yang efektif? Sejumlah pengalaman tidak mengindikasikan demikian,
namun di manakah datanya?
Makalah yang baru-baru ini ditulis oleh Porter-Bolland dkk. mengkaji efektivitas kawasankawasan lindung yang tegas/ketat/kaku (yang termasuk kategori I-IV IUCN) dibandingkan
dengan hutan yang secara formal dikelola oleh masyarakat di mana terjadi pemanfaatan
majemuk dengan beragam skema tenurial, pembagian keuntungan dan tata kelola. Pada contoh
ini, mereka mendefinisikan efektivitas sebagai suatu perubahan atas tutupan hutan dari waktu
ke waktu.
Walaupun para penulis mengakui bahwa penilaian tutupan lahan merupakan indikasi kasar untuk
integritas lingkungan, perubahan tutupan hutan dan pemicu perubahannya merupakan indikasi
yang kuat tentang efektifitas jenis pemanfaatan lahan untuk melestarikan keanekaragaman
hayati, khususnya karena teknologi penginderaan jarak jauh sudah semakin tersedia dan
terjangkau.
Porter-Bolland dkk. membandingkan berbagai studi kasus yang diperoleh dari sejumlah literatur
yang mencakup tiga wilayah utama: Amerika Latin, Afrika dan Asia. Temuan mereka merupakan
materi yang menarik untuk dibaca. Mereka juga menekankan kembali temuan para ilmuwan
sebelumnya yang menunjukkan bahwa semakin besar otonomi pembuat peraturan pada tingkat
lokal berkaitan dengan lebih baiknya pengelolaan hutan dan manfaat penghidupan.
Porter-Bolland dkk. memberikan bukti-bukti yang jelas bahwa secara keseluruhan, hutan yang
dikelola masyarakat memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan lindung
dalam hal lebih rendahnya laju deforestasi tahunan dan lebih sedikit variasi dalam laju
kehilangan keragaman tutupan hutan. Mereka menyimpulkan bahwa kawasan lindung
kemungkinan bukan merupakan cara yang paling efektif dalam pelestarian keanekaragaman
hayati serta bukanlah sarana yang paling berkeadilan sosial ataupun menguntungkan secara
ekonomis dalam upaya perlindungan.
Apakah penunjang temuan ini, mengingat efektivitas pengelolaan hutan berbasis masyarakat saat
ini sedang dicermati? Pertama, hal ini dapat menginformasikan bahwa mayoritas kawasan
lindung yang dikutip pada studi kasus (90% dari mereka) dikelola oleh pemerintah nasional.
Dukungan pemerintah bagi konservasi seringkali dicirikan oleh keterbatasan dana dan kapasitas
yang menyebabkan buruknya pelaksanaan. Akibatnya, ketidakpatuhan setempat atas peraturan
kawasan lindung seringkali menjadi norma umum dan banyak terjadi perambahan.
Selain itu, mayoritas kasus yang digunakan dalam analisis berlokasi di Amerika Latin, dimana
kuatnya pergerakan sosial telah menyebabkan tenurial dan pengaturan tata kelola yang lebih
ramah masyarakat dan bisa jadi, menjadi pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat yang
lebih efektif.
Banyak peneliti dan praktisi telah lama mengenali bahwa strategi konservasi yang lebih tangguh
dan kuat sebaiknya mencakup rentang jenis pemanfaatan lahan yang mengakui kebutuhan sosial
dan ekonomi masyarakat termasuk hak tenurial dan kapasitas setempat. Namun demikian,
mengingat ukuran dan jangkauan kawasan lindung terus berkembang setiap tahunnya,
pengakuan atas kebutuhan manusia dan penyertaan sejumlah hak ke dalam proses-proses
perencanaan pemanfaatan lahan seringkali tidak dipertimbangkan.
Dengan dimulainya berbagai proyek REDD+, pelibatan masyarakat setempat terhadap
pengelolaan sumber daya alam sejak rancangan sampai implementasi akan menjadi hal mendasar
dalam mencapai keluaran yang efektif dan dimana imbal balik yang mahal antara pelestarian
keanekaragaman hayati dan kesetaraan sosial diminimalisir.
Paling populer
Berita terbaru
Uang bisa membeli kebahagiaan? Riset baru mengajak memikirkan ulang asumsi itu
Publikasi Terkait
Publikasi lainnya
David Gaveau and Romain Pirard | Satelit juga bisa keliru: Anjuran untuk berhati-hati
bagi pengambil kebijakan
Jacob Phelps and Dan Friess | Menakar kelaikan skema pembayaran karbon biru
Baruani Mshale | Hak, sumber daya alam, dan dampak lingkungan: Kaitan rumit tapi
penting
Steven Lawry | Bagaimana dampak tenurial pada produktivitas pertanian? Sebuah kajian
sistematis
Markus Ihalainen and Bimbika Sijapati Basnett | Pendapat dan ulasan: Bagaimana
partisipasi riset jender memperkaya pemahaman
Berita POLEX lainnya
TAUTAN TERKAIT
Kanal CIFOR
Hubungi kami
Mengapa kebijakan Satu Peta, One Map policy penting bagi feformasi sektor kehutanan
#Indonesia?, bit.ly/1FeRynU
RT @wef Can forest foods help solve the global #hunger crisis? wef.ch/1H64f4U
#foodsecurity pic.twitter.com/Snwtfdh3Bl
Dampak sosial perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat: Tinjauan CIFOR dari
perspektif #jender, bit.ly/1GYyXYc.
Mengapa kebijakan Satu Peta, One Map policy penting bagi feformasi sektor kehutanan
#Indonesia?, bit.ly/1FeRynU
RT @wef Can forest foods help solve the global #hunger crisis? wef.ch/1H64f4U
#foodsecurity pic.twitter.com/Snwtfdh3Bl
1
2
3
KOMUNITAS CIFOR
Pendapat yang disampaikan dalam blog ini adalah milik para penyusun dan tidak serta merta
mencerminkan pandangan Center for International Forestry Research.
Isi dapat dipublikasikan oleh pihak lain sesuai kesepakatan dengan Creative Commons
Attribution-Noncommerical-Share Alike License.
<img height="1" width="1" border="0" alt=""
src="http://googleads.g.doubleclick.net/pagead/viewthroughconversion/957125468/?
frame=0&random=1431346920314&cv=7&fst=1431346920314&num=1&fmt=1&guid=ON&u
_h=768&u_w=1366&u_ah=728&u_aw=1366&u_cd=24&u_his=1&u_tz=480&u_java=false&u_
nplug=3&u_nmime=9&frm=0&url=http%3A//blog.cifor.org/652/seberapa-efektifkah-kawasanlindung-melestarikan-keanekaragaman-hayati&ref=http%3A//www.google.co.id/url%3Fsa%3Dt
%26rct%3Dj%26q%3D%26esrc%3Ds%26source%3Dweb%26cd%3D1%26cad%3Drja%26uact
%3D8%26ved%3D0CBwQFjAA%26url%3Dhttp%253A%252F%252Fblog.cifor.org
%252F652%252Fseberapa-efektifkah-kawasan-lindung-melestarikan-keanekaragaman-hayati
%26ei%3DvJ5QVcCIGIXk8AXcr4BI%26usg
%3DAFQjCNH9tzC7ED_i4TtTL_RdhrgEqXJD6Q%26bvm
%3Dbv.92885102%2Cd.dGc&vis=2" />