You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat), setiap individu
menempati kedudukan (status) tertentu, mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masingmasing. Namun demikian, ia sekaligus mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup
bersama dengan sesamanya.
Masyarakat yang dicita-citakan oleh Islam adalah baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur, yaitu masyarakat yang subur dan makmur, serta adil dan aman. Bukan
sebaliknya masyarakat yang penuh dengan kemewahan, poya-poya, kemungkaran dan
kemaksiatan yang merajalela, lupa terhadap Allah sebagai pencipta.
Dengan mengintegrasikan kedua teori di atas, kami mendapatkan suatu
hubungan erat antara individu dalam suatu masyarakat dengan keterwujudan baldatun
thayyibatun yang dicita-citakan oleh Islam. Setiap individu yang ada dalam suatu
masyarakat dan memiliki tujuan hidup masing-masing pergerakannya dibatasi oleh
tujuan hidup bersama masyarakat tersebut. Dalam artian individu tidak bisa seenaknya
mewujudkan tujuan hidupnya dengan mengabaikan tujuan hidup masyarakat sekitarnya.
Kepedulian setiap individu terhadap tujuan hidup bersama masyarakatnya akan
mempercepat perkembangan menuju terwujudnya tujuan bersama tersebut.
Salah satu masalah yang dihadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya
rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Sektor
kehidupan yang mengalami kelemahan ini salah satunya adalah sektor sosial dan
budaya. Hal ini tampak pada akhlak pergaulan hidup bertetangga, akhlak bertamu dan
menerimanya, serta akhlak bergaul dengan orang-orang muslim dan non-muslim secara
umum.
Dalam hal tamu bertamu, individu yang berposisi sebagai tamu cenderung tidak
beretika. Ada di antara mereka yang ketika bertamu, ia meminta ijin kepada tuan rumah
dengan berteriak-teriak. Di samping itu, ada pula yang tampak memaksa masuk ke
rumah tuan rumahnya meskipun tuan rumah tersebut tidak berkenan untuk
menerimanya. Ada juga yang berposisi sebagai penerima tamu tidak memperlakukan
tamunya dengan baik. Ia menerima tamunya dengan muka yang masam, tidak
memberikan jamuan kepada tamunya, dan bahkan tidak mempersilakan tamunya untuk
duduk.

Dalam hal bertetangga, individu-individu yang tinggal berdekatan cenderung


acuh dan tidak saling peduli satu sama lain. Hal ini tampak dari kebiasaan mereka yang
ketika bertemu, perbuatan saling sapa pun tidak terjadi diantara mereka. Ada pula
individu yang tampak tidak suka ketika bertemu dengan tetangganya. Ia menampakan
muka masamnya dan berlalu dengan mata mendelik.
Proses sosialisasi dengan saudara seislam pun mengalami degradasi yang terlihat
dari kebiasaannya yang cuek antara satu individu dengan individu lainnya.
Ketidakpedulian ini terjadi bukan hanya pada antar-pribadi saja, tapi juga antarmasyarakat. Seperti contohnya ketika para penghuni blok A mengalami kekeringan,
saudara-saudaranya yang menghuni di blok B tidak menghiraukan musibah yang sedang
dialami oleh para penghuni blok A.
Pun demikian dengan proses sosialisasi dengan non-muslim. Bergaul dengan
mereka yang berbeda agama seperti dilarang dalam masyarakat. Hubungan baik dengan
orang Kristen (contohnya) dianggap sebagai orang yang sudah terbawa arus buruk.
Berbagai permasalahan di atas melatarbelakangi kami untuk menyusun makalah
yang bertajuk akhlak dalam bermasyarakat ini. Lebih khususnya kami memberi judul
makalah ini Akhlak dalam Kehidupan Bermasyarakat, sekaligus untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ibadah & Akhlak.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa kita perlu mempelajari tentang akhlak?
2. Bagaimanakah akhlak dalam kehidupan bermasyarakat yang baik dan sesuai
dengan ajaran Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasullah SAW?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pentingnya mempelajari tentang akhlak.
2. Untuk mengetahui akhlak dalam kehidupan bermasyarakat yang baik dan sesuai
dengan ajaran Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasullah SAW, agar
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa arab yaitu Al-Khulk yang berarti tabeat,
perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan. Menurut istilahnya, akhlak ialah sifat yang
tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu dengan senang
dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran dan paksaan. Dalam KBBI, akhlak berarti
budi pekerti atau kelakuan. Sedangkan menurut para ahli, pengertian akhlak adalah
sebagai berikut:

Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak ialah hal li nnafsi daaiyatun lahaa ila
afaaliha min ghoiri fikrin walaa ruwiyatin yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan

pemikiran dan pertimbangan.


Menurut Abu Hamid Al Ghazali, akhlak ialah sifat yang terpatri dalam jiwa
manusia yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan
senang dan mudah tanpa memikirkan dirinya serta tanpa adanya renungan

terlebih dahulu.
Menurut Ahmad bin Mushthafa, akhlak merupakan sebuah ilmu yang darinya
dapat diketahui jenis-jenis keutamaan, dimana keutamaan itu ialah terwujudnya
keseimbangan antara tiga kekuatan yakni kekuatan berpikir, marah dan syahwat

atau nafsu.
Menurut Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani, akhlak merupakan sesuatu
yang sifatnya (baik atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang
darinyalah terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir
dan direnungkan.

2.2 Dasar-dasar Pendidikan Akhlak


Dasar pendidikan akhlak adalah al-Quran dan al-Hadits, karena akhlak
merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Quran dan al-Hadits
sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu
perbuatan. Al-Quran sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah
SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. Maka selaku umat Islam kita
hendaknya menganut perbuatan yang dicontohkan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi
seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab: 21:

Yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)
Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan
yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan
luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam: 4:

Yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S.
al-Qalam : 4).
Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai
seseorang yang berakhlak agung (mulia).
Di dalam suatu hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di
dalam

kehidupan

manusia.

Bahkan

diutusnya

rasul

adalah

dalam

rangka

menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata: menceritakan Abdul Aziz
bin Muhammad dari Muhammad bin Ijlan dari Qoqo bin Hakim dari Abi Shalih dari
Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad)
Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya
pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan akhlak yang
diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang
yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang
keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan
pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik,
memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang
tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.

2.3 Akhlak Bertamu dan Menerima Tamu


Dalam hidup bermasyarakat, kita tidak pernah lepas dari kegiatan bertamu dan
menerima tamu. Adakalanya kita mengunjungi sanak saudara, kerabat, kenalan kita dan
adakalanya kita juga dikunjungi teman-teman kita. Supaya kegiatan tersebut tetap
berdampak positif bagi kedua belah pihak, baik pihak yang mengunjungi maupun pihak
yang dikunjungi, maka Islam memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan
bertamu dan menerima tamu dilakukan.
2.3.1 Bertamu
Tiap bertamu dan menerima tamu tentu ada tata cara (adab) tersendiri
menurut kebiasaan dan sangat tergantung kepada orang yang dikunjungi. Kalau kita
bertamu kepada sanak keluarga tentu berbeda dengan bertamu kepada keluarga lain.
Begitu pula bertamu kepada orang kebanyakan, tentu tidak sama dengan bertamu
kepada seorang petinggi di kantornya.
1. Meminta izin dan mengucapkan salam kepada tuan rumah
Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih
dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada tuan rumah. Sebagaimana
Firman Allah SWT (QS. An-Nur :27)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat
Meminta izin bisa dengan kata-kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu
atau tekan tombol bel atau cara-cara yang lebih dikenal dalam masyarakat
setempat. Bahkan salam itu sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai
permohinan izin.
Menurut Rasulullah saw, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga
kali. Apabila tidak ada jawaban, sebaiknya yang bertamu kembali pulang.
Jangan sekali-kali masuk rumah orang lain tanpa izin, karena disamping tidak
menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif
kepada tamu itu sendiri.
Mengapa meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan pertama,
sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan
kedua, memberikan kesempatan tuan rumah untuk menyiapkan segala sesuatu

yang diperlukan, ketukan ketiga, diharapkan penghuni rumah sudah berjalan


menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu,
ada kemungkinan tidak ada orang di rumah atau tuan rumah sedang tidak
bersedia menerima tamu.
Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah
ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Sekalipun
tuan rumah dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap berhak
menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak berkenan.
2. Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang kiranya tuan
rumah tidak akan terganggu.
3. Jangan terlalu lama bertamu sehingga merepotkan tuan rumah. Segeralah
pulang jika urusan sudah selesai.
4. Jangan melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu.
Diizinkan masuk rumah bukan berarti diizinkan segala-galanya.
5. Kalau disuguhi minuman atau makanan, hormatilah jamuan itu. Bahkan
Rasulullah saw menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunah sebaiknya
membukai puasanya untuk jamuan (HR. Baihaqi).
6. Hendaklah pamit ketika akan pulang.
2.3.2 Menerima Tamu
Rasulullah saw mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan
terhadap Allah SWT dan Hari Akhir. Beliau bersabda: Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
hendaklah ia memuliakan tamunya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya
dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilakan duduk di
tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus menerima tamu yang
dijaga kerapihannya.
Kalau tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah
wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari itu
terserah tuan rumah tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw,

menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
Rasulullah saw bersabda:
Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang
dibelanjakan untuk tamu diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu
tetap menginap (lebih dari tiga hari) Karen hal itu akan memberatkan tuan rumah.
(HR. Tirmidzi)
Menurut Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah
memuliakan dan menjamu tamu pada hari pertama dengan hidangan yang istimewa
dari hidangan yang biasa dimakan tuan rumah sehari-hari. Sedangkan hari kedua
dan ketiga dijamu dengan hidangan biasa sehari-hari.
2.4 Hubungan Baik dengan Tetangga dan Masyarakat
Semua bentuk akhlak yang baik adalah sikap yang selayaknya diberikan kepada
tetangga kita. Diantaranya adalah bersedekah kepada tetangga jika memang
membutuhkan. Bahkan anjuran bersedekah kepada tetangga ini sangat ditekankan oleh
Rasulullah SAW:
Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya
kelaparan (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108, dishahihkan Al Albani dalam
Silsilah Ash Shahihah 149).
Beliau juga bersabda:
Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga
tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik (HR.
Muslim 4766).
Dan juga segala bentuk akhlak yang baik lainnya, seperti memberi salam,
menjenguknya ketika sakit, membantu kesulitannya, berkata lemah-lembut, bermuka
cerah di depannya, menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya.
2.5 Ukhuwah Islamiyah
Kata ukhuwah berasal dari bahasa arab yang kata dasarnya adalah akh yang
berarti saudara, sementara kata ukhuwah berarti persaudaraan. Adapun secara istilah
ukhuwah islamiyah adalah kekuatan iman dan spiritual yang dikaruniakan Allah kepada
hamba-Nya yang beriman dan bertakwa yang menumbuhkan perasaan kasih sayang,

persaudaraan, kemuliaan, dan rasa saling percaya terhadap saudara seakidah. Dengan
berukhuwah akan timbul sikap saling menolong, saling pengertian dan tidak
menzhalimi harta maupun kehormatan orang lain yang semua itu muncul karena Allah
semata.
Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 10:

Yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu


damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat (QS. Al-hujurat:10)
Untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya tersebut kita dapat mengacu
kepada hadits Rasul yang menyatakan kewajiban-kewajiban muslim terhadap muslim
yang lain. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Hurairah
berkata:
Telah bersabda Rasulullah SAW kewajiban seorang muslim terhadap sesama
muslim ada lima: menjawab salam, mendoakan yang bersin, memenuhi undangan,
mengunjungi yang sakit, dan ikut mengantarkan jenazah. (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, maka kewajiban-kewajiban muslim terhadap muslim lainnya
adalah:
1. Memperdayakan salam
Salam merupakan doa, yaitu mendoakan keselamatan kepada yang diberi
salam. Adapun tata aturan salam ialah sebagai berikut:

Yang muda kepada yang tua.


Yang berkendaraan kepada yang berjalan.
Yang berjalan kepada yang duduk.
Yang sedikit kepada yang banyak.
Bila rombongan, maka yang mengucapkan dan menjawab

salamnya cukup satu orang.


2. Mendoakan yang bersin
Bersin merupakan suatu nikmat yang sangat luar biasa dari Allah SWT.
Mendoakan yang bersin sangat ditegaskan oleh Rasulullah SAW jika yang

bersin mengucapkan Alhamdulillah. Namun jika tidak, maka kita tidak perlu
mendoakannya.
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang dari
kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan alhamdulillah, sedangkan saudaranya
atau temannya hendaklah mengucapkan yarhamukallah (semoga Allah
merahmatimu), dan hendaklah ia membalas yahdikumullahu wa yushlih
baalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki hatimu).
3. Memenuhi undangan
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda bahwa jika kita diundang,
hendaklah datang (memenuhi undangannya). Hal tersebut dapat dijadikan
sebagai wujud menghargai saudara kita yang telah bersedia mengundang untuk
datang ke acaranya. Selama undangannya merupakan hal-hal yang tidak
bertentangan dengan agama, maka kita berkewajiban untuk memenuhinya.
4. Menjenguk yang sakit
Menurut ilmu kedokteran, jika seorang yang sakit ditengok oleh keluarga
ataupun teman-temannya, maka akan muncul respon positif dari otaknya. Hal
tersebut dikarenakan adanya rasa bahagia dalam diri pasien yang ditengok
tersebut.
Saat menengok orang sakit, kita juga dianjurkan untuk mendoakannya
agar lekas sembuh. Begitulah muslim yang sesungguhnya, ia amat peduli dengan
saudaranya. Dengan doa yang kita panjatkan, disadari atau tidak, itu dapat
mempererat hubungan psikologis. Dengan demikian, rasa peduli kita terhadap
orang yang mendoakan ataupun didoakan akan tumbuh semakin kuat.
5. Mengantarkan jenazah
Mengantarkan jenazah merupakan salah satu kewajiban muslim terhadap
muslim lainnya. Ini bertujuan untuk menghormatinya yang telah berperan dalam
hidup kita, sedikit ataupun banyak.
Adapun untuk aturan mengantarkan jenazah ini ialah bagi laki-laki boleh
mengantarkan sampai ke kuburannya. Namun bagi wanita, hal itu lebih baik tidak
dilakukannya karena emosional wanita yang lebih kuat dari laki-laki.
Dikhawatirkan wanita yang mengantar sampai ke kuburannya akan terlarut dalam

kesedihan yang teramat dalam, apalagi jika yang meninggal itu adalah orangorang terdekatnya. Maka dari itu Islam mencegahnya.
Selain 5 kewajiban yang tercantum di atas, akhlak terhadap sesama muslim juga
mencakup kategori ukhuwah islamiyah. Fauzan (2008:371) mengatakan bahwa
ukhuwah Islamiyah tidak akan terwujud kalau tanpa sendi-sendi yang kokoh, yang
mendasarinya. Sendi-sendi ukhuwah islamiyah itu antara lain; husnul zhan (berbaik
sangka), kasih sayang, rela berkorban, toleransi, musyawarah.

10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Mempelajari akhlak merupakan hal yang sangat penting dipelajari oleh seluruh
umat muslim dikarenakan seruan untuk memiliki akhlak yang baik tercantum
pada Al-Quran dan Al-Hadits. Terlebih dalam suatu hadits Rasulullah SAW
bahkan bersabda bahwa sesungguhnya beliau diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Sehingga sudah sepatutnya bagi kita umat Islam untuk
mengikuti ajaran-ajaran dan mencontoh perilaku Rasullah SAW.
2. Akhlak dalam kehidupan bermasyarakat yang baik dan sesuai dengan ajaran
Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasullah SAW adalah sebagai berikut:
o Akhlak bertamu yang baik menurut Islam ialah dimulai dengan meminta
ijin dan mengucapkan salam, maksimal sampai tiga kali. Jika sesudah
tiga kali salam tidak juga dibukakan pintu, maka hendaklah pulang dan
jangan memaksakan kehendak untuk bertamu. Peraturan untuk bertamu
pun ialah tidak di sembarang waktu, tidak sampai merepotkan tuan
rumah, tidak sampai mengganggu tuan rumah, menghormati jamuan, dan
pamit ketika akan pulang.
o Akhlak menerima tamu ialah memuliakan tamu dengan memasang muka
manis, bertutur kata yang lemah lembut, mempersilakan duduk, dan
menjamunya. Untuk menjamu tamu, Rasulullah membatasi dengan
waktu paling lama ialah tiga hari.
o Akhlak bertetangga yang baik menurut Islam ialah dengan bersedekah
kepadanya jika ia membutuhkan. Selain itu, dianjurkan pula untuk saling
menyapa, menjenguk ketika ia sakit, berkata lemah lembut, bermuka
cerah di depannya, menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya.
o Akhlak kepada saudara seIslam ialah dengan berusaha untuk menjaga
hubungan agar tetap baik, harmonis, dan tidak terjadi perselisihan.
Beberapa

kewajiban

muslim

terhadap

muslim

lainnya

ialah

memberdayakan salam, menengok orang sakit, memenuhi undangannya,


mendoakan yang bersin, dan mengantarkan jenazah.

DAFTAR PUSTAKA

11

Assiba'i,

M.H.

(1993).

Kehidupan

Sosial

Menurut

Islam

Tuntunan

Hidup

Bermasyarakat. Bandung: CV Diponegoro.


Fauzan, dkk. (2008). Kajian Tematik Al-Qur'an Tentang Kemasyarakatan. Bandung:
Penerbit Angkasa.
Kamaratih, A.A. (2010). Akhlak Dalam Bermasyarakat Menurut Islam. [Online].
http://www.gudangmateri.com/2010/12/akhlak-dalam-bermasyarakatmenurut.html Diakses 4 Juni 2016.
Sauri, S. (2012). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. Bandung: Rizqi Press.
Sanrawijaya.

(2013).

Akhlak

Dalam

Masyarakat.

[Online].

http://sanrawijaya.wordpress.com/tag/akhlak-dalam-masyarakat/ Diakses 4 Juni


2016.

12

You might also like