You are on page 1of 9

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA AKUT

1. Pendahuluan
Cedera kepala dapat terjadi setiap 15 detik, dari setiap kejadiannya 50 -60 % diakibatkan
oleh kecelakaan lalulintas dan 70 % terjadi kematian dijalan raya akibat cedera kepala .(Syaiful
Saanin). Penyebab kecacatan atau kematian pada penderita cidera kepala antara lain adalah
keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan
definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan
mencegah infeksi. Untuk itu pentingnya penatalaksanaan cedera kepala dalam kondisi akut
(primary survey)
2. Pengertian
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak(Syamsul Hidayat,1997)
Cidera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada. Mulai dari bagian terluar
(SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan
yang erat dengan mekanisme cidera yang terjadi.
3. Anatomi dan Fisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen yaitu: otak, cairan serebrospinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium mempunyai sebuah lubang
keluar utama yaitu foramen magnum,juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus tentorium tersebut. Isi rongga cranium
80 % adalah otak, terdiri dari tiga struktur utama yaitu: cerebrum (otak besar), cerebellum (otak
kecil) dan brainstem (batang otak). Otak dibungkus oleh tiga selaput yaitu: duramater(lapisan
paling luar), arachnoid ((lapisan yang terletak dibawah duramater dan merupakan lapisan
avaskuler), piamater (lapisan yang melekat langsung pada otak). Otak menerima sekitar 15 %
darah dari total cardiac out put, membutuhkan oksigen 20 % dari kebutuhan tubuh, dan
membutuhkan sirkulasi yang konstan. Jika aliran darah dalam sirkulasi berhenti dalam waktu 10
detik maka kematian akan terjadi 4-6 menit.

Fenomena autoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila
tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada
pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160
mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial.
Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear
terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau
hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan (Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css +
V darah + V massa ).
4. Pathofisiologi
Lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan kliniknya dapat diprediksi. Bila fase
kompensasi terlewati, tekanan intra kranial (TIK) akan meningkat. Batuk, membungkuk, dan
telentang merupakan kejadian yang dapat meningkatkan TIK, sehinggga pasien akan merasakan
nyeri kepala yang hebat, sampai pada kondisi mengantuk. kompresi atau pergeseran batang otak
juga dapat mengakibatkan peninggian TIK dimana nadi dan pernafasan menjadi lambat, pupil
disisi otak yang berlesi akan berdilatasi, dan dapat juga terjadi hemiparese sisi kontralateral dari
lesi, selanjutnya pasien menjadi tidak responsive, pupil tidak bereaksi.
Adapun prinsip pathofisiologi adalah sebagai berikut:
3.1 Pola pernafasan
Kerusakan neurologist dapat menimbulkan masalah pola pernafasan pada beberapa tingkat.
Hal ini disebabkan karena kompleknya neurofisiologis pernafasan. Beberapa lokasi pada
hemisfer serebral mengatur kontrol volunteer pada otot-otot pernafasan, cerebellum mengatur
sinkronisasi dan koordinasinya, dan cerebrum mempunyai beberapa kontrol terhadap frekuensi
dan irama pernafasan. Nukleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak mengatur
automatisasi pernafasan, sel-sel pada area ini bertanggung jawab pada perubahan kecil dari pH
dan kandungan oksigen sekitar darah dan jaringan.
Area-area diatas bisa dicederai oleh peningkatan tekanan intrakranial dan hipoksia serta oleh
trauma langsung atau. interupsi aliran darah. Cedera kepala yang mengubah tingkat kesadaran
biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena pernafasan dangkal, sehingga akhirnya
dapat menimbulkan gagal nafas. Terdapat 5 pola pernafasan yang penting yang menunjukan
kerusakan pada tempat yang berbeda yaitu:

POLA PERNAFASAN
AREA YANG RUSAK
Pernafasan cheyne-stoke: pernafassan Kerusakan bilateral sepanjang serabut
periodic dimana setiap hyperpnea dan syaraf dari midbrain ke bagian atas pons.
apnea bergantian secara teratur, dimana Kerusakan bisa berupa infark serebral
hyperpnea lebih panjang dari apnea
Pernafasan

apnea

ditandai

bilateral atau herniasi hemisfer serebral

melalui tentorium
dengan Kerusakan pada pons

pernafasan yang berhenti selama 2-3


detik saat inspirasi atau ekspirasi penuh
Pernafasan clusster adalah menarik nafas

Kerusakan

paksa dengan apnea irreguler


Pernafasan ataksia adalah suatu keadaan

med.oblongata
Kerusakan pada medulla oblongata

pada

bagian

bawah

dengan pernafasan yang tidak teratur,


kadang dangkal, kadang dalam, terjadi
secara bergantian
Hyperventilasi neurogenik sentral yang Lesi antara mesensefalon dan pons
ditandai dengan pernafasan yang cepat
dan dalam, terjadi terus menerus dan
teratur
3.2 Keseimbangan cairan dan elektrolit
Hampir semua pasien cedera kepala berat akan mempunyai masalah untuk mempertahankan
status hidrasi yang seimbang. SIADH (Syndroma of InappropriateAnti Diuretic Hormon
Secretion) disebabkan pelepasan ADH tanpa adanya rangsangan fisiologis yang dikarenakan oleh
kerusakan pada kelenjar hipofise, ditandai dengan hyponatremia dan osmolaritas urin yang
tinggi. SIADH akan disertai dengan hipervolemi sehingga akan terjadi retensi cairan dan
hemodelusi
3.3 Kerusakan mobilitas fisik
Cedera kepala berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh, hemiplegi dapat terjadi sebagi
akibat kerusakan dari area motorik otak. Jika terjadi kerusakan pada batang otak maka terdapat
kehilangan kontrol dari gerakan involunter serta gangguan tonus otot
5. Klasifikasi
Klasifikasi cidera kepala didasarkan pada aspek:

1) Mekanisme traumadisebut juga sebagai cedera primer


Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup (tumpul) dan penetrating (tajam).
Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat
dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang.
Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan
pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka
tusuk.
2) Berdasarkan beratnya
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah,
mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek
pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau
kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai
dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai
cedera kepala berat/pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala
sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan. Selain itu dapat digolongkan kedalam cedera
kepala berat disamping GCS < 8 apabila ada perburukan neurologist, fraktur tengkorak terdepres,
pupil atau motorik tidak sama, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau tampaknya
jaringan otak.
6. Komplikasi Cidera Kepala
Perawatan penderita cidera kepala dihadapkan pada masalah lamanya hari perawatan,
ditambah lagi dengan keadaan penderita yang sering koma menyebabkan tingginya angka
kejadian komplikasi. Komplikasi dalam cidera kepala dibagi dua yaitu: komplikasi bedah dan
non bedah
1) Komplikasi bedah
a) Hematoma intrakranial. Hematoma ini dapat terjadi pada keadaan akut setelah cidera
kepala atau setelah beberapa waktu. Pada awalnya mungkin kontusio yang kemudian
berkembang menjadi intraserebral hematom
b) Subdural hematoma kronis
c) Infeksi. Dapat disebabkan oleh laserasi pada scalp dengan fraktur tulang dan
robeknya duramater
d) Kebocoran CSS terjadi pada cedera kepalamenyertai fraktur basis kranii

2) Komplikasi non bedah : kejang post traumatika, gangguan keseimbangan cairan dan
elektolit

(SIADH,cerebral

salt

wasting/CSW),

gangguan

gastointestinal,

neurogenicpulmonary edema
7. Managemen Cidera Kepala
Penatalaksanaan penderita cidera kepala di unit gawat darurat dan ruangan intensif dilakukan
secara terpadu sesuai ATLS (Advanced Trauma Life Support). Dimulai dengan primary survey
(Airway dan control servikal, Breathing dengan ventilasi yang baik, circulation dengan control
perdarahan, disability dengan pemeriksaan GCS, pupil setelah resusitasi), resusitasi dan
pelaksanaan, secondary survey, stabilisasi dan transportasi. Resusitasi dapat dilakukan secara
simultan pada saat primary survey (Iskandar J. 2005)
1) Resusitasi ABC
A= Airway dan kontrol servikal: bebaskan jalan nafas dengan buka rahang, hindari fleksi,
ekstensi dan rotasi leher. Immobilisasi servikal dengan pemasangan colar neck sampai di
pastikan tidak adanya fraktur servikal
B= Breathing dengan ventilasi yang baik
C= Circulation dan kontrol perdarahan
2) Pemeriksaan fisik
1) Skala Koma Glasgow (GCS)
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon
motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua
sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan

(3). Teriritasi secara menetap


(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)
2) Tekanan darah, nadi, dan pernafasan
Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 %
atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus
dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral
(CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau
bagi yang tetap hipoksemia walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi
endotrakheal.
Cairan resusitasi yang digunakan seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol.
Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan
pengelolaan tekanan perfusi serebral.
3) Pemeriksaan pupil
Pupil asimetri (perbedaan kiri dan kanan 1 mm). Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya
(reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm). Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau
kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi.
Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil
membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak
bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan
darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi
simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons langsung (ipsilateral) dan respons konsensual
(kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak
tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil.

Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak.
Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf
ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk
terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau
subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat
respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia
juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga
disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau
biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi
bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan
refleks cahaya negatif pulih dengan baik.
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Radiologi
CT-scan otak (baku emas), foto kepala, foto leher dan foto lain seseuai indikasi.
Catatan :
1.1) CT Scan Abnormal : Kontusio, Edema , Perdarahan, Fraktur tulang tengkorak. SKG 13
-15, diduga trauma kapitis berat
1.2) SKG 3 12, CT Scan normal pada 24 jam pertama :jika ada kemungkinan riwayat
alkohol / drug, maka dalam 24 jam kesadaran membaik cepat, jika kesadaran tdk
membaik, harus dipikirkanDIFFUSE AXONAL INJURY maka 24 jam ulang CT
Scan maka akan ditemukan edema luas
1.3) X-Ray kepala, untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
9.

Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Berdasarkan pada hasil temuan pada primary survey (Airway with cervical-spine control,
breathing with ventilasi, circulation with control haemoragic, disability)
b. Diagnosa dan Keperawatan
1) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
1)

Menilai

kepatenan

jalan

nafas

dan

melakukan

tindakan

untuk

mempertahankan agar jalan nafas paten dengan mengatur posisi pasien

dengan meninggikan kepala tempat tidur + 200, memasang OPA (oro


Pharingeal Airway)/ gudle, menghindari fleksi dan ekstensi yang berlebihan
pada lehar pasien
2)

Mendengarkan bunyi paru, apakah diikuti oleh: pengurangan atau tidak


adanya suara nafas

3)

Menilai pernafasan, kualitas, jumlah, pola, kedalaman, pengembangan dari


cuping hidung, sesak, menggunakan otot otot pernafasan, posisi bernafas

4)

Memantau perubahan GCS

5)

Mengukur tekanan darah, HR, RR dan suhu

6)

Melakukan suction dengan hati-hati

7)

Hindari mengajarkan batuk efektif

2) Pola nafas tidak efektif


1)

Pertahankan kepatenan jalan nafas

2)

Beri oksigen tambahan sesuai indikasi

3)

Nilai frekuensi dan kedalaman pernafasan dengan mendengarkan bunyi paru

4)

Menilai adanya dipsnea

5)

Menilai pola nafas, dengan mencatat penggunaan otot otot pernafasan

6)

Menilai adanya kelemahan otot otot diafragma.

7)

Melihat apakah adanya retraksi atau pernafasan cuping hidung

8)

Menggunakan oximetri untuk memonitor saturasi oksigen dan jumlah nadi.

9)

Memantau adanya kegelisahan, dan kebutuhan udara

10) Menilai warna kulit, suhu, kapiler refill, catat sianosi


3) Perubahan perfusi jaringan serebral
1)

Menilai Tanda-tanda peningkatan TIK

2)

Memantau status neurology secara teratur dgn menggunakan GCS.

3)

Monitor tanda tanda vital: TD, HR, RR, Suhu

4)

Menilai keadaan pupil, ukuran,

kesamaan antara kiri dan kanan, dan

reaksinya terhadap cahaya.


5)

Mempertahankan kepala pada posisi netral

6)

Mengobservasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera


dengan memasang pengaman tempat tidur.

7)

Meninggikan kepala tempat tidur 20 derajat sesuai indikasi yang dapat


ditoleransi.

8)

Memberikan oksigen tambahan sesuai indikasi

9)

Memberikan obat sesuai dengan advis dokter

10) Furosemid 1 amp di injeksikan bolus, luminal 1 amp diinjeksikan IM


11) Monitor intake dan out put
Daftar Bacaan
Arie Ibrahim; Trauma Kepala.htm Retrieved on May 20 2008 at 01.15 pm
(http:/angelfire.com)
Diklat Ambulans Gawat Darurat 118; 2007; Basic Trauma dan Cardiac Life Support; Jakarta
Fischbah. Frannces Talaska; 1997; Documenting Care: Communication-the Nursing process
and Documentation Standar; Davis Company; USA
Hudak, Carolyn M; 2000;Keperawatan kritis: pendekatan holistic Jilid 2; EGC; Jakarta
Iskandar.J; 2004;Cedera Kepala: Memahami Aspek-Aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala; PT Buana Ilmu Populer; Jakarta
Joane. C, etc; 1996; Nursing Intervention Classification (NIC); Mosby; Philadelphia
NANDA International (2000). Nursing Diagnosis: Defenition and Classification 2009-2011).
United Kingdom, Willey-Blackwell
Smeltzer, Suzzane C; 2002;Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah EGC; Jakarta
Syaiful Saanin; Pengelolaan Cedera Kepala Dan Cedera Tulang Belakang di Daerah Rural
Dan di Daerah yang Jauh Dari Sarana Bedah Saraf.htm
Syaiful Saanin; Neurosurgery ( Topik Ilmu ) M_ DJAMIL HOSPITAL PADANG
INDONESIA.htm; Retrieved on May 20 2008 at 01.15 pm (http:/angelfire.com)

You might also like