Professional Documents
Culture Documents
IMOBILITAS
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui, memahami dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia yang
mengalami imobilitas
1.3.2
Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberi informasi bagi mahasiswa keperawatan
dan dapat menjadi bekal dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam keperawatan
gerontik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur,tidak bergerak
secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau
mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus
menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009).
Immobility (imobilisasi) adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring (bed rest) selama 3 hari atau
lebih (Adi, 2005). Suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang
dialami seseorang (Pusva, 2009).
Didalam praktek medis imobilisasi digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom degenerasi
fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan ketidakberdayaan.
2.2 Epidemiologi
Immobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang orang
lanjut usia (lansia), pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Dampak imobilisasi
lama terutama dekubitus mencapai 11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan
emboli paru berkisar 0,9%,dimana tiap 200.000 orang meninggal tiap tahunnya.
Gangguan
muskuloskeletal
Artritis
Osteoporosis
Fraktur (terutama panggul dan femur)
Problem kaki (bunion, kalus)
Lain-lain (misalnya penyakit paget)
Gangguan neurologis
Stroke
parkinson Penyakit
Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati)
Penyakit paru
Faktoe sensorik
Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut akan jatuh)
Penyebab lingkungan
Lain-lain
Efek
Hasil
Pengurangan miksi
Gangguan tidur
Intoleransi ortostatik
Konstipasi
Organ / Sistem
Muskuloskeletal
volume sendi
Kardiopulmonal dan
pembuluh darah
Integumen
Traktus gastrointestinal dan Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih,
urinarius
pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung
kemih, impaksi feses dan konstipasi, penurunan
motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran
napas dan peningkatan risiko perdarahan
gastrointestinal
2.6 Komplikasi
Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ
sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik.
2.7 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang
ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memberat penyakit dasarnya bila tidak
ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian
2.8 Terapi
Tatalaksana Umum
1. Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha.
2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan
bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien.
3. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan
rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai
target terapi.
4. Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit
yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/ kondisi penyetara lainnya.
5. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan
kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentkan bila memungkinkan.
6. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta
suplementasi vitamin dan mineral.
7. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi
latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan
bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihan
koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi terbatas.
8. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan
ambulasi.
9. Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.
Tatalaksana Khusus
2.9 Pencegahan
1. 1.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan episodik.
Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung
pada fungsi sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodik,
pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang dapat timbul akibat
imobilitas atau ketidak aktifan.
1.1 Hambatan terhadap latihan
Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam latihan secara teratur. Bahaya-bahaya
interpersonal termasuk isolasi sosial yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga telah
meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet yang buruk),
depresi, gangguan tidur, kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan
termasuk kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
1.2 Pengembangan program latihan
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami peningkatan.
Program tersebut disusun untuk memberikan kesempatan pada klien untuk mengembangkan
suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat
memberikan efek latihan. Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian
tentang faktor-faktor pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan keterikatan dan
meningkatkan pengalaman:
Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadi sebelum, selama dan setelah aktivitas
diberikan).
Efisiensi latihan untuk diri sendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan berhasil).
1.3 Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi tentang
latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi
atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.
1. 2.
Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat eksaserbasi akut dari imobilitas dapat dikurangi atau dicegah
dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dari suatu pengertian tentang
berbagai faktor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan.
Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi.
Diagnosis keperawatan yang dihubungkan dengan pencegahan sekunder adalah gangguan
mobilitas fisik.
3.1 Pengkajian
1. Pemeriksaan fungsi motorik
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot secara manual
(manual muscle testing MMT). Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan
mengontraksikan kelompok otot secara volunter.
1. Lansia diposisikan sedemikan rupa sehingga otot mudah berkontraksi sesuai dengan
kekuatannya.
2. Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian.
3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4. Lansia mengkontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen proksimal.
5. Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi pada tendon atau
perut otot.
6. Memberikan tahanan pada otot yang bergerak dengan luas gerak sendi penuh.
7. Melakukan pencatatan hasil MMT.
Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang dapat dilakukan oleh suatu sendi.
Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk mengetahui besarnya LGS suatu sendi dan
membandingkannya dengan LGS sendi yang normal, membantu diagnosis dan menentukan
fungsi sendi.
Pengukuran LGS menggunakan Goniometer:
1. Posisi awal posisi anatomi, yaitu tubuh tegak, lengan lurus di samping tubuh, lengan
bawah dan tangan menghadap bawah.
2. Sendi yang di ukur harus terbuka.
3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan.
4. Berikan gerakan pasif 2 atau 3 kali.
5. Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal.
6. Tentukan aksis gerakan baik secara aktif/pasif.
7. Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal.
8. Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi.
9. Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS.
1. Pemeriksaan postur
Pemeriksaan postur di lakukan dengan cara inspeksi pada posisi berdiri. Pada posisi tersebut
postur yang baik/normal dapat terlihat dengan jelas. Dari samping, tampak telinga, akromium,
trunk, trokanter mayor, patela bagian posterior dan maleolus lateralis ada dalam satu garis lurus.
FUNGSI
SKOR KETERANGAN
Mengendalikan rangsang
pembuangan tinja
1
2
Mengendalikan rangsang
berkemih
2
Mandiri
3
Mandiri
Makan
Tidak mampu
Mandiri
Tidak mampu
Perlu banyak bantuan untuk bias
duduk
2
Bantuan minimal 1 orang.
Berpindah/ berjalan
Memakai baju
Mandiri
Tidak mampu
Mandiri
2
Mandiri.
9
10
Mandi
TOTAL SKOR
Skor BAI :
20
: Mandiri
: Ketergantungan berat
Tidak mampu
Butuh pertolongan
Mandiri
Mandiri
0-4
: Ketergantungan total
1. Indeks Katz
Mengukur kemampuan mobilisasi dengan menggunakan 6 kegiatan: makan, kontinensia,
menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan mandi. Termasuk kategori yang mana:
1. Mandiri dalam makan, kontinensia (BAB, BAK), menggunakan pakaian, pergi ke toilet,
berpindah, dan mandi.
2. Mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas.
3. Mandiri, kecuali mandi, dan satu lagi fungsi yang lain.
4. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian dan satu lagi fungsi yang lain.
5. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, dan satu lagi fungsi yang lain.
1. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi yang lain.
2. Ketergantungan untuk semua fungsi diatas.
Keterangan:
Mandiri: berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang lain. Seseorang
yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap
mampu.
6. Makan
Dalam memenuhi kebutuhan fungsional ini diperlukan hal-hal yang mencakup kemampuan fisik,
motivasi, bimbingan dan kemauan untuk belajar. Skala ini dilakukan untuk mengukur
kemampuan fungsional lansia yang dilakukan dalam lingkungan yang tertutup, terlindungi atau
dalam pengawasan perawat home care atau rumah sakit. Penilaian ini tidak termasuk aktifitas
diluar rumah seperti berjalan ke kendaraan, menggunakan alat transportasi umum, dan bekerja
seperti mengangkat beban.
1. Indeks ADL
PENGKAJIAN B1-B6
1. B1 (Breath): Sekret susah keluar, Sesak nafas.
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia.
Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperatur dan denyut jantung. Perubahan-perubahan
dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri mengindikasikan adanya perluasan
dan beratnya kondisi yang terjadi.
1. B2 (Blood): Pusing atau pingsan bila mencoba untuk berdiri (tegak), dan mudah lelah.
Tanda dan gejala B1 (kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau meyakinkan tentang
perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostik yang dapat diandalkan
pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan
dan tanda homans positif. Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri
tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan,
berkeringat, kesulitan dalam mengikuti perintah dan sinkop
1. B3 (Brain): Daya hantar saraf menurun, koordinasi terganggu, aktivitas terganggu.
2. B4 (Bladder): Adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini tidak dapat
mengosongkan kandung kemih secara sempurna. Adanya Infeksi Saluran Kemih (ISK)
karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran kencing. Serta terjadi batu
saluran kencing karena faktor osteoporosis dan diet yang tinggi kalsium maka
mengakibatkan hiperkalsiuria.
Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa berkemih
sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung kemih yang dapat diraba.
Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan
atau nyeri pada abdomen bagian bawah
No Intervensi
.
Rasional
3.
Definisi: Penurunan dalam kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan aktivitas sampai
tingkat yang diinginkan atau yang dibutuhkan.
Kriteria hasil: Berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari sesuai tingkat kemampuan. TTV dalam
batas normal.
Kriteria Mayor:
1. Selama aktifitas: kelemahan, pusing, dispnea.
2. 3 menit setelah aktivitas: pusing, dispnea, keletihan akibat aktivitas, RR 24, Nadi 95
Kriteria Minor:
1. Pucat/cyanosis
2. Konfusi
3. Vertigo
No Intervensi
.
Rasional
2.
Implementasikan teknik
penghematan energi, contoh: lebih
baik duduk daripada berdiri,
penggunaan kursi untuk mandi.
Bantu aktivitas lain sesuai
indikasi.
3.
No Intervensi
.
Rasional
1. Menghindari terjadinya
disorientasi tempat.
4.
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus sekunder terhadap tirah baring
yang lama
Definisi: Keadaan dimana individu mengalami stasis usus besar, yang mengakibatkan eliminasi
jarang dan/keras, feses kering.
Kriteria hasil:
1. Individu akan menunjukkan eliminasi yang membaik
1. Dapat menjelaskan rasional dari intervensi
Kriteria Mayor:
1. Feses keras dan berbentuk
2. Defekasi < 3 kali seminggu
Kriteria Minor:
1. Penurunan bising usus
2. Mengeluh rektal penuh
3. Merasakan tekanan pada rectum
No Intervensi
.
Rasional
1. Memperlancar BAB.
3.
Bantu individu untuk posisi semi
jongkok.
4.
5.
1. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi sekunder terhadap IMA.
Definisi: Keadaan dimana individu mengalami kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif,
yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima
aktivitas perawatan diri.
Kriteria hasil:
1. Individu dapat mengidentifikasi kesukaan akan aktivitas perawatan diri. (mis: waktu,
lokasi, produk)
2. Berpartisipasi secara fisik dan/atau verbal dalam aktivitas pemberian makanan,
mengenakan pakaian, ke kamar mandi, mandi.
Kriteria Mayor:
1. Kurangnya kemampuan untuk makan sendiri.
1. Tidak dapat memotong makanan
2. Tidak dapat membawa makanan ke mulut
3. Kurangnya kemampuan untuk mandi sendiri (termasuk membasuh seluruh
anggota tubuh, menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan perawatan terhadap
kulit, dan kuku serta menggunkan rias wajah).
No. Intervensi
1.
Rasional
2.
1. Agar klien memiliki rasa
1. Untuk mengetahui
perkembangan kemampuan
klien.
5.
1. Resiko infeksi saluran kemih berhubungan dengan stagnasi urine dan batu saluran
empedu.
Definisi: Keadaan dimana seorang individu beresiko terserang oleh agen patogenik atau
oportunistik (bakteri, jamur, protozoa, parasit lain) dari sumber-sumber eksternal, sumbersumber endogen/eksogen.
Kriteria Hasil:
1. Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi.
2. Melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi.
No. Intervensi
Rasional
1.
2.
Pantau suhu klien paling sedikit
setiap 24 untuk mengetahui
peningkatan dan laporkan pada
dokter jika lebih dari 37,8 C.
3.
5.
Berikan antibiotik.
1. Mengurangi inflamasi.
6.
7. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan absorbsi vitamin dan mineral sekunder akibat
imobilitas
Definisi: Suatu keadaan dimana individu yang tidak puasa mengalami atau yang beresiko
mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan masukan yang tidak adekuat atau
metabolisme nutrient yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik.
Kriteria hasil: Individu akan
1. Meningkatkan masukan oral seperti yang ditunjukkan oleh perawat.
2. Menjelaskan faktor-faktor penyebab apabila diketahui.
3. Menjelaskan rasional dan prosedur pengobatan.
Kriteria Mayor:
Individu yang tidak puasa melaporkan atau mengalami masukan makanan tidak adekuat, kurang
dari yang dianjurkan dengan atau tanpa penurunan berat badan atau kebutuhan-kebutuhan
metabolik aktual atau potensial dalam masukan yang berlebihan.
Kriteria Minor:
1. Berat badan 10% sampai 20% atau lebih dibawah berat badan ideal untuk tinggi dan
kerangka tubuh.
2. Lipatan kulit trisep, lingkar lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan tengah kurang
dari 60% standart pengukuran.
3. Kelemahan otot dan nyeri tekan.
4. Peka rangsang mental dan kekacauan mental.
No Intervensi
.
Rasional
4.
8. Keletihan b.d defisit nutrisional dan penurunan metabolisme nutrient sekunder akibat mual
muntah
Definisi: Keadaan pengenalan diri dimana seorang individu mengalami perasaan kecapaian yang
berlebihan terus-menerus dan penurunan kapasitas kerja fisik dan kerja mental yang tidak dapat
dihilangkan dengan istirahat.
No Intervensi
.
Rasional
1. Menentukan derajat
(berlanjut/perbaikan) dari efek
ketidak mampuan.
2.
Rencanakan periode istirahat yang
lebih adekuat.
3.
Identifikasi faktor
stress/psikologis yang dapat
memperberat.
4.
Berikan bantuan dalam aktifitas
sehari-hari dan tingkatkan tingkat
partisipasi klien sesuai
kemampuannya.
5.
9. Resiko aspirasi b.d refluk isi lambung sekunder akibat pengosongan lambung yang tidak
sempurna.
Definisi: Keadaan dimana individu beresiko terhadap pemasukan sekresi, benda padat, atau
cairan ke dalam saluran trakeobronkial.
Kriteria hasil: Individu tidak mengalami aspirasi, mengungkapkan tindakan untuk mencegah
aspirasi.
No. Intervensi
1.
Rasional
Hindari makan/minum
dengan posisi tidur terlentang,
berikan posisi semi fowler.
1. Posisi terlentang sangat rentan
terjadi tersedak.
2.
Batasi makan/minum sebelum
tidur, minimal 2 jam sebelum
tidur.
3.
BAB 4
PENUTUP
Simpulan
Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur, tidak bergerak
secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh (impaitment) yang
bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/tirah baring
yang terus menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo,
2009).
Berbagai masalah sering dihadapi lansia diantaranya pusing atau pingsan mencoba untuk berdiri
(tegak), adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini tidak dapat mengosongkan kandung
kemih secara sempurna, adanya Infeksi Saluran Kemih (ISK) karena keadaan stagnasi urine
maupun karena batu saluran kencing, konstipasi karena tirah baring lama, nyeri pada tulang dan
sendi, kaku/susah digerakkan, nyeri leher, arthritis pasca trauma, osteoporosis. Upaya-upaya
rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya multidisiplin yang
terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi, seorang ahli gizi, aktivitas sosial,
dan keluarga serta teman-teman.
Saran
Keperawatan gerontik berkembang sejalan dengan globalisasi kesehatan, dimana sistem
kesehatan memandang pentingnya pelayanan kesehatan yang berbasis komunitas, peran perawat
dalam pelayanan keperawatan menyebar mulai dari individu sampai masyarakat dan diberbagai
tatanan pelayanan. Seorang perawat harus bisa memberikan intervensi yang tepat agar dapat
menghambat terjadinya ketergantungan fisik total pada lansia yang mengalami imobilisasi fisik.
Intervensi yang diarahkan pada pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan
ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.