You are on page 1of 24

GENETIKA KELAMIN

RESUME
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Genetika 2
yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Siti Zubaidah, M. Pd dan
Andik Wijayanto, S.Si,M.Si

Oleh
Kelompok 10
1
2

Alifa Rizki Nabila Putri (140342601363) / Offering G-GK


Gizella Ayu Wilantika (140342600832) / Offering G-GL

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
September 2016

BAB 1
KAJIAN GENETIK EKSPRESI KELAMIN
EKSPRESI KELAMIN PADA MAKHLUK HIDUP PROKARIOTIK
Contoh konkrit perkelaminan pada makhluk hidup prokariotik bisa dilihat pada
Escherichia coli. Watson dkk. (1987), menyatakan bahwa siklus kelamin E.coli meiliki ciri yang
berbeda. Dinyatakan pula bahwa seperti pada makhluk hidup tinggi ada sel kelamin jantan dan
betina, tetapi sel-sel itu tidak berfusi sempurna, yang memungkinkan kedua perangkat kromosom
berbaur dan membentuk genom diploid utuh. Transfer kromosom (materi genetik) selalu
berlangsung satu arah. Dalam hal ini materi genetik jantan bergerak masuk ke dalam sel-sel
betina; dan tidak pernah terjadi sebaliknya.
Sel kelamin jantan dan betina E.coli dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya suatu
kromosom kelamin yang tidak lazim, yang disebut Faktor F (F = fertility = kesuburan). Pada
sel E.coli, faktor F dapat berupa suatu badan/bentukan terpisah namun juga bisa berada dalam
keadaan terintegrasi dengan kromosom utama sel. Faktor F ini juga merupakan DNA unting
ganda sirkuler (Watson dkk., 1987) dimana dalam tiap sel terdapat satu kopian faktor F yang
tersusun dari sekitar 94x103 pasang basa (1/40 dari jumlah informasi genetik yang terkandung
pada kromosom utama), sedangkan 1/3 DNA faktor F mengandung 19 gen transfer (tra).
Sel-sel Eschericia coli Jantan (F+)
Sel E.coli dinyatakan berkelamin jantan jika dalam sel itu terkandung faktor F berupa
badan terpisah dari kromosom utama. Sel E.coli jantan ini disebut F+. Sel E.coli dinyatakan
berkelamin betina (F-) jika dalam sel itu tidak terkandung faktor F.
Transfer materi genetik dari sel E.coli jantan ke betina didahului oleh terbentuknya
pasangan konjugasi antara kedua sel, dimana pasangan konjugasi tersebut dibentuk melalui suatu
pilus kelamin jantan pada permukaan suatu sel kelamin betina.
Sel-sel Eschericia coli Berkelamin Jantan (Hfr)
Faktor F dalam sel E.coli juga dapat berintegrasi ke dalam kromosom utama sel melalui
peristiwa pindah silang. Sel-sel E.coli berkelamin jantan (F+), yang faktor F nya terintegrasi
kedalam kromosom utama sel, akan berubah menjadi sel Hfr (high frequency recombinant). Sel-

sel Hfr tetap berkelamin jantan, demikian pula tetap membentuk pilus konjugasi dan tetap berfusi
dengan sel berkelamin betina (F-) yang memungkinkan berlangsungnya transfer materi genetik.
EKSPRESI KELAMIN PADA MAKHLUK HIDUP EUKARIOTIK
Ekspresi Kelamin Pada Tumbuhan Eukariotik Chlamydomonas
Sel-sel Chlamydomonas biasanya haploid dan dapat bereproduksi secara vegetatif dengan
pembelahan. Pada beberapa jenis, tiap sel berfungsi sebagai gamet; dan reproduksi seksual
terjadi ketika sel-sel motil berkelamin berlawanan saling bersatu membentuk zigot diploid, untuk
selanjutnya mengalami meiosis menghasilkan empat sel haploid yang mana keempat sel haploid
itu dapat bereproduksi secara vegetatif menghasilkan lebih banyak lagi sel Chlamydomonas.
Beberapa fungsi perkelaminan Chlamydomonas berhubungan dengan kerja senyawasenyawa tertentu serupa hormon, dimana tiap senyawa dibentuk dibawah kendali suatu gen
tertentu. Fungsi-fungsi itu adalah: 1) pertumbuhan flagel, 2) konjugasi gamet, 3) penentuan jenis
kelamin, 4) faktor kemandulan, 5) prekursor dari senyawa penyebab kemandulan.
Secara genetik ada 2 kelamin (mating type) yaitu tipe (+) dan (-), yang tidak dapat
dibedakan secara morfologi dan berada dibawah kontrol satu gen. Jenis kelamin
Chlamydomonas dinyatakan sebagai sifat jantan dan betina, dan perkelaminan tersebut bersifat
relatif.
Saccharomyces dan Neurospora
Latar belakang genetik kelamin pada S.cereviseae dan N.crassa bersifat monogenik atau
berada dibawah kontrol satu gen. Pada S.cereviseae mating type nya dibedakan menjadi (+) dan
(-), sama dengan pada N.crassa dimana secara morfologis kelamin tersebut tidak bisa dibedakan.
Kelas Jamur Basidiomycetes
Sekitar 90% spesies jamur dalam kelas Basidiomycetes tergolong heterotalik. Pada sekitar
37% spesies heterotalik tersebut (bipolar) kompatibilitas kelaminnya dipengaruhi oleh satu
pasang faktor Aa yang berperilaku sama seperti pada N.crassa.
Lumut Hati

Perangkat kromosom sporofit lumut hati Sphaerocarpos dilaporkan terdiri dari 7


pasangan yang masing-masing kromosomnya setangkup, serta sepasang (pasangan ke 8) yang
tidak setangkup kromosomnya. Pada pasangan ke 8 ini salah satu kromosom lebih besar daripada
yang lainnya, dan kromosom yang lebih besar itu disebut sebagai kromosom X sedangkan yang
lebih kecil disebut sebagai kromosom Y. Saat meiosis, kromosom X dan Y memisah dari
keempat meiospora yang dihasilkan tiap meiocyte, dua diantaranya menerima kromosom Y.
Meiospora yang mengandung kromosom Y berkembang menjadi gametofit jantan, dan yang
mengandung kromosom X menjadi gametofit betina. Dalam hal ini genotip gametofit betina
adalah X dan genotip gametofit jantan adalah Y; sedangkan genotip sporofit adalah XY.
Tumbuhan Berumah Satu dan Berumah Dua
Herskowitz (1973) menyatakan bahwa kedua macam sel kelamin pada tumbuhan
berumah satu dihasilkan oleh satu genotip. Sedangkan untuk tumbuhan berumah dua, Stansfield
(1983) menyebutkan bahwa biasanya keadaan berumah dua itu secara genetik dikendalikan oleh
gen pada satu lokus saja.
Marga Melandrium
Pada marga Melandrium, ditemukan adanya kromosom kelamin X dan Y. Kromosom Y
pada marga Melandrium secara fisik ditemukan lebih besar daripada kromosom X, bahkan
dikatakan bahwa kromosom Y sudah diketahui pasti sebagai pembawa faktor jantan. Pada
Melandrium album, gen penentu kelamin jantan terletak pada kromosom Y, sedangkan gen
penentu kelamin betina terletak pada kromosom X maupun pada autosom. Ekspresi kelamin
ditentukan oleh perimbangan antara gen-gen penentu kelamin jantan pada kromosom Y dan gengen penentu kelamin betina pada kromosom X maupun pada autosom.
Ekspresi Kelamin Pada Hewan Avertebrata
Paramaecium bursaria
Pada P.bursaria ditemukan 8 kelamin (mating type); tipe (macam) kelamin secara
fisiologis tidak dapat berkonjugasi dengan tipenya sendiri, tetapi dapat berkonjugasi dengan satu
dari ke 7 tipe lain.

Ophryotrocha
Tipe kelamin pada Ophryotrocha ditentukan oleh ukuran tubuh hewan itu. Jika berukuran
kecil, hewan itu menghasilkan sperma; jika tumbuh menjadi lebih besar, hewan yang sama itu
akan berubah menghasilkan telur.
Cacing Tanah
Pada cacing tanah terdapat dua gonad yang terpisah dimana satu gonad menghasilkan
gamet jantan dan gonad yang lain menghasilkan gamet betina. Rincian penjelasan tentang
hermaproditisma semacam ini sama dengan pada tumbuhan monocius.
Helix
Keong dalam marga Helix tergolong hermaprodit. Telur dan sperma dihasilkan oleh selsel yang kadang-kadang sangat dekat satu sama lain pada satu gonad. Rincian penjelasan tentang
hermaproditisma semacam ini sama dengan pada tumbuhan monocius.
Crepidula
Tiap individu mengalami suatu urutan perkembangan, mulai dari tahap aseksual yang
diikuti oleh suatu tahap jantan. Tahap jantan itu diikuti oleh suatu tahap perantara dan akhirnya
tahap betina. Selama tahap jantan, pada individu-individu yang sudah cukup matang dan bersifat
sedenter, transformasi ke tahap betina akan menurun; akan tetapi jika tetap bebas mengembara,
individu-individu jantan relatif cepat mengalami perubahan memasuki tahap betina.
Lygaeus turcicus
Pada serangga jenis ini sudah ditemukan kromosom kelamin X dan Y, dimana kromosom
X lebih kecil dari pada kromosom Y. Zigot yang memiliki kromosom kelamin XX akan menjadi
individu betina sedangkan zigot yang memiliki kromosom kelamin XY akan menjadi individu
jantan. Mekanisme perkelaminan spesies Ligaeus turcicus tergolong XX-XY.
Hymenoptera
Pada Hymenoptera, telur yang tidak dibuahi akan berkembang menjadi individu
berkelamin jantan yang haploid dan telur yang dibuahi berkembang menjadi individu betina yang

diploid. Individu jantan haploid menghasilkan sperma melalui meiosis dengan penyesuaian
tertentu. Semua gamet yang dihasilkan oleh individu jantan maupun betina mempunyai
komposisi kromosom yang secara morfologis identik (tetapi tidak mungkin sama kandungan
alelanya).
Pada Hymenoptera, kromosom kelamin tidak berperan pada ekspresi kelamin; dan
jumlah maupun mutu makanan yang dimakan larva yang diploid akan menentukannya tumbuh
dan berkembang menjadi individu betina pekerja yang steril, atau ratu yang fertil. Lingkungan
menentukan sterilitas atau fertilitas, tetapi tidak mengubah kelamin yang secara genetik telah
tertetapkan. Pola ekspresi kelamin pada Hymenoptera disebut sebagai haplo-ploidy
Drosophila melanogaster
Pada D.melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan Y. Dalam keadaan diploid
normal ditemukan pasangan kromosom kelamin XX dan XY, atau pasangan kromosom secara
lengkap sebaga AAXX dan AAXY (jumlah autosom sebanyak tiga pasang). Mekanisme ekspresi
kelamin pada D.melanogaster dikenal sebagai suatu mekanisme perimbangan antara X dan A
(X/A), atau disebut juga mekanisme keseimbangan determinasi kelamin atau keseimbangan
gen. Mekanisme tersebut merupakan perimbangan antara jumlah X pada kromosom kelamin
dengan jumlah A (autosom) pada tiap pasangan A. Hasil perimbangan itu disebut sebagai
numerical sex index atau indeks kelamin numerik.
Pada kromosom kelamin X terdapat perangkat gen untuk kelamin betina; sedangkan
perangkat gen untuk kelamin jantan ada pada pasangan-pasangan autosom. Indeks kelamin
numerik pada D.melanogaster dijelaskan sebagai suatu hasil akibat keadaan tertentu yang terjadi
karena adanya interaksi antara determinan jantan pada autosom dan determinan betina pada
kromosom kelamin X. Tampaknya ada semacam interaksi antara determinan jantan pada
autosom dan determinan betina pada kromosom X yang juga menyebabkan munculnya fenotip
kelamin pada D. melanogaster.
Mekanisme ekspresi kelamin X/A pada Drosophila sudah diketahui berhubungan dengan
beberapa gen pada kromosom X maupun autosom. Beberapa gen tersebut diantaranya gen Sx1
(sex-lethal) pada kromosom X, dan beberapa gen lain pada kromosom X ataupun autosom. Gen
Sx1 memiliki dua macam keadaan aktivitas, yaitu saat keadaan sedang bekerja dan keadaan tidak

sedang bekerja. Pada keadaan sedang bekerja, gen Sx1 bertanggung jawab atas perkembangan
betina sedangkan pada keadaan tidak sedang bekerja, maka yang berkembang adalah kelamin
jantan. Selain itu ditemukan juga peranan gen dsx (doublesex) dan tra (transformer) terhadap
fenotip kelamin Drosophila. Gen dsx mengubah individu jantan maupun betina menjadi individu
intersex, sedangkan gen tra mengubah individu betina (berdasarkan konstitusi kromosom)
menjadi individu jantan steril.
Ekspresi kelamin Drosophila ditentukan oleh adanya rangkaian tahap aktivasi gen yang
masing-masing menuju ke pembentukan suatu protein yang memungkinkan penyambungan yang
benar atas RNA yang disintesis pada tahap berikutnya.
Caddies Flies, Kupu Siang (Butterflies), dan Kupu Malam (Moths), serta Ulat Sutera
Pada caddies flies, kupu siang (butterflies), dan kupu malam (moths), serta ulat sutera,
individu yang bergenotip XX memiliki fenotip kelamin jantan. Akan tetapi dikatakan pula bahwa
kromosom kelamin pada hewan-hewan itu disimbolkan sebagai ZZ (Jantan) dan ZW atau ZO
untuk betina.
Boniella
Pada Boniella, telur-telur yang telah dibuahi, yang tumbuh pada keadaan tanpa individu
betina akan berkembang menjadi betina. Telur-telur itu akan tumbuh dan berkembang menjadi
individu jantan jika ada individu betina dewasa atau sekurang-kurangnya ada ekstrak dari belalai
individu betina.
Ekspresi kelamin pada Boniella merupakan contoh fenomena perkelaminan yang non
genetik dan tergantung faktor-faktor lingkungan luar. Individu jantan dan betina memiliki
fenotipe serupa, namun rangsangan dari lingkungan memulai perkembangan ke arah salah satu
kelamin atau yang lainnya.
Ekspresi Kelamin Pada Hewan Vertebrata
Pisces
Kebanyakan spesies ikan budidaya memiliki tipe perkelaminan gonochoristik. Pada
tipe ini, ikan-ikan yang memiliki gonad dibedakan menjadi dua tipe, yaitu spesies yang memiliki
gonad yang belum berdiferensiasi dan yang memiliki gonad yang sudah berdiferensiasi. Pada

spesies yang gonadnya belum berdiferensiasi, pertama kali gonad berkembang menjadi suatu
gonad serupa ovarium; selanjutnya kira-kira separuhnya menjadi individu jantan, sedangkan
separuhnya lagi menjadi individu betina. Pada spesies yang gonadnya sudah berdiferensiasi,
gonad-gonadnya langsung berdiferensiasi menjadi suatu testis atau ovarium.
Pada beberapa ikan juga terdapat mekanisme ekspresi kelamin ZZ-ZW seperti pada
burung dan kupu-kupu malam.
Amphibia
Pada Amphibia tidak ada keseragaman pola ekspresi kelamin. Banyak kelompok
Amphibia yang sudah dikaji pola ekspresi kelaminnya, dan terlihat jelas bahwa di kalangan
tersebut sudah ada kromosom kelamin (tipe XY-XX maupun tipe ZZ-ZW). Ada pula beberapa
kelompok yang tidak memiliki kromosom kelamin seperti Xenopus laevis.
Reptilia
Pada banyak jenis reptil, individu heterogametik berkelamin betina bersimbol ZW dan
yang heterogametik jantan bersimbol ZZ. Pada beberapa reptil suhu pengeraman telur yang telah
dibuahi berpengaruh besar terhadap ekspresi kelamin turunan.
Aves
Kromosom kelamin pada burung disimbulkan XX atau ZZ untuk yang jantan, dan XO,
ZW, atau ZO, untuk yang betina. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penentuan kelamin
pada ayam dan mungkin juga burung secara keseluruhan sama dengan yang ditemukan pada
Drosophila, yaitu tergantung pada perimbangan Z dan A atau Z/A.
Mammalia: Tikus dan Manusia
Perkembangan kelamin pada Mammalia terbagi menjadi dua proses, yaitu diferensiasi
kelamin somatis atau sekunder dan diferensiasi kelamin pada sel germinal. Konstitusi kromosom
dalam inti adalah yang pertama kali menentukan diferensiasi kelamin dari gonad awal. Apabila
kemudian terbentuk testis, maka akan disekresikan hormon testosteron. Apabila ovarium yang
terbentuk, maka tidak adanya testosteron memungkinkan sel-sel somatik berkembang dalam
jalur betina.

Pembentukan testis dikendalikan gen-gen yang terdapat pada kromosom Y sehingga jenis
kelamin Mammalia ditentukan oleh kromosomY.
Saat ini pada kromosom Y dari tikus (mice) sudah ditemukan gen atau perangkat gen
yang mengendalikan suatu ciri dominan yang disebut Sex-reversed (Sxr) trait yang menyebabkan
zigot tikus bergenotip AAXX tumbuh dan berkembang menjadi individu tikus berfenotip
kelamin jantan lengkap dengan testis, sekalipun tidak mengalami spermatogenesis.
Berkenaan dengan perkembangan testis, pada kromosom Y manusia terdapat gen TDF
(Testis Determining Factor) yang bertanggungjawab terhadap perkembangan testis dan diketahui
mengkode semacam protein yang diduga mengatur ekspresi gen lain. Gen lain yang juga
dinyatakan ikut bertanggung jawab yaitu gen H-Y yang terpaut kromosom kelamin Y dan
dinyatakan ikut bertanggungjawab terhadap diferensiasi testis maupun spermatogenesis. Selain
itu, gen Tfm+ yang terpaut pada kromosom kelamin X (Individu jantan) mengendalikan
pembentukan suatu protein pengikat testosteron pada sitoplasma dari semua sel (jantan maupun
betina)
BEBERAPA PEMIKIRAN
Kromosom pada dasarnya bukanlah yang menentukan jenis kelamin terwujud pada
makhluk hidup. Yang benar adalah bahwa gen atau perangkat gen pada kromosom kelamin Y
yang menentukan jenis kelamin manusia. Kromosom kelamin sama saja dengan autosom, samasama membawa faktor keturunan.
Ekspresi kelamin makhluk hidup dikendalikan oleh gen-gen yang saling berinteraksi.
Keseimbangan tertentu dalam interaksi gen itu bertanggung jawab atas ekspresi kelamin
makhluk hidup.
Ekspresi gen-gen yang interaksinya bertanggung jawab atas fenotip kelamin makhluk
hidup, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Ekspresi gen-gen itu tidak bebas dari faktor
lingkungan (fisikokimiawi) internal maupun eksternal.

BAB II
KROMOSOM KELAMIN
SEJARAH PENEMUAN KROMOSOM KELAMIN
Pada tahun 1891 H. Henking menemukan bahwa suatu struktur inti tertentu dapat
ditemukan (dilacak) selama spermatogenesis serangga tertentu. Separuhnya sperma menerima
struktrur tersebut sedangkangkan separuhnya tidak menerimanya dan struktur tersebut
diidentifikasi sebagai X-body. Pada tahun 1902 C. E. McClung membenarkan observasi
Henking atas dasar obserasi sitologis terhadap berbagai spesies belalang, dan ditemukan pula
bahwa sel-sel soma pada indivudu jantan berbeda dengan sel-sel soma pada individu betina.
Kemudian pada awal abad ke 20 E. B. Wilson dkk., menyatakan bahwa X body yang dilaporkan
oleh Henking merupakan suatu kromosom yang menentukan kelamin. Sejak saat itu X body
tersebut dikenal dengan kromosom kelamin atau kromosom X.
E. B Wilson menemukan bahwa susunan kromosom yang lain pada Lygaeus turcicus.
Pada serangga ini jemlah kromosom yang sama ditemukan pada sel-sel dari kedua macam
kelamin. Akan tetapi, kromosom homolog dari nkromosom X ternyata lebih kecil ukurannya dan
disebut kromosom Y. Zigot XX akan menjadi individu betina, sedangkan zigot XY akan menjadi
individu jantan.
EVOLUSI KROMOSOM KELAMIN
Evolusi Kromosom X dan Y Pemula
Asal mula evolusioner kromosom kelamin primitif berkaitan erat dengan evolusi kelamin
terpisah yang berlatarbelakang genetik. Pola transisi paling sederhana, dari keadaan kelamin
tergabung menuju kepada suatu keadaan kelamin terpisah sempurna, adalah melalui kejadian
mutasi pada dua lokus. Salah satu lokus itu adalah f, yang mengontrol fungsi betina dan m yang
mengatur lokus jantan. Mekanisme pada dua lokus diikuti dengan roses seleksi dan pengurangan
rekombinasi akan memunculkan kromosom proto X maupun kromosom proto Y. Setelah itu akan
terjadi proses seleksi lebih lanjut yang berkenaan dengan seleksi alela-alela yang
menguntungkan pada individu jantan tetapi merugikan individu betina, yang akan mengarah
pada diferensiasi genetic selanjutnya antara kedua kromosom kelamin.

Erosi Kromosom Y
Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom
pertama adalah yang melibatkan Mullers Ratchel bersangkut paut dengan hilangnya
kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling
kecil, dari suatu populasi terbatas akibat genetic drift. Peristiwa tersebut menyebabkan
peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per-individu. Pola kedua berupa
fiksasi mutan-mutan terpaut Y yang merugikan melalui hitchhiking dengan mutasi-mutasi
yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y.
Evolusi Determinasi Kelamin X/A dan Sistem Kromosom Kelamin XO
Westergaard mengemukakan bahwa system keseimbangan X/A berevolusi dari system
kromosom Y penentu kelamin jantan. Spesies-spesies yang mempunyai suatu gen semacam m f
yang dibutuhkan untuk perkembangan kea rah kelamin jantan, terpaksa mempertahankan suatu
pola Y determinasi kelamin berupa kromosom Y sebagai penentu kelamin jantan, kecuali hal
tersebut telah diganti oleh mekanisme genetik lain.
Diduga bahwa ekspresi gen ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan tidak
adanya produk ff misalnya dikarenakan kehadiran suatu alela ff sterilitas betina yang dominan
mengarah kepada perkembangan parsil atau lengkap kelamin jantan.
Pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa f f dan mf berakibat munculnya
individu-individu jantan parsial (pada tingkat fenotif). Berkenaan dengan determinasi kelamin
X/A yang berevolusi dari keadaan tersebut, setelah itu diduga adanya evolusi suatu alela tersebut
mengurangi ekspresi satu-satynya ekspresi copy f f pada individu jantan yang mengarah kepada
peluang karakter jantan yang lebih tinggi.
KEBAKAAN YANG TERPAUT KELAMIN
Penemuan Morgan Tentang Pautan Kelamin Pada Drosophila
Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, dan gen
terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X, tepatnya

pada lokus w (Gardner dkk., 1991). Persilangan berikut memperlihatkan hal tersebut (Gambar
2.1).

Pada persilangan tersebut terlihat bahwa seluruh turunan F1 bermata merah. Pada F2
75% turunan bermata merah, sedangkan 25% lainnya bermata putih. Ke 25% turunan F2 yang
bermata putih itu berkelamin jantan. Terbukti pula 50% turunan jantan F2 bermata merah, 50%
lainnya bermata putih (ke 25% tersebut). Secara keseluruhan pada percobaan persilangan itu, alel
resesif diekspresikan hanya pada individu jantan. Atas dasar percobaan persilangan itu
disimpulkan bahwa gen warna mata tersebut terdapat pada kromosom kelamin X sehingga
kebakaan warna mata pada Drosophila terpaut kromosom kelamin (kromosom X).
Pola-pola Kebakaan dari Gen-gen yang Terpaut Kelamin
Dikalangan makhluk hidup yang memiliki kromosom kelamin XX-XY (misalnya pada
manusia), gen yang terdapat pada kromosom kelamin X sebagian tidak ditemukan sama sekali
pada kromosom Y sehingga disebut terpaut kelamin lengkap (completely sex linked), sebagian
dapat berekombinasi melalui pindah silang (crossing over) dengan gen yang terdapat pada
kromosom Y, seperti layaknya gen pada autosom homolog (incompletely sex linked/partially sex
linked). Pada kromosom Y juga ditemukan gen yang tidak terdapat pada kromosom X. Gen
tersebut disebut terpaut seluruhnya pada kromosom Y(completely Y linked) atau dikenal sebagai
gen holandrik.
Pewarisan sifat yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola crisscross pattern of
inheritance (pola pewarisan menyilang). Dalam hal ini suatu sifat fenotip yang ada pada induk

betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan, dan yang ada pada induk jantan
diwariskkan (tidak terekspresi) melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan.
Gen-gen yang Terpaut Kelamin pada Drosophila melanogaster
Pada Drosophila melanogaster gen yang terpaut kromosom kelamin X (ditunjukkan
dalam bentuk mutan) misalnya yellow, white, vermilion, miniature, dan rudimentary. Gen yang
tergolong terpaut kelamin tidak sempurna (incompletely sex linked genes) pada Drosophila
melanogaster antara lain bobbed bristles atau bb (tipe mutan), alela tersebut terdapat pada
kromosom X maupun Y tepatnya pada lengan pendek. Pada kromosom Y telah ditemukan 7 gen
holandrik yang bersangkut paut dengan ferlilitas jantan yaitu K1-1, K-2, K-3, K-4, K-5
(semuanya lengan panjang) serta Ks-1 dan Ks-2 (masing-masing pada lengan pendek).
Gen-gen yang terpaut kromosom Kelamin Z pada unggas
Pola pewarisan terpaut kelamin ZZ-ZW bersifat homozigot pada individu betina, bukan
jantan. Alela dominan terpaut Z disebut dengan S, dan alela alternatif s pada bulu keemasan
yang ditemukan pada ayam. Ayam memiliki alela S berbulu keperakan di saat menetas dan dapat
digunakan membedakan kelamin. Contohnya dalam individu betina berbulu keperakan (SW)
dan individu jantan berbulu keemasan (ss), terjadilah crisscross inheritence yang memudahkan
pembedaan fenotip kelamin. Dari persilangan itu diperoleh turunan betina (semua) berbulu
keemasan, sedangkan turunan jantan (semua) berbulu keperakan
Sifat-sifat yang Terpaut Kromosom Kelamin X pada Manusia
Gen Tmf yang terpaut kromosom kelamin X dapat mengendalikan pembentukan suatu
protein pengikat testosteron. Sedangkan pria yang memiliki gen Tmf akan mengidap sindrom
testiscular ferminization yang mengakibatkan terbentuknya vagina buntu.
Ada lebih dari 200 sifat yang dinyatakan sebagai pautan kromosom kelamin X, sifat-sifat
tersebut berupa: atrofi optik (degenerasi syaraf mata), glaucoma juvenil (penebalan bola mata),
myopi (rabun dekat), defective iris, epidermal cyst, distichiasis (double eyelashes), white
occipital lack of hair, mitral stenosis (abnormalitas katup mitral jantung), dan beberapa bentuk
keterbelakangan mental. Sifat lain dari manusia yang terpaut kromosom kelamin X adalah
persepsi warna tertentu, seperti merah dan hijau.

Beberapa kriteria untuk identifikasi sifat-sifat terpaut kromosom kelamin X atas dasar
telaah silsilah akan dikemukakan lebih lanjut (Gardner, dkk., 1991)
1. Sifat tersebut lebih sering ditemukan pada laki-laki.
2. Sifat tersebut diwariskan oleh seorang pria yang memiliki sifat tersebut kepada separuh
cucu laki-laki melalui anak perempuannya.
3. Suatu alela yang terpaut X tidak pernah diwariskan langsung dari ayah kepada anak lakilaki.
4. Semua wanita pemilik sifat tersebut mempunyai seorang ayah yang juga memiliki sifat
tersebut serta seorang ibu yang carrier atau juga yang memiliki sifat tersebut.
Contoh- contoh cacat bawaan resesif yang sangat merugikan terpaut kromosom kelamin
X pada manusia antara lain (Gardner, dkk., 1991).
1. Lesch-Nyhan Syndrome (Congenital Hyperuricemia), produksi asam urat berlebihan.
2. Duchene-type Muscular Dystrophy, ditandai dengan kemunduran otot yang
berkembang cepat pada saat berusia belasan tahun.
3. Hunter Syndrome, ditandai dengan keterbelakangan mental, tampang kasar,
hirsutism, dan memiliki tulang hidung lebar, serta lidah yang menjulur panjang.
Gen-gen yang Terdapat pada Kromosom Kelamin Y Manusia
Sifat-sifat pada manusia hingga saat ini dikontrol oleh gen-gen holandrik dan adapula
yang menyimpulkan bahwa kromosom Y manusia hanya mengandung sedikit gen yang
memperlihatkan efek secara fenotif. Beberapa gen holandrik pada manusia yang telah dilaporkan
antara lain gen h (hypertrichosis) yang menyebabkan tumbuhnya rambut di daerah tertentu di
tepi daun telinga. Gen hg (hystrixgravier) menyebabkan pertumbuhan rambut panjang dan kaku
dipermukaan tubuh, sehingga menyerupai landak. Gen wt menyebabkan tumbuhnya kulit
diantara jari-jari (terutama jari kaki).
Gen H-Y yang merupakan histocompabilitas terletak pada kromosom pendek dari
kromosom kelamin Y yang bertanggungjawab terhadap penentuan/pengenalan antigen pada
jaringan individu jantan. Pada vertebrata semacam burung, yang bersifat heterogametik, justru
antigen H-Y ditemukan pada individu betina. Gen TDF merupakan gen yang bertanggungjawab
terhadap perkembangan testis dan berperan sebagai master regalator. Gen tersebut dan Y,
memperlihatkan efek yang sangat dominan terhadap perkembangan fenotif kelamin.

SIFAT-SIFAT YANG TERPENGARUH KELAMIN


Gen-gen yang mengontrol sifat-sifat yang terpengaruh kelamin dapat terletak pada
autosom ataupun pada bagian homolog dari kromosom kelamin. Ekspresi dominan atau resesif
oleh alela-alela dari lokus-lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan
betina, terutama berkaitan dengan perbedaan lingkungan internal yang disebabkan oleh hormonhormon kelamin.
SIFAT-SIFAT YANG TERBATAS KELAMIN
Sifat-sifat yang terbatas kelamin bersangkut-paut dengan ekspresi gen yang berbeda pada
tiap kelamin. Beberapa gen autosomal hanya berekspresi pada salah satu kelamin. Fenomena
tersebut merupakan akibat perbedaan lingkungan hormonal internal atau akibat ketidaksamaan
anatomis. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hormon-hormon kelamin merupakan
faktor pembatas terhadap ekspresi beberapa gen. Contoh sifat yang terbatas kelamin misalnya
kemampuan produksi susu yang hanya dijumpai pada sapi betina, padahal gen untuk produksi
susu juga terdapat pada sapi jantan. Contoh lain adalah pada bulu-bulu ekor ayam jantan yang
biasanya panjang dan lancip tetapi pada ayam betina bulu ekornya pendek dan tumpul.
Rasio Kelamin (Kajian pada Manusia)
Ekspresi kelamin pada manusia ditentukan gen pada kromosom Y dank arena pria
menghasilkan gamet-gamet pembawa kromosom X dan pembawa kromosom Ydalam jumlah
yang hampir sama, maka atas dasar pemisahan Mendel kedua kelamin seharusnya menunjukkan
proporsi 1:1. Tetapi rasio kelamin berbeda-beda berdasarkan dari berbagai kelompok umur.
Rasio kelamin primer (disaat konsepsi) sekitar 1,60 (jantan) : 1,00 (betina). Rasio kelamin
sekuder (dikalangan masyarakat Amerika berkulit putih) yaitu disaat kelahiran adalah 1,06
(jantan) : 1,00 (betina), dan rasio kelamin tersier (beberapa waktu setelah kelahiran) misalnya
pada usia 20 tahun kira-kira sama antara jantan dan betina, tetapi semakin tua maka jumlah
kelamin betina lebih banyak daripada jantan.

BAB III
FENOMENA KOMPENSASI DOSIS DAN DIFERENSIASI KELAMIN
BADAN KROMATIN DAN KOMPENSASI DOSIS
Chromatin Body atau Barr Body
Sel-sel individu betina Mammalia dapat dibedakan dari sel-sel individu jantan dengan
didasarkan pada ada atau tidaknya struktur Barr body . Barr body adalah chromatin body yang
pertama kali ditemukan oleh M.L.Barr pada sel-sel syaraf kucing betina. Chromatin Body hanya
ditemukan pada sel-sel betina manusia dan bisa juga dimanfaatkan untuk diagnosis berbagai
jenis abnormalitas kromosom kelamin.
Komposisi Dosis dan Hipotesis Lyon
Melalui mekanisme kompensasi dosis, dosis gen yang efektif dari kedua kelamin
dibuat sama atau hampir sama. Kompensasi dosis bersangkut paut dengan inaktivasi satu
kromosom kelamin X pada individu betina yang normal.
Hipotesis Lyon didasarkan atas pengamatan bahwa jumlah chromatin body pada sel-sel
interfase individu betina dewasa adalah jumlah kromosom kelamin teramati pada preparat
metafase dikurangi satu. Hipotesis Lyon memperlihatkan adanya konsekuensi genetik tertentu
dari gen pada Mammalia.
1. Kompensasi dosis untuk individu betina yang memiliki dua kromosom X yang mengatur
aktivitas enzim hingga ke tingkat individu jantan yang hanya mempunyai satu kromosom
X.
2. Keanekaragaman ekspresi pada individu betina heterozigot karena inaktivasi acak salah
satu dari kedua kromosom kelamin X.
INAKTIVASI KROMOSOM KELAMIN X YANG REVERSIBEL
Inaktivasi satu dari kedua kromosom kelamin X pada individu Mammalia betina
(termasuk manusia) tentunya harus bersifat reversibel. Pengaktifan kembali kromosom kelamin
X heterokromatis (inaktif) pada individu betina Mammalia berlangsung pada tahap sel germ

yang mendahului oogenesis; kedua kromosom kelamin X suatu individu betina aktif pada sel-sel
oogonium. Oleh karena itu, dapat dijamin bahwa tiap ovum yang dihasilkan pada oogenesis akan
mewarisi kromosom kelamin X apa pun yang selalu fungsional.
KEGAGALAN PENGAKTIFAN KEMBALI KROMOSOM KELAMIN X
Pengaktifan kembali yang abnormal secara parsial dapat dihubungkan dengan sebagian
besar bentuk keterbelakangan mental menurun pada manusia yang disebut fragile X syndrome.
Frekuensi sindrom tersebut adalah 1 di dalam 2000 hingga 3000 kelahiran yang berhasil.
Kromosom kelamin X manusia tergolong fragile X mengandung suatu tapak fragil (fragil
site) di dekat ujung lengan panjang. Tapak fragil tersebut terletak pada posisi Xq27. Satu
hipotesis menyatakan bahwa perubahan Xq27 bagaimanapun berbenturan (terjadi bersama)
dengan pengaktifan kembali kromosom fragil X perempuan heterokromatis yang terjadi pada
sel-sel pra oogonium. Hal tersebut mengakibatkan perempuan pembawa sebuah kromosom fragil
X melahirkan turunan yang memiliki satu kromosom X inaktif atau yang tidak sepenuhnya aktif.
HORMON DAN DIFERENSIASI KELAMIN
Sistem hormon yang mengatur lingkungan internal atau fisiologis makhluk hidup tidak
mempengaruhi secara langsung proses fundamental determinasi kelamin. Namun demikian,
sistem hormon penting untuk perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder seperti perbedaan
fisiologi (laju metabolisme, tekanan darah, denyut jantung, dan pernapasan), struktur tulang,
suara, perkembangan dada, dan rambut. Pada hewan-hewan tinggi (termasuk manusia), hormonhormon kelamin disintesis oleh indung telur, testis, dan kelenjar adrenalin, yang distimulasi oleh
hormon-hormon hipofisis.

BAB IV
HERMAPRODITISMA DAN BEBERAPA FENOMENA AKIBAT ANEUPLOIDI
KROMOSOM KELAMIN PADA MANUSIA

Hermaproditisma Sejati (True Hermaphroditism)


Individu sejati tersusun dari dua tipe sel yang memiliki kariotip berbeda, yang dapat
dijelaskan sebagai hasil dari fusi sel (Maxson dkk., 1985). Individu merupakan hasil fusi sel pada
awal perkembangan, antara zigot-zigot yang berbeda dan disebut dengan chimera. Individuindividu hermaprodit sejati dapat muncul sebagai akibat dari kejadian gagal berpisah mitosis
(Maxson dkk., 1985). Kejadian gagal berpisah ini dapat terjadi pada awal perkembangan suatu
embrio berkromosom kelamin XX atau XXY, yang menghasilkan suatu mosaic dari galur-galur
sel XO/XY, XX/XY dan sebagainya.
Pada umumnya chimera ditemukan karena zigot-zigot yang mengalami fusi berkelamin
berbeda. Chimera dapat terbentuk melalui cara lain yaitu pada contoh suatu polar body yang
dibuahi oleh sperma pada waktu bersamaan pada saat ovum atau sel telur dibuahi oleh sperma
yang lain. Apabila satu sperma memiliki kromosom kelamin X, sedangkan lainnya memiliki
kromosom Y, maka zigot-zigot yang terbentuk memiliki kelamin yang berbeda dan fusi yang
terjadi antara dua zigot tersebut akan menghasilkan dua tipe sel yang berbeda pada individu
tersebut. Kariotip-kariotip chimera yaitu chi 46, XX/46, XY; chi 45, XO/46, XY; chi 46, XX/47,
XXY; chi 45, XO/46, XY/47, XYY.
Feminizing Male Pseudohermaphroditism
Pseudohermaproditisme jantan yang bersifat kebetinaan ini dimungkinkan dapat terjadi
karena adanya suatu gen mutan dominan autosomal yang dipengaruhi kelamin disamping m
enghubungkannya dengan suatu gen mutan resesif yang terpaut kromosom kelamin X. Memiliki
kariotip 46, XY atau 46, XY/45, X. Pengidap feminizing male pseudohermaphroditism memiliki
fenotip perempuan, dengan karakteristik kelamin sekunder yang kurang berkembang.
Masculinizing Male Pseudohermaphroditism

Individu pseudohermaprodit yang memiliki kariotip 46, XY atau mosaic 46, XY/45,X ini
tidak nampak sebagai laki-laki maupun perempuan karena memiliki testis yang tidak
berkembang sempurna, penis meragukan, tetapi payudara tidak berkembang dan tubuh berambut
seperti laki-laki.
Guevodoces
Adanya perkawinan sedarah yang terjadi di Republik Dominika (di desa Salinas)
mengakibatkan ditemukannya 24 individu pseudohermaprodit yang memiliki kariotip 46, XY.
Pada individu pseudohermaprodit tersebut memiliki scrotum yang tampak seperti labia, memiliki
kantung vagina yang buntu, dan penis serupa clitoris.
Pada awalnya individu tersebut berkembang menjadi gadis akan tetapi pada saat
memasuki masa pubertas suara menjadi besar, perkembangan otot bersifat maskulin, dan clitoris
membesar menjadi penis. Individu guevodoces ini pada akhirnya fungsional penuh sebagai
jantan, berorietasi psikologis maskulin serta fertil. Kelainan yang terjadi pada guevodoces
disebabkan karena adanya suatu alela autosomal resesif yang mempengaruhi penggunaan
testoteron.
Female Pseudohermaphroditism
Pada individu ini ditemukan adanya kariotip 46, XX yang seharusnya berjenis kelamin
perempuan akan tetapi tanda-tanda kelamin mengarah pada jenis kelamin laki-laki. Fenotip dari
individu ini seperti pria dengan alat kelamin eksternal yang meragukan dan memiliki ovarium
tetapi tidak sempurna. Hal ini disebabkan karena proliferasi kelenjar adrenalin janin perempuan
atau ketidakseimbangan hormonal ibu sebelum kelahiran dari anak pseudohermaprodit tersebut.
Proliferasi yang berlebihan pada korteks kelenjar anak ginjal mengakibatkan hormon
laki-laki berlebihan. Pertumbuhan yang berlebihan dari korteks anak ginjal janin tersebut
disebabkan oleh homozigositas gen-gen resesif yang bertanggungjawab terhadap enzim-enzim
pada metabolism steroid.
Sindrom Turner
Sindrom turner ini dapat terjadi karena aneuploidi pada kromosom kelamin. Fenotip pada
sindrom turner merupakan betina (perempuan) tetapi ovarium kurang berkembang, serta

memiliki karakteristik kelamin sekunder yang berkembang tidak sempurna, memiliki tubuh
pendek, leher bergelambir, serta mengalami keterbelakangan mental.
Sindrom turner terjadi karena individu betina yang mengalami gagal berpisah pada saat
meiosis gametogenesis atau karena peristiwa gagal berpisah selama mitosis pada masa awal
perkembangan perkembangan embrional.
Sindrom Klinefelter
Sindrom Klinefelter terjadi karena aneuploidi pada kromosom kelamin yang pada
dasarnya berkelamin jantan (pria). Kariotip yang umum pada sindrom ini adalah trisomy 47, XY.
Kelamin dari individu yang mengidap sindrom klinefelter mengalami feminisasi. Individu
tersebut memiliki testis kecil yang tidak normal dan tidak mampu mengalami spermatogenesis.
Para pengidap sindrom ini biasanya steril, sering berinteligensi rendah, serta cenderung
mempunyai anggota gerak yang lebih panjang.
Pria XYY
Sindrom pria XYY terjadii karena aneuploidy kromosom kelamin, kariotip dari sindrom
ini adalah 47, XYY. Pria yang memiliki sindrom ini biasanya terlihat seperti pria normal
termasuk fertile, tetapi memiliki tubuh yang tinggi melebihi tinggi rata-rata pria normal,
memiliki IQ rendah yaitu antara 85-90, tetapi ada juga yang menyatakan memiliki IQ 80-118,
dan terkadang ditemukan adanya kelainan alat kelamin eksternal maupun internal.
Penyimpangan karena Aneuploidi Kromosom Kelamin Lain
Individu perempuan yang terlahir dengan kariotip 47, XXX (trisomi), 48, XXXX
(tetrasomi), dan 49, XXXXX (pentasomi) memiliki sangkut-paut dengan aneuploidy kromosom
kelamin. Individu yang mengalami kelainan itu disebut dengan betina super atau metafemale.
Individu yang memiliki kariotip 47, XXX memiliki alat kelamin yang kurang berkembang,
kesuburan terbatas dan mengalami keterbelakangan mental.

BAB V
PEMBALIKAN KELAMIN
PEMBALIKAN KELAMIN PADA RAGI
Pada ragi dikenal kelamin (mating type) yang tersebut sebagai a dan . Banyak strain ragi
tidak memiliki kelamin yang stabil, cepat beralih antara kelamin a dan . Pada ragi yang
homotalus, gen-gen kelamin dari sel-sel haploid berubah jauh lebih cepat daripada yang dapat
diantisipasi oleh mekanisme lain yang mencakup mutasi spontan. Perubahan yang cepat
semacam itu tidak ditemukan pada strain-strain heterotalus. Sifat homotalus dan heterotalus
ditentukan oleh sebuah alela yang disebut Ho, yang terletak pada kromosom 4.
Pada mulanya pembalikan kelamin pada ragi dinyatakan berhubungan dengan alela MAT
a dan Mat . Alela-alela itu terletak pada kromosom 3 tepatnya di lokus MAT. Alela MAT a
menspesifikasikan kelamin , sedangkan kelamin dimanifestasikan bilamana alela MAT
menempati lokus MAT.
Selain gen MAT, ada juga dua lokus kelamin (tidak terekspresikan) yang terletak di
sebelah kiri dan kanan lokus MAT. Lokus disebelah kiri adalah HML terletak pada posisi 200 kb
dari lokus MAT, sedangkan yang terletak di sebelah kanan adalah HMR. HML mengandung suatu
kopi diam untuk informasi . HMR juga merupakan gen diam, mengandung informasi yang
spesifik untuk a. Pemindahan gen-gen tersebut mencakup pemberian informasi genetik (disebut
suatu kaset) dari salah satu gen yang tidak terekspresi ke lokus MAT.
Empat gen SIR (SIR 1,2,3,dan 4) yang tidak terletak pada kromosom 3 juga berpengaruh
terhadap kerja gen HML dan HML a. Jika salah satu dari gen-gen SIR tersebut tidak bekerja,
maka gen HML dan HML a ditranskripsikan dengan kecepatan yang sama dengan gen pada
lokus MAT. Diketahui pula bahwa daerah E di dekat gen HML dan HMR juga ikut berperan
sehingga gen HML dan HMR tidak terekspresi.
PEMBALIKAN KELAMIN PADA IKAN
Pembalikan kelamin pada ikan bisa terjadi secara alami maupun buatan. Pembalikan
kelamin ikan dapat terjadi berupa pembalikan dari kelamin betina menjadi jantan atau
sebaliknya.

Pada ikan laut protogynous, individu-individu betina yang sudah matang secara
reproduktif berbalik kelamin menjadi individu-individu jantan yang fungsional secara
reproduktif. Pembalikan kelamin tersebut terkait dengan tranformasi struktur dan fungsi hipofise
maupun gonad. Pada Labroides dimidiatus, jika individu jantan mati, maka individu betina yang
paling dominan akan menolak individu-individu jantan (lain) yang akan memasuki kelompok
yang bersangkutan. Apabila upaya itu berhasil, maka individu betina itu akan berubah menjadi
individu jantan dan dalam jangka waktu dua minggu individu jantan baru itu sudah mampu
menghasilkan sperma yang fertil.
Sebenarnya faktor penginisiasi pembalikan kelamin pada kelompok sosial ikan bukan
hanya matinya (penghilangan) individu jantan (pada kelompok protogynous) dan individu betina
(pada kelompok ikan protandrous). Ada beberapa faktor lain yang diduga berperan sebagai
penginisiasi pembalikan kelamin, diantaranya perubahan-perubahan fisiologis endogen yang
terkait dengan beberapa keadaan atau kondisi. Kondisi tersebut diartikan sebagai suatu ukuran
tertentu, tingkat perkembangan, serta peningkatan rasio kelamin (dewasa) betina terhadap
jantan.
Pembalikan kelamin buatan pada ikan banyak dilakukan dengan bantuan sex inducer
berupa hormon steroid. Pembalikan kelamin pada ikan dari individu betina menjadi jantan
dilakukan dengan bantuan hormon-hormon steroid yang tergolong inducer jantan (misalnya
kelompok androgen), sedangkan pembalikan kelamin pada ikan dari individu jantan menadi
betina dilakukan dengan bantuan hormon-hormon steroid yang tergolong inducer betina
(misalnya kelompok estrogen).
PEMBALIKAN KELAMIN PADA BURUNG
Pada ayam betina (ZW) yang telah bertelur diketahui juga dapat mengalami pembalikan
kelamin berupa perubahan ciri-ciri yaitu seperti perkembangan bulu jantan, kemampuan
berkokok, dan juga dapat mengalami perkembangan testis yang dapat menghasilkan sel-sel
sperma. Hal tersebut dapat terjadi karena kerusakan pada jaringan ovarium karena penyakit, pada
keadaan disaat tanpa hormone kelamin betina , jaringan testiskuler rudimenter yang terdapat
ditengah ovarium mengalami proliferasi.

Pertanyaan
Nama : Alifa Rizki Nabila Putri
NIM
1

: 140342601363

Bagaimana pola erosi kromosom Y?

Jawab:
Erosi kromosom proto Y terjadi melalui pola-pola yang hingga sekarang masih bersifat hipotetis.
Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom pertama
adalah yang melibatkan Mullers Ratchet. Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan terpaut Y
yang merugikan melalui hitchhiking dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan secara
selektif pada kromosom proto Y. Mullers Ratchet bersangkut paut dengan hilangnya
kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling
kecil, dari suatu populasi terbatas akibat genetic drift. Peristiwa tersebut mengakibatkan
peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per individu. Fiksasi mutasi-mutasi
terpaut Y yang merugikan terjadi karena ada mutasi-mutasi menguntungkan pada bagian
kromosom proto Y yang tidak mengalami rekombinasi. Proses selektif semacam ini akan
menyebabkan terjadinya fiksasi alela-alela merugikan pada banyak lokus terpaut Y.

Jelaskan bagaimana pembalikan kelamin buatan pada ikan !

Jawab :
Pembalikan kelamin buatan pada ikan banyak dilakukan dengan bantuan sex inducer berupa
hormon steroid. Pembalikan kelamin pada ikan dari individu betina menjadi jantan dilakukan
dengan bantuan hormon-hormon steroid yang tergolong inducer jantan (misalnya kelompok
androgen seperti 17a-methyltestosteron, 11-ketotestosteron, dan testosteron propinat), sedangkan
pembalikan kelamin pada ikan dari individu jantan menadi betina dilakukan dengan bantuan
hormon-hormon steroid yang tergolong inducer betina (misalnya kelompok estrogen seperti
estrone, estriol, diethylstilbestrol dan estradiol butyryl asetat).

Nama : Gizella Ayu Wilantika


NIM
1

: 140342600832
Bagaimana female pseudohermaphroditism bisa terjadi?
Jawab: female pseudohermaphroditism merupakan kelainan terhadap individu yang
seharusnya berjenis kelamin perempuan akan tetapi tanda-tanda kelamin mengarah pada
jenis kelamin laki-laki. Fenotip dari individu ini seperti pria dengan alat kelamin
eksternal yang meragukan dan memiliki ovarium tetapi tidak sempurna. Hal ini
disebabkan

karena

proliferasi

kelenjar

adrenalin

janin

perempuan

atau

ketidakseimbangan hormonal ibu sebelum kelahiran dari anak pseudohermaprodit


tersebut. Proliferasi yang berlebihan pada korteks kelenjar anak ginjal mengakibatkan
hormon laki-laki berlebihan. Pertumbuhan yang berlebihan dari korteks anak ginjal janin
tersebut disebabkan oleh homozigositas gen-gen resesif yang bertanggungjawab terhadap
enzim-enzim pada metabolism steroid.
2

Ada berapa pola erosi evolusioner kromosom proto Y ?


Jawab: Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi
kromosom pertama adalah yang melibatkan Mullers Ratchel bersangkut paut dengan
hilangnya kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah
yang paling kecil, dari suatu populasi terbatas akibat genetic drift. Peristiwa tersebut
menyebabkan peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per-individu.
Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan terpaut Y yang merugikan melalui hitchhiking
dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y

You might also like