Professional Documents
Culture Documents
A.
Perbandingan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1.
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai
oleh negara dan pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha;
2.
Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat
setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin,
yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing;
3.
Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan
prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah
dan pemerintah daerah;
4.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;
5.
Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah
dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah
serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan; dan
6.
Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang
membedakannya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai
berikut:
1.
negeri. Data dan informasi adalah milik Pemerintah Daerah serta pengelolaan
dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan
bahan galian diselenggarakan oleh Pemerintah.
2.
Kewenangan Pengelolaan
Perizinan
Penggunaan Lahan
Pelaku Usaha
Jangka Waktu
Penyidikan
13.
Ketentuan Pidana
B.
Kelemahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
1.
Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus
ribu) hektare.
Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000
(dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 61 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh
ribu) hektar
Pembatasan luasan wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal
52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2009 berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dengan
menciptakan hambatan masuk ke dalam industripertambangan mineral dan
batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang batasan minimal dan maksimal
untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam, mineral non logam,
batuan dan batubara. Di lapangan tim menemukan bahwa ketentuan untuk luas
wilayah minimal tidak memperhatikan kondisi geologis dan potensi cadangan
mineral di tiap-tiap daerah di seluruh wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai
contoh adalah daerah Belitung dan Berau yang mempunyai wilayah-wilayah
pertambangandengan luasan di bawah 5000 hektar. Pembatasan tersebut
dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi
cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi hambatan
bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi
daerah penghasil tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas.
Akibatnya, daerah kesulitan dalam pemberian izin usaha pertambangan
tersebut,sehingga wilayah potensial menjadi tidak dapat diusahakan dengan
adanya ketentuan ini. Penetapan luasan minimum yang tidak memperhatikan
karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah
negara kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost
economy, yang menghalangi pelaku usaha tertentu.
2.
Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang
IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi
saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.
Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi produksi sebagaimana
tercantum pada pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga termasuk kebijakan
yang berpotensi memberikan hambatan persaingan. Pencantuman divestasi
saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang dive stasi
seharusnya memperhatikan jenis usaha tambang, karena masingmasing jenis
usaha tambang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk mencapai Break Event
Point (BEP). Hal tersebut juga terkait dengan keuntungan yang hendak dicapai
oleh pelaku usaha.
UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. Penyusunan
mengenai ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus dilakukan secara
matang untuk menghindari munculnya hambatan bagipelaku usaha asing untuk
menanamkan investasinya di pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Keresahan yang muncul di sebagian kalangan pelaku usaha pertambangan
mineral dan batubara, adalah ketidakjelasan dalam ketentuan divestasi
3.
4.
Kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap
komoditas per tahun setiap provinsi
Pasal 5 ayat (3) : Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah
produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi
Bagi pelaku usaha, kebijakan penetapan besaran produksi tersebut
dapat berakibat pada pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi,
terkait dengan strategi perusahaan untuk melakukan produksi dan kontrakkontrakyang telah dibuat oleh perusahaan tersebut sebelum
dikeluarkannya kebijakan tersebut. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kebijakan tersebut tidak memperhatikan economies of scale dan economies of
scopedari pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi
pelaku usaha yang sebenarnya potensial untuk mengembangkan industri
pertambangan mineral dan batubara.
Akan tetapi kebijakan ini menjadi bersifat netral terhadap persaingan
karena mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya mineral dan
batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan
dalam negeri.
5.
Prioritas kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan perusahaan
lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi
Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha milik negara dan badan usaha milik dareah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan
IUPK.
6.
Pasal 53
: Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan
luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP
dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling
banyak 1.000 (seribu) hektare
Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas
paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare
Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah
operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun
mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang.
Di satusisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan
sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi
lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan
pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan
UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara
secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuaidengan asas yang
secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan
budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk
mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.
C.
Kelebihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara telah memberikan kepastian hukum karena:
1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup
sehingga sudah tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, antara
lain dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah;
2.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara telah mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara
penyelenggaraan kebijakan pertambangan umum. Di samping itu juga terdapat
mekanisme pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran;
3.
Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti Domestic
Market Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah divestasi, dan
lain-lain;
4.
Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai dari
sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain;
5.
Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari
kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.
Pasal103 ayat 1 : Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan didalam negeri. Pasal170:
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
103 ayat (1) selambat lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan. Jika merujuk pada 2 Pasal diatas maka secara singkat UndangUndang Nomor 4 Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
mengharuskan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri. Aturan ini dilakukan paling
lambat 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan. Ini diperkuat dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang kontrak karya yang telah
melakukan produksi di Indonesia harus melakukan pemurnian selambat
lambatnya 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan. Deadline-nya, 12januari 2014
baik pemegang IUP maupun kontrak karya yang sudah berproduksi dilarang
mengeskpor mineral mentah (ore). Ini merupakan suatu usaha baik dari
Pemerintah Indonesia untuk melindungi hasil kekayaan bumi Indonesia dan patut
kita kawal bersama. Ditambah lagi kekayaan SDA Indonesia yang begitu
melimpah merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga,dimanfaatkan sebaik
baiknya dan sebijak bijaknya. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3 Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Sebagai indikasi
berlimpahnya SDA Indonesia dalam hal mineral dan batubara, dapat dilihat pada
tabel 1 tentang kegiatan ekspor batu bara dari Indonesia tahun 2014 2012.
Bisakita lihat tren produksi dan ekspor batu bara yang semakin meningkat tiap
tahunnya. Tabel 1. Pasokan batu bara 2004-2012 (dalam skala ton) Peningkatan
ini akan berdampak signifikan dan memberi dampak yang besar bagi
kesejahteraanrakyat Indonesia berupa peningkatan devisa Negara, jika pada
akhirnya dipergunakan dengan sebaik baiknya untuk kesejahteran rakyat
Indonesia. Namun ekspor barang tambang mentah merupakan sesuatu yang
merugikan Indonesia, barang tambang mentah yang masih bercampur dengan
pengotor, lumpur dan dikenai pajak jauh lebih rendah jika diekspor keluar
dibanding dengan barang tambang jadi. Logika sederhananya sama dengan
mengekspor tanah dengan emas. Tantangan pertama adalah ketika barang
tambang mentah dimurnikan dan diekspor untuk meningkatkan nilai tambah,
maka perlu dipastikan tidak terjadi kecurangan dari pemegang IUP dan IUPK
Operasi Produksi dalam mengolah dan memurnikan barang tambang mentah
hasil produksinya dengan kadar kemurnian yang sangat rendah hanya untuk
lolos dari UUNo 4 Tahun 2009 dan menghindari pajak ekspor yang besar.
Sehingga tujuan peningkatan nilai tambah yang diperlukan untuk
mengoptimalkan konservasi sumber daya dan batubara, memenuhi kebutuhan
bahan baku industri domestik serta memberikan dampak positif bagi
perekonomian yang menghasilkan efek berantai signifikan terhadap kondisi
sosial, ekonomi dan politik yang pada akhirnya memicu pengembangan sektor
hilir (industri)[3]pada akhirnya tidak dapat berjalan maksimal. Sudah
seharusnya pemerintah lebih cermat dalam mengantisipasi celah celah yang
dapat dimanfaatkan olehoknum-oknum pemain barang tambang Indonesia.
Sudah seharusnya pula kata pemurniandisini harus dipertegas dengan tingkat
kadar pemurnian yang jelas dan standar yang baik untuk selanjutnya diatur
Mineral dan Batubara ini memang bertujuan baik dan untuk kesejahteraan rakyat
sesuai dengan bunyi pasal 33 UUD 1945 ayat 3 Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negaradan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.. Namun, perlu diingat konteks
pengertian untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak boleh diartikan
secara sempit hanya dalam bentuk pajak yang ditarik oleh pemerintah, dan
pendapatan negara dari pajak akan digunakan untuk sebasar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam merumuskan nasib bangsa ini
juga mutlak diperlukan sehingga menciptakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang sesungguhnya. Hafizh Fatah R Teknik Fisika 2010
Kementrian Kebijakan Publik BEM ITS 13/14 Refrensi
[1]http://www.antarajatim.com/lihat/berita/124027/hatta-rajasa-stop-eksporbahan-mentah?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter)diakses 16
Januari 2013 [2] Undang UndangRepublik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara (http://psdg.bgl.esdm.go.id/kepmen_pp_uu/UU_4_2009.pdf) [3]
(website ESDM, http://www.esdm.go.id/berita/mineral/43-mineral/6206kementerian-esdm-evaluasi-pengajuan-pembangunan-smelter.html) diakses 16
Januari 2013 [4]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hafizhfatah/sekilas-tantanganpenerapan-uu-no-4-tahun-2009-tentang-pertambangan-mineral-danbatubara_5528f4e8f17e61ce228b45ac
A.
Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta
memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai
ekonomi dimulai sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah
cadangan, dan letak geografi dari lahan yang mengandung mineral dan
batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi
(produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai
ekonomis yang sangat tinggi sehingga akan terbuka persaingan usaha di dalam
rangkaian industri tersebut.
Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara
merupakan industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan
padat teknologi(high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga
tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan
bahan galian.
Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia
pertambangan mineral dan batubara. Tahun 2009 merupakan babak baru bagi
pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan disahkannya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967). Perubahan
mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan
perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada
dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi
ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara.
Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan kontra. Ada sementara kalangan
yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut tidak
memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang
pertambangan mineral dan batubara dan memberikan hambatan masuk bagi
pelaku usaha tertentu.
Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang merupakan revisi dari
UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. Revisi
dilakukan, terutama untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan negara
terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki, dan diharapkan dapat
membawa perbaikan dalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air.
Dengan demikikian amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, benarbenar dapat diwujudkan.
Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah
memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di
antaranya, adalah ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan
pertambangan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).
UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi
perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha
pertambangan.
Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan, UU Minerba
dinilai belum mengatur secara lebih detail hal-hal yang berkaitan dengan
kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan, dan strategi pertambangan
nasional yang akan dituju.
Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang
bersifat sangat umum sehingga tidak bisa operasional, serta pengaturan
pelaksanaannya banyak diserahkan kepada Pemerintah melalui peraturan
pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda). Sebagai contoh, dari 175 pasal
yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya terdapat 22 pasal yang peraturan
pelaksanaannya diserahkan kepada Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh
pemerintah daerah (Perda). Dengan kondisi UU seperti itu, maka bagaimana arah
dan gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti
masih sangat bergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil
kebijakan pada saat PP dan Perda tersebut dibuat.
Selain belum mampu memberikan gambaran tentang arah dan strategi
pertambangan nasional ke depan, juga ada beberapa kelemahan dalam UU
Minerba yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Jika kelemahan tersebut
tidak diperbaiki dikhawatirkan UU Minerba ini justru berpotensi semakin
memperberat permasalahan sektor pertambangan di masa mendatang.
Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma yang
mengatur adanya kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic
Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya secara tegas dan
eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan
pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar.
Kasus seperti ini sangat mungkin terulang kembali pada masa mendatang.
Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak dan
nonpajak dari sektor pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini berpotensi
menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara dari pajak dan nonpajak
Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat akan merugikan
penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara tegas tentang hal ini dan
menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawah UU.
Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah
tanpa disertai kesiapan kerangka acuan tentang strategi kebijakan
pertambangan nasional yang jelas. Hal ini menyebabkan makin tidak
terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi pertambangan di daerah-daerah.
Berdasarkan data, semenjak digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari
3.000 izin dan kuasa pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah,
tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai. Keempat, UU Minerba juga tidak
mampu 'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang
telah ada selama ini. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa kontrak
karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian.
Terkait dengan beberapa kekurangan UU Minerba, maka dipandang mendesak
dilakukan perbaikan UU ini sehingga ada arah, kebijakan, dan strategi sektor
pertambangan nasional yang jelas dan terukur.
Paper ini akan merupakan analisa ringkas dari UU Minerba dari sudut pandang
aspek sosiologis, yuridis dan filosofis.
B.
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan
mengikat orang secara umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU
dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya khusus berlaku bagi sekelompok
orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil saja. Misalnya
adalah UU No. 62 / 1968 tentang naturalisasi.
b.
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara
terjadinya dilakukan secara prosedur dan formal.
b.
c.
d.
1.
[1]Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundangundangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masyarakat.
Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law)
dalam masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat dikaji
menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU No. 4 Tahun 2009 bahwa kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata
kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan.
Analisis : Bahwa keyakinan masyarakat akan pentingnya kemanfaatan sumber
daya mineral dan batu bara sebagai alat yang menunjang perekonomian serta
pembangunan berkelanjutan daerah maupun secara skala nasional. Kesadaran
masyarakat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang dimana banyak
terjadi konflik-konflik mengenai mengeksploitasian mineral dan batubara.
Permasalahan investor dan rakyat menjadikan problem utama yang harus dicari
jalan keluar. Faktanya, konflik antara pemodal dan rakyat terjadi dalam aktivitas
pertambangan tersebut. Kasus Freeport (Papua), Newmont (Sumbawa dan
Sulawesi) serta PT SMN (Bima) merupakan konflik yang melibatkan korporasi
tambang mineral. Sedangkan kasus pencemaran lingkungan dan perampasan
tanah ulayat suku Dayak oleh Adaro dan Kideco Jaya Agung di Kalimantan adalah
konflik yang terjadi dalam industri pertambangan batubara.
Di hampir semua konflik, posisi rakyat selalu berada pada pihak yang
terkalahkan. Salah satu sebabnya adalah keberpihakan aparat negara, baik
pemerintah pusat, daerah, kepolisian maupun militer kepada korporasi. Hal ini
disebabkan juga oleh rancunya UU Minerba yang berlaku saat ini. Kerancuan itu
dapat kita pahami, bila kita meninjau latar belakang kelahiran UU ini secara
seksama. Dengan memberi pertimbangan seperti yang tercantum di atas,
diharapkan segenap pelaku yang terlibat dapat menaati peraturan tersebut.
Sehingga landasan sosiologis yang dicantumkan ini akan menjadi suatu dinamic
recht dan bukan moment opname. Dengan demikian Undang-undang yang
bersangkutan akan berlaku efektif dan mengatur serta membatasi perilaku
manusia dalam memperlakukan sumber daya mineral yang tersedia.
2.
b.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis : Bahwa
dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan Presiden RI memiliki kewenangan
untuk membuat undang-undang. Maka dalam Undang-undang nomor 7 Tahun
2004 yang disahkan dengan tanda tangan dari Presiden Republik Indonesia,
maka sebagai landasan yuridis peraturan yang bersangkutan menjadi memiliki
legalitas untuk dibenarkan dan diaplikasikan. Begitu pula Pasal 20 dan Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 tentang
mineral dan batu bara.
3.
Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu
bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral
dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Adapun
jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum
yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu
kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundangundangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya
tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.
Termasuk dalam landasan Filosofis UU No 4 Tahun 2009 yaitu bahwa mineral dan
batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak,
karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai
tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Analisis : Bahwa
sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang ini dipergunkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan
mineral dan batubara tersebut diharapkan dapat memenuhi hajat hidup orang
banyak dan memakmurkan daerah yang menjadikan pertambangan serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Wilayah mineral dan
wilayah pertambangan tak semua dapat mencakup wilayah luas Negara
Indonesia yang diharapkan daerah yang mengelola tidak memecah belah demi
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu menurut pasal 33
ayat 3 UUD 1945 segala penguasaan kekayaan alam bumi, air yang terkadung
didalam bumi dikelola oleh negara. Perhatian kita tertuju pada pemberian Tuhan
Yang Maha Esa dimana material bahan tak terbarukan dapat terdapat di wilayah
Indonesia yang dapat memenuhi hajat orang hidup banyak yang diwujudakan
dan dikelola secara baik oleh pemerintah dan masyarakat sehingga mewujudkan
masyarakat yang sejahtera.