You are on page 1of 16

Pembangunan Berkelanjutan Di Bidang Pertanian

PENDAHULUAN
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development) Menurut John Elkington,
sustainability (keberlanjutan) adalah keseimbangan antara people-planet-profit, yang dikenal
dengan konsep Triple Bottom Line (TBL). Sustainability terletak pada pertemuan antara tiga
aspek, people-sosial; planet-environment; dan profit-economic. Maka menurut Elkington,
perusahan harus bertanggung-jawab atas dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan
terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan-hidup. Selanjutnya terdapat dua jenis
keberlanjutan menurut Dunphy et al., (2000) yakni ecological sustainability, human
sustainability (keberlanjutan manusia).
Keberlanjutan ekologi mencakup disain organisasi yang dapat memberikan kontribusi
kepada sustainable economic development (pembangunan ekonomi yang berkelanjutan),
perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan pembaharuan biosphere (biosfir = permukaan
bumi dan atmosfir yang ditinggali mahluk hidup). Keberlanjutan manusia adalah
meningkatkan kemampuan dan keahlian manusia untuk kinerja perusahaan yang tinggi dan
berkelanjutan serta untuk kesejahteraan sosial(well-being) dan ekonomi masyarakat dan
keberlanjutan ekologi. Sebuah organisasi yang berkelanjutan berarti organisasi yang
menjalankan kegiatan dengan memahami kebutuhan dan kepentingan pihak lain (kelompok
masyarakat, lembaga pendidikan dan agama, pekerja, dan masyarakat umum), serta
meningkatkan jaringan kerjasama yang mempersatukan mereka semua. Dari beberapa
definisi tersebut dapat diketahui bahwa aspek yang harus tercapai dalam keberlanjutan adalah
kesejahteraan ekonomi, sosial, dan pelestarian serta peremajaan lingkungan hidup. Dengan
tercapainya sustainability berarti generasi mendatang minimal akan mendapat kesempatan
yang sama untuk memanfaatkan sumber daya yang ada seperti kita saat ini. Akan lebih baik
lagi jika bisa mempunyai kesempatan yang lebih besar dibandingkan kita sekarang. Hal ini
akan tercapai jika sumber daya alam masih cukup tersedia atau idealnya bertambah. Sedang
sumber daya manusia menjadi makin berkualitas oleh karena pengembangan SDM, dan pada
akhirnya generasi mendatang dapat mencapai kesejahteraan seperti kita saat ini. Adapun
aspek penting yang ditambahkan oleh Dunphy, yaitu peningkatan well-being dari manusia
kedalam sustainability. Maka pembangunan manusia seutuhnyalah yang diharapkan dalam
sustainability (Arisyono, 2009)
b. Pembangunan Berkelanjutan Bidang Pertanian Pertanian Berkelanjutan. Menurutnya
sebelum kita lebih jauh meninjau konsep pertanian berkelanjutan, ada baiknya kita tinjau
terlebih dahulu konsep Pembangunan berkelanjutan/ Pembangunan lestari (Sustainable
Development). Menurut World Conversation Strategy 1980, pembangunan berkelanjutan
diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan mereka (Anon, 1990).
Menurut TAC/CGIAR (1988), Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan
mengelola sumberdaya untuk pertanian dalam memenuhi perubahan kebutuhan manusia,
sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumber
daya alam (Rachman Sutanta, 2008). Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk
menunjang kehidupan umat manusia. Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial

yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu perubahan dari budaya food gathering (berburu
dan meramu) menjadi food producing (bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam
tersebut, bidang pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman.
Bahkan sejak revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga
industri pengolahan hasil pertanian dan industri pangan, berkembang dengan pesat.
Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan
tersendiri. penerapan pertanian konvensional yang selama ini dilakukan antara lain: 1.
Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor 2. Penurunan kesuburan tanah 3.
Hilangnya bahan organik tanah 4. Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah 5.
Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik 6.
Eutrifikasi badan air 7. Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan
makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar 8. Pemerosotan
keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal
Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas
pertanian dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama semakin
menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai
pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian
dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization
(FAO) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis
sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin
tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang.
Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik
tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara
ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan
pertanian perkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara
ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan Dalam pengertian
tersebut, dapat dikatakan bahwa petanian berkelanjutan bertumpu pada 3 pilar, yaitu ekologi,
ekonomi, dan sosial. Achmad-Suryana (2005) menghubungkan ketiga pilar tersebut menjadi
sebuah diagram Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan, seperti yang terdapat dalam Gambar
1. Mengamati Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan pada Gambar 1, sesungguhnya ada salah
satu pilar yang tertinggal, yaitu Dimensi Teknologi. Teknologi mempunyai peran yang
strategis dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Teknologi berperan dalam menjaga
ekologi agar dapat digunakan secara optimal pada saat ini, tetapi juga tetap memenuhi
kebutuhan generasi yang akan datang. Teknologi juga sangat berperan dalam Dimensi
Ekonomi, terutama untuk menciptakan efisiensi produksi, serta meningkatkan nilai tambah,
daya saing, dan laba hasil pertanian (Sri Handayani dkk, 2011) Pada dasarnya pembangunan
berkenjutan pada bidang pertanian adalah kembali ke alam dan tidak merusak, idak
mengubah, serasi selaras dan seimbang serta mempunya kesadaran terhadap lingkungan,
yang mana harus tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah alamiah. apabila manusia
mengingkari kaidah-kaidah alamiah, dalam jangka pendek dampak tidak dirasan, tetapi dalam
jangka panjang akan muncul dampak, terutama terhadap lingkungan yakni kerusakan

lingkungan bencana banjir. Kita harus meyakini bahwa hukum alam milik Allah SWT
semata, manusia hanya sebagai penikmat saja, serta berkewajiban untuk menjaga dan
melestarikannya. Konsep pembangunan berkelanjutan menginginkan sumberdaya alam yang
ada sekarang dapat dilestarikan dan bukan hanya untuk kebutuhan generasi saat ini saja tapi
juga memperhatikan bagaimana kebutuhan generasi yang akan datang. Apakah konsep
pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian dapat pertahankan?, mengingat banyaknya
permasalahan-permasalahan yang dihadapi, diantaranya : 1. Kondisi Lahan Pertanian
Pesatnya laju pertumbuhan ekonomi, terutama di pulau Jawa dan Sumatera, menyebabkan
berubah fungsinya lahan lahan pertanian subur di kedua pulau tersebut. menjadi non
pertanian, menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan
bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula,
ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini
sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi
pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan
aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Menurut Heru
dkk (1995) bahwa kehilangan atau berubah fungsinya lahan-lahan produktif untuk pertanian
yang ada dipulau Jawa menjadi jalan raya, bangunan perumahan dan lain-lain mencapai
100.000 Ha pertahun. Menurut Arif (2012), Laju kehilangan lahan sawah di Indonesia
mencapai 110.000 Ha pertahun, sementara itu kemampuan mencetak lahan baru hanya
mencapai 45.000 Ha pertahun. Kementerian Pertanian memprediksi, apabila hal ini terus
berlanjut, maka tahun 2015 akan terjadi defisit kebutuhan luas lahan panen seluas 730.000 Ha
(Dewan Ketahanan Pangan 2006). Dengan kondisi lahan yang demikian sangat
mengkhawatirkan ketahanan pangan di Indonesia, karena besarnya kehilangan lahan
pertanian produktif di pulau jawa dapat mengurangi produksi sektor pertanian terutama beras,
dengan asumsi bahwa produksi padi 1,23 kw/Ha (BPS RI 2012) maka dengan adanya
kehilangan lahan produktif sebesar 110.000 Ha/tahun maka indonesia akan kehilangan
produksi padi sebesar 135,300 kw/tahun, Lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya
swasembada beras tercapai juga. Swasembada tahun 2008 ini berbeda dibandingkan tahun
1984 karena swasembada kali ini tanpa sedikit pun dibarengi impor beras. Lain cerita pada
1984, di mana swasembada masih dibarengi dengan impor beras 414.300 ton. Mengapa kita
bisa swasembada beras? Kebijakan pemerintah Republik Indonesia pada sektor pertanian
mencanang program intensifikasi usahatani, khususnya padi sebagai makanan pokok dengan
mendorong pemakaian benih varietas unggul, pupuk kimia dan obat-obatan pemberantas
hama penyakit, kebijakan pemerintah saat itu memang secara jelas merekomendasikan
penggunaan energi dari luar, yang dikenal dengan istilah paket Panca Usahatani yang salah
satunya menganjurkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Kebijakan ini juga didukung
dengan pemberian subsidi harga pupuk dan obat-obatan, sehingga sangat terjangkau oleh
petani-petani kecil. Pupuk kimia dan pestisida sangat diyakini sebagai jaminan keberhasilan
produksi usahatani, pupuk kimia dan pestisida merupakan sarana produksi yang utama bagi
petani dan apabila keberadaannya hilang, atau harganya melonjak dipasaran maka petani
tidak bisa tanam, sehingga harganya disubsidi oleh pemerintah sampai 80%, distribusinyapun
diaturkan dengan sangat rapi oleh pemerintah pusat. Dengan kondisi yang demikian
tercapailah swasembada beras 1984 dan 2008, namun demikian apakah swasembada beras
tersebut masih bisa dipertahankan untuk masa yang akan datang, karena pada tahun 1984 dan

2008 indonesia mengalami swasembada beras, tapi sekarang malah mengimpor beras ? hal
ini disebabkan lahan-lahan produktif sudah mulai berkurang dan lahan-lahan produktif
dipulau jawa sebagai sentra produksi padi menujukan indikasi kuat adanya penurunan
produktivitas, sawah-sawah mengalami kejenuhan berat atau pelandaian produktivitas karena
pemakaian pupuk kimia dan obat-obatan yang sudah malapaui ambang batas normal. 2.
Kebutuhan pangan Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta lebih dengan
ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat
dan stabilitas ekonomi yang semakin membaik, menyebabkan permintaan pangan bertambah
dalam jumlah, mutu dan keragamannya. Sementara, pertumbuhan kapasitas produksi pangan
domestik menghadapi hambatan, karena adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan
infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim
usaha yang kurang kondusif. Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan
permintaan kebutuhan pangan, bisa mengakibatkan impor pangan. Kebijakan impor pangan
yang meningkat, membawa konsekuensi stabilitas ketersediaan pangan menjadi rentan,
karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain. Hal ini menjadi penyebab adanya
ancaman kemandirian pangan nasional. Pada tataran mikro, kemandirian pangan akan terkait
dengan besarnya proporsi masyarakat yang miskin dan rentan mengalami kerawanan pangan.
Kerawanan pangan dapat berakibat pada rendahnya status gizi dan dalam keadaan yang lebih
parah dapat menurunkan kualitas fisik dan intelegensia kelompok masyarakat yang
bersangkutan. Penduduk yang sangat rawan pangan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu
mencapai 35,71 juta atau 15,34% tahun 2010. a) Situasi Pangan Global Situasi pangan global
dewasa ini ditandai dengan peningkatan perkiraan produksi serealia dunia tahun 2012 sebesar
2,42 milyar ton atau naik 3,2 persen dari tahun 2011. Produksi gandum global diperkirakan
turun sebesar 2,9 persen, karena kurang baiknya produksi di Federasi Rusia, China dan India.
Sebaliknya, untuk beras dan jagung mengalami kenaikan masing-masing sebesar 7,3 persen
dan 2,2 persen. Kenaikan produksi jagung disebabkan karena kenaikan produksi di Brasil.
Sedangkan untuk beras, akibat membaiknya prospek produksi padi di Asia, terutama China
dan Thailand. Perkiraan konsumsi serealia tahun 2011/12 sedikit naik ketingkat 2.38 milliar
ton, atau naik 2.1 persen dari tahun 2010/11. Terjadinya kekeringan parah yang melanda
hampir separuh kawasan pertanian di Midwest Amerika, akan mempengaruhi situasi pangan
global dunia, termasuk Indonesia. Laporan dari Departemen Pertanian Amerika
menyebutkan, produksi jagung akan turun dari 372,2 juta ton tahun lalu menjadi 330 juta ton
pada tahun 2012. Produksi Kedelai turun dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Produksi
gandum tidak terganggu tetapi harganya naik, karena produsen pakan ternak yang
menggunakan jagung dan bungkil kedelai akan mengalihkan bahan baku ke gandum.
Kekeringan juga dialami Rusia, sehingga produksi gandumnya anjlok 3 juta ton. Kondisi
tersebut akan mempengaruhi harga serealia dan biji-bijian di pasar internasional. Harga
jagung melonjak sekitar 50 persen, kedelai naik 25 persen dan harga gandum juga akan
merambat naik. b) Situasi Pangan Nasional Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan
pangan nasional melalui pencapaian swasembada pangan lima komoditas strategis, yaitu
beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum memperlihatkan hasil yang optimal.
Situasi tersebut tercermin dalam tingkat ketersediaan beberapa pangan komoditas pangan
domestik yang masih tergantung pada impor, yaitu kedelai sekitar 70 persen, gula sekitar 54
persen, dan daging sapi sekitar 20 persen. Untuk beras dan jagung, impornya tidak terlalu

besar yaitu hanya sekitar 11 persen untuk jagung dan 5 persen untuk beras. Meskipun
demikian, melalui program peningkatan ketahanan pangan nasional tahun 2012, produksi
komoditas sumber pangan karbohidrat strategis yang meningkat adalah padi sebesar 2,74
persen dan jagung sebesar 7,38 persen, sedangkan kedelai menurun 8,24 persen. Sementara
itu, pangan sumber protein hewani yang meningkat, adalah daging sapi sebesar 6,67 persen
dibandingkan dengan tahun 2011. Produksi dan pertumbuhan masing-masing komoditi
pangan strategis selama periode 2008-2012 disajikan pada Tabel dibawah ini. Sedangkan
pemenuhan kebutuhan gandum seluruhnya diimpor dan susu masih diimpor sekitar 72 persen.
Nilai impor buah-buahan dan sayuran meningkat tinggi, yaitu masingmasing sebesar 22, 91
persen dan 29,82 persen per tahun selama 2008-2011. Tabel : Perkembangan Produksi
Pangan Strategis Tahun 2008 - 2012 (dalam Juta ton) Sumber: Badan Pusat Statistik,
Keterangan: 1) data Ditjen Perkebunan, angka 2012 dihitung dari taksasi Maret 2012, 2)
angka ramalan 1 BPS, 3) Data Ditjen Peternakan, angka 2012 merupakan angka proyeksi.
Pada sisi lain, dukungan infrastuktur untuk peningkatan produksi pangan, terutama
ketersediaan jaringan irigasi dan alih fungsi lahan, mengkhawatirkan. Hasil audit Ditjen
Sumber Daya Air (SDA) tahun 2010 menunjukkan bahwa kondisi jaringan irigasi primer dan
sekunder yang dikelola oleh pemerintah pusat yang kondisinya dalam keadaan baik sebesar
54 persen, sedangkan yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota masingmasing hanya sebesar 39 persen dan 48 persen. Laju alih fungsi lahan sawah untuk
penggunaan non pertanian juga masih cukup tinggi, yaitu sekitar 100.000 ha pertahun.
Program peningkatan produksi pangan juga menghadapi kendala pemanfaatan lahan, yaitu
makin terbatasnya pemilikan lahan petani di perdesaan. Dilaporkan selama tahun 19932003
jumlah petani gurem (luas garapan < 0.5 ha) meningkat dari 10.7 juta menjadi 13.3 juta KK
(Sensus Pertanian, 1993, 2003). Para petani gurem mempunyai aksesibilitas yang terbatas
pada sumber permodalan, teknologi, dan sarana produksi, sehingga sulit meningkatkan
efisiensi dan produktivitas tanpa difasilitasi pemerintah. Pada tataran mikro (tingkat rumah
tangga), masih tingginya penduduk yang miskin merupakan ancaman yang dapat
memperlemah kemandirian pangan masyarakat. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan
Juli 2012 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia pada bulan Maret 2012
sebesar 29,13 juta (11,13 persen), yaitu di perkotaan sebesar 10,65 juta (9,23 persen) dan di
perdesaan 18,48 juta (15,12 persen).
c) Stagnasi Produksi Keseimbangan permintaan dan penawaran komoditas pangan menjadi
indikator penting dalam perencanaan kebutuhan pangan masyarakat. Laju peningkatan
kebutuhan pangan, untuk beberapa komoditas, lebih cepat dari laju peningkatan produksi.
Kapasitas produksi pangan terbatas karena produktivitas tanaman di tingkat petani pada
beberapa komoditas pangan relatif stagnan, bahkan situasi terakhir, produktivitas kedelai dan
gula cenderung menurun. Stagnasi produktivitas antara lain disebabkan oleh lambatnya
penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi, serta rendahnya insentif finansial untuk
menerapkan teknologi secara optimal. Melemahnya sistem penyuluhan pertanian juga
merupakan penyebab lambatnya adopsi teknologi oleh petani. Peningkatan kapasitas
kelembagaan petani, serta peningkatan kualitas penyuluhan merupakan tantangan
pembangunan ketahanan pangan ke depan. Kapasitas produksi pangan yang terbatas, juga
dipengaruhi oleh kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi pangan yang tinggi. Hal

ini disebabkan karena dukungan operasional dan pemeliharaan yang kurang memadai,
terbatasnya tambahan investasi infrastruktur sumber daya air baru, seperti waduk dan
jaringan air, kerusakan di daerah tangkapan (catchment area), alih fungsi lahan sawah, serta
pengaruh dampak perubahan iklim yang ekstrem (climate change). Kondisi tersebut
diperparah lagi karena masih terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang tinggi, terutama
pada lahan sawah, sehingga menimbulkan kerugian investasi yang sudah dibangun oleh
pemerintah dan mendorong terjadinya degradasi agrosistem pertanian Di sisi ketersediaan
pangan, adanya ketergantungan impor yang besar, berpotensi membahayakan stabililitas
ketersediaan dan harga pangan domestik. Untuk komoditas pokok dan strategis seperti beras,
gula, jagung, kedelai mekanisme tata niaga tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada
mekanime pasar bebas. Krisis kedelai memperlihatkan bahwa terlalu menggantungkan
pemenuhan kebutuhan pokok pada produk impor merupakan kebijakan yang rentan. Krisis
yang sama sewaktu-waktu dapat berulang, dengan tingkat bahaya yang lebih besar atau lebih
luas, terutama pada komoditas yang ketergantungan tinggi seperti gandum, gula, susu, kedelai
atau jagung. Pada tingkat mikro, adanya kesenjangan angka kemiskinan di pedesaan dan di
perkotaan, antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat pendidikan penduduk
pedesaan yang cenderung lebih rendah dari penduduk perkotaan; sebagian besar mata
pencaharian penduduk pedesaan adalah buruh tani atau petani yang mengelola lahan dengan
luasan lahan yang kecil; serta terbatasnya fasilitas sarana dan prasarana ekonomi dan sosial
seperti transportasi, komunikasi dan kesehatan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan
penduduk, pendapatan, tren diversifikasi dan preferensi masyarakat, perubahan harga dan
areal yang tersedia, telah dilakukan proyeksi permintaan tahun 2050, yaitu untuk beras
sebesar 48,18 juta ton (1,3 kali tahun 2011), jagung 24,65 juta ton (1,4 kali tahun 2011),
kedelai 3,04 juta ton (3,9 kali tahun 2011), dan gula 3,96 juta ton (1,5 kali tahun 2011). Untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi domestik tersebut, Indonesia perlu meningkatkan luas baku
lahan sawah dari 7,89 juta ha (tahun 2010) menjadi 11,07 juta ha (tahun 2050), atau
diperlukan tambahan sawah kumulatif seluas 6,08 juta ha. Kebutuhan sawah yang tinggi,
hanya bisa dipenuhi dengan pembangunan pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, yaitu
di Sulawesi, Kalimantan, dan Indonesia timur. Pembangunan sawah baru di luar Jawa,
disamping membutuhkan investasi yang besar, juga memerlukan petani yang andal. Apabila
berbagai tantangan makro dan mikro tersebut tidak diselesaikan, merupakan ancaman
terhadap kemandirian pangan, yang berpotensi berdampak pada terjadinya krisis pangan di
masa mendatang.
d) Ancaman Krisis Pangan Program swasembada pangan 5 komoditas strategis, yaitu beras,
jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum berjalan optimal. Situasi tersebut tercermin dari
adanya ketergantungan impor pangan, antara lain pada kedelai sebesar 70 persen, gula 54
persen, dan daging sapi 20 persen. Namun demikian, produksi komoditas padi dan jagung
mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 2,71 persen dan 7, 38 persen. Sedangkan untuk
komoditas kedelai mengalami penurunan sebesar 8,4 persen. Adapun untuk sumber protein
hewani meningkat, yaitu daging sapi 6.67 persen dibandingkan dengan tahun 2011.
Peningkatan produktivitas tanaman di tingkat petani pada berbagai komoditas pangan relatif
rendah dan bahkan untuk kedelai cenderung menurun. Kapasitas produksi terbatas, karena
petani menghadapi berbagai kendala dan masalah dalam berusaha tani, terutama disebabkan :

(a) lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi; (b) rendahnya insentif
finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal; (c) melemahnya sistem penyuluhan
pertanian sehingga adopsi teknologi lambat; (d) ketidakpastian penyediaan air untuk produksi
pangan karena rusaknya lebih dari 50 persen prasarana pengairan; (e) terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke penggunaan non pertanian; (f) meningkatnya jumlah petani gurem (luas
garapan < 0.5 ha) dari 10.7 juta menjadi 13.3 juta kepala keluarga. Berdasarkan proyeksi
kebutuhan pangan tahun 2010-2015, upaya peningkatan produksi untuk memenuhi
ketersediaan pangan diperkirakan meningkat sekitar 1,3-1,5 kali dibandingkan tahun 2011.
Bahkan untuk kedelai meningkat sampai 8,6 kali. Berbagai masalah dan tantangan tersebut,
apabila tidak segera dipecahkan secara tepat dan terencana bisa berubah menjadi ancaman
krisis pangan di masa depan.
e) Langkah Antisipasi Menghadapi ancaman krisis dalam kemandirian pangan, diperlukan
langkah antisipasi yang komprehensif. Adapun kebijakan tersebut harus diorientasikan pada
beberapa hal. 1) pengembangan komoditas strategis harus terpadu, konsisten dan
berkelanjutan, dengan lebih memperhatikan peningkatan produktivitas dengan peningkatan
adopsi teknologi unggul oleh petani, peningkatan kualitas penyuluhan dan penguatan
kelembagaan petani, perluasan areal tanam dengan pencetakan lahan sawah baru dan
pemanfatan lahan kering dan peningkatan intensitas pertanaman, aspek distribusi pangan dan
perdagangan, serta aspek tata niaga dan harga pangan. 2) stabilitas harga pangan strategis
harus dijaga melalui penguatan pemantauan harga beberapa pangan pokok dan strategis,
khususnya pada bulan-bulan tertentu saat produksi menurun dan saat kebutuhan meningkat,
atau pada musim panen. Apabila terjadi gejolak harga yang meresahkan masyarakat,
pemerintah harus melakukan tindakan intervensi untuk menstabilkan kembali pada tingkat
yang dapat diterima. 3) Ketiga, melindungi pasar domestik untuk komoditas pangan strategis
terhadap praktek perdagangan internasional yang tidak adil, dengan kebijakan promosi, sepeti
subsidi produksi dan insentif harga, serta kebijakan proteksi seperti pengenaan tarif,
pengenaan kuota dan non-tarif. 4) Keempat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan
melalui pengembangan pangan lokal spesifik wilayah dan pengembangan bisnis pangan
berbasis teknologi pangan lokal (Badan Intelijen Negara, 2012). 3. Pola Konsumsi Pangan
Pokok Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Dalam Millenium Development Goals
(MDGs) , ditegaskan untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di
dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Keta-hanan pangan yang dibangun di Indonesia,
disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan
pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa. (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).
Pembangunan ketahanan pangan menuju ke-mandirian pangan diarahkan untuk menopang
kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan
keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Indonesia dalam
pemenuhan konsum-si masyarakat menghadapi tantangan cukup besar karena jumlah
penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2010 diperkirakan jum-lah penduduk Indonesia
sekitar 235 juta jiwa dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penduduk yang besar ini akan
berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan, lapangan pekerjaan dan yang utama adalah

pangan. Ka-rena pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan setiap hari. Sering
terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga
menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas (Menko Perekonomian,
2005) Produksi pangan memang mengalami peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan
peningkatan produksi padi pada kurun waktu 2004-2009 dari 54,1 ribu ton menjadi 63,8 juta
ton tahun 2009 atau naik sebesar 5,83%. Pencapaian tersebut telah menjadikan Indonesia
berswasembada beras (Kementerian Pertanian, 2010). Namun demikian tantangan
peningkatan produksi pangan (khususnya padi) ke depan nampaknya masih mengalami
kesulitan, karena berbagai faktor, diantara-nya : 1). Penurunan luas baku lahan sawah, 2)
Penurunan kesuburan lahan, 3). Penurunan kualitas dan luas layanan sistem irigasi, 4).
Lambannya adopsi teknologi petani, 5). Pe-ningkatan jumlah petani gurem, dan 7). Masih
tingginya kehilangan hasil (Simatupang dan Maulana, 2006; Badan Litbang Pertanian, 2005;
Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Selain hal tersebut, adanya pengaruh perubahan iklim
global antara lain berdampak pada menyebarnya serangan OPT, bergesernya pe-riode waktu
musim kering dan basah, kerusa-kan lahan dan tanaman juga berpengaruh pada produksi
pangan (Kementerian Pertanian, 2010). Disisi lain, pelaksanaan program di-versifikasi atau
penganekaragaman pangan di Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang kuat melalui
UU Pangan No. 7 tahun 2006 tentang Pangan, PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan dan Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan ber-basis Sumberdaya Lokal. Kementerian Pertanian yang dituangkan
dalam Rencana Strategis 2010-2014 mencanangkan empat target utama diantaranya adalah 1)
Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan dan 2) Peningkatan diversifikasi pangan (Kementerian Pertanian, 2009). Makalah ini bertujuan menganalisis sejauhmana pola
diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia. Terkait dengan Millenium
Development Goals (MDGs), Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan aksi-aksi
mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan. Disisi lain, upaya pemenuhan
konsumsi pangan dihadaplan pada tantangan besar karena jumlah penduduk yang terus
meningkat dan terjadinya pergeseran pola pangan pokok. Makalah ini bertujuan untuk
menganalisis sejauhmana pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia.
Data yang digunakan adalah data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002,
2005 dan 2008, yang dikumpulkan oleh BPS dan diolah oleh Departemen Pertanian serta dari
instansi terkait lainnya. Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel-tabel. Hasil
analisis menunjukkan bahwa: 1) Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia cenderung pola
pangan tunggal yaitu beras. Selain itu pola pangan pokok kedua, yang semula dari umbiumbian dan jagung bergeser ke terigu dan produknya seperti mie instan, 2). Tingkat konsumsi
beras langsung untuk rumahtangga masih tinggi yaitu 104,9 kg/kap/tahun. Untuk pangan
pokok lainnya relatif kecil (jagung: 2,9 kg; terigu: 11,2 kg; ubikayu: 12,9 kg; ubijalar: 2,8
kg/kap/tahun), 3) Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola Pangan Harapan (PPH),
konsumsi beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian
ditingkatkan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan termasuk pangan pokok yang telah
dicanangkan oleh pemerintah diimple-mentasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh
semua elemen masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan pokok akan mengurangi
konsumsi beras, dan pada gilirannya mempermudah pencapaian swasembada beras (Mewa

Ariani, 2010). Pola konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia mengalami pergeseran dari
pola beragam berbasis sumberdaya lokal men-jadi pola beras dan terigu (termasuk
turunannya). Akibatnya tingkat konsumsi beras masih diatas 100 kg/kapita/tahun, sebaliknya
untuk pangan lokal seperti jagung hanya 2,9 kg dan umbi-umbian 12 kg/kapita/tahun.
Diversifikasi pangan pokok masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang
dalam PPH. Konsumsi dari padi-padian diatas yang dianjurkan, sebaliknya untuk umbiumbian masih lebih kecil dari yang seharusnya. Pemerintah telah menetapkan kebijakan
percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Belajar dari pengalaman pelaksanaan diversifikasi konsumsi pangan selama ini, maka pelaksanaan kebijakan
tersebut harus dijadikan sebagai gerakan massa, bukan lagi sekedar program pemerintah,
sehingga semua lapisan masyarakat baik di pusat maupun di daerah harus berparti-sipasi dan
bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Selain itu perlu dukungan yang kuat dan
konsisten dari pemerintah daerah dan DPRD untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Selain
beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian, jagung, sagu dan
pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu, seperti
sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh
masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di
bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir
mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian
ke pangan pokok nasional yaitu beras. Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979
(Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan
Timur Indonesia (KTI) me-nunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun
1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi tersebut masih
tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara jagung dan umbiumbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel,
maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB,
Sulsel, Sulut dan Sulteng (Mewa Ariani, 2010). Ini berarti telah terjadi peningkatan preferensi
dan jumlah konsumsi beras yang signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser
peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok. 4. Tingkat Konsumsi Pangan Pokok
Beras selain sumber energi dan protein utama dalam pola konsumsi masyarakat, juga sebagai
wage goods dan political goods. Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, dan beras
berperanan dalam ketahanan pangan, stabilitas ekonomi dan lapangan kerja. Sebagian besar
masyarakat tetap menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia
sepanjang waktu dan dengan harga yang terjangkau. Kebijakan pemerintah seperti penetapan
harga dasar gabah dan pengendalian harga di tingkat konsumen mendorong masyarakat untuk
mengkonsumsi beras. Walaupun tingkat konsumi beras cenderung menurun, namun volume
konsumsi beras masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan umbi-umbian dan jagung.
Belum lagi adanya kebijakan program Raskin dalam bentuk beras, yang penyalurannya untuk
seluruh masyarakat tanpa memperhatikan pola konsumsi pangan pokok setempat, jelas
menyalahi konsep diversifikasi konsumsi pa-ngan yang selama ini juga menjadi program
pemerintah. Sebagai gambaran konsumsi beras pada tahun 2008 mencapai 104,9 kg, yang
berarti 36,2 kali lebih besar dibandingkan konsumsi jagung ( 2005 : 31,9 kali), daripada
konsumsi jagung; 9,4 kali konsumsi terigu dan 8,1 kali konsumsi ubikayu dan 37,5 kali
konsumsi ubijalar. Perbedaan yang sangat mencolok ini, mengakibatkan beras sebagai pola

pangan po-kok utama di berbagai wilayah dan kelompok pendapatan. Konsumsi beras
memang cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun tingkat konsumsi tersebut masih
lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain-nya. Konsumsi beras di Jepang hanya
sekitar 60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Thailand, China dan India sekitar 100
kg/kapita/tahun. Di Laos dan Myanmar, konsumsi beras masih tinggi yaitu masing-masing
sebesar 179 kg dan 190 kg/kapita/tahun. Bukti empiris menunjukkan beras telah menjadi
pangan pokok utama dan cenderung tunggal di berbagai propinsi termasuk propinsi yang
sebelumnya mempunyai pola pangan pokok sagu, jagung atau umbi-umbian. Pangan lokal
telah ditinggalkan oleh masyarakat dan beralih ke pangan nasional berupa beras bahkan ke
pangan internasional seperti mie instan. Beras memang mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan sumber karbohidrat lainnya diantaranya adalah mempunyai cita rasa yang lebih
enak, lebih mudah diolah dan komposisi zat gizi lebih baik dibandingkan dengan pangan
lokal lainnya. Berkembangnya mie instan sebagai makanan utama setelah beras didorong
oleh kebijakan jaman orde baru yang menganak-emaskan terigu selain beras. Adanya
kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung
lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga terigu menjadi murah (50% lebih
rendah dari harga internasional). Selain itu adanya kampanye yang intensif melalui berbagai
jenis media seperti media elektronik, product development yang diperluas dengan harga yang
bervariasi dan mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk
gandum terutama berupa mi dan roti. Banyaknya ragam jenis, bentuk dan cara masak
komoditas mie, seperti mie basah, mie kuah, mie instant dan produk mie lainnya. Banyak
produk mie yang dengan cepat diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan kemasan yang bagus
dan dengan variasi harga yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pilihan-pilihan
produk mie sesuai dengan kemampuannya. Konsumen produk mie meliputi semua golongan,
tidak hanya golongan atas tetapi juga menengah dan bawah. Selain itu mie juga dengan
mudah dijumpai di berbagai tempat, tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional
atau warung kecil di pedesaan. di Indonesia, pada kelompok rendah dan menengah,
beralihnya pangan dari non terigu ke terigu atau produk olahannya begitu cepat dibandingkan
di negara-negara Asia (Mewa Ariani 2010). 5. Produktivitas Badan Pusat Statistik (BPS)
mengumumkan Angka Ramalan (ARAM) I tahun 2012 produksi padi meningkat sebesar 4,31
persen. Produksi padi naik dari tahun lalu 65,76 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi
68,59 juta ton GKG. ARAM I 2012 ini didapat dari penghitungan produksi riil dari JanuariApril ditambah angka prediksi produksi dari Mei hingga Desember mendatang. Jadi bukan
membuat ramalan untuk seluruh bulan. Prediksi hanya dari Mei sampai Desember,
Peningkatan produksi padi tahun ini, dipengaruhi oleh dua hal utama. a. Luas panen tanaman
padi 2012 naik 1,80 persen dari tahun sebelumnya menjadi 237,30 ribu hektare. b. Perkiraan
peningkatan produktivitas sebesar 2,47 persen menjadi 1,23 kuintal per hektare. Tidak hanya
itu, produksi padi diperkirakan meningkat juga akibat adanya panen yang bergeser ke awal
tahun ini. "Musim tanam tahun lalu ada pergeseran di akhir tahun, sehingga produksinya
masuk dalam hitungan riil Januari-April 2012," katanya. Faktor pendukung kenaikan
produksi padi ikut dipengaruhi oleh iklim tahun ini yang diperkirakan bagus. Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi iklim ke depan cukup
normal, sehingga mendukung masa tanam dan panen padi. peningkatan produksi padi akan
membuat surplus hingga akhir tahun sebesar 5,528 juta ton beras. Angka itu

memperhitungkan jumlah konsumsi beras sebesar 135,01 kilogram per kapita per tahun.
Dengan ARAM 1 ini, jumlah konsumsi beras sebesar 33,035 juta ton, sedangkan yang
tersedia mencapai 38,563 juta ton beras. Produksi padi mengalami pasang surut dalam tiga
tahun terakhir. Pada 2010 BPS mencatat produksi padi sebesar 66,47 juta ton GKG, turun
menjadi 65,76 juta ton GKG pada 2011. Metode penghitungan produksi padi kemudian
diubah, ARAM I tidak dirilis Maret tapi diundur pada Juli ini dengan alasan agar
penghitungannya juga memasukkan realisasi riil produksi Januari-April. Anggoro
menjelaskan ada empat hal utama yang akan dilakukan pemerintah untuk menggenjot
produksi padi, yaitu menekan laju konversi lahan sawah, mengurangi serangan Organisme
Pengganggu Tanaman, mengurangi tingkat susut produksi saat panen, dan meningkatkan
infrastruktur jaringan irigasi sawah. Produksi beras nasional pada Januari-April 2012
sebanyak 7.785.425 ton, dari gabah yang digiling di industri penggilingan padi sebanyak
12.489.125 ton. Produksi beras terbanyak di Provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 1.701.753
ton dari gabah yang digiling sebanyak 2.716.744 ton. Produksi beras paling sedikit di
Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebanyak 61 ton dari gabah yang digiling sebanyak 95 ton.
Produksi beras nasional pada April 2012 sebanyak 2.339.981 ton, dari gabah yang digiling di
industri penggilingan padi sebanyak 3.766.944 ton. Produksi beras terbanyak di Provinsi
Jawa Timur, yaitu sebanyak 488.753 ton dari gabah yang digiling sebanyak 780.346 ton.
Produksi beras paling sedikit di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebanyak 19 ton dari gabah
yang digiling sebanyak 29 ton. Produksi beras nasional pada Mei 2011-April 2012 sebanyak
20.619.985 ton, dari gabah yang digiling di industri penggilingan padi sebanyak 32.873.663
ton. Produksi beras terbanyak di Provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 4.378.814 ton dari
gabah yang digiling sebanyak 6.978.118 ton. Produksi beras paling sedikit di Provinsi
Kepulauan Riau, yaitu sebanyak 201 ton dari gabah yang digiling sebanyak 311 ton. Populasi
industri penggilingan padi sebanyak 182.199 perusahaan/usaha, yang terdiri dari 162.976
perusahaan/usaha penggilingan padi tetap dan sebanyak 19.223 perusahaan/usaha industri
penggilingan padi keliling. Populasi industri penggilingan padi terbanyak di Provinsi Jawa
Barat, yaitu sebanyak 33.576 perusahaan dan populasi paling sedikit di Provinsi DKI Jakarta,
yaitu sebanyak 15 perusahaan/usaha. Persentase banyaknya beras yang dihasilkan dari gabah
yang digiling adalah sebesar 62,28 persen. Persentase terbesar di Provinsi DKI Jakarta, yaitu
sebesar 70,05 persen dan persentase paling kecil di provinsi Bali, yaitu sebesar 58,39 persen
(Badan Pusat Statistik, 2012). Memasuki Awal Juli, BPS Menyampaikan angka ramalan
(ARAM) I bahwa produksi padi nasional tahun 2012 diperkirakan mencapai 68,59 juta ton
GKG atau naik sebesar 2,84 juta ton (4,31%) dibandingkan 2011. Kenaikan produksi tersebut
terjadi karena adanya perkiraan peningkatan luas panen seluas 237,30 ribu hektar (1,80%)
dan produktivitas sebesar 1,23 kwintal/hektar (2,47%). Kenaikan produksi padi tahun 2012,
menurut analisis BPS, berasal dari kenaikan yang relative besar terjadi di Provinsi Jawa
Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian mencatat kenaikan produksi terjadi di 26 provinsi, kecuali Riau (7,33), Banten (0,63%), Jawa Barat (-0,88%), Bali (-0,92), NTB (-0,80%), Gorontalo (-3,54%)
dan Papua (-3,63%). Dari 26 yang mencatat pertumbuhan produksi positif, ada 16 provinsi
membukukkan peningkatan lebih dari 5%. Yaitu Bangka Belitung (77,63%), Maluku (19.03),
NTT (16,00%), Sulawesi Tenggara (11,60%), Jawa Timur (10,56%), Papua Barat (10,46%),
DIY (7,88%), Sulawesi Tengah (7,82%) Aceh (7,16%) Kalimantan tengah (7,16%), DKI

Jakarta (6,59%), Sumatera Selatan (6,01%), Jambi (5,88%), Jawa Tengah (5,51), Sulawesi
Barat (5,51%), dan Sulawesi Selatan (5,24%). BPS memperkirakan, kenaikan produksi
terjadi pada subround Januari-April sebasar 1,44 juta ton (4,71%). Perkiraan subround MeiAgustus sebesar 1,25 juta ton (5,90%), dan perkiraan subround September-Desember sebesar
0,15 juta ton (1,08%) dibanding pada subround yang sama tahun 2011 (year on year). ARAM
I adalah angka ramalan pertama yang dihitung berdasarkan realisasi kegiatan produksi
periode Januari-April ditambah perkiraan kegiatan produksi yang akan berjalan sepanjang
Mei-Desember. ATAP atau angka tetap merupakan angka statistik final berdasarkan realisasi
kegiatan produksi selama satu tahun (Januari-Desember). Alhamdulilah, produksi tahun ini
lebih baik dari tahun lalu dan melebihi target produksinya, ungkap Menteri Petanian
Suswono. Untuk diketahui , dalam roadmap (peta jalan) program P2BN (Peningkatan
Produksi Berasa Nasional) menuju surplus 10 juta ton pada 2014, Kementerian Pertanian
telah menetapkan target pertumbuhan produksi sebesar 2,6% pada tahun 2012. Capaian
ARAM I 2012 yang baik menunjukan bahwa program dan kegiatan yang dilakukana telah
berjalan sesuai roadmap-nya. Upaya-upayanya yang telah dilakukan untuk meningkatkan
produksi padi tahun 2012, antara laian : peningkatan koordinasi dengan provinsi dan
kabupaten/kota dalam menggerakkan Dinas Pertanian, Bakorluh dan Bapeluh untuk
mengawal jadwal tanam petani, penyedian pupuk, dan penyediaan benih yang bukan saja
tergantung pada bantuan, gerakan tanam/panen serta menyisir lokasi yang belum atau
terlambat tanam; peningkatan koordinasi dengan provinsi dan kabupaten/kota, petugas
pertanian di lapangan seperti penyuluh, mantri tani, dan babinsa dalam menggerakan petani
dalam pengendalian OPT selain petugas. POPT serta membentuk dan mengaktifkan regu
pengendalian hama, mendukung program spot stop ; mengawal secara intensif carry over
SLPTT 2011, CBN, serta kebijakan tahun 2012 dimana pemenuhan benih untuk SLPTT pada
lokasi rendah produktivitasnya dan peningkatanya IP (indeks pertanaman); serta melakukan
peningkatan koordinasi dengan PU Pengairan sampai tingkat petugas pengairan di tingkat
lapangan (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012) 6. Teknologi Pembangunan
Berkelanjutan Sektor Pertanian Pentingnya teknologi dalam pertanian berkelanjutan
sebenarnya telah tersurat secara gamblang dalam definisi pertanian berkelanjutan menurut
FAO (1989) dengan menyertakan kalimat . tepat guna secara teknis.. Oleh karena itu,
makalah ini akan membicarakan lebih jauh mengenai peran teknologi dalam bidang pertanian
untuk mendukung pertanian berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan
nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian. a. From Farm to Table Untuk
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama budidaya,
penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk meningkatkan daya saing di
mata konsumen dan laba dari produk-produk pertanian, teknologi juga diperlukan selama
distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak
berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table). Teknologi
tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good
farming practices (cara bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil
panen yang baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik),
good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik), dan good retailing
practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen). b. Good Farming Practices Pertanian
berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi Praktek Pertanian

yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah Good Agricultural Practices (GAP)
(Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang
dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian
selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan
Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil
panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good
Farming Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan
keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan. Beberapa tahun belakangan ini,
untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan
genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism (GMO). Tanaman hasil
rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas,
kualitas, dan kontinuitasnya dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang dihasilkan secara
sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen. Tetapi sampai saat ini teknologi GMO
tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli pangan dan kesehatan masih
mempertanyakan keamanan produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu
digarisbawahi adalah teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk
memenuhi keinginan konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian
ahli yang mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus terus
dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan. Sejalan
dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga ditekankan
pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian.
Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi
tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu,
penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik adalah
bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran
hewan ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah
satu peran teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah
diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi ini mampu
menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk
organik yang berbentuk butiran padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu,
sehingga mempermudah penggunaannya di lapangan. Kesadaran tentang pentingnya
pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara
yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk
melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan salah satu
kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC tentang Ketahanan
Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security) di
selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010. Pada kesempatan itu disepakati
deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on
APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya
pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi
pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi
permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010). Langkah kembali
kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices.
Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk

dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi
jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu
kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh
masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai
menghilang. Padahal potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan, karena telah
diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis
kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang
terjadi adalah impor bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri
dalam negeri. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar
no 2 di dunia dengan nilainya Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar
(Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia
kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut
kembali digalakkan, selanjutnya inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi
kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras atau
tepung terigu. 7. Strategi Pertanian Berkelanjutan Kegagalan pertanian modern memaksa
pakar pertanian dan lingkungan berpikir keras dan mencoba merumuskan kembali sistem
pertanian ramah lingkungan atau back to nature. Jadi sebenarnya sistem pertaninan
berkelanjutan merupakan paradigma lama yang mulai diaktualisasikan kembali menjelang
masuk abad ke 21 ini. Hal ini merupakan fenomena keteraturan siklus alamiah sesuai dengan
pergantian abad. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk pertanian berkelanjutan
adalah sebagai berikut : a. Sistem Pertanian Organik Pertanian organik adalah sistem
manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan
hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, Pertanian
organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia.
Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya alam tidak
dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem pertanian yang tidak
menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk
dalam kelompok pertanian organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi
organik. b. Sistem Pertanian Terpadu Menurut Wididana dalam Karwan (2003), mengatakan
bahwa ada dua model sistem pertanian terpadu yakni ; sistem pertanian terpadu konvensional
dan sistem pertanian terpadu dengan teknologi mikroorganisme efektif. Sistem pertanian
terpadu konvensional sudah banyak diterapkan oleh petani kita pada masa lalu, namun
sekarang sudah banyak yang ditinggalkan. Model terpadu konvensional misalnya tumpang
sari antara peternakan ayam dengan bolong ikan, dimana kotoran yang terbuang
dimanfaatkan sebagai pakan ikan, tumpang sari antara tanaman palawija dan peternakan,
dimana ; sisa tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternakan diamnafaatkan
sebagai pupuk kandang. Praktek sistem pertanian terpadu konvensional ini belum tentu
merupakan siklus yang berkelanjutan, karena hanya mengandalkan proses dekomposisi
biomassa alamiahyang berlangsung sangat lambat, oleh karena itu diperlukan sentuhan
teknologi yang mampu mempercepat proses pembusukan dan penguraian bahan-bahan
organik menjadi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman atau hewan. Model sistem terpadu
dengan teknologi Mikroorganisme efektif telah dikembangkan dimana; limbah orgasnik dari
kotoran ternak dan sisa tanaman difermentasikan dengan teknologi mikroorganisme efektif

menjadi pupuk organik permentasi dalam waktu yang cepat, sehingga mudah dan cepat dapat
dipergunakan.untuk tanaman, ternak atau ikan (Karwan, 2003). c. Sistem Pertanian Masukan
Luar Rendah Sistem ini pada prinsif optimalisasi pemanfaatkan sumberdaya alam lokal yang
ada dengan mengkombinasikan berbagai macam sistem usahatani yakni tanaman, ternak,
ikan, tanah, air, iklim, matahari dan manusia saling melengkapi dan memberikan efek sinergi
yang paling besar. Pemanfaat input luar sifatnya hanya sebagai pelengkap unsur-unsur yang
kurang dalam agroekosistem. Sistem ini bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka
pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka
panjang. Istilah sistem pertanian masukan luar rendah ini lebih populer disebut dengan Low
External Input Sustainale Agriculture (LEISA). Metode ini bertujuan memaksimalkan
produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan
memadaidalam jangka panjang. Pada prinsipnya produksi yang dihasilkan dari sitem atau
dipasarkan harus diimbangi dengan tambahan unsur hara yang dimasukan dalam sistem
tersebut. PENUTUP Keberhasilan pembangunan pertanian terletak pada keberlanjutan
pembangunan pertanian itu sendiri. Konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut
diterjemahkan ke dalam visi pembangunan pertanian jangka panjang yaitu Terwujudnya
sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin
ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian dan di implementasikan. Sistem
pertanian industrial dicirikan oleh usaha pertanian bernilai tambah tinggi dan terintegrasi
dalam satu rantai pasok (supply chai ) berdasarkan relasi kemitraan sinergis dan adil dengan
bertumpu pada sumber daya nasional, kearifan lokal serta ilmu pengetahuan dan teknologi
berwawasan lingkungan. Sistem pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang
merupakan keharusan agar usaha pertanian dapat bertahan hidup dan tumbuh berkembang
secara berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang semakin ketat.
Sehingga sudah seharusnya negara-negara dunia ketiga untuk mencanangkan program
program unggulan guna mempercepat diseminasi pertanian khususnya Indonesia dengan
badan Litbang pertanian sehingga bisa mewujudkan pertanian industrial. Pada hakekatnya,
sistem pertanian berkelanjutan sistem pembangunan pertanian berkelanjutan adalah kembali
kealam (Back to Nature) yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi,
selaras dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh pada kaidah-kaidah
alamiah. Sistem pertanian berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang didasarkan pada
nilai-nilai moral, karena pada dasarnya kita harus menyadari secara mendalam bahwa
manusia adalah khalifah diatas permukaan bumi ini sehingga setiap orang akan berinteraksi
dengan pertanian dan harus bertanggung jawab dalam interaksinya. Dasar dari kehidupan
dibumi ini adalah tanah. Kedudukan manusia berada paling atas kehidupan sebagai khalifah
yang harus dapat mempertanggung jawabkan disirnya sebagai makhluk yang paling
bemartabat, melalui pola sikap, pola pikir, dan pola bertindak terhadap kehidupan yang lain.
Kita hidup didunia ini tidak hanya sendiri, tapi masih ada lagi kehidupan lain, yang kan rusak
apabila memutus mata rantainya (ekosistem), bahwa kesejahteraan bukan hanya milik kita
pribadi dan sesaat saja, tapi masih ada lagi kehidupan lain yang ingin sejahtera, untuk itu
konsep pembangunan pertanian berkelanjutan bisa dikatakan bagaimana mencapai
kesejahteraan bersama, agar kehidupan dapat terjaga dan lestari.
DAFTAR PUSTAKA

Arisyono.2009. Ada Apa di Balik Kampanye Lingkungan. Journal. Achmad Suryana. 2005.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan Nasional. Makalah
disampaikan pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Pembangunan
Nasional Tanggal 15 Pebruari 2005 di Universitas Sebelas Maret Solo. Badan Intelijen
Negara.2012. Hari Pangan Sedunia: Acaman Krisis Dalam Kemandirian Pangan Indonesia.
Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Padi. Departemen Pertanian. Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi
Padi (Angka Ramalan I). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Produksi Padi di
Prediksi Lampaui Target. Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum
Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta. Dexter Dunphy, Jody Benveniste, Andrew Griffiths,
dan Philip Sutton, Allen & Unwin, 2000.An introduction to the sustainable corporation oleh
Dexter Dunphy dan Jodie Benveniste, pada: Sustainability: The Corporate Challenge of the
21st Century. Heru., S. 1995. Komoditas Unggulan Lahan Pasang Surut Pada Era
Perdagangan Bebas dan Pengembangannya. Balittra. Banjarbaru. Imam Supardi. 2003.
Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. P.T. Alumni. Bandung Karden Eddy Sontang Manik.
2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta Karwan, A.,Salikin, 2003. Sistem
Pertanian Berkelanjutan Kanisius. Jakarta Kathy Wilson Peacock, 2008. Natural Resources
and Sustainable Development. Foreword by Jeremy Carl Research Fellow, Program on
Energy and Sustainable Development Stanford University. Kementerian Pertanian. 2009.
Rencana Strate-gis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Pertanian.
2010. Kinerja Pemba-ngunan Sektor Pertanian 2009. Jakarta Mewa Ariani. 2010.
Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. Prosiding Pekan
Serealia Nasional. Jakarta. Rachman Sutanta. 2008. Pengembangan Pertanian Berwawasan
Lingkungan Dalam Menyongsong Pertanian Masa Depan. Bulletin Sri Handayani dan Dimas
Rahadian Aji Muhammad. 2011. Inovasi Teknologi Dalam Bidang Pertanian Untuk
Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Disampaikan pada Seminar Nasional : Innovation of
Information, Communication, and Technology (ICT) for Supporting Sustainable Agriculture.
International Association of Students in Agricultural and Related Science (IAAS LC UNS)
Solo, Tanggal 31 Januari 2011

You might also like