You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Di antara beberapa gangguan cemas yang dikenal,


gangguan panik merupakan gangguan yang lebih sering dijumpai
akhir-akhir ini. Dari penelitian diketahui bahwa di negara-negara
Barat, Gangguan Panik dialami oleh lebih kurang 1,7% dari
populasi orang dewasa. Angka kejadian sepanjang hidup
gangguan panik dilaporkan 1,5% sampai 5%, sedangkan
serangan panik sebanyak 3% sampai 5,6%. Di Indonesia belum
dilakukan studi epidemiologi yang dapat menggambarkan berapa
jumlah individu yang mengalami gangguan panik, namun para
profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang
datang minta pertolongan.
Suatu penelitian di Texas terhadap lebih dari 1600 sampel
yang diseleksi secara acak, didapatkan prevalensi sepanjang
hidup 3,8% untuk gangguan panik, 5,6% untuk serangan panik,
serta 2,2% mengalami serangan panik dengan gejala yang
terbatas dan tidak memenuhi kriteria diagnostik. Gangguan
panik pada perempuan 2/3 dari laki-laki. Pada umumnya terjadi
pada usia dewasa muda, sekitar 25 tahun, tetapi bisa terjadi
pada usia berapapun, termasuk anak-anak dan remaja. Selain itu
penderita gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita,
terutama mereka yang belum menikah serta wanita post-partum,
serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil.
Sembilanpuluh satu persen pasiendengan gangguan panik
dan 84% yang dengan agrofobia mengalami setidaknya satu
gangguan psikiatrik lainnya. Sepuluh hingga 15% pasien dengan
gangguan panik juga mengalami gangguan depresi berat.
Sepertiga diantaranya mengalami gangguan depresi sebelum
awitan gangguan panik, seta sisanya mengalami serangan panik
selama atau sesudah awitan gangguan depresi berat.
Ansietas juga sering terdapat gangguan panik dengan
agrofobia. Limabelas sampai 30% mengalami fobia sosial, 2-20%
terdapat fobia spesifik dan 15-30% mengalami gangguan
kecemasan hingga 30% mengalami gangguan obsesif-kompulsif.

Kondisi komorbiditas lainnya antara lain hipokondriasis,


gangguan kepribadian, gangguan penggunaan zat.

1.2

Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai definisi, etiologi, gejala dan tanda,

pedoman diagnostik, diagnosis banding, serta penatalaksanaan Gangguan Panik.

1.3

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah :
1.

Memahami tentang gangguan panik dan penatalaksanaannya


dalam psikiatri.

2.

Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah, khususnya dalam


bidang ilmu kedokteran.

3.

Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik


Senior di Bagian Ilmu Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa Tampan.

1.4

Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dan mengacu pada

beberapa literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi

Istilah panik berasal dari kata Pan, dewa Yunani yang


setengah hantu, tinggal dipegunungan dan hutan, dan
perilakunya sangat sulit diduga. Di tahun 1895 deskripsi
gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud
dalam kasus agorafobia. Serangan panik merupakan ketakutan
akan timbulnya serangan serta diyakini akan segera terjadi.
Individu yang mengalami serangan panik berusaha untuk
melarikan diri dari keadaan yang tidak pernah diprediksi.
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya
serangan panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Serangan
panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relative singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang disertai
oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan
panik adalah bervariasi dari serangan multiple dalam satu hari
sampai hanya beberapa serangan selama setahun. Di Amerika
Serikat, sebagian besar peneliti dibidang gangguan panik
percaya bahwa agoraphobia hampir selalu berkembang sebagai
suatu komplikasi pada pasien yang memiliki gangguan panik.

2.2 Etiologi
Terdiri atas faktor organobiologik,
psikodinamik), sosiokultural :
a. Faktor biologik :

psikoedukatif

(termasuk

Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan panik


berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Dari
penelitian juga diperoleh data bahwa pada otak pasien dengan
gangguan
panik
beberapa
neurotransmitter
mengalami
gangguan fungsi, yaitu serotonin GABA (Gama Amino Butiric
Acid), dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasienpasien dengan gangguan cemas, temasuk gangguan panik.
Disfungsi neurokimia menjadi salah satu penyebab
gangguan panik yang mengakibatkan ketidakseimbagan otonom,
penurunan kualitas GABA(gamma-aminobutyric acid)ergik,
polimorfisme alel gen COMT (catechol-O-methyltransferase),
peningkatan fungsi reseptor adenosin, peningkatan kortisol,
penurunan fungsi reseptor benzodiazepin, gangguan fungsi
serotonin, norepinephrine, dopamine, cholecystokinin, dan IL-1
beta.
Disfungsi neurokimia ini diperkuat oleh temuan hasil
scanning PET yang menunjukkan terjadi peningkatan aliran darah
pada regio parahippocampal dextra dan penurunan ikatan
reseptor serotonin tipe 1A pada cingula anterior dan posterior
pasien gangguan panik.
Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik
pada sistem perifer maupun sistem saraf pusat. Pada beberapa
kasus ditemukan peningkatan tonus simpatetik dalam sistem
otonomik.
Penelitian
pada
status
neuroendokrin
juga
menemukan beberapa abnormalitas namun hasilnya belum
konsisten.
Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut
yang terkondisi yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu
sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal dan hipokampus, yang
berperan terhadap timbulnya serangan panik. Dalam model ini,
seseorang dengan gangguan panik menjadi takut akan terjadinya
serangan panik.
Faktor biologik lain yang berhubungan dengan terjadinya
serangan panik adalah adanya zat panikogen yang digunakan
terbatas pada penelitian, serta perubahan pada tampilan
pencitraan dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging).
b. Faktor genetik :
4

Pada keturunan pertama penderita gangguan panik dengan


agorofobia mempunyai risiko 4 sampai 8 kali mendapatkan
serangan yang sama.
Beberapa penelitian menunjukkan gangguan panik dapat
diturunkan akibat disfungsi neurokimia dengan perkiraan tingkat
heritabilitasnya (heritability) 0,3-0,6%. Meskipun begitu, hingga
kini analisis segregasi masih belum dapat menyimpulkan rantai
DNA yang dapat menyebabkan gangguan panik.
Namun beberapa penelitian genetis menemukan bahwa
regio kromosom 13q, 14q, 22q, 4q31-q34, serta 9q31 berkaitan
erat dengan heritabilitas fenotip gangguan panik.
c. Faktor psikososial :
Bila kita meninjau dari teori psikodinamik, antara lain :
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola
ansietas akan sosialisasi saat masa kanak-kanak, hubungan
dengan orang tua yang tidak mendukung, serta perasaan
terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa
marah dan agresifitas sulit dikendalikan. Pada pasien-pasien
dengan
gangguan
panik,
terdapat
kesulitan
dalam
mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi nirsadar yang
terkait. Misalnya pasien mempunyai harapan dapat melakukan
balas dendam terhadap orang tertentu. Harapan ini merupakan
suatu ancaman terhadap figur yang melekat.
Menurut teori kelekatan, pasien-pasien dengan gangguan
panik memiliki gaya kelekatan yang bermasalah, antara lain
dalam bentuk preokupasi terhadap kelekatannya itu. Mereka
sering berpandangan bahwa perpisahan dan kelekatan sebagai
mutually exclusive, hal ini karena sensitivitas yang tinggi baik
akan kehilangan kebebasan maupun kehilangan akan rasa aman
dan perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam keseharian pasien
yang
cenderung
menghindari
perpisahan
yang
terlalu
menakutkan dan pada saat yang sama secara simultan juga
menghindari kelekatan yang terlalu intens, sering hal ini tampak
dalam gaya interaksi pasien yang terlalu mengontrol orang lain.

2.3 Perjalanan Penyakit

Gangguan ini biasa dimulai pada ahir masa remaja, awal


masa dewasa atau pada usia pertengahan. Pada umumnya tidak
ditemukan stressor atau awitan, walaupun sering pula
dihubungkan dengan adanya stressor psikososial.
Gangguan panik biasanya berlangsung kronis, sangat
bervariasi pada tiap pasien. Dalam jangka panjang, 30-40%
pasien tidak lagi mengalami serangan panik, 50% mengalami
gejala ringan sehingga tidak mempengaruhi kehidupannya.
Sisanya masih mengalami gejala yang bermakna.
Pada saat serangan pertama atau kedua, pasien sering
mengabaikannya dan baru menyadari setelah frekuensi dan
intensitas bertambah. Hal ini juga dapat dipacu oleh konsumsi
kafein dan nikotin yang berlebihan.
Depresi sering menyertai, yaitu pada 40-80% kasus.
Walaupun jarang terungkap ide bunuh diri, namun resiko
tersebut meningkat dan 20-40% diantara pasien juga
mengkonsumsi alkohol atau zat lainnya. Sering terjadi perubahan
prilaku, interaksi dalam keluarga dan hasil akademis dan
pekerjaan mungkin dapat memburuk.
Agoraphobia yang terjadi pada gangguan panik akan reda
bila gangguan paniknya mendapat terapi.

2.4

Tanda dan Gejala

Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik


yang berulang. Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak
terduga, disertai gejala otonomik yang kuat, terutama sistem
kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Serangan sering dimulai
selama 10 menit, gejala meningkat secara cepat. Kondisi cemas
pada gangguan panik biasanya terjadi secara tiba-tiba, dapat
meningkat hingga sangat tinggi disertai gejala-gejala yang mirip
gangguan jantung yaitu rasa nyeri dada, berdebar-debar,
keringat dingin, hingga rasa seperti dicekik. Hal ini dialami tidak
terbatas pada situasi atau rangkaian kejadian tertentu dan
biasanya tidak terduga sebelumnya.
Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang
mengalaminya menjadi sangat khawatir bahwa ia akan

mengalami lagi keadaan tersebut (disebut : anticipatory anxiety).


Hal itu membuatnya berulang kali berusaha mencari pertolongan
dengan pergi kerumah sakit- rumah sakit terdekat.
Sistem pernapasan merupakan topik yang penting dalam
investigasi pasien dengan gangguan panik, karena pernapasan
yang cepat dan pendek merupakan gejala yang sangat jelas
dirasakan pasien. Disamping itu, menurut Donald D. Klein, gejala
tersebut merupakan suffocation false alarm. Berbeda dengan
abnormalitas kardiovaskuler, pernapasan yang tidak stabil adalah
spesifik pada gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi
dan peningkatan variasi pernapasan. Penting diketahui bahwa
peningkata denyut nadi dan pernapasan yang tidak stabil bisa
timbul tanpa terjadi serangan panik. Sebaliknya serangan panik
tidak selalu disertai pengukuran objektif dari hiperventilasi atau
disfungsi kardiovaskuler.
Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat
dan ancaman kematian atau bencana. Pasien bisa merasa
bingung dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang menyertai
adalah takikardia, palpitasi, dispnue dan berkeringat. Penderita
akan berusaha keluar dari situasi tersebut dengan mencari
pertolongan. Serangan dapat berlangsung selama 20-30 menit,
jarang sampai lebih dari satu jam.
Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai
ruminasi, kesulitan bicara seperti gagap dan gangguan memori.
Depresi, derealisasi dan depersonalisasi bisa dialami saat
serangan panik. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan
takut mati karena masalah jantung atau pernapasan. Sering
pasien merasa seperti akan menjadi gila.
Agoraphobia yang dialami pasien dengan gangguan panik
menyebabkan penderita menolak untuk meninggalkan rumah
ketempat yang sulit mendapatkan pertolongan. Gejala penyerta
lainnya adalah depresi, obsesif kompulsif, dan pemeriksa harus
waspada terhadap tendensi bunuh diri.
Problem dalam rumah tangga, kehilangan pekerjaan,
kesulitan finansial bisa merupakan konsekuensi dari gangguan
panik, demikian juga penggunaan alkohol dan zat lainnya.

2.5
III)

Diagnosis Dan Kriteria Diagnostik (DSM-IV /PPDGJ

Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis gangguan panik harus


dibuktikan dengan adanya serangan panik yang berkaitan
dengan kecemasan persisten berdurasi lebih dari 1 bulan
terhadap: (1)serangan panik baru (2) konsekuensi serangan, atau
(3) terjadi perubahan perilaku yang signifikan berhubungan
dengan serangan.
Selain itu untuk mendiagnosis serangan
panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala dari 13 gejala
berikut ini:
Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila
Takut mati
Leher serasa dicekik
Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah
cepat
Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
Merasa sesak, bernapas pendek
Mual atau distress abdominal
Gemetaran
Berkeringat
Rasa panas dikulit, menggigil
Mati rasa, kesemutan
Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari
diri sendiri)
Sedangkan menurut pedoman diagnostik PPDGJ III yaitu
sebagai berikut :

Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama


bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik
(F40.-)
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa
kali serangan anxietas berat (severe attacks of autonomic
anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan :
a. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara
objektif tidak ada bahaya;
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau
yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable
situations);

c. Dengan keadaan yang relatif bebeas dari gejalagejala anxietas pada periode di antara seranganserangan panik (meskipun demikian, umumnya
dapat terjadi juga anxietas antisipatorik, yaitu
anxietas yang terjadi setelah membayangkan
sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi).
2.6

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan


panik adalah sejumlah gangguan medis dan juga gangguan
mental. Untuk gangguan medis misalnya infark miokard,
hipertiroid, hipoglikemi, dan feokromositoma. Sedangkan
diagnosis banding psikiatri untuk gangguan panik adalah purapura, gangguan buatan, fobia sosial dan spesifik, gangguan
stress pasca traumatik, dan gangguan depresi. Bila pada saat
yang sama kriteria depresi dipenuhi, maka gangguan panik
bukan merupakan diagnosis utama.

2.7

Penatalaksanaan

Tatalaksana gangguan panik terdiri atas pemberian


farmakoterapi dan psikoterapi. Dari penelitian didapatkan bahwa
bila hanya farmakoterapi saja atau psikoterapi saja, maka angka
kekambuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bila mendapat
gabungan antara farmakoterapi dan psikoterapi.
a. Farmakoterapi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk
mengatasi gangguan panik, yakni golongan SSRI, trisiklik, dan
MAOI (Monoamine oxidase inhibitor). Sedangkan golongan
benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial
dalam terapi gangguan panik.
Golongan SSRI (Serotonin-selective reuptake inhibitors)
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya
sebaiknya dimulai dalam rentang 2 minggu sejak serangan panik
terjadi karena SSRI dapat memicu serangan panik pada
pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang

terkecil lalu ditingkatkan secara perlahan di setiap kesempatan


follow up berikutnya.
Mekanisme Kerja SSRI
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di
ekstraselular dengan cara menghambat pengambilan kembali
serotonin ke dalam sel presinaptik sehingga ada lebih banyak
serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor
sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang cukup
baik terhadap transporter monoamin yang lain, seperti pada
transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI memiliki afinitas
yang lemah terhadap kedua reseptor tersebut sehingga efek
sampingnya lebih sedikit.
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap
memiliki desain obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar
spesifik pada suatu target biologi tertentu dan memberikan efek
berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan
secara luas di hampir semua negara sebagai lini pertama
pengobatan antipanik.
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya
dapat ditingkatkan secara bertahap tergantung pada kebutuhan.
Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini memiliki efektifitas yang
baik dalam menangani gangguan panik. Salah satunya,
Fluoxetine dalam salut memiliki masa paruh waktu yang panjang
sehingga cocok digunakan untuk pasien yang kurang patuh
minum obat. Selain itu waktu paruh yang panjang dapat
meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi ketika pasien
lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.
Contoh Obat Golongan SSRI
Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin
presinaptik, dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali
terhadap reuptake norepinephrine atau dopamine.
Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara
kerjanya berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap
10

serotonin neuronal dan memiliki efek yang lemah terhadap


reuptake norepinephrine dan dopamine.
Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang
lemah pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada
reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak
berikatan pada alfa-adrenergik, histamine atau reseptor
kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding
obat-obatan jeis trisiklik.
Citalopram (Celexa)
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi
selektif reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek
samping antikolinergik obat ini lebih sedikit.
Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme
kerjanya mirip dengan citalopram.
Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu
pertama ketika tubuh mulai mencoba beradaptasi dengan obat
(kecuali efek samping seksual yang timbul pada fase akhir
pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu
ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh.
Adapun beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia,
insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin, perubahan
pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah
dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri
dan meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan

Golongan Tricyclic/Trisiklik

11

Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya


digunakan untuk mengatasi depersi. Pada awal penemuannya,
golongan trisiklik merupakan pilihan pertama untuk terapi
depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang
tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh
golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru.
Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di
antaranya,
dosisnya
cukup
1x/hari,
rendah
resiko
ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan makanan. TCAs
have the advantages of once-daily dosing, low risk of
dependence, and no dietary restrictions.
Namun 35%
penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena efek
samping yang tidak menyenangkan. Golongan trisiklik harus
dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari amphetamine like
stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik
membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon
terapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama
untuk depresi atau panik yang resisten terhadap obat antipanik
terbaru. Selain itu golongan trisiklik tidak menyebabkan
ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu
yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek
sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga banyak
pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun
efek terapinya belum tercapai.
Mekanisme Kerja Trisiklik
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara
kerja SNRI (serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor) dengan
cara memblok transporter serotonin dan norepinephrine,
sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang
dapat bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali
tidak bereaksi terhadap transporter dopamin sehingga efek
samping akibat peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat
berkurang.
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan
serotonin, trisiklik juga bereaksi sebagai antagonis pada
neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C), 5-HT6, 5-HT7, 1adrenergic, and NMDA receptors, dan sebagai agonists pada
12

sigma receptors (1 and 2), yang memberikan kontribusi pada


efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal sebagai
antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi
dengan reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium
dan kalsium, sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan natrium
channel blocker dan calcium channel blocker. Karena itu
penggunanaan
berlebih
trisiklik
dapat
menyebabkan
kardiotoksik.
Contoh Obat Trisiklik
Imipramine (Tofranil, Tofranil-PM)
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan srotonin
pada neuron presinaptikin.
Desipramine (Norpramin)
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine
pada celah sinaptik SSP dengan ara menghambat reuptakenya di
membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek
desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor
beta-adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.
Clomipramine (Anafranil)
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangakan
pada efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini
diubah menjadi metabolitnya, desmethylclomipramine.
Efek Samping Trisiklik
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh
trisiklik yang berkaitan dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di
antaranya adalah mulut kering, hidung kering, pandangan kabur,
konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan peningkatan
temperatur tubuh. Efek samping lainnya adalah pusing, cemas,
anhedonia, bingung, sulit tidur, akathisia, hipersensitivitas,
hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.

13

MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan
salah satu jenis antidepresi yang dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu golongan ini
digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang
sudah resisten terhadap golongan trisiklik.
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang
disertai agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk
mengatasi migraine dan penyakit parkinson karena target dari
obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam timbulnya nyeri
kepala dan gejala parkinson.1,3
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap
obat ini rendah dan efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding
obat golongan trisiklik.
Cara Kerja MAOI
MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas
monoamine oxidase, sehingga ini dapat mencegah pemecahan
monoamine neurotransmitters dan meningkatkan avaibilitasnya.
Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A
berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine
and
norepinephrine.
Sedangkan
MAO-B
mendeaminasi
phenylethylamine and trace amines. Dopamine dideaminasi oleh
keduanya.
Contoh Obat MAOI
Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering
digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah
dibuktikan merlalui superioritas yang jelas terhadap placebo
dalam percobaan double-blind untuk mengatas gangguan panik.
Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon
terhadap obat golongan trisiklik atau obat antidepresi golongan
kedua.

14

Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan
secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi
pemecahan monoamin dan meningkatkan avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI
Ketika
dikonsumsi
peroral,
MAOI
menghambat
katabolisme amine. Sehingga ketika makanan yang mengandung
tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis hipertensi.
Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka hal
ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang
dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap
individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat
menyebabkan krisis hipertensi pada pengguna obat MAOI belum
diketahui, tapi diperkirakan tiramin menggantikan norepinefrin
pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini norepinefrin
terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran
norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori
lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin
yang menyebabkan krisis hipertensi.
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain
hati, makanan yang difermentasi dan zat-zat lain yang
mengandung levodopa seperti kacang-kacangan. Makananmakanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.

Golongan Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat piliahnyang
digunakan untuk mengatasi serangan panik akut.
Cara Kerja Benzodiazepin
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek
neurotransmiter GABA (gamma-butyric acid), yang berakibat
pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat menimbulkan
kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan
dapat mengakibatkan amnesia.
15

Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate


acting dan long acting. Benzodiazepin short- dan intermediate
acting digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan yang
golongan long-acting digunakan untuk mengatasi gangguan
panik.

Contoh Obat Benzodiazepin


Lorazepam (Ativan)
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek
onset singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate.
Dengan meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor
utama di otak, lorazepam dapat menekan semua kerja SSP,
termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.
Clonazepam (Klonopin)
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik
lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif
panjang sekitar 36 jam.
Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen
serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor
pada beberapa bagian otak, termauk sistem limbik dan RES.
Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan
penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat
ketergantungannya sangat tinggi.
Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol)
Diazepam meruapakan salah satu jenis benzodiazepin yang
potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk mengatasi
serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada
benzodiazepin biasanya berkaitan dengan efek sedasi dan
relaksan ototnya. Beberapa di antaranya adalah mengantuk,

16

pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan.


Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan,
terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin adalah
penurunan kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada
tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan
pusat pernapasan terutama pada penggunaan intravena.
Beberapa efek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan
benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera makan,
pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi
buruk. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin
bersifat liver toksik.

Serotonin Reuptake Inhibitor/Antagonist


Mekanisme kerja obat ini belum terlalu dipahami. Namun
diketahui obat ini dapat mengatasi gangguan panik dengan cara
kerja yang berbeda dari MAOI, serta tidak seperti obat jenis
amphetamine, obat ini tidak menstimulasi CNS.
Contoh Obat
Trazodone
Trazodone sangat berguna dalam terapi gangguan panik yang
disertai agorafobia. Pada hewan, obat ini secara selektif mampu
menghambat uptake serotonin melalui sinaptosom otak dan
mepotensiasi perubahan perilaku melalui induksi prekursor
serotonin, 5-hidroksitriptofan.

Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors

17

Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara


kerja obat ini adalah mencegah reuptake inhibitor serotoninnorepinefrin sehingga dapat mengatasi kepanikan.
Contoh Obat
Venlafaxine (Effexor, Effexor XR)
Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor
reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini
adalah menurunkan regulasi reseptor beta.

1. Interaksi Obat
Adapun beberapa interaksi obat yang harus diperhatikan
pada penggunaan terapi medikasi gangguan panik antara lain:
Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) +
Haloperidol(Phenothiazine) = mengurangi kecepatan ekskresi
dari trisiklik sehingga kadar dalam
plasma meningkat,
sebagai akibatnya dapat terjadi potensiasi efek samping
antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria, gangguan
absorbsi dan lain-lain.
Obat trisiklik/SSRI + CNS Depressant (alkohol, opioid,
benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan
penelanan terhadap pusat pernapasan bahkan dapat terjadi
gagal napas.
Obat
trisklik/SSRI
+
Obat
simpatomimetik
(derivat
amfetamin) = dapat membahayakan kondisi jantung.
Obat trisiklik/SSRI + MAOI tidak boleh diberikan bersamaan
karena dapat terjadi Serotonin Malignant Syndrome.
Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI menjadi MAOI atau
sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk
wash out period.
Obat trisiklik + SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat
trisiklik.
2. Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis
Semua jenis obat anti-panik hampir sama efektifnya dalam
menanggulangi sindrom panik pada taraf sedang dan pada
stadium awal dari gangguan panik.

18

Bila pasien peka terhadap efek samping obat, maka golongan


obat yang dianjurkan adalah SSRI atau RIMA yang lebih
sedikit efek sampingnya.
Alprazolam menjadi pilihan untuk menangani pasien yang
terkena serangan panik akut.
Obat anti-panik harus dimulai dengan dosis kecil lalu
ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai dosis
maintenance. Dan harus diingatkan pada pasien bahwa efek
obat anti-panik bekerja dalam jangka waktu 2-4 minggu
sehingga meyakinkan pasien agar tetap patuh minum obat
sangatlah penting.
Lamanya pemberian obat anti-panik bisa mencapai 6-12
bulan dan bila sudah tidak terdapat lagi gejala, dosisnya
dapat diturunkan selama 3 bulan hingga pasien tidak
tergantung lagi pada obat. Namun apabila terdapt lagi
serangan, pasien harus memulai lagi pengobatan dari awal.

3. Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis


Semua pasien yang baru saja memakan obat anti-panik tidak
dianjurkan membawa kendaraan atau menjalankan mesin
karena pasien dapat tertidur saat melakukan aktivitas.
Semua ibu hamil tidak dianjurkan memakan obat anti-panik.
Pada manula dan yang menderita gangguan hati serta ginjal,
maka dosis obat anti-panik harus diberikan seminimal
mungkin.

b. Psikoterapi, berupa:
1) Terapi relaksasi, diberikan pada hampir semua individu
yang mengalami gangguan panik, kecuali Ybs menolak.
Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat
serangan panik dan menenangkan individu, namun itu
dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap hari.
Prinsipnya adalah melatih pernapasan (menarik napas
dalam dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat
pula), mengendurkan seluruh otot tubuh dan mensugesti
pikiran ke arah konstruktif atau yang diinginkan akan
dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing
individu melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya
berlangsung seama 20-30 menit atau lebih lama kali.
Setelah itu, individu diminta untuk melakukannya sendiri di

19

rumah setiap hari, sehingga bila serangan panik muncul


kembali, tubuh sudah siap untuk relaksasi.
Selain itu, diberikan pula salah satu dari terapi
kognitif perilaku atau psikoterapi dinamik. Pemilihan jenis
ini berdasarkan kondisi pasien saat itu, motivasi individu,
kepribadiannya, serta tentunya pertimbangan dokter yang
akan melakukan. Kedua jenis terapi ini akan berhasil bila
motivasi pasien tinggi serta bersedia bekerja sama dengan
terapis atau dokternya.
2) Terapi kognitif perilaku
Individu
diajak
untuk
bersama-sama
melakukan
restrukturisasi kognitif, yaitu membenrtuk kembali pola
perilaku dan pikiran yang irasional dan menggantinya
dengan yang lebih rasional. Terapi biasanya berlangsung
30-45 menit. Individu kemudian diberi pekerjaan rumah
yang harus dibuat setiap hari, a.l membuat daftar
pengalaman harian dalam menyikapi pelbagai peristiwa
yang dialami, misal yang mengecewakan, menyedihkan,
dll. Pekerjaan rumah ini akan dibahas pada kunjungan
konsultasi berikutnya.biasanya terapi ini memerlukan 1015 kali pertemuan, bisa kurang namun dapat pula lebih,
tergantung pada kondisi individu yang mengalami.
3) Psikoterapi dinamik
Individu diajak untuk lebih memahami diri dan
kepribadiannya, bukan sekedar menghilangkan gejalanya
semata. Pada psikoterapi ini, biasanya individu lebih
banyak berbicara, sedangkan dokter lebih banyak
mendengar, kecuali pada individu yang benar-benar
pendiam, maka okter yang lebih aktif. Terapi ini
memerlukan waktu panjang, dapat berbulan-bulan, bahkan
bertahun. Hal ini tentu memerlukan kerjasama yang baik
antara individu dengan dokternya, serta kesabaran kedua
belah pihak.
2.8

Prognosis

Penelitian follow up jangka panjang gangguan panik sulit


diinterpretasikan. Namun demikian kira-kira 30-40% pasien
tampaknya bebas dari gejala follow up jangka panjang, kira-kira
50% memiliki gejala yang cukup ringan yang tidak
mempengaruhi kehidupannya secara bermakna dan kira-kira 1021 % terus memiliki gejala yang bermakna. Walaupun gangguan
20

panik merupakan penyakit kronis, namun penderita dengan


fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat
bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.
2.9

Prevalensi dan Rehabilitasi


Pencegahan primer (yaitu bagi yang belum pernah
mengalami gangguan panik), maka harus waspada dalam
keluarganya ada yang mengalami. Menurut penelitian, bila
seseorang pernah mengalami cemas perpisahan (separation
anxiety) ketika pertama sekali masuk sekolah, maka bisa jadi
ketika dewasa mungkin akan mengalami gangguan panik.
Pencegahan sekunder (bila individu pernah mengalami
serangan panik satu kali) dan telah berobat ke dokter, maka
pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kekambuhan
adalah dengan melakukan latihan relaksasi secara teratur dan
terus menerus, datang konsultasi sampai dinyatakan sembuh
oleh dokter.

21

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Gangguan panik merupakan suatu gangguan kejiwaan
yang membutuhkan penanganan jangka panjang.
Wanita 2-3 kali lebih sering terkena daripada laki-laki,
gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda.
Faktor yang berperan dalam etiologi dan patofisiologi
terjadinya gangguan panik, diantaranya faktor biologi,
faktor genetik dan faktor psikososial.
Adapun penatalaksanaan yang dianggap efektif untuk
menanganinya adalah terapi CBT, terapi medikasi SSRI dan
trisiklik sebagai terapi lini pertama dan golongan
benzodiazepin potensi tinggi, MAOI dan obat anti-panik
jenis lain menjadi terapi lini kedua.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira SD, Kusumadewi I. Gangguan Panik. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Psikiatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010; 23540.
2. Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited
on
June
2011].
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview
3. Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January
2005.
[Cited
on
June
2011].
Available
from:
http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1
4. Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder and agoraphobia.
In: Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007. Sec.16.2
5. Greist JH &Jefferson JW. Anxiety disorder. In: Review of
General Psychiatry. 5th Ed. Baltimore: Vishal. 2000. Cp.21.
6. McLean PD & Woody SR. Panic diorder and agoraphobia. In:
Anxiety Disorders in Adults. Vancouver: Oxford University
Press; 2001. Cp.5
7. Maslim R Obat anti-panik. Dalam: Penggunaan Klinis Obat
Psikotropika. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2007.
Hal.52-56

23

You might also like