You are on page 1of 66

PROPOSAL

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KUALITAS HIDUP LANSIA


DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA (PSTW)
SUMATERA BARAT TAHUN 2015

ANDAM DEWI
1104142010192

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes YARSI SUMATERA BARAT
BUKITTINGGI
2015

PROPOSAL

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KUALITAS HIDUP


LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA (PSTW)
SUMATERA BARAT TAHUN 2015
Bidang Ilmu Keperawatan Gerontik

Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)


Pada Program studi S1 Keperawatan
STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi

ANDAM DEWI
1104142010192

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes YARSI SUMBAR
BUKITTINGGI
2015
PERSETUJUAN PEMBIMBING PROPOSAL

Proposal ini telah disetujui


06 Mei 2015

Oleh :

Pembimbing I

Pembimbing II

( Ns. Dewi Kurniawati, S.Kep, MS )

( Ns. Sri Hayulita, S.Kep )

Mengetahui
Ketua Program Studi SI Keperawatan

( Ns. Sri Hayulita, S.Kep )

HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:

Nama

: Andam Dewi

NIM

: 1104142010192

Program Studi
Judul Skripsi

: S1 Keperawatan
: Hubungan Status Gizi dengan Kualitas Hidup Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Sumatera Barat.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan


diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk
memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi S1
Ilmu Keperawatan, STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi.

DEWAN PENGUJI
Pembimbing I

: Ns. Dewi Kurniawati, S.Kep, MS

)
Pembimbing II : Ns. Sri Hayulita, S.Kep

Penguji I

Penguji II

Ditetapkan di
Tanggal

: STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi


:

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena telah
memberi nikmat kesehatan, kekuatan, pikiran yang jernih dan keterbukaan hati
sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian ini yang berjudul
Hubungan Status Gizi Dengan Kualitas Hidup Lansia Di panti Sosial Tresna
Werdha (PSTW) Sumatera Barat Tahun 2015.
Penulisan proposal ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes
Yarsi Sumbar Bukittinggi. Peneliti menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan proposal ini,
sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan proposal ini. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini izinkan peneliti mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ns. Marlina Andriani, S.Kep, M.Kep selaku ketua STIKes Yarsi
Sumbar Bukittinggi.
2. Ibu Ns. Sri Hayulita, S.Kep selaku ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi dan selaku pembimbing
II.
3. Ibu Ns. Dewi Kurniawati, S.Kep, MS selaku pembimbing I yang telah
menyediakan

waktu,

tenaga

dan

fikiran

untuk

mengarahkan,

membimbing dan memberikan masukan sehingga penulis dapat


menyelesaikan proposal ini.
4. Staf STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi yang telah banyak membantu
dalam kelancaran penulisan proposal ini.
5. Bapak/Ibu pimpinan Panti Social Tresna Werdha (PSTW) di Sumatera
Barat.
6. Teristimewa penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, kakak,
adik-adik serta keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral
maupun materil dan telah memberikan dorongan dan motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan proposal ini.
7. Semua sahabat dan rekan-rekan yang namanya tidak dapat disebutkan
satu persatu serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan proposal ini.

Akhir kata peneliti berharap Allah Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Peneliti juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan dimasa yang akan datang. Semoga
proposal ini membawa manfaat bagi kita semua dan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pendidikan.
Bukittinggi, Mei 2015

Peneliti

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING PROPOSAL...................................ii

HALAMAN PENGESAHAN................................................................iii
KATA PENGANTAR.iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR.............................................................................viii
DAFTAR TABELix
DAFTAR LAMPIRAN x
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang..................................................................................1
Rumusan Masalah............................................................................7
Tujuan Penelitian..............................................................................7
Manfaat Penelitian...........................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D.

A. Lanjut Usia
1. Defenisi lansia..............................................................................9
2. Batasan lansia ..............................................................................9
3. Teori penuaan ..............................................................................9
4. Proses penuaan .........................................................................13
5. Fakto-faktor yang mempengaruhi penuaan ...............................13
6. Perubahan yang terjadi pada lansia............................................14
7. Penyakit yang sering menyertai lansia ......................................18
B. Status Gizi
1. Pengertian status gizi.................................................................19
2. Klasifkasi status gizi..................................................................20
3. Faktor yang mempengaruhi status gizi......................................20
4. Penentuan status gizi..................................................................22
5. Masalah gizi pada lansia............................................................31
C. Kualitas Hidup
1. Defenisi kualitas hidup..............................................................33
2. Klasifikasi kualitas hidup...........................................................34
3. Dimensi kualitas hidup..............................................................34
4. Pengukuran kualitas hidup.........................................................37
5. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup................................39
Kerangka Teori............ modifikasi..........................................................41
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Kerangka konsep ............................................................................44

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.

Jenis penelitian...............................................................................45
Lokasi dan waktu penelitian...........................................................45
Populasi dan sampel.......................................................................45
Kriteria inklusi dan ekslusi.............................................................48
Defenisi operasional.......................................................................49
Instrument penelitian......................................................................49
Uji validitas dan reliabilitas............................................................51
Etika penelitian...............................................................................52
Metoda pengumpulan data..............................................................52
Teknik pengolahan data..................................................................54
Analisa data....................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................56

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Indeks Massa Tubuh (IMT). ....................................................26
Tabel 4.1 Definisi Operasional.................................................................49
Tabel 4.2 Instrument Kualitas Hidup.......................................................50

DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Kerangka Teori.......................................................................43
Skema 3.1 Kerangka Konsep...................................................................44
Skema 4.1 Prosedur Penelitian.................................................................53

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Ghanchart proposal
Lampiran 2 : Curriculum Vitae
Lampiran 3 : Lembar Konsul Penelitian
Lampiran 4 : Surat Izin Pengambilan Data

Lampiran 5 : Surat Permohonan Menjadi Responden


Lampiran 6 : Informed Consent
Lampiran 7 : Kuesioner Penelitian
Lampiran 8 : Hasil G* Power

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program pembangunan nasional yang telah dijalankan mampu menghasilkan
kondisi sosial masyarakat yang semakin baik dan usia harapan hidup yang makin
tinggi. Dampak positif dari program pembangunan nasional dapat dilihat dari
meningkatannya derajat kesehatan dan meningkatnya kualitas hidup masyarakat

yang akan terlihat pada peningkatan jumlah penduduk lanjut usia (Kemenkes,
2013).
Global Health and Aging (2012) mencatat, jumlah penduduk lanjut usia di
dunia pada tahun 2010 ada sekitar 524 juta jiwa, tahun 2012 terdapat 600 juta
jiwa lansia di seluruh dunia dan tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 1,2
miliyar orang, jumlah ini diperkirakan akan meningkat mencapai 1,5 sampai 2
milliyar jiwa pada tahun 2050. Hasil sensus penduduk pada tahun 2010 mencatat
negara dengan jumlah lansia paling banyak di dunia adalah China (194 juta jiwa),
India (59 juta jiwa), Amerika Serikat (39,4 juta jiwa), dan Indonesia dengan
jumlah lansia sebanyak (24 juta jiwa), sehingga membuat Indonesia berada pada
posisi keempat dengan jumlah lansia terbanyak di dunia (Sunartyaningsih, 2012).
Kawasan Asia Tenggara (ASEAN), penduduk dengan usia 60 tahun ke atas
terdapat sebanyak 142 juta jiwa atau 8% dari total keseluruhan penduduk, dan
diperkirakan akan terus meningkat hingga 3 kali lipat di tahun 2050. Peningkatan
jumlah populasi lansia ini

terjadi di beberapa negara ASEAN diantaranya

Malaysia, Thailand, Singapura dan Indonesia (Global Health and Aging , 2012).
Hasil estimasi tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia
tercatat sebesar 248.422.956 jiwa dan 12.553.221 jiwa diantaranya adalah
penduduk lansia. Pada tahun 2005 terdapat sebanyak 19,9 juta jiwa lansia (8,48%),
sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 24 juta jiwa (9.77%), kemudian di
tahun 2020 diprediksikan akan menjadi 28,8 juta jiwa (11,34%) dari total jumlah
penduduk. Jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan lebih besar lagi

pada tahun 2050 yaitu sebanyak 73,6 juta jiwa (21,4%). Peningkatan penduduk
lanjut usia ini dapat dilihat dari berbagai provinsi di Indonesia.
Propinsi di Indonesia sebagian besar mengalami peningkatan jumlah lansia
diantaranya, di Yogyakarta (13,4%), Jawa Timur (10,40%), kemudian

Jawa

Tengah (10,34%), di ikuti oleh Bali (9,78%), Sulawesi Utara (8,45%), Sulawesi
Selatan (8,34%) dan Sumatera Barat menempati urutan ke 7 dengan presentase
sebesar 8,09% dari semua total penduduk lansia di Indonesia (Buletin Lansia,
2013). Sedangkan di provinsi Sumatera Barat sendiri terjadi peningkatan jumlah
lanjut usia dari tahun ketahun. Hal ini terbukti dengan meningkatnya presentase
lanjut usia dari 8,11% pada tahun 2010, diprediksi menjadi 8,77%, pada tahun
2015 dan angka ini terus meningkat mencapai 13,94% pada tahun 2035.
Meningkatnya jumlah lansia dari tahun ketahun, menuntut perhatian yang
makin besar terhadap kelompok lansia, salah satunya adalah terkait dengan
masalah gizi. Menurut Sharkey (2002), kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah
ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi lansia karena dapat
mengakibatkan

keterbatasan

dalam

aktivitas

fisik

yang

menyebabkan

ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, menurunkan daya tahan tubuh


lansia terhadap penyakit, yang akan memperburuk masalah medis pada lansia yang
berdampak pada penurunan kualitas hidup lansia (Nugroho, 2008).
World health organization Quality of life (WHOQOL) mendefenisikan
kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap kehidupannya di masyarakat
dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan,
harapan, standar, dan perhatian. Kualitas hidup merupakan suatu konsep yang

sangat luas yang dipengaruhi kondisi fisik individu, psikologis, tingkat


kemandirian, serta hubungan sosial individu dengan lingkungan (Reno, 2012).
Menurut Yani (2010), gambaran kualitas hidup lansia yang berada di panti
sosial tresna werdha (PSTW) Jawa Baru Kabupaten Garut, yang di ukur dengan
kuesioner WHOQOL-BREF, yaitu sebanyak 62% lansia yang tinggal di panti
menunjukkan kualitas hidup yang rendah dan 38% lansia dengan kualitas hidup
yang baik sedangkan sebanyak 55% lansia yang tinggal di rumah menunjukkan
kualitas hidup yang baik dan 45 % lansia menunjukkan kualitas hidup yang
rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup lansia yang tinggal di PSTW
masih rendah.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Oktariani (2012), didapatkan
gambaran status gizi lansia yang berada dipanti sosial tresna werdha Budi Mulya
01 dan 03 Jakarta Timur yang di ukur dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) sebanyak
33,6% lansia mengalami gizi kurang, sedangkan gizi lansia yang diukur dengan
menggunakan Mini Nutritional Assessment (MNA) didapatkan 52,4% lansia
malnutrisi dan membutuhkan pengkajian lebih lanjut. Penelitian yang sama
dilakukan oleh Ismayanti dan Solikhah pada tahun 2012 di panti sosial tresna
werdha Yogyakarta, didapatkan gambaran status gizi dari 53 responden yang
diteliti didapatkan sebanyak 33 responden (62,3%) memiliki status gizi yang tidak
baik, dan hanya 22 responden (37%) memiliki status gizi baik. Dapat disimpulkan
bahwa gambaran status gizi lansia yang berada di PSTW secara umum mengalami
masalah gizi kurang atau beresiko untuk terjadinya malnutrisi.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan di PSTW


dan lembaga sosial masyarakat Karang Lansia (KL) Sejahtera di Kalimantan
selatan oleh Norhasanah (2015), didapatkan bahwa lansia yang tinggal di PSTW
lebih beresiko mengalami status gizi overweight dan status gizi sangat gemuk,
karena lansia yang berda di PSTW mudah dalam mendapatkan akses makanan
karena sudah disediakan oleh pihak panti, sedangkan lansia yang berada di KL
tidak ada petugas yang menyediakan makanannya.

Dimana presentase lansia

dengan status gizi overweight yang berada di PSTW yaitu sebesar 16% dan 11,4%
lansia yang tinggal di lembaga social masyarakat Karang Lansia (KL) Sejahtera.
Sedangkan lansia dengan status gizi sangat gemuk didapatkan 12% yang berada di
PSTW dan lansia yang tinggal di KL hanya 2,9%.
Penelitian yang dilakukan oleh Aliabadi (2008) di Iran menunjukan bahwa
status gizi lansia berpengaruh terhadap kualitas hidup. Dilaporkan bahwa lansia
yang mengalami malnutrisi akan mengakibatkan peningkatan morbiditas,
mortalitas, dan penurunan kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Burhan
(2013), di Makasar tentang hubungan care giver terhadap status gizi dan kualitas
hidup yang dilakukan dengan IMT dan kualitas hidup dengan WHOQOL-BREF,
dari 71 orang responden yang dilakukan penelitian didapatkan status gizi lansia
yang dikategorikan kurang dengan IMT sebanyak 86,7% dan 54,8% memiliki
kualitas hidup buruk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aliabadi (2008)
dan Burhan (2013) dapat disimpulkan bahwa status gizi pada lansia memiliki
pengaruh terhadap kualitas hidup lansia, dimana seorang lansia yang memiliki
status gizi yang dikategorikan buruk memiliki kualitas hidup yang buruk dan

sebaliknya lansia yang dikategorikan status gizi yang baik akan memiliki kualitas
hidup yang baik.
Penelitian yang sejalan dengan penelitian diatas yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Yuniarti (2013) di Makassar, dari 100 orang responden lansia,
didapatkan hasil 78 responden (87,5%) beresiko terjadinya malnutrisi memiliki
kualitas hidup kurang dan 8 responden (12,5%) memiliki kualitas hidup baik.
Sedangkan untuk kategori malnutrisi didapatkan sebanyak 22 responden (84,62%)
memiliki kualitas hidup kurang, dan 4 orang responden (15,38%) memiliki
kualitas hidup baik. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan status gizi dengan
kualitas hidup, yang dapat dilihat dari lansia yang beresiko terjadinya malnutrisi
dan status malnutrisi memiliki kualitas hidup yang kurang.
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Sabai Nan Aluih Sicincin dan Kasih
Sayang Ibu di Batusangkar merupakan tempat untuk merawat lansia terlantar yang
berada dibawah naungan dinas sosial Sumatera Barat. Lansia yang tinggal di
PSTW lebih berisiko terjadinya malnutrisi, karena lansia yang berada di PSTW
mereka mendapatkan makanan dari pihak panti, bagi pihak panti mereka tidak ada
membedakan jumlah asupan makanan bagi lansia perempuan maupun laki-laki.
Lansia di PSTW juga lebih berisiko terjadinya stress dibandingkan dengan lansia
yang tinggal dengan keluarga, kerena lansia yang tinggal di PSTW mereka banyak
yang teringat akan anak maupun keluarga mereka yang menelantarkan mereka
yang menyebabkan mereka malas untuk makan dimana akan berdampak pada
status gizi mereka. Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan di dua PSTW
ini pada tanggal 6 & 16 maret 2015, didapatkan data lansia yang berada di dua

PSTW ini berjumlah 180 orang lansia, yang terdiri dari 105 orang laki-laki dan 75
orang perempuan, yang berasal dari kabupaten / kota di Sumatera Barat. Hasil
wawancara yang peneliti lakukan dengan kedua kepala PSTW ini didapatkan
bahwa dalam pemenuhan gizi lansia dilaksanakan pemberian makanan dan minum
sebanyak 3x sehari, serta pemberian makanan tambahan seperti kue-kuean, buahbuahan dan susu. Hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan 5 orang lansia
yang berada di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin dan 5 orang lansia yang berada
PSTW Kasih Sayang Ibu Batu sangkar, didapatkan sebanyak 4 orang lansia yang
berada di PSTW Sicincin dan 3 orang lansia yang berada di PSTW Batusangkar,
mereka mengeluhkan susah dalam mengunyah makanan akibat gigi mereka yang
sudah banyak yang tanggal, lansia juga mengeluhkan nafsu makan berkurang yang
tidak diketahui oleh mereka penyebabnya tetapi sebagian mereka mengatakan
karena menu yang disediakan oleh PSTW tidak berubah yang menyebabkan
mereka bosan dengan makanan yang disediakan oleh pihak PSTW. Hasil
wawancara peneliti dengan beberapa lansia di PSTW mereka mengatakan kesepian
karena mereka beranggapan bahwa keluarga mereka tidak peduli dengan mereka
serta kurangnya aktivitas mereka di PSTW juga menyebabkan mereka teringat
akan keluarga mereka. Lansia juga mengatakan karena mereka sudah tua jadi
mereka beranggapan mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
Berdasarkan data diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
hubungan antara status gizi dengan kualitas hidup lansia di PSTW Kasih Sayang
Ibu Batusangkar dan Sabai Nan Aluih Sicincin Sumatera Barat tahun 2015.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan


masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara status gizi
dengan kualitas hidup pada lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar dan
Sabai Nan Aluih Sicincin tahun 2015.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan status gizi dengan kualitas hidup pada lansia di
PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar dan Sabai Nan Aluih Sicincin tahun
2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran status gizi lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu
Batusangkar dan Sabai Nan Aluih Sicincin tahun 2015
b. Diketahuinya gambaran kualitas hidup lansia yang berada di PSTW
Kasih Sayang Ibu Batusangkar dan Sabai Nan Aluih Sicincin tahun
2015
c. Diketahuinya hubungan status gizi dengan kualitas hidup pada lansia
di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar dan Sabai Nan Aluih Sicincin
tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) di Sumatera Barat
Sebagai bahan masukan dalam menangani dan merawat lansia yang
mengalami masalah dalam gizi dan kualitas hidup.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan profesionalisme
dan mutu pelayanan keperawatan, khususnya keperawatan gerontik.
3. Bagi Peneliti / Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti lain
sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut,
terutama yang terkait dengan masalah gizi pada lansia dan kualitas
hidup pada lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANJUT USIA
1. Pengertian Lanjut Usia
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai sejak pemulaan
kehidupan. Pada usia tua seseorang mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mulai mengendur, rambut
yang mulai memutih, gigi yang mulai ompong, pendengaran yang mulai
berkurang, penglihatan yang semakin memburuk (Nugroho, 2008).
2. Batasan Lansia
Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia terbagi dalam dua tahap:
a. Early old age (usia 60-70 tahun)
b. Advanced old age (usia 70 tahun keatas) (Nugroho, 2008).
3. Teori Penuaan
Menua (aging) merupakan suatu proses yang harus terjadi secara umum
pada seluruh spesies secara progresif seiring waktu yang menghasilkan

perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan


suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

Beberapa teori menua menurut Darmojo (2004) antara lain:


a. Teori berdasarkan sistem organ (organ system based theory)
Teori ini berdasarkan atas dugaan adanya hambatan dari organ
tertentu dalam tubuh yang akan menyebabkan terjadinya proses penuaan.
Penurunan sistem imun menimbulkan peningkatan insiden penyakit
infeksi pada lansia. Teori ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan usia
berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit.
b. Teori kekebalan tubuh (breakdown theory)
Teori ini memandang proses penuaan terjadi akibat adanya
penurunan sistem kekebalan secara bertahap, sehingga tubuh tidak dapat
lagi mempertahankan diri terhadap luka, penyakit, ataupun sel asing. Hal
ini terjadi karena hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjer timus
yang mengontrol sistem kekebalan tubuh telah menghilang seiring
bertambahnya usia.
c. Teori kekebalan (autoimmunity)
Teori ini menekankan tubuh lansia yang mengalami penuaan sudah
tidak dapat lagi membedakan antara sel normal dan sel tidak normal, dan
muncul antibodi yang menyerang keduanya yang pada akhirnya
menyerang jaringan itu sendiri.

d. Teori fisiologik
Teori ini menjelaskan proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap
stress. Stress dapat berasal dari dalam maupun luar, dapat bersifat fisik,
psikologik maupun sosial.
e. Teori psikososial
Teori ini mnejelaskan bagaimana seorang yang makin bertambah
umurnya maka ia semakin memperhatikan dirinya dan kehidupan, dan
kurang memperhatikan peristiwa dan isu-isu yang sedang terjadi.
f. Teori kontuinitas
Teori ini merupakan gabungan antara teori pelepasan ikatan dan teori
aktivitas. Perubahan diri lansia dipengaruhi oleh tipe kepribadiannya.
Seorang yang dahulunya sukses pada lanjut usia akan tetap berinteraksi
dengan lingkungan serta tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya
karena memiliki tipe kepribadian yang aktif dalam kegiatan sosial.
g. Teori sosiologik
Teori ini merupakan teori sosial yang menerangkan menurunnya
sumber daya dan meningkatkan keadaan sosial yang tidak merata dan
menurunnya

sistem

penunjang

sosial.

Teori

pelepasan

ikatan

(disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi


penurunan partisipasi kedalam masyarakat karena terjadi proses pelepasan
ikatan dan penarikan diri secara pelan-pelan dari sosialnya.

h. Teori aktivitas
Teori ini berlawanan dengan teori pelepasan ikatan, karena teori
aktivitas menjelaskan bahwa lansia sukses adalah lansia yang aktif dan
ikut dalam kegiatan sosial.
i. Teori penuaan yang ditinjau dari sudut biologis
Teori ini dulunya dikaitkan dengan organ tubuh. Akan tetapi kini
proses penuaan biologis ini dihubungkan dengan perubahan dalam sel-sel
tubuh yang disebabkan oleh:
1) Memiliki batas maksimum untuk membela diri sebelum mati
2) Setiap spesies mempunyai karakteristik dan masa hidup yang
berbeda
3) Penurunan fungsi dan efisiensi selular terjadi sebelum sel mampu
membelah diri secara maksimal.
Teori biologi terdiri dari :
a) Teori error catastrophe
Teori ini menjelaskan bahwa proses penuaan terjadi akibat
kesalahan susunan asam amino dalam protein tubuh yang
mempengaruhi sifat khusus enzim untuk sintesis protein,
sehingga terjadi kerusakan sel dan mempercepat kematian sel.
b) Teori pesan yang berlebih-lebihan (redundant message)
Teori ini menyebutkan bahwa proses penuaan terjadi akibat
DNA yang berisi pesan yang berulang-ulang atau berlebihlebihan yang dimiliki oleh manuasia.

c) Teori imunologi
Teori ini menekankan bahwa lansia mengalami pengurangan
kemampuan mengenali diri sendiri dan sel-sel asing atau
pengganggu, sehingga tubuh tidak dapat membedakan sel-sel
normal atau tidak normal, yang mengakibatkan antibody
menyerang kedua jenis sel tersebut sehingga muncul penyakitpenyakit degeneratif.
4. Proses Penuaan
Penuaan merupakan proses menghilangnya kemampuan jaringan secara
perlahan untuk memperbaiki diri, menggantikan dan mempertahankan fungsi
normalnya dan rentan terhadap penyakit dan tidak dapat memperbaiki
kerusakan yang dideritanya (Darmojo, 2004). Proses penuaan merupakan
akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan fisiologis tubuh seiring
berjalannya waktu. Pada akhirnya proses penuaan mengakibatkan penurunan
kondisi anatomis dan sel terjadi akibat penumpukan metabolisme yang terjadi
didalam sel. Metabolisme yang menumpuk tersebut bersifat racun terhadap sel
sehingga bentuk dan komposisi pembangun sel akan mengalami perubahan
(Nugroho, 2008).
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan
a. Faktor Endogenik (Endogenic Aging)
Faktor ini dimulai dengan menuanya sel-sel tubuh, jaringan tubuh, dan
anatomi tubuh kearah proses menuanya organ tubuh antara lain:
1) Kerusakan sistem imun
2) Kerusakan sel, jaringan, dan organ tubuh akibat radikal bebas

3) Kehilangan gigi
4) Penurunan fungsi indera tubuh
5) Menurunnya cairan dan enzim saluran cerna
6) Mengecilnya jantung dan penebalan katub jantung
7) Berkurangnya

elastisitas

paru-paru

sehingga

kemampuan

menghirup O2 dan mengeluarkan CO2 berkurang


8) Penurunan fungsi ginjal sehingga garam dan gula darah
menumpuk
9) Penurunan hormon-hormon insulin dan reproduksi
10) Penurunan kemampuan sel-sel saraf di otak
11) Kerusakan jaringan tulang yang akan menyebabkan kerapuhan
tulang (Fatmah, 2010).
b. Faktor Eksogenik (Exogenic Factor)
Proses penuaan yang disebabkan oleh lingkungan dimana seseorang
hidup dan faktor sosial budaya yang paling tepat disebut gaya hidup.
Faktor menua yang eksogenik kini lebih dikenal dengan sebutan faktor
resiko, antara lain riwayat keluarga, etnis, kebiasaan merokok, penyakit
yang diderita sebelumnya (diabetes melitus, penyakit kardiovaskuler,
hipertensi, anemia), kemiskinan, serta kebiasaan mengkonsumsi alkohol
dan obat terlarang atau narkoba (Fatmah, 2010).

6. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Perubahan secara anatomi dan fisiologi pada lansia yang dapat


mempengaruhi status gizi lansia diantaranya:
a. Indera Perasa Dan Penciuman
Menurut Bromley tahun 2000, indera perasa dan penciuman
mempengaruhi seseorang dalam menikmati makanan. Kemampuan
penciuman seseorang tergantung pada persepsi odorants (bau-bauan) dari
sel sensori dalam mukosa olfaktori dan proses dari sistem saraf pusat.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi

penurunan indera penciuman

adalah merokok, kekurangan vitamin B12, terapi pengobatan, infeksi


pada mulut, penyakit pada sistem pernafasan atas seperti sinusitis,
penyakit sistemik seperti dimensia dan diabetes (Oktariani, 2010)
b. Saluran Gastrointerstinal
Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam
saluran gastrointerstinal yaitu:
1) Rongga mulut
Menurut Meyner tahun 2006, lansia mengalami penurunan fungsi
fisiologis pada rongga mulut sehingga mempengaruhi proses
mekanisme makanan. Perubahan dalam rongga mulut yang terjadi
pada lansia mencakup tanggalnya gigi, mulut yang kering, dan
penurunan mortilitas esophagus. Banyaknya gigi yang tanggal, serta
terjadinya

kerusakan

gusi

karena

proses

degenerasi

akan

mempengaruhi proses pengunyahan makanan (Fatmah, 2010).


Tanggalnya gigi bukan suatu konsekuensi dasar dari proses penuaan,
banyak lansia yang mengalami penanggalan gigi akibat hilangnya
tulang penyokong pada permukaan periosteal dan periodontal.
Hilangnya sokongan tulang ini juga turut berperan terhadap

kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan penyediaan sokongan gigi


yang adekuat dan stabil pada usia lebih lanjut (Stanley, 2006).
Kelenjer saliva juga mulai sukar disekresi yang mempengaruhi
proses perubahan karbohidrat kompleks menjadi disakarida karena
enzim pitialin yang menurun. Fungsi lidah sebagai pelicin makanan
pun berkurang sehingga proses menelan menjadi sulit (Fatmah,
2010).
2) Faring dan Esofagus
Banyak lansia yang mengalami kelemahan otot polos sehingga
proses menelan menjadi sulit. Motilitas esofagus tetap normal
meskipun esofagus mengalami sedikit dilatasi seiring penuaan.
Spingter esofagus bagian bawah kehilangan tonus, reflex juga
melemah pada lansia, sehingga meningkatkan risiko aspirasi pada
lansia (Stenley, 2006).
3) Lambung
Perubahan yang terjadi pada lambung adalah atrofi mukosa. Atrofi
sel kelenjar, sel parietal akan menyebabkan berkurangnya sekresi
asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik lainnya. Asam lambung
yang berkurang menyebabkan rasa lapar juga berkurang. Ukuran
lambung pada lansia juga mengecil sehingga daya tampung makanan
pada lambung juga berkurang. Selain itu, perubahan protein menjadi
pepton juga terganggu (Fatmah, 2010). Menurut Meyner (2006),
perubahan PH pada saluran gastrointerstinal dapat menyebabkan
malabsorbsi vitamin B. Produksi sekresi asam lambung dan pepsin

yang berkurang pada lansia dapat menyebabkan penyerapan zat besi


dan vitamin B12 menurun (Arisman, 2010)
4) Usus halus
Menurut Miller (2004), perubahan yang terjadi pada usus halus
akibat proses penuaan adalah atrofi dari otot dan permukaan mukosa,
pengurangan jumlah titik-titik limfatik, pengurangan berat usus
halus, pemendekan dan pelebaran vili sehingga menurunkan proses
absorbsi.

Perubahan

struktur

ini

tidak

secara

signifikan

mempengaruhi motilitas, permeabilitas atau waktu transit usus halus.


Perubahan ini dapat mempengaruhi fungsi imun dan absorbsi dari
beberapa nutrisi seperti kalsium dan vitamn D.
5) Hati dan Pangkreas
Setelah usia 70 tahun, ukuran hati dan pangkreas akan mengecil,
terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan mensitesis protein dan
enzim-enzim pencernaan. Hati memegang peranan penting dalam
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu, hati juga
memengang peranan besar dalam proses detoksifikasi, sirkulasi,
penyimpanan vitamin, dan konjugasi bilirubin (Stanley, 2006).
6) Usus besar dan Rektum
Pada lansia perubahan yang terjadi di usus besar dan rectum
mencakup penurunan sekresi mukus, penurunan elastisitas dinding
rektum dan penurunan persepsi distensi pada dinding rektum.
Perubahan ini memiliki sedikit hubungan dengan motalitas dari feses
saat buang air besar, tetapi ini merupakan predisposisi konstipasi
pada lansia karena volume rectal yang bertambah. Selain itu, proses
defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen

juga sering tidak efektif karena dinding abdomen pada lansia juga
mengalami kelemahan (Fatmah, 2010).
7. Penyakit Yang Sering Menyertai Lansia
a. Anemia
Anemia merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh
lansia, anemia didefenisikan sebagai keadaan dimana kadar Hb rendah
karena kondisi patologis. Anemia merupakan keadaan menurunya kadar
hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah lebih dari nilai normal
sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan
yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut
(Fatmah, 2010). Menurut Jones (1995) gejala yang sering ditimbulkan
akibat anemia adalah tubuh terasa lemah, cepat lelah, sakit kepala,
penglihatan berkunang-kunang, anoreksia, dan nausea. Selain itu pada
jantung akan terasa berdebar-debar, denyut nadi menjadi cepat, dan nafas
menjadi pendek. Gejala yang ditimbulkan pada jantung lebih sering
dikeluhkan oleh lansia yang menderita anemia karena adanya penyakit
vascular degenerative (Fatmah, 2010). Pada lansia anemia merupakan
kondisi yang berbahaya, karena secara alami lansia juga mengalami
penurunan kemapuan fungsi organ dan metabolisme.

b. Penyakit Jantung Koroner


Menurut WHO penyakit jantung koroner merupakan gangguan
kesehatan akibat ketidakmampuan jantung yang bersifat akut, maupun

kronis, disebabkan oleh berkurangnya suplai darah ke miokardium dan


ada kaitanya dengan kelainan pada sistem arteri koronaria.
c. Osteoporosis
Menurut

International

Osteoporosis

Foundation

tahun

2007,

mendefenisikan osteoporosis suatu keadaaan yang ditandai dengan


penurunan densitas yang cepat dan penipisan jaringan tulang. Dalam
proses penuaan, lansia membutuhkan kalsium yang cukup untuk
mencegah terjadinya osteoporosis. Menurut Rizzoli (2006), kalsium
berperan dalam pemeliharaan jaringan tulang selama masa dewasa,
khususnya lansia. Pada lansia terjadi perubahan yang mengarah pada
keseimbangan negatif kalsium (Fatmah, 2010).

B. STATUS GIZI
1. Pengertian Status Gizi
Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan
yang masuk kedalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tersebut.
Oleh karena itu status gizi sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang berasal
dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat tersebut setiap hari
(Supariasa, 2001).
2. Klasifikasi Status Gizi
Klasifikasi status gizi menurut Mini Nutritional Assessment (MNA)

a. Gizi baik
b. Resiko Malnutrisi
c. Malnutrisi (Guigoz, 2006)
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
Masalah gizi yang dihadapi lansia berkaitan erat dengan penurunan
aktivitas fisiologi tubuhnya. Konsumsi pangan yang kurang seimbang akan
memperburuk kondisi lansia yang secara alami memang sudah menurun.
Dibandingkan dengan usia dewasa, kebutuhan gizi lansia umumnya lebih
rendah karena adanya penurunan metabolisme basal dan kemunduran lainnya.
a. Usia
Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak
menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin, dan mineral meningkat
karena ketiganya berfungsi sebagai antioksi dan untuk melindungi sel-sel
tubuh dari radikal bebas.
b. Jenis Kelamin
Dibandingkan dengan lansia wanita, lansia pria lebih banyak
memerlukan kalori, protein, dan lemak. Ini disebabkan karena perbedaan
tingkat aktivitas fisik.
c. Faktor Lingkungan
Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi
karena pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia
merasa terisolasi dari kehidupan sosial dan mengalami depresi.
Akibatnya, lansia mengalami kehilangan nafsu makan yang berdampak
pada penurunan status gizi lansia.

d. Penurunan Aktivitas Fisik


Menurut Garrow (2000), semakin bertambahnya usia seseorang,
maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait
dengan penurunan kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah. Pada
lansia aktivitas fisik menurun, asupan energi harus dikurangi untuk
mencapai keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas, karena
salah satu faktor, yang menetukan berat badan seseorang adalah
keseimbangan antara masukan energi dan keluaran energi.
e. Perubahan Fisiologi Tubuh Akibat Penuaan
1) Perubahan hormon
Pertambahan usia menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas
hormon kolesitokinin (CCK) yaitu hormon yang mengontrol asupan
makanan.
2) Penurunan fungsi gastrointestinal
Penurunan fungsi gastrointestinal yang pada lansia berupa:
tanggalnya gigi yang mempengaruhi kenyamanan untuk makan,
penurunan sensitivitas indera penciuman, dan perasa yang dapat
menurunkan selera makan.
3) Perubahan komposisi tubuh
terhadap penurunan mobilitas dan resiko terjatuh pada lansia. Pada
lansia terlihat adanya penurunan massa tubuh tanpa lemak dan
peningkatan lemak tubuh. Sebagian besar massa tubuh tanpa lemak

disusun oleh otot. Penurunan masa otot selama proses menua


berkontribusi
4) Penyakit
Jika seorang lansia memiliki penyakit degenaratif, maka asupan
gizinya sangat penting untuk diperhatikan, serta disesuaikan dengan
ketersediaan dan kebutuhan zat gizi dalam tubuh lansia.
5) Pengobatan
Pengobatan yang sedang dijalani oleh lansia dapat mempengaruhi
kebutuhan lansia akan zat gizi.
4. Penentuan Status Gizi
Status gizi pada seseorang dapat dilakukan dengan membandingkan hasil
yang didapat dari pemeriksaan dan membandingkan dengan nilai standar yang
ada. Khusus untuk lansia dalam menetukan status gizi dapat dilakukan dengan
form skrining Mini Nutrition Assessment (MNA) (Fatmah, 2010).
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi
yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia mempunyai resiko
mangalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita atau perawatan dirumah
sakit. MNA saat ini digunakan untuk menilai status gizi orang lanjut usia di
klinik, panti jompo, dan rumah sakit (Oliveira, 2009).
Kuesioner MNA ini meliputi wawancara dan pengamatan mengenai berat
badan dan perubahan berat badan dalam 3 bulan terakhir, ada tidaknya
gangguan gastrointerstinal, ada tidaknya gangguan fungsional, status
metabolik dari penyakit, dan edema. MNA mempunyai dua bagian besar yaitu

screening dan assessment, dimana penjumlahan semua skor akan menentukan


seorang lansia pada status gizi baik, beresiko malnutrisi dan malnutrisi
(Darmojo, 2010).
MNA merupakan alat yang telah divalidasi secara khusus untuk lansia,
memiliki sensitivitas yang tinggi, spesifik, dapat diandalkan, secara luas dapat
digunakan sebagai metoda skrining dan telah direkomendasikan oleh
organisasi ilmiah dan klinis baik nasional maupun internasional. MNA metoda
yang banyak digunakan karena sangat sederhana, biaya yang rendah, mudah
dalam pelaksanaannya dan metoda non invasive yang dapat dilakukan
disamping tempat tidur, MNA juga mudah dan cepat untuk digunakan, tidak
memerlukan waktu yang lama untuk menjawab pertanyaan yang ada, tidak
membutuhkan

pelatihan

khusus,

tidak

membutuhkan

pemeriksaan

laboratorium (Oktariani, 2012).


MNA memiliki dua bentuk yaitu full MNA dan short form MNA.
Pertama, full MNA mencakup 18 item yang dikelompokkan kedalam 4
bagian, yaitu pengkajian antropometri (IMT yang dihitung dari berat badan
dan tinggi badan, kehilangan berat badan, lingkar lengan atas, dan lingkar
betis), pengkajian umum (gaya hidup, obat-obatan, mobilisasi dan adanya
tanda depresi atau demensia), pengkajian pola makan/diet (jumlah makanan,
asupan makanan dan cairan serta kemandirian dalam makan) dan pengkajian
subjektif (persepsi individu dari kesehatan dan status gizinya) (Guigoz, 2006).
Full MNA ini dapat dilengkapi dalam waktu 15 menit dan masing-masing
jawaban memiliki nilai yang akan mempengaruhi nilai akhir, dimana nilai

maksimun adalah 30. Batas nilai ambang full MNA ini adalah nilai 24
mengindikasikan

nutrisi baik, nilai 17 23,5 mengindikasikan resiko

malnutrisi, dan < 17 mengindikasikan malnutrisi (Guigoz, 2006).


Bentuk kedua dari The mini Nutritional Assessment adalah short form
MNA. short form MNA telah dikembangkan dan divalidasi untuk
memungkinkan 2 proses skrining pada populasi yang beresiko yang
mempertahankan validitas dan akurasi full MNA (Guigoz, 2006). Menurut
Rubenstein tahun 2001, short form MNA dapat mengidentifikasi seseorang
dengan malnutrisi dalam dua tahap proses, saat seseorang diidentifikasi
beresiko menggunakan short form MNA, maka diberikan pengkajian lebih
lanjut untuk mengkonfirmasi diagnosa dan penetapan rencana intervensi
selanjutnya (Oktariani, 2012). Short form MNA terdiri dari 6 pertanyaan
berupa skrining dimana masing-masing pertanyaan memiliki nlai yang
berbeda-beda untuk setiap jawaban. Setelah mendapatkan nilai dari setiap
pertanyaan maka nilai tersebut dijumlahkan. Nilai maksimal dari short form
MNA adalah 14. Jika total nilai yang didapatkan 12 menunjukkan bahwa
sttaus gizi seseorang normal atau tidak beresiko dan tidak membutuhkan
pengkajian lebih lanjut, sedangkan jika nilai yang didapatkan 11
menunjukkan bahwa kondisi orang tersebut mungkin malnutrisi dan
membutuhkan pengkajian lebih lanjut dengan melengkapi full form MNA
(Guigoz, 2006).
Kuesioner MNA mencakup 4 kompenen pengkajian :
a. Pengukuran Antropometri

Antropometri adalah serangkaian teknik pengukuran dimensi


kerangka tubuh manusia secara kuantitatif. Antropometri seringkali
digunakan sebagai perangkat pengukuran antropologi biologi yang
bersifat cukup objektif dan terpecaya. Perubahan komposisi tubuh yang
terjadi pada pria dan wanita yang bervariasi sesuai tahap penuaan, dapat
mempengaruhi antropometri. Pengukuran antropometri yang dapat
digunakan pada lansia untuk menentukan status gizi pada lansia meliputi
tinggi badan (TB), berat badan (BB), tinggi lutut (knee high) (TL), lingkar
betis (LB), dan lingkar lengan atas (LLA) (Fatmah. 2010).
Menurut Chumlea (1984), Faktor genetik, ras, serta lingkungan
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan tinggi
badan seseorang. Faktor-faktor non patologis yang mempengaruhi
distribusi karakteristik antropometri antara lain usia, jenis kelamin, daerah
geografi atau etnis (Fatmah, 2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan
pada lansia adalah sebagai berikut:
Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)
merupakan alat ukur yang sering digunakan untuk mengetahui
kekurangan dan kelebihan berat badan seseorang. Mempertahankan berat
badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan
hidup lebih panjang. IMT juga merupakan sebuah ukuran berat badan
terhadap tinggi badan yang umumnya digunakan untuk menggolongkan
orang dewasa kedalam kategori Underweight (kekurangan berat badan),

Overweight (kelebihan berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus


untuk menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam
kilogram dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m 2) (Fatmah,
2010).
Rumus IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m)2
Tabel 2.1 Penilaian status gizi lansia menurut Departemen Kesehatan RI
IMT
<18,5 kg/m2
18,5-25 kg/m2
>25 kg/m2

STATUS GIZI
Gizi kurang
Gizi normal
Gizi lebih
(Depkes RI, 2005)

1) Berat Badan (BB)


Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering
digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan
gambaran status gizi sesorang dengan mengetahui indeks massa
tubuh. Pengukuran berat badan ini mengguanakan timbangan injak
secta.
Cara pengukuran berat badan :
(1) Lansia berdiri tegak dengan memakai pakaian seminimal
mungkin, tidak membawa beban atau benda apapun dan
tanpa alas kaki (sandal atau sepatu).
(2) Mata menatap lurus kedepan dan tubuh tidak membungkuk
(3) Pembacaan dilakukan pada alat secara langsung (Depkes,
2012).
2) Tinggi Badan yang diganti dengan Tinggi Lutut
Tinggi lutut berkorelasi dengan tinggi badan lansia. menurut
WHO tahun 1999, tinggi lutut digunakan sebagai prediksi dari tinggi

badan seorang lansia. Proses bertambahnya usia tidak berpengaruh


terhadap tulang yang panjang seperti lengan, tungkai, tetapi sangat
berpengaruh pada tulang belakang (Oktariani, (2012). Tinggi lutut
dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya
mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan
(Fatmah, 2010).
Menurut Eleanor (2005), prediksi tinggi badan dengan tinggi
lutut:
a) Tinggi badan prediksi pria : 59,01 + (2,08 x tinggi lutut)
b) Tinggi badan prediksi wanita : 75, 00 + (1,9 x tinggi lutut)
(Fatmah, 2010)
Cara pengukuran tinggi Lutut :
(1) Lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring tiduran
diatas lantai atau kasur dengan permukaan rata / tanpa
menggunakan bantal atau alas kepala.
(2) Kayu yang berbentuk segitiga diletakkan pada kaki kiri
antara tulang kering dengan tulang paha membentuk sudut
900
(3) Penggaris kayu / stailees stell ditempatkan diantara tumit
sampai bagian tertinggi dari tulang lutut. Pembacaan
dilakukan pada alat ukur dengan ketelitian 0,1 cm. (Depkes,
2012).
3) Lingkar Lengan Atas
Pengukuran lingkar lengan atas adalah pengukuran massa
otot yang dilakukan dengan cara mengukur lingkar lengan

bagian atas lalu dibandingkan hasilnya dengan nilai standar.


Pengukuran lingkar lengan atas bertujuan untuk mengukur
massa otot. Pengukuran LLA adalah suatu cara untuk
mengetahui risiko kekurangan energy protein (Supariasa,
2002). Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk
memantau perubahan pada status gizi jangka pendek.
Pengukuran LLA digunakan untuk menilai apakah seseorang
mengalami kekurangan energi kronik atau tidak.
Klasifikasi nilai Lingkar Lengan Atas (LLA) sebagai
berikut:
a) LLA < 21 = buruk
b) LLA 21 - 22 = sedang
c) LLA > 22 = baik/ normal
Cara pengukuran lingkar lengan :
a) Lansia diminta untuk berdiri atau duduk
b) Tanyakan kepada lansia lengan mana yang aktif digunakan,
jika lengan kanan yang aktif digunakan maka lengan kiri yang
kita lakukan pengukurannya.
c) Kemudian lansia diminta untuk membuka lengan baju mereka
yang akan dilakukan pengukuran

d) Menentukan titik tengah lengan dengan menekuk tangan


membentuk sudut 900 dengan telapak tangan menghadap
keatas yang di ukur dari tulang atas bahu sampai siku.
e) Memberi tanda pada titik tengah.
f) Kemudian diukur pada titik tengah dengan pita lila, tidak
boleh terlalu kuat
g) Catat pada ketelitian 0,1 (Depkes, 2012).
4) Lingkar Betis
Lingkar betis ini merupakan salah satu bagian yang diukur pada
penilaian antropometri khusus untuk menilai gambaran status gizi
pada lansia.
Cara pengukuran lingkar betis:
a) Posisikan kaki membentuk sudut 900 atau berjuntai
b) Bebaskan daerah betis dari pakaian
c) Pengukuran lingkar betis dilakukan pada daerah betis yang
paling tinggi
d) Catat hasil pengukuran (Depkes, 2012).
Keunggulan menggunakan antropometri
1. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah
sampel yang besar.
2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli
3. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan didaerah
setempat

4. Tepat dan akurat karena dapat dibakukan


5. Dapat mendeteksi dan menggambarkan riwayat gizi dimasa
lampau
6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan
buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas.
7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu
8. Dapat digunakan untuk pengelompokan yang rawan gizi (Istiany,
2013).
b. Pengkajian Secara Umum
Pengkajian secara umum pada MNA meliputi pengkajian tentang
gaya hidup, obat-obatan, mobilisasi dan adanya tanda depresi atau
demensia (Guigoz, 2006).
c. Pengkajian Asupan Makanan
Pengkajian pola makan/diet atau asupan makanan yaitu tentang
jumlah makanan, asupan makanan dan cairan serta kemandirian dalam
makan (Guigoz, 2006).
d. Pengkajian Subjektif
Pengkajian subjektif yaitu tentang bagaimana persepsi individu
tentang kesehatan dan status gizinya (Guigoz, 2006).
5. Masalah Gizi pada Lansia
Menurut Depkes RI (2003), masalah gizi pada lansia merupakan
rangkaian proses masalah gizi sejak usia muda yang manifestasinya timbul
setelah tua (Oktariani, 2012). Masalah gizi yang sering yang sering terjadi
pada lansia adalah obesiras dan malnutrisi.

a. Obesitas
Menurut Stanley, Blair, dan Beare (2005), obesitas merupakan suatu
kondisi kelebihan berat badan yang menempatkan lansia dalam
peningkatan resiko, mengalami kondisi kronis, seperti hipertensi,
penyakit arteri koroner, diabetes dan stroke. Kondisi ini menyebabkan
kelemahan sendi dan pembatasan mobilisasi dan kemandirian pada lansia
(Oktariani, 2012).
b. Malnutrisi
Malnurisis dapat terjadi baik pada lansia dengan berat badan lebih
maupun lansia dengan berat badan kurang. Malnutrisi dihubungkan
dengan kurangnya vitamin dan mineral, dalam beberapa kasus terjadi pula
kekurangan protein dan kalori. Malnutrisi pada lansia jika dalam kondisi
lama akan berdampak pada kelemahan otot dan kelelahan karena energy
yang menurun. Oleh karena itu lansia akan beresiko tinggi untuk terjatuh
atau mengalami ketidak mampuan dalam mobilisasi yang menyebabkan
cedera atau luka tekan (Watson, 2003).
Pada kondisi lain, malnutrisi juga dapat dimanifestasikan dengan
kurangnya energi kronis. Kurangnya energi kronis pada lansia disebabkan
oleh makanan tidak enak karena berkurangnya fungsi alat perasa dan
penciuman, banyak gigi yang tanggal sehingga terasa sakit untuk makan
dan napsu makan yang kurang akibat aktivitas yang kurang, kesepian,
depresi, penyakit kronis, serta efek samping obat (Depkes RI, 2003).
Selain itu hilangnya selera makan yang berkepanjangan pada lansia dapat
menyebabkan penurunan berat badan yang drastis, sehingga kondisi ini

dapat menyebabkan lansia mengalami kekurangan gizi, yang ditandai


dengan lansia akan terlihat kurus (Depkes RI, 2003).
C. KUALITAS HIDUP
1. Defenisi Kualitas Hidup
The World Health Organization Quality Of Life atau WHOQOL group
(1997) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap
kehidupannya dimasyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada
yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian. Kualitas
hidup dalam hal ini merupakan suatu konsep yang sangat luas yang
dipengaruhi oleh kondisi fisik individu, psikologis, tingkat kemandirian, serta
hubungan individu dengan lingkungan.
Menurut Ventegodt, Merrick & Andersen (2003), kualitas yang baik itu
adalah kualitas hidup yang berkualitas tinggi. Dalam hal ini dapat
dikelompokkan dalam 3 bagian yang berpusat pada aspek hidup yang baik
yaitu:
a. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang dirasakan
oleh masing-masing individu yang memilikinya. Masing-masing
individu

secara

personal

mengevaluasi

bagaimana

mereka

menggambarkan suatu perasaan mereka.


b. Kualitas hidup esistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang
merupakan level yang berhak dihormati dan dimana individu dapat
hidup dalam keharmonisan.
c. Kualitas hidup objektif yaitu bagaimana hidup seseorang dirasakan
oleh dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan

seseorang untuk beradaptasi dengan nila-nilai budaya dan menyatakan


tentang kehidupannya (Riyanto, 2011).
Menurut Kreitler & Ben (2004) kualitas hidup diartikan sebagai persepsi
individu mengenai keberfungsian individu didalam bidang kehidupan. Lebih
spesifiknya adalah penilaian individu terhadap posisi mereka didalam
kehidupan, dalam konteks budaya dan system nilai dimana mereka hidup
dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang
menjadi perhatian individu (Nofitri, 2009).
2. Klasifikasi Kualitas Hidup
Menurut Notoadmojo (2007) kualitas hidup diklsifikasikan menjadi :
a. Kualitas Hidup Baik
Kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan seperti:
mengatur pola makan, gaya hidup yang baik, rutin memeriksakan,
kesehatan dan rajin mengikuti program penyuluhan dari pemerintah.
b. Kualitas Hidup Buruk
Kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan yang
dapat meningkatakan resiko paparan penyakit (Dasuki dan Astuti,
2012).

3. Dimensi Kualitas Hidup


Menurut Power dalam Lopes dan Snyder (2004), kualitas hidup terdiri
dari empat dimensi yaitu :
a. Dimensi Kesehatan fisik
Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam
melakukan aktifitas. Aktifitas yang dilakukan individu akan memberikan
pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ketahap

selanjutnya. Kesehatan fisik mencakup aktifitas sehari-hari, yang


menggambarkan kesulitan dan kemudahan yang dirasakan individu ketika
melakukan kegiatan sehari-hari. Ketergantungan pada obat-obatan dan
bantuan medis, yang menggambarkan seberapa besar kecenderungan
individu dalam menggunakan obat-obatan dan bantuan medis lainnya
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Energi dan kelelahan, yang

menggambarkan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam


menjalankan aktivitas sehari-hari. Mobilitas, yang menggambarkan
tingkat perpindahan yang mampu dilakukan oleh individu dengan mudah
dan cepat. Sakit dan ketidaknyamanan, yang menggambarkan sejauh
mana perasaan keresahan yang dirasakan individu terhadap hal-hal yang
menyebabkan individu merasa sakit. Istirahat dan tidur, meggambarkan
sejauh mana kualitas tidur yang dirasakan individu dalam pemenuhan
kebutuhan

tubuh

menggambarkan

terhadap

istirahat.

kemampuan

yang

dan

kapasitas

dimiliki

kerja,

individu

yang
dalam

menyelesaikan tugas-tugasnya.
b. Dimensi Psikologi
Aspek psikologis terkait dengan keadaan mental individu. Keadaan
mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri
terhadap tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik
tuntutan dari diri maupun tuntutan dari luar dirinya. Aspek psikologis
juga terkait dengan aspek fisik, dimana individu dapat melakukan suatu
aktifitas jika individu itu sehat secara mental. Kesejahteraan psikologis

mencakup body image, dan aperence, yang menggambarkan bagaimana


individu memandang keadaan tubuh dan penampilannya. Perasaan
negatif, yang menggambarka adanya perasaan yang tidak menyenangkan
yang dirasakan individu. Self-ekstem yaitu melihat bagaimana individu
melihat dan menggambarkan dirinya sendiri. Spiritual/agama, keyakinan,
pribadi, berfikir, belajar, memori, dan kosentrasi.
c. Dimensi Hubungan Sosial
Hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih
dimana tingkah laku individu itu akan saling mempengaruhi, mengubah
atau memperbaiki tingkah laku individu yang lainya. Mengingat manusia
adalah mahluk sosial maka dalam hubungan sosial ini manusia dapat
merialisasikan kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia
seutuhnya. Hubungan sosial mencakup hubungan pribadi/personal,
menggambarkan bagaimana hubungan individu dengan orang lain.
Dukungan sosial, menggambarkan adanya bantuan yang didapatkan
individu yang berasal dari lingkungan sekitar. dan aktivitas seksual yang
menggambarkan aktivitas seksual yang dilakukan individu.
d. Dimensi Lingkungan
Aspek

lingkungan

yaitu

tempat

tinggal

individu

termasuk

didalamnya keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan


aktivitas kehidupan, termasuk didalamnya sarana dan prasarana yang
dapat menunjang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan mencakup
sumber financial, yang menggambarkan keadaan keuangan individu.

Freedom, psikologi safety dan security, yaitu menggambarkan tingkat


keamanan individu yang dapat mempengaruhi kebebasannya dirinya.
Perawatan kesehatan dan social care, yaitu menggambarkan ketersediaan
pelayanan kesehatan dan pelindungan sosial yang didapatkan individu,
termasuk

aksesbilitas

dan

kualitas.

Lingkungan

rumah,

yang

menggambarkan keadaan tempat tinggal individu. Kesempatan untuk


mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan yang
bermanfaat bagi individu. Partisipasi dan kesempatan untuk melakukan
rekreasi atau kegiatan yang menyenangkan diwaktu luang. Lingkungan
fisik termasuk, iklim, kebisingan, populasi, dan transportasi.
4. Pengukuran Kualitas Hidup
Pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan dengan kusioner World
Health Organization Quality of Life (WHOQOL-BREF). WHOQOL-BREF
merupakan pengembangan dari alat ukur WHOQOL-100. WHOQOL-BREF
versi Indonesia diterjemahkan oleh Ratna Mardiati dan Satya Joewana, dari
universitas Admadja Jakarta, pada tahun 2004. WHOQOL-BREF terdiri dari
24 pertanyaan dan ditambah 2 pertanyaan secara umum yaitu kualitas hidup
secara keseluruhan (overall quality of life) dan kesehatan secara umum
(general health), yang terdapat pada pertanyaan nomor 1 dan nomor 2.
Pertanyan yang 24 mencakup 4 domain yaitu kesehatan fisik yang terdiri dari
7 pertanyaan yang terdapat pada pertanyaan nomor 3, 4, 10, 15, 16, 17, dan 18
dengan skor 7 35, kesehatan psikologi terdiri dari 6 pertanyaan yang
terdapat pada pertanyaan nomor 5, 6, 7, 11, 19, dan 26 dengan skor 6 - 30,

hubungan sosial yang terdiri dari 3 pertanyaan yang terdapat pada pertanyaan
nomor 20, 21, dan 22 dengan skor 3 - 15, dan lingkungan yang terdiri dari 8
pertanyaan yang terdapat pada pertanyaan nomor 8, 9, 12, 13, 14, 23, 24, dan
25 dengan skor 8 40.
WHOQOL-BREF terbukti dapat digunakan untuk mengukur kualitas
hidup seseorang. Walaupun WHOQOL-BREF ini sudah digunakan di 23
negara pada usia dewasa namun penggunaan WHOQOL-BREF untuk lansia
masih belum banyak dilakukan, khususnya di Indonesia. Penghitungan untuk
menentukan skor dari kualitas hidup seseorang dapat dilakukan dengan
penjumlahan dari masing- masing skor domain yaitu semakin tinggi skor yang
didapatkan makan semakin baik kualitas hidup seseorang begitupun
sebaliknya semakin rendah skor yang didapatkan dari penjumlahan keempat
domain tersebut maka semakin rendah kualitas hidup seseorang. Kualitas
hidup seseorang dikatakan baik apabila skor yang didapatkan 51,5 dan
kualitas hidup buruk yaitu dengan skor < 51,5. dengan nilai maksimal 120 dan
nilai minimal 24.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Kualitas hidup secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman positif


pengasuh, pengalaman negatif pengasuh, dan stress kronis. Sumber daya
ekonomi dan sumber daya sosial memilik dampak langsung terhadap kualitas
hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain:
a. Umur

Pada usia yang lebih tua, penurunan fungsi tubuh semakin menonjol,
seperti penurunan sistem pencernaan yang akan berdampak pada asupan
nutrisi seseorang, sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup mereka
karena angka kesakitan akan meningkat karena gizi yang tidak adekuat.
b. Gender / jenis kelamin
Menurut Moons (2004), mengatakan bahwa gender adalah salah satu
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Menurut Bain (2003),
menemukan adanya perbedaan antara kualitas hidup laki-laki dan
perempuan, dimana laki-laki lebih baik dari perempuan (Fatmah, 2010).
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Pendidikan yang semakin tinggi
dapat menghasilkan kemandirian yang semakin mantap karena lansia
dapat memperoleh kesempatan untuk mendapatkan informasi yang
banyak terkait dengan pengaturan aktivitas, sehingga ketergantungan
dengan orang lain lebih rendah (Darmojo, 2004).
d. Pekerjaan
Penduduk yang bestatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja,
penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan) atau
penduduk yang tidak mampu bekerja memiliki perbedaan kualitas hidup
(Nofitri, 2009).
e. Status pernikahan

Moons (2004), mengatakan ada perbedaan antara kualitas hidup


antara individu yang menikah, yang duda/cerai dan yang tidak menikah.
Dimana individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi
dari pada individu yang tidak menikah (Nofitri, 2009).
f. Penghasilan
Menurut Safa (2007), mengemukakan bahwa adanya konstribusi
yang lumayan antara penghasilan terhadap kualitas hidup.
g. Hubungan dengan orang lain
Menurut Safa (2007), mengatakan bahwa faktor hubungan dengan
orang lain memiliki konstribusi yang cukup besar dalam menjelaskan
kualitas hidup secara subjektif.
h. Status gizi
Kurangnya nutrisi pada seseorang dapat menyebabkan berbagai
macam keluhan dan timbulnya penyakit, selain itu dukungan gizi
seringkali diperlukan untuk dipertahankan kondisi kesehatan fisik
mereka, karena kesehatan fisik merupakan salah satu dari penilaian dari
baik buruknya kualitas hidup seseorang. Semakin baik gizi seseorang
makan semakin baik kualitas hidup seseorang dan semakin buruk gizi
seseorang makan semakin buruk kualitas hidupnya.
D. KERANGKA TEORI MODIFIKASI
Kondisi lansia erat kaitannya dengan penurunan berbagai fungsi

indera

seperti menurunnya indera penciuman, indera perasa, dan penurunan dari fungsi
fisiologis pada tubuh lainnya. Kehilangan indera perasa dan penciuman

menyebabkan turunnya nafsu makan dan juga sensitivitas rasa manis dan asin
berkurang. Perubahan fisiologis yang terjadi seperti kehilangan gigi, penurunan
sistem pencernaan akan mempengaruhi status gizi lansia. Kebutuhan gizi pada
lansia perlu dipenuhi secara adekuat untuk kelangsungan proses penggantian sel
dalam tubuh, mengatasi proses penuaan, dan memperlambat terjadinya usia
biologis dan gizi yang baik akan memperbaiki kesehatan lansia yang akan
meningkatkan kualitas hidup lansia.
Pengukuran status gizi pada lansia dapat dilakukan dengan berbagai cara
diantaranya yaitu pengukuran antropometri, dan pengkajian menggunakan
kuesioner Mini Nutrition Assessment (MNA). Pengukuran dengan antropometri,
yang meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan, dan
pengukuran lingkar betis. Selain itu pengukuran MNA merupakan salah satu alat
ukur yang digunakan untuk meskrining status gizi pada lansia, untuk mengetahui
apakah seorang lansia mempunyai resiko mengalami malnutrisi atau malnutrisi
yang berat.
Status nutrisi pada lansia akan mempengaruhi kualitas hidup lansia, karena
salah satu domain dari kualitas hidup adalah kesehatan fisik, yang termasuk
didalamnya adalah masalah penyakit, kegelisahan tidur, dan beristirahat, energi
dan kelelahan, status gizi, mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan obat
dan bantuan medis, serta kapasitas pekerjaan. Penilaian kualitas hidup dapat
dilakukan dengan menggunakan kusioner WHOQOL-BREF.

BAB III
KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat dari bagan dibawah ini dimana
variabel dependen yang digunakan adalah kualitas hidup sedangkan variabel
independen dalam penelitian ini adalah status gizi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara status gizi dengan kualitas hidup lansia yang berada di
PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin dan Kasih Sayang Ibu Batusangkar Sumatera Barat.
Status gizi didapatkan setelah dilakukan pengukuran status gizi dengan berbagai cara

antara lain: pengukuran antropometri, dan skrining menggunakan alat pengkajian


MNA, untuk kualitas hidup digunakan kuesioner WHOQOL-BREF.

Variabel Independen

Variabel Dependen

Status Gizi Lansia

Kualitas Hidup Lansia

Keterangan :
: Diteliti

: Hubungan

Skema 3. 1 : Kerangka Konsep Penelitian

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Desain penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional
dengan menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen
dan dependen hanya satu kali pada suatu saat yang artinya subjek diamati satu
kali dan tidak ada perlakuan terhadap responden (Hidayat, 2008).
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin dan PSTW
Kasih Sayang Ibu Batusangkar Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan pada
tanggal 1 Juni sampai dengan 14 Juni 2015.
C. Polulasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia yang berada di PSTW
Sabai Nan Aluih Sicincin dan Kasih Sayang Ibu Batusangkar Sumatera
Barat tahun 2015 yang berjumlah 180 orang yang terdiri dari 63 orang lakilaki, 47 perempuan yang berada di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin dan 70
orang berada di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar dimana laki- laki
berjumlah 53 orang dan perempuan 17 orang.
2. Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini di hitung menggunakan rumus dari
Slovin dengan populasi finit atau diketahui jumlahnya, yaitu :

N
n=
1+ N (d2)
Keterangan rumus :
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi absolut/ tingkat ketepatan yaitu sebesar 5%
n = Jumlah sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah :
N
n=
1+ N (d2)

180

n=
1 + 180 (0,05)2
180
n=
1+ 180 (0,0025)

180
n=
1 + 0,45

180
n=
1, 45

n = 124, 13
Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan yaitu 124,13 yang dibulatkan
menjadi 125 orang. Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 125 orang lansia.
Kekuatan / power analisis yang diuji dengan menggunakan uji G* power
yaitu didapatkan kekuatan sebesar 0,86.
Mengingat peneliti tidak tahu persis karakteristik populasi yang ingin
dijadikan subjek penelitian karena populasi yang berada di dua tempat maka cara
pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multi-stage sampling yaitu peneliti
menentukan sampel untuk masing-masing tempat agar seimbang, berupa
kelompok cluster. Cara pengambilan samplenya adalah sebagai berikut :
populasi lansia di 1 PSTW
n=

x jumlah sampel yang diinginkan


jumlah populasi keseluruhan

110
n=

x 125 = 76,3 dibulatkan menjadi 76 orang


180

70
n=

x 125 = 48,6 dibulatkan menjadi 49 orang


180

Jadi sampel yang di ambil dari masing- masing PSTW yaitu sebanyak 77
orang di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin dan 49 orang di PSTW Kasih Sayang
Ibu Batusangkar. Setelah sampel untuk masing-masing PSTW didapatkan, maka
selanjutnya untuk menentukan siapa saja responden yang akan dipilih peneliti,
dilakukan teknik sample random sampling dengan cara mengundi anggota
populasi di tiap-tiap kelurahan (lottery techinique).
1.

D. Kriteria Inklusi dan Eklusi


Kriteria Inklusi
a. Laki-laki dan perempuan yang berusia 60 tahun keatas.
b. Lansia yang berada di tempat saat melakukan penelitian
c. Lansia yang bersedia menjadi responden dengan menandatangani
informed consent

2.

Kriteria Eklusi
a. Lansia yang sedang sakit berat seperti kesadaran yang mulai
berkurang ketika penelitian sedang berlangsung.
b. Lansia yang mengalami gangguan pendengaran dan mengalami
gangguan penglihatan.
c. Lansia yang mengalami gangguan jiwa

E. Defenisi Operasional
Defenisi operasional tiap-tiap variabel dijelaskan dalam tabel berikut :
Table 4.1
Defenisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel

Defenisi
operasional

Cara ukur

Alat ukur

Hasil ukur

Skala
ukur

Kualitas hidup

Kualitas hidup
merupakan
suatu persepsi
seorang
terhadap
kehidupanya
yang meliputi
kesehatan fisik,
psikologis,
hubungan
social
dan
lingkungan.

Wawancara

Kuesioner
WHOQOLBREF

- Jika skor
51,5
berati
kualitas
hidup baik
Jika
skornya
<
51,5 berarti
kualitas
hidupnya
buruk

Ordinal

Status gizi

Keseimbangan
antara asupan
zat gizi dan
kebutuhan akan
zat gizi.

Wawancara
dan
melakukan
pengukuran
antropometri
berupa
BB,
TB, LLA, LB.

Kuesioner
Mini
nutritional
Assessmant
(MNA)
Timbangan
berat badan,
alat
ukur
tinggi lutut,
alat
ukur
lingkar
lengan, dan
alat
ukur
lingkar betis

Jika
skornya 24
maka
dikategorikan
gizi normal.

ordinal

Jika
skornya 1723
maka
dikategorikan
resiko
malnutrisi.
Jika
skornya < 17
maka

dikategorikan
malnutrisi.

F. Instrument penelitian
1. Instrument Status Gizi
a) Kuesioner Mini Nutritional Assessment (MNA) yang terdiri dari 18
item yang tebagi dalam 4 komponen yaitu pengukuran antropometri,
pengkajian secara umum, pengkajian pola makan/diet, pengkajian
subjektif.
b) Timbangan injak seca (skala 0,1 kg) untuk mengukur berat badan, alat
untuk mengukur tinggi lutut, alat untuk mengukur lingkar lengan, dan
alat untuk mengukur lingkar betis, kemudian kalkulator untuk
menghitung IMT supaya cepat, dan untuk memudahkan dalam
mengkonversikan antara tinggi lutut dan tinggi badan.
2. Instrument Kualitas Hidup
Instrument yang digunakan untuk menilai kualitas hidup adalah kusioner
WHOQOL-BREFF. Kuesioner ini terdiri dari 26 item pertanyaan, setiap
item pertanyaan memiliki skala 1-5, yang terdiri dari 4 domain. Dari 26
pertanyaan tersebut 2 pertanyaan merupakan pertanyaan secara umum yang
tidak diikutkan dalam perhitungan 4 domain yaitu pertanyaan nomor 1 dan 2
tentang pendapat responden mengenai kualitas hidupnya dan kepuasan
responden terhadap kesehatannya. Penilaian kualitas hidup yaitu jika skor
51, 5 berarti kualitas hidup baik, sedangkan jika skor < 51, 5 berarti kualitas
hidup buruk.

Table 4.2
Instrument kualitas hidup
No

Variabel

Item

skor

Item 3, 4, 10, 15,


16, 17, dan 18

7 item
Skor 7 - 35

Kesehatan fisik

Kesehatan psikologis

Item 5, 6, 7, 11, 19,


dan 26

6 item
Skor 6 30

Hubungan sosial

Item 20, 21, dan 22

3 item
Skor 3 15

Lingkungan

Item 8, 9, 12, 13,


14, 23, 24, dan 25.

Kualitas hidup secara keseluruhan

Total 24 item

8 item
Skor 8 40
Total skor 20-120

G. Uji validitas dan Reliabilitas


Instrument dalam penelitian ini sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas
oleh peneliti sebelumnya. Dimana uji validitas dilakukan dengan cara validitas
diskriminan. Hasil uji validitas dan reliabilitas yang telah dilakukan oleh Salim
dan Sudharma (2007), terhadap instumen WHOQOL- BREF didapatkan
Cronbachs kecuali pada domain hubungan sosial besar Cronbachs =
0,41. Penelitian di 23 negara menunjukkan nilai Cronbachs sebesar 0,68 ( range
antara 0,51- 0,77).

Instrument WHOQOL-BREF adalah alat ukur yang valid

dengan (r hitung = 0,89 - 0,95 ), r table = 0,66 - 0,87). Artinya r hitung > r table. Sehingga

instrument WHOQOL-BREF valid dan reliabel untuk mengukur kualitas hidup

seseorang lansia.
Insrtumen MNA merupakan instrument yang telah divalidasi secara khusus
untuk mengetahui status gizi pada lansia. MNA telah dilakukan uji Validitasnya
secara internasional. Namun pada penelitian sebelumnya pada penelitian
Oktariani (2012) juga di lakukan uji validitas dan reliabilitas yang didapatkan
nilai r hitung > r table ( 0,74 > 0,30) sehingga instrument ini valid dan reliabel untuk
digunakan.
H. Etika penelitian
Sebelum responden masuk dalam penelitian ini terlebih dahulu peneliti
menjelaskan tentang bagaimana penelitian yang akan dilakukan agar responden
mengerti maksud, tujuan dan dampak dari penelitian. Supaya lebih jelas peneliti
dapat memberikan informed consent atau persetujuan menjadi responden.
Responden berhak untuk bersedia atau menolak menjadi subjek dalam penelitian
tersebut dan peneliti harus menghormati hak responden tersebut. Dalam menjaga
kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden
(anonimity), tetapi pada lembar tersebut diberi kode. Sedangkan pada lembar
kuesioner tetapi pada lembar informed consent wajib ditulis nama responden.
Selain itu, untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality) informasi responden,
hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian ini.
Hanya pihak tertentu dan dalam urusan tertentu informasi tersebut bisa diketahui.
I. Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari peneliti meminta surat
izin penelitian dari kampus STIKes Yarsi SUMBAR Bukittinggi. Kemudian

peneliti memberikan surat izin penelitian kepada KESBANGPOL Sumatera Barat


dan Dinas Sosial Sumatera Barat. Setelah itu peneliti membawa surat izin
penelitian untuk diberikan kepada kedua kepala PSTW Sumatera Barat. Kemudian
lansia yang memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel dalam penelitian ini diminta
untuk mengisi lembar persetujuan menjadi responden untuk ditanda tangani dan
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara dan melakukan pengukuran
atropometri seperti penimbangan berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, lingkar
betis.
Prosedur pengumpulan data penelitian dapat dilihat dari bagan dibawah ini:

Izin penelitian dari STIKes Yarsi


Izin dari KESBANGPOL SUMBAR
Izin dari Dinas Sosial SUMBAR
Izin Kepala PSTW
Melihat data lansia untuk
menentukan jumlah sampel
Memberikan informed consent
kepada responden sebelum
penelitiaan
Mengumpulkan
data dengan
kuesioner
Pengukuran TB, BB, LLA, dan LB

Skema 4.1. Bagan Prosedur pengumpulan data penelitian


J. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Editing
Tahap ini merupakan tahap mengecek kembali terhadap jawaban pada
kuesioner apakah jawaban sudah lengkap, jelas dan sudah relevan dengan

pertanyaan yang di ajukan. Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk menjaga


kualitas data, kebenaran data dan kelengkapan data agar dapat diproses
ketahap berikutnya.
2. Coding
Tahap ini untuk memberikan kode pada kuesioner sehingga informasi dari
data yang terkumpul mudah dilacak dengan tujuan untuk mempermudah
mengklasifikasikan jawaban secara teratur.
3. Entry
Tahap ini adalah kegiatan memasukan data dan pengolahannya kedalam
bentuk tabel dan selanjutnya di masukan kedalam soft ware yang sesuai.
4. Cleanning
Melakukan pengecekan kembali terhadap data yang sudah terkumpul
apakan ada kemungkinan terdapat kesalahan data, sehingga data siap untuk
dianalisis.

K. Analisis data
Seluruh data yang telah dikumpulkan akan dianalisa menggunakan program
komputerisasi. Analisa univariat bertujuan untuk melihat jumlah atau frekuensi
dan persentase masing masing variabel. Untuk melihat hubungan antara
hubungan status gizi dengan kualitas hidup lansia digunakan analisa bivariat
dengan uji statistik chi-square dilihat pada Pearson Chi-Square dengan tingkat
kepercayaan 95%, pvalue = 0,05. Sehingga, jika pvalue 0,05 maka hasil statistik
disebut bermakna, artinya ada hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen.

DAFTAR PUSTAKA
Abikusno, N., Turana, Y., & Santika, A. (2013). Buletin jendela data dan informasi
kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Aliabadi, M. & Kimiagar, M. (2008). Prevalence of malnutrition in free living
elderly people in Iran: a cross-sectional study. The Asia Pacific Journal
Clinical Nutrition,17 (2), 285-289.
Almatsier, S. (2004). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Amarantos, E., Martinez, A. & Dwiyer, J. (2001). Nutritional and quality of life in
older adults. The Journal of gerontology, 56A (2), 54- 64.
Arisman. (2010). Buku ajar ilmu gizi obesitas, diabetes mellitus & dislipidemia.
Jakarta: EGC
Beard, J. & Zusman, R. (2012). Global health and aging. U.S.A : WHO.

Burhan, I.N., Taslim, N. A. & Bahar, B. (2013). Hubungan care giver terhadap status
gizi dan kualitas hidup lansia pada Etnis Bugis. Jurnal Gizi, 3 (3), 264-273
Darmojo, B. & Martono, H. (2004). Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Jakarta:
Balai penerbit Fakultas universitas Indonesia
Darmojo, B. (2010). Buku ajar geriatrik (ilmu kesehatan lanjut usia). Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dasuki, M.S., Candrasari, A & Astuti, F. (2013). Hubungan status gizi dengan
kualitas hidup geriatric di posyandu lansia ngudi sehat bibis baru nasukan
Banjarsari Surakarta. Jurnal kedokteran, 1 (1), 1-10
Fatmah. (2010). Gizi usia lanjut. Jakarta: Erlangga.
Guigoz, Y. (2006). The mini nutritional asssessment (mna) review of the literaturewhat does it tell us. The journal of nutritional, health & aging.10 (6), 466487
Hidayat, A. A. (2008). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data.
Jakarta: Salemba Medika
Ismayanti, N. & Solikhah. (2012). Hubungan antara konsumsi dan aktivitas fisik
dengan status gizi lansia di panti sosial tresna werdha unit Abiyoso
Yogyakarta. Jurnal kesehatan masyarakat. 6 (3), 144-211
Istiany, A. & Rusilanti. (2013). Gizi terapan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Norhasanah. (2015). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan
kesehatan lansia perempuan pada panti social dan lembaga social masyarakat
di Banjarmasin (Tesis,
Institut Pertanian Bogor). Diakses dari.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/74292, tanggal 20 maret 2015,
jam 20.00
Nugroho. (2008). Keperawatan gerontik&geriatrik. Jakarta: EGC

Oktariani. (2012). Gambaran status gizi lansia di PSTW Budi mulya 01 dan 03
Jakarta Timur (Skripsi, Universitas Indonesia). Diakses dari http:// www.
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301303-S42017-Oktariyani.pdf, tanggal 28
Februari 2015, jam 09.00
Oliveira, M., Fogaca, K. & Leandro-Merhi, V. (2009). Nutritional status and
functional capacity of hospitalized elderly. Nutrition Journal, 8 (54), 1-8
Reno, R.B. (2012). Hubungan status interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di
Panti Werdha Dharma Bhakti Surakarta. Jurnal kesehatan masyarakat.
Rinajumita. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kemandirian
lansia di wilayah kerja puskesmas Lampasi Kecamatan Payakumbuh Utara
tahun 2011. Jurnal kesehatan masyarakat, 1(1), 1-12
Salim, O., Sudharma, N., Kusumaratna, R.K. & Hidayat. (2007). Validitas dan
reliabilitas world health organization quality of life-bref untuk mengukur
kualitas hidup lanjut usia. 26 (1), 27-38
Sharkey, J. R., Branch, L.G., Zohoori, N., Busby, J. & Haines, P.S. (2002). Inadequate
nutrient intakes among homebound elderly and their correlation with
individual characteristics and health-related factors. American Journal
Clinical Nutrition. 76, 1435-1445
Stanley, M. & Beare,G.P. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. Jakarta:
EGC.
Sunartyaningsih, R. (2012). Hubungan kendala pelaksanaan posbindu dengan
kehadiran lansia di posbindu RW 08 keluarahan Palasari kecamatan Cibiru
kota Bandung. Jurnal keperawatan,1 (2), 19-21.
Supariasa, I.D.N.,Bakri, B. & Fajar, I. (2002). Penilaian status gizi. Jakarta: EGC
WHOQOL group (1997). WHOQOL- BREF introduction, administration, scoring,
and generic version of the assessment. WHO: Geneva. Diakses dari,
http://www.who.int/mental health/media/en/76pdf/
tanggal 17 maret 2015, jam 09.15

Yani, D. (2010). Perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di komunitas dengan
kualitas hidup lansia di PSTW Jawa Barat Kabupaten Garut. Jurnal
keperawatan, 1 (1), 35-46.
Yuniarti, A., Said, S. & Saleh, A. (2013). Nutritional stataus related to quality of life
of elderly people in rappokalling Makasar. Journal gerontology nursing.
1(1), 1-15

You might also like